Latar Belakang PE DAHULUA

BAB I PE DAHULUA

A. Latar Belakang

Trend pendidikan internasional belakangan ini mencuat dan cukup menyita perhatian. Merebaknya sekolah sekolah internasional sebagai implementasi internasionalisasi pendidikan di negara kita merupakan fenomena, sebagaimana halnya globalisasi, yang ditanggapi dengan reaksi positif dan negatif. 1 Mereka yang menanggapinya dengan reaksi positif merasa bahwa tidak lama lagi, dalam bidang pendidikan, negara kita dapat berdiri sama tinggi dengan negara negara lain. Sedangakan mereka yang bereaksi negatif merasa bahwa ini adalah ancaman besar bagi eksistensi lokal dimana budaya, nilai, dan local wisdom yang kita miliki akan tergerus oleh arus besar globalisasi. 2 Globalisasi, dengan beragam makna yang dikandungnya, 3 adalah sebuah isu besar dewasa ini. Kita hidup di dunia yang ditandai oleh saling keterhubungan sistem ekonomi, politik, dan lingkungan sosial global, inovasi teknologi yang dinamis, dan kompleksitas konflik, kesenjangan, dan perubahan yang terus meningkat. Tidak ada lagi batasan yang cukup jelas antara lokal dan global. Ketika sesuatu terjadi di sebuah negara, maka akan dengan cepat berimbas pada kondisi negara lain. Carnoy mengatakan bahwa globalisasi, bersamaan dengan teknologi informasi baru dan proses proses inovasi yang ditimbulkan mendorong terjadinya revolusi dalam organisasi kerja, produk barang dan jasa, hubungan antar negara, bahkan sampai dengan budaya lokal. Informasi dan inovasi teknologi adalah 1 Shunji Tanabe, “Internationalization and Education from Japanese Experiences”, a paper presented in the 6 th International Conference of the Faculty of Management Koper Congress Centre Bernardin, Slovenia, 2005., Lihat juga M. Mastuhu, Sistem Pendidikan asional Visioner, Ciputat: Lentera Hati, 2007, Cet. Ke 1, h. 20 35 2 Jan Aart Scholte, Globalization: A Critical Introduction, New York: Saint Martin Press, 2000, h. 28 3 Globalisasi memiliki makna internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi, westernisasi, dan deterritorialisasi, yang masing masing memiliki penekanan yang berbeda terhadap proses globalisasi. Lihat What is Global about Globalization dalam Jan Aart Scholte, Globalization: A Critical Introduction, h. 46 2 landasan utama bagi globalisasi. 4 Fenomena ini memang sangat luar biasa sehingga ia dapat merambah seluruh sisi kehidupan manusia saat ini, dan menjadi diskursus perdebatan besar di kalangan akademik, yang kemudian menghasilkan beragam perspektif para ahli tentangnya. Dan sungguh, ragam perspektif itu lebih dari sekedar apa yang dikatakan Zuhdi dengan kalangan liberal dan kalangan kritik. 5 Ragam perspektif tentang globalisasi, sebagaimana dikemukakan Park, terdiri dari perspektif transnasional, kompetisi, politik ideologi, sharing, diversifikasi, dan humanistik. 6 Dalam Islam, fenomena globalisasi sesungguhnya telah terintegrasi dengan agama ini sejak awal kemunculan dan perkembangannya, dalam konteks universalitas Islam. Dakwah Rasulullah saw bersifat universal, tidak seperti Rasul rasul pendahulunya seperti Nabi Nuh as, 7 Nabi Hud as, 8 Nabi Salih as, 9 Nabi Musa as, 10 dan Nabi Isa as. 11 Sedangkan secara khusus tentang universalitas Islam, dapat kita lihat dalam banyak surat dan ayat yang berbeda, 12 juga pada sabda nabi Muhammad saw tentang lima keistimewaan Nabi dan hadith riwayat Muslim yang artinya: 4 Martin Carnoy, Globalization, “Educational Trends and The Open Society”, OSI Education Conference, Stanford University, 2005, h. 3 5 Muhammad Zuhdi, “Globalization and Its Impact on Education”, Paper presented in International Conference, UIN Jakarta, 2008., h. 2 3 6 Perspektif Transnasional memandang globalisasi adalah sebuah proses manusia di bumi menyatu ke dalam kampung dunia. Perspektif Kompetisi memandang Globalisasi berarti situasi di mana dunia menjadi lebih kompetitif dan hanya yang terbaik dapat bertahan. Perspektif Politik Ideologi melihat bahwa globalisasi dirasakan sebagai sejenis ideologi politik dari kelompok yang dominan untuk melanjutkan kekuatan sosial politik mereka pada tataran domestik maupun global. Perspektif Sharing memandang Globalisasi adalah situasi dimana kepemilikan dunia lebih diperkaya dengan saling berbagi antara satu komunitas dengan komunitas lain. Perspektif Diversifikasi memandang Globalisasi adalah perbedaan. Hambatan Globalisasi antara lain: Masalah Perasaan, bias individu, kelompok dominan, bias kewajaran. Yang harus kita hindari adalah homogenisasi. Perspektif Humanistik memandang Globalisasi adalah sebuah situasi di mana individu individu dalam sebuah pesawat luar angkasa menjadi keluarga dunia yang tidak membedakan orang lain dan tahu bagaimana berbagi, menuntut keadilan, dan mengabadikannya. Globalisasi adalah universalisme. Lihat Namgi Park, “Perspektive Map of Globalization in the Education World”, Paper presented in the International Conference of Comparative Education, 2000. 7 Lihat Al Qur’an, QS. Al Mu’minun: 23 8 Al Qur’an, QS. Al A`raf: 65 9 Al Qur’an, QS. Al A`raf: 73 10 Al Qur’an, QS. Al A`raf: 103 11 Al Qur’an, QS. Ali `Imran: 49 12 Al Qur’an, QS. Al Furqan: 1, QS. Saba’: 28, QS. Al A`raf: 158, QS. Al An`am: 19, QS. Ali `Imran: 20, dan lain lain. 3 “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangannya, tidak seorang pun dari ummat manusia ini, Yahudi maupun asrani, yang mendengar tentang aku kemudian dia mati dan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa, melainkan dia termasuk penghuni neraka”. 13 Dalil dalil tersebut menjadi landasan bagi ekspansi Islam secara global. Akan tetapi, dalam konteks arus globalisasi yang digaungkan barat terhadap dunia, masyarakat Arab sendiri terpecah kepada tiga kelompok: yang menentang, menerima, dan moderat sesuai dengan kebutuhan. 14 Mengenai dampak globalisasi terhadap pendidikan, Carnoy mengatakan ada dua akibat, setidaknya, pertama, adalah globalisasi meningkatkan tuntutan atas pendidikan, dan kedua, menghasilkan reaksi dari kalangan regionaliasi 15 atau masyarakat setempat. Dampak pertama merupakan sesuatu yang langsung dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan hadirnya lembaga lembaga pendidikan yang lebih berkualitas dan kompetitif. Mereka merasakan lembaga lembaga pendidikan publik sekolah sekolah negeri tidak lagi dapat memuaskan kebutuhan mereka akan pendidikan yang baik untuk anak anak mereka karena keterbatasan anggaran yang ditetapkan pemerintah, juga karena kualitas para guru yang dengan dominasinya enggan mengembangkan diri sehingga berdampak langsung pada kualitas output yang notabene adalah anak anak mereka. Masyarakat menginginkan persaingan terbuka dan fair, dan pilihan pilihan yang lebih banyak. 16 Dari tuntutan ini kemudian muncul proses privatisasi pendidikan. Sedangkan dampak yang kedua, yaitu munculnya reaksi dari kalangan regional yang memahami perspektif kompetisi di era globalisasi, di mana yang terbaiklah yang akan bertahan dan sudah tak ada lagi batasan antara lokal dan global. Dengan perspektif ini mereka lebih terdorong untuk mengembangkan kekuatan lokal dengan menyerap sumberdaya global yang dibutuhkan. Cheng menjelaskan kemampuan ini dalam teori teori pohon, kristal, sangkar, DNA, jamur, dan amuba. Masing masing teori ini memiliki penekanan yang beragam 13 Lihat Fath al Bari I346 Kitab Masajid No. 3., juga Sahih Muslim, Kitab Iman: 240. 14 Fauzi Najjar, “The Arabs, Islam, and Globalization”, Middle East Policy, vol. XII, No. 3, Fall 2005, h. 91 15 Martin Carnoy, “Globalization..”, h. 4 16 Clive R. Belfield Henry M. Levin, Education Privatization: Causes, Consequences, and Planning Implication, Paris: UNESCO, 2002, h . 29 33 4 atas ketergantungan global dan orientasi lokal. Oleh karenanya, mereka masing masing memiliki karakteristik, kekuatan dan keterbatasan tersendiri dalam mengonsep dan memenej pengembangan pengetahuan lokal. 17 Dari kemampuan inilah kemudian muncul kalangan regional yang melakukan upaya upaya internasionalisasi pendidikan. Internasionalisasi merupakan fenomena global yang mengubah cara cara dimana sistem pendidikan perlu melihat layanan pendidikan yang dijalankan, agar lebih kompetitif dan dapat memenuhi tuntutan global. 18 Knight mendefinisikan internasionalisasi pendidikan sebagai sebuah proses mengintegrasikan dimensi internasional, interkultural, atau global ke dalam tujuan, fungsi dan layanan pendidikan. 19 Sedangkan Verhoeven memandang definisi internasionalisasi dengan empat macam pendekatan. Dari pendekatan kegiatan, internasionalisasi mengacu pada fenomena seperti mobilitas lembaga dan siswa, serta perekrutan siswa internasional. Dari pendekatan kompetensi, yaitu hasil dan sasaran siswa dan guru sebagai produk dari kontak internasional. Dari pendekatan budaya, adalah 17 Karakteristik dari masing masing teori tersebut adalah sebagai berikut: Teori Pohon. Proses teori ini berakar pada nilai nilai dan tradisi lokal tapi menyerap sumberdaya eksternal yang relevan dan bermanfaat untuk tumbuh keluar. Teori Kristal. Kunci dari proses teori ini adalah memiliki benih benih lokal untuk mengkristalisasi dan mengakumulasi pengetahuan global sesuai dengan bentuk lokal yang ada. Teori Sangkar. Proses teori ini terbuka bagi masuknya pengetahuan dan sumberdaya global tapi membatasi perkembangan lokal dan interaksi interaksi terkait dengan dunia luar pada kerangka kerja yang sudah diatur. Teori D A. Proses teori ini mengidentifikasi dan mentransplantasi elemen elemen kunci yang lebih baik dari pengetahuan global untuk menggantikan komponen lokal yang lebih lemah, yang ada dalam pengembangan lokal. Teori Jamur. Prosesnya adalah untuk menggali tipe tertentu dari pengetahuan global untuk menutrisi perkembangan individu dan lokal. Teori Amoeba. Proses teori ini adalah menggunakan sepenuhnya pengetahuan global dengan hambatan lokal yang minim. Lihat Yin Cheong Cheng, “Fostering Local Knowledge and Wisdom in Globalized Education: Multiple Theories”, Paper presented ini the 8th International Conference on “Globalization and Localization Enmeshed: Searching for Balance in Education”, Chulalongkorn University, 2002., h. 11 17 18 Melissa Engelke, “Internationalisation of the Swedish Higher Education System: An Impact Analysis on Student and Employee Satisfaction”, Blekinge Institute of Technology, 2008, h. 1 19 Internasionalisasi adalah sebuah ungkapan sekaligus respon dari globalisasi. Integrasi adalah proses infusi internasional dan interkultural ke dalam kebijakan dan program untuk memastikan sentralitas. Internasional adalah hubungan antar bangsa, budaya, dan negara. Interkultural di sini untuk membicarakan aspek aspek internasionalisasi secara domestik. Dimensi global adalah rasa kesadaran global. Tujuan terkait dengan misi, fungsi meliputi pengajaran, riset dan layanan akademik, delivery berarti di dalam atau di luar kampussekolah. Lihat Jane Knight, “Updated Definition of Internationalization”, International Higher Education: The Boston College Center for International Education, Fall 2003, h. 2 5 hadirnya akademisi berkebangsaan berbeda di sebuah kampus yang memengaruhi budaya lokal. Dan dari pendekatan proses atau strategi, yaitu memisahkan tiga pendekatan di atas ketika mereka menyatu dalam sebuah perencanaan dalam rangka memberikan dimensi internasional pada kebijakan pendidikan dari sebuah negara. 20 Perkembangan yang signifikan dalam konseptualisasi internasionalisasi terletak pada kemunculan dua istilah internasionalisasi, yaitu “internationalization at home” yang berarti internasionalisasi berbasis sekolah, dan “cross2border education” dalam arti di luar sekolah. 21 Internasionalisasi itu sendiri sesungguhnya bukanlah hal baru. Banyak negara negara di dunia sudah memraktekkannya sejak lama, termasuk mereka yang ada di wilayah benua Asia. Beberapa negara seperti China, Jepang, Vietnam, India, Singapore, dan Thailand telah lama membangun kerjasama dengan negara negara barat dan timur tengah untuk memajukan pendidikannya, dengan China sebagai eksportir utama bagi sesama negara Asia. 22 Dalam hal bagaimana negara negara di dunia mengimplementasikan internasionalisasi pendidikannya, ditemukan bentuk bentuk yang sangat beragam. Keragaman itu dapat ditelusuri mulai dari perbedaan pandangan para ahli mengenai konsep pendidikan internasional, yang di dalamnya dikenal dua istilah: Global Education, dan International Education. Pike memandang bahwa Global Education fokus terutama pada kurikulum, dengan tujuan memasukkan perspektif global ke dalam berbagai mata pelajaran dan atau mengembangkan pengajaran yang difokuskan pada isu isu global. Sedangkan International Education lebih fokus pada kajian mendalam tentang suatu wilayah di dunia untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang budaya lain. 23 Sementara 20 Jef C. Verhoeven, “Internationalization and Commercialization of Higher Education in an Era of Globalization”, Presented in Second International Academic Workshop: Shenyang Educational System in Asia and Europe, 9 April 2004 21 Jane Knight, The Internationalization of Higher Education: Are We on the Right Track? Diunduh dari http:www.academicmatters.cacurrent_issue.article.gk diakses pada 28 Februari 2009. 22 Philip G. Altbach Jane Knight, “The Internationalization of Higher Education: Motivations and Realities”, The EA Almanac of Higher Education, 2006., h. 4 5 23 Lihat Graham Pike, “Background Paper on Global and International Education for CESI Think Tank on International Education”, University of Prince Edward Island, 2008., h. 1 2 6 Simonyi lebih memandang Global Education sebagai pendidikan universal yang meliputi “tujuh keseluruhan” dimensi : seluruh tempat, waktu, pandangan, entitas, metodologi, usia, dan sains. 24 Sementara Hanvey memandang global education sebagai pembelajaran yang mendorong kemampuan individu untuk memahami kondisinya di masyarakat dan di dunia. Ia meliputi kajian tentang bangsa, budaya, dan peradaban, termasuk masyarakat kita yang pluralistik dan masyarakat orang lain, dengan fokus pada pemahaman bagaimana semua ini saling terhubungkan dan bagaimana mereka berubah, juga fokus kepada tanggung jawab individu dalam prosesnya. Ia memberikan individu sebuah perspektif yang realistis atas isu isu, problem dan prospek dunia, dan kesadaran akan hubungan antara minat pribadi dengan kepedulian akan orang orang di belahan bumi yang lain. 25 Lebih jauh, Hanvey juga menjelaskan lima dimensi pendidikan global, yaitu kesadaran perspektif, kesadaran kondisi bumi, kesadaran lintas budaya, pengetahuan dinamika global, dan kesadaran akan pilihan pilihan manusia. 26 24 Tujuh keseluruhan dalam dimensi dimensi itu adalah: Seluruh Bidang: pendidikan fokus terhadap seluruh dunia yang telah dikerutkan menjadi “kampung Dunia” oleh globalisasi, bahkan memperluas pandangan kita ke seluruh kosmos. Seluruh Waktu: atas dasar pelajaran sejarah, pendidikan global mengajari kita untuk berfikir berabad abad, tanggung jawab jangka panjang untuk generasi mendatang. Seluruh Manusia: badan, pikiran, dan jiwa. Pendidikan tidak hanya fokus terhadap kebutuhan materi manusia, tapi terutama terhadap pengembangan kepribadian manusia. Seluruh Makhluk: pendidikan fokus lebih luas dari sekedar umat manusia. Ia mengajarkan tanggung jawab terhadap makhluk lain dan bahkan keindahan alam. Seluruh Metodologi: sistem pendidikan formal, non formal spt. Pelatihan, lokakarya, dsb dan informal spt. Internet, media, festival, dsb. Seluruh Tingkatan Usia: tidak hanya pendidikan siswa, tapi pendidikan seumur hidup, pendidikan profesi dan orang dewasa, pelatihan kepemimpinan, guru, dsb. Seluruh Disiplin Ilmu: seperti, ilmu sosial tidak dapat memahami masyarakat tanpa pandangan ilmu alam. Lihat Gyula Simonyi, “What is Global Education?”, http:bocs.husgyglobaleducation oasis.htm diakses pada 8 februari 2009. 25 Robert G. Hanvey, “An Attainable Global Perspective”, The American Forum for Global Education, 2004., h. 1 26 Kesadaran Perspektif yaitu memahami bahwa orang lain mungkin memandang kejadian kejadian dan dunia sangat jauh berbeda dengan pandangan kita. Kesadaran kondisi bumi yaitu mengetahui tren tren besar di dunia seperti perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan fakta fakta disekitarnya. Kesadaran lintas budaya adalah mengetahui ada perbedaan perbedaan dalam gagasan dan praktek antar bangsa bangsa dan melakukan upaya untuk memandang kejadian kejadian dari sisi yang tidak merugikan orang lain. Pengetahuan dinamika global yaitu mengenali saling ketergantungan orang dan tempat karena sistem dunia yang dinamis dalam lingkungan fisik, budaya, dan ekonomi. Dan Kesadaran pilihan manusia adalah mengetahui bahwa kejadian kejadian dibentuk oleh keputusan individu dan kolektif yang dibuat oleh suatu masyarakat atau bangsa. Keputusan yang dibuat di satu wilayah di dunia bisa jadi didesak oleh keputusan yang 7 Sedangkan International Education menurut UNESCO yaitu pendidikan yang menekankan pada pemahaman, kerja sama, dan perdamaian internasional dengan tujuannya meliputi dimensi internasional dan perspektif global, prinsip saling memahami dan menghormati, saling ketergantungan, kemampuan berkomunikasi, kesadaran akan hak dan kewajiban, solidaritas dan kerja sama internasional, dan kesiapan peran individu di level masyarakat, negara, dan dunia. 27 Pike mengemukakan landasan pemikiran pendidikan internasional, yaitu: 1 Perlunya memahami penyebaran globalisasi dan dampaknya bagi kehidupan sehari hari, 2 Pentingnya mempersiapkan siswa agar cakap dalam hidup dan bekerja dalam komunitas yang secara etnis dan budaya berbeda, 3 Perlunya secara lebih penuh memahami tantangan besar global yang kita hadapi seperti konflik internasional, perubahan iklim, jumlah dan perpindahan penduduk, kemiskinan dan kesenjangan untuk membuat pilihan pilihan yang lebih jelas untuk masa depan, dan 4 perlunya melengkapi siswa dengan skill dan pengetahuan yang penting bagi mereka untuk menjadi warga yang aktif dan bertanggung jawab pada level lokal, nasional, dan global. 28 Nilai dan misi yang dikandung pendidikan internasional itu kemudian diimplementasikan oleh sekolah internasional. Dengan kata lain, sekolah internasional menawarkan pendidikan internasional. 29 Sylvester bahkan, seperti dikutip Bunnel, memandang bahwa kedua istilah itu sama. 30 Sekolah Internasional adalah sekolah yang mengacu secara kuat pada prinsip prinsip pendidikan internasional dan didirikan dengan latar belakang antara lain untuk memenuhi dibuat orang lain dan dapat berdampak bagi kehidupan orang orang yang jauh dari wilayah itu. Lihat Robert G. Hanvey, An Attainable Global perspective, h. 5 34 27 UNESCO, Recommendation concerning education for international understanding, co2 operation and peace and education relating to human rights and fundamental freedoms, Paris: Unesco General Conference, 1974, h. 1 2. 28 Graham Pike, Background Paper...... h. 2 3 29 Ian Hill, International Education Trend, dalam http:gurukreatif.wordpress.com diakses pada 7 februari 2009. 30 Tristan Bunnel, “The International Education Industry: An introductory framework for conceptualizing the potential scale of an ‘alliance’”, Journal of Research in International Education, Sage Publication,2007., h. 350 8 kebutuhan dan minat siswa asing, dan atau siswa lokal yang laik menurut kriteria yang ditetapkan. 31 Di sisi lain, Tanabe menawarkan tiga model internasionalisasi berdasarkan pengalaman Jepang menghadapi globalisasi: pertama, Catch Up model atau mainstreaming model, dimana sekolah atau bahkan negara mengambil banyak hal baru dari luar untuk membangun atau melengkapi sistem yang telah dimiliki. Kedua, Competitive model, yaitu internasionalisasi yang dilakukan untuk menyesuaikan situasi domestik dengan kondisi global, agar sistem pendidikannya lebih kompetitif dibanding negara lain. Dan terakhir adalah win2win mutual model, internasionalisasi dengan meningkatkan kompetensi kognitif siswa dengan tetap mengusung keunikan masing masing seperti gaya hidup, budaya, agama, bahasa, dan sebagainya. 32 Bangsa Indonesia sebagai salah satu warga komunitas global, tentu tidak ketinggalan untuk turut merespon arus globalisasi. Di bidang pendidikan khususnya, dapat dilihat bagaimana upaya pemerintah mengembangkan upaya upaya untuk melakukan pergeseran visi dari arah lokal ke global, yang terwujud dalam program rintisan sekolah bertaraf internasional. Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah madrasah yang telah memenuhi seluruh standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan negara maju yang memiliki keunggulan tertentu, sehingga memiliki daya saing di forum internasional. Sekolah ini didirikan dengan latar belakang tuntutan sosial dan ekonomi. 33 Program Sekolah Bertaraf Internasional di Indonesia, secara umum bertujuan meningkatkan mutu kinerja sekolah agar dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara optimal dan memiliki daya saing internasional. Dan secara khusus meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dalam menyiapkan 31 Jakarta International School, About Us, http:www.jisedu.org diakses pada 9 februari 2009. 32 Shunji Tanabe, Internationalization and Education from Japanese Experiences, h. 1 2 33 Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Penjaminan Mutu SekolahMadrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Badan Penelitian dan Pengembangan, 2007., h. 2 5 9 lulusan yang memenuhi standar kompetensi lulusan berdaya saing pada taraf internasional, yang memiliki 14 karakter yang ditetapkan. 34 Dengan kata lain, Program ini akan secara langsung berdampak pada kemajuan sekolah. Peluncuran program sekolah internasional, tepatnya, sekolah nasional bertaraf internasional SBI oleh pemerintah secara resmi sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 2005. Ini dapat dilihat pada poin ke sembilan dari tiga belas poin usaha yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional untuk peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan. 35 Program internasionalisasi sekolah menjadi salah satu agenda pemerintah sebagai bentuk menjalankan amanat Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 36 Undang undang ini kemudian dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 61 ayat 1. 37 Dengan landasan inilah Departemen Pendidikan Nasional, dalam rencana kerjanya sampai 34 Karakter yang dimaksud adalah: 1 Meningkatnya keimanan dan ketaqwaan serta berakhlak mulia; 2 Meningkatnya kesehatan jasmani dan rohani; 3 Meningkatnya mutu lulusan dengan standar yang lebih tinggi daripada standar kompetemsi lulusan nasional; 4 Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; 5 Siswa termotivasi untuk belajar mandiri, berpikir kritis dan kreatif, dan inovatif; 6 Mampu menyelesaikan masalah secara efektif; 7 Meningkatnya kecintaan pada persatuan dan kesatuan bangsa; 8 Menguasai penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar; 9 Membangun kejujuran, objektifitas, dan tanggung jawab; 10 mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, dan atau bahasa asing lainnya secara efektif; 11 Siswa memiliki daya saing melanjutkan pendidikan bertaraf internasional; 12 Mengikuti sertifikasi internasional; 13 Meraih medali tingkat internasional; 14 Dapat bekerja pada lembaga internasional. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional, Jakarta: DirJen DikDasMen, 2008, hal. 5 6 35 Departemen Pendidikan Nasional, Rencana Strategis Departemen Pendidikan asional 200522007, Pusat Informasi dan Humas Depdiknas, 2007, hal.26. Skala prioritas Depdiknas dalam menetapkan strategi dan program pembangunan pendidikan nasional jangka menengah 2004 2009 dilakukan dengan membelanjakan dana APBNAPBD yang lebih ditekankan pada 1 upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan; 2 peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan; dan 3 peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan. Program sekolah internasional merupakan turunan dari strategi no. 2 yang keseluruhannya memiliki 13 program h. 23 27 36 Pasal 50 3 berbunyi: Pemerintah danatau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Lihat, Departemen Agama, Undang2 undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Direktoral Jenderal Pendidikan Islam, 2006, h. 33. 37 PP. No. 19 Tahun 2005 tentang SNP Pasal 61 1 berbunyi: Pemerintah bersama sama Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Lihat, Departemen Agama, Undang2undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Direktoral Jenderal Pendidikan Islam, 2006, h. 189. 10 dengan tahun 2009 menargetkan sebanyak 112 sekolah bertaraf internasional harus sudah berdiri di Indonesia. 38 Berdasarkan penelitian awal penulis, secara teoretis program Sekolah Bertaraf Internasional di Indonesia menggunakan pendekatan sistem fungsi produksi 39 di mana sekolah menjadi wahana pengolahan input –yang ditetapkan kriterianya – untuk menghasilkan produk yang lebih baik. Dalam hal ini, pemerintah lebih menekankan peningkatan kualitas produk pada beberapa mata pelajaran tertentu, dan bersifat cognitive oriented. 40 Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan apa yang ditawarkan sekolah internasional seperti diungkapkan Pike di atas, yaitu wawasan global yang meliputi isu isu global, mengakui keragaman budaya, prinsip prinsip perdamaian, dan penghargaan akan hak asasi manusia, yang tentu saja jauh lebih luas dibanding sekedar menekankan aspek kognitif semata. Pada titik ini penulis melihat ada kesenjangan yang terjadi dalam konsep internasionalisasi pendidikan secara teoretis, dengan yang tejadi pada tataran praksis. Belum lagi, ketika dihadapkan dengan fakta dualisme pendidikan. Sebagaimana diketahui, di Indonesia, pengelolaan pendidikan berada di bawah 38 Program No. 9; Pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap provinsi kabupaten kota; untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan sekolah bertaraf internasional pada tingkat kabupaten kota melalui kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten kota yang bersangkutan, untuk mengembangkan SD, SMP, SMA dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia. Lihat, Depdiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan asional 200522007, Pusat Informasi dan Humas Depdiknas, 2007, h.26. 39 Fungsi produksi dalam pendidikan biasanya memetakan jumlah input yang terukur pada suatu sekolah dan memetakan karakteristik siswa dengan ukuran output sekolah yang diharapkan. Untuk tujuan empiris, fungsi ini biasanya dianggap bersifat linier. Ia menjelaskan level maksimum hasil yang mungkin dicapai dari kombinasi input yang beragam. Ia menyederhanakan hubungan teknis antara input dan output. Lihat David H. Monk, “The Education production Function: Its Evolving Role in policy Analysis”, Educational Evaluation and policy Analysis, Cornell University: Spring 1989, Vol. 11., No.1, p. 31., Lihat juga http:economics.about.comlibraryglossarybldef education production function.htm diakses pada 23 februari 2009. 40 Hal ini dapat dilihat dari proses penerimaan siswa di SBI dengan tahapan mencakup: 1 seleksi administrasi, meliputi nilai raport SMPMTs minimal 7,5 untuk Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris; Penghargaan prestasi akademik; Sertifikat dari lembaga kursus Bahasa Inggris. 2 Achievement Test, meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dengan skor minimal 7. 3 Test kemampuan bahasa Inggris meliputi reading, listening, writing, dan speaking, dengan skor minimal 7. 4 Lulus test psikologi meliputi minat dan bakat, dan kepribadian. 5 Wawancara siswa dan orang tua. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Panduan Penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional,..... p.21 11 tanggungjawab dua departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Dalam hal pendidikan dasar dan menengah, Depdiknas mengelola SD, SMP, dan SMA, sedangkan Depag mengelola MI, MTs, dan MA. Dualisme pengelolaan pendidikan ini memunculkan asumsi yang beragam di tengah masyarakat, di antaranya adalah adanya anggapan umum bahwa sekolah sekolah di bawah Diknas lebih berkualitas dibanding Madrasah yang dikelola Depag. Madrasah memiliki banyak masalah, tidak relevan dengan kemajuan zaman, dan dipandang tidak mempunyai kekuatan juga tidak berdiri di atas dasar dasar yang kokoh. 41 Penelitian ini mengambil sampel salah satu sekolah dari daftar Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional RSBI yang dirilis Depdiknas, yaitu SMA Labschool Rawamangun. Dan untuk mengukur signifikansi peran program RSBI, dibutuhkan sekolah lain sebagai institusi pembanding, dalam hal ini penulis memilih MAN Insan Cendekia. Kedua sekolah ini menjadi pintu masuk penulis mengkritisi konsep Sekolah Bertaraf Internasional sekaligus membantah anggapan masyarakat, seperti yang diungkapkan Azra, tentang Madrasah. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa tesis dengan judul Internasionalisasi Pendidikan di Indonesia ini sangat urgen dan signifikan untuk dilakukan.

B. Permasalahan