Hak dipilih sebagai ahli Dewan Perwakilan Rakyat DPR
baik dan melarang berbuat buruk Amar ma’ruf Nahi mungkar.
12
Sedang kaum pria dan kaum wanita itu sama dalam pandangan Islam, seperti firman Allah: surah at-
taubah ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat dari Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana
”. Q.S. At-Taubah: 9: 71
Berdasarkan ayat ini, jelaslah bahwa dalam ajaran-ajaran Islam tidak ada larangan yang menyebabkan wanita kehilangan haknya untuk menjadi wakil rakyat,
baik untuk membuat undang-undang ataupun mengawasi pelaksananya. Namun, menurut As-
Siba’i kalau ditinjau dari segi lain, maka akan ditemukan bahwa prinsip dan peraturan umum dalam Islam membendung kaum wanita untuk
mempergunakan haknya ini. Bukan karena kurangnya kecakapannya tetapi karena terdapatnya faktor-faktor yang bersangkutan dengan kesejahteraan keluarga,
12
Ibid., h. 224.
kesejahteraan masyarakat, karena memelihara kesejahteraan rumah tangga umpamanya, menyebabkan wanita harus menumpahkan seluruh perhatiannya kepada
rumah tangganya dan jangan sibuk mengerjakan sesuatu yang lain. Demikian juga, pergaulan wanita dan laki-laki yang bukan muhrimnya dengan bebas, hukumnya
haram dalam Islam, terutama sekali dua-duaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya itu. Demikian juga wanita membukakan bahagian badannya, selain muka
dan tapak tangannya, hukumnya haram dalam islam. Dan juga kepergian wanita ke luar negeri tanpa disertai oleh muhrimnya juga haram hukumnya.
13
Inilah tinjauan dari segi kedudukan wanita itu sebagai wakil rakyat. Dan dari segi lain dilihat pula bahwa Islam menitik beratkan kesejahteraan umum sebagai
landasan utama dalam undang-undangnya, mana yang dibutuhkan oleh kesejahteraan umum itu dibolehkan dalam Islam sedang dalam hal-hal yang tidak dikehendaki oleh
kesejahteraan umum itu maka Islam melarang dan mencegahnya. Dan kalau didiskusikan kedudukan wanita sebagai wakil rakyat, ternyata bahwa bahayanya lebih
banyak dari manfaatnya.
14
Ia mengemukakan bukti, dengan kejadian yang berlaku dalam pemilihan umum pada tahun 1957 M, yang mana di tempat-tempat perhimpunan kaum wanita di
Damaskus, bahwa di sana perasaan tegang antara satu sama lain sudah memuncak dan sebagian ibu-ibu kaum bangsawan sampai melontarkan tuduhan yang tidak enak
didengar oleh teliga siapa saja kepada teman-teman wanitanya yang nampaknya
13
Ibid., h. 225.
14
Ibid., h. 226.
mendukung salah seorang calon. Bahwa ketegangan itu itu kemudian meledak dalam bentuk pertengkaran sampai terjadi serang-menyerang, dan pukul-pukulan dengan
sandal antara sesama wanita, sehingga polisi perlu turun tangan. Justru dari peristiwa itu, mereka yang tadinya mendukung pencalonan wanita untuk menjadi wakil rakyat
itu merasa menyesal terhadap sikap mereka.
15
As- Siba’i juga membuat penyelidikan dengan mengunjungi dunia Eropah
sebanyak empat kali, menetap di sana beberapa bulan. Selama penyelidikan itu, ia tidak merasakan pengaruh ikut sertanya wanita barat itu aktif di bidang politik secara
umum, sebagai anggota DPR secara khususnya. Ini karena ketika As- Siba’i
mengunjungi Kantor DPR di Britania, dan turut menghadiri salah satu sidangnya yang cukup lama, kaum wanita yang menjadi anggota DPR semuanya tidak hadir.
16
Menurut penulis dengan menganalisa kedua aspek itu akan jelas bagi syariat mengac
u pada apa yang dikenal dalam terminologi Islam sebagai amar ma’ruf nahi mungkar dan memberikan nasihat tentang agama. Artinya, tugas ini wajib hukumnya
bagi umat Islam, baik sebagai pemimpin ataupaun rakyat umum. Melaksanakan amar ma’ruf, nahi mungkar, dan menyampaikan nasihat dituntut dari semua kaum laki-laki
dan wanita. Al-Quran dengan tegas menyatakan:
15
Ibid., h. 226-227.
16
Ibid., h. 230.
“Dan orang-orang Yang beriman, lelaki dan perempuan, setengahnya menjadi Penolong bagi setengahnya Yang lain; mereka menyuruh berbuat kebaikan,
dan melarang daripada berbuat kejahatan; dan mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat, serta taat kepada Allah dan RasulNya. mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana ”
.
Q.S. At- Taubah 9: 71
Selama wanita berhak memberikan nasihat, mengemukakan mana pendapat yang benar menurutnya, melaksanakan ama
r ma’ruf nahi mungkar dengan mengatakan, ini benar dan ini salah, maka tidak ada alasan melarang keanggotaannya
di DPR guna melaksanakan tugasnya. Pada dasarnya, masalah tradisi dan pergaulan boleh-boleh saja selama tidak ada larangan dari nash yang sahih dan tegas.
17
Hal ini terkait dengan asumsi bahwa dengan menyatakan wanita boleh duduk menjadi anggota DPR, tidak berarti bahwa wanita boleh bercampur baur dengan laki-
laki yang bukan mahramnya tanpa batasan dan syarat, atau kegiatannya tersebut misalnya merugikan kepentingan suami, rumahtangga dan anak-anaknya, atau juga
keanggotaannya di DPR membuatnya melanggar norma-norma Islam menyangkut pakaian, gerak-geri, dan pembicaraan. Tapi justru sebaliknya, semua harus dijaga dan
diperhatikan sepenuhnya tanpa kecuali.
17
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah. Penerjemah Chairul Majid,
Kebebasan Wanita Jakarta: Gema Insani 2000 Cet. Pertama, h. 541.
Mengenai konsep kesejahteraan umum yang telah disebutkan sebelum ini, menurut penulis ini merupakan pertimbangan interpretatif As-
Siba’i yang dianut tradisi masyarakat Suriah pada saat itu. Padahal, konsep kesejahteraan umum bisa
berubah dari masa ke masa dan berbeda antara satu negara dengan negara lain. Demikian juga berbeda cara-cara mengapresiasikannya.