39
terdapat dalam Mishk āt al-Anwār, Ma‘ārij al-Quds, al-Risālah al-
Ladun īyah, dan lainnya. Begitu juga sebaliknya, Ibn ‘Arabī terlihat
sangat berkompeten ketika membicarakan persoalan teologi Sunni dan moral yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah di dalam al-Fut
ūḥāt. Ibn ‘Arab
ī juga melakukan pembelaan terhadap al-Ghazālī dalam beberapa kesempatan sebagaimana disebutkan di atas.
C. Tasawuf Sebagai Firqah atau Bagian dari Teologi Sunni
Firqah biasa diidentikkan dengan suatu aliran teologis yang
terpisah dari yang lain. Ibn al-Khat{ īb Fakhr al-Rāzi 606 H.1209 M.
yang pernah mengemukakan gagasan pemikirannya mengenai sejarah aliran teologi, lebih cenderung beranggapan tasawuf adalah suatu firqah.
Ia menilai bahwa pendapat yang mengatakan tasawuf bukan sebagai salah satu firqah dalam Islam adalah asumsi yang keliru. Al-R
āzī lebih cenderung menilai tasawuf sebagai gerakan teologis yang berdiri sendiri.
Ini dikarenakan objek ajaran tasawuf adalah mengenal Allah dengan penyucian jiwa ta
ṣfīyah dan memisahkan diri dari belenggu hawa nafsu ‘al
ā’iq al-badanīyah.
123
Al-R āzī memuji ajaran ini, namun bukan berarti
ia sepakat dengan beberapa golongan dalam tasawuf. Berdasarkan hal tersebut, ia mengemukakan enam golongan dalam ajaran tasawuf.
Pertama a ṣḥāb al-‘ādāh yaitu golongan yang menjadikan substansi ajaran
mereka untuk memperindah penampilan ẓahir tazyīn al-ẓāhir. Ini
terlihat dari tradisi menggunakan khirqah kain simbolis dalam pengajaran suatu tarekat sufi. Kedua, a
ṣhāb al-‘ibādah yaitu golongan sufi yang menyibukkan diri mereka dengan kezuhudan, ibadah, dan
meninggalkan kesibukan duniawi. Ketiga, a ṣhāb al-ḥaqīqah yaitu
golongan sufi yang menyibukkan dirinya dengan kontemplasi setelah mereka selesai melaksanakan ibadah wajib. Mereka tidak menyibukkan
diri dengan ibadah sunnah, tetapi lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga hati mereka dari hal-hal yang menghalangi aktivitas berzikir.
Tiga kelompok ini sangat dipuji oleh al-R
āzī.
124
Adapun keempat, a ṣhāb al-nūrīyah yang meyakini bahwa ada dua
hijab pada diri manusia, yaitu n ūrī sifat maḥmūdah dan nārī sifat
madhm ūmah. Kelima, ḥulūlīyah yaitu mereka meyakini terjadi kesatuan
123
Fakhr al-R āzi, I‘tiqād Firaq al-Muslimīn wa-al-Mushrikīn Kairo:
Maktabat al-Kull īyāt al-Azharīyah, 1978, 115. al-Ghazālī mendefinisikan dengan
ungkapan lain, “Tasawuf adalah memfokuskan diri dalam pengabdian, dan menggantungkan hati kepada sifat rubub
īyah ketuhanan”. Al-Ghazālī, Rawd}at al- T{
ālibīn wa-‘Umdat al-Sālikīn Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006, 16.
124
Fakhr al-R āzi, I‘tiqād, 115.
40
baik dalam bentuk ḥulūl maupun ittiḥād, sehingga mereka menyatakan
telah mendapatkan pengalaman spiritual yang menakjubkan. Ajaran ini dihubungkan oleh al-R
āzī dengan ajaran Rāfid}ah yang meyakini bahwa Allah
ḥulūl kepada imam mereka. Bahkan ia menegaskan ajaran ini pertama kali muncul dari golongan R
āfid}ah. Ia memberikan penilaian bahwa ajaran ini dikarenakan mereka tidak mempunyai ilmu ‘aql
īyah ilmu kalam dan mant{iq yang memadai. Keenam, al-mub
āḥīyah yang berpandangan bahwa seorang pecinta Tuhan akan diangkat dari mereka
kewajiban menjalankan syariat. Mereka dinilai oleh al-R āzī beragama
sebagaimana aliran Mazdak īyah dalam agama Thanuwīyah.
P124 F
125
P
Ini berbeda dengan al-Qushayri 465 H. yang menyebut kaum sufi sebagai t{}
ā’ifah kelompok yang tergabung ke dalam aliran teologi Ahl al-Sunnah dan Salaf. Ia beralasan bahwa hal tersebut terbukti dari
penolakan mereka terhadap tamth īl penyerupaan dengan makhluk dan
ta‘t{} īl penegasian pada sifat Allah. Dalam hal ini, Ibn Taymīyah
memuji al-Qushayr ī dan menyepakati penjelasannya.
P125F
126
P
Penegasan ini tampak dikuatkan dari penjelasan al-Ghaz
ālī bahwa prinsip tasawuf adalah makan yang halal, mengikut Nabi Saw dalam akhlaq, perbuatan,
perintah, dan sunnahnya. Al-Ghaz ālī menambahkan bahwa seseorang
yang tidak menghafal al-Qur’an dan menulis hadis berarti tidak mengikuti haluan tasawuf. Ini dikarenakan tasawuf berkaitan erat dengan al-Qur’an
dan Sunnah.
P126F
127
P
Al-Ghaz ālī 505 H. menyebut kaum sufi dengan t{uruq al-sūfīyah
yang menunjukkan makna plural, yaitu jalan-jalan sufi. Penyebutan ini terlihat dari penjelasan al-Ghaz
ālī setelah keluar dari perdebatan kalam, falsafat, dan kebatinan. Ini menunjukkan bahwa al-Ghaz
ālī menyadari bahwa kaum sufi mempunyai metode yang beragam. Ia menyebutkan
bahwa “jalan” kesufian adalah kesempurnaan yang dicapai dengan ilmu dan amal. Semua hal tersebut berorientasi kepada kejernihan jiwa dari
125
Ini merupakan agama yang mirip dengan Majusi. Namun perbedaan mereka adalah mengenai keyakinan bahwa kegelapan
ẓalam. Mereka sepakat mengatakan bahwa cahaya bersifat azali, tetapi majusi menilai kegelapan tidak qadim, sedangkan
Tsanuw īyah meyakininya qadim. Fakhr al-Rāzi, I‘tiqād, 116. T{āhā ‘Abd al-Ra’ūf dan
Must{af ā al-Harawī, al-Murshid al-Amīn Kairo: Maktabat al-Kullīyāt al-Aẓarīyah,
1978, 138.
126
Al-Qushayr ī, Al-Risālah al-Qushayriyah, 22. Ibn Taymīyah mengatakan:
“Ini merupakan perkataan yang benar, karena perkataan para tokoh sufi yang dipercaya oleh umat dengan kejujuran, mereka berada dalam ajaran Salaf dan Ahl al-Sunnah,
terutama dalam hal penolakan tamth īl dan ta‘t{īl.” Ibn Taymīyah, al-Istiqāmah, I91.
127
Al-Ghaz ālī, Rawd}at al-T{ālibīn, 17.
41
hawa nafsu dan sifat yang tercela, serta menghiasinya dengan sifat yang baik dan kontemplasi kepada Allah.
128
Dalam hal ini, ‘Abd al-Q āhir al-Baghdādī 429 H. yang pada
dasarnya sangat ketat –bahkan pada tahap tertentu sangat ekstrim- dalam penerapan konsep-konsep teologi, malah mengategorikan tasawuf sebagai
bagian dari teologi Ahl al-Sunnah. Ia menganggap tasawuf sebagai bagian sebagaimana fiqih dan hadis menjadi bagiannya. Ia sepakat dengan
penukilan ‘Ab
ū ‘Abd al-Raḥmān al-Sulamī yang mengarang T{abaqāt al- ṣūfīyah. ‘Abd al-Qāhir di dalam kitab Uṣūl al-Dīn membenarkan bahwa
semua tokoh yang disebutkan di dalam T{abaq āt merupakan tokoh-tokoh
Sunni yang menjalankan kehidupan sufi, kecuali tiga tokoh. Pertama adalah Ab
ū ḥilmān al-Dimashqī yang dianggap ‘Abd al-Qāhir sebagai penganut ajaran
ḥulūl. Kedua, al-ḥallāj 309 H. yang dianggap ‘Abd al- Q
āhir masih diperdebatkan. Ia mengakui bahwa tokoh sufi seperti Ibn ‘At{
ā’, Ibn Khafīf 347 H.981 M., dan Ibn al-Qāsim al-Naṣr Ābādhī mengakui kewalian al-
ḥallāj. Ketiga, al-Qannād yang dianggap mengikuti ajaran Mu‘tazilah.
129
Adapun di dalam kitab al-Farq bayn al-Firaq, ‘Abd al-Q āhir
dengan tegas mengatakan bahwa penganut ajaran ḥūlūl yang ia sebut
dengan ḥulūlīyah keluar dari Islam sebagaimana akan dijelaskan nanti.
130
Kenyataan ini menunjukkan bahwa para teolog yang disebutkan di atas sepakat bahwa seorang tokoh sufi akan menjadi keluar dari substansi
tasawuf ketika ia mengalami penyimpangan teologis. Berdasarkan pandangan al-R
āzī dan ‘Abd al-Qāhir, penyimpangan tersebut adakalanya dalam bentuk ajaran
ḥulūl dan ittiḥad. Bahkan, tokoh terakhir menambahkan penyimpangan teologis kepada ajaran Mu‘tazilah. Hal ini
mengindikasikan dengan kuat ajaran ḥulūl dan ittiḥād yang dimaksud
adalah dari aspek teologis, karena ‘Abd al-Q āhir menyetarakannya
dengan penyimpangan kepada teologi Mu‘tazilah. D.
Takf īr dalam Teologi Sunni; Vonis atas Penyimpangan Tasawuf
Berdasarkan penjelasan terdahulu, terlihat bahwa para teolog Sunni mempunyai kaidah tersendiri dalam menetapkan batas-batas
kekafiran. Hal ini biasa diterapkan terhadap gejala-gejala teologis yang
128
Al-Ghaz ālī, al-Munqidh min al-D}alāl Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmīyah,
2006, 56-57.
129
‘Abd al-Q āhir al-Baghdādī, Us{ūl al-Dīn Lahore: al-Maktabat al-
‘Utsm ānīyah, t.t{., 315-316. Penjelasan lebih lengkap dapat ditemui dalam ‘Abd al-
Q āhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.t., 198.
130
‘Abd al-Q āhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq, 193.
42
berkembang di tengah umat Islam. Pembahasan ini akan membantu dalam memahami pandangan teolog –terutama Sunni- dalam menilai suatu
paham kesufian yang Islami atau telah keluar dari koridor teologi. Dengan hal tersebut telihat bahwa beberapa teolog tidak rela menyebut
ajaran spiritual yang menyimpang sebagai tasawuf.
Dalam hal ini, tampak bahwa pengafiran bukanlah sesuatu yang mudah dituduhkan. Oleh karena itu, terdapat penegasan atau usaha
beberapa tokoh Sunni dalam menetapkan batas-batas kekafiran. Ini terlihat dari penegasan Ab
ū al-ḥasan al-Ash‘arī 324 H. yang menolak mengafirkan setiap orang yang mengaku berkiblat ke Ka‘bah yang ia
sebut sebagai ahli kiblat, karena semuanya menyembah kepada Tuhan yang sama. Al-Ash‘ar
ī menambahkan bahwa perbedaan yang terdapat pada aliran teologis hanyalah perbedaan ungkapan.
131
Ungkapan ahli kiblat dapat diterjemahkan sebagai orang-orang yang telah bershahadat,
walaupun mereka Muktazilah dan Sh ī‘ah. Namun, dalam beberapa
informasi yang berbeda terdapat bahwa Ash‘ar ī mengecam Muktazilah.
132
Terlepas dari itu, penegasan al-Ash‘ar ī menunjukkan sikap moderatnya
dalam menetapkan batas kekafiran, yaitu berkiblat yang sama atau bersyahadat yang sama.
Berdasarkan hal tersebut, al- Ījī 756 H. juga menegaskan untuk
tidak mengafirkan ahli kiblat dalam batas-batas tertentu, antara lain penegasian keberadaan Allah sebagai pecipta, syirik, mengingkari
kenabian, pengingkaran terhadap ajaran yang telah diketahui secara d}ar
ūrī pasti, dan pengingkaran terhadap sesuatu halal dan haram. Batasan ini merupakan kaidah baku dalam teologi Sunni. Adapun selain
lima hal tersebut, maka al- Ījī hanya menyebutkan bahwa pengingkarnya
disebut sebagai ahli bid‘ah. Al- Ījī menyadari bahwa penegasan ini
berbeda dengan sikap Fuq āhā ahli hukum Islam.
133
Penjelasan al- Ījī terlihat sangat sederhana. Dalam hal ini, al-
Ghaz ālī 505 H. telah mengemukakan konsep yang jauh lebih maju dua
abad sebelum al- Ījī. Al-Ghazālī menyebutkan kaidah takfīr secara lebih
131
Ibn ‘As ākir, Tabyīn Kazhb al-Muftarī Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1404
H.; Al-Dhahab ī, Tārīkh al-Islām Beirut: Dar al-Kutub, ttp. IV464. al-Dhahabī, Siyar
A’l ām al-Nubalā Beirut: al-Risālah, 1993, 1588; Shams al-Dīn al-Safāraynī, Lawāmi‘
al-Anw ār al-Bahīyah Damaskus: Muassasah al-Khāfiqayn, 1982, I276.
Teksnya adalah:
ﻝﺎﻘﻓ :
ﺩﻬﺷﺃ ﻲﻠﻋ
ﻲﻧﺃ ﻻ
ﺭﻔﻛﺃ ًﺍﺩﺣﺃ
ﻥﻣ ﻝﻫﺃ
،ﺔﻠﺑﻘﻟﺍ ﻥﻷ
ﻝﻛﻟﺍ ﻥﻭﺭﻳﺷﻳ
ﻰﻟﺇ ٍﺩﻭﺑﻌﻣ
،ﺩﺣﺍﻭ ﺎﻣﻧﺇﻭ
ﺍﺫﻫ ﻪﻠﻛ
ﻑﻼﺗﺧﺍ ﺕﺍﺭﺎﺑﻌﻟﺍ
.
132
Al-Dhahab ī, Tārīkh al-Islām, IV464.
133
Al- Ījī, al-Mawāqif Beirut: ‘Ālam al-Kutub, t.t., 320.
43
ketat dan terperinci dibandingkan tokoh lain. Kaidah tersebut ia kemukakan dalam beberapa karya, pertama di dalam Fad}
ā’iḥ al- B
āt{inīyah. Ia mengemukakan kaidah tersebut sebagai jawaban beberapa pertanyaan tentang keharusan takf
īr terhadap aliran Bāt{inīyah. Al- Ghaz
ālī menjawab dengan menetap dua klasifikasi berdasarkan ajaran mereka, pertama ajaran yang hanya disalahkan, disesatkan, dan
dibid‘ahkan. Kedua adalah ajaran yang wajib dikafirkan.
134
Adapun yang termasuk klasifikasi pertama ini adalah keyakinan aliran kebatinan dengan keimamahan ahl bayt, sedangkan yang lain
adalah perampas kekuasaan, dan para imam ma‘ ṣūm terpelihara dari
dosa. Ia menambahkan bahwa ajaran keimamahan tersebut tidak mempengaruhi akidah kepada Allah dan Hari Kiamat. Mereka, lanjut al-
Ghaz ālī, mempercayai Allah dan Hari Kiamat sebagai aliran Sunni.
135
Ketika al-Ghaz ālī dihadapi pertanyaan bukankah mereka
melanggar ijm ā‘ konsensus, maka ia menjelaskan bahwa indikasi
mereka melanggar tidak pasti sepenuhnya. Bahkan, pelanggar ijm ā‘ juga
tidak bisa serta-merta dikafirkan. Al-Ghaz ālī menyadari bahwa tokoh-
tokoh Islam tidak semua sepakat dalam mengakui ijm ā‘ sebagai dalil. Ini
sebagaimana dikemukakan oleh al-Na ẓām. Oleh karena itu, al-Ghazālī
tidak sepakat untuk mengafirkan mereka.
136
Al-Ghaz ālī juga tidak sepakat dalam mengafirkan aliran kebatinan
yang menilai Ab ū Bakar, ‘Umar, dan beberapa sahabat lainnya sebagai
fasik. Ia menegaskan bahwa hanya kata “sesat” yang pantas untuk mereka. Ini dikarenakan Ab
ū Bakar sama seperti sahabat lainnya. Ketika seseorang, al-Ghaz
ālī menyontohkan, menuduh Abū Bakar berzina, maka ia hanya akan dihukumi
ḥad hukuman dengan delapan puluh kali pukulan jilid. Tetapi al-Ghaz
āli membedakan dengan kasus seseorang yang menuduh Ab
ū Bakar dan beberapa tokoh besar sahabat sebagai kafir. Mereka memang pelangggar ijm
ā‘, tetapi kekafiran mereka bukan karena hal ini. Mereka dinilai kafir oleh al-Ghaz
ālī karena mendustakan Nabi Saw yang menyatakan keagungan sahabatnya. Al-Ghaz
ālī dengan tegas mengemukakan bahwa siapa yang mengingkari satu kata saja dari
sabda Nabi Saw adalah kafir berdasarkan ijm ā‘.
137
Adapun ajaran yang mesti dikafirkan dalam pandangan al-Ghaz ālī
adalah penyimpangan terhadap ajaran keesaan Allah, syirik, mengingkari
134
Al-Ghaz ālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 46.
135
Al-Ghaz ālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 46-47.
136
Al-Ghaz ālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 47-48.
137
Al-Ghaz ālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 149.
44
kenabian dan Hari Kiamat.
P137F
138
P
Namun terlihat jelas bahwa al-Ghaz ālī tidak
mengafirkan aliran B āt{inīyah, karena tidak mereka tidak menyimpang
dalam masalah tersebut. Konsep ini tampaknya dikemukakan oleh al- Ghaz
ālī untuk meluruskan kesalahan sebagian teolog Sunni yang terlanjur mengafirkan aliran B
āt{inīyah. Ini dikarenakan takfīr berimplikasi berat, yaitu kehalalan membunuh mereka dan merampas harta mereka.
P138F
139
P
Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh ‘Abd al-Q
āhir al-Baghdādī 429 H. yang toleran terhadap kelompok sufi, tetapi tidak memaafkan aliran
B āt{inīyah. Berdasarkan penelitiannya, ‘Abd al-Qāhir menilai bahwa
B āt{inīyah secara substansi sama dengan Majusi dan Thanuwīyah.
Tokoh-tokoh mereka seperti ‘Abd All āh bin Maymūn al-Qadāḥ dan
ḥamdān bin Qarāmit{ melakukan interpretasi sesuai dengan ajaran Majusi pada masa al-Ma’m
ūn. Mereka pada dasarnya meyakini ada dua pencipta alam. Oleh karena itu, ia dengan tegas mengatakan bahwa aliran
B āt{inīyah adalah aliran kafir yang paling merusak pada masanya.
P139F
140
‘Abd al-Q āhir cenderung untuk mengatakan bahwa penganut
ajaran ḥulūlīyah telah keluar dari agama Islam. Geneologis kelompok
mereka dalam pandangan ‘Abd al-Q āhir adalah kembali kepada
kelompok Sh ī‘ah Rāfid}ah yang jauh menyimpang ghullāt. Ia
menyebutkan lima kelompok yang identik kelompok ini dari sepuluh macam yang ia temui, tetapi hanya memastikan penisbahan teologi
ḥulūl kepada empat golongan, yaitu Saba’
īyah, Rizāmīyah, Muqanna‘īyah, ḥilmanīyah. Adapun golongan ḥalājīyah yang dinisbahkan kepada al-
Hall āj 309 H., maka terlihat bahwa ia tidak secara eksplisit
memastikannya. Malah ‘Abd al-Q āhir lebih memilih untuk menukil
pendapat orang yang mengafirkan dan membela kewaliannya. Ia menambahkan bahwa memang mayoritas teolog sepakat dalam
mengafirkannya. Disebutkan bahwa dari kalangan fuqah ā’, terdapat tokoh
yang tidak menetapkan kekafiran kepadanya, seperti Ab ū al-‘Abbās bin
Surayj 306 H. yang wafat tiga tahun sebelum hukum mati dijatuhkan. Ini berbeda dengan Mu
ḥammad bin Dāwud yang memfatwakan hukum
138
Al-Ghaz ālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 151.
139
Al-Ghaz ālī, Fays{al al-Tafriqah, 79.
140
‘Abd al-Q āhir, Us{ūl al-Dīn, 323. ‘Abd al-Qāhir mencoba menyebutkan
lebih lengkap kekufuran mereka. Penyimpangan mereka dalam tauhid adalah anggapan bahwa Tuhan adalah yang pertama menciptakan sesuatu kedua. Setelah itu, Dia bersama
dengan sesuatu yang kedua tersebut mengatur alam. Keyakinan ini bagi ‘Abd al-Q āhir
sama persis dengan ajaran Majusi yang meyakini bahwa Tuhan pertama kali menciptakan shetan. Setelah itu, Dia mengatur hal-hal yang baik, dan shetan mengatur
hal-hal yang buruk. ‘Abd al-Q āhir, Us{ūl al-Dīn, 329.
45
mati baginya.
141
Adapun di kalangan sufi yang terlihat kurang senang tetapi tidak mengafirkannya, seperti ‘Amr
ū bin ‘Utsmān al-Makkī 297 H., Ab
ū Ya‘qūb al-Aqt{a‘ 330 H., dan al-Junayd. Hal ini berbeda dengan Ibn ‘At{
ā’ al-Baghdādī 309 H. yang wafat pada tahun yang sama dengan al-
ḥallāj, begitu juga Abu al-Qāsim al-Naṣar Ābādī 367 H. di Naisapur dan al-Dayn
ūrī 340 H.. Tiga tokoh ini masih menganggap al-
ḥallāj sebagai bagian dari sufi yang lurus.
142
Perbedaan persepsi dari mereka ini merupakan hal yang unik dan dinamis. Ini dikarenakan
mayoritas mereka adalah sahabat al-Junayd yang memang telah pernah memberikan peringatan kepada al-
ḥallāj. Di samping itu, terlihat bahwa ‘Abd al-Q
āhir sendiri membuka kemungkinan kepentingan politik dalam penghukuman al-
ḥallāj. Ia mengatakan bahwa al-
ḥallāj dekat dengan pejabat-pejabat tinggi khalifah saat itu, yaitu Ja‘far al-Muqtadir. Hal membuat Ja‘far merasa terancam
secara politik. Berdasarkan hal ini, Ja‘far memutuskan untuk memenjarakan al-
ḥallāj. Sementara itu, ia meminta fatwa kepada para fuqah
ā’ mengenai kehalalan darahnya. Ja‘far tampak melihat fatwa Qād}i Ibn Ab
ī Dāwud menguntukkannya secara politik, sehingga menetapkan hukum mati baginya.
P142F
143
P
Hal ini memperkuat asumsi bahwa ‘Abd al-Q āhir
memang tidak berani memastikan kekafiran al- ḥallāj. Khusus untuk
konteks ini, ‘Abd al-Q āhir terlihat sangat hati-hati dalam menerapkan
kaidah takf īr.
Pada karya lain, seperti Fay ṣal al-Tafriqah tokoh besar al-Ghazāli
menjelaskan kaidah takf īr secara lebih sederhana. Terlihat dari
penjelasannya bahwa karya ini ditulis untuk mengritisi teolog Sunni semasa dan sebelumnya yang berlebihan dalam mengafirkan sekte selain
pengikut Ash‘ar īyah. Ia menegaskan bahwa berbeda pendapat dengan
teologi al-Ash‘ar īyah atau Mu‘tazilah atau Hanbālīyah bukanlah
penyebab kekafiran. Selain itu, ia menyangkal anggapan bahwa hukum kafir disebabkan karena berbeda dengan teolog pendahulu. Ini
dikarenakan Mu‘tazilah lebih dahulu muncul daripada Ab ū al-Hasan al-
Ash‘ar ī, tetapi bukan berarti ia kafir. Bagitu juga al-Bāqillāni berbeda
dalam satu hal dengan al-‘Ash‘ar ī, tetapi hal tersebut hanya berkaitan
dengan masalah ungkapan bahasa.
P143F
144
P
Ia mengatakan bahwa kufur adalah segala bentuk pendustaan terhadap ajaran Nabi Saw, sedangkan iman
adalah membenarkan ajarannya. Ia menambahkan bahwa mengapa
141
‘Abd al-Q āhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq, 197.
142
‘Abd al-Q āhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq, 197.
143
‘Abd al-Q āhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq, 197.
144
Al-Ghaz ālī, Fays{al al-Tafriqah, 77.
46
Yahudi dan Na ṣrani dihukumi kafir, yaitu karena mereka mendustai Nabi
Saw.
145
Kaidah takf īr dengan ungkapan yang berbeda juga dikemukakan
oleh al-Ghaz ālī dalam al-Iqtiṣād. Ia memberikan kategorisasi yang lebih
terperinci dan lengkap. Namun, ia terlebih dahulu mengingatkan bahwa pengafiran seseorang berimplikasi berat. Ini dikarenakan akan
memastikan keberadaannya di dalam neraka setelah meninggal, halal dibunuh dan dirampas hartanya. Dalam menetapkan kekafiran seseorang
diketahui dari ijm
ā‘, dalīl, dan qiyās. Ia menolak penetapan kekafiran berdasarkan analisa akal semata. Ia mengakui bahwa untuk
mengungkapkan seseorang mendustakan agama atau mengingkarinya memang dilakukan dengan sarana akal. Namun, penetapan kekafirannya
adalah bukanlah otoritas akal, tetapi dengan syariat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ia memberikan beberapa kategorisasi kafir atau
sesat berdasarkan hierarki tertentu.
146
Adapun yang tingkatan pertama, pengingkaran Yahudi, Nasrani, Majusi, Paganisme, dan sejenis mereka. Al-Ghaz
ālī menegaskan bahwa takf
īr terhadap mereka telah ditetapkan di dalam Syariat. Selain kelompok ini mengikuti konsep takf
īr ini. Pada tingkatan kedua, pengingkaran Brahmana Hindu terhadap prinsip kenabian, begitu juga pengingkaran
Dahr īyah kelompok Materialis terhadap eksistensi pencipta alam.
Mereka dihukumi kafir sebagaimana tingkatan pertama. Tetapi al-Ghaz ālī
menambahkan bahwa Dahr īyah lebih utama dikafirkan daripada
Brahmana, Yahudi ,dan Nasrani.
147
Pada tingkatan ketiga, orang-orang yang membenarkan eksistensi pencipta, kenabian, bahkan mempercayai
Nabi Muhammad Saw. Tetapi juga meyakini pemahaman yang bertentangan dengan syariat, meskipun mereka percaya kepada Nabi Saw.
Mereka adalah para filosof fal āsifah. Al-Ghazālī tidak sepakat dalam
menetapkan hukum kafir terhadap para filosof kecuali dalam tiga hal. Pertama apabila mereka mengingkari Hari Kebangkitan, kenikmatan
sorga, dan kepedihan azab di neraka. Kedua, apabila mereka meyakini bahwa Allah hanya mengetahui alam semesta secara universal kull
īyāt, bukan secara partikular juz’
īyāt. Ketiga, apabila mereka meyakini bahwa alam qad
īm, sedangkan keqadīman Allah hanya ibarat sebab ‘illat
terhadap alam yang menjadi ma‘l ūl yang disebabkan.
148
Adapun tokoh sufi lain seperti al-J
īlī, walaupun bisa berpikir positif bahwa ketiga
145
Al-Ghaz ālī, Fays{al al-Tafriqah, 79.
146
Al-Ghaz ālī, al-Iqtis{ād, 80.
147
Al-Ghaz ālī, al-Iqtis{ād, 81.
148
Al-Ghaz ālī, al-Iqtis{ād, 81.
47
bagian yang disebutkan di atas masih menyembah Allah, tetapi menegaskan bahwa mereka tetaplah syirik dan tidak sempurna karena
hanya menyembah Allah dari satu aspek. Pengafiran mereka dalam hal ini adalah karena satu hal saja, yaitu ketidaksempurnaan tauhid.
149
Pada tingkatan keempat, aliran Mu‘tazilah, Mushabbihah, dan aliran teologi lain selain filosof. Mereka membenarkan syariat dan tidak
memperbolehkan pendustaan karena suatu tujuan maslahat. Mereka tidak sibuk dalam berspekulasi terhadap suatu pengingkaran syariat. Namun
mereka mencoba alternatif lain yaitu interpretasi ta’w īl. Al-Ghazālī
menambahkan bahwa permasalahan mereka adalah kekeliruan dalam melakukakan penakwilan. Ia menegaskan bahwa sebaiknya tidak
mencoba menlancarkan tuduhan kafir kepada mereka. Ini dikarenakan berimpliklasi berat sebagaimana disebutkan sebelumnya padahal mereka
terjaga “darah” dan harta yang dimiliki karena konsekuensi shahadat. Al- Ghaz
ālī mengingatkan dengan tegas bahwa membunuh orang yang telah bershahadat adalah kesalahan besar. Ia menganalogikan kesalahan
tersebut dengan sikap tidak membunuh seribu orang kafir lebih ringan daripada membunuh seseorang yang telah bershahadat. Al-Ghaz
ālī dengan teguh menyatakan bahwa hal tersebut sesuai dengan prinsip yang
terdapat dalam hadis “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka bershahadat”
150
. Ia menentang sikap pentakfiran terhadap mereka, karena sikap tersebut hanya dimotivasi oleh kefanatikan. Padahal
kekeliruan, ungkap al-Ghaz ālī, dalam melakukan interpretasi tidak
berimplikasi kafir. Ia memastikan bahwa usaha dalam mengafirkan mereka tidak berdasarkan kepada argumen yang kuat.
151
Sikap ini terlihat telah diterapkan oleh tokoh-tokoh Sunni sebelum al-Ghaz
ālī, seperti al- B
āqillāni. Ia hanya menyebut aliran teologi seperti Khawārij, Rāfid}ah, dan Mu‘tazilah sebagai aliran yang menyimpang dan tersesat. Belum
ditemukan tuduhan kafir yang dilancarkan oleh al-B āqilllānī terhadap
mereka, walaupun ia sangat genjar menyerang argumentasi mereka.
152
Hal ini berbeda dengan ‘Abd al-Q āhir 429 H. yang menilai
bahwa terdapat delapan sekte dalam R āfid}ah yang mesti dikafirkan.
149
Al-J īlī, al-Insān al-Kāmil, 124-129. al-Ghazālī, al-Munqidh, 38-44.
150
Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim. teksnya adalah,
ﺕﺭﻣﺃ ﻥﺃ
ﻝﺗﺎﻗﺃ ﺱﺎﻧﻟﺍ
ﻰﺗﺣ ﺍﻭﻟﻭﻘﻳ
ﻻ ﻪﻟﺇ
ﻻﺇ ﷲ
ﺩﻣﺣﻣ ﻝﻭﺳﺭ
،ﷲ ﺍﺫﺈﻓ
ﺎﻫﻭﻟﺎﻗ ﺩﻘﻓ
ﺍﻭﻣﺻﻋ ﻲﻧﻣ
ﻡﻫءﺎﻣﺩ ﻡﻬﻟﺍﻭﻣﺃﻭ
ﻻﺇ ﺎﻬﻘﺣﺑ
151
Al-Ghaz ālī, al-Iqtis{ād, 82.
152
Ini telihat dari karyanya al-Ins{ āf yang berisi kritik terhadap aliran selain
Sunni, al-B āqillāni, al-Ins{āf, tahqiq: M. Zāhid al-Kawtsarī Kairo: al-Khānjī, 1993
M., 70.
48
Mereka adalah al-Bay ānīyah
153
, al-Mugh īrīyah
154
, pengikut ‘Abdull āh bin
Mu‘ āwīyah
155
, Man ṣūrīyah
156
, al-Khat{t{ ābīyah
157
, pengikut al- Muqni‘
158
, al-Sab ā’īyah
159
, dan al-K āmilīyah
160
. Ia menegaskan bahwa mereka telah keluar murtad dari Islam.
161
Pada bab lain, ia menyebutkan bahwa mereka dihukumi seperti penyembah berhala. Adapun terhadap
aliran Karr āmīyah dalam pandangan ‘Abd al-Qāhir harus dihukumi
kafir.
162
‘Abd al-Q āhir tampak lebih berani lagi ketika memberikan
penjelasan beberapa hal yang menyebabkan beberapa tokoh aliran Mu‘tazilah dihukumi kafir. Di antara mereka adalah W
āṣil bin ‘At{ā’
163
,
153
‘Abd al-Q āhir menyebutkan bahwa sekte al-Bayānīyah meyakini Allah
mempunyai rupa seperti manusia, akan binasa kecuali wajah-Nya, dan Allah menitis h{ul
ūl kepada imam mereka yaitu Bayān bin Sam‘ān setelah menitis kepada Abū H
āshim. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331. al-Shahrastāni menambahkan bahwa mereka memang kelompok yang ghul
āt berlebihan terutama masalah penitisan tuhan kepada para imam. al-Shahrast
ānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 122.
154
Al-Mugh īrīyah meyakini bahwa Allah mempunyai anggota tubuh seperti
huruf Hija’ īyah dan Allah h{ulūl kepada al-Mughīrah bin Sa‘īd. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-
D īn, 331.
155
Mereka meyakini Allah h{ul ūl kepada ‘Abdullāh. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-
D īn, 331.
156
Mereka adalah pengikut Ab ū al-Mans{urrr al-‘Ijlī mi‘raj ke langit, lalu
ketika bertemu Allah maka diusapi oleh tangan-Nya. Mereka menghalalkan darah kelompok lain. ‘Abd al-Q
āhir, Us{ūl al-Dīn, 331.
157
Mereka adalah pengikut Abu al-Khat{t{ āb al-Asadī yang meyakini penitisan
Tuhan kepada Ja‘far al-S{ ādiq, lalu ia sendiri mengaku sebagai tuhan. ‘Abd al-Qāhir,
Us{ ūl al-Dīn, 331; ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170.
158
Pengikut al-Muqni‘ meyakini bahwa Tuhan h{ul ūl kepada imam mereka.
‘Abd al-Q āhir, Us{ūl al-Dīn, 331.
159
Mereka adalah pengikut ‘Abdull āh bin Sabā’ yang menyatakan bahwa
ketuhanan ‘Al ī bin ‘Abī T{ālib, ‘Ali berada di awan dan suaranya muncul pada saat
petir. ‘Abd al-Q āhir, Us{ūl al-Dīn, 332; ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170.
160
Mereka mengafirkan sebagaian sahabat Nabi Saw yang tidak membai‘at ‘Al
ī, lalu juga mengafirkan ‘Alī karena tidak memerangi mereka. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-D
īn, 332. ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170.
161
‘Abd al-Q āhir, Us{ūl al-Dīn, 331. al-Shahrastānī menyebutkan bahwa
jumlah sekte yang ghul āt terdapat sebelas. Mereka adalah delapan sekte yang disebutkan
oleh ‘Abd al-Q āhir, dan ditambahkan dengan sekte tiga sekte lainnya yaitu al-
‘Alb ā’īyah, al-Kiyālīyah, al-Nu‘mānīyah. Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 42.
‘Abd al-Q āhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170.
162
‘Abd al-Q āhir, Us{ūl al-Dīn, 331. Ini dikarenakan mereka meyakini bahwa
Allah mempunyai batas h{ad, batas pada jihat bahwa, istiw ā’ dengan menyentuh
‘Arsh. Allah menempati tempat. Mereka biasa disebut dengan Mujassimah.
163
‘Abd al-Q āhir menyimpulkan bahwa keyakinan Wās{il mengenai takdir.
Keyakinan tersebut berimplikasi kepada penetapan banyak pencipta selain Allah. W ās{il
membuat keyakinan baru mengenai tempat lain antara surga dan neraka bagi orang fasiq.
49
Ab ū al-Hudhayl
164
, al-Na ẓẓām
165
, al-Mu‘ammar
166
, Bishr bin al- Mu‘tamir
167
, al-J āḥiẓ
168
, Thum āmah
169
, dan Baghd ādīyūn
170
. ‘Abd al- Q
āhir malah dengan berlebihan mengatakan bahwa kekufuran Mu‘tazilah sangat banyak, sehingga tidak dapat dihitung kecuali oleh Allah.
171
Pada tingkatan kelima, golongan yang tidak mendustakan atau mengingkari prinsip-prinsip syariat yang diketahui secara mutaw
ātir dari Nabi Saw. al-Ghaz
ālī memberikan contoh orang-orang yang termasuk ke dalam golongan ini, seperti seseorang yang berkata bahwa salat tidak
wajib, orang yang mendengar ayat al-Qur’an maka ia berkata saya tidak
W ās{il menilai ‘Alī sebagai orang fasiq. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 335. al-
Shahrast ānī menambahkan bahwa Wās{il pada awalnya mengikuti ajaran al-H{asan al-
Bas{r ī, tetapi ia berubah setelah mempelajari kitab-kitab filsafat. Al-Shahrastānī, al-
Milal wa-al-Nih{al, 36.
164
Ia meyakini bahwa kekuasaan Allah akan berakhir dengan kehancuran alam semesta. ‘Abd al-Q
āhir, Us{ūl al-Dīn, 335. Ia dipengaruhi oleh ‘Utsmān bin Khālid al- T{aw
īl murid Wās{il. Wafat pada tahun 235 H. Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 42.
165
Ia meyakini bahwa ilmu Allah tidak meliputi aspek partikular dari alam semesta. ‘Abd al-Q
āhir, Us{ūl al-Dīn, 335. al-Shahrastānī menambahkan bahwa-al- Na
ẓẓām mengatakan Allah tidak mempunyai kuasa terhadap keburukan dan maksiat. Al- Shahrast
ānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 42.
166
Ia mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan a‘r ād} accidents. Allah
hanya menciptakan ajs ām, lalu ajsām menciptakan a‘rād} dengan sendirinya. Ia
menyifati manusia dengan kriteria yang serupa dengan Allah. ‘Abd al-Q āhir, Us{ūl al-
D īn, 336. al-Shahrastānī menambakan bahwa Mu‘ammar tokoh terdepan dalam
Qadar īyah untuk menegasikan sifat Allah, takdir baik dan buruk. Al-Shahrastānī, al-
Milal wa-al-Nih{al, 52.
167
Ia meyakini bahwa manusia terkadang menciptakan a‘r ād}, pendengaran,
penglihatan, dan semua pengetahuan secara tawallud. Ia merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep tawallud dalam masalah af‘
āl aktivitas hamba. ‘Abd al-Qāhir, Us{
ūl al-Dīn, 336. Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 50.
168
Ia meyakini bahwa manusia tidak mempunyai perbuatan kecuali ir ādah. Ia
juga mengatakan bahwa pengetahuan bersifat d}ar ūrah. Manusia tidak dimasukkan oleh
Allah kepada surga dan neraka, tetapi keduanya yang menarik manusia. ‘Abd al-Q āhir,
Us{ ūl al-Dīn, 336.
169
Ia menyatakan pengatahuan bersifat d}ar ūrah sebagaimana al-Jāh{iẓ. Ia
menyatakan bahwa kaum Dahr īyah dan orang kafir akan menjadi tanah pada hari
Kiamat, sehingga tidak akan mendapatkan azab. ‘Abd al-Q āhir, Us{ūl al-Dīn, 336.
170
Mereka adalah pengikut al-Jubb ā’ī mantan guru al-Ash‘arī, dan Abū
H āshīm bin al-Jubbā’ī. Secara umum mereka meyakini bahwa pada dasarnya Allah tidak
mendengar kecuali dengan makna pengetahuan-Nya terhadap objek yang didengar. Al- Jubb
ā’ī meyakini bahwa Allah mematuhi keinginan hamba-Nya. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-D
īn, 336. Namun al-Shahrastānī menjelaskan bahwa mereka merupakan tokoh Mu‘tazilah Bas{rah, bukan Baghd
ād . Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 63.
171
‘Abd al-Q āhir, Us{ūl al-Dīn, 336.
50
tahu kalau itu berasal dari Nabi Saw, orang yang mengakui kewajiban haji, tetapi ia dengan sengaja mengatakan tidak mengetahui Ka‘bah. Al-
Ghaz ālī menegaskan bahwa mereka pada dasarnya harus dihukumi kafir,
tetapi terjaga dari tuduhan tersebut karena pernah bershahadat dengan terang-terangan. Al-Ghaz
ālī mengatakan bahwa mereka tidak dikafirkan karena melanggar ijm
ā‘, sebagaimana diterapkan oleh sebagian teolog Sunni. Ini dikarenakan ia tidak sepakat pengingkaran ijm
ā‘ adalah kekufuran. Ini dikarenakan ijm
ā‘ hanyalah sebuah kesepakatan kepada suatu pendapat.
172
Tampaknya, ini sikap al-Ghaz ālī terhadap kelompok
yang pada saat ini disebut dengan Liberalisme. Ia tidak serta-merta menilai mereka kafir, kecuali pengingkaran mereka ditujukan kepada dalil
yang terdapat dalam Kitab dan Sunnah.
Pada tingkatan keenam, al-Ghaz ālī menyebutkan bahwa mereka
adalah orang yang tidak secara terus terang mendustakan agama. Mereka juga tidak mendustakan hal-hal yang telah diketahui secara mutaw
ātir, tetapi mengingkari beberapa hal yang telah dimaklumi dalam agama
kecuali ijm ā‘. Apabila terdapat spekulasi terhadap suatu ayat dan hadis,
maka mereka menyebutnya dengan interpretasi. Al-Ghaz ālī
menyontohkan bahwa seseorang yang mengatakan bahwa ada kemungkinan diutus seorang “rasul” setelah Nabi Muhammad Saw. al-
Ghaz ālī menyadari bahwa ungkapan ini tentu menyebabkan teolog tanpa
ragu untuk mengafirkannya karena melanggar hadis “tidak ada lagi nabi setelahku -
ﻻ ﻲﺑﻧ
ﻱﺩﻌﺑ -. Tetapi ternyata, ungkap al-Ghaz
ālī, orang tersebut memahami bahwa nabi berbeda dengan rasul, karena yang pertama lebih
tinggi dari yang kedua sehingga pemahamannya tidak bertentangan dengan teks literal hadis. Dalam menghadapi hal tersebut, al-Ghaz
ālī lebih memilih untuk tidak mengafirkannya.
P172F
173
P
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa para teolog Sunni sepakat dalam mengafirkan orang yang meyimpang dalam masalah
tauhid, syirik, mengingari kenabian dan hari Kiamat. Namun mereka tidak sepakat dalam menjatuhkan hukum kafir terhadap sekte-sekte yang
dianggap menyimpang. Al-Ghaz ālī lebih memilih untuk mengatakan
bahwa mereka menyimpang dalam artian sesat dan bid‘ah. Adapun ‘Abd al-Q
āhir al-Baghdādī memilih untuk menghukumi mereka sebagai orang kafir berdasarkan alasan yang dipandang kuat.
BAB III KECENDERUNGAN TEOLOGI DI NUSANTARA