12
Kenyataan tersebut merupakan penegasan dari para tokoh sufi itu sendiri mengenai nilai dasar teologi yang menjadi pijakan ajaran kesufian
mereka. Berdasarkan hal itu, aspek akidah yang melahirkan status keimanan seseorang merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan bagi
mereka. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menjelaskan bahwa perbedaan mereka tidaklah serumit dan sepanas sebagaimana
diasumsikan sebelumnya. Justru di antara mereka terjalin ikatan yang kuat bagaikan seorang murshid dengan murid walaupun tidak bertemu di
alam nyata. Ini dikarenakan baik tokoh sufi yang tergolong falsafi maupun sunni sangat menjaga etika terhadap para pendahulu mereka,
apalagi ketika mereka membahas apa yang telah dibahas oleh para pendahulu
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang akan muncul dari kajian ini berkaitan erat dengan permasalahan teologis yang dianut ulama Nusantara klasik.
Ketika banyak asumsi yang dibangun bahwa kalangan Sunni cenderung lebih ortodoks dan kaku, maka akan memunculkan pelbagai teori. Hal ini
terlihat dari pandangan Nicholson yang beranggapan bahwa tidak ada sufi dari kalangan Sunni. Teori ini terkesan banyak mengenyampingkan aspek
historis terhadap perkembangan Sufi di kalangan Sunni. Di antara tokoh- tokoh yang dikategorikan sebagai tasawuf “Sunni” adalah al-Junayd, Ab
ū ṭayyib al-Makkī, al-Qushayri, al-Ghazālī, dan lainnya.
Adapun tasawuf “Falsafi” bukan berarti bahwa tokoh sufi tersebut adalah seorang filosof. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam ketegori ini
adalah seperti Ab ū Yazīd, al-ḥallāj, al-Suhrawadī al-Maqtūl, Ibn Sab‘īn,
Ibn ‘Arab ī, dan Mullā ṣadra ṣadr al-Dīn.
Teori ini tampaknya kontradiktif dengan banyak sosok sufi yang bermunculan dari kalangan Sunni. Bahkan, banyak tokoh Sunni yang
mengembangkan tasawuf teoritis yang biasa disebut dengan tasawuf falsafi. Ketertarikan mereka terhadap hal tersebut tidak menyebabkan
mereka kehilangan status kesunnian dari teologinya. Ini terlihat dari sosok ‘Abd al-
ṣamad al-Palembanī al-Makkī yang dengan terus terang menisbahkan dirinya kepada Ab
ū al-ḥasan al-Ash‘arī pendiri teologi Sunni Ash‘ar
īyah. Di lain pihak, Mull
ā ṣadra terbukti tidak kehilangan identitas teologi Sh
ī‘ah yang menjadi nilai dasar kesufiannya ketika mengikuti pelbagai konsep Ibn ‘Arab
ī. Hal ini terlihat dari ratusan ungkapan Ibn
13
‘Arab ī yang dikutip dan diikutinya, namun identitas Shī‘ah tidak
diabaikannya. Namun, sebagaimana disebutkan Azyumardi Azra, terkesan ada
kontradiksi antara tasawuf Falsafi dan ajaran Sunni terutama teologi Ash‘ar
īyah yang dikembangkan al-Ghazālī 505 H..
34
Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk “mendamaikan” dua konsep tersebut,
sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al- ṣamad. Permasalahan yang muncul
dari teori ini adalah pertanyaan baru apakah ‘Abd al- ṣamad sendiri
merasa bahwa ajaran Ibn ‘Arab ī bertentangan dengan konsep al-Ghazālī,
sehingga ia menulis Sayr al-S ālikīn sebagai terjemahan atau lebih tepat
disebut sebagai saduran Mukhta ṣar Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn al-Ghazālī untuk
mendamaikan kedua konsep tersebut. Ini pertanyaan yang belum terungkap dari teori tersebut.
Di samping itu, Azyumardi Azra juga berpandangan bahwa ‘Abd al-
ṣamad memahami Ibn ‘Arabī melalui pendekatan Ghazalian. Namun ketika membaca karya-karya ‘Abd al-
ṣamad, maka akan timbul asumsi lain bahwa kemungkinan besar ‘Abd al-
ṣamad memahami al-Ghazālī berdasarkan konsep Ibn ‘Arab
ī. Selain itu, Naf
īs al-Banjārī mempunyai teori menarik ketika menghadapi masalah ini. Ia menjelaskan bahwa sebenarnya kesufian,
termasuk tasawuf Ibn ‘Arab ī, dibangun berdasarkan akidah Sunni yang
lurus. Oleh karena itu, ia menilai bahwa tasawuf Falsafi Ibn ‘Arab ī tidak
bertentangan sedikit pun dengan prinsip teologi Sunni. Namun memang diakui, banyak kajian terhadap tokoh utama
tasawuf -al-Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arab ī- yang menilainya sebagai
seorang Sh ī‘ah, atau paling kurang mengidentikkannya dengan ajaran
Sh ī‘ah. Hal ini sangat wajar karena penulis Barat seperti Henri Corbin,
Trimingham, Nicholson, dan lainnya berasumsi bahwa ajaran kewalian Ibn ‘Arab
ī sangat indentik dengan Shī‘ah. Bahkan Trimingham menegaskan bahwa teori kewalian sufi tidak lebih daripada salinan
terhadap ajaran Sh ī‘ah. Oleh karena itu, ketika mendapati kebanyakan
teks Ibn ‘Arab ī banyak berkaitan dengan tema-tema utama kewalian,
maka mereka berkesimpulan bahwa Ibn ‘Arab ī adalah seorang Shī‘ah.
Namun, hipotesa tersebut jauh hari telah ditanggapi oleh al- Sha‘r
ānī yang menemukan bahwa ajaran Ibn ‘Arabī tidak bertentangan dengan teologi Sunni. Justeru al-Shaykh al-Akbar mencapai pemahaman
tertinggi dalam memahami akidah Sunni, sehingga al-Sha‘r ānī
menyebutnya dengan aq īdat al-kabā’ir akidah tokoh-tokoh agung.
34
Azyumardi Azra, Jaringan Islam Nusantara, 337.
14
Berdasarkan hal tersebut, tinjaun teologis terhadap ulama tasawuf Nusantara dengan pendekatan teologi, akan berakibat kepada polemik
teologis yang tarik-menarik dengan teori-teori belakangan ini. 2. Pembatasan Masalah
Penelitian dalam tesis ini lebih menekankan aspek teologis tokoh- tokoh tasawuf Nusantara. Penelitan ini akan mencoba memahami
bagaimana tokoh-tokoh tasawuf Nusantara mengeksplorasi aspek akidah ketika berbicara kesufian dari teks-teks yang mereka tulis. Tokoh
Nusantara tidak hanya tercakup pada wilayah Indonesia saja, tetapi juga mencakup wilayah selain Indonesia, seperti Patani Thailand.
Adapun tokoh-tokoh yang dijadikan objek kajian utama, adalah tokoh-tokoh tasawuf Nusantara abad ketujuh belas sampai kesembilan
belas seperti al-R ānīrī, ‘Abd al-Ra‘ūf al-Jāwī, ‘Abd al-ṣamad al-
Palimb āni.
Hampir semua tokoh Nusantara termasuk sosok yang “setia” terhadap konsep tasawuf Ibn ‘Arab
ī. Namun kajian menarik yang diteliti dari ketokohan mereka adalah sejauh mana konsekuensi teologi Sunni
yang mereka anut berpengaruh terhadap konsep kesufian Ibn ‘Arab ī yang
mereka tempuh.
3. Perumusan Masalah
Kajian ini lebih difokuskan pada tinjauan teologi yang dianut oleh tokoh-tokoh Nusantara. Berdasarkan itu, kajian ini akan berusaha
menjawab, apakah tasawuf yang dikembangkan tokoh-tokoh Nusantara bertentangan dengan konsep teologi Sunni, sehingga diperlukan ada usaha
“pendamaian”? Atau sebaliknya, malah memperkuat kesunnian mereka. C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan secara umum untuk membuktikan bahwa konsep teologi bagi tokoh-tokoh tasawuf sangat berpengaruh pada
kesuksesan pencapaian kualitas spiritual. Di samping itu, akan terungkap bahwa konsep tasawuf perenial menjadi absurd dalam perspektif teologis.
Secara lebih spesifik penulis akan mengungkapkan bahwa konsep teologi bagi pemikir tasawuf Nusantara menjadi nilai dasar dalam
pencapaian spiritual yang luhur. D. Signifikansi Penelitian
15
Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian atau pemikiran lebih lanjut dalam membandingkan aspek tasawuf dari perspektif teologis dan
tasawuf dari aspek ontologis. Dua perspektif ini tampak memang kontradiktif secara literal pada teks-teks tasawuf. Namun penelitian ini
akan memudahkan para peminat tasawuf dalam memahami secara bijak perbedaan dinamis antara aspek teologi tasawuf yang memang
melahirkan ekslusivitas, dan aspek ontologi yang melahirkan tasawuf inklusif dan perenial.
Pemahaman bijak terhadap dua pendekatan tersebut akan menumbuhkan sikap saling pengertian di antara para peneliti tasawuf.
E. Penelitian Dahulu yang Relevan