Sistem Otoriter Sejarah Film Korea

30 Setelah Jepang mengalami kekalahan, AS kemudian menggantikan kekuasaan negara matahari itu di Korea, termasuk wewenangnya dalam industri perfilman. 6 Pasca kedua negara baik AS dan Jepang meninggalkan Korea, maka industri film Korea mengalami dua sistem kebijakan:

3.1.1. Sistem Otoriter

Menurut Kim Mee Hyun 2006 Pada masa ini, tepatnya pada pemerintahan Park Chung Hee, telah diperkenalkan sistem Yushin Regime 7 . Sistem ini kembali memberlakukan Motion Picture Law, yakni peraturan sensor dan kontrol film yang sudah ada sejak zaman kekuasaan Jepang di Korea. Park Chung Hee juga memanfaatkan film sebagai alat promosi kebijakan Yushin regime di tahun 1960. Terdapat 3 sasaran kontrol dan sensor yang diberlakukan Park Chung Hee melalui Motion Picture Law: a. Pembatasan Perusahaan Film Selain menggabungkan 71 perusahaan film menjadi 16 perusahaan, pemerintah Park Chung Hee juga mengharuskan perusahaan- perusahaan film mendapatkan lisensi yang diperoleh dari Kementerian 6 Di bawah kekuasaan AS, industri film Korea mengalami ketegangan yang berujung pada konflik ideologi kiri dan kanan. Pada masa-masa ini pula Korea mulai mengalami perang saudara yang mengakibatkan semenanjung Korea terbagi menjadi dua kawasan dimana Republik Republic of Korea berada dibawah AS dan Republik Rakyat Demokrasi Korea Utara berada dibawah Uni Soviet. Maka film dibuat berdasarkan atmosfir yang berkaitan dengan anti komunis dan komunis Kim Mee Hyun:2006 7 Sistem diktator yang dijalankan park Chung Hee dalam segala aspek, termasuk industri film. sistem ini bukan sebuah sistem komunis, namun juga tidak menerima ide demokrasi. Beberapa tulisan menyimpulkan sistem ini terpengaruh oleh cara-cara penjajahan Jepang di Korea, karena Park Chung Hee merupakan lulusan sekolah militer Jepang. 31 Budaya dan Informasi. Di sisi lain, syarat untuk mendapatkan lisensi pun tidaklah mudah, karena meliputi hal-hal berikut: izin perusahaan film untuk memproduksi film apabila sudah memiliki satu studio, rekaman suara, fasilitas canggih, peralatan lain termasuk kamera, serta sumber daya manusia seperti sutradara, aktor, dan teknisi. Syarat semacam ini telah mempersulit perusahaan film kecil, sehingga banyak diantara perusahaan film yang lebih memilih membatalkan lisensinya karena tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut. Kebijakan lain mengenai kontrol film pada masa ini juga terjadi di tahun 1963, dimana sebuah perusahaan film hanya diakui pemerintah apabila bisa membuat maksimal 15 film dalam setahun. Selain itu, dalam setiap tahunnya kebijakan pemerintah Park Chung Hee pada industri film mengalami pengetatan yang menyebabkan penurunan kuota produksi film, hingga tidak adanya produksi film sama sekali di tahun 1984. 32 b. Pembatasan Kuota Impor Sistem lain yang juga diterapkan pada masa ini adalah sistem kuota impor yang mana pemerintah mewajibkan pembayaran pajak yang sangat tinggi terhadap film impor yang masuk ke Korea serta melembagakan penggunaan profit dari film asing untuk mengembangkan film domestik Korea yang sejalan dengan kebijakan pemerintah. c. Pembatasan IdeKonten Sistem kuota impor bertujuan memaksa para produser membuat film nasional yang sejalan dengan kebijakan pemerintah. Isi atau cerita film diharuskan sesuai dengan kebijakan anti komunis dan tidak boleh mengandung nilai demokrasi. Aturan yang sama pun berlaku bagi film asing yang masuk ke Korea, yang mana mereka harus memproduksi film sesuai dengan kebijakan pemerintah. Implikasi dari kebijakan ini, film Korea tidak memiliki banyak referensi cerita terutama ide cerita yang diambil dari film asing. Akibatnya, perfilman saat itu mengalami stagnasi dan penurunan jumlah penonton karena dianggap membosankan.

3.1.2. Sistem Promosi