15
Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian atau pemikiran lebih lanjut dalam membandingkan aspek tasawuf dari perspektif teologis dan
tasawuf dari aspek ontologis. Dua perspektif ini tampak memang kontradiktif secara literal pada teks-teks tasawuf. Namun penelitian ini
akan memudahkan para peminat tasawuf dalam memahami secara bijak perbedaan dinamis antara aspek teologi tasawuf yang memang
melahirkan ekslusivitas, dan aspek ontologi yang melahirkan tasawuf inklusif dan perenial.
Pemahaman bijak terhadap dua pendekatan tersebut akan menumbuhkan sikap saling pengertian di antara para peneliti tasawuf.
E. Penelitian Dahulu yang Relevan
Belum ada kajian khusus yang membahas teologi dan pengaruhnya di Nusantara. Penelitian yang dilakukan kebanyakan
berorientasi kepada konsep tasawuf Ibn ‘Arab ī dan pengaruhnya di
Nusantara. Di antara penelitian tersebut seperti kajian historis yang dilakukan
oleh Azyumardi Azra berjudul, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-17 dan 18”
.
35
Ia meneliti proses transmisi keilmuan Islam melalui jaringan ulama Timur Tengah ke Nusantara. Hal
ini diketahui dengan melacak karangan tokoh-tokoh Nusantara yang pernah belajar di Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah pada
masa itu. Azyumardi Azra mengemukakan bahwa kebanyakan tokoh- tokoh yang menjadi tempat belajar para ulama Nusantara adalah para
penganut ajaran Ibn ‘Arab
ī yang “setia”. Ini terlihat dari tema-tema ajaran yang diajarkan oleh Mu
ṣtafā al-Bakrī, Ahmad al-Qushāshī, Ibr
āhīm al-Kurani, dan lainnya. Mereka merupakan tokoh terdepan yang memberikan pengaruh besar dalam mengembangkan ajaran Ibn ‘Arab
ī bagi para ulama Nusantara yang belajar di sana.
Dalam objek yang lebih khusus, ditemukan karya Abdur Rahim Yunus yang berjudul, “Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di
Kesultanan Buton pada Abad ke-19 ”.
36
Ia menyebutkan dengan pendekatan historis pengaruh ajaran Ibn ‘Arab
ī dalam formulasi Martabat Tujuh di kesultanan Buton. Bahkan, kesultanan Islam tersebut
menjadikan prinsip Martabat Tujuh sebagai dasar pembuatan Undang- undang kesultanan, sehing dikenal dengan Undang-undang Martabat
Tujuh.
35
Diterbitkan di Jakarta oleh Kencana, 2005.
36
Diterbitkan di Jakarta: INIST, 1995.
16
Dengan kajian lebih dekat, Zaim Rais menulis disertasinya yang berjudul The Minangkabau Traditionalist’s Respon to The Modernist
Movement 1994. Disertasi ini membicarakan sikap Kaum Tuo
menghadapi gerakan pembaruan yang dilakukakan Kaum Mudo. Ia mengemukakan bagaimana usaha Kaum Tuo mendamaikan antara adat
dan shariat, sedangkan Kaum Mudo malah menyerang dan mengritisi eksistensi adat. Hal menarik lain yang ditampilkan adalah respon Sheikh
Sa‘ad Mungka terhadap kritikan Ahmad Khatib yang berpandangan bahwa ritual tarekat menyimpang dari prinsip teologis. Namun, Zaim
melakukan penelitian hanya melalui pendekatan sosio historis saja.
Selain itu, pelacakan terhadap corak pemikiran kesufian ulama di Nusantara dilakukan oleh
ṣolihin. Ia menulis Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara.
37
Namun sayangnya, ṣolihin lebih banyak mengemukakan
hasil penelitian orang lain daripada eksperimen terhadap karya tokoh sufi Nusantara secara langsung. Hal ini menyebabkan karya
ṣolihin masih perlu diverifikasi lagi secara empiris.
Karya Ahmadi Isa tampaknya berusaha lebih mengerucut kepada satu tokoh sufi dari Kalimantan Selatan, Nafis al-Banj
ārī. Ia menulis Ajaran Tasawuf Syekh Muhammad Nafis al-Banj
ārī
38
dengan pendekatan tasawuf. Ahmadi mencoba memberikan kontroversi seputar konsep
tasawuf Nafis. Ia terlihat lebih membela Nafis sebagai seorang Sunni. Adapun Wa
ḥdat al-Wujūd Ibn ‘Arabī dan Panteisme
39
karya Kautsar A
ẓari Noer tampak lebih menekankan aspek esoteris dari teks tasawuf Ibn ‘Arab
ī. Dalam hal ini, aspek teologis bukanlah sebagai alat pembaca teks, tapi hanya sebagai instrumen pembantu.
Disertasi Muhammad Wildan Yahya yang berjudul Tasawuf Shekh Abdul Muhyi
2004 yang memfokuskan pokok penelitian mengenai ajaran tasawuf Nusantara yang dikembangkan oleh Abdul Muhyi dengan
naskah-naskah yang terdapat di Pamijahan. Wildan tampaknya sangat kreatif dalam mengorelasikan tokoh tersebut dengan para tokoh sufi lain
di Nusantara pada abad ketujuh belas dan delapan belas. Kajian teologis tampak sangat berperan banyak ketika Wildan membicarakan konsep
sufistik Islam Jawa dan ajaran Abdul Muhyi.
Kajian untuk masa yang lebih kekinian dilakukan oleh Fauzan Saleh dalam karyanya The Development of Islamic Theological Discourse
in Indonesia 2003. Ia membicarakan perkembangan teologis di
37
Diterbitkan di Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
38
Diterbitkan di Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
39
Diterbitkan oleh Paramadina dengan judul Ibn ‘Arabi Wahdat al-Wuj ūd
dalam Perdebatan , Jakarta: 1995.
17
Indonesia sejak awal abad ke-20 sampai akhir abad tersebut. Dalam hal ini, ia lebih menonjolkan konstruksi pro-modernis dalam menyikapi Islam
ortodoks. Kajian ini terkesan mengabaikan kelompok lain yang tidak searah dengan tokoh-tokoh modernis.
F. Metodologi Penelitian