BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia yang berkualitas dari segi intelektual maupun spiritual akhlak merupakan kebutuhan yang mutlak di zaman sekarang ini.
Sedangkan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia dibutuhkan waktu yang panjang, oleh karena itu pendidikan akhlak harus diberikan sejak
kecil. Keluarga sebagai lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh anak
memiliki potensi yang besar untuk menanamkan nilai-nilai dasar dari akhlak mulia. Karena aktivitas rutin dalam kehidupan keluarga dapat dijadikan dasar
bagi pembentukan kebiasaan yang baik. Demikian dominannya fungsi dan peran keluarga dalam pembentukan nilai, hingga Gilbert Highest menyatakan,
bahwa sekitar Sembilan puluh persen dari kebiasaan anak berasal dari pendidikan yang diperolehnya dalam keluarga.
1
Allah SWT berfirman dalam al- Qur‟an surat At-Tahrim ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
Prof. Dr. H. Ja laluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 203
1
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” At-Tahrim: 6
2
Berdasarkan ayat di atas, maka dalam pendidikan Islam orang tua ditempatkan sebagai basis dalam membina pendidikan. Pendidikan akhlak di
lingkungan keluarga diharapkan dapat mencapai hasil yang maksimal dalam membentuk akhlak anak. Akan tetapi kurangnya tauladan orang tua dalam
mendidik akhlak menyebabkan tidak terbentuknya kestabilan emosi, sehingga menyebabkan anak mudah marah dan tersinggung. Imam Ja‟far Shadiq
berkata: “Kemarahan adalah pemusnah hati orang bijak, orang yang tidak
dapat menguasai marahnya, tak akan dapat menguas ai pikirannya.”
3
JB. Watson menyatakan bahwa manusia memiliki 3 emosi dasar, yaitu: Takut, Kemarahan, dan Cinta.
4
Tiga emosi dasar inilah yang sejatinya mempengaruhi sikap manusia. Jika seseorang tidak dapat mengendalikan dan
menempatkan emosinya dengan baik maka ia akan kehilangan keharmonisan dalam bergaul dengan orang-orang disekitarnya.
Amarah sebenarnya dapat membantu manusia menjaga eksistensinya. Karena jika seseorang sedang marah maka kekuatannya akan bertambah,
karena secara tak sadar kekuatan dirinya yang terpendam meluas keluar, sehingga memungkinkannya untuk membela diri atau menaklukkan segala
hambatan yang merintanginya. Al-
Qur‟an menganjurkan untuk menggunakan “kekuatan” kepada orang- orang kafir yang menentang penyebaran ajaran Islam.
5
Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Qur‟an Surat At-Taubah ayat 123
Departe men Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Syamil Cipta Media,
2005, h. 560 Dra. Nety Hartati, M.Si, dkk, Islam dan Psikologi, Tangerang: UIN Ja karta Press, t.t,
h. 120
4
Dra Nety Hartati, M.Si, dkk, Islam dan..., h. 94
5
Muhammad Utsman Najat i, Il mu Jiwa dalam al- Qur’an, Jakarta: Pustaka Azzam,
2006, h. 75
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan
daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang
yang bertaqwa.” QS. At-Taubah: 123
6
Namun kenyataannya, pada zaman sekarang manusia cenderung merespon amarahnya dengan melakukan tindakan aniaya pada hal- hal yang dianggap
merintangi motivasinya. Bahkan kemarahan kadang ditimpakan kepada orang yang sama sekali tidak terkait dengan masalah yang sedang dihadapinya.
Contoh: Seorang anak yang sedang marah kepada ayahnya biasanya akan melampiaskan amarahnya kepada adiknya, hal tersebut karena si anak tidak
berani meluapkan amarahnya kepada ayahnya. Dalam Ilmu jiwa proses ini dikenal dengan istila
h “displacement” salah penempatan.
7
Atas dasar pemikiran diatas, penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan
judul
“PERAN PENDIDIKAN
AKHLAK DALAM
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MENGENDALIKAN EMOSI PADA ANAK di LINGKUNGAN KELUARGA MUSLIM”
B. Identifikasi Masalah