Keluarga RIWAYAT HIDUP TENGKU IBRAHIM MANTIQ

20

BAB III RIWAYAT HIDUP TENGKU IBRAHIM MANTIQ

A. Keluarga

Tengku Ibrahim Mantiq ia lahir tahun 1914 di Kenawat Takengon, putra dari Mude Berani Aman Nurcaya alias Empun Berhan 23 . Kampung Kenawat ini termasuk sebuah wilayah kegecikan dalam wilayah pemukiman Laut Tawar kecamatan Kota Takengon kabupaten Aceh Tengah, propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang jauhnya ± 3 Km sebelah Tenggara kota Takengon Ayahnya bernama Mude Berani alias Aman Nurcaya nama tuanya Empun Berhan ia juga mendapat gelar Raja Setie Raja, karena ia pernah menjabat sebagai Raja kampung Kenawat dalam satu periode. Ibunya bernama Sawiah berasal dari kampung Gunung Tritit Redlong sekarang kabupaten Bener Meriah. Perkawinan ini merupakan perkawinan yang kedua karna Mude Berani telah menduda dan Sawiah janda karna suami Sawiah telah gugur dalam pertempuran dengan tentara Belanda dalam mempertahankan Aceh. Kebahagiaan Tengku Ibrahim Mantiq pada masa kecilnya, seperti lazimnya dirasakan seorang anak dengan belaian kasih sayang dari seorang ibu tidaklah lama dinikmatinya. Karena sesudah ibunya meninggal ia diasuh oleh ayahnya sendiri. Oleh karena itu Empun Berhan yang telah menduda menumpahkan perhatian penuh pada Ibrahim. Karena ia berperan ganda, sebagai bapak dan sebagai ibu. Namun demikian, bagaimana pun baiknya, tidaklah sempurna seperti kelembutan hati seorang ibu. Hal ini tidak saja karena keterbatasan kemampuan, tetapi karena tuntutan kebutuhan hidup sehari-harinya. Untuk menanggulangi kebutuhan hidup, Empun Berhan sering 23 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakarta mondar mandir dagang sampai kedaerah Blang Kejeren, Gayo Lues. Karena itu Ibrahim terpaksa dititipkan pada Empun Sami atau Empun Salamah, saudara sepupu. Oleh karena itu perawatan Ibrahim bergantung pada kasih sayang saudara. Begitu juga untuk mendapatkan makan, kadang-kadang ikut makan dengan Empun Sami dan kadang- kadang ikut makan dengan Empun Salamah 24 . Namun demikian, tidaklah menghambat langkah Ibrahim untuk menuju pertumbuhannya. Segala cobaan itu telah menempa mental Ibrahim menjadi manusia yang dinamis. Empun Berhan, selaku orang tua yang bijaksana, meskipun Ibrahim sebagai anak kesayangan tidaklah memanjakannya. Untuk menjadi manusia yang berguna, sejak awal dia telah meletakkan rambu-rambu petunjuk agar dapat menempuh jalur yang benar. Begitu juga dalam membimbing ia tidak bosan memberi nasehat dan petua-petuah yang bijak dengan kata-kata lembut, penuh kasih sayang agar kelak menjadi manusia yang berbudi dan berakhlak mulia. Setelah menduda 2 tahun ia menikah lagi dengan seorang janda dari kampung Rawe yang suaminya juga gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Dari perkawinan ini lahir 2 anak laki-laki yang di beri nama Abas dan Ahmad. Sedangkan perkawinan yang pertama dengan seorang gadis dari kampung Linung Bulan Bukit Bintang putri dari seorang keturunan bangsawan dari raja-raja Bukit dan melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Inen Sahar. Dengan demikian ia bersaudara satu bapak 5 orang dengan berlainan ibu. 24 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim. 10 Januari 2009 Jakarta Asal usul Mude Berani merupakan tetesan darah dari seorang Musafir yang berasal dari Meureuedu Aceh Pidie yang menikah dengan gadis Gayo di Kenawat anak dari Datu Tunggal. Dari garis ini Mude Berani merupakan generasi ketiga dari keturunan tersebut 25 . Bercerita tentang Mude Berani, ayahnya Ibrahim seorang yang alim Tengku yang diwariskan oleh kakeknya. Selain itu ia cerdas ahli adat, karena kecerdasannya ia pernah diangkat menjadi Raja kampung Kenawat dengan Gelar Raja Setie Raja. Selain itu ia sangat mahir dalam bercerita kekeberen, sehingga boleh di katakan seorang publish yang tiada bandingnya di kampung Kenawat. Dengan menyandang predikat Tengku, tahun 1936 Tengku Ibrahim kembali pulang ke kampung halamannya di Takengon. Penampilannya telah memperlihatkan gaya hidup orang-orang yang terpelajar dan berpikiran maju. Begitu juga cara berpakaian, ia telah dapat mengikuti gaya hidup zaman mutahir yang ditandai dengan mengenakan pantaloon celana panjang dan baju cut jas. Singkat kata penampilannya penuh daya pesona yang mengesankan. Namun demikian, kepribadiannya tetap kukuh berpegang pada budaya bangsa yang Islami. Ilmunya telah membentuk jati dirinya menjadi manusia yang berbudi dan berakhlak mulia dan ini kelihatan terpancar di dalam kehalusan budi bahasa yang luhur. Sementara itu, kehadiran Tengku Ibrahim dengan segala perobahanya tampaknya belum mendapat simpati dari kalangan tua yang masih terbelenggu dalam tradisi, bahkan mereka membuat opini. Mereka memandang bahwa kehadiran Tengku Ibrahim dengan segala aksesoris yang identik dengan pakaian orang kafir Belanda. Namun demikian, 25 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim10 Januari 2009, Jakrata mereka tidak mempunyai keberanian untuk memprotes dengan terus terang, hanya lewat desas desus. Sementara itu, kehadiran Tengku Ibrahim dengan prototipe Gayo, dengan bangun tubuh yang sedang, berwajah simpatik serta penampilan yang menjanjikan, dapat di duga, bahwa ia telah mengundang hati dari para remaja putri untuk memuja. Gelar Tengku yang telah disandangnnya, agaknya dapat diduga, para ibu dan bapak yang mempunyai anak perawan berhasrat besar untuk mengambil jadi menantu dan ini di tandai, karena ketika itu, telah berdatangan tawaran-tawaran yang menjanjikan untuk mempersunting dengan anak gadisnya dari Pegasing dan Kebayakan. Namun demikian, tawaran tersebut belum sempat terfikir oleh Tengku Ibrahim, karena selain berusia masih muda, ia juga ingin meneruskan pendidikan pada jenjang selanjutnya. Berhubung karena adanya tawaran-tawaran tersebut, maka pihak keluarga dan masyarakat Kenawat merasa khawatir, kalau Tengku Ibrahim menikah dengan gadis di luar Kenawat dan kalau sampai terjadi, dia biarkan meninggalkan kampung Kenawat. Oleh karena itu sebelum terjadi, pihak keluarga meminta kepada Tengku Ibrahim untuk menunjuk gadis pilihannya dan mereka akan meminang. Karena keadaan terdesak, akhirnya Tengku Ibrahim menjatuhkan pilihannya pada Siti Asiah, seorang gadis tinggi semampai, wajah menawan, putri kedua dari Tamat Aman Rukiah dari belah Cik Kenawat. Siti Asiah bersaudarakan 4 orang yang tertua adalah Rukiah, adik nomor tiga adalah Abu Bakar dan Said Usman adalah yang bungsu. Ibunya adalah Rami Inen Rukiah yang berasal dari Bebesen 26 . 26 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata Untuk menyambut perkawinan Tengku Ibrahim dan Siti Asiah, seperti lazimnya tradisi masyarakat Gayo, maka diselenggarakan pesta sebagai tanda kegembiraan. Status perkawinan Tengku Ibrahim, adalah perkawinan angkap, yaitu sesuai dengan tradisi masyarakat Gayo, maka tengku Ibrahim menetap di rumah mertua. Dengan demikian, Tengku Ibrahim masuk kedalam garis keluarga isteri dengan kewajiban memelihara dan merawat mertua sampai hari tuanya. Sejalan dengan keadaan, pada masa itu masyarakat Gayo, Kenawat khususnya, masih menggantungkan hidup pada pertanian, terutama sawah. Untuk memenuhinya, orang berusaha untuk mencari lahan-lahan yang dapat di cetak menjadi sawah, karena sawalah yang menjadi tumpuan utama dalam menaggulangi hidup. Dengan memiliki tanah sawah berarti masalah pangan sudah tidak menjadi problema lagi. Sejalan dengan tuntutan hal tersebut, maka Tengku Ibrahim yang baru mendirikan rumah tangga terpaksa ikut bersama orang-orang sekampung untuk membuka daerah baru di Pante Raya terletak 30 Km antara jalan Takengon-Bireun, tepatnya terletak pada bagian kaki bagian selatan gunung Burnitelong. Daerah ini tanahnya subur dan tersedia aliran air yang juga berhulu di kaki gunung Burnitelong, sehingga dapat dicetak menjadi sawah. Akan tetapi setelah selesai ditebang, dengan alasan yang kurang jelas orang Kenawat meninggalkan daerah ini dan akhir tahun 1930-an penduduk Kenawat membuka daerah di daerah Delung. Sejalan dengan itu, Tengku Ibrahim ikut membawa keluarganya bersamaan dengan perpindahan penduduk Kenawat ke daerah Delung. Daerah ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Redlong Simpang Tiga. Dalam mengikuti derap langkah ini, Tengku Ibrahim bersama istri membabat hutan belantara, sehingga dalam waktu singkat pohon-pohon raksasa satu persatu tumbang dan dalam waktu singkat pula daerah ini siap menjadi lahan yang siap tanam. Sejalan dengan itu Tengku Ibrahim turut menanam kentang, karena tanaman ini merupakan komoditi pasar. Karenanya dalam waktu yang relatif singkat daerah ini berubah menjadi daerah pertanian yang ditanami kentang. Dengan demikian keadaan Tengku Ibrahim semakin membaik, karena penghasilannya, selain mengajar juga ia telah memiliki sawah dan kebun. Karena itu simbol kemewahan masyarakat desa yang telah dapat diperlihatkan oleh Tengku Ibrahim yang ditandai dari penampilan suami isteri dengan pakaiannya. Juga Tengku Ibrahim telah dapat memiliki sebuah sepeda dengan merk terkenal, buatan Inggris, sehimgga ia dapat mempelancar perjalanan kemana pun ia pergi. Kebahagian rumah tangga Tengku Ibrahim di tandai dengan kelahiran putra putrinya, yaitu yang sulung laki-laki yang di beri nama Muchtaruddin yang panggilannya Tarudin dan anak ini tinggal bersama mertua di Kenawat Lut, anak kedua perempuan dan di namakan Suhaini dan anak yang ketiga perempuan yang diberi nama Rukiyah. Kemudia pada zaman Jepang lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Marsuli, sedang pada zaman merdeka lahir dua anak perempuan, yaitu Charmina dan Murniawati, sedang dua anak laki-laki meninggal sewaktu kecil. Jadi anak Tengku Ibrahim yang hidup berjumlah 6 orang 27 27 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata Demikianlah dalam rentang waktu 1938-1950-an rumah tangga Tengku Ibrahim penuh dalam keharmonisan dan kebahagiaan, sebagai rumah tangga yang sakinah, punya papan, cukup sandang dan cukup pangan serta dikaruniai anak-anak sebagai harta yang tak ternilai harganya.

B. PENDIDIKAN