PENDIDIKAN RIWAYAT HIDUP TENGKU IBRAHIM MANTIQ

Demikianlah dalam rentang waktu 1938-1950-an rumah tangga Tengku Ibrahim penuh dalam keharmonisan dan kebahagiaan, sebagai rumah tangga yang sakinah, punya papan, cukup sandang dan cukup pangan serta dikaruniai anak-anak sebagai harta yang tak ternilai harganya.

B. PENDIDIKAN

Berangkat dari filosofi Islam, yang menyatakan “tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang kubur”, telah menuntun umat Islam untuk melaksanakan pendidikan anaknya sejak dini. Berpedoman pada dalil tersebut, orang tua bukan saja dituntut berperan sebagai pelindung, tetapi dituntut pula untuk mencerdaskan anak-anaknya. Proses demikian, telah lama berjalan di Tanah Gayo, sejalan dengan masuk dan berkembangnya Islam diseluruh wilayah Aceh. Pendidikan khususnya, pendidikan agama terus berjalan dan sudah mentradisi sampai hadirnya pendidikan modern. Perlu dijelaskan sebagai gambaran bahwa di Kenawat pendidikan Islam telah berkembang pesat dengan ditandai dengan pendidikan moderen. Tokohnya adalah Tengku Kadhi Rampak, seorang pendidik yang berfikiran maju. Ia telah berguru kepada Tengku Muhammad Saleh Pulokitun. Proses demikian di Kenawat telah lama berjalan dan sejalan dengan proses tersebut, Ibrahim sejak dini telah mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan. Ia bernasib baik, karena langsung belajar pada ayahnya, Empun Berhan. Karena Empun Berhan adalah salah seorang tengku guru yang memimpin pengajian. Murid-muridnya terdiri dari orang laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak yang bertempat di Mersah Meunasah. Pelajarannya adalah belajar tulis Al Qur’an dan sebagai pemula adalah surat Juz Amma, bagi yang dewasa Al-Qur’an, soal ibadah, hukum tarikh dan masalah dunia. Dengan ditunjang dengan kecerdasan dan keinginan yang kuat, Ibrahim telah berhasil memperkaya ilmunya. Karena ia telah dapat membaca langsung dari kitab-kitab milik ayahnya, seperti Masailal dan Sabilal. Kitab-kitab tersebut pada intinya berisi tentang syariat, ibadah dan ahlak, bahasanya adalah bahasa Melayu Kuno dan tulisan Arab gundul. Sedang kitab-kitab tersebut pada masa itu termasuk kitab langka dan merupakan kitab pegangan tengku-tengku di Gayo Aceh Tengah. Pada tahun 1929 Ibrahim meninggalkan kampung halaman dan meneruskan pendidikannya ke daerah pesisir di Aceh. Momentum yang baik yakni karena tahun 1929-an isolasi Tanah Gayo, sebagai daerah pedalaman yang tertutup telah terbuka ruas jalan Takengon-Bireun sepanjang 100 Km oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda juga membuka lembaga pendidikan tingkat dasar perpolkschool di kota Takengon. Dampak positif dari perobahan tersebut telah mendorong pemuda-pemuda Gayo keluar beramai-ramai untuk menuntut ilmu di luar kota Takengon. Tujuan utama mereka adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam di kota-kota di pesisir Aceh seperti Bireun, Samarlanga, Sigli dan keluar daerah Aceh, seperti Padang Panjang, Sumatra Barat dan ada yang ke Jawa. Mengikuti arus tersebut, Ibrahim memilih Pesantren Pulokitun, pimpinan Tengku Muhammad Saleh, lebih dikenal dengan panggilan Tengku Pulokitun 28 . Pesantren tersebut telah menjadi tujuan utama pemuda-pemuda Kenawat, karena telah terjalin baik dengan Tengku Kadhi Rampak, ulama Kenawat. 28 Wawancara dengan Tengku H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat Ibrahim hanya bertahan satu tahun di Pesantren Pulokitun, dan selama itu ia hanya mempelajari nahwu dan syaraf , sehingga ia sangat menguasai kedua pelajaran tersebut. Karena menurut anjuran Tengku Pulokitun, selaku guru, kalau dapat menguasai ilmu tersebut, maka akan lebih mudah mempelajari semua kitab yang berbahasa Arab. Sementara itu, Tengku Pulokitun dengan dukungan Tengku Hanafiah dan Tengku Haji Ridwan membuka Madrasah moderen di Cut Meurak. Pimpinannya, Tengku Pulokitun, sedang tenaga pengajar adalah semua Tengku pendukung Madrasah tersebut. Lembaga pendidikan tersebut bernafaskan Islam, tetapi telah berani menerapkan sistem pendidikan moderen dengan memasukkan mata pelajaran menulis latin dan berhitung. Bersamaan dengan ini, Ibrahim ikut pindah mondok di Cut Meurak dan bergabung satu pondok bersama Muhammad Yusup dari Pegasing, kakak kandung Muammad Hasan Gayo. Untuk menghemat biaya hidup, sesuai dengan kemampuan ekonomi, mereka berdua memasak sendiri. Setelah berjalan satu tahun lamanya, pimpinan madrasah mengeluarkan kebijakan, yaitu melakukan ujian umum untuk penyaringan terhadap murid-murid. Bagi murid yang mendapat nilai kurang akan ditempatkan di kelas I, bagi murid yang mendapat nilai sedang akan duduk dikelas II dan bagi murid yang memperoleh nilai tinggi akan ditempatkan di kelas III. Dengan demikian menjelang tahun ajaran kedua telah berdiri tiga kelas, yaitu kelas I, kelas II dan kelas III. Dalam mengikuti ujian umum tersebut, Ibrahim tidak mengalami kesulitan, karena semua pelajaran yang di ujikan sudah dikuasai dengan baik. Sehingga tidak mengalami hambatan yang berarti, ia dapat menjawab sempurna soal-soal yang diberikan panitia ujian. Karena itu, ia dan Abdul Wahab terpilih duduk di kelas III dan Husin naik kelas III sebagi percobaan. Sementara itu, ketika Ibrahim dan murid-murid lainnya sedang tekun mencurahkan perhatian, Tengku Pulokitun, sebagai pegagas berdirinya Madrasah Cut Meurak mengundurkan diri dan minta berhenti, dengan alasan bahwa ia akan mencari kebutuhan hidup keluarga. Mundurnya Tengku Pulokitun telah memberi pengaruh akan kelancaran proses belajar mengajar di Madrasah Cut Meurak. Begitu juga Ibrahim yang telah ikut 3 kwartal di kelas III semangat belajar menjadi kendor dan ada rasa enggan untuk meneruskan pendidikan di Madrasah tersebut. Padahal waktunya tinggal tidak lama untuk mengikuti ujian akhir ke kelas 4. Meskipun demikian, untuk sementara waktu Ibrahim masih tetap bertahan di Cut Meurak. Untuk mengisi kekosongan waktu, ia mendalami ilmu-ilmu yang telah di perolehnya dan kalau ada yang kurang jelas ia bertanya langsung pada guru di Cut Meurak, sehingga semua ilmu yang telah diperolehnya dapat dikuasai dengan baik. Dalam keadaan demikian, Tengku Pulokitun menganjurkan Ibrahim supaya melanjutkan pendidikan di Al Muslim Glumpang Dua, sebuah Madrasah moderen yang telah didirikan pada 13 April 1930, pimpinannya adalah Habib Mahmud serta dibantu oleh tenaga pengajar yang berkualitas. 29 Lembaga tersebut, sebenarnya sudah digagas sejak tahun 1929, tepatnya pada 21 Jumadil Akhir H, bertepatan dengan 14 Nopember 1929 oleh Tengku Abdurrahman Meunasah Karang Meucap, seorang ulama yang ternama di Peusangan dan sebagai ketua serta dibantu oleh Ulebalang Tengku Chik Peusangan. 29 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata Sistem belajar mengajar yang dianut di lembaga tersebut adalah sistem moderen, karena mata pelajaran yang diberikan, selain mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, juga diberikan mata pelajaran umum. Bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Arab. Karena itu mata pelajaran umum pun disebut dalam bahasa Arab, seperti ilmu berhitung disebut ilmu Hisab, ilmu bumi disebut Jografi, logika disebut Ilmu Mantiq, ilmu kesehatan disebut Ilmu Shihah, ilmu jiwa disebut Ilmu Nafs dan lain-lain. Selain itu, madrasah tersebut juga mengajarkan ilmu berpidato dan kepanduan yang disebut Kassa’ful Muslimin. Sementara itu, Ibrahim yang berminat untuk meneruskan pandidikan di Al- Muslim Glumpang Dua, dia pulang dulu ke Kenawat Takengon untuk melapor kepada ayahnya Empun Berhan tentang maksud kepindahannya. Akan tetapi permintaan tersebut ditolak, ayahnya agak keberatan, karena selain jauh, juga terbentur soal biaya. Alasan ayahnya, sedang sekolah dekat di Cut Meurak ia tidak lancar mengirim belanja, apalagi pindah di Glumpang Dua yang lebih jauh, tentu sangat keberatan. Mendengar alasan tersebut, Aman Rinah, sebagai keponakan dan Aman Gaseh selaku anak angkat, memberi dorongan semangat kepada Empun Berhan dan mereka berdua telah sepakat untuk mendukung cita-cita Ibrahim meneruskan pendidikannya. Karena menurut pengamatan mereka, bahwa Ibrahim memiliki kemampuan belajar yang bagus. Juga harapan mereka agar Ibrahim menjadi seorang tengku yang berilmu. Adapun masalah biaya akan ditanggulangi bersama dan mereka bersedia membantu. Akan tetapi sewaktu mendaftar di Al Muslim timbul perbedaan kehendak antara Ibrahim dengan kepala sekolah tersebut. Ibrahim memohon kepada kepala sekolah agar ia dapat duduk langsung dikelas IV, dengan alasan, bahwa ia selain sanggup, juga ia telah duduk di kelas III sudah lebih 3 kwartal di Cut Meurak dan hanya tinggal mengikuti ujian naik kelas IV saja. Oleh karena itu dengan pertimbangan rugi waktu serta mempunyai kesanggupan, ia memohon kepada kepala sekolah untuk dapat duduk di kelas IV. Namun kepala sekolah tersebut tetap menolak. Oleh karena itu, untuk dapat meyakinkan kepala sekolah Al Muslim, Ibrahim kembali ke Cut Meurak untuk mendapatkan surat keterangan. Kemudian dengan modal surat keterangan tersebut ia langsung menghadap, Tengku Abdurrahman Karang Meucap selaku pimpinan pengurus madrasah Al Muslim untuk membicarakan tentang permasalahannya. Akhir pembicaraan, Ibrahim dapat diterima menjadi murid di kelas IV, tetapi dengan perjanjian, apabila kelak tidak sanggup mengikuti pelajaran ia kembali duduk di kelas III. Ibrahim yang punya keinginan menyanggupi dan berjanji akan memenuhi tuntutan tersebut. Hari-hari pertama mengikuti mata pelajaran, Ibrahim mendudukan dirinya sebagai pendengar yang baik. Karena ia masih dalam masa penyesuaian diri dengan situasi ruang dan lingkungan belajar. Sikap yang demikian berlangsung selama satu minggu. Dalam masa itu ia belum merasa perlu bertanya pada guru, begitu juga sebaliknya guru belum mengajukan pertanyaan kepadanya. Namun demikian ia berusaha untuk memusatkan perhatiannya pada setiap mata pelajaran yang diberikan guru. Pada masa-masa selanjutnya, sesuai dengan janjinya, Ibrahim menunjukkan dirinya, bahwa ia sanggup mengikuti semua mata pelajaran dengan baik. Dengan demikian, apa yang telah ia ucapkan, telah dapat dibuktikannya dan sukses. Bahwa ia mulai tampil beda dengan teman-teman sekelasnya. Ia telah dapat menunjukkan kecerdasannya. Begitu juga caranya berpakian, ia tidak kalah, sehingga banyak orang menduga bahwa ia adalah anak orang yang berkelas. Kecerdasan Ibrahim mulai ditunjukkannya dan ini tampak didalam penguasaan semua mata pelajaran, cara berdialog, cara menjawab dan jernih dalam adu pendapat. Keistimewaannya ia dapat bergaul dengan kalangan luas. Ia dapat berkomunikasi lancar dengan guru-guru dan merangkul semua teman serta akrab dengan orang di luar lingkungan sekolah. Rahasia keberhasilan Ibrahim, sebenarnya terletak pada daya ingat 30 , ingatannya kuat. Setiap guru yang memberikan mata pelajaran, ia sangat memusatkan perhatiannya. Ia berusaha untuk menangkap inti pembicaraan atau penjelasan guru. Semua itu ia tangkap dan kemudian ia kemas baik dikepalanya. Selain itu, ia memasang kuping lebar- lebar seawaktu teman-temannya belajar dan membaca, ia menyimak sambil tiduran. Sehingga tanpa sepengetahuan mereka, Ibrahim telah dapat menangkap apa yang mereka baca atau hapalkan. Sedangkan cara lain adalah sewaktu teman-teman sudah pada tidur lelap, ia bangun dan belajar dengan sebaik-baiknya. Untuk memperkaya ilmu, Ibrahim selalu memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang baik untuk bertanya kepada guru. Pendekatan yang ia lakukan kepada guru, bukanlah mengemis agar si guru dapat memberikan nilai bagus, tetapi kesempatan ia pergunakan untuk mendapatkan penjelasan tentang ilmu yang belum ia fahami dengan baik. Untuk hal tersebut ia tidak segan-segan bertanya dimanapun bertemu dengan gurunya. 30 Wawancara dengan Tengku H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat Dengan cara demikian Ibrahim menjadi lebih dikenal oleh guru-guru di Al Muslim. Ia kenal dan akrab dengan Tengku Abbas guru ilmu Mantiq, kenal dengan Tengku Isman dan guru lainnya. Karena keramahannya itu, ia dijuluki oleh guru-guru dan teman-teman dengan sebutan anak Gayo atau Ibrahin Kenawat. Semua sebutan tersebut tidaklah mengecilkan hati Ibrahim, bahkan telah mengangkat popularitas di mata orang banyak, sehingga ia dikenal, bukan di sekolah saja, tetapi di luar sekolah pun ia di kenal. Dengan kedudukan sebagai pelajar Al Muslim, maka Ibrahim duduk pula didalam kumpulan sekolah yaitu, Jami’atul Tulab perkumpulan murid-murid. Dalam periode tahun 1934-1935 ia duduk menjadi ketua. Kegiatan badan ini selain untuk mengatur kesejahteraan murid-murid juga melakukan dakwah. Untuk melancarkan geraknya, maka setiap murid dipungut iuran. Badan ini sering mendapat undangan dari kampung- kampung sekitarnya untuk pengajian, maulid dan kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut memberi kesempatan kepada Ibrahim untuk memberikan ceramah pada pengajian- pengajian pada masyarakat setempat. Kemahiran berpidato, telah dapat ditunjukkan oleh Ibrahim di Pesantern Awegetah, pesantren tertua di Peusangan. Dalam kesempatan itu ia dapat menyampaikan tentang keteladanan Nabi Muhammad saw yang intinya uraian adalah tentang kesabaran, ketekunan dan istikomah. Nilai lebih dari pidato itu terletak pada cara penyampaiannya, konseptual dan sistematis dengan bahasa yang jelas, sehingga enak di dengar dan gampang menaggkap makna. Sehingga karenanya dalam setiap hati para pendengar bertanya “anak siapa gerangan?” maka mendapat tepuk tangan yang gemuruh dari para hadirin untuk mengantar Ibrahim duduk. Oleh karena itu Tengku Asyik, sebagai pembawa acara memberi komentar. “inilah dia anak Gayo yang menjadi bintang di Al Muslim”. Demikianlah, dengan bermodalkan kecerdasan yang prima dan dorongan kemauan yang keras, Ibrahim terus berusaha dengan segala daya untuk meraih cita- citanya. Karena itu kelas dan kelas dapat ia lalui dengan langkah gemilang, sehingga ia dapat memperoleh nilai baik yang melebihi teman-temannya. Perihal tersebut sejak ia masuk tahun 1932, pada tahun 1933 ia naik kelas V dengan nilai baik, selanjutnya tahun 1934 naik kelas VI nilai baik. Kemudian tahun 1935 ia naik kelas VII, tetap nilai baik. Dan pada kelas akhir ini murid-murid hanya tinggal 14 orang dan yang ikut ujian akhir hanya 12 orang. Pada tahun 1936 yang sejalan dengan sistem pendidikan yang modern, Al Muslim menyelenggarakan ujian akhir untuk memperoleh diploma. Pelaksanaan tersebut untuk menyatakan bahwa setiap murid yang telah menyelesaikan pendidikan di lembaga ini harus memiliki diploma. Untuk memenuhi kriteria tersebut, maka murid-murid kelas VII diwajibkan mengikuti ujian akhir. Konon penyelenggaraan ini merupakan pelaksanaan yang pertama kali yang dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta di Aceh. Proses pelaksanaan ujian tersebut dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama ujian tulis yang disebut tahriri, tahap kedua ujian lisan yang disebut sapawi. Mata pelajaran yang diujikan sebanyak 10 buah, diantaranya: Nahwu, Shorof, Ilmu Mantiq, Mustalahah Hadis, Hadis, Usul Fikh, Tarikh Sejarah Islam dan ilmu Bumi. Penyelenggaraan ujian tersebut dilaksanakan selama 10 hari. Dalam mengikuti ujian tahriri tulis, Ibrahim dapat melakukan dengan baik, ia dapat menjawab semua pertanyaan dalam waktu yang relatif singkat, dan sempurna. Karena semua soal yang diberikan oleh dewan penguji telah tersimpan baik didalam kepalanya. Bahkan selama mengikuti ujian, ia yang paling cepat menyerahkan kertas jawaban kepada panitia pengawas. Karena itu, ia ditegur oleh panitia pengawas, “jangan terburu-buru sebab waktu masih panjang, teliti lagi”. Ibrahim dapat menyelesaikan jawaban rata-rata 15 menit setiap mata pelajaran, seolah-olah tinggal menuliskan saja, karena semua jawaban telah ada di kepalanya. Sedang ujian safawi lisan diselenggarakan di dalam sidang umum. Dewan penguji 6 orang, seorang pimpinan dan 5 orang yang terdiri dari guru-guru di Al Muslim dan guru-guru yang di datangkan dari luar. Sistem ujiannya mengingatkan kita pada ujian sarjana dalam mempertahankan karya tulisnya di perguruan tinggi. Demikian pula pelaksanaan ujian tersebut bagi mereka yang mengikuti ujian duduk menghadap dewan penguji dan menjawab semua pertanyaan dari dewan penguji. Ketika Ibrahim mendapat giliran, ia maju tenang, percaya diri dan dengan pakaian rapi, ia duduk sopan menghadap dewan penguji. Untuk memulai sidang, pemimpin sidang memerintahkan panitia membuka selubung papan tulis yang telah dituliskan sebuah ayat yang dikutip dari Al-Qur’an. Selanjutnya pimpinan sidang mempersilakkan Ibrahim untuk membacanya. Ibrahim membaca “wa minan naasi may yaquulu aamannaa billaahi wa bilyaumil aakhiri wa maa hum bimu’minin” dengan lancar dan kemudian ia terjemahkan dengan pas dan benar. Sesudah itu ketua dewan penguji bertanya, “dimanakah terdapat ayat tersebut?” Ibrahim menjawab lancer “didalam Al- Qur’an, Juz I surat Al Baqarah ayat 8.” Selanjutnya pimpinan sidang, mempersilahkan kepada para anggota untuk bertanya yang sesuai dengan bidang kajian ilmu masing- masing. 31 Singkat cerita, Ibrahim dapat menjawab semua pertanyaan dewan juri dengan jelas, baik dari segi tata bahasa, tafsir dan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Pertanyaan terakhir dari salah seorang anggota penguji yang menyatakan, sesuai dengan ayat tersebut, “coba saudara jelaskan manusia itu terbagi dalam berapa golongan?” Ibrahim menjelaskan “bahwa manusia itu terbagi kedalam tiga golongan, yaitu muslim, munafik dan kafir” demikian semua pertanyaan dari anggota dewan penguji dapat dijawab oleh Ibrahim baik dan lancar. Setelah semua peserta ujian mendapat giliran, sidang diistirahatkan, sedang dewan penguji melakukan sidang untuk penentuan rengking pemenang. Kemudian untuk mendengar hasil akhir para peserta ujian masuk ruangan sidang undangan untuk mendengarkan pengumuman. Untuk menentukan rengking bagi yang lulus, panitia mulai menyebut urutan nama-namanya dari rengking yang paling bawah. Setelah menyebutkan nama satu persatu dan sampailah pada nomor ke-11. pada nomor ini tersebutlah nama Asyik, asal Aceh Utara teman akrab dan saingan Ibrahim dalam perebutan kedudukan. Dan setelah nama tersebut barulah tiba giliran yang terakhir menyebutkan nama Ibrahim sebagai juara I.dengan demikian tercatatlah nama Ibrahim anak dari Gayo Aceh Tengah sebagai rengking I dari 12 peserta ujian. Berhasilnya Ibrahim meraih peringkat juara I merupakan prestasi yang membanggakan bagi daerah Gayo, karena ia telah dapat menunjukkan 31 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata kecerdasannya. Ia merupakan murid terbaik, lepasan pertama dari Al Muslim Glumpang Dua yang meraih peringkat juara I 32 Dengan bermodalkan diploma yang telah diperolehnya, ia meminta kepada orang tuanya, Empun Berhan agar dapat meneruskan pendidikan pada tingkat selanjutnya. Hal ini, karena ia telah mendapat anjuran dari gurunya, Tengku Usman Lhoksukon untuk meneruskan pendidikan pada Collegschooll di Padang Sumatra Barat. Akan tetapi permintaan tersebut tampaknya tidak pernah serius dipertimbangkan oleh sang ayah Empun Berhan dan ia hanya menyatakan “bahwa ia tidak mempunyai kesanggupan untuk mencari biayanya”. Dengan demikian gagallah cita-cita Tengku Ibrahim untuk meneruskan pendidikan pada jenjang selanjutnya. 32 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata 38

BAB IV USAHA TENGKU IBRAHIM MANTIQ DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN