sesama karyawati, maka mereka lau menghabiskan banyak sekali waktunya untuk mengobrol, membicarakan masalah-masalah yang berhubung dengan emosi masing-
masing yang tidak ada hubungannya dengan tugas yang mereka emban, dan juga tidak menguntungkan kesejahteraan negara sedikit pun. Demikian juga Departemen
Luar Negeri ketika itu sudah berhenti menempatkan karyawati di kantor-kantornya semenjak terbentuknya Republik Persatuan Arab, setelah mereka meneliti bahwa
penempatan kaum wanita di kantor-kantor itu tidak ada faedahnya bagi negara, dan malahan merupakan pemborosan biaya dan menghabiskan waktu dengan sia-sia.
19
Apa yang dapat penulis simpulkan di sini, As- Siba’i coba untuk menyatakan
seolah-olah kondisi itu melebihkan kaum wanita dari kaum laki-laki, yang menyebabkan laki-laki tidak ada tempat untuk mencari kerja. Menurut hemat penulis
As- siba’i hanya menilai dari segi kondisi yang terjadi di tempatnya ketika itu,
sedangkan jika meneliti teks-teks Al-Quran dan hadits-hadits Nabi, tidak ada yang melarang wanita menjadi pengawai negeri dengan tetap menghormati nilai-nilai
kesusilaan dan aturan syariat. Adapun kenyataan di lapangan sejauhmana besarnya jumlah wanita yang menduduki kantor-kantor pemerintah adalah soal lain, yang mana
tergantung kemampuan individual dan kesiapannya untuk berkompetisi dengan kaum laki-laki.
19
Ibid., h. 236.
5. Hak Wanita dalam Memberi Kesaksian.
20
Dalam hal yang terkait dengan peradilan, Musthafa As- Siba’i tidaklah
menjelaskannya secara rinci, akan tetapi ia hanya membicarakan mengenai masalah kesaksian wanita di pengadilan.
Islam menetapkan bahwa hak-hak seseorang dapat ditetapkan dengan adanya dua saksi laki-laki yang adil, atau seorang laki dan dua orang wanita. Hal ini di
terangkan dalam ayat yang menerangkan masalah utang-piutang:
“dan hendaklah kamu menetapkan dua orang saksi dari kaum pria, kalau dua
saksi itu tidak ada, maka diganti dengan seorang laki-laki dan dua orang wanita, yang kamu setujui sebagai saksi, kalau-kalau lupa salah seorang dari wanita
yang dua itu, maka akan diingati oleh temannya yang satu lagi”Q.S. Al- Baqarah: 2: 282.
As- Siba’i mengatakan di sini jelas bahwa perbedaan ini tidak ada
hubungannya dengan kemanusiaan, kemuliaan, dan kecakapan. Jadi wanita itu sama dengan laki-laki dalam kemanusiaannya. Dan menetapkan syarat bahwa dua orang
wanita sama dengan seorang laki-laki dalam fungsinya sebagai saksi, mestinya hal itu disebabkan sesuatu berada diluar kemuliaan dan penghormatan masyarakat kepada
wanita itu. Dan kalau diperhatikan, bahwa di samping memperbolehkan wanita itu
20
Ibid., h. 49-52.
bertindak bebas mempergunakan hartanya, Nampak bahwa Islam juga menekankan bahwa tugas utama dari wanita adalah mengurus rumahtangganya dan memelihara
kesejahteraan keluarganya. Oleh sebab itu, wanita biasanya lebih banyak berada di rumah, biasanya sehari-harian, termasuk jam-jam yang biasa dilaksanakan perbuatan
berjual-beli. Jadi kesaksian wanita terhadap sesuatu hak yang berhubungan dengan dilakukannya transaksi di kalangan masyarakat biasanya jarang sekali terjadi. Dan
oleh sebab itu, maka adalah suatu hal yang wajar kalau wanita itu tidak begitu mementingkan usaha-usaha untuk mengingat-ingatnya, karena mungkin wanita itu
melihat peristiwa itu terjadi hanya secara kebetulan, karena dia sedang lewat di jalan raya untuk suatu keperluannya dan ia tidak merasa perlu untuk memperhatikan
kejadian itu. Maka kalau wanita itu dihadapkan ke pengadilan untuk menjadi saksi, mungkin sekali ia lupa, atau tersalah dalam mengemukakan fakta, terpengaruh
dengan prasangkanya. Tetapi kalau ada temannya, seorang wanita lagi, mengemukakan kesaksian yang sama, maka hilanglah kemungkinan mereka berdua
sama-sama lupa. Oleh sebab itu, sebagian ahli-ahli Fiqih menetapkan bahwa kesaksian wanita
tidak diterima dalam masalah pidana. Sebabnya adalah seperti yang telah dikemukan di atas, bahwa biasanya wanita itu sibuk dengan urusan rumahtangganya, dan tidaklah
mudah untuk menghadiri pertengkaran-pertengkaran yang berakhir dengan pembunuhan atau yang senada dengan itu. Dan sudah menjadi prinsip hukum Islam,
bahwa hukuman tidak dapat dijatuhkan jika terdapatnya keragu-raguan. Maka kesaksian wanita terhadap suatu peristiwa pembunuhan termasuk hal-hal yang diliputi
keragu-raguan, yaitu keragu-raguan tentang tidak sanggupnya wanita itu mempersaksikan peristiwa itu, sesuai dengan keadaan jasmaniyyahnya pada waktu
peristiwa itu terjadi. Jelas As-
Siba’i lagi, pengertian ini juga diperhatikan dalam menetapkan wanita itu sebagai saksi dalam hal-hal yang tidak biasa dihadirinya. Sebaliknya,
dalam hal-hal yang memang biasa dipersaksikan oleh wanita, maka kesaksiannya diterima, walaupun hanya sendirian saja, terutama dalam hal-hal yang tidak biasa
dipersaksikan oleh laki-laki. Sebagai contoh misalnya ahli-ahli Fiqih menetapkan Hukum Islam, bahwa seorang wanita sudah pernah melahirkan, atau sudah janda, atau
masih gadis, dan juga dalam masalah adanya cacat jasmani pada anggota vital seoarng wanita. Semua ini berlaku pada masa lalu, karena pada waktu itu tidak ada
yang mengurus wanita itu kalau melahirkan, kecuali kaum wanita saja, dan demikian juga merawatnya, dan juga meneliti ada atau tidaknya cacat jasmaninya.
Jadi masalahnya bukanlah masalah kemuliaan dan kehinaan, bukan pula masalah ada atau tidaknya kecakapan, tetapi masalah keyakinan dalam menetapkan
sesuatu hukum, dan supaya hakim menguasai persoalan yang terjadi. Dan memang hal itu sangat dipentingkan oleh semua Undang-Undang yang adil.