30
sama sekali. Tetapi ia malah menjadikan ajaran-ajaran Ab ū Yazīd sebagai
konsep yang penting untuk diikuti.
81
Sikap toleransi al-Ghaz ālī dipahami oleh Maḥmūd secara lebih
luas. Ma ḥmūd mencoba mengomentari kritikan Qāsim bahwa al-Ghazālī
kurang adil, karena bisa toleransi terhadap para sufi dan tetapi tidak toleransi terhadap para filosof. Ma
ḥmūd menjawab bahwa pada masa muda al-Ghaz
ālī memang demikian, tetapi dengan pertambahan umur, ia menjadi toleran baik kepada sufi maupun filsafat. Hal ini dikemukakan
Ma ḥmūd setelah membaca kitab Fayṣal al-Tafriqah karya al-Ghazālī.
82
Namun, pandangan ini tampaknya berlebihan, karena al-Ghaz ālī hanya
bermaksud toleran kepada para teolog atau para filosof yang mempunyai pandangan berseberangan dengan teologi Sunni, terutama teologi
Mu‘tazilah. Hal ini sebagaimana dikemukakan sebelumnya.
83
Adapun mengenai aspek-aspek yang tidak bisa dikompromikan dengan prinsip
teologi Sunni, al-Ghaz ālī tampak tidak berubah.
Dalam masalah takdir, al-Ghaz ālī juga mencoba menyatukan
konsep Sunni dengan tasawuf. Ia mengatakan bahwa penisbahan al- mash
ī’ah kehendak dan al-kasab usaha kepada makhluk, maka terjerumus kepada teologi Qadar
īyah. Adapun penafian terhadap kedua hal tersebut merupakan Jabar
īyah. Teologi yang benar menurut al-Ghazālī adalah menisbahkan al-mash
ī’ah kepada Allah dan al-kasab kepada makhluk. Ia menyebut teologi ini dengan akidah seorang sunni dan sufi
yang lurus sunn ī ṣūfī rashīd.
84
B. Tasawuf “Falsafi”
Penamaan ini termasuk teori baru yang tidak ditemui di kalangan sejarawan Muslim klasik. Sebagai contoh, Ibn Khald
ūn 808 H. filosof historis yang terkenal dengan konsep evolusi sejarah, hanya menyebut
kelompok tasawuf dalam kategori ini dengan mazhab ahl al-tajall ī wa-al-
ma ẓāhir wa-al-had}ārāt kelompok yang meyakini menifestasi Tuhan.
Ia membedakan dengan kelompok sufi yang menafikan wujud selain Allah secara mutlak. Kelompok kedua disebut sebagai mazhab yang lebih
ganjil ra’y aghrab dari yang pertama.
85
Tetapi kategorisasi Ibn Khald ūn
81
Al-Ghaz ālī, Rawd}at al-T{ālibīn Beirut: Dār al-Kutub, 2006, 8.
82
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 238.
83
Al-Ghaz ālī, Fays{al al-Tafriqah Beirut: Dār al-Kutub, 2006, 98-99.
84
Al-Ghaz ālī, Rawd}at al-T{ālibīn, 6.
85
Ibn Khald ūn, Tārīkh Ibn Khaldūn, Beirut: Dār al-Turāth al-‘Arabī, I471, ia
menyebutkan bahwa ahl al-nazhr teolog dan filosof tidak sanggup untuk
31
tersebut memang membuka celah untuk melahirkan dikotomi terhadap tasawuf.
Adapun kategorisasi tasawuf falsafi tampak baru muncul di awal abad keduapuluhan. Dalam hal ini, Ibr
āhīm Hilāl yang cenderung kepada pengelompokan tasawuf kepada corak Sunni dan falsafi, merumuskan
bahwa tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang dipengaruhi konsep ishr
āqī iluminasi al-Fārābī. Hilāl menegaskan bahwa konsep ishrāqī tersebut mempunyai peran besar dalam melahirkan konsep ma‘rifah
pengenalan kepada Allah pada ranah kesufian. Ia cenderung berpendapat demikian karena menilai hasil dari konsep ma‘rifah di
kalangan sufi falsafi tidak jauh berbeda dengan para filosof itu sendiri. Hal ini sangat kental, ungkap Hil
āl, jika dilakukan komparatif antara beberapa konsep tertentu dari dua ranah tersebut, maka akan ditemukan
banyak persamaan. Ia menyontohkan kesamaan tersebut ketika dilakukan kajian komparatif terhadap interpretasi konsep wal
āyah kewalian, nubuwwah
kenabian, wahyu, mukjizat, dan keramat para wali.
86
Tokoh-tokoh pada periode awal yang dikategorikan penganut tasawuf falsafi antara lain Ab
ū Yazīd al-Bust{amī. Ia dikenal dengan konsep fan
ā’ yang mengantarkannya kepada ittiḥād. Ia berpandangan bahwa penyatuan dengan Allah merupakan sebuah totalitas. Pada tahapan
tersebut yang menyintai mu ḥibb dan yang dicintai maḥbub telah
menjadi satu. Adapun al-
ḥallāj pada periode pertengahan dianggap sebagai penggagas konsep
ḥulūl inkarnasi. Namun tampaknya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan juga banyak
ungkapan al- ḥallāj yang menunjukkan konsep ḥulūl. Oleh karena itu,
Ma ḥmūd menggandengkan mazhab ḥulūl al-Fārābī dengan al-ḥallāj.
87
Konsep tersebutlah kemudian yang mengantarkannya kepada hukuman mati, yang tak terlepas dari tendensi politik atau teologi.
Pembicaraan tasawuf falsafi tidak menarik jika tidak menampilkan al-Suhraward
ī 587 H. yang bernasib tidak jauh berbeda dengan al-ḥallāj.
memikirkannya, karena kerumitan yang terdapat di dalamnya; Ibn Khald ūn,
Muqaddimah Kairo: D
ār Ibn al-Haytsam, 2005, 395.
86
Ibr āhīm Hilal, Tas{awwuf bayn al-Dīn wa Falsafat Kairo: Dār al-Nahd}ah,
1979, 33. Tampaknya teori ini diikuti oleh banyak penulis lainnya. Ini terlihat M. Jalal Sharf peneliti filsafat dan tasawuf di Alexandaria yang menggunakan padangan tersebut
untuk menilai al-Harith al-Muh{ āsibī sebagai pengasas tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni
diartikannya sebagai tasawuf yang dibangun berdasarkan ajaran al-Qur’an, Sunnah. Lihat M. Jalal Sharf, al-Ta
ṣawwuf al-Islamī fī Madrasat al-Baghdād Alexandaria: Dār al-Mat{ba‘at al-J
āmi‘ah, 1972, 167.
87
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 327.
32
Inilah yang menyebabkan ia digelari dengan al-maqt ūl yang dihukum
mati. Ia dikenal dengan konsep tasawuf ishr āqī di kalangan sejarawan.
Tidak seperti tokoh-tokoh lain, ia merupakan tokoh yang terang-terangan menegaskan bahwa ajarannya tentang al-anw
ār cahaya telah pernah digagas oleh Plato, Hermes sampai para filosof pada zaman
Ampadokles.
88
Hil āl menilai bahwa tasawuf yang dikemukakan al-
Suhraward ī sangat mirip denga konsep filosofis yang dikembangkan al-
F ārābī dan Ibn Sina. Tetapi Hilāl mengakui, bahwa al-Suhrawardī
ternyata masih menilai cacat konsep kedua tokoh tersebut, karena mereka kering dari pendekatan intuisi dhawq.
89
Ketika al-F ārābī menyebutkan
terori ilmuniasi kepada sembilan tingkatan, dan Ibn Sina kepada sepuluh tingkatan, maka al-Suhraward
ī mengatakan bahwa tingkatan tersebut tidak hanya terbatas pada bilangan tersebut. Namun, iluminasi al-anw
ār pada hierarki Akal akan berlanjut lebih banyak dari sepuluh, dua puluh,
ratusan, bahkan tak terhingga.
90
Tampaknya konsep ini mendekati pemahaman Ibn Taym
īyah yang keberatan dengan pembatasan al-Fārābī dan Ibn S
īnā. Ibn Taymīyah mengatakan bahwa akal yang sepuluh atau sembilan tersebut terdapat di langit tiada lain adalah para malaikat di
dalam term agama. Namun Ibn Taym īyah menjawab dengan selingan
berbagai ayat al-Quran bahwa jumlah mereka tidak diketahui kecuali oleh Allah. Para malaikat dalam Islam adalah para utusan Allah, mereka
diperintahkan mentadbir langit, dan lain sebagainya.
91
Tetapi tampaknya, al-Suhraward ī pun tak luput dari objek
kritikan Ibn Taym īyah yang menilai bahwa konsep iluminasi dan
kausalitas dalam konsep heirarki akal dan jiwa merupakan ungkapan lain dari tawallud lahiranak terhadap Allah. Konsep heirarki menerapkan
bahwa akal dan jiwa yang mereka anggap sebagai malaikat merupakan kausalitas dari Allah. Allah adalah sumber segala ma‘l
ūlāt hasil dari sebab akibat.
92
Menurut Ibn Taym īyah, Allah tidaklah membutuhkan
sebab tawallud al-ma‘l ūl ketika menciptakan segala sesuatu, tetapi jika
Dia berkehendak hanya dengan mengatakan kun terjadilah.
93
Kritikan ini menunjukkan ketimpangan dari pemahaman Ibn Taym
īyah itu sendiri.
88
Al-Suhraward ī, ḥikmat al-Ishrāq Teheran: Mishkāt ‘Ulūm Insānī, 1373 H.,
11. Hilal dalam Tas{awwuf, 103.
89
Ibr āhīm Hilal, Tas{awwuf, 103.
90
Ibr āhīm Hilal, Tas{awwuf, 103.
91
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwā Riyād}: Majma‘ al-Malik Fahd, 1995, v. 4
h. 119.
92
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwā, v. 4 h. 127.
93
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwā, v. 4 h. 128.
33
Ini dikarenakan filosof-filosof Muslim tersebut tidak pernah meyakini proses tawallud pada zat Allah.
Sufi Teolog
Istilah ini memang tidak biasa digunakan. Tetapi bukan berarti hal ini baru disadari dan ditemukan. Beberapa peneliti tasawuf kontemporer
seperti Alexander Knysh tampak mulai membaca indikasi ini, walaupun ia tidak mengemukakan istilah ini. Ia hanya sampai mengatakan ‘teologi
sufi dalam perspektif usaha mendamaikan keduanya atau salah satunya memanfaatkan yang lain. Ia menyebutkan bahwa al-Ghaz
ālī memperkuat atau menyegarkan Islam Sunni dengan menggabungkannya dengan
beberapa dasar tasawuf. Ini berbeda dengan pengikut Ibn ‘Arab ī yang
ingin mempertahankan keyakinan mereka. Mereka berusaha menampilkan ayat atau hadis yang memperkuat asumsi bahwa tasawuf
mempunyai dasar dalam Islam.
94
Hal ini dikarenakan teori-teori tasawuf Ibn ‘Arab ī 638 H.
mulai diperdebatkan dikalangan teolog. Ia memang lebih dikenal sebagai tokoh yang mengusung ajaran wa
ḥdat al-wujūd,
95
walaupun term tersebut sebagaimana diakui Wiliam Chittick tidak ditemukan dalam karyanya.
96
Claude Addas –penulis yang sangat detail menulis tentang tokoh ini, mengakui bahwa tema wuj
ūd memang problematis dalam karya Ibn ‘Arab
ī. Ia mensinyalir peran ṣadr al-Dīn al-Qūnawī dalam mempopulerken istilah ini ketika mensistematikakan ajaran gurunya; Ibn
‘Arab ī
97
. Di sisi lain, penisbahan konsep ini kepada Ibn ‘Arab ī juga
dikarenakan ‘jasa’ Ibn Taym īyah yang mengritisi secara tajam. Tetapi
ambiguitas pemahaman Ibn Taym īyah tampak sangat mencolok ketika
menyamakan menyamakan konsep wa ḥdat al-wujūd Ibn ‘Arabī dengan
ḥulul dan ittiḥād. Berdasarkan penyamaan ini ia menilai Ibn ‘Arabī sebagai penganut ateisme ahl al-il
ḥād. Sikap serupa juga diikuti oleh
94
Alexander Knysh, Ibn ‘Arabi in the Later Islamic Tradition New York: Sunny Press, 1999, 52-53.
95
Ibn Taym īyah menilai bahwa hanya ada satu eksistensi dalam pandangan Ibn
‘Arabi. Eksistensi tersebut adalah W ājib al-wujūd, yaitu Tuhan, yang merupakan
substansi ‘ayn mumkin al-wuj ūd yaitu alam. Ibn Taymīyah bahkan mengeneralisir
bahwa dalam pandangan Ibn ‘Arab ī eksistensi alam semesta merupakan substansi
Tuhan. Ibn Taym īyah, Majmū‘, v. 2 h. 112.
96
William C. Chittick, T{he Sufi Path of Sufi New York: State University of New York Press, 1989, 78.
97
Claude Addas, Quest, 208 dan 232.
34
Ibn al-Qayyim. Ia menegaskan bahwa kelompok penganut itti ḥād
merupakan kaum sufi yang berpaham wa ḥdat al-wujūd.
98
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, maka ditemukan untuk sementara bahwa konsep ini pernah diungkapkan oleh Ibn Sab‘
īn 613- 669 H.. Ia menjadikan ungkapan wa
ḥdat al-wujūd sebagai terjemahan dari wuj
ūd al-waḥdah al-muṭlaqah.
99
Tetapi ‘Al ī ‘Abd al-Jalīl –seorang
peneliti Ibn ‘Arab ī di Mesir- tidak pernah menyebutkan tokoh Ibn Sab‘īn
sebagai orang yang mempopulerkan konsep ini. Malah ia memberikan asumsi yang jauh, bahwa walaupun Ibn ‘Arab
ī populer dengan konsep tersebut, tetapi pemikiran tersebut telah ada sebelum Islam. Bahkan,
untuk konteks Ibn ‘Arab ī, ‘Alī menyebutkannya berasal dari pengaruh Ibn
Rushd. Ia mencoba ‘memaksakan’ bahwa Ibn Rushd berteman dengan Ibn
ṭufayl yang mengarang kisah ḥayy bin Yaqẓān. Di dalamnya tersirat ajaran wahdat al-wuj
ūd.
100
Di samping itu, Ibr āhīm Hilal dan ‘Abd al-Rahmān ḥasan
Ma ḥmūd dari Kairo terlihat sangat keberatan dengan tuduhan tersebut.
101
Hil āl, misalnya, mengemukakan bahwa sebenarnya Ibn ‘Arabī
menolak penyamaan substansi antara Tuhan dan alam. Hilal menemukan bahwa Ibn ‘Arab
ī malah sangat kuat menekankan aspek kehambaan, terutama bagi seorang s
ālik yang telah mencapai martabat insān kamil.
102
Dalam pengamatan penulis, Ibn ‘Arab ī menegaskan kalimat, “Tuhan
adalah Tuhan, sedangkan hamba tetaplah hamba” minimal sebanyak
lima kali di dalam al-Fut ūḥāt al-Makkīyah.
103
Ortodoksi Ibn ‘Arab ī dalam masalah ilmu kalam sangat jelas
terlihat dalam permulaan al-Fut ūḥāt. Ia menyebutkan hierarki teologis
berdasarkan tingkatan wawasan dan spiritual seseorang. Dalam hal ini, ia
98
Ibn al-Qayyim, al-S{aw ā‘iq al-Muh{arriqah Riyād}: Dār al-‘Ās{imah,
1998, v. 2 h. 791.
99
Ibn Sab‘ īn, Risālat al-Iḥāṭah dari Rasā’il Ibn Sab‘īn tahqiq: A}hmad Farīd al-
Maz īdī Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 211; Ibn Sab‘īn, Risālat al-Naṣīḥah aw al-
N ūrīyah, 247; Ibn Sab‘īn, Risālah, 346.
100
‘Al ī ‘Abd al-Jalīl, al-Rawḥīyah ‘inda Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabi Kairo: Dār
al-Nahd}ah al-Mi ṣrīyah, t.t, 462-463.
101
Ibr āhīm Hilal, al-Taṣawwuf, 141; ‘Abd al-Rahmān ḥasan Maḥmūd ed.,
“Taqd īm” dalam Ibn ‘Arabī, Tanbīhāt ‘alá ‘Ulūm al-ḥaqīqah al-Mu}ammadīyah al-
‘Al īyah, Kairo: Maktabat ‘Alam al-Fikr, 1986, 14. tokoh terakhir ini merupakan
peneliti yang tergolong banyak melakukan kajian filologis terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi.
102
Ibr āhīm Hilal, al-Taṣawwuf, 141.
103
Ibn ‘Arabi mengatakan
ﺏﺭﻟﺎﻓ ﺏﺭ
ﺩﺑﻌﻟﺍﻭ ﺩﺑﻋ
ﻼﻓ ﻁﻟﺎﻐﺗ
ﻻﻭ ﻁﻟﺎﺧﺗ
, Ibn ‘Arabi, al-Futuh{
āt al-Makkiyah, bab 351. selain itu terdapat ungkapan yang mirip pada bab 22, bab 558, bab 559 sebanyak dua kali.
35
menawarkan empat tingkatan teologi, pertama adalah akidah ‘aww ām
awam. Akidah awam merupakan representasi Ibn ‘Arab ī sebagai
seorang Sunni. Ia menjelaskan bahwa akidah bukanlah sia-sia karena mereka tidak menempuh metode penakwilan sebagaimana ahli kalam.
104
Ia menegaskan persaksian bahwa akidah awam adalah akidah yang ia anut.
105
Kedua adalah ahl al-rus ūm yang menunjukkan akidah Ibn
‘Arab ī berdasarkan premis-premis teologis yang tiada lain adalah
bangunan pemikiran Ash‘ar īyah dan Maturidīyah. Ibn ‘Arabī lebih
menyukai pendekatan diskursif dalam mengritisi penyimpangan pemikiran daripada menggunakan kekerasan. Tujuan para teolog adalah
untuk mematahkan argumentasi musuh Islam dan menjaga kemurnian teologi awam.
106
Dalam hal ini, Claude Addas menilai bahwa Ibn ‘Arab ī
mencoba mengembangkan spekulasi teologis dengan meminjam beberapa aspek dari filsafat.
107
Ketiga adalah akidah al-ikhti ṣāṣ yang menunjukkan
tarik-menarik antara teologi Ash‘ar īyah dan sufi. Ia menyebutnya dengan
ungkapan akida antara pemikiran dan intuisi. Keempat adalah akidah al- Khull
āṣah yang merepresentasikan puncak pencapaian para sufi. Akidah inilah yang ia jelaskan hampir dalam semua bab pada kitab al-Fut
ūḥāt.
108
Ini berbeda dengan Ibn Sab‘ īn yang memang mencoba mengambil jarak
dari mutakallim īn ahli kalam. Ia terlihat tidak mau berkompromi
sebagaimana Ibn ‘Arab ī.
109
Penegasan Ibn ‘Arab ī mengenai ini mengindikasikan bahwa
kitab tersebut sebenarnya tidak lepas dari pembicaraan tentang konsep akidah, baik berupa penjelasan kaidah berpikir, kritik teologis, maupun
serangan terhadap sebagian aspek filsafat dan tasawuf yang dianggapnya menyimpang.
Adapun pandangan Ibn ‘Arab ī mengenai al-Ghazālī juga perlu
diperhatikan. Tampak bahwa tidak terjadi ‘bias’ dalam pemikiran Ibn ‘Arab
ī terhadap pandangan al-Ghazālī. Ibn ‘Arabī termasuk orang yang melakukan pembelaan terhadap al-Ghaz
ālī, sehingga menyebutnya
104
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūh{āt al-Makkiyah, I59.
105
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūh{āt al-Makkiyah, I65.
106
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūh{āt al-Makkiyah, I60. Ian Almond, Sufism and
Deconstruction London and New York: Routledje, 2004, 10.
107
Claude Addas, Quest for the Red Sulphur; The Life of Ibn ‘Arabi Cambrigde: The Islamic Texts Society, 1993, 105. Adapun‘Ali ‘Abd al-Jal
īl menilai bahwa Ibn ‘Arab
ī memang lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, Ali ‘Abd al- Jal
īl, al-Rawḥīyah, 444.
108
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūh{āt al-Makkiyah, I65.
109
Ibn Sab‘ īn, Risālat Budd al-‘Ārif, 301.
36
sebagai ṣāḥib al-kashf ahli kasyaf atau aṣḥābunā sahabat kita dari
kalangan sufi. Ibn ‘Arab ī menyebut al-Ghazālī lebih dari 18 kali dalam
kitabnya al-Fut ūḥāt sebagai tokoh yang cenderung ia bela dan terima
konsep pemikirannya. Adapun sanggahannya terhadap ḥujjat al-Islām,
ditujukan pada isi kitab Mad}n ūn ‘alá Ghayr Ahlihi. Hal ini karena al-
Ghaz ālī mencoba memahami Allah melalui pendekatan logika.
110
Besar kemungkinan kitab tersebut dikarang al-Ghaz
ālī sebelum menjadi sufi. Sedangkan, di dalam Fu
ṣūṣ al-ḥikam ia merasa keberatan dengan pandangan teologi al-Ghaz
ālī yang berpendapat bahwa Allah bisa dikenal tanpa memikirkan alam semesta.
111
Dua kritikan ini terkesan kontradiktif, tetapi hal tersebut merupakan bukti bahwa Ibn ‘Arab
ī sangat tertarik pada permasalahan teologi.
Namun demikian, ketokohan al-Ghaz ālī terlihat berpengaruh pada
pemikiran teologis Ibn ‘Arab ī. Hal menarik dari sikap Ibn ‘Arabī
dalam hal ini adalah ketika memandang al-Ghaz ālī bukan sebagai seorang
tokoh Ash‘ar īyah semata, tetapi sebagai pembangun teologi sufi. Ide-ide
al-Ghaz ālī sangat berpengaruh pada ‘Arabī dalam beberapa tema teologi,
di antaranya mengenai konsep tajs īm dan tanzīh, kritikan terhadap
kelompok kebatinan, dan kenabian. Dalam tema-tema kesufian, Ibn ‘Arab
ī sering mengutip dan mengembangkan pandangan al-Ghazālī, seperti pembahasan mengenai maq
ām ḥayrah, zuhud, penciptaan Adam dan kontemplasi. Adapun pembacaannya terhadap karya al-Ghaz
ālī seperti I
ḥyā pernah dilakukannya ketika di Makkah melalui bimbingan Mu
ḥammad bin Khālid al-ṣadafī al-Tilimsāni.
112
Selain al-Ghaz ālī, karya-karya al-Juwaynī dan al-Isfaraynī yang
berteologi Ash‘ar īyah juga tampak mempengaruhi Ibn ‘Arabī.
Pembacaan terhadap karya-karya tersebut bisa dipastikan pernah dilakukan Ibn ‘Arab
ī, karena teologi Ash‘arīyah merupakan aliran yang paling populer di Andalusia pada saat itu dan karya-karya mereka
merupakan rujukan utama dalam teologi Ash‘ar īyah.
113
110
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūh{āt, v. 6 h. 248.
111
Ibn ‘Arabi, Fus{ ūs{ al-H{}ikam Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmīyah, 2003
h. 67.
112
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūh{āt, VIII386. Claude hanya menyebutkan terjadinya
hubungan antara mereka berdua, tetapi tidak menyebutkan materi yang diperoleh Ibn ‘Arab
ī, Claude Addas, Quest, 214. Alexander Knysh menyebutkan bahwa justru Ibn ‘Arabi adalah salah satu tokoh yang melanjutkan formulasi komprehensif terhadap
teologi sufi yang telah dibangun al-Ghaz ālī. Alexander Knysh, Ibn‘Arabī in the Later
Tradition, 52.
113
Claude Addas, Quest, 103.
37
Selain persoalan teologi, konsep tasawuf falsafi Ibn ‘Arab ī
yang disoroti adalah ins ān kāmil sebagaimana disinggung pada
pembahasan eksistensi hamba sebelumnya. Ibn ‘Arab ī pertama kali
menyebut kata ins ān kāmil di dalam kitabnya Fuṣūṣ al-ḥikam pada
mutiara hikmah ilahiyah kata Adamiyah. Ini menunjukan bahwa ia telah menyebutkan kata ins
ān kāmil pada awal pembahasan. Ibn ‘Arab
ī menisbahkan kata ini kepada Nabi Adam ketika diangkat menjadi khalifah. Alam semesta menjadi sempurna dengan
keberadaan khalifah. Alasannya, lanjut Ibn ‘Arab ī, karena seorang
khalifah menjadi pemelihara ḥafīẓ ciptaan Allah sebagaimana ia
memelihara khatm al-khaz ā’in cincin perbendaharaan sebagai simbol
kekuasaan. Perbendaharaan atau kekuasaan tersebut senantiasa tertutup dan tidak ada seorang pun yang bisa membukanya, kecuali dengan izin
dari Allah. Adapun seorang khalifah menggantikan Allah dalam memelihara alam, sehingga senantiasa terjaga selama seorang khalifah
yang telah menjadi ins
ān kāmil berada di dalamnya.
114
Kemudian, Ibn ‘Arab ī menyebutkan bahwa tidak sah
kekhalifahan dalam artian ini kecuali bagi ins ān kāmil. Ini dikarenakan
pada ins ān kāmil telah terhimpun dua ṣūrah citra, yaitu ṣūrah alam dan
ṣūrah Tuhan. Ia menyebutkan bahwa dua ṣūrah tersebut ibarat yad kekuasaan Tuhan. Menariknya, Ibn ‘Arab
ī menyebutkan, bahwa penyebab Iblis tidak tergolong ins
ān kāmil dikarenakan ia hanyalah salah satu bagian dari alam, sedangkan alam adalah bagian dari Adam.
Sehingga, tidak terhimpun pada Iblis dua ṣurah.
115
Lebih lanjut, Ibn ‘Arab ī menjelaskan bahwa insān kāmil
muncul dalam bentuk zahir sebagai jasad manusia, dan dalam bentuk batin sebagai citra Tuhan.
116
Must{af ā bin Sulaymān Bālī memberikan
komentar bahwa yang dimaksud dengan citra Tuhan adalah nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh karena itu, tegas Must{af
ā bin Sulaymān, jika Ibn ‘Arab
ī menyebutkan huwa fī kull mawjūd, maka bukan bermakna bahwa Allah
ḥulūl menempati dan ḥulūl bersatu dengan alam.
117
Komentar ini sangat penting sekali, karena kebanyakan orang menilai, ketika Ibn ‘Arab
ī mengatakan tajallī” Tuhan pada alam, dalam artian ḥulūl dan ḥulūl. Padahal, Ibn ‘Arabī sendiri telah menolak konsep ḥulūl di
114
Ibn ‘Arabi, Fus{ ūs{ al-H{ikam diterbitkan bersamaan dengan Sharḥ}
Must{af ā bin Sulaymān Bālīzādeh Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2003, 27.
115
Ibn ‘Arabi, Fus{ ūs{ al-H{ikam, 36.
116
Ibn ‘Arabi, Fus{ ūs{ al-H{ikam, 36.
117
Must{af ā bin Sulaymān Bālī, Sharḥ{ Fus{ūs{ al-H{ikam Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilm īyah, 2003, 36.
38
dalam kitabnya R ūh al-Quds.
118
Penolakan tersebut menunjukkan bahwa Ibn ‘Arab
ī sepakat untuk tidak mengembangkan konsep kesufian yang terpisah dan bertentangan dengan prinsip teologi.
Kembali kepada ins ān kāmil, jika kita telusuri karya agung Ibn
‘Arab ī maka kita tidak akan banyak menemukan kata insān kāmil.
Namun, Ibn ‘Arab ī biasa menggunakan ungkapan qut{b poros. Bagi Ibn
‘Arab ī, qut{b tersebut hanya ada satu semenjak Allah menciptakannya,
dan tidak akan pernah mati. Dia adalah ruh Nabi Muhammad Saw yang sebelumnya berlangsung pada sekalian Nabi dan Rasul.
119
Ibn ‘Arab ī
berpiijak pada hadis Nabi Saw, Aku telah menjadi Nabi, sedangkan Adam masih dalam berupa antara air dan tanah
.
120
Selain itu, Ibn ‘Arab ī juga tidak lupa menyebutkan bahwa di
setiap zaman ada qut{b-qut{b, terutama setelah wafat jasad Nabi Muhammad Saw. Di antara mereka ada yang bertugas memelihara hukum
kerasulan seperti ulama dari kalangan sahabat, tabi‘in, seperti al-Tsawr ī,
Ibn ‘Uyaynah, Ibn S īrīn, dan lainnya. Ada di antara mereka yang
memelihara ahw āl dan asrār kenabian, seperti ‘Alī, Ibn ‘Abbās, Salmān,
Ab ū Hurayrah, dan lainnya.
121
Lebih dari itu, Ibn ‘Arab ī memberikan
dua kategori manusia, ins ān kāmil dan insān ḥayawān. Insān kāmil
merupakan wakil Tuhan yang mengenal Allah dengan mush āhadah dan
kashf . Sedangkan, ins
ān ḥayawān mengenal Allah dengan akalnya setelah menggunakan sarana-sarana pikiran.
122
Berdasarkan kajian di atas, terlihat bahwa kategorisasi tasawuf Falsafi tidak serta merta membatasi penelitian lainnya untuk
mengungkapkan aspek ortodoksi pada seorang tokoh sufi yang dianggap peneliti sebelumnya sebagai tokoh tasawuf Falsafi. Begitu juga
sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan bahwa tokoh sufi yang diklaim sebagai tasawuf Sunni mempunyai pandangan filosofis yang sama,
bahkan lebih maju dari tokoh falsafi lainnya.
Hal ini terlihat dari ketokohan al-Ghaz ālī yang sering diklaim
sebagai tokoh tasawuf Sunni atau Akhlaqi, yang terkesan hanya membicarakan masalah moral. Namun setelah dilakukan kajian terhadap
karangannya, ditemukan pemikiran filosofis yang sangat kental seperti
118
Ibn ‘Arabi, R ūḥ al-Quds Damaskus: Muassasat al-‘Ilm, 1963, 55.
119
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūhāt al-Makkīyah Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah,
2006, I231.
120
Hadis di atas diriwayatkan oleh al- ḥākim, al-Mustadrak Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilm īyah, 1990, v. 5 h. 665.
121
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūh{āt, v. 1 h. 231.
122
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūh{āt, v. 5 h. 416.
39
terdapat dalam Mishk āt al-Anwār, Ma‘ārij al-Quds, al-Risālah al-
Ladun īyah, dan lainnya. Begitu juga sebaliknya, Ibn ‘Arabī terlihat
sangat berkompeten ketika membicarakan persoalan teologi Sunni dan moral yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah di dalam al-Fut
ūḥāt. Ibn ‘Arab
ī juga melakukan pembelaan terhadap al-Ghazālī dalam beberapa kesempatan sebagaimana disebutkan di atas.
C. Tasawuf Sebagai Firqah atau Bagian dari Teologi Sunni