53
tengah atau di akhir pembahasan.
180
Apabila disepakati bahwa teks tasawuf tergabung dalam teks tauhid, maka jumlah presentasenya akan
melebihi teks fiqih. Ini berarti naskah tauhid dan tasawuf merupakan dominasi terbanyak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perhatian ulama
Nusantara sangat besar terhadap kajian teologi dan tasawuf.
Baik teks tauhid yang terdapat di YPAH maupun Tanoh Abee, hampir semuanya mempunyai tema yang sama, yaitu tentang sifat dua
puluh dalam teologi Sunni. Materi ini dipopulerkan sebelumnya oleh al- San
ūsī, sehingga tidak jarang teks-teks tersebut hanya berupa terjemahan dari karya tokoh ini, atau saduran darinya. Ini dikecualikan dengan
beberapa kitab tertentu yang menjadikan karya tokoh lain sebagai sumber utama seperti al-Yaw
āqīt wa-al-Jawahir karya al-Sha‘rānī yang lebih menonjolkan konsep tauhid Ibn ‘Arab
ī yang dianggapnya cenderung kepada Sunni.
Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa Sunni merupakan teologi yang dianut oleh ulama Nusantara, terutama pada abad ketujuh
belas sampai kesembilan belas. Oleh karena itu, keberadaan teologi lain seperti Sh
ī‘ah pada abad ketujuh belas sangat sulit dibuktikan. Begitu juga, perkembangan teologi lain seperti paham Wahh
ābīyah yang didirikan oleh Mu
ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb 1115-1206 H. sulit ditemukan, baik pada naskah maupun pada tradisi. ia banyak terinspirasi
oleh ajaran Ibn Taym īyah 663-728 H. Meskipun gerakan Wahhābīyah
telah pesat sejak masa Mu ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb 1115-1206
H.1703-1792 H.. Berdasarkan hal ini, akan dikemukakan penulusuran terhadap indikasi keberadaan pengaruh teologi Ibn Taym
īyah dan Mu
ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb di Nusantara.
A. Teologi Ibn Taym īyah di Nusantara
Sudah menjadi kebiasaan ketika mendengar nama Ibn Taym īyah,
maka terlahir persepsi bahwa ia adalah penentang yang kritis terhadap tasawuf Ibn ‘Arab
ī. Di sisi lain, Ulama Nusantara lebih cenderung kepada tasawuf Ibn ‘Arab
ī. Bahkan hampir semua tokoh sufi Nusantara adalah
180
Di akhir kitab Umm al-Bar āhīn dijumpai pemaparan tasawuf dan praktiknya.
Begitu juga beberapa teks tasawuf di Nusantara seperti ‘Umdat al-Mu ḥtājīn karya ‘Abd
al-Ra’ ūf al-Jāwī lebih dahulu memaparkan konsep teologi Sunni sebelum praktik ajaran
tarekat. Dalam hal ini, Oman Fathurahman dan Munawar Holil mengategorikan teks Bid
āyat al-Hidāyah karya Muḥammad Zayn Ibn al-Faqīh Jalāl al-Dīn sebagai teks tauhid, meskipun ia mengakui di dalamnya juga dibicarakan tentang tasawuf. Ia juga
mengategorikan teks Fat ḥ al-Raḥmān fi Sharḥ} Risālat al-Walī Ruslān sebagai teks
tauhid, walaupun kandungan teksnya lebih banyak membicarakan tasawuf. Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, 39 dan 49.
54
pengikut Ibn ‘Arabi. Berdasarkan hal ini, secara umum terlihat bahwa ulama Nusantara telah bertentangan dengan Ibn Taym
īyah, walaupun secara tidak langsung.
Dalam hal ini, sejauh penulusuran literatur yang dilakukan, terlihat bahwa teologi Ibn Taim
īyah tidak mewarnai corak teologi ulama Nusantara. Hal ini terlihat dari kajian keislaman yang berkembang sejak
kedatangan al-R ānīrī sampai awal abad kesembilan belas. Pada awal abad
kesembilan belas baru muncul kecenderungan kepada teologi Ibn Taym
īyah dalam formulasi Wahhābīyah. Ini tampak dari kebangkitan gerakan Padri di Sumatra Barat. Hal ini terjadi setelah tiga orang
Minangkabau yang menunaikan haji ke Makkah tahun 1803 M. Setelah kepulangan mereka, muncul gejolak politik dan keagamaan di Sumatera
Barat. Christine Dobbin menyebutkan bahwa gejolak tersebut merupakan kebangkitan gerakan Padri untuk periode pertama, yaitu sejak tahun 1803
M. sampai 1819 M. Adapun pada periode kedua, dimulai dari 1807 M. sampai 1832.
181
Tapi sayang sekali, belum ditemukan satupun peninggalan literatur dari kaum Padri yang secara terang-terangan menunjukkan
pengaruh Ibn Taym īyah dan Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Adapun
yang ditemukan adalah beberapa naskah peninggalan Tuanku Imam Bonjol yang menjadi pemimpin gerakan Padri periode kedua, tetapi
karyanya tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Sejauh ini, baru diketahui kaum tuo mengritisi kaum mudo, karena alasan mereka
mengikuti ajaran Wahh
ābīyah. Dari kritikan inilah muncul beberapa keterangan dari musuh teologi Wahh
ābīyah lokal –yang dalam konteks ini adalah kaum tuo- yang menyebutkan ajaran apa saja yang
dipermasalahkan. Seperti ‘Abdul Manaf Khathib 2006 M. yang sempat menjelaskan penyimpangan Wahh
ābīyah lokal dari teologi Sunni. Tetapi terlihat bahwa penjelasan tersebut sama atau mungkin saja menukil dari
karya Siradjuddin Abbas 1980 M.1400 H. yang terkenal sebagai kaum tuo
yang produktif untuk “menyerang” ajaran Wahh ābīyah. Penjelasan
tersebut terlihat dari ungkapan Siradjuddin bahwa kaum Wahh ābīyah
meyakini Allah duduk di atas ‘Arasy atau langit, padahal mereka menyatakan Tuhan tidak serupa dengan makhluk. Selain itu, yang relevan
dengan konteks kajian ini, sebagaimana disebutkan Siradjuddin,
181
Cristine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Depok: Komunitas Bambu, 2008, 202 dan 257; Mahmud Yunus secara umum lebih
cenderung mengatakan kebangkitan Wahabi yang utama adalah 1821-1832, atau periode kedua dari kategorisasi Dobbin. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
Jakarta: Hidakarya Agung, 1996, 30.
55
kelompok Wahh ābīyah lokal melarang untuk mempelajari sifat dua puluh
seperti yang biasa dilakukan oleh ulama Sunni.
182
Namun baik Siradjudin maupun Khathib tidak menyebutkan sumber dari naskah.
Terlepas dari hal itu, permasalahan lain yang muncul adalah apa yang menjadi bukti bahwa teologi Ibn Taym
īyah yang menjiwai gerakan Wahh
ābīyah tidak berkembang di Nusantara. Pembuktian tersebut hanya dapat dipastikan dengan menelusuri menelusuri literatur yang berasal dari
abad ketujuh belas sampai kesembilan belas. Penelusuran tersebut tentu tidak bersifat kajian filologis dan kodikologis semata, tetapi lebih
memperhatikan kepada muatan yang terkandung dalam teks.
Tetapi sebelum melangkah jauh, perlu dikemukakan teologi Ibn Taym
īyah yang belakangan menginspirasi kebangkitan gerakan Wahh
ābīyah di Nejd, agar dapat dibandingkan dengan teks teologi di Nusantara. Hal ini akan bermanfaat untuk memastikan bahwa teks-teks
teologi dan tasawuf pada abad ke-17 sampai 19 pernah dipengaruhi oleh Ibn Taym
īyah atau tidak dipengaruhi sama sekali. Apabila diperhatikan, maka tampak jelas bahwa Ibn Taym
īyah bercita-cita untuk mencapai konsep tauhid yang terlepas dari bid‘ah dan
syirik. Hal inilah yang ia sebut dengan substansi ajaran Salaf. Ibn Taym
īyah menyeru untuk kembali kepada akidah Salaf terutama yang dikembangkan oleh A
ḥmad bin ḥanbal 242 H. Tetapi Ibn Taymīyah sendiri mencoba memberikan inovasi -yang sebenarnya tergolong hal
tabu di kalangan Salaf- dalam konsep akidah. Ia menegaskan bahwa tauhid terbagi kepada tiga bagian. Pertama, tauhid rub
ūbīyah yang berarti penyaksian terhadap ketuhan Allah terhadap sebagala sesuatu. Kedua
tauhid ul ūhīyah yang berarti penyembahan mutlak kepada Allah Yang
Maha Esa. Ia memastikan bahwa para rasul diutus untuk menyebarkan tauhid yang kedua ini.
183
Ketiga tauhid asm ā’ dan ṣifāt yang berarti
penetapan terhadap nama-nama dan sifat Allah. Ia berpandangan bahwa
182
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‘i cet ke-19 Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2009. ‘Abdul Manaf Khathib, Ris
ālah Mīzān al-Qalb Manuskrip, 54-55. Karya ini ditulis di Batang Kapuak kecamatan Koto Tangah Tabing
Padang Sumbar.
183
Ibn Taym īyah, Istiqāmah Madinah: al-Jāmi‘ah Ibn Su‘ūd, 1403 H., ii31.
Ia mengatakan:
ﺩﻳﺣﻭﺗﻟﺎﻓ ﻱﺫﻟﺍ
ﺙﻌﺑ ﷲ
ﻪﺑ ﻪﻠﺳﺭ
ﻝﺯﻧﺃﻭ ﻪﺑ
ﻪﺑﺗﻛ ﻭﻫ
ﻥﺃ ﺩﺑﻌﻳ
ﷲ ﻩﺩﺣﻭ
ﻻ ﻙﻳﺭﺷ
ﻪﻟ ﻭﻬﻓ
ﺩﻳﺣﻭﺗ ﺔﻳﻫﻭﻟﻻﺍ
ﻭﻫﻭ ﻡﺯﻠﺗﺳﻣ
ﺩﻳﺣﻭﺗﻟ ﺔﻳﺑﻭﺑﺭﻟﺍ
ﻭﻫﻭ ﻥﺍ
ﺩﺑﻌﻳ ﻕﺣﻟﺍ
ﺏﺭ ﻝﻛ
ءﻲﺷ ﺎﻣﺄﻓ
ﺩﺭﺟﻣ ﺩﻳﺣﻭﺗ
ﺔﻳﺑﻭﺑﺭﻟﺍ ﻭﻫﻭ
ﺩﻭﻬﺷ ﺔﻳﺑﻭﺑﺭ
ﻕﺣﻟﺍ ﻝﻛﻟ
ءﻲﺷ ﺍﺫﻬﻓ
ﺩﻳﺣﻭﺗﻟﺍ ﻥﺎﻛ
ﻲﻓ ﻥﻳﻛﺭﺷﻣﻟﺍ
.
56
yang pertama adalah tauhid orang yang syirik.
184
Inilah keanehan dari term yang digunakan Ibn Taym
īyah dalam menyebutkan tauhid bagi orang musyrik. Lebih dari itu, Ibn Taym
īyah menyangka bahwa tauhid rub
ūbīyah adalah puncak tauhid orang yang menjalani ajaran tasawuf. Ia mengasumsikan bahwa tauhid rub
ūbīyah merupakan substansi dari pengalaman rohani yang dicapai sufi ketika fan
ā’ dan baqā’. Tauhid yang terhenti sampai tahapan ini akan menyebabkan seorang sufi tidak lagi
memandang baik dan buruk.
185
Sebagaimana Ibn Taym īyah, Ibn al-
Qayyim juga menguatkan bahwa tauhid rub ūbīyah merupakan objek
utama dalam kajian ilmu kalam dan pencapaian spiritual tertinggi di kalangan sufi, padahal keimanan tidak cukup sampai taraf tersebut.
186
Dengan penuh kesadaran, Ibn Taym īyah dan Ibn al-Qayyim telah
menyamakan tauhid yang dicapai oleh penganut tasawuf dan ahli ilmu kalam dengan keyakinan orang musyrik.
Terlepas dari kebenaran atau kekeliruan Ibn Taym īyah, tiga
pembagian tauhid menjadi ciri khas dari teologi yang ia ajarkan. Berdasarkan hal ini, maka hampir setiap karya teologis yang dipengaruhi
oleh ajaran Ibn Taym īyah memulai penulisan dengan tiga konsep tauhid
tersebut. Hal ini terlihat dari karya-karya murid-murid Ibn Taym īyah
seperti Ibn al-Qayyim al-Jawz īyah dan Ibn Abī al-‘Īzz 792 H..
187
Begitu juga, terlihat dari karya-karya Mu
ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb 1111- 1202 H. dan pengikut-pengikutnya.
188
Adapun sebaliknya, apabila ada karya teologis Sunni yang tidak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh ini,
184
Ibn Taym īyah, Istiqāmah, ii31; Ibn Taymīyah, Iqāmat al-Dalīl ‘alá Ibthāl
al-Ta ḥlīl, II97. Ibn al-Qayyim, Ighāthat al-Lahfān fī Maṣā’id al-Shayṭān Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 1975, ii135. Ibn Ab ī al-‘Izz, Sharḥ} al-ṭaḥāwīyah Kairo: Dār al-ḥadith,
2008, 1. Ibn Taym
īyah menyebutkan dalam Iqāmat al-Dalīl: َﻥﺎَﻛَﻓ
ُﺭﺎﱠﻔُﻛْﻟﺍ َﻥﻭﱡﺭِﻘُﻳ
ِﺩﻳِﺣ ْﻭَﺗِﺑ ِﺔﱠﻳِﺑﻭُﺑﱡﺭﻟﺍ
َﻭُﻫ َﻭ ُﺔَﻳﺎَﻬِﻧ
ﺎَﻣ ُﻪُﺗِﺑْﺛُﻳ
ِء َﻻ ُﺅَﻫ َﻥﻭُﻣﱢﻠَﻛَﺗُﻣْﻟﺍ
ﺍَﺫﺇ ﺍﻭُﻣِﻠَﺳ
ْﻥِﻣ ِﻉَﺩِﺑْﻟﺍ
ِﻪﻳِﻓ ﺍﻭُﻧﺎَﻛ َﻭ
َﻊَﻣ ﺍَﺫَﻫ
َﻥﻳِﻛ ِﺭْﺷُﻣ . Teks ini diungkapkan
oleh Ibn al-Qayyim dan Ibn Ab ī al-‘Izz dengan ungkapan yang hampir sama.
185
Ibn Taym īyah, Iqtid}ā’ al-Shirāṭ al-Mustaqīm, tahqīq: Muḥammad ḥāmid al-
Qaf ā Kairo: Sunnah al-Muḥammadīyah, 1369 H., 461. Ibn Taymīyah mengatakan:
ﻥﺇ ﺔﻔﺋﺎﻁ
ﻥﻣﻣ ﻡﻠﻛﺗ
ﻲﻓ ﻕﻳﻘﺣﺗ
ﺩﻳﺣﻭﺗﻟﺍ ﻰﻠﻋ
ﻕﻳﺭﻁ ﻝﻫﺃ
ﻑﻭﺻﺗﻟﺍ ﻥﻅ
ﻥﺃ ﺩﻳﺣﻭﺗ
ﺔﻳﺑﻭﺑﺭﻟﺍ ﻭﻫ
ﺔﻳﺎﻐﻟﺍ ءﺎﻧﻔﻟﺍﻭ
ﻪﻳﻓ ﻭﻫ
ﺔﻳﺎﻬﻧﻟﺍ ﻪﻧﺃﻭ
ﺩﻬﺷ ﻙﻟﺫ
ﻪﻧﻋ ﻥﺎﺳﺣﺗﺳﺍ
ﻥﺳﺣﻟﺍ ﺡﺎﺑﻘﺗﺳﺍﻭ
ﺢﻳﺑﻘﻟﺍ .
186
Ibn al-Qayyim, Igh āthat al-Lahfān, i75. Ibn al-Qayyim, ṭarīq al-Hijratayn
wa B āb al-Sa‘adatayn Dimām: Dār Ibn al-Qayyim, 1994, 55 dan 98. Aḥmad bin
Ibr āhīm, Sharḥ} Qaṣīdah Ibn al-Qayyim Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1406 H., i132.
187
Ibn Ab ī al-‘Izz mendahulukan penyebutan tauhid sifat sebelum rubūbīyah
dan ul ūhīyah. Ibn Abī al-‘Izz, Sharḥ} al-ṭaḥāwīyah, 18-19.
188
Ini seperti karya Sa‘ īd al-Jandūl yang memberikan komentar terhadap Kitāb
al-Tawh īd karya Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Sa‘īb al-Jandūl, al-Durr al-Nad}īd
Riy ād}: Mustawda‘ ‘Am, 1979, 36.
57
maka akan lebih cenderung memulai kajian teologi dari pembagian sifat- sifat Allah sebagaimana dilakukan oleh al-San
ūsī. Dalam hal ini Mu
ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, misalnya, menyebutkan bahwa Nabi Saw memerangi kelompok musyrik Arab,
padahal mereka telah bertauhid rub ūbīyah. Tetapi keyakinan mereka
belum ditambah dengan tauhid ul ūhīyah. Ia sepakat dengan pendapat Ibn
Taym īyah dalam hal ini, bahkan ia memujinya sebagai ungkapan yang
terbaik.
189
Hal yang sama dikatakan oleh ḥāfiẓ bin Aḥmad ḥukmī -
komentator ajaran Ibn Taym īyah- dengan menyebut mereka secara
eksplisit, ahl al-awth ān penyembah berhala.
190
Selain itu, tema penting dari implikasi konsep tauhid ul ūhīyah
adalah penolakan terhadap tradisi tawassul sebagaimana diperbolehkan dalam teologi Sunni Ash‘ar
īyah. Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, misalnya, berani menganggap orang Islam yang bertawasul kepada
malaikat, para nabi, dan orang saleh dalam kelompok mushrik īn orang-
orang yang syirik. Dalam pemahamannya, tawassul adalah meminta kepada selain Allah.
191
Tetapi di tempat lain, ketika menulis risalah kepada penduduk al-Qu
ṣaym, Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb menolak isu yang menyebutkan bahwa ia mengafirkan orang-orang yang
bertawassul.
192
Selain itu, permasalahan yang menjadi pemicu pemikiran Ibn Taym
īyah tidak berkembang pesat di Nusantara adalah pandangannya terhadap tasawuf. Ibn Taym
īyah menyadari perdebatan mengenai kemunculan tasawuf. Ketika dihadapi perbedaan pendapat mengenai asal
istilah tasawuf; berasal dari kata ṣuffah sahabat yang tinggal di mesjid
Nabawi, ṣafā-ṣafwah kesucian, atau pakaian dari ṣūf} wol. Ibn
Taym īyah menilai pendapat yang benar adalah yang terakhir, yaitu sūf.
193
Secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Dr. A ḥmad bin
Mu ḥammad al-Banānī bahwa Ibn Taymīyah tidak sepenuhnya menentang
ajaran tasawuf. Tokoh yang digelari oleh pengikutnya Shaykh al-Isl ām
ini, lebih cenderung mengritisi ajaran tasawuf yang ‘bertentangan’ dengan
189
Mu ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, Mu’allafāt al-Shaykh al-Imām
Mu ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb Riyād}: al-Jāmi‘ah Muḥammad Ibn Su‘ūd, t.t., 19
dan 145.
190
ḥāfiẓ bin Aḥmad ḥukmī, Ma‘ārij al-Qabūl Dimām: Dār Ibn al-Qayyim, 1900, ii401.
191
Mu ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, Mu’allafāt al-Shaykh, 151 dan 154. ḥafīẓ
bin A ḥmad ḥukmī, Ma‘ārij al-Qabūl, ii523.
192
Mu ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, Mu’allafāt al-Shaykh, 12.
193
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwa, X195.
58
al-Qur’an dan Sunnah.
194
Tentu saja ajaran yang ‘bertentangan’ dalam pengertian yang terbatas dengan pemahamannya terhadap dua sumber
ajaran Islam tersebut. Dalam hal ini, belum tentu tokoh-tokoh yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam merasa bertentangan
seperti dikatakan Ibn Taym īyah.
Ketika menghadapi perdebatan teologis, Ibn Taym īyah
memandang penyimpangan dalam perdebatan para teolog sama dengan kerancuan ajaran Yahudi. Ini berbeda sedikit ketika ia mengomentari
penyimpangan tasawuf dipandang Ibn Taym īyah sebagai kerancuan yang
mirip dengan Nasrani. Ia menambahkan bahwa hal itulah yang menyebabkan banyak teolog yang cenderung kepada apa yang ia sebut
dengan al- ḥurūf, ungkapan yang menunjukkan keunggulan dalam menulis
dan berdebat tentang pengetahuan dan keyakinan. Adapun kebanyakan sufi, maka ia menilai lebih cenderung kepada aspek esoteris dalam hal
a ṣwāt, ungkapan yang mengisyaratkan tentang syair sufi yang berbentuk
sam ā‘.
195
Selain itu, ia menilai konsep tasawuf tentang wuj ūd muṭlaq dan
tajall ī lebih mirip dengan perkataan majānīn orang-orang gila.
196
Ibn Taym īyah memandang para teolog yang ia sebut sebagai
mutakallim īn dan ahli tasawuf dengan penilaian yang sama. Ketika ia
mengatakan bahwa sebagaimana mutakallim īn telah menulis karya
teologis yang berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah, maka hal yang sama juga terjadi dengan kaum sufi. Ia menyontohkan karya al-Qushayri “al-
Ris ālah” yang tidak lagi mengikuti tradisi salaf, karena hanya menukil
dari generasi salaf yang terakhir. Begitu juga dengan al-Kal ābadhī dan al-
Sulami. Walaupun ia mengakui bahwa tokoh terakhir pernah menulis Sayr al-Salaf
–judul yang digemari oleh Ibn Taym īyah- tetapi ia berkilah
bahwa al-Sulam ī hanya mengemukakan di dalamnya aḥwāl dan maqāmāt
dari generasi salaf, terutama di Ba ṣrah.
197
Hal ini memperkuat asumsi Ibn Taym
īyah bahwa tasawuf bukan bersumber dari cara hidup Nabi Saw dan para sahabat. Tetapi tasawuf dalam pandangannya berasal dari cara hidup
zuhud yang pernah berkembang di kota Ba ṣrah. Ia menganalogikan
194
A ḥmad bin Muḥammad al-Banānī, Mawqif al-Imām Ibn Taymīyah min al-
Ta ṣawwuf wa-al-ṣūfīyah Makkah: Jāmi‘at Umm al-Qurā, 1992, 15.
195
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwa, II42.
196
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwā, II167.
197
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwā, II379. al-Qushayri memang memulai dari
tokoh-tokoh salaf yang terakhir, seperti Ibr āhīm bin Ad-ham, Dhū al-Dūn al-Miṣrī,
Fud}ayl bin ‘ Īyad}} dan tokoh lainnya. Al-Qushayrī, al-Risālah, 63, 65, 66.
59
perkembangan tersebut dengan kemunculan ahli fiqih rasionalis ahl al- ra’y
yang bersumber dari metode ulama di Kufah.
198
Perbandingan lain yang dikemukakan oleh Ibn Taym īyah adalah
metode perolehan pengetahuan antara teolog dan filosof, ahli hadis dan Sunnah, dan tasawuf. Teolog dan filosof mengagung-agungkan metode
rasionalitas. Metode ini bukannya suatu yang hebat bagi Ibn Taym īyah,
tetapi malah banyak kerusakan dan kontoversial. Ia menilai mereka sebagai makhluk Allah yang paling banyak kontroversial, sehingga setiap
golongan menolak pendapat yang lain karena memandang pendapatnya qat‘
ī kuatdan pasti. Adapun di kalangan ahli hadis, terdapat golongan kecil yang berargumen dengan hadis yang lemah dan mawd}
ū‘ untuk menguatkan pendapat mereka. Hal ini berbeda dengan kaum sufi yang
membangun pengetahuan mereka berdasarkan mimpi-mimpi dalam tidur man
āmāt, perasaaan adhwāq, dan imajinasi khayālāt yang dinilai sebagai penyingkapan spiritual kashf. Padahal, ungkap Ibn Taym
īyah, kashf
yang mereka maksud hanyalah khayalan yang tidak realistis dan ilusi yang tidak benar.
199
Tetapi di sisi lain, Ibn Taym īyah terlihat mencoba menerima
beberapa aspek teologi dari kalangan sufi. Hal ini dapat diketahui dari komentarnya ketika al-Junayd mendefinisikan tauhid sebagai ungkapan
untuk mengesakan Allah Yang Maha Qad īm dari alam yang ḥādith
baru. Ia mengatakan bahwa siapa yang mengikuti metode al-Junayd maka akan mendapat keselamatan, kesuksesan, dan kebahagiaan
spiritual.
200
Dalam hal ini, Ibn Taym īyah mengelompokkan kaum sufi kepada
dua golongan, golongan yang lurus dan yang sesat. Golongan ini terkesan minoritas dalam pandangan Ibn Taym
īyah, karena ia menyebut yang kedua sebagai jumlah terbanyak. Hal ini jelas ketika ia menyebut kath
īr min al-muta
ṣawwifah wa-al-fuqarā’ kebanyakan dari ahli tasawuf dan “faqir” menganggap imajinasi dan ilusi sebagai kashf.
201
Adapun golongan minoritas tersebut, justru adalah tokoh yang ia nilai sebagai
198
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwā, X367.
199
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwā, XI339. Ibn Taymīyah mengatakan:
ٌﺭﻳِﺛَﻛ َﻭ ْﻥِﻣ
ِﺔَﻓ ﱢﻭَﺻَﺗُﻣْﻟﺍ ِءﺍَﺭَﻘُﻔْﻟﺍ َﻭ
ﻲِﻧْﺑَﻳ ﻰَﻠَﻋ
ٍﺕﺎَﻣﺎَﻧَﻣ ٍﻕﺍ َﻭْﺫَﺃ َﻭ
ٍﺕ َﻻﺎَﻳَﺧ َﻭ ﺎَﻫُﺩِﻘَﺗْﻌَﻳ
ﺎًﻔْﺷَﻛ َﻲِﻫ َﻭ
ٌﺕ َﻻﺎَﻳَﺧ ُﺭْﻳَﻏ
ٍﺔَﻘِﺑﺎَﻁُﻣ ٌﻡﺎَﻫ ْﻭَﺃ َﻭ
ُﺭْﻳَﻏ ٍﺔَﻗِﺩﺎَﺻ
200
Ibn Taym īyah, Majmū‘ Fatāwā, XIV355. Ibn Taymīyah, al-ḥasanah wa-
al-Sayyi’ah , tahqiq M. Jam
īl al-Ghāzī Madinah: Maṭba‘ah al-Madanī, t.t., 17.
َﻥﱠﻳَﺑ َﻭ ْﻡُﻬَﻟ
ﺩْﻳَﻧُﺟْﻟﺍ ﺎَﻣَﻛ
َﻝﺎَﻗ ﻲِﻓ
ِﺩﻳِﺣ ْﻭﱠﺗﻟﺍ :
َﻭُﻫ ُﺩﺍَﺭْﻓﺇ
ِﺙﻭُﺩُﺣْﻟﺍ ْﻥَﻋ
ِﻡَﺩِﻘْﻟﺍ .
ْﻥَﻣَﻓ َﻙَﻠَﺳ
َﻙَﻠْﺳَﻣ ﺩْﻳَﻧُﺟْﻟﺍ
ْﻥِﻣ ِﻝْﻫَﺃ
ِﻑ ﱡﻭَﺻﱠﺗﻟﺍ ِﺔَﻓ ِﺭْﻌَﻣْﻟﺍ َﻭ
َﻥﺎَﻛ ْﺩَﻗ
ﻯَﺩَﺗْﻫﺍ ﺎَﺟَﻧ َﻭ
َﺩِﻌَﺳ َﻭ
201
Ibn Taym īyah, Majmū Fatāwā, XI339.
60
shuy ūkh al-ṣūfīyah al-kibār seperti Fud}ayl bin ‘Īyād}, Ibrāhīm bin Ad-
ham, Ab ū Sulaymān al-Dārānī, ‘Amrū bin ‘Uthmān al-Shiblī, al-Junayd,
Sahl al-Tastar ī, dan Abū ‘Abd Allāh al-Syayrāzī, Ma‘rūf al-Kharkhī.
202
Ia pernah mengatakan bahwa pada ajaran mereka terdapat keimanan dan pengetahuan benar. Pengelompokan ini tampak didukung oleh Mul
ā ‘Alī al-Q
ārī -salah seorang pengritis tasawuf Ibn ‘Arabī-.
203
Adapun kelompok kedua adalah tokoh seperti al- ḥallāj 309 H.,
Ibn ‘Arab ī, Ibn Sab‘īn, dan Ibn al-Fārid}. Ibn Taymīyah menilai bahwa
konsep tasawuf kelompok kedua justru dianggap kafir oleh kelompok yang kedua. Ia memberikan contoh hal tersebut dengan metode Ibn Sab‘
īn yang membalut pemikiran filsafat dengan bahasa tasawuf.
204
Tetapi tuduhan Ibn Taym
īyah ini terlihat tidak relevan, karena Ibn Sab‘īn sendiri adalah pengritis yang tajam terhadap filsafat, bahkan juga terhadap
teolog.
205
Namun bukan berarti Ibn Sab‘ īn menolak bahwa seorang sufi
terlepas dari teolog. Justru ia mengatakan bahwa di antara penyebab kesempurnaan spiritual dalam tasawuf adalah berpijak pertama kali
kepada teologi Sunni Ash‘ar ī,
206
walaupun Ash‘ar ī tidak luput dari
kritikannya. Di samping itu, Ibn Taym
īyah juga tidak konsisten menggunakan term itti
ḥād, ḥulūl dan waḥdat al-wujūd dengan pemaknaan yang berbeda. Ia menyebut Ibn ‘Arab
ī sebagai tokoh besar Ittiḥadīyah yang sering tidak sepakat dengan al-Junayd.
207
Ibn Taym īyah menilai
Itti ḥadīyah seperti Ibn ‘Arabī dan Ibn Sab‘īn sama dengan golongan
Sh ī‘ah Qarāmiṭah dan Ikhwān al-Shafā yang cenderung kepada kebatinan.
Tetapi yang mengherankan adalah ungkapannya bawa dua tokoh tersebut sebagai itti
ḥādīyah ahl waḥdat al-wujūd Ittiḥādīyah dari golongan wa
ḥdat al-wujūd –bentuk penggabungan dua term yang tidak lazim-.
208
Di sisi lain, walaupun ia mengatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arab
ī tergolong kafir, tetapi ia mempunyai komentar lain terhadapnya. Ibn Taym
īyah mengatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabī lebih mendekati
202
Ibn Taym īyah, Majmū Fatāwā, II107.
203
Ibn Taym īyah, al-‘Aqīdah al-Isfahānīyah, 164. ‘Alī al-Qāri, al-Radd ‘alá
al-Q ā’ilīn bi Waḥdat al-Wujūd, 93.
204
Ibn Taym īyah, al-Kaylānīyah, 21; Ungkapan yang sama juga ia kemukakan
di Ibn Taym īyah, al-Nubuwwāt Kairo: Maṭba‘ah al-Salafiyah, 1386 H., 160.
205
Ibn Sab‘ īn, Risālah Budd al-‘Ārif, 301.
206
Ibn Sab‘ īn, Sharḥ} Risālat al-‘Ahd, 118.
207
Ibn Taym īyah, al-Istiqāmah Madinah: Matba‘ah al-Jami‘ah Muḥhammad
Ibn Su‘ ūd, 1403, 93.
208
Ibn Taym īyah, ‘Aqidah al-Asfahānīyah Riyad}: Maktabah al-Rusyd, 1415
H, 77.
61
kepada Islam daripada Ibn Sab‘ īn, al-Qūnawī 673 H., dan al-Tilimsāni
dan pengikut-pengikut mereka.
209
Kembali kepada usaha pembuktian bahwa teologi Ibn Taym īyah
memang pernah atau sebaliknya tidak pernah mempengaruhi perkembangan teologi Nusantara, maka dapat dilakukan dengan
mengetahui kandungan dari karya-karya ulama tasawuf Nusantara yang populer pada abad ketujuh belas sampai sembilan belas yang berkaitan
dengan permasalahan teologi. Dapat dikatakan bahwa secara umum, nama “Ibn Taym
īyah” lebih identik dengan penentangan terhadap tasawuf. Ini terlihat dari karya-karya yang dihasilkannya, seperti Furq
ān bayn Awliy
ā’ al-Rahman wa-Awliyā al-Syayṭān Pembeda antara Wali Allah dan Wali Syetan dan Bughyat al-Mustaf
īdīn. Salah seorang tokoh yang akan sering disebutkan di sini adalah
N ūr al-Dīn al-Rānīrī, untuk dijadikan contoh dari ketiadaan pengaruh Ibn
Taym īyah terhadapnya. Walaupun ada yang mengidentikkan al-Rānīrī
dengan Ibn Taym īyah dalam menyerang ajaran ḥulūl dan ittiḥād, tetapi
nama tokoh terakhir memang tidak pernah muncul dalam karya al-R ānīrī.
Ini dikarenakan al-R ānīrī –sebagaimana akan dijelaskan pada bab
keempat- adalah penganut ajaran Wuj ūdīyah juga. Bahkan ia telah
mencapai tingkitan spiritual yang tinggi, sehingga mempunyai otoritas untuk mengajarkan beberapa tarekat. Hal ini terbukti dari pegakuan Y
ūsuf al-Makassari yang pernah belajar tarekat Q
ādirīyah dari al-Rānīrī.
210
Berdasarkan hal ini, sulit diterima bahwa Ibn Taym īyah mempengaruhi
sikap keagamaan al-R ānīrī.
Ada beberapa karya al-R ānīrī yang berkaitan dengan teologi,
pertama Durrat al-Far ā’id} bi Sharḥ} al-‘Aqā’id. Kitab ini merupakan
saduran dalam bahasa Melayu dari karya Sa‘d al-D īn al-Taftāzānī yang
melakukan komentar terhadap Mukhta ṣar al-‘Aqā’id karya Najm al-Dīn
‘Umar al-Nasaf ī.
211
Apabila diperhatikan kitab sumber yang dijadikan
209
Ibn Taym īyah, Majmū Fatāwā, II121. Ia mengatakan:
ﻰﻓﻭ ﻪﺑﺗﻛ
ﻝﺛﻣ ﺕﺎﺣﻭﺗﻔﻟﺍ
ﺔﻳﻛﻣﻟﺍ ﺎﻬﻟﺎﺛﻣﺃﻭ
ﻥﻣ ﺏﻳﺫﺎﻛﻻﺍ
ﻻﺎﻣ ﻰﻔﺧﻳ
ﻰﻠﻋ ﺏﻳﺑﻟ
ﺍﺫﻫ ﻭﻫﻭ
ﺏﺭﻗﺃ ﻰﻟﺇ
ﻡﻼﺳﻹﺍ ﻥﻣ
ﻥﺑﺍ ﻥﻳﻌﺑﺳ
ﻥﻣﻭ ﻯﻭﻧﻭﻘﻟﺍ
ﻰﻧﺎﺳﻣﻠﺗﻟﺍﻭ ﻪﻟﺎﺛﻣﺃﻭ
ﻥﻣ ﻪﻋﺎﺑﺗﺃ
.
210
Y ūsuf al-Makassari, Safīnat al-Najāḥ dalam Tudjimah, Syekh Yusuf
Makasar; Riwayat dan Ajarannya Jakarta: UI-Press, 1997, 200. Y
ūsuf mengatakan: “Sesugguhnya aku mengambil kelompok syekh ini [tarekat Q
ādiriyah] dari syekh kami, sandaran kami yag alim, yang mulia, yang arif, yang sempurna, yang mempersatukan
ilmu syariat dan hakikat, yang berhak atas makrifat dan tarekat, tuan kami Syekh Mu
ḥammad al-Jilān, yang terkenal dengan panggilan Syekh Nūr al-Dīn Hasanjī b. Mu
ḥammad Humayd al-Ursha al-Rānīrī.”
211
Tudjimah menyebutkan bahwa C.A.O. van Nieuwenhuyze menjelaskan dalam disertasinya mengenai ketiadaan kolofon dalam naskah ini. Tetapi ia meyakinkan
62
saduran dalam Durrat al-Far ā’id}, maka terlihat bahwa kitab tersebut
merupakan literatur yang cenderung kepada teologi Sunni M āturīdīyah.
Ini dikarenakan kedudukan al-Nasaf ī di kalangan Māturīdīyah seperti
Ab ū ḥāmid al-Ghazālī di kalangan Ash‘arīyah. Al-Nasafī dipandang
sebagai orang yang berjasa dalam mempertahankan dan mengembangkan teologi M
āturīdīyah di abad pertengahan. Hal ini terlihat dari penggunaan literatur yang ditulis al-Nasaf
ī mendominasi kurikulum kajian teologi di kalangan pengikut Ab
ū Manshūr al-Māturīdī yang bermazhab Hanafi dalam fiqih. Bahkan, Kit
āb al-Tawḥīd karya al-Māturīdī pun tidak populer. Ini tentu lebih mengherankan lagi bahwa al-Nasaf
ī pun tidak pernah merujuk langsung atau menyebutkan nama al-M
āturīdī serta karyanya Kit
āb al-Tawhīd dalam Mukhtaṣar al-‘Aqā’id. Terlepas dari kenyataan tersebut, terlihat bahwa karya al-Nasaf
ī dalam teologi sangat berpengaruh besar dalam kajian teologi Sunni. Ini terlihat dari penetapan
Universitas al-Azhar yang telah memilih Mukhta ṣar karya al-Nasafī
sebagai kurikulum pokok dalam teologi.
212
Ini telah berlangsung lama sebelum abad kedua puluh, bahkan hal tersebut masih eksis sampai saat
ini. Pilihan al-R
ānīrī terhadap kitab ini sebagai sumber saduran tentu beralasan. Ini dikarenakan teologi M
āturīdīyah tidak memiliki banyak perbedaan dengan teologi Ash‘ar
īyah yang dianut umat Islam Nusantara. Tetapi ada kemungkinan lain, yaitu kecenderungan al-R
ānīrī memilih kitab tersebut karena ia memang telah mempelajarinya ketika masih di
India atau di ḥaramayn. Dalam hal ini, penyebutan Ahl al-Sunnah
memang diidentikkan dengan Ash‘ar īyah dan Māturīdīyah. Oleh karena
itu, kebanyakan Ash‘ar īyah tidak merasa keberatan dalam mempelajari
literatur Matur īdīyah.
Karya kedua adalah Asr ār al-Insān yang berisi penolakan al-
R ānīrī terhadap keyakinan kaum Wujūdīyah yang mengatakan bahwa ruh
bersifat qad īm. Penukilan yang dilakukan oleh al-Rānīrīi menunjukkan
bahwa ia lebih cenderung merujuk kepada tokoh-tokoh sufi yang beraliran teologi Ash‘ar
īyah. Ini terlihat dari rujukannya kepada Nūr al-
bahwa naskah tersebut ditulis sebelum tahun 1045 H.. Tujdimah menyebutkan bahwa ada dua naskah yang berkaitan dengan teks tersebut, tertapi naskah pertama hilang.
Adapun dalam naskah kedua disebutkan kolofon tanggal 1185 H. Tudjimah, Asr ār al-
Ins ān fī Ma‘rifa al-Rūḥ wa ‘L-Raḥmān Jakarta: Penerbit Universitas Djakarta, 1960,
10-11. Mikrofilm di Leiden Or. A. 35 d.
212
Fat ḥullāh Khulayf, “Muqaddimah Taḥqīq” dalam Abū Manshūr al-Māturīdī,
Kit āb al-Tawḥīd Istanbul: al-Maktabah al-Islamīyah, 1979, 9.
63
D īn ‘Abd al-Raḥmān Jāmī 817 H.,
213
Zakariy ā al-Anshārī, Abū Isḥāq al-
Isfarayn ī, Abū Hāmid al-Ghazālī 505 H.1111 M., dan tokoh lainnya.
Setelah al-R ānīrī, kepulangan ‘Abd al-Ra’ūf ke Aceh juga
memperkuat teologi Sunni yang pernah diajarkan sebelumnya oleh al- R
ānīrī. Ia menulis berbagai karya yang berkaitan dengan teologi dan tasawuf, seperti Sullam al-Mustaf
īdīn. Karya ini sebagaimana akan dikemukakan nanti, merupakan bukti paling kuat menunjukkan keteguhan
‘Abd al-Ra’ ūf dalam menyebarkan ajaran Sunni dan pendiriannya yang
tegas dalam mengritisi ajaran Wuj ūdīyah “versi” Hamzah.
214
Karya ‘Abd al-Ra’ ūf lain yang bersifat semi teologi-tasawuf
mengindikasikan teologi Sunni Ash‘ar īyah. Hal ini terlihat bagian
pertama dalam kitab ‘Umdat al-Mu ḥtājīn.
215
Kitab tersebut berbicara mengenai tentang bagaimana mengenal Allah melalui ilmu tauhid dan
penerapannnya dalam ajaran tasawuf, terutama tarekat Sya ṭṭārīyah dan
Q ādirīyah. ‘Abd al-Ra’ūf menulisnya dengan bahasa Melayu. Keberadaan
kitab ‘Umdat merupakan salah satu bukti tertulis yang menunjukkan bahwa akidah dan tasawuf yang pernah diajarkan di Nusantara bercorak
Sunni.
Tokoh Sunni lain dari yang kurang dibicarakan adalah Mu
ḥammad Zayn Ibn Faqīh Jalāl al-Dīn yang menjadi guru Dāwud bin ‘Abdull
āh al-Faṭāni.
216
Mu ḥammad Zayn menulis karya yang sangat
berpengaruh kepada perkembangan teologi di Nusantara. Karya tersebut adalah Bidayat al-Hid
āyah. Sebenarnya, teks ini adalah terjemahan dari Umm al-Bar
āhīn karya al-Sanūsī, tetapi penulisnya sering menambahkan beberapa penjelasan tambahan sebagaimana biasa dalam tradisi
penerjemahan di Nusantara.
217
Pada abad kedelapan belas, karya-karya teologis yang ditulis oleh ‘Abd al-
ṣamad al-Palimbānī dan beberapa rekannya yang sama-sama menuntut ilmu di
ḥaramayn mulai mendominasi kurikulum pembelajaran tauhid di Nusantara. Karya ‘Abd al-
ṣamad yang paling monumental adalah Sayr al-S
ālikīn. Hampir setiap peneliti tradisi keislaman Nusantara mengenal karya ini. Walaupun ‘Abd al-
ṣamad berniat menerjemahkan,
213
Al-R ānīrī, Asrār al-Insān manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas K.B.G. 427,
2r. Naskah ini disunting juga oleh Tudjimah, Asr ār al-Insān fi Ma‘rifa ‘l-Raḥmān, 26.
214
‘Abd al-Ra’ ūf, Sullam al-Mustafīdīn¸ h. 81-82. Oman Fathurahman, Katalog
Naskah Dayah Tahoh Abee, 47.
215
‘Abd al-Ra’ ūf, ‘Umdat al-Muḥtājīn, 5-7.
216
Azra, Jaringan Ulama, 328.
217
Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, 37. Oman Fathurahman dkk, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee, 57-59.
64
tetapi penambahan hal-hal baru banyak ditemukan di dalamnya. Di permulaan kitab terlihat bahwa ‘Abd al-
ṣamad menegaskan dan menjelaskan jati dirinya sebagai seorang Sunni Ash‘ar
īyah. Ia menyebutkan bahwa teologi yang dijelaskannya adalah akidah Ahl al-
Sunnah wa-al-Jam ā‘ah.
218
Selain itu, terdapat Mu ḥammad Arshad al-Banjārī 1122-1227
H.1710-1812 M. yang menulis kitab Sab īl al-Muhtadīn. Terdapat
keambiguan beberapa penulis sejarah dalam menilai kitab ini. Azyumardi Azra, misalnya, mengira bahwa Arshad menulis kitab ini sebagai kitab
fiqih, sehingga memperkuat asumsi bahwa tokoh Banjar ini adalah seorang ahli fiqih.
219
Asumsi ini akan menjadi benar jika maksudnya adalah Sab
īl al-Muhtadīn li Tafaqquh fī al-Dīn. Tetapi akan menjadi sangat keliru jika kitab yang dimaksud adalah Sab
īl al-Muhtadīn fī Ma‘rifat U
ṣul al-Dīn yang berarti “Jalan orang yang mendapat petunjuk dalam mengenal pokok-pokok agama’ yang juga dikarang oleh Arshad.
Judul kedua membicarakan tentang teologi Sunni, sehingga dapat dipastikan bahwa Arshad adalah seorang teolog, di samping juga terbukti
sebagai seorang ahli fiqih. Arshad tidak pernah membicarakan di dalam kitab ini satu aspek pun mengenai hukum fiqih. Tetapi Azyumardi Azra
benar ketika mengatakan bahwa Arshad juga seorang yang ahli tasawuf, tetapi bukan karena ada kitab Kanz al-Ma‘rifah sebagaimana diasumsikan
Azyumardi Azra, karena karya ini masih diperdebatkan penisbahannya kepada Arshad. Tetapi sosok sufinya diperkuat karena Arshad pernah
mempelajari tarekat Samm
ānīyah dari pendirinya.
220
Ini sudah menjadi keberuntungan tokoh-tokoh Nusantara, jika mereka dapat langsung
belajar dari tokoh besar seperti Shaykh al-Samm ān.
Semasa dengan Arshad, tokoh Banjar lain semasa dengannya adalah Mu
ḥammad Nafīs al-Banjārī. Nafīs terlihat lebih kental dengan sosok kesufiannya. Namun ia tidak merasa keberatan sebagaimana tokoh
lain untuk mengatakan sebagai pengikut Ash‘ar īyah. Selain itu, meskipun
ia mengemukakan tentang konsep wuj ūd yang sangat filosofis, tetapi
Naf īs juga tidak merasa probematis ketika mengatakan bahwa tasawuf
218
‘Abd al- ṣamad al-Palimbani, Sayr al-Sālikīn, I21.
219
Mu ḥammad Arshad al-Banjārī, Sabīl al-Muhtadīn fī Ma‘rifat Uṣul al-Dīn
manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas ML 68, 1. Ditulis dalam katalog dengan judul yang keliru Tauhid dari al-Bukhari yang seharusnya Tauhid dari al-Banj
ārī, tetapi ini pun bukan judulnya sebagaimana telah disebutkan.
220
Azra, Jaringan Ulama, 316.
65
yang diikutinya adalah al-Junayd al-Baghd ādī.
221
Karyanya yang masih bisa ditemukan sekarang adalah al-Durr al-Naf
īs. Di dalamnya menjelaskan tahapan tauhid dalam dua perspektif; teologi Ash‘ar
īyah dan tasawuf.
Terdapat tokoh lain yang kurang populer, seperti Mu ḥammad ‘Alī
bin ‘Abd al-Rash īd al-Jāwī al-Qādī al-Sumbāwī. Ia menetap di Makkah
tetapi tidak diketahui secara pasti kapan lahir dan wafatnya. Hanya diketahui bahwa ia menerjemahkan kitab al-Yaw
āqīt al-Jawahir karya al-Sha‘r
ānī. Ia memulai menulis terjemahan tersebut tahun 1243 tanpa menyebutkan bulannya. Ia menyelesaikan terjemahannya pada tahun yang
sama yaitu, tanggal 18 Dh ū al-Qa‘dah 1243. Ia menutup tulisannya
dengan mendoakan siapapun yang menyalin dan membaca kitab tersebut dengan bertawassul. Ia mengatakan bi j
āhi al-Nabī wa-ālihi wa-aṣḥābihi dengan kemulian Nabi, keluarga dan sahabatnya.
222
Sebuah tradisi berdoa yang biasa dilakukan ulama Nusantara lainnya. Hal memperkuat
asumsi bahwa ajaran Ibn Taym īyah dan Wahhabīyah tidak mempengaruhi
tokoh ini. Setelah itu, muncul D
āwud bin ‘Abdullāh al-Faṭāni yang diperkirakan Azyumardi Azra hidup di separuh terakhir abad
kedelapanbelas dan separuh abad kesembilan belas 1153 H-12651740- 1847 M. memiliki berbagai karangan yang relevan dengan kajian ini.
223
Di antaranya, ia menulis Sullam al-Mubtad ī fī Ma‘rifat ṭarīqat al-Muhtadī
yang berkaitan dengan teologi Sunni dan hukum Islam.
224
Ia tergolong ulama tasawuf karena mempunyai geneologis spiritual kepada Shaykh
Mu ḥammad bin ‘Abd al-Karīm al-Sammān, meskipun tidak langsung
belajar kepadanya.
225
Selain itu, terdapat Mu ḥammad ṭayyib bin Mas‘ūd al-Banjārī yang
tergolong tokoh ulama Nusantara abad kesembilan belas. Ia berasal dari Banjar Kalimantan Selatan, tetapi tidak banyak diketahui apakah ia
mempunyai hubungan kerabat dengan Mu ḥammad Arshad al-Banjārī.
Mu ḥammad ṭayyib menyebutkan bahwa ia selesai menulis kitab teologi
Sunni yang berjudul Mifta ḥ al-Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah pada hari
221
Mu ḥammad Nafīs al-Banjārī, al-Durr al-Nafīs manuskrip dikoleksi oleh
Perpusnas W. 32 berasal dari koleksi H. von de Wall, 2.
222
Mu ḥammad ‘Alī, [Tarjamah] al-Yawāqīt al-Jawahir , Singapura,
Jeddah, dan Indonesia: al- ḥaramayn, t.t., 2 dan 55.
223
Azra, Jaringan Ulama, 327.
224
D āwud menulis teologi Sunni yang ia lihat sebagai fard}u ‘ayn, Dāwud bin
‘Abdull āh al-Faṭanī, Sullam al-Mubtadī fī Ma‘rifat ṭarīqat al-Muhtadī, Singapura,
Jeddah: al-Haramayn, t.t., 3-5.
225
Azra, Jaringan Ulama, 327.
66
Senin 16 Syaww āl 1274 H1859 M.
226
Ini menunjukkan bahwa ia menulis kitab ini 47 tahun setelah Arshad al-Banj
āri wafat. Ilyās Ya‘qūb al- Azhar
ī yang melakukan taṣḥīḥ terhadap kitab ini hanya menyebutkan bahwa Mu
ḥammad ṭayyib dengan gelar al-‘Alim al-Fād}il wa-al- Mal
ādh al-Kāmil. Ilyās juga mengakui bahwa kitab ini berbicara tentang u
ṣul al-dīn dan aqā’id.
227
Semasa dengan ṭayyib, umat Islam Nusantara berbangga karena
kehadiran ulama produktif seperti Mu ḥammad Nawawī bin ‘Umar al-
Bantan ī al-Jāwī. Ia menulis karya-karya religius dengan beberapa
kemajuan yang penting dibandingkan ulama sebelumnya. Apabila ulama sebelumnya lebih cenderung menerjemah atau menyadur karya-karya
yang berbahasa Arab, maka Nawaw ī al-Bantanī lebih cenderung menulis
Shar ḥ} dalam bahasa aslinya; Arab. Tentu ini merupakan perkembangan
yang melampaui tradisi sebelumnya. Hal tersebut tidaklah terjadi begitu saja, tetapi dipicu oleh kondisi sosial yang dihadapinya. Nawaw
ī al- Bantan
ī tidak hanya berhadapan dengan aṣḥab al-jāwiyīn, tetapi ia berhadapan dengan komunitas akademis Arab, terutama ketika ia menetap
di Mesir. Ia menulis beberapa karya penting yang relevan dengan topik ini.
Sebagai contoh, karyanya Fat ḥ al-Majīd sebagai komentar terhadap karya
A ḥmad al-Naḥrāwī dari Mesir yang berjudul al-Durr al-Farīd. Aḥmad al-
Na ḥrāwī, sebagaimana disebutkan Nawawī, adalah gurunya.
228
Besar kemungkinan bahwa Nawaw
ī belajar kepada al-Nahrāwī ketika di Mesir. Kitab Fat
ḥ al-Majīd ini menunjukkan kepiawaian Nawawi dalam menjelaskan teologi Sunni.
Ia juga menulis kitab al-Thim ār al-Yāni‘ah fī al-Riyād} al-Bādi‘ah
sebagai komentar terhadap kitab al-Riy ād} al-Bādi‘ah karya Muḥammad
ḥasbullāh al-Shāfi‘ī. Walaupun teks asli dari kitab ini lebih cenderung berbicara tentang fiqih, tetapi ketika diberikan komentar oleh Nawaw
ī al- Bantan
ī maka aspek teologi menjadi pembahasan yang mendapat tempat luas.
229
Selain itu, terlihat bahwa ia tidak terpengaruh sedikit pun oleh ajaran Ibn Taym
īyah dan paham Wahhābīyah, walaupun ia hidup setelah terjadi kebangkitan Wahh
ābīyah.
226
Mu ḥammad ṭayyib al-Banjārī, Miftāḥ al-Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah,
Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al- ḥaramayn, t.t., 15.
227
Terdapat di dalam ṭayyib al-Banjārī, Miftāḥ al-Jannah, 43.
228
Nawaw ī al-Bantanī, Fatḥ al-Majīd Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-
ḥaramayn, t.t., 2.
229
Mu ḥammad Nawawī al-Bantanī, al-Farāid} bi Sharḥ} al-‘Aqā‘id Surabaya:
D ār al-‘Ilm, t.t. , 2.
67
Selain itu, Nawaw ī al-Bantānī juga menulis Kāshifat al-Sajā fī
Shar ḥ Safīnat al-Najā. Sebagaimana kitab al-Thimār al-Yani‘ah, kitab
Kashifat al-Saj ā juga terdiri dari dua tema penting, teologi Sunni dan
fiqih. Al-Nawaw ī juga memadukan di dalamnya aspek teologi dan
tasawuf, sehigga terkesan tidak terpisah sama sekali. Ia selesai menulis kitab ini tahun 1277 H.
230
Di samping itu, terdapat Ism ā‘īl al-Minangkabawī pernah menulis
Kif āyat al-Ghulām fī Bayān Arkān al-Islām. Sebagaimana kitab-kitab
yang lain, karya ini lebih banyak berbicara fiqih daripada teologi. Walaupun Ism
ā‘īl hanya menulis teologi di dalamnya secara ringkas, tetapi terlihat perbedaannya dari tokoh-tokoh sebelumnya yang lebih
bersifat “San ūsīyah”. Ismā‘īl mencoba untuk menukil tokoh besar yang
lebih unggul dari al-San ūsī, seperti Fakhr al-Dīn al-Rāzī terutama dalam
memaknai kalimat syahadat.
231
Karya-karya Mu ḥammad ‘Aydrūs di Buton pada akhir abad
kesembilan belas juga menunjukkan realitas yang luar biasa. ‘Aydr ūs
adalah seorang sultan, tetapi menjalani kehidupan kesufian tanpa meninggalkan pemerintahan. Bahkan, boleh dikatakan bahwa ia adalah
kepala pemerintahan yang paling produktif menulis melebihi Raja ‘Al ī
Haji, terutama yang berkaitan dengan teologi Sunni. ‘Aydr ūs menulis
karya-karya teologis yang mandiri baca: bukan Shar ḥ} atau ḥāshiyah
dan berbahasa Arab. Ini terlihat dari kitabnya yang berjudul Had īyat al-
Bash īr fī Ma‘rifat al-Qadīr dan Tanqīyat al-Qulūb fī Ma‘rifat ‘Allām al-
Ghuy ūb dan beberapa karya lain. Ia menyusun karya teologis sendiri,
walaupun pada dasarnya memiliki kontens yang sama dengan karya al- San
ūsī. Dominasi teologi Sunni ini akan berlanjut kepada beberapa tokoh
yang pernah berinteraksi dengan tokoh-tokoh abad ke sembilan belas tetapi wafat pada paruh pertama abad kedua puluh, seperti ‘Abd al-
Ra ḥmān Siddīq al-Banjārī 1284-1355 H.1857-1939 H. yang
berdedikasi di Riau dan Bangka, H āshim Ash‘arī yang kelak menjadi
pembaharu di kalangan ulama tradisionalis, dan Da ḥlān al-Kadīri yang
produktif. ṣiddīq al-Banjārī terlihat sangat setia mengikuti tradisi
pendahulunya seperti Arshad al-Banj ārī dan ṭayyib al-Banjārī yang
menulis teologi dasar. ṣiddīq menulis tidak kurang dari dua karya
teologis, seperti Fat ḥ al-‘Alīm fī Tartīb al-Ta‘līm dan Risālah fī ‘Aqā’id
230
Nawaw ī al-Bantanī, Kāshifat al-Sajā, 123.
231
Ism ā‘īl al-Minangkabawī, Kifāyat al-Ghulām Singapura dan Jeddah: al-
Haramayn, t.t., 2.
68
al-Im ān.
232
Pada dasarnya dua kitab ini membicarakan tema yang sama yaitu teologi Sunni, tetapi kitab yang pertama lebih luas dengan
mengemukakan aspek keimanan eskatologi.
233
Ia juga sangat kental dengan metode teologis yang dikembangkan oleh al-San
ūsī.
234
Di samping itu, H āshim Ash‘arī menulis risalah yang berjudul
Risalah Ahl al-Sunnah wa-al-Jam ā‘ah. Ia menulis satu pasal di dalamnya
mengenai teologi yang dianut oleh ulama Nusatara “ahl J āwī”. Di
dalamnya terlihat jelas penegasan bahwa mereka sepakat bahwa dalam u
ṣūl al-dīn menganut teologi Ash‘arīyah. Ia melihat bahwa baru pada awal tahun 1330 Hijr
īyah mulai bermunculan golongan-golongan menyimpang, seperti gerakan salaf
īyūn dan pengikut Muḥammad ‘Abduh yang dipengaruhi oleh Ibn Taym
īyah, Ibn al-Qayyim, Ibn ‘Abd al-Hādī, dan Mu}hammad bin ‘Abd al-Wahh
āb.
235
Selain itu, ia juga mengritisi perkembangan golongan Ib
āhīyūn yang memang telah ada sejak zaman- zaman sebelumnya. H
āshim tidak mau menyebut mereka sebagai bagian dari tasawuf.
236
Tokoh semasa dengan ḥāshim Ash‘arī seperti Daḥlān al-Kadīri
juga masih mengikuti tradisi ulama Nusantara abad ke-19 dengan kuat. Karya Da
ḥlān al-Kadīrī yang berjudul Sirāj al-ṭālibīn juga dengan terus terang menunjukkan teologi Sunni Ash‘ar
īyah mengakar kuat di kalangan ulama Nusantara.
237
Walaupun ia wafat pada awal abad ke-20, tetapi Da
ḥlān termasuk tokoh yang beruntung karena masih bisa berinteraksi dengan ulama yang pernah belajar di
ḥaramayn pada akhir abar ke-19. Da
ḥlān mempunyai metode yang sama dengan Nawawī al-Bantanī, yaitu menulis karya dalam bahasa Arab. Di dalam kitab ini ia melakukan
kritikan terhadap Ibn al-Qayyim murid dari Ibn Taym īyah. Ini
232
Dua kitab ini diterbitkan oleh Ma ṭba‘ah Aḥmadīyah di Singapura tahun 1936
M.
233
‘Abd al-Ra ḥmān Siddīq al-Banjārī, Fatḥ al-‘Alīm fī Tartīb al-Ta‘līm
Singapura: Ma ṭba‘ah Aḥmadīyah, 1936, 75. Ia menyebutnya sebagai pelengkap kajian
teologis “Takmilat f ī Dhikr al-Jannah wa-al-Nār”.
234
Abd al-Ra ḥmān Siddīq al-Banjārī, Fatḥ al-‘Alīm, 4-9. Abd al-Raḥmān
Sidd īq al-Banjārī, Risālah fī ‘Aqā’id al-Imān Singapura: Maṭba‘ah Aḥmadīyah, 1936,
30-31.
235
H āshim Ash‘arī, Risalah Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah Jombang: al-
Maktabah al-Isl āmī, t.t, 9; Ia juga mengritisi gerakan Wahhābīyah dalam kitab lain.
H āshim Ash‘arī, al-Nūr al-Mubīn Jombang: al-Maktabah al-Islāmī, t.t, 72.
236
H āshim Ash‘arī, Risalah, 11. Ibāhīyūn adalah golongan yang beranggapan
bahwa hukum fiqih tidak berlaku lagi bagi seorang yang mencapai kejernihan jiwa. Ibn ‘Arab
ī, Ruh al-Quds, 67.
237
Nama lengkapnya adalah I ḥsān bin Mu}hammad Daḥlān al-Jampasī al-
Kad īrī.
69
dikarenakan Ibn al-Qayyim mengritisi ungkapan-ungkapan esoteris sufi, tetapi pengritis ini –seperti dijelaskan Da
ḥlān tidak memahami konteks pembicaraan mereka. Suatu kalimat ‘ejekan’ yang dikemukakan Da
ḥlan adalah, “fa al-Ghaz
ālī fī wād wa-al-munkir fi wād” al-Ghazāli di suatu lembah, dan pengritisinya di lembah yang lain. Al-munkir dalam hal ini
adalah Ibn al-Qayyim.
238
Tetapi tanpa disadari oleh Da ḥlān, ditemukan ‘sedikit’ pengaruh
Ibn Taym īyah di dalam karyanya ini. Ini terlihat dari ungkapannya bahwa
orang kafir juga mengakui tauhid rub ūbīyah sesuai dengan interpretasi
Ibn Taym īyah terhadap beberapa ayat tertentu.
239
Namun, jika diamati Da
ḥlān tidak bermaksud sama sekali untuk mengikuti Ibn Taymīyah, apalagi ‘mengekor’ kepada paham Wahh
ābīyah. Ia hanya bermaksud untuk menyimpulkan penjelasan ‘Al
ī al-Qārī 1114 H. seorang komentator al-Fiqh al-Akbar. Tetapi ia tidak menyadari bahwa ‘Al
ī al- Q
ārī sedikit terpengaruh oleh karya Ibn Abī al-‘Izz murid Ibn Taymīyah. Ibn Ab
ī al-‘Izz menulis komentar terhadap al-‘Aqīdah al-ṭaḥāwīyah dengan prespektif lain. Ia memasukkan di dalamnya beberapa pemikiran
al-D ārimī al-Qādī dan Ibn Taymīyah yang lebih cenderung kepada
pemahaman tekstual. Selain itu, penolakan Da ḥlān terhadap Ibn
Taym īyah dan paham Wahhābīyah akan terlihat pada pembahasan
tertentu. Terutama pada pembahasan mengenai kesucian Allah dari jihhat arah, kemaksuman para nabi, dan tawassul.
240
Dalam hal ini, Da ḥlān al-Kadīri terlihat banyak terinspirasi oleh
karya-karya al-Sayyid A ḥmad Zaynī Daḥlan 1304 H.1886 M. mufti di
Makkah. Tokoh terakhir termasuk ulama yang paling gencar mengritisi paham Wahh
ābīyah. Beberapa karyanya terlihat menyerang Wahhābīyah dan pendirinya secara transparan. Ini terlihat dari kritikannya dalam kitab
al-Durar al-Sunniyah f ī al-Raddi ‘alā al-Wahhabīyah. Judul dari kitab
ini dengan jelas menunjukkan penolakannya terhadap ajaran Wahh ābīyah.
A ḥmad Zaynī Daḥlān menolak prasangka kelompok Wahhābīyah yang
238
Da ḥlan al-Kadīrī, Sirāj al-ṭalibīn Beirut: Dār al-Fikr, 1997, I27-32. Kitab
ini diterbitkan kembali oleh penerbit al- ḥaramayn di Surabaya dengan sedikit ralat. Ini
dikarenakan pada cetakan D ār al-Fikr disebutkan bahwa kitab ini dikarang oleh Shaykh
A ḥmad Zaynī Daḥlan seorang mufti Shāfi‘īyah di Makkah. Padahal pengarangnya
adalah Da ḥlan dari Kediri Jawa Timur. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa
penjelasan dari Da ḥlan al-Kadīrī yang menukil perkataan Shaykh Aḥmad Zaynī Daḥlan
mengenai masalah tawassul. Da ḥlān al-Kadīri, Sirāj al-ṭālibīn, 466.
239
Da ḥlan ak-Kadīrī, Sirāj al-ṭālibīn, I110. ‘Alī al-Qārī, Sharḥ} al-Fiqh al-
Akbar Beirut: D
ār al-Kutub al-Islāmīyah, 2007, 22. Ibn Abī al-‘Izz, Sharḥ} al-‘Aqīdah al-
ṭahāwīyah, 29.
240
Da ḥlān al-Kadīri, Sirāj al-ṭalibīn, I156 dan 464-467.
70
mengharamkan bertawassul. Ini dikarenakan mereka menuduh umat Islam yang bertawassul meminta sesuatu kepada selain Allah. Justru,
ungkap A ḥmad, bahwa bertawassul pada hakikatnya hanya meminta
kepada Allah. Ketika ada di antara ulama Wahh ābīyah beralasan bahwa
pengharaman tawassul bertujuan untuk sadd al-dhar ī‘ah, maka sikap
meluruskan paham yang harus dilakukan adalah mengajarkan orang yang bertawassul agar tidak melafazkan kalimat yang keliru.
241
Selain itu, pengaruh dari karya al- ḥabīb ‘Alawī bin Aḥmad
keturunan ketiga dari al- ḥabīb ‘Abdullāh al-ḥaddād juga terlihat dari
karya Da ḥlān al-Kadīri. ‘Alawī menulis kritikannya terhadap ajaran
Wahh ābīyah dalam kitab Miṣbāḥ al-Anām wa-Jilā’ al-ẓalām fī Radd
Shubah al-Bid‘ ī al-Najdī. Dua kata terakhir dimaksudkan kepada nama
Mu ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb al-Najdī pendiri gerakan Wahhābīyah.
‘Alaw ī menulis kitab ini karena melihat dampak negatif dari gerakan
Wahh ābīyah di beberapa wilayah Arab, seperti negeri Oman buldān
‘Umm ān.
242
‘Alaw ī lebih cenderung berusaha ‘membunuh’ karakter
Mu ḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb dan gerakannya.
Di samping itu, masih terdapat banyak karya-karya ulama pada abad ke 17 sampai 19 yang tidak dikenal saat ini. Bahkan tidak jarang
nama para penulis tersebut tidak disebutkan dalam sejarah Islam. Ini bukan berarti kesalahan ahli sejarah, tetapi memang akses dan penelitian
serius terhadap naskah-naskah yang memuat pikiran mereka masih kurang dilakukan. Beberapa kitab yang berkaitan dengan teologi sesuai
dengan penelitian ini akan dikemukakan pada bagian ini.
Hal ini terlihat kitab Durr al-N āẓirah Tanabbuhan li durr al-
Fakhirah yang ditulis oleh Sir
āj al-Dīn bin Jalāl al-Dīn
243
dan kitab
241
A ḥmad Zaynī Daḥlān, al-Durar al-Sunniyah fī al-Raddi ‘alá al-
Wahhab īyah Kairo: t.t., 10. Belakangan kitab ini diterbitkan kembali dengan editan
yang rapi oleh al-Maktabah al- ḥaqīqah atau Hakekat Kitabevi di Istanbul Turki. Aḥmad
Zayn ī Daḥlān, al-Durar al-Sunnīyah fī al-Raddi ‘alá al-Wahhabīyah Istanbul: al-
Maktabah al- ḥaqīqah, 2002, 16-17. Daḥlān al-Kadīri, Sirāj al-ṭalibīn, I464-467.
Selain Dahl ān al-Kadirī, Hāshim Ash‘arī juga mempunyai jalur geneologis keguruan
kepada Zayn ī Daḥlān dalam periwayatan al-Jāmi‘ al-ṣaḥīḥ karya al-Bukhārī. Hāshim
Ash‘ar ī, “Sanad ṣaḥ}īḥ al-Bukhāri” dalam ‘Iṣām al-Dīm ed.al., Ishad al-Sārī fī Jam‘i
Mu ṣannafāt al-Shaykh Hāshim Ash‘arī Jombang: al-Maktabah al-Islāmī, t.t, 6.
242
al- ḥabīb ‘Alawī bin Aḥmad, Miṣbāḥ al-Anām wa Jilā’ al-ẓalām fī Radd
Shubah al-Bid‘ ī al-Najdī, Kairo: al-Maṭba‘ah al-‘Amirah al-Sharqīyah, t.t., 1.
243
Sir āj al-Dīn bin Jalāl al-Dīn, Durr al-Nāẓirah Tanabbuhan li Durr al-
Fakhirah , Naskah Perpusnas: ML 340. Di dalam Daftar Sementara Naskah-Naskah
Perpustakaan Nasional: 20 Mei 1993 Jakarta: Perpusnas, 1993, disebutkan dengan
judul Ad-Durah an-Nazirah dan Akidah bi Miftah al-Akaid, tentu saja ini penamaan yang keliru karena judul kitab ini sebagaimana disebutkan pengarang adalah Durr al-
71
Ma‘rifat al-D īn wa-al-Īmān dengan pengarang anonim. Tidak banyak
yang bisa ditelusuri dari riwayat hidup pengarang kitab pertama, apalagi yang kedua. Tetapi dapat dipastikan bahwa Sir
āj al-Dīn bermukim di Aceh ketika menulis kitab tersebut. Ini sebagaimana dikemukakannya
sendiri bahwa risalah tersebut ditulis dengan bahasa Jawi Melayu Aceh. Adapun judul kedua besar kemungkinan kitab ini berasal dari Makasar,
namun tidak dapat dipastikan siapa pengarangnya. Ada isyarat bahwa kitab ini bersumber dari Mu
ḥammad Jaylanī. Sama halnya dengan kitab Durr al-N
āẓirah, kitab ini tidak dikarang karena permintaan siapa pun. Terlihat dari pengantar pengarang bahwa ia menulis kitab ini karena
terinspirasi oleh hadis yang menyebutkan tanya jawab Jibril dan Nabi Mu
ḥammad. Tanya jawab tersebut berkisar kepada penjelasan tentang islam, iman, dan ihsan.
244
Berdasarkan kenyataan ini, maka ada dua indikasi yang terlihat dari sikap ulama tasawuf Nusantara tempo dulu dalam memandang
korelasi antara teologi dan tasawuf. Apabila memperhatikan karya-karya ulama Aceh seperti ‘Abd al-Ra’
ūf, maka terlihat bahwa tasawuf adalah bagian dari teologi. Atau dalam ungkapan lain, tasawuf merupakan hasil
dari penyelaman yang mendalam terhadap teologi. Adapun indikasi kedua, sebagian mereka berpandangan bahwa teologi adalah prinsip dasar
dalam mengontrol perkembangan spiritual, sehingga tidak semua orang harus mempelajari tasawuf. Namun, diharuskan bagi setiap orang yang
mau belajar tasawuf untuk mempelajari teologi terlebih dahulu. Indikasi ini telihat dari karya-karya mereka yang disebutkan sebelumnya.
B. Materi Teologi dalam Naskah Nusantara
Objek pembicaraan teologis yang dikemukakan tokoh-tokoh Nusantara tidak terlepas dari tema-tema yang dikaji oleh teolog Sunni
Timur Tengah klasik. Secara umum terlihat bahwa pengaruh sistematika teologi al-San
ūsī dan al-Nasafī justru lebih menonjol daripada konsep Ab
ū al-ḥasan al-Ash‘arī atau pun Abū Manṣūr al-Māturīdī. Ini akan disadari ketika materi dalam karya-karya ulama Nusantara lebih
Nazirah Tanabbuhan li Durr al-Fakhirah . kitab ini selesai disalin pada waktu Dhuha
hari Sabtu. Tetapi sayang sekali, penyalin atau pangarang tidak menyebutkan tahun penulisan. Besar kemungkinan kitab ini berasal dari abad ke-18. Sir
āj al-Dīn, Durr al- N
āẓirah, 1v.
244
Ma‘rifat al-Im ān wa-al-Islām, Perpusnas ML 383, 84r. Pengarang
mengatakan, Kemudian dari itu, maka inilah suatu risalah ku namai akan dia Pengenal Agama dan Iman
...teks berbahasa Arab, bermula dikarena bahwasannya datang Jibrail kepada Rasulullah Saw pada hal yaitu menanyai ia akan Rasulullah Saw daripada
Islam...
72
cenderung kepada pembagian sifat nafs īyah, salbīyah, ma‘ānī, dan
sistematika lain yang berkaitan dengannya. Tetapi juga tidak sedikit mereka yang mengorelasikannya dengan konsep kesufian.
Dalam hal ini, terlihat dari al-Ran īrī menulisi beberapa kitab
tersebut dengan Durr al-Far āid} bi Sharḥ} al-‘Aqā‘id. Sesuai dengan
judulnya, kitab ini merupakan komentar Shar ḥ} terhadap kitab Sharḥ}
al-Aq ā’id karya Sa‘d al-Dīn. Al-Ranīrī menulis kitab ini dengan bahasa
Melayu agar mudah dipahami oleh khalayak umum. Disebutkan bahwa naskah ini disalin pada tahun 1045 H.1635 M. oleh Lebai Rahim.
245
Ini mengindikasikan bahwa naskah disalin pada masa al-Ran
īrī masih di Aceh, karena ia wafat pada tahun 1658 M - yaitu 23 tahun sebelum ia
wafat atau 9 tahun sebelum ia meninggalkan Aceh tahun 1054 H.
246
Hal yang sama juga dilakukan oleh ‘Abd al-Ra’
ūf al-Jāwī yang mengritisi Hamzah dan Shams al-D
īn berdasarkan teologi Sunni. Tentu saja ini menjadi problematis, karena mereka sepakat dalam menyatakan sebagai
pengikut teologi Sunni, tetapi sebagian mereka menentang keras sebagian yang lain.
Adapun ‘Abd al-Ra’ ūf menjadikan teologi bagi pemula tersebut
sebagai pijakan untuk menjalani ajaran kesufian. Ini terlihat dari kitab ‘Umdat al-Mu
ḥtājīn dan Sullam al-Mustafīdīn yang sangat setia menerapkan teologi Sunni. Ia mulai dengan membicarakan sifat dua
puluh yang w ājib dan mustaḥīl, jā’iz sebagaimana dikembangkan oleh al-
San ūsī. Ini tampak dari penukilannya terhadap perkataan al-Sanusi dalam
kitab tersebut. Sebagaimana al-San ūsī, ia menyebutkan bahwa
pengetahuan sifat-sifat Allah tercakup dalam kalimat l ā ilāh illá Allāh.
247
Namun, ‘Abd al-Ra’ ūf tampaknya tidak mau kajian akidah tersebut
245
Kitab ini pernah dikatalogisasi pertama kali pada tahun 1992 dengan nomor 46NKTYPAH1992. Pada tahun 2005, kitab ini dikatalogisasi lagi oleh Oman
Fathurahman dan Munawar Holil dengan nomor 55DTH19YPAH2005. Selain itu, terdapat naskah lain yang sama dengan nomor 144TH20YPAH2005. Oman
Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmi Aceh, Jakarta: Manassa, PPIM, C-DATS, TUFS, 2007, 53-54.
246
Takeshi Ito menduga berdasarkan informasi dari laporan penulis-penulis Belanda bahwa-al-Ran
īrī meninggalkan Aceh pada tahun 1054 dikarenakan kalah berdebat dengan Sayf al-Rij
āl. Sayf al-Rijāl masih menjadi tokoh misterius yang belum banyak diungkapkan dan dikaji. Dalam dugaan sementara, ia adalah ilmuwan yang
berasal dari Minangkabau. Artikel Takeshi Ito, Why Did Nuruddin ar-Raniri Leave Aceh in 1054 A.H.?, artikel ini diakses dari http:www.kitlv-jounals.nl.
247
‘Abd al-Ra’ ūf, ‘Umdat al-Muḥtājīn, 2.
73
kering dari nuansa spiritual. Oleh karena itu, ia mencoba mengemukakan rahasia dan faedah dari kalimah tauhid tersebut.
248
Hal yang sama juga dikemukakan Sir āj al-Dīn dalam Durr al-
N āẓirah. Sirāj al-Dīn lebih memfokuskan kajian terhadap hal-hal yang
wajib, mustahil, dan j āiz pada Allah teologis, tanpa menyinggung aspek
tasawuf sebagaimana ‘Abd al-Ra’ ūf. Penulisan kitab ini tidak disebabkan
permintaan murid atau penguasa sebagaimana biasa menjadi inspirasi bagi banyak penulis. N
ūr al-Dīn al-Ranīrī, misalnya, setelah menjabat Shaykh al-Isl
ām di Aceh lebih sering menulis kitab karena permintaan penguasa atau karena permintaan murid-muridnya yang berhadapan
dengan penganut Wuj ūdīyah. Inilah kelebihan dari kitab Durr al-Nāẓirah,
Sir āj al-Dīn memang ingin mengemukakan apa yang ia pahami dari kitab
Durrah al-F ākhirah agar bisa dipahami oleh orang Melayu dengan
harapan Allah akan melimpahkan keridaan kepadanya.
249
Memang tradisi meringkas dan mengomentari kitab-kitab matan menjadi tradisi para
ulama pada masa ini. Berdasarkan hal tersebut, Sir āj al-Dīn memutuskan
untuk menulis kitab ini dengan bahasa Melayu, kecuali dalam menyebutkan hal-hal yang inti. Hal ini terlihat ketika ia menukil kaidah
dalam teologi “al-w ājib mā lā yutashawwar ‘adamuhu wajib dalam
teologi adalah sesuatu yang tidak tergambarkan dalam pikiran ketiadaannya.
250
Pembacaan terhadap kitab ini membutuhkan pemahaman bahasa Arab yang baik, karena pengarang sering
menggunakan kata serapan dari bahasa Arab. Ini terlihat dari ungkapannya bahwa dalam kajian teologi harus diketahui tafr
īq perbedaan antara wajib, mustahil, dan j
āiz.
251
Sebagaimana kecenderungan ulama Nusantara lainnya, Sir āj al-
D īn tampak tidak lepas dari pengaruh kajian teologi Sunni yang
menerapkan keyakinan berdasarkan pengenalan sifat dua puluh. Namun ada perbedaan Sir
āj al-Dīn dengan al-Sanūsī yang telah berhasil mempopulerkan kajian sifat dua puluh. Apabila diperhatikan metode al-
San ūsī dalam memaparkan kaidah teologi, maka ia terlihat sangat terpaku
pada nat ījah kesimpulan Aristotelian. Berbeda dengan Sirāj al-Dīn yang
248
‘Abd al-Ra’ ūf, ‘Umdat al-Muḥtājīn, 5-7. ‘Abd al-Ra’ūf, Sullam al-
Mustaf īdīn manuskrip koleksi YPAH 11B, 64-65. Kitab ini merupakan komentar dan
terjemahan salah satu dari karya teologis al-Qush āshī.
249
Sir āj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, 1r-1v.
250
Sir āj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, 1v. Ia menyebutkan, Maka tergerak di dalam
hatiku untuk mentalifkan dan menterjemahkan suatu risalat[h] mukhta ṣar dengan bahasa
Jawi Āsyī Aceh, sekira-kira pendapat akalnya dan pahamnya.
251
Sir āj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, ia menyebutkan Hendaklah diketahui akan
tafr īq tiap-tiap...”
74
selalu berusaha mengaitkannya dengan dalil-dalil al-Quran. Ia berangkat dari ayat: Katakanlah hai Mu
ḥammad, lihatlah apa-apa yang di langit dan di bumi dalam menjelaskan bahwa memang Allah mempunyai
duapuluh sifat wajib. Tetapi ayat ini diterjemahkan oleh Sir āj al-Dīn
dengan lebih luas, bahwa dengan memperhatikan langit dan bumi maka akan mengantarkan kepada pengenalan zat Allah yang w
ājib al-wujūd.
252
Kitab ini dengan jelas menunjukkan kecenderungannya kepada akidah Sunni Ash‘ar
īyah dengan menukil dan menyebutkan pemikiran Abū al- Hasan al-Asy‘ar
ī.
253
Terlepas dari hal tesebut, harus diakui bahwa sebagian naskah di Nusantara sangat berkaitan dengan tauhid. Hal ini menyebabkan
kebanyakan pembahasan dalam teks-teks tasawuf dimulai dengan menjelaskan ajaran teologi Sunni. Tampaknya ulama yang menjadi
pengarang atau penyalin pada masa lalu merasa keberatan untuk memisahkan dua konteks tersebut kecuali ketika menulis kitab tauhid
untuk kalangan awam. Ini sebagaimana dilakukan oleh Arshad al-Banj
ārī ketika menulis kitab Sab
īl al-Muhtadīn. Kitab tersebut bertujuan untuk menjelaskan tauhid bagi kalangan awam yang dianggap pemula
mubtadi’ saja.
254
Ketika tokoh-tokoh lain menyebutkan kewajiban seorang muslim adalah mengetahui sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan j
ā’iz secara langsung, maka Arshad mengungkapkan dengan pendahuluan yang lebih
mendasar. Ia mengatakan bahwa kewajiban seorang seorang muslim yang telah berakal dan baligh baik laki dan perempuan adalah memahami
makna dua kalimat syahadat. Ia mengatakan bahwa pemahaman tersebut akan menghasilkan “i‘tiqad yang putus tiada shakk
ẓann wahm”, yang ditambahi oleh
ṭayyib bahwa keyakinan tersebut harus ‘muwāfaqah dengan [yang] sebenarnya’.
255
Ini berbeda dengan Ism ā‘īl al-
Minangkabaw ī yang langsung mengungkapkan empat hal yang membuat
syahadat dianggap benar. Ism ā‘īl menyebutkan bahwa keimanan menjadi
sah dengan pengetahuan, dilafazkan di lidah iqr ār, dibenarkan di hati
ta ṣdīq, dan diamalkan oleh anggota tubuh. Tetapi ia tidak berhenti di
sana, Ism ā‘īl meneruskan bahwa rukun syahadat ada empat hal, yaitu
252
Sir āj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, 2r.
253
Sir āj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, 4v.
254
Arshad al-Banj ārī, Sabīl al-Muhtadīn, 24.
255
Arshad al-Banj ārī, Sabīl al-Muhtadīn, 3. ṭayyib al-Banjārī, Miftaḥ al-
Jannah f ī Bayān al-‘Aqīdah, 6.
75
menetapkan ithb āt keberadaan zat Allah, menetapkan sifat sifat-Nya,
menetapkan af‘ āl-Nya, dan menetapkan kebenaran Nabi Saw.
256
Dalam hal ini, ‘Abd al-Ra ḥmān ṣiddīq -generasi penerus setelah
Arshad dan ṭayyib al-Banjārī- tidak memulai kajian teologinya dengan
menjelaskan pengertian sifat-sifat dua puluh. Tetapi ia memulai dengan mengemukakan pembagian hukum ‘aql
ī. Siddīq mempunyai konsep yang lebih sistematis dari dua pendahulunya tersebut. Ini terlihat dari
sistematikannya yang lebih teratur. Bahkan, ia mencoba memisahkan penjelasan argumentatif yang bersifat rasional dan tekstual.
257
Adapun pemaknaan terhadap syahadat, baru ia jelaskan setelah selesai
mengemukakan dalil-dalil rasional dan tekstual dari sifat-sifat Allah. Ia menyebutkan bahwa implikasi dari kalimat tauhid adalah menegasikan
semua tuhan kecuali hanya kepada Allah.
258
Hal menarik dari penjelasan ṣiddīq adalah kesimpulannya terhadap objek kajian teologi di akhir
pembahasan. Ia mengatakan bahwa objek pembahasan teologi hanya tiga macam, il
āhīyāt ketuhanan, nabawīyāt kenabian, dan sam‘īyāt tekstual dalil naqli.
259
Adapun pengarang Ma‘rifat al-D īn wa-al-Īmān yang anonim juga
mengemukakan penjelasan mengenai makna syahadat –pembahasan yang tidak ditemui dalam karya sebelumnya- dengan penjelasan rinci.
Disebutkan bahwa syahadat berarti pengenalan dan pernyataan yang tidak diselubungi oleh keraguan terhadap keesaan Allah. Pengarang juga
menjelaskan tentang rukun syahadat yang terdiri empat hal. Pertama, menetapkan ithb
āt zat Allah Yang Qadīm, kekal, dan berdiri sendiri dengan kemutlakan-Nya. Kedua, menetapkan sifat Allah. Sebagaimana
dalam kebanyakan kitab teologi Sunni, meyakini sifat Allah berarti meyakini sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan j
āiz.
260
Ketiga, menetapkan
256
Ism ā‘īl, Kifayat al-Ghulām, 1.
257
‘Abd al-Ra ḥmān ṣiddīq, Fatḥ al-‘Alīm, 10. Ia menyebutkan pasal tersendiri
dengan judul “F ī al-Dilālah al-Naqlīyah ‘alá al-‘Aqā’id al-Madhkūrah”.
258
‘Abd al-Ra ḥmān ṣiddīq, Fatḥ al-‘Alīm, 49.
259
Ia mengatakan,“Pertama, il āhīyāt yaitu mas’alah yang dibahaskan padanya
daripada barangyang wajib bagi Allah subh ānahu wa ta‘ālā dan barang yang mustahil
atasnya dan barang yang harus [atau j ā’iz] padanya. Kedua, nabawīyāt yaitu mas’alah
yang dibahaskan padanya daripada barangyang wajib bagi pesuruh Allah bagi mereka itu dan barang yang mustahil atas mereka itu dan barang yang harus pada mereka itu.
Ketiga, sam‘ īyāt yaitu segala mas’alah yang tiada dipertemui ia melainkan daripada
pendengaran dan tiada diketahui yang demikian itu melainkan daripada jalan wahyu kepada pesuruh Allah.” ‘Abd al-Ra
ḥmān ṣiddīq, Fatḥ al-‘Alīm, 61.
260
Ma‘rifat al-Islam , 96r. Pengarang tampak dipengaruhi kuat oleh dialeg lokal
dalam menyebutkan kata serap dalam bahasa Arab. Ini terlihat dari penyebutan ithb āt
76
af‘ āl Allah. Pengaran kitab ini menjelaskan bahwa penetapan terhadap
af‘ āl Allah adalah dengan meyakini dalam hati bahwa Dia berbuat
segalanya dengan kekuasaan-Nya sendiri. Adapun keempat berkaitan dengan penetapan kepercayaan kepada rasul.
261
Adapun mengenai hukum untuk bersyahadat, dari aspek akidah syahadat dinilai sebagai sebuah
kewajiban fard}. Pengarang menegaskan bahwa syahadat diwajibkan baik bagi laki-laki maupun perempuan, dengan kriteria mereka telah
berakal, baligh. Kecenderungan kepada Asya‘ar īyah bukan kepada
Maturid īyah terlihat dari penjelasan pengarang yang menyebutkan cara
melaksanakan syahadat. Ia mengatakan bahwa syahadat dilafazkan dengan lidah, dibenarkan oleh hati menyinggahkan dengan hati, dan
diamalkan oleh anggota badan.
262
Kembali ke Arshad, ia berpandangan bahwa pengetahuan tentang hukum aql
ī, syar‘ī, ‘ādī dan sifat-sifat Allah yang wajib, mustahil, jā’iz merupakan usaha konkrit untuk mengenal makna dua kalimat syahadat.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Mu ḥammad ṭayyib al-Banjārī ketika
menulis Mifta ḥ al-Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah.
263
Perbedaannya terletak pada penjelasan
ṭayyib yang secara jujur mengemukakan bahwa karyanya merupakan saduran dari Umm al-Bar
āhīn karya al-Sanūsī dan beberapa kitab lain yang memberikan Shar
ḥ} terhadapnya.
264
Namun, baik Arshad maupun
ṭayyib, mereka terlihat memang terinsiprasi oleh al-Sanūsī, sehingga tidak heran jika objek yang dikaji tidak berbeda sama sekali.
Inilah yang membedakan mereka dengan Ism ā‘il yang tidak hanya
terpaku pada al-San ūsī.
265
Di samping itu, terdapat ‘Abd al- ṣamad al-Palimbānī menegaskan
teologi yang ia anut adalah Ahl al-Sunnah wa-al-Jam ā‘ah. Bahkan secara
eksplisit ia mengatakan keharusan mempelajari teologi Sunni berdasarkan ajaran Ash‘ar
īyah dan ṣūfīyah.
266
Ia juga mengemukakan kewajiban seorang Muslim –sebagaimana tokoh lain- untuk mengenal sifat w
ājib, musta
ḥīl, dan jā’iz. Ia memberikan kategorisasi yang sistematis dalam mempelajari teologi Sunni sesuai dengan apa yang dikemukakan al-
menjadi isbat. Penjelasan mengenai sifat wajib, mustahil, dan j āiz dikemukakan pada
kajian lanjutan, Mafrifat al-Islam, 100v.
261
Ma‘rifat al-Islam, 98r.
262
Ma‘rifat al-Islam , 100r.
263
Arshad al-Banj ārī, Sabīl al-Muhtadīn, 3. ṭayyib al-Banjārī, Miftaḥ al-
Jannah f ī Bayān al-‘Aqīdah, 4-6.
264
ṭayyib al-Banjārī, Miftaḥ al-Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah, 3
265
Ism ā‘īil, Kifayat al-Ghulām, 2.
266
‘Abd al- ṣamad al-Palimbānī, Sayr al-Sālikīn, Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilm īyah, t.th., v. 1 h. 21.
77
Ghaz ālī di dalam Iḥyā’.
P266 F
267
P
Di akhir kitab Sayr al-S ālikīn, ‘Abd al-ṣamad
menyebutkan identitasnya sebagai seorang sufi yang mengikuti fiqih al- Sy
āfi‘ī dan menganut teologi ‘Ash‘arīyah.
P267F
268
P
Ini menunjukkan bahwa dalam kerangka pemikiran ‘Abd al-
ṣamad tidak ada masalah kontradiktif antara teologi Sunni yang ia anut dengan aspek kesufian yang ia dalami.
Bahkan kerangka pemikiran ini akan terlihat lebih jelas lagi ketika ia menulis Z
ād al-Muttaqīn –sebagaimana akan dikemukakan pada bab selanjutnya-.
Hal ini juga tidak berbeda dengan Shih āb al-Dīn al-Palimbānī
P268F
269
P
yang juga berasal dari Palembang. Ia menerjemahkan dan mengomentari kitab al-Ris
ālah karya Shaykh Ruslān al-Dimashqī.
P269F
270
P
Shih āb al-Dīn
keberatan jika seorang pemula dalam teologi dan tasawuf membaca kitab- kitab yang bernuansa filosofis. Besar kemungkinan, ia bermaksud kitab
tersebut adalah Tu ḥfat al-Mursalah karya Muḥammad bin Fad}lullāh al-
Burh ānpūri. Ini dikarenakan membaca karangan mereka akan
menyebabkan kesalahan pemahaman karena perbedaan term-term yang digunakan.
P270F
271
Shih āb al-Dīn menegaskan bahwa kewajiban seorang awam yang
mukallaf terlebih dahulu adalah mengetahui ilmu u
ṣūl al-dīn. Ia menyebut ilmu tersebut dengan ilmu tauhid kepada Allah. Kedua, mengetahui ilmu
fiqh agar ibadah menjadi sah. Ketiga ilmu tasawuf berdasarkan ilmu tauhid. Ia merujuk kepada kitab Jawharat al-Taw
ḥīd karangan al- Sanusi.
P271F
272
Shih āb al-Dīn memberikan tiga kategori pembagian tauhid, yaitu
dh ātī, ṣifātī, dan af‘ālī. Adapun dhātī merupakan tahap tauhid ketika
267
‘Abd al- ṣamad al-Palimbānī, Sayr al-Sālikīn, v. 1 h. 21-24.
268
‘Abd al- ṣamad al-Palimbānī, Sayr al-Sālikīn, v. 1 h. 276.
269
Drewes menyebutnya sebagai the Palembang theologian teolog dari Palembang. Tidak banyak informasi mengenai hidupnya, tetapi Drewes memperkirakan
Shih āb al-Dīn hidup sekitar tahun 1750-an. Shihāb al-Dīn menulis kitab al-Risālah yang
berisi ajaran tentang tauhid yang diterapkan ke ranah tasawuf. Oleh karena itu, Shih āb
al-D īn tidak hanya teolog, tetapi juga seorang sufi ulung.
270
Kitab ini juga diberikan komentar oleh ‘Abd al-Ghan ī al-Nabulīsī dengan
judul Khamrah Il ḥān dikoleksi oleh Tokyo University, yang sebelumnya diperoleh dari
Daiber Collection no. 70.
271
Ia mengatakan bahwa “Maka sebab itulah baiklah berwasiat jumhur ahli ilmu al-tauhid dengan menegahkan [melarang] ia akan orang yang mubtadi lagi awam
dengan mutala‘ah ia akan kitab ahl wahdat al-wujud, yakni kitab martabat tujuh yang masyhur di dalam negeri Jawi, dan melihat kitab ahli salik agar tidak tergelincir i‘tiqad
orang yang awam. Shih āb al-Dīn, al-Risālah, 5. Disunting oleh Drewes, Directions for
Travellers on the Mystism Path , 90.
272
Shih āb al-Dīn, al-Risalah, 9, Drewes, Directions, 92.
78
seorang hamba merasa sadar bahwa ia diciptakan oleh Allah. Adapun tauhid si}f
ātī merupakan tahapan ketika seorang hamba merasa bahwa Allah yang menjadikan hidupnya. Sebagaimana sebelumnya, ia
menegaskan bahwa inilah makna ungkapan tahlil pada konteks ini. Adapun tauhid af‘
ālī adalah keyakinan seorang hamba bahwa Allah telah menciptakan perbuatannya. Ia menegaskan bahwa apabila keyakinan
berdasarkan tiga kategori tersebut terlupakan oleh seseorang, maka ia akan terjebak kepada syirik khaf
ī tersembunyi.
273
Penegasan tersebut mengindikasikan bahwa Shih
āb al-Dīn sangat ketat menjaga kemurnian teologi. Hal ini ia mulai dari tingkatan dasar, yaitu kalangan awam atau
pemula. Secara bertahap Shih
āb al-Dīn mengantarkan pembacanya kepada tauhid ahli sufi dengan menerapkan tiga konsep tersebut pada kehidupan
nyata. Ia mengutip ungkapan sufi-sufi terdahulu bahwa tiga tauhid tersebut bisa dipahami dari perkataan, “Tidaklah aku melihat alam
melainkan aku melihat Allah sebelumnya”, “Tidaklah aku melihat alam melainkan aku melihat Allah di dalamnya”, dan “Tidaklah aku melihat
alam melainkan aku melihat Allah setelahnya”. Shih
āb al-Dīn tidak sepakat dengan opini bahwa seorang sufi yang telah sampai ke hadirat
Allah, maka kewajiban syariat menjadi gugur darinya. Malah ia menegaskan bahwa siapa saja yang berpikiran demikian, maka terjebak
kepada kekufuran. Bahkan ia tidak keberatan untuk mengutuk ungkapan demikian.
274
Shih āb al-Dīn terlihat sangat teguh memegang teologi Sunni,
sehingga ia sungkan untuk menyerang aliran teologi lain. Ia melarang seorang s
ālik untuk menganut teologi yang menyimpang. Kelompok yang menyimpang, menurut Shih
āb al-Dīn, adalah Mu‘tazilah, filsafat, dan Qadar
īyah, bahkan semua firqah selain Sunni.
275
Sejalan dengan ini, materi teologi yang kemukakan al-Naw āwī
terlihat lebih cenderung kepada perdebatan murni. Ini terlihat dari ungkapannya mengenai pertanyaan-pertanyaan yang dianggap penting
dalam ajaran Wahh ābīyah, seperti dimana Allah dan lainnya, maka
Nawaw ī Bantani mencoba menegasikannya. Ia mengatakan bahwa
seseorang akan mencapai kesempurnaan iman dengan meninggalkan empat kata tanya; pertanyaan ayn dimana Allah, kayf bagaimana,
mat ā kapan, dan kam berapa. Apabila ada yang bertanya dimana
Allah?, Nawaw ī menyarankan agar dijawab bahwa Allah ada tanpa
273
Shih āb al-Dīn, al-Risalah, 10, Drewes, Directions, 92
274
Shih āb al-Dīn, al-Risālah, 15, Drewes, Directions, 92 .
275
Shih āb al-Dīn, al-Risālah, 21, Drewes, Directions, 97.
79
membutuhkan tempat dan tidak berlaku baginya masa. Ketika ada yang bertanya bagaimana Allah, ia mengatakan bahwa “Tidak ada yang serupa
dengan-Nya’. Ketika ditanyakan kapan Allah ada, maka ia mengatakan bahwa Allah ada tanpa permulaan dan kekal tanpa akhir.
276
Walaupun tidak secara langsung ia mengatakan dua pertanyaan pertama berasal dari
Wahh ābīyah, tetapi terlihat bahwa al-Nawāwi menyindir ajaran mereka.
Ini dikarenakan terdapat sebuah hadis yang menjadi pokok dasar keimanan dalam Wahhab
īyah. Hadis tersebut populer dengan sebutan hadis j
āriyah budak perempuan. Ketika perempuan tersebut ditanya “ayn All
āh?” dimana Allah? maka ia menjawab fī al-samā’ di langit. Hadis ini menjadi pertanyaan prinsipil dalam ajaran Wahh
ābīyah untuk menilai kesempurnaan iman seseorang.
277
Terlepas dari permasalahan tersebut, Nawaw ī juga dikenal sebagai
sufi, sehingga karya-karyanya sering dihiasi ungkapan-ungkapan tasawuf. Berkaitan dengan hal ini, ia menyebutkan hierarki iman menjadi lima
tingkatan. Pertama iman taql īd, yang berarti meyakini sesuatu yang
dikatakan orang lain tanpa mengetahui argumennya. Ia menilai bahwa seseorang yang beriman dengan taql
īd tergolong berdosa karena melakukan usaha rasional, padahal orang tersebut mempunyai
kemampuan dan potensi. Kedua iman ilmu, yang berarti keyakinan berdasarkan pengetahuan terhadap dalil-dalilnya. Nawaw
ī mengatakan bahwa tingkatan kedua ini disebut juga dengan ‘ilm al-yaq
īn. Ketiga iman ‘ayy
ān, yang berarti keimanan yang telah disertai dengan murāqabah
276
Nawaw ī al-Bantanī, Kāshifat al-Sajā, 9.
277
M ālik bin Anas, al-Muwaṭṭa’ pada Kitāb al-‘Itq wa-al-Walā’, no. 1269.
Muslim bin al- ḥajjāj, ṣaḥīh Muslim pada Kitāb al-Masājid Beirut: Dār al-Fikr, 1992,
I242. Ab ū Dāwud, Sunan Abū Dāwud Beirut: Dār al-Fikr, 1994, kitāb al-ṣalah no. 930
h. 222-223. Hadis ini memang kuat secara zahir sanad, tetapi terdapat id} ṭrāb
kontradiktif pada sanad dan matannya. Malik meriwayatkannya dari sahabat yang bernama ‘Umar bin al-
ḥakam. Muslim dan dua riwayat oleh Abū Dāwud diriwayatkan dari Mu‘
āwiyah bin al-ḥakam. Abū Dāwud menambahkan riwayat lain dari sahabat al- Syar
īd. Adapun kontradiksi di dalam matan, maka ditemukan sebagian riwayat yang diriwayatkan oleh tiga ahli hadis tersebut dengan redaksi atashhad
īna an lā Ilāha illá All
āh? apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah bukan Ayn Allāh?. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis yang mud}
ṭarib adalah d}a‘ìf. Berikut ini adalah hadis j
āriyah versi Mālik.
ﻲِﻧَﺛﱠﺩَﺣ ﻙِﻟﺎَﻣ
ْﻥَﻋ ِﻝ َﻼِﻫ
ِﻥْﺑ َﺔَﻣﺎَﺳُﺃ
ْﻥَﻋ ِءﺎَﻁَﻋ
ِﻥْﺑ ٍﺭﺎَﺳَﻳ
ْﻥَﻋ َﺭَﻣُﻋ
ِﻥْﺑ ِﻡَﻛَﺣْﻟﺍ
ُﻪﱠﻧَﺃ َﻝﺎَﻗ
ُﺕْﻳَﺗَﺃ َﻝﻭُﺳَﺭ
ِﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ
ُﱠﷲ ِﻪْﻳَﻠَﻋ
َﻡﱠﻠَﺳ َﻭ ُﺕْﻠُﻘَﻓ
ﺎَﻳ َﻝﻭُﺳَﺭ
ِﱠﷲ ﱠﻥِﺇ
ًﺔَﻳ ِﺭﺎَﺟ ﻲِﻟ
ْﺕَﻧﺎَﻛ ﻰَﻋْﺭَﺗ
ﺎًﻣَﻧَﻏ ﻲِﻟ
ﺎَﻬُﺗْﺋِﺟَﻓ ْﺩَﻗ َﻭ
ْﺕَﺩِﻘُﻓ ٌﺓﺎَﺷ
ْﻥِﻣ ِﻡَﻧَﻐْﻟﺍ
ﺎَﻬُﺗْﻟَﺄَﺳَﻓ ﺎَﻬْﻧَﻋ
ْﺕَﻟﺎَﻘَﻓ ﺎَﻬَﻠَﻛَﺃ
ُﺏْﺋﱢﺫﻟﺍ ُﺕْﻔِﺳَﺄَﻓ
ﺎَﻬْﻳَﻠَﻋ ُﺕْﻧُﻛ َﻭ
ْﻥِﻣ ﻲِﻧَﺑ
َﻡَﺩﺁ ُﺕْﻣَﻁَﻠَﻓ
ﺎَﻬَﻬ ْﺟ َﻭ ﱠﻲَﻠَﻋ َﻭ
ٌﺔَﺑَﻗَﺭ ﺎَﻬُﻘِﺗْﻋُﺄَﻓَﺃ
َﻝﺎَﻘَﻓ ﺎَﻬَﻟ
ُﻝﻭُﺳَﺭ ِﱠﷲ
ﻰﱠﻠَﺻ ُﱠﷲ
ِﻪْﻳَﻠَﻋ َﻡﱠﻠَﺳ َﻭ
َﻥْﻳَﺃ ُﱠﷲ
ْﺕَﻟﺎَﻘَﻓ ﻲِﻓ
ِءﺎَﻣﱠﺳﻟﺍ َﻝﺎَﻘَﻓ
ْﻥَﻣ ﺎَﻧَﺃ
ْﺕَﻟﺎَﻘَﻓ َﺕْﻧَﺃ
ُﻝﻭُﺳَﺭ ِﱠﷲ
َﻝﺎَﻘَﻓ ُﻝﻭُﺳَﺭ
ِﱠﷲ ﻰﱠﻠَﺻ
ُﱠﷲ ِﻪْﻳَﻠَﻋ
َﻡﱠﻠَﺳ َﻭ ﺎَﻬْﻘِﺗْﻋَﺃ
80
dalam hatinya setiap saat. Ini dinamakan dengan ‘ayn al-yaq īn. Keempat
iman ḥaqq, yang berarti keimanan yang disertai dengan penyaksian
terhadap Allah pada setiap sudut di alam semesta. Ini disebut dengan ḥaqq al-yaqīn. Kelima iman ḥaqīqah yang berarti keimanan yang disertai
dengan fan ā’ diri dan alam semesta, sehingga tidak menyaksikan kecuali
kepada-Nya. Tetapi Nawaw ī mengingatkan bahwa kewajiban seorang
Muslim hanyalah sampai taraf kedua, meskipun taraf ini masih terhijab dari zat Allah. Adapun tiga tingkat terakhir adalah anugerah dari Allah
kepada orang tertentu yang justru terhijab dari makhluk.
278
Ada dua indikasi yang terlihat dari sikap ulama tasawuf Nusantara tempo dulu dalam memandang korelasi antara teologi dan tasawuf.
Apabila memperhatikan karya-karya ulama Aceh seperti ‘Abd al-Ra’ ūf,
maka terlihat bahwa tasawuf adalah bagian dari teologi. Atau dalam ungkapan lain, tasawuf merupakan hasil dari penyelaman yang mendalam
terhadap teologi. Adapun indikasi kedua, sebagian mereka berpandangan bahwa teologi adalah prinsip dasar dalam mengontrol perkembangan
spiritual, sehingga tidak semua orang harus mempelajari tasawuf. Namun, diharuskan bagi setiap orang yang mau belajar tasawuf untuk mempelajari
teologi terlebih dahulu. Indikasi ini telihat dari karya-karya mereka yang disebutkan sebelumnya.
C. Pengaruh Teologi Sunni “Versi” al-San
ūsī; Kajian terhadap Naskah Islam Buton
Bagian ini akan memperlihatkan kecenderungan teologi Sunni dalam naskah yang ditemukan di Buton. Pembicaraan khusus untuk
naskah Buton dipandang sangat perlu, karena kajian naskah yang serius untuk sementara ini –ketika kajian ini ditulis- masih banyak terfokus
kepada temuan yang terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan Bugis. Padahal di belahan timur Indonesia masih
banyak situs-situs yang menyimpan naskah. Ini terlihat dari warisan intelektual di Buton. Dalam konteks ini, teologi Sunni sangat kental
dalam naskah-naskah yang terdapat dalam keraton Buton, walaupun kesultanan ini sangat kental dengan ajaran martabat tujuh. Ini kelak akan
memperkuat asumsi bahwa ulama tasawuf Nusantara tidak merasa ‘bertentangan’ dengan teologi Sunni.
Hampir saja karya-karya teologi dan tasawuf yang pernah ditulis di Buton tersebut terabaikan. Ini mungkin masih tergolong wajar bagi
sebagian orang, tetapi itu bukanlah hal yang adil. Ketika karya-karya
278
Nawaw ī, Kāshifat al-Sajā, 9.
81
ulama Nusantara dari Sumatera sering disebutkan, tetapi karya ulama Buton yang juga menakjubkan malah jarang dikaji. Bukanlah hal yang
aneh jika disebutkan Tanb īh al-Māsyī karya ‘Abd al-Ra’ūf, begitu juga
tidak asing jika disebut Sayr al-S ālikīn karya ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī.
Namun akan asing jika disebutkan Had īyat al-Bashīr karya Muḥammad
‘Aydr ūs. Ia seorang teolog, sufi sekaligus sultan di kesultanan Buton.
Secara intelektual, dapat dikatakan bahwa kejayaan tertinggi di kesultanan Buton adalah pada masa Mu
ḥammad ‘Aydrūs yang bergelar Sultan Q
āim al-Dīn I. Tidak diketahui pasti pada tahun berapa ia lahir. Tetapi yang jelas adalah masa pemerintahan ‘Aydr
ūs adalah antara 1824- 1851 M. atau selama 27 tahun. Ia adalah seorang penguasa yang cinta
ilmu. Hal ini membuat kepercayaan pihak kesultanan bertambah kepada ‘Aydr
ūs. Berbeda dengan sultan sebelumnya, ‘Aydrūs tidak diturunkan dari jabatannya sebagaimana Sultan Mu
ḥammad Anhār al-Dīn yang hanya memerintah selama setahun, yaitu dari tahun 1822-1823 M.
Terlepas dari hal tersebut, pembicaraan khusus mengenai ‘Aydr ūs
dengan pendekatan filologi memang hal yang mutlaq. Ini dikarenakan ‘Aydr
ūs mempunyai keunikan dibandingkan ulama Nusantara lain lain yang pernah ada. Selain seorang sultan ia, adalah teolog dan sufi yang
ulung. Pembuktian hal ini tentu tidak cukup dengan pernyataan begitu saja. Namun penulusuran karya-karya ‘Aydr
ūs adalah jalan satu-satunya. Ketika pertama kali pembacaan teks dilakukan, setiap pembaca
yang kritis tentu akan curiga bahwa sangat sulit seorang non-Arab mampu menulis dengan bahasa Arab fasih dan tata bahasa yang bagus. Namun
inilah kenyataan dari seorang ‘Aydr ūs, ia seakan-akan bukan seorang
Melayu, tetapi sufi dari negeri Arab. Kecurigaan negatif tersebut akan hilang ketika anak dari ‘Aydr
ūs –yaitu Muḥammad ṣālih} Sultan Qāim al-D
īn II- menyinggung sedikit mengenai sosok ayahnya dalam teks Ibtid
ā Sayr al-‘Ārifiin Ilā Allāh ilā Intihā’ Sirr al-Wāqifīn fī Allāh. Keterangan
ṣāliḥ merupakan satu-satunya informasi mengenai kejeniusan ayahnya.
279
Selain itu, faktor lain yang memungkinkan hal itu adalah
279
Mu ḥammad ṣālih}, Ibtidā Sayr al-‘Ārifīn Ilá Allāh ilá Intihā’ Sirr al-
W āqifīn fī Allāh, 3r. Naskah ini telah didokumentasikan dalam bentuk microfilm rol ke-
2, Perpusnas no. 161PNM97. Teks ini mempunyai banyak kemiripan dengan karya Ibn ‘Arabi yang berjudul al-Anw
ār fī mā Yamnaḥu ṣāḥib al-Khalwah min al-Asrār. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
ṣāliḥ memang mengambil atau hanya menyalin dari karya Ibn ‘Arab
ī. ṣaliḥ sendiri mengatakan bahwa ia menulis kitab ini hanya berdasarkan ‘sesuatu’ yang telah diijazahkan oleh al-Shaykh al-mu
ḥ{aqqiq al-akbar kepada murid-muridnya. Orang tersebut tidak lain adalah al-Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arab
ī. Mu
ḥammad ṣāliḥ, Ibtidā Sayr, 3v. Ibn ‘Arabī, al-Anwār fī mā Yamnaḥu ṣāḥib al-
82
arabisasi yang kuat dalam kraton kesultanan Buton, baik kraton sebagai pusat pemerintahan maupun sebagai pusat pendidikan. Berdasarkan
pertimbangan ini, bisa saja ‘Aydr ūs berpikir tidak perlu untuk
menerjemahkan kitab-kitab yang berbahasa Arab ke bahasa lokal. Kehebatan ‘Aydr
ūs dapat dilihat dari penuturan ṣālih} yang juga belajar kepada orang nomor pertama di Buton ini. Ia mengatakan bahwa
ayahnya adalah tokoh yang menjadi guru spiritualnya b āb futūḥī
sekaligus tokoh intelektual produktif. Ia menyebutkan bahwa ‘Aydr ūs
mempunyai karya yang banyak dengan ungkapan, sh āḥib al-tashānif wa
ta ālīf.
280
Ia menyebut ‘Aydr ūs dengan gelar lain, yaitu sebagai orang
yang ahli dalam menyucikan jiwa dan mengenalkan kepada jalan spiritual. Bahkan sebagaimana para murid sufi dalam tradisi Arab
menyebut gurunya sebagai al-‘ Ārif billāh al-Quddūs Shaykh Muḥammad
‘Aydr ūs. Dilihat dari gaya bahasa dan tata bahasa yang digunakan,
terkesan bahwa ṣāliḥ juga menguasai bahasa Arab, bahkan ia mumpuni
dalam menggunakan ungkapan sastra dalam tersebut, meskipun ada beberapa kejanggalan.
281
Memang di dalam tradisi keilmuan Islam, yang paling mengerti kualitas keilmuan dan spiritual seorang guru adalah
muridnya yang telah mencapai maqam yang sama atau mendekati. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa kitab tersebut ditulis berdasarkan ijazah
spritiual yang diberikan oleh ‘Aydr ūs kepadanya.
282
Tidak terlihat pengaruh ajaran Wahh ābīyah dalam karya mereka
berdua. Ini sebagaimana terlihat dari karya teologi ‘Aydr ūs yang
cendrung kepada Sunni Ash‘ar īyah. Selain itu, ṣālih} juga dengan terang-
terangan mengungkapkan doa tawassul dan tabarruk. Dua hal yang sangat dilarang dalam ajaran Wahh
ābīyah. ṣāliḥ, misalnya, mengungkapkan bahwa karya-karyanya adalah karena keberkahan
ayahnya, ‘Aydr ūs. Oleh karena itu, ia berdoa agar Allah mengangkat
derajat spiritual ayahnya dengan bertawassul kepada Nabi Mu ḥammad.
283
Khalwah min al-Asr ār tahqiq: ‘Abd al-Raḥmān ḥasan Maḥmūd Kairo: ‘Alam al-Fikr,
1986, 10-34.
280
Mu ḥammad ṣālih}, Ibtidā Sayr al-‘Ārifiin Ilá Allāh ilá Intihā’ Sirr al-
W āqifīn fī Allāh, 3r.
281
Mu ḥammad ṣālih}, Ibtidā Sayr, 3r-3v. Ia mengatakan:
ﻪﺗﺑﺗﻛﻓ ﻭﻟﻭ
ﺕﺳﻟ ﻥﻣ
ﻪﻠﻫﺃ ﺍﺩﻣﺗﻌﻣ
ﻰﻠﻋ ﺔﻛﺭﺑ
ﻱﺩﻟﺍﻭ ﻱﺩﻳﺳﻭ
ﻱﺩﻧﺳﻭ ﻱﺩﺷﺭﻣﻭ
ﻲﺧﻳﺷﻭ ﺏﺎﺑﻭ
ﻲﺣﻭﺗﻓ ﺏﺣﺎﺻ
ﻑﻳﻟﺄﺗﻟﺍ ﻑﻳﻧﺻﺗﻟﺍﻭ
ﻑﻳﻅﻧﻧﻟﺍﻭ ﻑﻳﺭﻌﺗﻟﺍﻭ
ﻰﻟﺇ ﻕﻳﺭﻁ
ﻑﻳﻁﻠﻟﺍ ﻑﺭﺎﻌﻟﺍ
ﻟﺎﺑ ﻙﻠﻣﻟﺍ
ﺱﻭﺩﻘﻟﺍ ﺦﻳﺷﻟﺍ
ﺱﻭﺭﺩﻳﻌﻟﺍ .
282
Mu ḥammad ṣālih}, Ibtidā Sayr, 3v.
283
Mu ḥammad ṣālih}, Ibtidā Sayr, 3v.
83
Namun sayang, kejayaan keilmuan tersebut semakin memudar dengan melemahnya pemerintahan kesultanan Buton setelah ‘Aydr
ūs dan ṣālih}. Hal ini terlihat dari karya-karya setelah mereka yang sangat lemah
dalam penguasaan bahasa Arab dan rujukan keilmuan yang kurang otoritatif. Tetapi, kemunduran tersebut memang tidak bersifat parsial. Ini
dikarenakan hampir terjadi secara regional di wilayah Nusantara. Hasil karya ‘Aydr
ūs bisa menepis anggapan Snouck Hurgronje yang menilai bahwa karya kebanyakan ulama –dalam hal ini Aceh dijadikan contoh-
dalam bahasa Melayu. Snouck menambahkan bahwa kitab berbahasa Melayu tersebut diolah dari sumber Arab yang biasanya hanya
pendahuluan, penutup, dan beberapa keterangan yang merupakan karya pengarang. Adapun selebihnya adalah terjemahan.
284
Justru kenyataan yang ditemukan di Buton adalah sebaliknya. Hanya sedikit ditemukan
karya ‘Aydr ūs yang bersifat terjemahan. Ini dikarenakan hampir semua
karya mereka menggunakan bahasa Arab dan bersifat otoritatif. Berikut ini, akan diulas beberapa karya ‘Aydr
ūs yang relevan dengan kajian ini. ‘Aydr
ūs menulis beberapa karya mengenai teologi, seperti Had
īyat al-Bashīr fi Ma‘rifat al-Qadīr.
285
Kitab ini menjelaskan teologi Sunni yang telah baku sebagaimana dikembangkan oleh al-San
ūsī. ‘Aydr
ūs memulai dengan menyebutkan bahwa Allah sebagai zat wājib al- wuj
ūd yang memiliki semua kesempurnaan dan maha suci dari segala kekurangan.
286
Apabila al-San ūsī mengatakan bahwa hal-hal yang wajib
284
C. Snouck Hurgronje, Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya Jilid II, trans. Sutan Maimoen Jakarta: INIS, 1997, 5.
285
Naskah terdapat dalam mikrofilm Perpusnas RI no. 58, 129Arab1962 koleksi Faoka Zahari, terdiri dari 24 halaman, 19 baris setiap halaman. Keterangan yang
ditulis di dalam mikrofilm dalam menyebutkan judul tampak terdapat kesalahan. Tertulis “Had
īyatul Basyru fiy Ma‘rifatul Qadim”, sedangkan di dalam naskah tertulis Hadīyat al-Bash
īr fī Ma‘rifat al-Qadīr.
286
Mu ḥammad ‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr fī Ma‘rifat al-Qadīr, 1v. ‘Aydrūs
mengatakan:
ﻡﻠﻋﺍ ﺎﻳ
ﻲﺧﺃ ﻰﻧﺩﺷﺭﺃ
ﷲ ﻙﺎﻳﺇﻭ
ﻥﺃ ﺕﺍﺫ
ﷲ ﻲﻟﺎﻌﺗ
ﺏﺟﺍﻭ ﺩﻭﺟﻭﻟﺍ
ﻊﻣﺎﺟﻟﺍ ﻝﻛﻟ
ﻝﺎﻣﻛ ﻩﺯﻧﻣﻟﺍ
ﻥﻋ ﻝﻛ
ﺹﻘﻧ
‘Abd al- ṣamad juga pernah mengungkapkan sebelum al-‘Aydrūs ungkapan
yang semakna dalam bahasa Melayu. Ia menyebutkan, “Ketahui olehmu bawasa[n]nya wajib atas tiap-tiap orang yang ‘aqil baligh itu mengetahui ia keadaan zat Allah ta‘
ālā dan segala sifat-Nya dan af‘al-Nya. Bermula keadaan zat Allah ta‘
ālā bahwasa[n]nya wajib kita i‘tiqadkan akan keadaan Allah ta‘
ālā itu zat wājib al-wujūd yang mustahiq bagi segala sifat kemal
āt dan maha suci Ia dari sifat kekurangan.” ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-S
ālikīn, 21. Ia juga mengatakan, “Allah ta‘ālā itu mempunyai segala sifat kemuliaan dan kesempurnaan, dan tiada diperhingga[k]an, dan yang mempunyai alam jabar
ūt yaitu alam asm
ā’ dan sifat”. ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Sālikīn, 24.
84
pada Mawl ānā ada dua puluh sifat, maka ‘Aydrūs mengatakan hal yang
wajib pada Haaq dengan jumlah yang sama.
287
Karya lain seperti Tanq īyat al-Qulūb fī Ma‘rifat ‘Alām al-Ghuyūb
dengan berbahasa Arab juga berkaitan dengan teologi. ‘Aydr ūs
menegaskan bahwa kitab tersebut bertujuan untuk membedakan ahli bidah dan Ahl al-Sunnah. Namun ada aspek lain dari kitab ini adalah
mengaitkan kajian teologi dengan permasalahan kesultanan dan kerakyatan. Suatu hal yang menarik dari sultan sekaligus ulama ketika
menyertakan unsur ketaatan politik di dalam kitab akidah.
288
Di dalam kitab ini, ‘Aydr
ūs sebagaimana ulama Nusantara lain tampak cenderung kepada akidah Ahl al-Sunnah dengan aliran kalam Ash‘ar
īyah. Hal ini terlihat dari kajian yang ia kemukakan dengan memulai kajian terhadap
sifat w ājib, mustaḥīl dan jā’iz bagi Allah dan bagi rasul.
289
Kembali kepada teks Had īyat al-Bashīr, terlihat bahwa ‘Aydrūs
tidak terpaku kepada teks al-San ūsī yang sangat sederhana. Ia berusaha
untuk mempermudah dengan memberikan pendahuluan dalam membagi dua puluh sifat Allah. Ia menyebutkan bahwa dua puluh sifat tersebut
terbagi kepada empat kategori. Pertama sifat nafs īyah yaitu sifat wujūd.
Kedua, sifat salb īyah yang terdiri dari enam sifat, yaitu qidam, baqā’,
mukh ālafatuhu li al-ḥawādits, qiyāmuhu bi nafsihi, dan waḥdānīyah.
Adapun al-San ūsī memberikan nama pada dua kategori tersebut setelah
menyebutkan enam sifat. Selain itu, ditambah dengan tujuh sifat ma‘ ānī
dan tujuh sifat ma‘ ānawīyah.
P289F
290
P
‘Aydr ūs terlihat tidak berbeda dengan al-Sanūsī dalam
menjelaskan ta‘alluq kolerasi pada sifat-sifat ma‘ ānī. Ia menyebutkan
287
Al-San ūsī, ‘Aqīdah al-Sanūsīyah, Surabaya: Maktabah Muḥammad bin
A ḥmad Nabhān, 15. Muḥammad ‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 1v. Al-Sanūsī berkata:
ﺎﻣﻓ ﺏﺟﻳ
ﺎﻧﻻﻭﻣﻟ ﻝﺟ
ﺯﻋﻭ ﻥﻭﺭﺷﻋ
ﺔﻔﺻ ِ◌
Adapun ‘Aydr ūs menyebutkan:
ﺎﻣﻓ ﺏﺟﻳ
ﻲﻓ ﻪﻘﺣ
ﻰﻟﺎﻌﺗ ﻥﻭﺭﺷﻋ
ﺔﻔﺻ
288
‘Aydr ūs, Tanqīyat al-Qulub fi Ma‘rifat ‘Allām al-Ghuyūb, Mikrofilm
Perpusnas no. 158 , 2. Pada deskripsi tertulis nama naskah “Allamul Ghuyub”, tetapi setelah dibaca lebih lanjut judulnya lumayan panjang sebagaimana dituliskan di atas.
289
‘Aydr ūs, Tanqīyat al-Qulūb, 2-4.
290
‘Aydr ūs, Hadīyat al-Bashīr,
1
v. Al-San ūsī, ‘Aqīdah, 19.
‘Aydr ūs mengatakan:
ﻲﻫﻭ ﻰﻠﻋ
ﺔﻌﺑﺭﺃ ﻡﺎﺳﻗﺃ
ﻲﻫﻭ ﺔﻳﺳﻔﻧ
ﺔﻳﺑﻠﺳﻭ ﻲﻧﺎﻌﻣﻭ
ﺔﻳﻭﻧﺎﻌﻣﻭ .
Al-San ūsī mengatakan:
ﻩﺫﻬﻓ ﺕﺳ
ﺕﺎﻔﺻ ﻲﻟﻭﻷﺍ
ﺔﻳﺳﻔﻧ ﻲﻫﻭ
ﺩﻭﺟﻭﻟﺍ ﻭ
ﺔﺳﻣﺧﻟﺍ ﺎﻫﺩﻌﺑ
ﺔﻳﺑﻠﺳ .
85
bahwa sifat ‘ilm
291
ilmu dan kal ām berkaitan dengan semua hal yang
bersifat w ājibāt,
292
musta ḥīlāt, dan jā’izāt.
293
Di dalam Umm al-Bar āhīn
al-San ūsī menjelaskan bahwa ilmu Allah yang berkaitan dengan tiga hal
tersebut bukan berarti bahwa Allah mengetahui sesuatu tanpa membutuhkan usaha untuk mencari tahu dan membuktikannya. Ini
dikarenakan ilmu Allah bersifat azali dan abadi.
294
Al-Juwayn ī 478 H.
menjelaskan bahwa ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan terhadap sesuatu sesuai dengan kenyataannya. Al-Juwayn
ī mengemukakan bahwa ilmu terbagi dua, ilmu qad
īm tidak berawal dan ḥādith baru. Ilmu qad
īm hanya dimiliki Allah, karena berkaitan dengan semua ma‘lūmāt objek yang diketahui yang tidak terhingga. Namun al-Juwayn
ī mengingatkan bahwa cakupan ilmu Allah tersebut tidaklah bersifat
d}ar ūrī dan kasabī. Adapun ilmu ḥādith terbagi kepada d}arūrī, badīhī,
dan kasab ī.
295
Dalam hal ini, tokoh sufi seperti Ibn ‘Arab ī juga
menjelaskan bahwa Allah Maha Tahu terhadap segala sesuatu. Tidak terdapat perubahan pada ilmu Allah dengan perubahan yang terjadi objek
yang diketahui. Selain itu, Ibn ‘Arab ī juga menjelaskan bahwa ilmu
Allah meliputi kull īyāt universal dan juzīyāt partikular.
296
Ungkapan ini sangat berkaitan erat dengan sikap al-Ghaz
ālī yang menentang keras al-Far
ābī dan Ibn Sīnā yang menyebutkan bahwa ilmu Allah hanya berkaitan dengan kull
īyāt saja.
297
291
Al-Bayj ūrī seorang pensyarah al-‘Aqīdah al-Sanūsīyah menjelaskan bahwa
sifat ilmu merupakan sifat yang terdapat pada zat Allah. Kaitan sifat ini dengan segala sesuatu adalah i
ḥaṭah yang berarti Allah mengetahui segala sesuatu dengan keadaan sebenarnya. Pengetahuan-Nya bersifat tetap, karena tidak didahului ketidaktahuan
sebelumnya. Al-Bayj ūrī, ḥāshiyah al-Bayjūri, Surabaya: Maktabah Muḥammad bin
Ahmad bin Nabh ān, tth., 21.
292
Ungkapan w ājibāt dikembalikan kepada makna wajib ‘aqlī, yaitu sesuatu
yang tidak terpikirkan oleh akal ketiadaannya. Dalam ungkapan lain ini bisa dikatakan sesuatu yang pasti ada. Begitu juga musta
ḥīl adalah sesuatu yang tidak terpikirkan oleh akal keberadaannya. Adapun j
ā’iz sesuatu yang dapat dipikirkan oleh akal keberadaan dan ketiadaannya. Al-Das
ūqī, ḥāshiyah al-Dāsūqī, Beirut: Dār al-Fikr, t.th., 31. al- San
ūsī, Umm al-Barāhin, Surabaya: al-Hidayah, t.th., 31-32.
293
‘Aydr ūs, Hadīyat al-Bashīr, 2r.
294
al-San ūsī, Umm al-Barāhin, 108.
295
Al-Juwayn ī, al-Irshād, 10. D}arūrī berarti ilmu yang tidak diusahakan
penemuannya, namun ketidaktahuan terhadapnya menyebabkan suatu kemudaratan. Bad
īhī mempunyai arti sama dengan d}arūrī, tetapi tidak disertai kemudaratan dan hajat. Kasab
ī berarti ilmu yang diperoleh berdasarkan kemampuan seseorang untuk memeperolehnya. Al-Juwayn
ī, al-Irshād, 11.
296
Ibn ‘Arab ī, al-Futūh
āt, v. 1 h. 63.
297
Al-Ghaz ālî, Tahāfut al-Falāsifah ed. Dr. Sulaymān Dunyá, Mesir: Dār al-
Ma‘ ārif, 1972, 306.
86
Ini berbeda dengan sifat qudrat
P297F
298
P
dan ir ādah
P298F
299
P
yang hanya berkaitan dengan mumkin
āt hal-hal yang mungkin terjadi. Hal yang tergolong mumkin
āt terdiri empat macam, pertama mumkin wajada wa intaf
ā sesuatu yang mungkin terjadi tetapi telah berlalu dan tiada seperti Nabi Adam. Kedua, mumkin mawj
ūd mungkin terjadi saat ini seperti keberadaan manusia dan makhluk lain di dunia saat ini. Ketiga, mumkin
sa y ūjad mungkin akan terjadi seperti Hari Kebangkitan. Keempat,
mumkin ‘ilm al-bid āyat la yūjad mungkin terjadi tetapi tidak pernah ada
seperti keberad ān lautan dari yāqūt. Namun, ‘Aydrūs menyebutkan bahwa
walaupun tidak pernah ada, jika Allah menginginkannya maka sangat mungkin terjadi.
P299F
300
P
Ungkapan ini menunjukkan bukan berasal dari al- San
ūsī, namun ‘Aydrūs terlihat berusaha mensistematiskan hal-hal yang berkaitan dengan topik tersebut. Ibn ‘Arab
ī juga berbicara tentang ir
ādah atau maShī‘ah, dengan mengemukakan ungkapan Mā syāa kāna, wa m
ā lam yashā’ an yakūna lam yakun apa pun yang Dia kehendaki niscaya terwuj
ūd, dan sedangkan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya niscaya tidak terwujud.
P300 F
301
P
Dalam hal ini, ‘Aydr ūs menjelaskan bahwa
Allah berkehendak untuk menciptakan kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, serta keimanan dan kekufuran. Namun, ia mencoba
menepis anggapan Mu‘tazilah bahwa Allah hanya berkehendak terhadap hal yang baik saja. ‘Aydr
ūs menolak anggapan tersebut dengan mengatakan bahwa tidak ada suatu keniscayaan dari kehendak ir
ādah Allah dengan perintah amr. Hal ini berarti bahwa Allah menginginkan
ada keimanan dan kekufuran, tetapi tidak memerintahkan kecuali keimanan. Mengenai hal tersebut, Ibn ‘Arab
ī juga menyinggung bahwa segala kebaikan dan keburukan memang terjadi sesuai dengan kehendak
Allah yang azali. Ia menegaskan bahwa pada hakikatnya tidak ada yang berkehendak di alam semesta selain Allah.
P301F
302
P
‘Aydr ūs menyebutkan bahwa ada kaitan keumuman dan
kekhususan antara ir ādah dan amr. Ia membagi beberapa permasalahan
antara dua hal ini menjadi empat bagian. Pertama, terkadang Allah memerintahkan dan menginginkannya sekaligus seperti keimanan para
298
Al-Bayj ūrī menjelaskan bahwa qudrah berarti sifat Wujūdīyah yang
berkaitan dengan ījād pengadaan sesuatu yang mumkin atau meniadakannya. Al-
Bayj ūrī, ḥāshiyah al-Bayjūri, 20.
299
Al-Bayj ūrī menjelaskan bahwa irādah berarti sifat Wujūdīyah yang berkaitan
dengan mengkhususkan sesuatu yang mumkin menjadi sesuatu yang boleh terjadi baginya. Al-Bayj
ūrī, ḥāshiyah al-Bayjūri, 20.
300
‘Aydr ūs, Hadīyat al-Bashīr, 2r.
301
Ibn ‘Arab ī, al-Futūh
āt, v. 1 h. 63.
302
Ibn ‘Arab ī, al-Futūhāt, v. 1 h. 63.
87
nabi. Kedua, terkadang tidak memerintahkan dan tidak menginginkan, seperti kekufuran di kalangan para nabi. Ketiga, terkadang
memerintahkan tetapi tidak menginginkannya, seperti Ab ū Jahl yang
diperintahkan beriman tetapi Allah tidak menginginkan keimanan untuknya. Keempat, terkadang menginginkan tetapi tidak memerintahkan,
seperti hal-hal yang haram. Allah menginginkan keberadaan hal yang diharamkan, tetapi Dia tidak memerintahkannya.
303
Dalam hal ini, al- Syahrast
ānī juga pernah menepis anggapan sebagian Mu‘tazilah bahwa apabila Allah menginginkan keburukan maka Dia akan disifati oleh
keburukan. Hal ini yang menyebabkan Mu‘tazilah menolak bahwa Allah menghendaki keburukan, tetapi Dia hanya menginginkan kebaikan selalu.
Al-Syahrast ānī menegaskan bahwa rasionalisasi Mu‘tazilah tidaklah
tepat, karena Allah menginginkan ketaatan tetapi Dia tidak disifati sebagai mu
ṭī‘ orang yang taat, menginginkan salat tetapi Dia bukan orang yang salat, dan bisa diterapkan kepada semua kehendak Allah yang
lain.
304
Di samping itu, ‘Aydr ūs mempunyai perbedaan penjelasan
dengan al-Bayj ūri yang memberikan komentar terhadap karya al-Sanūsī.
Al-Bayj ūrī hanya menyebutkan bahwa mumkināt berarti sesuatu yang
kemungkinan keberadaan dan ketiadaannya sama.
305
Namun mereka sepakat dalam mengatakan bahwa sifat sama‘ dan bashar berkaitan
dengan semua mawj ūdāt, baik sesuatu yang bersifat qadīm maupun
ḥādith. Berbeda dengan sifat ḥayat yang tidak berkaitan dengan sesuatu pun.
306
Dalam konteks yang sama, Ibn ‘Arab ī menyebutkan bahwa sifat
sam ā‘ Allah tidak dihijab oleh jarak yang jauh, karena Dia Maha Dekat,
sebaliknya walaupun bersifat Maha Ghaib, sifat bashar Allah tidak terhalang oleh benda.
307
Dalam masalah kal ām, al-Sanūsi menegaskan bahwa kalām-Nya
tidak berhuruf dan bersuara. Al-Bayj ūrī menjelaskan ungkapan al-Sanūsī
bahwa kal ām Allah bersifat qadīm, sehingga mustahil berhuruf dan
bersuara. Ini dikarenakan huruf dan suara meniscayakan permulaan taqd
īm dan pengakhiran ta’khīr suatu kata. Dua keniscayaan tersebut merupakan sifat makhluk yang mustahil disifatkan kepada Allah.
308
‘Aydr ūs tidak membahas dengan terperinci tentang hakikat sifat kalām
303
‘Aydr ūs, Hadīyat al-Bashīr, 2v.
304
Al-Syahrast ānī, Nihāyat al-Aqdām fī ‘Ilm al-Kalām, 85.
305
Al-Bayj ūrī, ḥāshiyah, 13 dan 21. Ibn Sab‘īn, Sharḥ} Risālat al-‘Ahd, 119.
306
‘Aydr ūs, Hadīyat al-Bashīr, 2r. Al-Sanūsī, al-‘Aqidah, 22.
307
Ibn ‘Arab ī, al-Futūhāt, v. 1 h. 63.
308
Al-San ūsī, al-‘Aqidah, 22. Al-Bayjūri, ḥāshiyah, 22.
88
pada pembahasan sifat ma‘ ānī. Tampaknya, ia merasa cukup dengan
mengatakan bahwa kal ām Allah bersifat qadīm. Tetapi ia mengemukakan
pembicaraan mengenai ini pada pembahasan khusus tentang keimanan kepada Kitab Suci. Ia menyebutkan bahwa kalam Allah itu azali dan
berdiri pada zat-Nya. Oleh karena itu, kalam-Nya tidak terdiri dari huruf, suara, permulaan taqd
īm, pengakhiran ta’khīr, jeda, tajwīd, lantunan la
ḥn, perubahan akhir baris kata i‘rāb, pengerasan suara jahr, dan pengecilan suara sirr.
309
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibn ‘Arab ī 638 H. yang ikut
menjelaskan bahwa kal ām Allah bersifat qadīm azali sebagaimana sifat-
Nya yang lain. Ia menegaskan bahwa Allah berdialog dengan Nabi M ūsā
dengan kal ām qadīm. Bahkan, sifat kalām-Nya yang disebut dengan al-
Quran, Zabur, Taurat, dan Injil tanpa menggunakan huruf, suara, lantunan, dan bahasa. Ini dikarenakan Allahlah yang menciptakan semua
huruf, suara, lantunan, dan bahasa.
310
Dalam menjelaskan hal yang j ā’iz pada sifat Allah, maka ‘Aydrūs
menjelaskan bahwa segala sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak dijadikan, termasuk kepada hal yang j
ā‘iz bagi Allah. Ia menyontohkannya dengan beberapa hal, Allah boleh memberikan pahala
dan siksa kepada siapa pun yang dikehendakinya dan pengutusan nabi dan rasul.
311
Al-San ūsī mempunyai penjelasan yang menarik dan
kontroversial dalam hal ini sebagaimana dianut oleh semua pengikut ‘Ash‘ar
īyah. Ia menjelaskan bahwa salah satu hal yang jā’iz secara rasional aql
ī bagi Allah adalah kebolehan menyiksa orang yang beriman dan taat dan memberi kesenangan orang yang durhaka di akhirat. Al-
San ūsī menekankan bahwa hal ini dari aspek rasionalitas bukan syariat.
Allah mempunyai hal mutlak dalam keesaan-Nya. Al-San ūsi menegaskan
bahwa segala sesuatu adalah kreasi-Nya, sehingga Dia tidak mungkin didikte oleh siapa pun. Oleh karena itu, seandainya Dia menginginkan
azab bagi yang beriman dan kesenangan bagi yang durhaka maka tidak ada yang menghalangi-Nya.
312
Penegasan serupa juga ditemukan dalam ungkapan ‘Aydr
ūs. Ia menyebutkan bahwa kehendak Allah tidaklah karena Dia membutuhkannya. Begitu juga, kehendak-Nya untuk
memberikan pahala bagi orang yang beriman bukan berarti sebagai
309
‘Aydr ūs, Hadīyat al-Bashīr, 3v. Ia mengatakan:
ﻡﻼﻛ ﷲ
ﻲﻟﺯﻷﺍ ﻡﻳﺎﻘﻟﺍ
ﻪﺗﺍﺫﺑ ﺔﻳﻠﻌﻟﺍ
ﻩﺯﻧﻣﻟﺍ ﻥﻋ
ﻑﻭﺭﺣﻟﺍ ﺕﻭﺻﻟﺍﻭ
ﺎﻣﻭ ﻰﻓ
ﻩﺎﻧﻌﻣ ﻡﻳﺩﻘﻧﻟﺍﻭ
ﺭﻳﺧﺄﺗﻟﺍﻭ ﺕﻭﻛﺳﻟﺍﻭ
ﺩﻳﻭﺟﺗﻟﺍﻭ ﻥﺣﻠﻟﺍﻭ
،ﺏﺍﺭﻋﻹﺍﻭ ﺭﻬﺟﻟﺍ
ﺭﺳﻟﺍﻭ .
310
Ibn ‘Arab ī, al-Futūhāt, v. 1 h. 63.
311
‘Aydr ūs, Hadīyat al-Bashīr, 2v.
312
Al-San ūsī, Umm al-Barāhīn, 47.
89
sebuah hukum sebab akibat yang mesti terjadi. Tetapi Dia memberikan pahala sebagai bentuk kemuliaan-Nya dan janji-Nya kepada hamba.
313
Dalam hal ini, harus dibedakan bahwa secara rasional Allah bersifat mutlak, tetapi secara syariat disebutkan bahwa Dia tidak menyalahi janji-
Nya, maka pahala bagi orang beriman adalah karena janji-Nya.
Selain itu, pendekatan ilmu kalam terlihat sangat kental ketika ia menjelaskan konsep alam. Ia menjelaskan bahwa alam terdiri dari dua,
‘ayn substansi dan ‘ardh aksiden. Ada ‘ayn yang tidak menerima
posibilitas pemisahan qismah, tidak bertempat, tidak tersusun dari elemen-elemen tertentu. Hal ini sebagaimana populer dalam ilmu kalam
disebut dengan jawhar.
314
Tampaknya ‘Aydr ūs kurang menambahkan
satu kata, yaitu fard} sehingga menjadi jawhar fard. Adapun kategori kedua adalah ‘ayn yang dapat terpisah, bertempat, dan tersusun dari
elemen tertentu. Substansi ini disebut dengan jism.
315
Suatu jism menerima posibilitas untuk mempunyai warna, rasa, bau, hawa, gerak,
diam, bersatu dan terpisah. Hal ini dijelaskan oleh ‘Aydr ūs untuk
menekankan agar tidak terimajinasikan Tuhan memiliki criteria tersebut. Pada tataran ini, ‘Aydr
ūs mennginterpretasikan kalimat tauhid dengan ungkapan, L
ā ma‘būda bi ḥaqqin illá Allāh tidak ada yang disembah selain Allah.
316
Aspek lain yang meyakinkan bahwa ‘Aydr ūs sangat setia kepada
teologi Sunni adalah sikapnya terhadap permasalahan politik yang terjadi di kalangan sahabat Nabi Saw. Ia secara umum mengemukakan tentang
keutamaan sahabat Nabi Saw. ‘Aydr ūs tampak tidak sepakat dengan sikap
Syi‘ah yang lebih mengutamakan ‘Al ī dan merendahkan banyak sahabat
utama. Tetapi ‘Aydr ūs tetap menyebutkan kejeniusan dan kelebihan ‘Alī
bin Ab ī ṭālib.
317
‘Aydr ūs menyebutkan bahwa sahabat yang paling utama
adalah empat sahabat yang menjadi khal īfah rāsyidīn. Setelah itu, sepuluh
sahabat yang diberi kabar gembira dengan surga, al-s ābiqūn al-awwalūn
sahabat yang masuk Islam pada periode awal, a ṣḥāb bay‘at al-rid}wān
313
‘Aydr ūs, Hadīyat al-Bashīr, 2v.
314
‘Aydr ūs, Tanqīyat al-Qulūb, 14.
315
‘Aydr ūs, Tanqīyat al-Qulūb, 14.
316
‘Aydr ūs, Tanqīyat al-Qulūb, 14.
317
‘Aydr ūs, Tanqīyat al-Qulūb, 5. Ia malah menyebutkan bahwa kejeniusan
Ali merupakan Ijm ā‘,
ﻡﺎﻗﻭ ﻪﻳﻠﻋ
ﻉﺎﻣﺟﻹﺍ ﻰﻠﻋ
ﺓﺭﺍﺯﻏ ﻲﻠﻋ
. Ia menukil ungkapan ali,
ﻭﻟ ﺕﺋﺷ
ﺕﺭﻓﻭﻷ ﻥﻳﻌﺑﺳ
ﺍﺭﻳﻌﺑ ﻥﻣ
ﺭﻳﺳﻔﺗ ﺔﺣﺗﺎﻓ
ﺏﺎﺗﻛﻟﺍ
kalau aku mau, tentu aku akan memenuhi 70 onta pembawa kitab yang berisi tafsir al-F
ātiḥah. ‘Aydrūs memberikan penilian bahwa ungkapan tersebut dikarenakan keluasan wawasan Ali.
90
sahabat yang ikut dalam pengambilan sumpah setiap di bahwa pohon rid}w
ān.
318
Dalam hal ini, ‘Aydr ūs menilai bahwa orang yang merendahkan
sahabat Nabi Saw sebagai kefasikan.
319
Malah, ‘Aydr ūs memilih untuk
diam terhadap perselisihan yang pernah terjadi di kalangan sahabat.
320
Sikap ini berangkat dari penghargaan Nabi Saw terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan sahabat. ‘Aydr
ūs memilih untuk menyimpulkan bahwa jika mereka benar akan mendapatkan dua kebaikan, dan jika salah
mendapat satu kebaikan.
321
Apabila diperhatikan kajian teologi yang dikemukakan ‘Aydr ūs
tidak keluar dari teologi Sunni yang telah disistematikan oleh al-Sanus ī.
Tetapi ia mencoba memberikan beberapa tambahan dan pengungkapan yang berbeda. Selain itu, maka dapat dikatakan bahwa materinya sama
dengan ‘aq īdat al-‘awwām yang pernah dikemukakan Ibn ‘Arabī. Ini
juga dikemukakan ‘Abd al-R ā’uf dalam Sullam al-Mustafīdīn dan Arshad
al-Banj ārī dalam Sabīl al-Muhtadīn. Namun perbedaannya adalah
‘Aydr ūs mencoba mengebalorasi sendiri dengan kemampuan bahasa Arab
yang dimilikinya.
318
‘Aydr ūs, Tanqīyat al-Qulūb, 6.
319
Hal ini didasarinya kepada beberapa hadis Nabi Saw, seperti,
َﻻ ﺍﻭﱡﺑُﺳَﺗ
ﻲِﺑﺎَﺣْﺻَﺃ ْﻭَﻠَﻓ
ﱠﻥَﺃ ْﻡُﻛَﺩَﺣَﺃ
َﻕَﻔْﻧَﺃ َﻝْﺛِﻣ
ٍﺩُﺣُﺃ ﺎًﺑَﻫَﺫ
ﺎَﻣ َﻎَﻠَﺑ
ﱠﺩُﻣ ْﻡِﻫِﺩَﺣَﺃ
َﻻ َﻭ ُﻪَﻔﻳ ِﺻَﻧ
“Janganlah menghujat sahabatku, karena seandainya di antara kalian menginfakkan emas sebanyak bukit Uhud, maka kalian tidak akan sanggup mencapai
satu mud dari pahala yang mereka peroleh, bahkan setengahnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukh
ārī, al-Jāmi‘ al-Shaḥīḥ, no. 3397. Muslim, al-J
āmi‘ al-Shaḥīḥ, no. 4610. Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud, no. 4039. al-Tirmidhī, Sunan al-Tirmidh
ī, no. 4796.
320
‘Aydr ūs, Tanqīyat al-Qulūb, 6.
ﺏﺟﻳﻭ ﺎﻧﻳﻠﻋ
ﺕﻭﻛﺳﻟﺍ ﺎﻣﻋ
ﻱﺭﺟﻳ ﻥﻳﺑ
ﺔﺑﺎﺣﺻﻟﺍ ﻲﺿﺭ
ﷲ ﻡﻬﻧﻋ
ﻥﻣ ﺕﺎﻋﺯﺎﻧﻣﻟﺍ
ﺕﺎﺑﺍﺭﺣﻟﺍﻭ ﻝﺗﺎﻘﺗﻭ
ﻡﻬﺿﻌﺑ ﺎﺿﻌﺑ
ﺏﺑﺳﺑ ﻡﻬﻓﻼﺗﺧﺍ
ﻰﻓ ﺩﺎﻬﺗﺟﻻﺍ
ﻙﻠﺗﻓ ﺎﻣﺩ
ﺭﻬﻁ ﷲ
ﺎﻬﻧﻣ ﺕﺑﺛﻧﻭ
ﻱﺭﺣﺍ ﺝﺎﻬﺗﺟﻻﺍ
ﻝﻛﻟ ﻡﻬﻧﻣ
ﺏﻳﺻﻣﻠﻟﻭ ﺎﻬﻳﻓ
ﻥﺍﺭﺟﺃ ﻰﻠﻋ
ﻩﺩﺎﻬﺗﺟﺍ ﻪﺗﺑﺎﺻﺇﻭ
.
321
‘Aydr ūs, Tanqīyat al-Qulūb, 6.
91
BAB IV PERDEBATAN KONSEP WUJUD DALAM PRESPEKTIF