22
Madk ūr menyebut kelompok pertama sebagai tasawuf yang menjaga
Sunnah Sunn īyīn, dan kelompok kedua sebagai tasawuf yang
menyimpang Mubtadi‘ īn.
45
Adapun Ma ḥmūd menyebut term lain,
kelompok pertama sebagai tasawuf ij ābī positif, dan kelompok kedua
sebagai tasawuf salb ī negatif.
46
A. Tasawuf “Sunni”
Sebagaimana disinggung sebelumnya, Tasawuf Sunni sangat identik dengan penjagaan aspek syariah. Ada beberapa istilah lain yang
digunakan untuk menyebut tasawuf Sunni, seperti tasawuf akhlaqi. Walaupun pernah digunakan, tetapi peneliti seperti Madk
ūr, Maḥmūd, dan Hil
āl lebih sering menggunakan term yang pertama. Tasawuf Sunni secara lebih spesifik adalah tasawuf yang berpegang teguh menjaga
kemurnian teologi Ahl al-Sunnah. Hal ini ditegaskan oleh Ma ḥmūd
bahwa tasawuf Sunni sangat ketat dalam menentang penyimpangan teologi. Penyimpangan teologi yang dimaksudkan adalah tasawuf yang
meyakini konsep wa ḥdat al-wujūd.
47
Madk ūr dan Maḥmūd sepakat
bahwa tokoh utama yang menjadi sentral dalam tasawuf Sunni adalah al- Ghaz
ālī 505 H..
48
Dalam hal ini, beberapa penulis lokal juga tertarik menggunakan term ini, seperti Alwi
ṣihab yang menilai bahwa tasawuf Sunni merupakan tasawuf yang berwawasan moral praktis dan
bersandarkan al-Qur’an dan Sunnah.
49
Alwi tampak banyak mengikuti pendekatan yang digunakan oleh Ma
ḥmūd. Pembatasan definisi dari tasawuf Sunni kepada pengertian tersebut tidak selamanya bisa
diterapkan. Ini dikarenakan tokoh tasawuf falsafi seperti Ibn ‘Arab ī,
dalam pengakuannya juga sangat kuat menjaga ortodoksi shari‘ah sebagaimana akan dibahas nanti.
45
Ibr āhīm Madkūr, Fi al-Falsafah al-Islāmīyah, I66.
46
‘Abd al-Q ādir Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 78.
47
‘Abd al-Q ādir Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 157.
48
Mah{m ūd telihat menitik beratkan penyimpangan pada konsep wah{dat al-
wuj ūd yang memaknai tauhid dengan lā mawjūd illá Allāh Tidak ada eksistensi hakiki
melainkan Allah. Al-Ghaz ālī dipandang sebagai penjaga kemurnian spiritual Islam yang
mencapai hakikat dengan syariat, dan menguatkan syariat dengan hakikat. ‘Abd al-Q ādir
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 157. Adapun Madkūr tampak banyak menyinggung
konsep h{ul ūl daripada wah{dat al-wujūd. Dalam hal ini al-Ghazālī sebagai sufi yang
berteolog Sunni banyak mengemukakan kritikannya. Madk ūr, Fī al-Falsafah al-
Islam īyah, 66-67. Pendekatan ini tampaknya lebih mendekati kepada kebenaran historis,
karena al-Ghaz ālī baru dihadapi konsep h{ulūl bukan wah{dat al-wujūd.
49
Alwi Shihab, Islam Sufistik Bandung: Mizan, 2001, 32. Ini merupakan disertasinya berbahasa Arab ketika di Universitas ‘Ayn al-Shams Kairo yang berjudul
al-Ta ṣawwuf al-Islamī wa-Atsaruhu fi Taṣawwuf al-Indūnisī al-Mu‘ās{ir.
23
Terlepas dari hal tersebut, Ma ḥmūd mempunyai pendekatan yang
menarik dalam melirik sejarah tasawuf Sunni. Ia membagi periodesasi tasawuf Sunni kepada tiga generasi, bid
āyāt al-t{arīq periode awal, mutasawassit{
āt al-t{arīq periode tengah, dan nihāyāt al-t{arīq periode akhir.
a. Periode Awal
Adapun pada periode awal, tokoh pertama dari kalangan tasawuf Sunni yang tertarik kepada ilmu Kalam adalah al-Mu
ḥāsibī 243 H..
50
Al-Mu ḥāsibī dianggap sebagai tokoh pertama karena beberapa alasan,
pertama ia dibersarkan dalam komunitas ahl al-sunnah. Hal ini terlihat dari tokoh A
ḥmad bin ḥanbal 242 H. yang semasa dengannya. Adapun kedua, al-Mu
ḥāsibī dihadapi oleh polemik dengan teologi Mu‘tazilah yang bermuatan politis di Baghdad, Ba
ṣrah, dan Kufah. Sejarawan seperti al-Dhahab
ī menyebutkan bahwa al-Muḥāsibī pernah belajar ilmu Kalam kepada Ibn Kull
āb
51
teolog ulung pada masa tersebut yang juga kritis terhadap Mu‘tazilah. Sedangkan ketiga, ia dianggap sebagai penggagas
konsep tasawuf Sunni yang pada periode berikutnya berkembang pesat di tangan al-Ghaz
ālī. Namun demikian, walaupun al-Mu
ḥāsibī semasa dengan Aḥmad bin
ḥanbal, tetapi hubungan mereka berdua tampak kurang harmonis. A
ḥmad mengritisinya dengan keras bahkan melarang pembacān terhadap kitab-kitabnya karena al-Mu
ḥāsibī mempunyai kecenderungan dalam membicarakan permasalahan spiritual. Tetapi kemudian, sebagaimana
dikemukakan al-Dhahab ī, Aḥmad malah tertarik dan kagum dengan
ajaran al-Mu ḥasibī. Ini terlihat dari sikap Aḥmad yang sengaja
50
Al-Sulam ī menyebutkan bahwa-al-ḥārith bin Asad al-Muh{āsibī Abū ‘Abd
All āh adalah ulama sufi yang juga mendalam dalam ilmu zāhir, mu‘āmalāt dan ishārāt.
Ia adalah guru dari ulama Baghdad. Karangannya yang berkaitan dengan tasawuf adalah al-Ri‘
āyah li ḥuqūq Allāh Menjaga Hak-hak Allah. Ia mempunyai riwayat hadis sampai kepada Nabi Saw. dan kata-kata mutiara yang mengugah. Ab
ū ‘Abd al-Raḥmān al-Sulami, T{abaq
āt al-S{ūfīyah, 33.
51
Ibn Kull āb merupakan teolog yang keras menetang wacana Mu‘tazilah yang
cenderung mengatakan bahwa-al-Qur’an adalah makhluq. Ia menjadi guru D āwud al-
ẓahirī, dan diikuti pada periode berikutnya oleh Abū al-ḥasan al-Ash‘arī. Selain itu, ia juga sempat mendengarkan ajaran-ajaran kesufian al-Junayd yang membuatnya kagum.
Al-Dhahab ī tidak mengetahui dengan pasti kapan Ibn Kullab wafat, tetapi ia
memperkirakannya sebelum 240 H. Al-Dhahab ī, Siyar A‘lām al-Nubalā’ Beirut:
Mu’assasah al-Ris ālah, 1993, v. 11 h.175.
24
mengundang al-Mu ḥāsibī untuk mendengarkan ungkapan-ungkapan yang
menyegarkan spiritual.
52
Kecenderungannya kepada tasawuf ternyata tidak membuatnya meninggalkan aspek teologis. Al-Mu
ḥāsibī justeru sangat ketat dalam masalah teologi, sehingga ia mengatakan bahwa tidak berlaku hukum
waris antara dua agama yang berbeda. Agama yang dimaksud oleh al- Mu
ḥāsibī bukanlah agama selain Islam. Konteks pembicaraannya pada saat itu adalah ketika mengritisi ayahnya yang tidak percaya kepada
takdir Qadar īyah. Al-Muḥāsibī bahkan meminta ayahnya untuk
menceraikan ibunya, karena Qadar īyah dinilainya telah mengingkari
prinsip keimanan.
53
Adapun corak tasawuf yang dibangun oleh al-Mu ḥāsibī adalah
orientasi kepada penyucian hati dari penyakit-penyakit rohani, menghindarkan diri dari aktivitas yang negatif, dan kehati-hatian terhadap
tipuan ghur ūr dalam beribadah.
54
Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa al-Mu
ḥāsibī merupakan tokoh tasawuf akhlaqi. Salah satu sebab ia dinamakan al-Mu
ḥāsibī adalah ungkapannya, “Permulaan taat adalah wara‘, permulaan taqwa adalah mu
ḥāsabah instropeksi diri, permulaan mu
ḥāsabah adalah al-khawf takut dan rajā’ harap, sedangkan dua hal tersebut permulaannya adalah mengenal janji baik sorga dan buruk
neraka”.
55
Konsep tasawuf akhlaqi yang dikembangkan al-Mu ḥāsibī
banyak mempengaruhi Dh ū al-Nūn al-Miṣrī
56
245 H., Sirr ī al-Saqtī 257
H., al-Kharr āz 279 H. dan al-Junayd 297 H. yang dikategorikan
Ma ḥmūd kepada periode kedua. Bahkan, konsep tasawufnya juga
mempengaruhi tokoh poros pada masa-masa setelahnya, termasuk al- Ghaz
ālī.
57
b. Periode Kedua
52
Al-Dhahab ī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, v. 11 h. 227.
53
Al-Dhahab ī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, v. 12 h. 11. Abu Nu‘aim, ḥilyat al-
Awliy ā’, v. 10 h. 75.
54
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 176.
55
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 181.
56
Ia adalah Ab ū al-Fayd} Dhū al-Nūn bin Ibrāhīm al-Mis{ri. Ia disebut oleh
Ab ū Nu‘aim sebagai tokoh yang berbicara dengan penuh hikmah dan isharat. Al-Sulamī
menilai bahwa ia adalah orang pertama yang berbicara tentang sistematika maq āmāt dan
a ḥwāl di Mesir. Abū Nu‘aim, ḥilyat al-Awliyā’, v. 4 h. 211. al-Sulami, T{abaqāt al-
S{ ūfīyah, 219.
57
Margaret Smith, Studies in Early Mysticism in The Near and Middle East Oxford: Oneworld, 1995, 225.
25
Pada periode kedua, sebagaimana disebutkan sebelumnya, dimulai dari masa Dh
ū al-Nūn. Namun, tampaknya periodesasi yang digunakan Ma
ḥmūd terlalu dekat. Ini dikarenakan masa wafat Dhū al-Nūn dengan al-Mu
ḥāsibī 243 H. hanya berjarak dua tahun yang menunjukkan bahwa sebenarnya mereka semasa. Oleh karena itu, tokoh yang tepat dijadikan
sentral pada periode kedua tidak dimulai dari Dh ū Nun, tetapi dari Sirrī
al-Saqt{ ī 257 H., al-Kharrāz 279 H. dan al-Junayd 297 H.. Tidak
diketahui secara pasti apa alasan Ma ḥmūd dalam membuat periodesasi
tokoh-tokoh tersebut. Terlepas dari permasalahan tersebut, Dh
ū al-Nūn dikenal sebagai orang yang pertama membicarakan tentang a
ḥwāl dan maqāmāt di Mesir. Begitu juga, Sirr
ī al-Saqt{ī merupakan orang yang melakukannya di Baghdad. Sirr
ī sangat menekankan kemurnian ibadah yang sesuai dengan Sunnah, sehingga ia mengatakan bahwa ibadah yang sedikit tetapi sesuai
dengan Sunnah, lebih baik daripada banyak tetapi bercampur dengan bid‘ah.
58
Hal ini menunjukkan bahwa kesufiannya tidak menyebabkan dirinya mengabaikan aspek ortodoksi syariat.
Sirr ī berpandangan bahwa puncak pencapaian spiritual pada
hakikatnya adalah pentauhidan terhadap Allah semata. Oleh karena itu, ia menyebutkan bahwa ada lima hal pencapaian kepuasan spiritual yaitu
takut khawf, harap raj ā’, cinta ḥubb, dan kejinakan hati uns hanya
kepada Allah semata. Adapun al-Kharr
āz
59
juga termasuk sufi yang menekankan keselarasan antara syariat dan hakikat. Hal ini terlihat dari penegasannya
bahwa segala sesuatu aspek hakikat yang bertentangan dengan zahir syariat adalah sia-sia.
60
Ia banyak membicarakan tentang konsep ma‘rifah dan ma
ḥabbah. Ia berpandangan bahwa cinta Allah kepada Musa adalah setelah menjadikannya mur
ād yang diinginkan setelah menjadi murīd yang menginginkan. Walaupun ia juga berbicara tentang fan
ā’ dan baq
ā’, tetapi Maḥmūd menilai bahwa konsepnya berbeda dengan Abū Yaz
īd al-Bust{āmī 261 H.. Fanā’ dalam konsep al-Kharrāz adalah meleburkan ingatan dari segala sesuatu kepada mengingat Allah di dalam
hati. Hal ini berbeda dengan Ab ū Yazīd, yang dalam penilaian Mamud,
58
Al-Sulam ī, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 32. Margaret Smith, Studies in Early
Mystism, 236.
59
Dia adalah Ah{mad bin ‘Is ā Abū Sa‘īd al-Kharrāz merupakan penduduk asli
Baghdad sebagaimana Sirr ī al-Saqt{ī. Perbedaan mereka adalah sebagaimana dijelaskan
oleh al-Sulami, bahwa-al-Kharr āz merupakan orang pertama yang berbicara tentang
fan ā’ dan baqā’ di Baghdad. al-Sulamī, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 73.
60
Al-Sulam ī, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 74.
26
cenderung kepada fana’ dalam konsep itti ḥād. Hal ini terlihat dari
pandangan al-Kharr āz yang mengatakan bahwa fana’ dari mengingat
segala sesuatu adalah dengan mengaitkan ir ṭibāt{ kepada mengingat
Allah. Ia juga menegaskan bahwa awal dari tanda pencapaian tauhid adalah ketika seseorang keluar dari batas-batas alam, dan
mengembalikannya kepada Zat yang mengendalikannya.
61
Adapun al-Junayd al-Baghd ādī
62
tampak menjadi icon tasawuf moderat di kalangan sejarawan tasawuf. Hal ini terlihat dari
pandangannya yang cukup ketat menjaga aspek ortodoksi syariah. Ia berpandangan bahwa seseorang yang tidak menghafal al-Qur’an dan
menulis hadis maka tidak berhak menjadi penutan dalam disiplin ilmu tasawuf. Hal ini dikarenakan al-Junayd menilai bahwa tasawuf sangat
berkaitan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan al-Junayd memandang kesetiaan seseorang mengikuti Sunnah merupakan kunci kesuksesan
dalam perjalanan spiritual. Ia menegaskan bahwa semua jalan spiritual tertutup kecuali bagi pengikut Sunnah.
63
Tetapi, Ibr āhīm Hilāl terlihat
kurang sepakat dengan pandangan ini. Ia menilai bahwa al-Junayd termasuk sufi yang menggunakan pendekatan falsafi. Hanya saja ia
menilai al-Junayd masih tetap menjaga interpretasi Kitab Suci dengan hukum
ẓāhir.
64
Di samping itu, aspek teologis yang menjadi pijakan sufi juga ditegaskan oleh al-Junayd bahwa substansi tauhid adalah menyucikan
Allah yang qad īm dari sifat makhluk yang baru al-ḥudūts.
65
Al-Junayd memandang bahwa kebebasan hakiki adalah ketika seseorang mencapai
kemurnian tauhid. Hal ini terlihat dari ungkapannya bahwa, “Seorang sufi menjadi bebas ketika ia mentauhidkan Allah dalam ritual”.
66
Substansi tauhid yang menjadi pembicaraan al-Junayd adalah mengembalikan
pengenalan dan penyaksian seorang kepada penyaksian di alam arwah. Ia menegaskan bahwa kemurnian tauhid yang pernah disaksikan setiap
61
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 186.
62
Al-Qushayr ī menyebutnya sebagai sayyid ḥādzihi t{a’ifah pemimpin sufi. Ia
berasal dari Nah āwand namun besar di Irak. Ayahnya adalah penjual kaca. Ia mendalami
fiqh Ab ū Tsawr dan berfatwa dengan maẓab Tsawrī ketika masih umur dua puluhan. Ia
sempat belajar kepada sepupunya, yaitu Sirr ī al-Saqt{ī. Al-Qushayrī, al-Risālah al-
Qushayriyah , 86.
63
Al-Qushayr ī, al-Risālah al-Qushayriyah, 86.
64
Ibr āhīm Hilāl, al-Taṣawwuf al-Islamī bayn al-Dīn wa-al-Falsafah, 54.
65
Al-Qushayr ī, al-Risālah al-Qushayriyah, 22.
66
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 191.
27
orang di alam arwah tidak pernah berubah sama sekali, walaupun ia telah di dunia.
67
Adapun hubungan al-Junayd dengan tokoh-tokoh kontroversi semasanya seperti Ab
ū Yazīd al-Bust{āmī dan al-ḥallāj. Maḥmūd mencatat bahwa sejarawan tasawuf tampak cenderung menilai al-Junayd
kurang menyenangi al- ḥallāj. Adapun sikapnya terhadap Abū Yazīd tidak
terlihat sikap polemik. Berdasarkan pengamatan Ma ḥmūd, ini
dikarenakan kontroversi periwayatan yang berasal dari Ab ū Yazīd.
68
c. Periode Ketiga
Tokoh sentral pada periode ketiga adalah Ab ū ḥāmid al-Ghazālī
505 H.. Ia digelari sebagai ḥujjat al-Islām karena kepiawaiannya
menghadapi teologi-teologi yang berseberangan dengan Sunni. Al- Ghaz
ālī diperselisihkan kedudukannya sebagai seorang sufi, filosof, faqih, atau teolog. Ada kemungkinan semua identitas tersebut menyatu di
dalam dirinya. Hal ini terlihat dari semua disiplin ilmu yang dikuasai dan ditulisnya. Tetapi tidak sedikit yang keberatan dengan penilian ini,
sebagaimana dikemukakan oleh Nicholson. Ia menilai bahwa al-Ghaz ālī
bukanlah seorang sufi karena tidak cenderung kepada konsep Wuj ūdīyah
seperti Ibn ‘Arab ī. Dalam hal ini, Maḥmūd tampaknya tidak sepakat
dengan penilaian Nicholson yang terlihat berlebihan. Justru sebaliknya, Ma
ḥmūd menilai bahwa al-Ghazālī merupakan tokoh sufi yang berusaha menghidupkan kembali pengetahuan dalam
keagamaan. Adapun kecenderungan tasawuf al-Ghaz ālī adalah tasawuf
akhl āqi.
69
Hal menarik yang dilakukakan al-Ghaz ālī adalah menggali
konsep ma‘rifah dengan pendekatan psikologi. Hal ini terlihat dari karangannya al-Ris
ālah al-Ladunīyah. Ia berbicara di dalamnya tentang filsafat ilmu dan proses pencapaian ma‘rifah dengan pendekatan ilmu
kejiwaan. Dari segi nilai suatu ilmu maka al-Ghaz ālī menegaskan bahwa
objek ilmu yang paling mulia dan tinggi adalah Allah Swt. Yang Menciptakan alam semesta. Dengan demikian, ilmu yang mulia adalah
ilmu mengenal-Nya atau Ilmu Tauhid. Bahkan ilmu ini w ājib d}arūrī bagi
setiap orang yang berakal sehat.
70
Adapun konsep al-Ghaz ālī dalam
mengklasifikasikan ilmu, maka secara umum ia membagi ilmu ke dalam dua bagian, yaitu ilmu shari‘at dan ilmu ‘aql
ī. Kebanyakan ilmu shari‘at
67
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 191.
68
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 193.
69
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 199.
70
Al-Ghaz ālī, al-Risālah al-Ladunīyah h. 58.
28
dianggap ilmu ‘aql ī oleh pakarnya, dan sebaliknya kebanyakan ilmu ‘aqlī
dianggap sebagai ilmu syari‘at oleh pakarnya.
71
Lebih lanjut, al-Ghaz ālī membagi ilmu syari‘at ke dalam dua
bagian, pertama u ṣūl bersifat pokok yaitu Ilmu Tauhid yang bersifat
ilmiah. Ilmu ini membahas segala hal yang berhubungan dengan zat Allah seperti sifat qad
īm, sifat fi‘līyah, dan sifat zat.
72
Kedua, ilmu fur ū‘
bersifat cabang yaitu ilmu-ilmu yang bersifat amaliyah. Ilmu ini mencakup tiga hak, yaitu hak Allah, hak hamba, hak jiwa.
73
Kepiawaian al-Ghaz ālī dalam menjelaskan konsep filosofis
hierarki pengetahuan menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya menolak filsafat. Walaupun ia menolak tiga aspek filsafat
74
, namun bukan berarti ia tidak menerima sama sekali. Sikap al-Ghaz
ālī yang kritis terhadap filsafat bukan tidak beralasan kuat. Ia menilai bahwa tiga aspek tersebut
berbenturan kuat dengan prinsip teologi Sunni yang dianutnya. Al- Ghaz
ālī menilai tiga aspek tersebut menyebabkan seseorang melanggar prinsip tauhid, sehingga berujung kepada kekafiran.
75
Adapun selain tiga hal tersebut, maka al-Ghaz
ālī berpandangan bahwa itu tidak menjerumuskan kepada kekufuran. Tetapi mereka minimal mirip dengan
Mu‘tazilah yang dinilainya aliran bid‘ah. Namun, Al-Ghaz ālī sangat
keberatan dalam mengafirkan aliran bid‘ah, sebaliknya ia menentang jika ada yang cenderung menghukumi demikian. Al-Ghaz
ālī memandang bahwa perbedaan Sunni dan Mu‘tazilah hanyalah dalam interpretasi
terhadap kitab suci. Kekeliruan dalam interpretasi tidaklah menyebabkan mereka kafir dalam akidah.
76
Pandangan al-Ghaz ālī mengenai akidah tampak juga menarik.
Berdasarkan prinsip teologi yang ia anut, al-Ghaz ālī membangun afiliasi
tasawuf dengan teologi falsafi. Ia menegaskan bahwa kemurnian teologis tidak didapat dengan metode argumentatif dalam ilmu Kalam dan
spekulasi filsafat. Tetapi kemurnian teologis dicapai dengan pendekatan dhawq
ṣūfī intuisi sufi. Kebenaran yang dicapai secara intuitif melebihi
71
Al-Ghaz ālī, al-Risālah al-Ladunīyah h. 63.
72
Al-Ghaz ālī, al-Risālah al-Ladunīyah h. 63.
73
Al-Ghaz ālī, al-Risālah al-Ladunīyah h. 65.
74
Pertama, pandangan sebagian filosof bahwa alam qad īm. Kedua, ilmu Allah
hanya bersifat partikular juz’ īyat. Ketiga, ketidakpercayaan mereka terhadap
kebangkitan jasad dan pengumpulannya di hari Kiamat. Al-Ghaz ālī, Tahāfut al-
Fal āsifah Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1972, 308. al-Ghazālī, al-Munqidh min al-D}alāl
Beirut: al-Maktabah al-Sha‘b īyah, t.t., 51-52.
75
Al-Ghaz ālī, Tahāfut al-Falāsifah, 307-308.
76
Al-Ghaz ālī, al-Iqtis{ād fi al-I‘tiqād Beirut: Dār al-Fikr, 2007, 178.
29
pencapaian kebenaran rasional.
P76F
77
P
Ma ḥmūd menilai bahwa kecenderungan
al-Ghaz ālī tersebut menyebabkannya melangkah dari pendekatan rasional
manhaj ‘aql ī ke pendekatan praktis manhaj tajarrubī.
P77F
78
P
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa rahasia keilahian tidak akan dicapai kecuali dengan
latihan spiritual yang ia sebut dengan t{ar īq al-irādah. Berdasarkan
aktivitas tersebut seorang sufi membuktikan eksistensi dirinya. Hal ini dinilai oleh Ma
ḥmūd, banyak mempengaruhi filsafat yang dikembangkan Descartes yang mengatakan bahwa dengan berpikir maka seseorang
menjadi ada. Hal ini berbeda dengan pandangan Augustinus bahwa dengan bersalah maka seseorang menjadi ada.
P78F
79
Hal lain yang menarik dari al-Ghaz ālī adalah toleransinya
terhadap pengalaman spiritual yang dianggap kontroversi bagi para ahli fiqh dan teolog lainnya. Hal ini terlihat dari cara al-Ghaz
ālī memahami konsep
ḥulūl al-ḥallāj. Ia menegaskan bahwa ungkapan-ungkapan al- ḥallāj tidak boleh dipahami berdasarkan term teologis yang kaku. Justeru,
pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengomparasikan term teologi dan tasawuf, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami
konsep ḥulūl. Ini dikarenakan, menurut al-Ghazālī, ḥulūl versi al-ḥallāj
309 tidak dapat disamakan dengan konsep ḥulūl dalam kajian teologi.
P79F
80
P
Adapun terhadap Ab ū Yazīd 261 H., al-Ghazālī terlihat tidak mengritisi
77
Ah{mad Amin, ẓuhr al-Islam Beirut: Dār al-Kutub, 1999, v. 3 h. 129.
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 200
78
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 200.
79
Mah{m ūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 201.
80
Al-Ghaz ālī, Mishkat al-Anwar Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1994 h.
11-12. Ia menyatakan: Para ahli ma`rifat sepakat bahwa setelah mencapai langit hakiki, maka mereka tidak akan melihat pada wujud alam melainkan Allah Yang Maha Esa lagi
Maha Benar. Tetapi di antara mereka ada yang mengalami keadaan ini sebagai ma`rifat ilmiyah ‘`irf
ān ilmī, dan ada juga yang mengalaminya sebagai rasa dhawq dan h{al sehingga hilang dari mereka keuniversalan alam semesta. Kemudian mereka larut dalam
keesaan murni Tuhan fard āniyah muhid}d}ah. Pada saat itu, akal mereka hilang
sehingga menjadikan mereka seperti orang yang tercengang. Tidak ada tersisa satu ruang pun untuk mengingat selain Allah, bahkan juga untuk mengingat diri mereka sendiri.
Tidak ada yang tersisa menurut mereka melainkan hanya Allah, sehingga mereka mabuk keras dalam mengendalikan akal. Bahkan di antara mereka ada yang berkata: Akulah
al-H{aqq
Allah. Ada yang yang berkata: Maha suci aku, karena keagunganku. Ada juga yang berkata: Tidak ada satu pun di sorga melainkan Allah. Perkataan orang-
orang yang sedang rindu `ushsh āq dalam keadaan rindu adalah rahasia langsung bukan
menceritakan yuh{k ī. Ketika kemabukan tersebut telah reda dan kesadaran mereka
kembali kepada penguasaan akal sebagai mizan Allah di bumi, maka mereka tahu bahwa keadaan demikian bukanlah hakikat dari ittih{
ād penyatuan tetapi hanya penyerupaan dengan ittih{
ād yang dipahami dalam Ilmu Kalam-pent...
80
al-Ghaz ālī, Mishkāt al-
Anw ār, 11.
30
sama sekali. Tetapi ia malah menjadikan ajaran-ajaran Ab ū Yazīd sebagai
konsep yang penting untuk diikuti.
81
Sikap toleransi al-Ghaz ālī dipahami oleh Maḥmūd secara lebih
luas. Ma ḥmūd mencoba mengomentari kritikan Qāsim bahwa al-Ghazālī
kurang adil, karena bisa toleransi terhadap para sufi dan tetapi tidak toleransi terhadap para filosof. Ma
ḥmūd menjawab bahwa pada masa muda al-Ghaz
ālī memang demikian, tetapi dengan pertambahan umur, ia menjadi toleran baik kepada sufi maupun filsafat. Hal ini dikemukakan
Ma ḥmūd setelah membaca kitab Fayṣal al-Tafriqah karya al-Ghazālī.
82
Namun, pandangan ini tampaknya berlebihan, karena al-Ghaz ālī hanya
bermaksud toleran kepada para teolog atau para filosof yang mempunyai pandangan berseberangan dengan teologi Sunni, terutama teologi
Mu‘tazilah. Hal ini sebagaimana dikemukakan sebelumnya.
83
Adapun mengenai aspek-aspek yang tidak bisa dikompromikan dengan prinsip
teologi Sunni, al-Ghaz ālī tampak tidak berubah.
Dalam masalah takdir, al-Ghaz ālī juga mencoba menyatukan
konsep Sunni dengan tasawuf. Ia mengatakan bahwa penisbahan al- mash
ī’ah kehendak dan al-kasab usaha kepada makhluk, maka terjerumus kepada teologi Qadar
īyah. Adapun penafian terhadap kedua hal tersebut merupakan Jabar
īyah. Teologi yang benar menurut al-Ghazālī adalah menisbahkan al-mash
ī’ah kepada Allah dan al-kasab kepada makhluk. Ia menyebut teologi ini dengan akidah seorang sunni dan sufi
yang lurus sunn ī ṣūfī rashīd.
84
B. Tasawuf “Falsafi”