124
mustahil karena wujud itu tidak lain dari wujud alam yang baru. Ketiga, wujud lain tersebut adakalanya jawhar atau ‘arad}. Jika ia adalah suatu
jawhar maka tidak mungkin ia mengandung lebih dari satu jawhar,
sedangkan semua mawj ūdāt mempunyai banyak jawhar. Jika ia adalah
suatu ‘arad} maka tidak mungkin ia menjadi substansi semua mawj ūdāt,
karena ‘arad} tidak berdiri sendiri. ‘Arad} menjadi ada dengan keberadaan jawhar, sehingga ia bersifat ma‘d
ūmah tidak ada sebelum disifatkan kepada jawhar.
424
C. ‘Abd al-Ra’ ūf al-Jāwī; Sebagai Pembela Penyokong
Wuj ūdīyah
al- R
ānīrī
‘Abd al-Ra’ ūf sering dianggap sebagai “pahlawan” yang
membela orang yang tertindas. Dalam konteks ini, ḥamzah dianggap
sebagai orang yang tertindas oleh fatwa-al-R ānīrī. Adapun al-Rānīrī
sering dituduh salah kaprah dalam menghakimi pengikut ḥamzah. “Lagu
lama” ini masih sering diputar dan dipublikasikan. ‘Abd al-Ra’ ūf
diyakini sebagai ”pendamai” kontroversi tersebut. Anggapan ini tampak didukung oleh Oman Fathurahman yang menyebutkan bahwa ‘Abd al-
Ra’ ūf tidak cenderung kepada salah satu dari dua tokoh tersebut. Oman
Fathurahman menyadari bahwa ‘Abd al-Ra’ ūf juga berusaha untuk
menggugurkan interpretasi teologis ḥamzah, tetapi di sisi lain ia juga
mengecam tindakan radikal al-R ānīrī. Ini dikarenakan al-Rānīrī
memvonis mereka kafir dan harus dihukum mati.
P424F
425
P
Namun sayang sekali, sampai saat ini penilaian tersebut hanya sebatas dugaan. Hal ini
terlihat dari pernyataan Oman Fathurahman sendiri bahwa diduga kuat ‘Abd al-Ra’
ūf mengecam al-Rānīrī. Sebagaimana juga diakui dengan jujur oleh Azyumardi Azra,
bahwa ia ”tidak” menemukan bukti dari ajaran ‘Abd al-Ra’ ūf yang secara
terang-terangan menentang ajaran ḥamzah. Namun ungkapan yang lebih
tepat, seharusnya adalah ”belum” menemukan bukti. Ini dikarenakan di dalam beberapa karya ‘Abd al-Ra’
ūf ditemukan sikap yang senada dengan vonis al-R
ānīrī terhadap ḥamzah. Tetapi perlu diperhatikan apakah Azyumardi Azra memang melakukan pembacaan terhadap karya-
424
‘Abd al-Ghan ī al-Nāblusī, Nukhbat al-Mas’alah, 4v.
425
Oman Fathurahman, Tanb īh al-Māshī al-Mansūb ilā ṭarīq al-Qushāshī;
Tanggapan as-Sinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wuj ūdīyah di Aceh pada Abad
XIIV, Tesis UI Jakarta, 175-176. Oman Fathurahman mengutip ungkapan ‘Abd al- Ra’
ūf untuk menguatkan dugaan tersebut, ”Peliharalah lidahmu dari gibah membicarakan orang lain dan dari mengkafirkan orang lain, karena pada keduanya
terdapat dosa yang besar di sisi Tuhanmu yang Mahabesar”.
125
karya ‘Abd al-Ra’ ūf yang masih dalam bentuk manuskrip, sehingga
berasumsi dimikian. Atau ada kemungkinan lain, bahwa Azyumardi Azra mengikuti hipotesa Snouck Hurgronje. Snouck pernah menyimpulkan
sendiri bahwa ia “tidak” pernah menemukan catatan bahwa ‘Abd al-Ra’ ūf
menentang ajaran ḥamzah, walaupun ia mengakui –sebagaimana
Azyumardi Azra juga menyepakatinya- bahwa ada indikasi penentangan terhadap ajarannya.
426
Terlepas dari penilaian tersebut, apabila diperhatikan karya-karya ‘Abd al-Ra’
ūf, maka akan ditemukan jawaban yang lebih objektif. Sebenarnya, ‘Abd al-Ra’
ūf mempunyai pendirian yang tidak berbeda dengan al-R
ānīrī. Hal ini terlihat dari pandangan yang ia kemukakan di dalam Sullam al-Mustaf
īdīn. ‘Abd al-Ra’ūf menyebut kelompok Wuj
ūdīyah sebagaimana al-Rānīrī menyebutkannya. Perbedaannya, ia menamakannya dengan nama yang lebih eksplisit yaitu ahl al-wa
ḥdah. Bahkan ada indikasi kuat bahwa ia mengikut al-R
ānīrī dalam mengklasifikasi Wuj
ūdīyah menjadi dua kelompok yang berbeda. Pertama, kelompok
ṭā’ifah yang meyakini bahwa hanya ada satu wujud, yaitu wujud Allah. Ia menambahkan bahwa selain wujud Allah tidaklah
memiliki wujud. Mereka meyakini bahwa semua wujud pada alam semesta pada hakikatnya adalah wujud Allah.
P426F
427
P
Kedua, kelompok Wuj
ūdīyah yang meyakini bahwa wujud terbagi dua, haqīqī dan khayālī. Wujud haq
īqī adalah wujud Allah yang mutlak, sedangkan khayālī adalah wujud alam semesta.
P427F
428
P
426
Snouck Hurgronje, Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya, 15.
427
‘Abd al-Ra’ ūf menyebutkan, “Bahwasannya segala ahli al-waḥdat terbahagi
atas dua ṭā’ifah, […] ṭā’ifah daripada mereka itu i‘tiqadnya bahwasanya wujud itu suatu
satu jua, yaitulah wujud Allah yang Maha Suci. Lain daripada wujud Allah itu tiada wujud bagi-Nya da jadinya pun tiada didapat. Maka pada i‘tiqad
ṭā’ifah ini bahwa segala mawj
ūdāt itu segala wujud Allah Yang Maha Suci ḥaq Ta‘ālā lagi Maha Tinggi daripada kata mereka itu. Demikian itulah i‘tiqad Wuj
ūdīyah yang d}alālat.” ‘Abd al-Ra’ūf, Sullam al-Mustaf
īdīn¸ 81-82. Dalam sebagian varian lain –selain koleksi YPAH- bagian teks ini tidak ditemukan. Hal ini memunculkan kecurigaan penambahan atau
pengurangan pada teks koleksi YPAH ini. Tetapi itu pun tidak dapat dipastikan, karena jika naskah koleksi YPAH dituduh terjadi penambahan, maka varian lain juga patut
dicurigai telah terjadi pengurangan. Tetapi sejauh ini, bagian ini sebenarnya masih bisa dikuatkan kevalidannya dengan kritikan senada yang dikemukakan ‘Abd al-Ra’
ūf dalam Tanb
īh al-Mashī.
428
‘Abd al-Ra’ ūf mengatakan, “ṭā’ifah daripada mereka itu i‘tiqadnya
bahwasannya alam terbahagi atas dua bahagian, pertama wujud haq īqī, kedua wujud
khay ālī. Wujud haqīqī itu itulah wujud Haq Ta‘ālá yang mutlaq, dan wujud khayālī
itulah wujud segala alam. ‘Abd al-Ra’ ūf, Sullam al-Mustafīdīn¸ 82.
126
‘Abd al-Ra’ ūf dengan ekplisit menyebutkan dua tokoh yang
dihukumi sesat oleh al-R ānīrī. Ia menulis nama ḥamzah Fanṣūrī dan
Shams al-D īn al-Sumatrānī dengan jelas. Ia mengatakan aliran Wujūdīyah
tersebut berkembang di negeri “Bawah Angin” tiada lain adalah dua nama tersebut; “Maka sekarang ku nyatakan pula kepadamu setengah daripada
i’tiqad kaum Wuj ūdīyah yang di Bawah Angin yaitu ḥamzah Fansūrī dan
Shams al-Sumatr ānī dan segala yang mengikut dia akan keduanya.”
Setelah itu, ‘Abd al-Ra’ ūf menukil langsung beberapa perkataan ḥamzah
Fans ūrī dari beberapa karangannya. Pertama, Ia menyontohkan kekeliruan
ḥamzah dalam memberikan interpretasi terhadap sebuah ungkapan yang dianggap hadis oleh sebagian sufi; “Siapa yang mengenal dirinya niscaya
kenal Tuhannya”. ḥamzah mengatakan, sebagaimana dinukil oleh ‘Abd
al-Ra’ ūf, bahwa diri hamba dan alam semesta ada dalam ilmu Allah.
Adapun perumpamaannya adalah seperti biji yang menunjukkan Allah dan pohon yang menunjukkan alam. Di dalam biji terdapat semua unsur
pohon. ‘Abd al-Ra’ ūf mengritisi konsekuensi logis dari penganalogian
ini, yaitu alam keluar dari Allah sebagaimana pohon tumbuh dan keluar dari biji. Ia dengan tegas mengatakan bahwa interpretasi
ḥamzah sebagai bentuk dari kekafiran.
429
Perkataan ḥamzah bahwa keberadaan hamba dan sekalian ada
dalam ilmu Allah secara teologis adalah benar. Ini merupakan konsep wuj
ūd mumkin ṣalūḥī;
P429F
430
P
suatu yang berpotensi untuk menjadi nyata dari ilmu Allah. Tetapi memang akan menjadi masalah jika pengungkapan
analogi biji dan pohon digunakan oleh ḥamzah. Ini menyebabkan ia akan
terjebak kepada ḥulūl teologis, bukan dhawqī perasaan. Oleh karena itu,
wajar jika seorang teolog dan sufi seperti ‘Abd al-Ra’ ūf yang mengerti
dampak ‘negatif’ dari analogi ‘nakal’ ḥamzah, langsung menilai
keyakinan tersebut cenderung kepada kekafiran. Namun bukan berarti ia tidak menerima beberapa analogi tentang
wujud. ‘Abd al-Ra’ ūf juga tidak keberatan sebagaimana al-Rānīrī
untuk menerima analogi wujud alam semesta dengan wujud bayang- bayang yang terdapat di dalam cermin. Ia menjelaskan bahwa wujud yang
terdapat dalam cermin tersebut pada hakikatnya tidak memiliki wujud. Ia menilai bahwa kelompok kedua tersebut adalah sufi sejati yang disebut
429
‘Abd al-Ra’ ūf mengatakan, ”…Dirinya dan [alam] semesta sekalian dalam
ilmu Allah; tamsil seperti biji dan pohon, pohonnya dalam biji itu lengkap serta dengan biji itu. Maka itulah daripada perkataan Wuj
ūdīyah itu bahwa seru sekalian semesta alam ada lengkap berwujud di dalam ilmu Haqq ta‘
ālā. Maka keluarlah alam daripadanya seperti pohon kayu keluar daripada biji. Maka i‘tiqad yang demikian itu kufur.”
430
Al-Bayj ūrī, ḥāshīyah ‘alá Matn al-Sanūsīyah, 20.
127
sebagai ahlull āh wali Allah.
431
Berdasarkan hal tersebut, ‘Abd al-Ra’ ūf
lebih tepat disebut sebagai penyokong al-R ānīrī dalam mengritisi ḥamzah.
D. Korelasi Konsep Tauhid dan Wujud ‘Abd al- ṣamad al-Jāwī al-