127
sebagai ahlull āh wali Allah.
431
Berdasarkan hal tersebut, ‘Abd al-Ra’ ūf
lebih tepat disebut sebagai penyokong al-R ānīrī dalam mengritisi ḥamzah.
D. Korelasi Konsep Tauhid dan Wujud ‘Abd al- ṣamad al-Jāwī al-
Palimb ānī
Tokoh yang akan menjadi sentral pembicaraan pada bagian ini adalah ‘Abd al-
ṣamad. ‘Abd al-ṣamad lebih sering dikenal di dalam ranah sejarah lokal dengan penisbahan al-J
āwī al-Palimbānī, yaitu sebagaimana ‘Abd al-
ṣamad sendiri menamai dirinya.
432
Sejarawan Arab seperti ‘Abd al-Razz
āq al-Bayṭar pernah menulis biografi “sangat” singkat tentang tokoh ini dengan menyebutkan gelar al-sayyid dan nisbah al-J
āwī.
433
Hal ini bukanlah mengherankan karena ulama Arab tempo dulu memang
mengenal orang-orang dari Nusantara dengan sebutan al-J āwī.
Apabila diperkirakan bahwa umur ‘Abd al- ṣamad sekitar 80-an,
maka dapat dikatakan bahwa ia lahir di awal abad ke delapan belas 1700- an setelah beberapa tahun ‘Abd al-Ra‘
ūf wafat, yaitu 1105 H. atau 1693 M. Ini memperkuat asumsi bahwa memang dua tokoh ini tidak pernah
bertemu. Namun, wacana tentang wuj ūd tetap masih diminati oleh ‘Abd
al- ṣamad, walaupun ia tidak pernah menyebutkan ḥamzah. Tetapi hal
yang menarik dari ‘Abd al- ṣamad adalah ia tidak menganggap karya-
karya tasawuf Shams al-D īn bermasalah sebagaimana al-Rānīrī dan
‘Abd al-Ra’ ūf menyebutkannya. ‘Abd al-ṣamad malah menempatkan
karya Shams al-D īn seperti Jawhar al-ḥaqā’iq dan Tanbīh al-ṭullāb fī
Ma‘rifat al-Malik al-Wahh āb pada kurikulum tertinggi dalam ilmu
tasawuf. Ini terlihat dari pernyataannya dalam Sayr al-S ālikīn.
434
Ia diasumsikan pernah menulis kajian tentang wujud yang mengacu kepada wa
ḥdat al-wujūd dalam bahasa Arab. Kitab tersebut adalah Z
ād al-Muttaqīn. Ini sebenarnya adalah risalah kecil yang diperkirakan Azyumardi Azra memuat tentang doktrin-doktrin tasawuf
‘Abd al- ṣamad secara ringkas. Asumsi ini memang benar, walaupun
431
‘Abd al-Ra’ ūf, Sullam al-Mustafīdīn¸ 82.
432
Azra, Jaringan Ulama, 307. Ini terlihat dalam salinan naskah Z ād al-
Muttaq īn fī Tawhīd Rabb al-‘Alamīn Mikrofilm Perpusnas no. 386, 1. ‘Abd al-ṣamad,
Sayr al-Salik īn, I2 dan IV268.
433
Àbd al-Razz āq al-Bayṭar, Hilyat al-Bashar fī Tārīkh al-Qarn al-Thālith al-
‘Ashr Damaskus: Ma
ṭba‘at Majma‘ al-‘Ilm al-’Arabī, 1963, I851. Tetapi al-Baytār menyebutkan nama ayah ‘Abd al-
ṣamad dengan nama yang lain, yaitu ‘Abd al-Raḥmān, sedangkan ‘Abd al-
ṣamad sendiri menyebutkan nama ayahnya dengan ‘Abd Allāh.
434
‘Abd al- ṣamad, Sayr al-Salikīn, III183.
128
Azyumardi Azra mengakui bahwa ia belum menemukan kitab ini.
435
Di dalam kitab Z
ād al-Muttaqīn dikemukakan secara eksplisit dan sistematis tentang wa
ḥdat al-wujūd . Tetapi penisbahan kitab ini kepada ‘Abd al- ṣamad masih perlu dipertanyakan, apakah ia sebagai pengarang atau cuma
penyalin? Memang, sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa halaman depan yang menjadi cover risalah ini menyebutkan nama ‘Abd al-
ṣamad al-Palimb
āni sebagai pengarangnya. Kalimatnya adalah, “Hadhihi risālah al-musammá Z
ād al-Muttaqīn fī Tawhīd Rabb al-‘Alamīn li Mawlānā wa Shaykhin
ā ilá Allāh al-Shaykh ‘Abd al-ṣamad bin ‘Abd Allāh al-Jāwī al-Palimb
ānī qaddasa Allāh sirrahu” Ini merupakan risalah yang berjudul Z
ād al-Muttaqīn fī Tawhīd Rabb al-‘Alamīn karya Mawlānā wa Shaykhin
ā ilá Allāh al-Shaykh ‘Abd al-ṣamad bin ‘Abd Allāh al-Jāwī al- Palimb
ānī -semoga Allah menyucikan jiwanya.
436
Penjelasan ‘Abd al- ṣamad sendiri dalam Sayr al-Sālikīn akan
memberikan titik terang tentang ini. Ia mengungkapkan bahwa risalah kecil tersebut adalah hasil himpunan yang ia pahami dari ajaran gurunya;
Mu ḥammad bin ‘Abd al-Karīm al-Sammān. Ia menambahkan bahwa isi
dari risalah adalah pelajaran pertama yang ia terima dari al-Sam ān tentang
wa ḥdat al-wujūd. Adapun inisiatif penamaan risalah tersebut menjadi Zād
al-Muttaq īn adalah dari ṣiddīq bin ‘Umar murid senior al-Sammān, yang
435
Azra, Jaringan Ulama, 347. Dari mikrofilm yang diperoleh dari Perpusnas, terlihat bahwa teks ini hanyalah risalah kecil ini pernah menjadi bahan kajian utama di
kesultanan Buton. Ini dikarenakan naskah yang diabadikan dalam mikrofilm tersebut, ditemukan pada koleksi Mulku Zahari yang merupakan keturunan bangsawan di Buton.
Salinan pertama Naskah A adalah milik Mu ḥammad ‘Aydrūs, dan kedua naskah B
milik ‘Abd al-Kh āliq bin ‘Abd Allāh al-Buṭunī sekretaris kesultanan pada masa Sultan
Mu ḥammad ‘Aydrūs. Salinan ‘Aydrūs lebih jelas dibandingkan salinan ‘Abd al-Khāliq.
Ini dikarenakan ‘Abd al-Kh āliq hanya menulisnya dalam dua halaman dengan huruf
yang sangat kecil dan padat. Terdapat 33-34 baris perhalaman, dan terdiri dari 14-17 kata pada setiap baris. Tetapi naskah B mempunyai teks tambahan yang berjudul Lubb
al- ḥaqā’iq Terdapat hal menarik dari teks ini, yaitu pada penulisan judul. Judul pertama
yang ditulis oleh penyalin adalah Wa ḥdat al-Wujūd. Tetapi kemudian penyalin naskah
menyoret-nyoret judul pertama. Setelah itu, ditulis judul yang populer Z ād al-Muttaqīn fī
Tawh īd Rabb al-‘Ālamīn. Besar kemungkinan bahwa Wahdat al-Wujūd adalah judul
pertama kitab ini, yang kemudian diganti untuk tujuan tertentu oleh pengarang teks. Pada naskah salinan berikutnya yang lebih muda juga dilakukan hal yang sama. Ini terlihat
dari salinan ‘Abd al-Kh āliq bin ‘Abd Allāh al-Buṭunī. Tampaknya penyalin hanya
menyalin walaupun coretan yang terdapat dalam naskah sumber. Abd al- ṣamad, Zād al-
Muttaq īn naskah A dan B, 1. Selain itu, teks ini juga dinukil sepenuhnya oleh
Mu ḥammad ‘Aydrūs di akhir karyanya yang berjudul Mu’nisah al-Qulūb pada
mikrofilem yang sama. Mu ḥammad ‘Aydrūs, Mu’nisah al-Qulūb, 42-48.
436
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn naskah A dan B, 1.
129
juga menjadi guru dari ‘Abd al- ṣamad.
437
Oleh karena itu, konsep ‘Abd al-
ṣamad tentang waḥdat al-wujūd di dalam risalah ini bukanlah orisinil dari pemahamannya sendiri, tetapi merupakan pemahamannya dari
penjelasan sang guru; Shaykh al-Samm ān. Tetapi kenyataan ini bukanlah
suatu aib, karena memang tidak ada teks yang ‘terpisah’ dari teks yang lain. Dalam konteks ini, ungkapan-ungkapan yang terdapat pada risalah
ini akan dinisbahkan kepada ‘Abd al- ṣamad. Ini dikarenakan interpretasi
‘Abd al- ṣamad terhadap ajaran al-Samān telah melahirkan risalah kecil
tersebut. Teks Z ād al-Muttaqīn merupakan karya tokoh sufi Nusantara
yang paling relevan dalam menunjukkan kesatuan aspek teologi dan tasawuf.
Selain itu, juga terdapat risalah lain yang berkaitan dengan tema ini, yaitu Lubb al-
ḥaqā’iq. Dari kumpulan teks terlihat bahwa risalah kecil termasuk kepada Z
ād al-Muttaqīn, tetapi pada dasarnya teks ini berdiri sendiri dan terpisah. Ia menjelaskan di dalamnya tentang konsep
teologis wujud yang mendasar sebagaimana dijelaskan oleh para teolog. Substansi yang dikemukakan oleh ‘Abd al-
ṣamad tentang konsep wujūd di dalam risalah ini. terlihat lebih relevan dikaji sebelum wa
ḥdat al- wuj
ūd. Berdasarkan pertimbangan ini, maka akan ditampilkan terlebih dahulu ulasan mengenai kitab Lubb al-
ḥaqā’iq. Adapun yang dibicarakan oleh ‘Abd al-
ṣamad di dalamnya adalah menjelaskan kategorisasi wujud. Ini berbeda dengan metode ahli kal
ām yang terhenti setelah menjelaskan tiga pembagian wujud menjadi w
ājib, mumkin, dan mumtani‘. Ia menjelaskan konsep ini sebagai pendahuluan dalam memahami tema
penting dalam tasawuf, yaitu a‘y ān thābitah.
Dengan istilah yang sedikit berbeda dari para teolog, ‘Abd al- ṣamad mengemukakan bahwa ma‘lumāt –ungkapan lain yang
digunakannya untuk kata wuj ūd- terdiri dari tiga macam. Pertama, al-
w ājib yang didefinisikan sebagai wujud yang maha suci dari ketiadaan
pada saat sebelum dan sesudah keberadaannya. Ia menyebut wujud dalam kategori ini sebagai wuj
ūd muṭlaq; yang merujuk kepada wujud al-ḥaqq Allah. Kedua, al-‘adam al-mumkin yang diartikan sebagai sesuatu yang
tidak ada pada ilmu Allah yang azali, lalu Dia ‘mengeluarkan’ darinya selama-lamanya, sehingga akan selalu menjadi ada jika memang Dia
menghendakinya. Tetapi jika Dia tidak menghendakinya, maka tidak akan
437
‘Abd al- ṣamad, Sayr al-Sālikīn, 183. Ia mengatakan: “Dan demikian lagi
risalah yang hamba himpunkan akan dia daripada perkataan al-wal ī al-kāmil al-
mukammil khatam ahl al-‘irf ān Sayyidī al-Shaykh Muḥammad bin ‘Abd al-Karīm al-
Samm ān.” Setelah itu ia menyebutkan beberapa kalimat pembukaan yang memang sama
dengan teks yang diperoleh dari mikrofilm Perpusnas.
130
ada selamanya. Inilah yang dipahami oleh ‘Abd al- ṣamad sebagai a‘yān
th ābitah yang akan menjadi pantulan dari manifestasi Wujud Mutlak.
A‘y ān thābitah tersebut sanggup dan siap menerima irādah dan perintah,
sehingga ia masih mempunyai sha’n al-wuj ūd kondisi wujud dalam
ketiadaannya, dan mempunyai tafr īq al-bāqī pemisahan ketetapan
wujud ketika terjadi kebinasaan.
438
Dua istilah ini terkesan sulit dipahami. Tetapi jika diperhatikan maka akan diperoleh kejelasan maksud dari keduanya. Sha’n al-wuj
ūd mengindikasikan keberadaan alam –sebagai contoh manusia- dalam ilmu
Allah, ketika alam tersebut belum diwujudkan dalam alam nyata. Tafr īq
al-b āqi menunjukkan keberadaan suatu makhluk -seperti substansi
manusia- yang masih tetap eksis walaupun telah binasa atau mati. Ketiga adalah al-‘adam al-mu
ḥid}. ‘Abd al-ṣamad mendefinisikan term ini menjadi sesuatu yang tiada ma‘d
ūm sebagaimana dipahami dari ilmu Allah yang abadi. Ia menyontohkannya dengan keberadaan serikat
bagi Allah. Keberadaan serikat bagi Allah mustahil ada dan tidak mungkin terjadi selamanya. Berbeda dengan a‘y
ān thābitah, ‘adam mu
ḥid} tidak mungkin menjadi tempat manifestasi Allah.
439
‘Abd al- ṣamad sangat benar dalam hal ini, karena tidak mungkin sesuatu yang
tidak pernah ada sama sekali menjadi tempat pancaran sesuatu yang Maha Ada. Dalam hal ini, Ibn ‘Arab
ī pernah menegaskan bahwa ini dikarenakan sesuatu yang al-wuj
ūd al-muḥid} itu lam yazal wa lā yazāl yang berarti ketiadaannya bersifat selama-lamanya. Ibn ‘Arab
ī juga menambahkan bahwa al-‘adam al-mu
ḥid} adalah kegelapan, sebagai al- wuj
ūd al-muḥid} adalah cahaya.
440
‘Abd al- ṣamad menyebutkan beberapa analogi untuk memahami
istilah-istilah rumit ini. Analogi akan mampu membantu kerumitan term yang pernah digunakan oleh Ibn ‘Arab
ī. ‘Abd al-ṣamad bahwa pada dasarnya al-wuj
ūd al-muhid} atau al-wujūd al-muṭlaq diumpamakan dengan ‘ishq kerinduan. Ini dilihat dari aspek kemunculan kerinduan
dari-Nya. Tidak mungkin terjadi kerinduan dalam ketunggalan-Nya, sehingga Dia memunculkan al-wuj
ūd al-‘ām alam semesta yang bersumber dari a‘y
ān thabitah sebagai sisi lain yang merasa rindu
438
Abd al- ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3r. Bandingkan dengan Ibn ‘Arabi, al-
Fut ūḥāt al-Makkīyah, bab 198 IV84. Ibn ‘Arabī mengatakan:
ﺩﻭﺟﻭﻟﺎﻓ ﺽﺣﻣﻟﺍ
ﻭﻫ ﷲ
ﺱﻳﻟ ﻩﺭﻳﻏ
ﻡﺩﻌﻟﺍﻭ ﺽﺣﻣﻟﺍ
ﻭﻫ ﻝﺎﺣﻣﻟﺍ
ﻩﺩﻭﺟﻭ ﺱﻳﻟ
ﻩﺭﻳﻏ ﻥﺎﻛﻣﻷﺍﻭ
ﺽﺣﻣﻟﺍ ﻭﻫ
ﻡﻟﺎﻌﻟﺍ ﺱﻳﻟ
ﻩﺭﻳﻏ ﻪﺗﺑﺗﺭﻣﻭ
ﻥﻳﺑ ﺩﻭﺟﻭﻟﺍ
ﺽﺣﻣﻟﺍ ﻡﺩﻌﻟﺍﻭ
ﺽﺣﻣﻟﺍ ﺎﻣﻳﻓ
ﺭﻅﻧﻳ ﻪﻧﻣ
ﻰﻟﺇ ﻡﺩﻌﻟﺍ
ﻝﺑﻘﻳ ﻡﺩﻌﻟﺍ
ﺎﻣﺑﻭ ﻪﻧﻣﺭﻅﻧﻳ
ﻰﻟﺇ ﺩﻭﺟﻭﻟﺍ
ﻝﺑﻘﻳ ﺩﻭﺟﻭﻟﺍ
.
439
Abd al- ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3r.
440
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūḥāt al-Makkīyah, IV84 dan 85.
131
‘Ashiq . Adapun al-wuj
ūd al-muṭlaq adalah yang dirindukan ma‘syuq
. Orang merasa rindu adalah orang yang butuh faq īr kepada
al-wuj ūd al-muṭlaq sebagai sesuatu yang dirindukan. Berdasarkan itu,
‘Abd al- ṣamad mengatakan bahwa al-wujūd al-‘ām atau al-wujūd al-
id} āfī -sebagai sesuatu yang tampak pada a‘yān thābitah- adalah pantulan
bayangan dari al-wuj ūd al-muṭlaq. Oleh karena itu, mustahil dipisahkan
al-wujud al-‘ ām atau dijauhkan dari hakikat wujudnya. Dari aspek ini,
maka al-wuj ūd al-‘ām adalah ‘ayn substansi dari al-wujūd al-muṭlaq,
sedangan yang terakhir adalah sumber dan hakikat dari semua wuj ūd.
441
Inilah yang dimaksud oleh ‘Abd al- ṣamad dan sufi besar lain seperti Ibn
‘Arab ī ketika menyebutkan bahwa alam semesta adalah ‘ayn dari wujud
Allah. Hal tersebut tidak mengindakasikan itti ḥād dan ḥulūl sama sekali.
Ini dikarenakan Allah tidak masuk ke dalam satu unsur pun dari alam semesta, sebagaimana orang yang bercermin tidak pernah masuk ke
dalam cermin.
442
Dalam memudahkan pemahaman mengenai hubungan antara dua wujud ini, maka ‘Abd al-
ṣamad juga menambahkan bahwa kaum sufi menganalogikan al-wuj
ūd al-muḥid} bagaikan seseorang yang rupawan yang ingin melihat wajahnya. Hal terjadi setelah orang tersebut melihat
dirinya dari dekat, sehingga ia melihat dirinya dalam dirinya. Adapun a‘y
ān thābitah dianalogikan seperti cermin yang akan memantulkan secara terbalik kegagahannya. Adapun wuj
ūd ‘ām alam semesta dianalogikan dengan bayangan dan bentuk yang muncul dalam cermin. Ia
mempunyai kesamaan sifat dan gerak dengan rupawan yang bercermin. Tetapi tetap saja bahwa bayangan tersebut bukan si rupawan. Inilah yang
dimaksud dengan ungkapan bahwa sumber gambar tersebut adalah si rupawan; sumber makhluk adalah Allah.
443
Ungkapan ini dikemukakan Ibn ‘Arab
ī dengan kalimat al-ḥaqq ‘ayn al-‘abd” Allah adalah substansisumber hamba. Tetapi dari sisi lain, Ibn ‘Arab
ī ingin menekankan perbedaan Allah dengan hamba dengan ungkapannya al-
ḥaqq ghayr al-‘abd Allah bukanlah hamba dan “fa al-Rabb Rabb[un] wa-al-‘abd ‘abd[un]”
Tuhan adalah Tuhan itu sendiri dan hamba adalah hamba itu sendiri.
444
Dalam ungkapan lain, bisa dikatakan bahwa hamba
441
Abd al- ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3r-3v.
442
Abd al- ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3v; Ibn ‘Arabi, al-Futūḥāt al-Makkīyah,
VI209-210.
443
Abd al- ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3v.
444
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūḥāt al-Makkīyah, bab 503 VII208 dan bab 558
VII295.
132
tetap menjadi dirinya sendiri sebagaimana analogi “bayangan” yang ada dalam cermin akan senantiasa sebagai bayangan.
Adapun ulasan terhadap kitab Z ād al-Muttaqīn akan dikemukakan
berikut ini. ‘Abd al- ṣamad mengemukakan konsep waḥdat al-wujūd
sebagaimana diringkasnya dari perkataan al-Samm ān. Ia menulis bahwa
yang maksud kaum sufi dengan term wa ḥdat al-wujūd dapat dijelaskan
dengan memberikan perincian makna fan ā’ dan baqā’. Ada tiga tahapan
fan ā’ dan dua tahapan baqā’. Ia berpijak dengan hadis yang menyebutkan
bahwa Nabi Saw “ditarik” judhiba oleh “tarikan Allah” jadhab āt al-
ḥaqq.
445
Tahapan pertama pada fan ā’ adalah fanā’ af‘āl peleburan
perbuatan. Makna dari term ini adalah peleburan perbuatan manusia dan semua makhluk dalam perbuatan Allah fi‘l Allah. Ia menggunakan
subjek orang pertama jamak, yaitu na ḥnu yang berarti kita untuk
menjelaskan perincian tahapan ini. Ia mengatakan,”Maka kita tidak melihat di alam semesta suatu perbuatan dari semua perbuata kecuali
hanya fi‘l Allah”.
446
Al-J īlī si “Ibn ‘Arabī al-ṣaghīr” mengungkapkan
bahwa pada tingkatan ini, seorang s ālik menyaksikan hanya Allah sebagai
penggerak tunggal, sehingga terjadi penegasian terhadap peran makhluk dan penetapan peran tunggal Allah. Dalam hal ini, semua daya, kekuatan,
dan kehendak ir ādah dinafikan dari semua makhluk, dan dihubungkan
hanya kepada Allah.
447
‘Abd al- ṣamad menambahkan bahwa penyaksian ini tidak
membedakan apakah perbuatan tersebut berasal dari diri si s ālik atau pun
dari orang lain. Begitu juga, tidak dibedakan apakah perbuatan tersebut menurut manusia buruk atau baik. Ia menegaskan bahwa semua itu adalah
perbuatan Allah. ‘Abd al- ṣamad tampak sepakat dengan Nafīs al-Banjārī
untuk menamakan tahapan ini dengan taw ḥīd al-af‘āl pengesaan
perbuatan Allah. Konsep tawh īd al-af‘āl tersebut berpijak kepada firman
Allah yang menyebutkan kisah Nabi Saw yang menang dalam perang Badr. Disebutkan bahwa ketika Mu
ḥammad melempar maka pada hakikatnya bukan beliaulah yang melempar. Tetapi yang melempar
adalah Allah.
448
Apabila diperhatikan interpretasi Ibn ‘Arab ī, maka
445
Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3r; B:2v.
446
Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3v; B: 2r. Teks arabnya adalah:
ﻻ ﻯﺭﻧ
ﻰﻓ ﻥﻭﻛﻟﺍ
ﻼﻌﻓ ﻥﻣ
ﻝﺎﻌﻓﻷﺍ ﻻﺇ
ﻝﻌﻓ ﷲ
.
447
Al-J īlī, al-Insān al-Kāmil, I 57.
448
Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3v; B: 2r ; Nafīs al-Banjārī, al-Durr al-
Naf īs, 4. rAyat yang dimaksud adalah al-Anfāl ayat 17:
ﺎَﻣ َﻭ َﺕْﻳَﻣَﺭ
ْﺫِﺇ َﺕْﻳَﻣَﺭ
ﱠﻥِﻛَﻟ َﻭ َﱠﷲ
ﻰَﻣَﺭ
133
akan ditemukan kejelasan ayat tersebut. Ia mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa yang melempar adalah Muhammad si “hamba”.
Tetapi Allah menegasikan eksistensinya, sehingga Dialah yang menjadi pelaku. Allah menegasikan hamba, lalu menamai si “hamba” dengan
nama diri-Nya. Hal ini, ungkap Ibn ‘Arab
ī, tidaklah boleh dipahami kecuali dari satu perspektif. Perspektif itu adalah memandang si “hamba”
dari sisi substansinya ‘ayn al-‘abd bukan dari sisi dirinya sebagai hamba. Ini dikarenakan si “hamba” tidak pernah cocok dan layak untuk
dinamai sebagai “tuan” atau “substansi”.
449
Tahapan kedua adalah fan ā’ al-ṣifāt. ‘Abd al-ṣamad bahwa fanā’
al- ṣifāt merupakan ungkapan terhadap sifat manusia dan semua makhluk
lebur dalam sifat Allah. Secara terperinci, maka seorang yang mencapai tahapan ini tidak lagi mempunyai sifat sam
ā‘ mendengar kecuali dengan sifat sam
ā‘ Allah, tidak mempunyai sifat baṣar melihat kecuali dengan ba
ṣar Allah, begitu seterusnya sesuai dengan sifat ma‘ānī dalam teologi Sunni. Hal ini sama dengan penjelasan Naf
īs al-Banjārī, tetapi perbedaannya adalah ‘Abd al-
ṣamad terkesan menggabungkan tawḥīd asm
ā’ dan ṣifāt. Adapun Nafīs lebih cenderung memberikan perincian dengan membedakan keduanya.
450
Ia berpijak kepada hadis panjang yang menyebutkan bahwa seorang hamba Allah akan mendapatkan cinta-Nya
dengan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya melalui amalan tambahan naw
āfil.
451
Apabila dibandingkan dengan karya lainnya, seperti Sayr al- S
ālikīn, maka dua tingkatan ini tergabung dalam satu tingkatan saja dari maq
ām tawhīd muqarrabīn tingkatan tauhid orang-orang yang dekat kepada Allah. Ini dikarenakan ia sedang memberikan komentar al-
Ghaz ālī yang mengemukakan tingkatan tauhid. ‘Abd al-ṣamad
menyebutkan bahwa tingkatan muqarrab īn disebut juga sebagai gabungan
tauhid af‘ āl, asmā’, dan ṣifāt. Adapun tauhid dhāt dikelompokkannya
kepada tingkatan keempat yaitu ṣiddiqīn, ketika mereka tidak
menyaksikan kecuali wujud Allah semata.
452
Terlihat bahwa ‘Abd al-
Ia juga mengemukakan ayat lain surat al- ṣāfāt ayat 96:
ُﷲ َﻭ ْﻡُﻛَﻘَﻠَﺧ
ﺎَﻣ َﻭ َﻥ ْﻭَﻠَﻣْﻌَﺗ
449
Ibn ‘Arabi, al-Fut ūḥāt al-Makkīyah, bab 558 pasal ḥad}rat al-taṣwīr,
VII313.
450
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3v ;B: 2r; Nafīs al-Banjārī, al-Durr al-
Naf īs, 8 dan 10.
451
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3v ;B: 2r.
452
Al-Ghaz ālī mengatakan bahwa ada empat tingkatan tauhid yang menjadi
substansi dari tawakkal. Pertama martabat mun āfiqīn, yaitu orang yang melafazkan
kalimat tauhid tetapi hatinya lalai dari Allah, bahkan mengingkarinya. Kedua martabat
134
ṣamad memaknai waḥdat al-shuhūd yang dikemukakan al-Ghazālī semakna dengan wa
ḥdat al-wujūd . Hal ini diketahui dari penegasannya sendiri bahwa tingkatan keempat ini boleh diungkapkan sebagai wa
ḥdat al-wuj
ūd.
453
Selain itu, jika merujuk kepada al-J īlī maka terdapat
penjelasannya mengenai ini. ia mengingatkan bahwa setiap kali terjadi tajall
ī maka Allah memang meleburkan hamba-Nya dan menggantikanya, tapi tanpa terjadi
ḥulūl zat Allah. Zat-Nya tidak juga akan berkaitan dengan hamba. Ungkapan tajalli dalam konsep al-Jili adalah keutamaan
dan kemulian yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Peleburan eksistensi hamba yang digantikan dengan nama atau sifat Allah
merupakan suatu keharusan. Ini dikarenakan peleburan yang tidak digantikan dengan nama atau sifat Allah adalah malapetaka. Dalam hal
ini, al-Jili sangat menekankan eksistesi Tuhan dan hamba.
454
Tahapan ketiga yang terdapat dalam Z ād al-Muttaqīn adalah fanā
al-dh āt. Ia menjelaskan bahwa term ini menunjukkan bahwa zat manusia
dan semua makhluk lebur dalam zat Allah.
455
Jika merujuk kepada Ibn Taym
īyah maka fanā’ dalam konteks inilah yang menjadi objek kritikannya. Ibn Taym
īyah menilai fanā’ dalam kategori ini sebagai konsep spiritual yang keliru, bahkan ateis. Ini dikarenakan ia memahami
ungkapan tersebut dari sudut pandang yang berbeda dengan ‘Abd al- ṣamad yang tidak bermaksud untuk cenderung kepada ḥulūl dan ittiḥād.
Dalam hal ini, ‘Abd al- ṣamad mengemukakan konsep ‘lebur’ yang
ia pahami pada tahapan ketiga ini dengan jelas. Ia mengatakan bahwa inilah substansi dari ungkapan l
ā mawjūda illá Allāh. Adapun wujud selain Allah; yaitu wujud semua makhluk pada hakikatnya adalah tidak
ada ‘adm. Ini dikarenakan wujud selain-Nya tidak berdiri sendiri pada zatnya, tetapi bersandar dengan zat Allah. Wujud selain Allah ditegaskan
oleh ‘Abd al- ṣamad sebagai khayāl imajinatif dan wahm ilusi yang
tidak ada sama sekali b āṭil. Tetapi ia tidak berhenti pada kalimat ini.
‘Abd al- ṣamad malah menekankan bahwa konsep ini hanya bisa
awam, yaitu membenarkan ta ṣdīq makna dari kalimat tauhid dengan hati sebagaimana
umat Islam membenarkannya. Ketiga martabat muqarrabin, yaitu menyaksikan melalui penyingkapan spiritual dengan perantaraan cahaya Allah bahwa segala sesuatu
bersumber dari Allah Yang Maha Esa semata. Keempat martabat ṣiddīqīn, yaitu tidak
menyaksikan kecuali hanya Allah semata. Bahkan, ungkap al-Ghaz āli, orang yang
mencapai ini tidak melihat lagi keberadaan dirinya. Al-Ghaz ālī, Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn,
IV304; ‘Abd al- ṣamad, Sayr al-Sālikīn, III102-103.
453
Sayr al-S ālikīn, III103.
454
al-J īlī, al-Insān al-Kāmil, I62.
455
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 4r ; B: 2r.
135
diterapkan ketika dihubungkan kepada Allah. Dalam ungkapan lain, ‘Abd al-
ṣamad menggarisbawahi bahwa ketiadaan wujud manusia dan alam semesta adalah jika dinisbahkan kepada Allah.
456
Berdasarkan ini, konsekuensi logis dari ungkapan tersebut adalah jika dinisbahkan kepada
manusia dan makhluk, maka wujud mereka menjadi nyata dan terbukti ada. Konsep ini yang sering terlupakan ketika membaca teks-teks yang
membicarakan tentang wa ḥdat al-wujūd. Tahapan ketiga ini merupakan
substansi dari konsep wa ḥdat al-wujūd.
Ia menjadikan sya’ir Lab īd yang juga dipuji oleh Nabi Saw, “ ﻻﺃ
ﺎﻣ ﻼﺧ
ﷲ ﻼﻁﺎﺑ
- -Ketahuilah bahwa selain Allah itu batil”
sebagai pijakan utama untuk menguatkan konsep ini. Selain itu, ia mengemukakan
beberapa ungkapan di dalam al-Qur’an yang menyebutkan bahwa pada hari Kiamat akan lenyap semua hal kecuali wajah Allah.
P456F
457
P
‘Abd al- ṣamad menambahkan hadis lain yang menjadi pijakannya,
bahwa Allah telah ada sedangkan tidak ada siapa pun bersama-Nya. Ulama menambahkan, ungkap ‘Abd al-
ṣamad, bahwa “Dia sekarang ada sebagaimana keadaann-Nya dulu ada”.
P457 F
458
P
Apabila di halaman sebelumnya ia hanya mengatakan bahwa wujud alam jika dikaitkan kepada Allah
bersifat khay āl, wahm, dan bāṭil, maka pada halaman berikut ia
menambahkan dengan kata maj āz majazi. Penggunaan term “khayāl”
terhadap selain Allah juga digunakan oleh Naf īs al-Banjārī ketika
menjelaskan tahapan ini. Dalam hal ini, ‘Abd al- ṣamad mengingatkan
agar jangan terjebak kepada konsep ḥulūl dan ittiḥād, karena wujud Allah
tidak berupa jism, jawhar, dan ‘arad} . Dia tidak akan menempati sesuatu dan bersatu dengannya, karena wujud-Nya Maha Suci dari batas
ḥudūd dan sifat baru
ḥudūth.
P458F
459
Penempatan al-Samm ān sebagaimana dipahami ‘Abd al-ṣamad
terhadap tahapan fan ā’ al-dhāt yang sangat identik dengan waḥdat al-
wuj ūd pada tahapan ketiga, menunjukkan bahwa pencapaian pada tataran
ini bukanlah sebagai tingkat spiritual tertinggi. Tetapi masih ada dua tahapan lain yang lebih tinggi dari ini, yaitu tahapan keempat dan kelima.
456
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 4r ; B: 2r.
457
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 4v ; B: 2r. QS. Al-Raḥmān ayat 26-27:
ﻝﻛ ﻥﻣ
ﺎﻬﻳﻠﻋ ﻥﺎﻓ
26 ﻰﻘﺑﻳﻭ
ﻪﺟﻭ ﻙﺑﺭ
ﻭﺫ ﻝﻼﺟﻟﺍ
ﻡﺍﺭﻛﻹﺍﻭ 27
458
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 4v ; B: 2r. Teksnya adalah:
ﻝﺎﻗ ﻰﻳﻧﻟﺍ
ﻰﻠﺻ ﻟ
ﻪﻳﻠﻋ ﻡﻠﺳﻭ
: ﻥﺎﻛ
ﷲ ﻡﻟﻭ
ﻥﻛﻳ ﺎﺋﻳﺷ
ﻪﻌﻣ ﺩﺍﺯﻭ
ءﺎﻣﻠﻌﻟﺍ :
ﻭﻫﻭ ﻥﻵﺍ
ﺎﻣﻛ ﻥﺎﻛ
ﻪﻳﻠﻋ .
459
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 5r ; B: 2v; Nafīs al-Banjārī, al-Durr al-
Naf īs, 16-17.
136
Apabila tiga tahapan pertama termasuk bagian dari fan ā’, maka dua
tahapan terakhir merupakan bagian dari baq ā’.
Adapun tahapan keempat adalah baq ā’ dalam penyaksian
kuantitas alam semesta yang banyak dan beragam pada keesaan Allah. Ia menyebutnya dengan ungkapan shuh
ūd al-kathrah fī al-waḥdah.
460
ṣadr al-D
īn al-Qūnawī 673 H. murid Ibn ‘Arabī pernah mengungkapkan bahwa al-wa
ḥdah merupakan sifat dhātīyah bagi Allah, sedangkan al- kathrah
merupakan sifat dh ātīyah bagi alam semesta. Dari aspek ini,
maka dua sifat tersebut bertentangan.
461
Tetapi ‘Abd al- ṣamad mencoba
menjelaskan bahwa penerapan dari ungkapan adalah seorang yang mencapai ini menyaksikan bahwa wujud makhluk berdiri dengan
bersandar kepada wujud Allah, bukan dengan dirinya sendiri.
462
Di dalam Sayr al-S
ālikīn ia pernah menjelaskan tahapan ini sebagai pencapaian martabat ins
ān kāmil. Ia mendefinisikan bahwa ungkapan shuhūd al- kathrah f
ī al-waḥdah berarti menyaksikan semua makhluk dalam “perintah” Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat wa
ḥdānīyah.
463
Tahapan kelima adalah baq ā’ dalam penyaksian keesaan Allah
yang mutlak pada kuantitas alam semesta yang banyak dan beragam. Ia menyebutnya dengan ungkapan yang terbalik dari tahapan keempat, yaitu
shuh ūd al-waḥdah fī al-kathrah. Adapun makna dari ungkapan ini ia
jelaskan dengan mengatakan bahwa seorang s ālik menyaksikan bahwa
Allah mawj ūd pada setiap elemen yang terdapat pada alam semesta.
Tetapi ia menggarisbawahi bahwa penyaksian tersebut hanya bersifat “dhawq
ī” bukan “qawlī lafẓī”, sehingga disaksikan pada tahapan ini wujud Allah pada setiap bagian elemen dari alam semesta dalam makna
yang lebih luas; menyaksikan padanya huw īyah hakikat Allah, zat-Nya
yang berdiri sendiri, kekuasaan-Nya dan keagungan-Nya.
464
Berdasarkan itu, ia menyebutkan di dalam Sayr al-S
ālikīn bahwa shuhūd al-waḥdah fī al-kathrah
berarti menyaksikan Tuhan yang mempunyai ‘perintah’ pada alam semesta.
465
Hanya bersifat dhawq ī berarti sebatas perasaan dan pengalaman
spiritual. Tidak bersifat qawl ī lafẓī berarti penyaksian tersebut bukan pada
tataran teologis. Ini dikarenakan jika penyaksian tersebut dipahami
460
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 5r ; B: 2v.
461
ṣadr al-Dīn al-Qūnawī, al-Nafaḥāt al-Ilāhīyah tahqiq: Aḥmad Farīd al- Far
īdī Beirut: Dār al-Kutub, 2007, 58.
462
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 5v ; B: 2v.
463
‘Abd al- ṣamad, Sayr al-Sālikīn, III12.
464
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 5v ; B: 2v.
465
‘Abd al- ṣamad, Sayr al-Sālikīn, III12.
137
dengan qawl ī lafẓī maka akan mengakibatkan konsekuensi teologis.
Konsep ini merupakan penegasan yang terpenting dari data-data yang diperoleh sejauh ini pada wacana wuj
ūd. Dari penegasan tersebut, maka dapat dipahami titik kekeliruan penentang ajaran wa
ḥdat al-wujūd seperti Ibn Taym
īyah dan Ibn al-Qayyim. Ibn Taymīyah membaca teks-teks tasawuf yang sangat banyak ia sebutkan dalam karya-karyanya dengan
kacamata teologis, sehingga terjadi bias terhadap objek yang dibaca. Apalagi pengikut mereka yang menentang tasawuf berdasarkan sumber
sekunder yang diperoleh dari karya-karya yang mereka tinggalkan.
Bahkan ‘Abd al- ṣamad secara lebih tegas menambahkan bahwa
penyaksian ini tidak boleh dipahami sebagai konsep teologis seperti ḥulūl,
itti ḥād, dan ‘aynīyah substansif.
466
Ungkapan ini -sejauh data yang ditemukan seputar kajian wuj
ūd- merupakan penegasan yang paling jelas dari konsep-konsep wujud yang pernah ada sebelumnya.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ‘Abd al- ṣamad tidak
menempatkan wa ḥdat al-wujūd yang dipahami dari fanā’ al-dhāt sebagai
tingkatan tertinggi. Ini dikuatkan sendiri oleh kesimpulan ‘Abd al- ṣamad
bahwa baq ā’ lebih tinggi daripada fanā’. Ini dikarenakan fanā’ masih
pada tataran a ḥadīyah, sedangkan baqā’ pada tataran wāḥidīyah. Tetapi ia
mengingatkan bahwa tidak akan sampai kepada baq ā’ kecuali dengan
melewati fan ā’. Namun terdapat hal lain yang menarik dari konsep ‘Abd
al- ṣamad, bahwa ia menilai dua term ini sebagai maqām, bukan ahwāl.
467
Tetapi kajian ini tidak akan membicarakan dinamika perdebatan tokoh- tokoh sufi mengenai hal tersebut.
Namun demikian, poin terpenting dari bagian ini adalah penegasan seorang sufi sekaligus teolog seperti ‘Abd al-
ṣamad terhadap pemilahan dua kacamata yang berbeda. Boleh dikatakan bahwa semua
ungkapan wa ḥdat al-wujūd dalam pemahaman ‘Abd al-ṣamad mesti
dipahami dengan kacamata kesufian yang berpijak dari aspek perasaan dan pengalaman spiritual. Berdasarkan hal ini, penilaian teologis yang
akan menghukuminya menjadi kafir atau mukmin tidak relevan diterapkan pada konteks ini. Namun, setiap perkembangan yang dicapai
pada tahapan ini merupakan substansi dari penerapan tauhid itu sendiri.
BAB V
466
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, 2v.
467
‘Abd al- ṣamad, Zād al-Muttaqīn, 2v.
138
PENUTUP A. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, terlihat jelas bahwa konsep dan tradisi tasawuf yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Nusantara pada
abad ketujuh belas sampai kesembilan belas tidak terpisahkan dari teologi Sunni, terutama Ash‘ar
īyah. Ulama tasawuf Nusantara tidak berpandangan bahwa teologi Sunni yang mereka anut bertentangan
dengan ajaran kesufian yang dikembangkan. Justru mereka menempatkan teologi Sunni sebagai pijakan awal dan kontrol terhadap perkembangan
spiritual.
Dalam hal ini, hanya al-Ranir ī sebagai tokoh “pendatang” yang
mengembangkan teologi Sunni M ātūridīyah, sedangkan yang lain lebih
cenderung kepada Ash‘ar īyah. Namun, mereka sepakat dalam
menempatkan teologi Sunni sebagai pijakan dasar dalam mempelajari dan mengamalkan tasawuf. Sikap ini akan ditemukan secara konkrit dari
karya-karya ‘Abd al-Ra’ ūf, ‘Abd al-ṣamad, Nafīs al-Banjārī, Yūsuf al-
Makassari, Mu ḥammad ‘Aydrūs al-Buṭūnī, Ismā‘īl al-Minangkabawī,
Nawaw ī al-Bantanī dan tokoh lainnya.
Hampir semua tokoh tasawuf Nusantara menjadi pengikut tasawuf Ibn ‘Arab
ī, walaupun terjadi perbedaan interpretasi dan ekspresi di kalangan mereka. Perbedaan tersebut mempunyai implikasi yang berat
pada tatanan teologi dan politik mereka. Memang benar bahwa al-Ranir ī
mengritisi konsep tasawuf ḥamzah Fanṣūrī dan Shams al-Dīn al-
Sumatr ānī. Tetapi bukan berarti tiga tokoh ini tidak mempunyai tradisi
yang sama, justru mereka adalah pengikut Ibn ‘Arab ī yang ‘setia’.
Ditemukan bahwa al-Ranir ī berkesimpulan bahwa dua tokoh tersebut
salah dalam menginterpretasikan konsep wujud yang pernah dikembangkan oleh Ibn ‘Arab
ī. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa al-Ranir
ī juga keliru dalam memberikan kesimpulan ini, sebagaimana diasumsikan selama ini. Tetapi, berdasarkan teks yang dikaji
-seperti Jawahir al-Ma‘l ūm sebagai karya yang paling luas
membicarakan konsep wujud- terlihat bahwa al-Ranir ī adalah penganut
aliran Wuj ūdīyah yang lebih militan dan idealis. Ia menolak semua
wujud, kecuali wujud Allah semata. Inilah yang ia pahami dari konsep al- wuj
ūd al-muṭlaq. Al-Ranirī berpandangan bahwa konsep inilah yang disebut sebagai sufi sejati dan sekaligus Sunni yang lurus. Adapun
ḥamzah dan Shams al-Dīn dalam pandangan al-Ranirī masih terjebak kepada pengakuan terhadap dualisme wujud atau lebih. Sikap ini tentu
sangat berbeda dengan sikap Ibn Taym īyah yang memang telah
139
“memusuhi” ajaran tasawuf Ibn ‘Arab ī, walaupun pada akhirnya dua
tokoh ini mempunyai sikap yang sama dalam menghukumi teologi tokoh yang dianggap “menyimpang”.
Selain itu, terlihat bahwa ‘Abd al-Ra’ ūf ternyata bukanlah sebagai
pembela ḥamzah atau pengritis al-Ranīrī. Ini dikarenakan teks-teks yang
dikarang oleh ‘Abd al-Ra’ ūf justru lebih cenderung menyudutkan ajaran
ḥamzah. Begitu juga, ‘Abd al-
ṣamad al-Palimbānī yang dianggap sebagai “pendamai” antara tasawuf falsafi dan Sunni, ternyata tidak pernah
berpandangan bahwa dua konsep tersebut bertentangan, sehingga perlu untuk didamaikan. Justru sebagaimana tokoh lainnya, ‘Abd al-
ṣamad memang menjadikan teologi Sunni sebagai pijakan dan kontrol terhadap
perkembangan spiitual seseorang. Ini terlihat dari ungkapannya dalam Z
ād al-Muttaqīn bahwa penyaksian spiritual bahwa Allah sebagai wujud yang maha tunggal “ada” dalam setiap elemen terkecil alam semesta.
Penyaksian tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat lahiriah dan tekstual laf
ẓī dalam artian bahwa Allah bersatu ittiḥad dan bertempat ḥulūl di setiap elemen tersebut. Namun ‘Abd al-
ṣamad mengingatkan bahwa penyaksian tersebut bersifat intuitif
ẓawqī. Berdasarkan hal ini, ‘Abd al- ṣamad tidak merasa keberatan untuk menghubungkan dirinya kepada
komunitas pengikut teologi Sunni Ash‘ar īyah.
Tokoh semasanya, seperti Arshad al-Banj ārī dan Nafīs al-Banjārī
juga dengan terus terang menyebut diri mereka sebagai pengikut teologi Sunni Ash‘ar
īyah. Dalam konteks ini Nafīs lebih cenderung kepada tasawuf daripada Arshad, walaupun mereka sama-sama belajar kepada
guru spiritual yang sama, yaitu Mu ḥammad bin ‘Abd al-Karīm al-
Samm ān.
Sampai abad kesembilan belas, teologi Sunni masih mengakar kuat di Nusantara, walaupun terdapat beberapa gejolak yang
mengindikasikan pengaruh teologi lain. Kekuatan teologi yang kuat tersebut terlihat dari karya-karya Nawaw
ī al-Bantanī dan Ismā‘īl al- Minangkabaw
ī dan tokoh lain. Karya-karya mereka –di samping karya ulama lain di
ḥaramayn- masih mempengaruhi dengan kuat tradisi keagamaan pada abad berikut yang lebih majemuk. Hal ini terlihat dari
gerakan-gerakan keagamaan yang “berjamur” pada abad keduapuluh. Adapun yang terbesar diantaranya adalah gerakan yang dibangun oleh
ḥāshim Ash‘arī. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sufi-sufi
yang ada di Nusantara adalah teolog-teolog yang ulung. Mereka memulai
140
kajian spiritual dengan memahami teologi Sunni sebagai pijakan utama dan kontrol spiritual.
B. Saran