Perbandingan Efektivitas Klorheksidin Glukonat 0,2% dengan Povidon Iodin 1% Sebagai Obat Kumur Antiseptik terhadap Penurunan Jumlah Koloni Mikroorganisme di Sekitar Rongga Mulut pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

Perbandingan Efektivitas Klorheksidin Glukonat 0,2% dengan Povidon Iodin 1% Sebagai Obat Kumur Antiseptik terhadap

Penurunan Jumlah Koloni Mikroorganisme di Sekitar Rongga Mulut pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh :

HENDRA RAHARJA 090100084

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS KLORHEKSIDIN GLUKONAT 0,2% DENGAN POVIDON IODIN 1% SEBAGAI OBAT KUMUR ANTISEPTIK TERHADAP PENURUNAN JUMLAH KOLONI MIKROORGANISME DI

SEKITAR RONGGA MULUT PADA MAHASISWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KARYA TULIS ILMIAH

”Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh :

HENDRA RAHARJA 090100084

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Perbandingan Efektivitas Klorheksidin Glukonat 0,2% dengan Povidon Iodin 1% Sebagai Obat Kumur Antiseptik terhadap Penurunan Jumlah

Koloni Mikroorganisme di Sekitar Rongga Mulut pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Nama : Hendra Raharja

NIM : 090100084

Pembimbing Penguji I

( dr. Sri Amelia, M.Kes ) ( dr. Eka Roina Megawati, M.Kes ) NIP. 19740913 2003 12 2 001 NIP. 19781223 2003 12 2 002

Penguji II

( dr. Dadik Wahyu Wijaya, Sp.An ) NIP. 19680914 200801 1 013

Medan, 10 Desember 2012 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

( Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH ) NIP. 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Kesehatan rongga mulut erat kaitannya dengan kebersihan rongga mulut. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan obat kumur. Di pasaran Indonesia, terdapat berbagai jenis obat kumur yang dijual bebas, sehingga pemilihan obat kumur yang tepat menjadi masalah yang penting untuk masyarakat. Povidon iodin dan klorheksidin glukonat merupakan dua jenis obat kumur yang menjadi pilihan masyarakat luas. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk membandingkan efektivitas klorheksidin glukonat 0,2% dengan povidon iodin 1% sebagai obat kumur antiseptik.

Penelitian ini merupakan studi eksperimental.Subjek penelitian yang telah menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan akan diminta untuk datang ke lokasi penelitian sehingga dapat dilakukan pengambilan sampel saliva. Saliva yang diambil adalah saliva yang diperoleh sebelum dan setelah berkumur dengan obat kumur antiseptik. Kemudian, sampel akan diproses lebih lanjut di laboratorium mikrobiologi FK USU. Setelah data hasil pembiakan didapatkan, data dianalisis dengan menggunakan uji t-berpasangan.

Subjek penelitian yang mengikuti penelitian berjumlah 16 orang. Kemudian dilakukan perbandingan hasil perhitungan rata-rata penurunan jumlah colony forming units (CFU) setelah berkumur dengan povidon iodin 1% dan dengan klorheksidin glukonat 0,2%. Hasil penelitian menunjukkan penurunan rata-rata jumlah koloni dengan klorheksidin glukonat 0,2% adalah 89,80% (SD = 11,02) sedangkan dengan povidon iodin 1% didapatkan rata-rata penurunan sebanyak 37,14% (SD = 17,08) dengan hasil uji t-berpasangannya adalah 11,96 (p<0,05).

Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan efektivitas antara klorheksidin glukonat 0,2% dengan povidon iodin 1% sebagai obat kumur antiseptik terhadap penurunan jumlah koloni di sekitar rongga mulut.


(5)

ABSTRACT

Oral health is closely related to oral hygiene. One of the methods that can be used to maintain a good oral hygiene is by using mouthwash. In Indonesia, there are various types of mouthwashes over the counter that could be obtained by public. Selecting the right mouthwash became an important issue for the community. Povidone iodine and chlorhexidine gluconate are two types of mouthwashes that have been widely used. Therefore, this study was designed to compare the efficacy of chlorhexidine gluconate 0.2% with povidone iodine 1% as an antiseptic mouthwash.

This was an experimental based study. Subjects that have signed the consent forms were requested to come to the venue where saliva samples were collected. Samples were obtained before and after rinsing with antiseptic mouthwashes. Samples were processed further in Microbiology Laboratory of FK USU. After all the data have been obtained, they were analyzed using a paired t-test.

Subjects who had completed the study were 16 people. Comparison between the decreased colony forming units (CFU) after rinsing with chlorhexidine gluconate 0.2% and with povidone iodine 1% had been made, resulting in a 89.80% (SD = 11.02) decreased in chlorhexidine gluconate 0.2% and a 37.14% (SD = 17.08) decreased in Povidone iodine and the paired t-test result is 11.96 (p<0,05).

In conclusion, there is an efficacy difference between chlorhexidin gluconate 0.2% with povidone iodine 1% as an antiseptic mouthwash to decrease the number of microbial colonies in the mouth.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. dr. Sri Amelia, M.Kes, selaku dosen pembimbing penulis atas kesabaran,

waktu, dan masukan-masukan yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

2. dr. Eka Roina Megawati, M.Kes, selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

3. dr. Dadik Wahyu Wijaya, Sp.An, selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. Ibu Hj. Rafidah dan seluruh staf departemen mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU yang telah membantu, membimbing, serta memberikan masukan pada saat melaksanakan peneltian di laboratorium mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU.

5. Keluarga penulis yang tercinta yaitu Kartika Sari Dewi, Ratna Kartika dan Elis Crystal selaku saudara peneliti dan Bapak Adenan Samin serta Ibu Lieny Oei selaku orang tua peneliti, yang telah memberikan dukungan selama ini dalam bentuk moril maupun materiil.

6. Teman-teman kelompok sesama bimbingan penelitian, teman-teman mahasiswa angkatan 2009 lainnya, dan kakak-kakak senior yang telah


(7)

memberi bantuan berupa saran, kritikan, dan motivasi selama penyusunan penelitian.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, segala saran dan kritik sangat diharapkan demi kemajuan kualitas penelitian ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan agar penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia kedokteran.

Medan, 10 Desember 2012

Hendra Raharja (NIM: 090100084)


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi Rongga Mulut ... 5

2.1.1. Pendahuluan ... 5

2.1.2. Bibir dan Palatum ... 6

2.1.3. Lidah ... 7

2.1.1. Gigi ... 10

2.2. Flora Normal ... 12

2.2.1. Pendahuluan ... 12

2.2.2. Peran Flora Residen ... 12

2.2.3. Flora Normal Mulut dan Saluran Pernapasan Atas ... 14

2.3. Karies Gigi dan Penyakit Periodontal ... 15

2.4. Pemeliharaan Kesehatan Rongga Mulut ... 18

2.5. Klorheksidin Glukonat ... 22

2.6. Povidon Iodin ... 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 26

3.1. Kerangka Konsep ... 26

3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 26

3.2.1. Variabel Independen ... 26

3.2.2. Variabel Dependen ... 26

3.2.3. Definisi Operasional ... 26


(9)

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 29

4.1. Metode Penelitian ... 29

4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 29

4.2.1. Lokasi Penelitian ... 29

4.2.2. Waktu Penelitian ... 29

4.3. Populasi dan Sampel... 29

4.3.1. Populasi ... 29

4.3.2. Sampel ... 29

4.4. Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Pengambilan Sampel ... 31

4.2.1. Teknik Pengumpulan Data ... 31

4.2.2. Prosedur Pengambilan Sampel ... 31

4.5. Alat dan Bahan Penelitian ... 33

4.5.1. Alat Penelitian ... 33

4.5.2. Bahan Penelitian ... 34

4.6. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ... 34

4.6.1. Metode Pengolahan Data ... 34

4.6.2. Analisis Data ... 34

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1. Hasil ... 35

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 35

5.1.2. Uji Efektivitas Obat Kumur ... 35

5.2. Pembahasan ... 41

5.2.1. Interpretasi dan Diskusi Hasil ... 41

5.2.2. Keterbatasan Penelitian ... 44

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1. Kesimpulan ... 45

6.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Tabel Distribusi Flora Normal Pada Manusia ... 14 Tabel 5.1. Hasil Kontrol Media dan Kontrol Buffer ... 37 Tabel 5.2. Hasil Perhitungan Jumlah Koloni Sebelum dan

Setelah Berkumur Dengan Menggunakan

Klorheksidin Glukonat 0,2% ... 38 Tabel 5.3. Selisih Jumlah Colony Forming Units (CFU) dengan

Menggunakan Klorheksidin Glukonat 0,2% dan Persentase Penurunan Jumlah Koloni Mikroorganisme

Setelah Berkumur dengan Klorheksidin Glukonat 0,2% ... 39 Tabel 5.4. Hasil Perhitungan Jumlah Koloni Sebelum dan

Setelah Berkumur Dengan Menggunakan Povidon

Iodin 1% ... 40 Tabel 5.5. Selisih Jumlah Colony Forming Units (CFU) dengan

Menggunakan Povidon Iodin 1% dan

Persentase Penurunan Jumlah Koloni Mikroorganisme


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Anatomi Rongga Mulut 5

Gambar 2.2. Anatomi Palatum 7

Gambar 2.3. Anatomi Lidah 10

Gambar 2.4. Anatomi Gigi 11

Gambar 2.5. Faktor Penyebab Karies Gigi 16 Gambar 2.6. Streptococcus mutans pada Pewarnaan

Gram 17

Gambar 2.7. Struktur Kimia Klorheksidin Glukonat 22 Gambar 2.8. Struktur Kimia Povidon Iodin 24


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup LAMPIRAN 2 Lembar Penjelasan

LAMPIRAN 3 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) LAMPIRAN 4 Persetujuan Komisi Etik

LAMPIRAN 5 Data Induk

LAMPIRAN 6 Hasil Analisis Data Induk


(13)

ABSTRAK

Kesehatan rongga mulut erat kaitannya dengan kebersihan rongga mulut. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan obat kumur. Di pasaran Indonesia, terdapat berbagai jenis obat kumur yang dijual bebas, sehingga pemilihan obat kumur yang tepat menjadi masalah yang penting untuk masyarakat. Povidon iodin dan klorheksidin glukonat merupakan dua jenis obat kumur yang menjadi pilihan masyarakat luas. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk membandingkan efektivitas klorheksidin glukonat 0,2% dengan povidon iodin 1% sebagai obat kumur antiseptik.

Penelitian ini merupakan studi eksperimental.Subjek penelitian yang telah menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan akan diminta untuk datang ke lokasi penelitian sehingga dapat dilakukan pengambilan sampel saliva. Saliva yang diambil adalah saliva yang diperoleh sebelum dan setelah berkumur dengan obat kumur antiseptik. Kemudian, sampel akan diproses lebih lanjut di laboratorium mikrobiologi FK USU. Setelah data hasil pembiakan didapatkan, data dianalisis dengan menggunakan uji t-berpasangan.

Subjek penelitian yang mengikuti penelitian berjumlah 16 orang. Kemudian dilakukan perbandingan hasil perhitungan rata-rata penurunan jumlah colony forming units (CFU) setelah berkumur dengan povidon iodin 1% dan dengan klorheksidin glukonat 0,2%. Hasil penelitian menunjukkan penurunan rata-rata jumlah koloni dengan klorheksidin glukonat 0,2% adalah 89,80% (SD = 11,02) sedangkan dengan povidon iodin 1% didapatkan rata-rata penurunan sebanyak 37,14% (SD = 17,08) dengan hasil uji t-berpasangannya adalah 11,96 (p<0,05).

Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan efektivitas antara klorheksidin glukonat 0,2% dengan povidon iodin 1% sebagai obat kumur antiseptik terhadap penurunan jumlah koloni di sekitar rongga mulut.


(14)

ABSTRACT

Oral health is closely related to oral hygiene. One of the methods that can be used to maintain a good oral hygiene is by using mouthwash. In Indonesia, there are various types of mouthwashes over the counter that could be obtained by public. Selecting the right mouthwash became an important issue for the community. Povidone iodine and chlorhexidine gluconate are two types of mouthwashes that have been widely used. Therefore, this study was designed to compare the efficacy of chlorhexidine gluconate 0.2% with povidone iodine 1% as an antiseptic mouthwash.

This was an experimental based study. Subjects that have signed the consent forms were requested to come to the venue where saliva samples were collected. Samples were obtained before and after rinsing with antiseptic mouthwashes. Samples were processed further in Microbiology Laboratory of FK USU. After all the data have been obtained, they were analyzed using a paired t-test.

Subjects who had completed the study were 16 people. Comparison between the decreased colony forming units (CFU) after rinsing with chlorhexidine gluconate 0.2% and with povidone iodine 1% had been made, resulting in a 89.80% (SD = 11.02) decreased in chlorhexidine gluconate 0.2% and a 37.14% (SD = 17.08) decreased in Povidone iodine and the paired t-test result is 11.96 (p<0,05).

In conclusion, there is an efficacy difference between chlorhexidin gluconate 0.2% with povidone iodine 1% as an antiseptic mouthwash to decrease the number of microbial colonies in the mouth.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan mulut didefinisikan sebagai suatu keadaan bebas dari nyeri kronik mulut dan wajah, kanker oral dan tenggorokan, sariawan, cacat bawaan seperti bibir sumbing, penyakit periodontal, gigi rusak, dan penyakit maupun kelainan yang mempengaruhi mulut dan rongga mulut dimana kelainan tersebut akan mempengaruhi kemampuan seorang individu dalam menggigit, mengunyah, tersenyum, berbicara dan melakukan interaksi psikososial (WHO, 2012).

Salah satu faktor risiko dari penyakit-penyakit mulut dan rongga mulut adalah kebersihan dari rongga mulut yang buruk. Di samping hal tersebut, penyakit-penyakit mulut dan rongga mulut memiliki faktor risiko yang sama dengan empat penyakit kronik utama – penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit saluran pernafasan kronik, dan diabetes – termasuk diet yang tidak sehat, penggunaan tembakau, dan penggunaan alkohol yang merugikan (Peterson et al., 2005; WHO, 2012).

Kebersihan dari mulut dan rongga mulut sendiri sangat erat kaitannya dengan flora normal yang hidup di rongga mulut. Menurut Nasution (2010), flora normal adalah suatu populasi mikroorganisme yang menghuni pada permukaan kulit dan membran mukosa seorang manusia sehat dan normal. Flora normal yang menetap tidak menyebabkan penyakit dan mungkin menguntungkan bila berada di tempat yang semestinya dan tanpa adanya keadaan yang abnormal (Suharto, 1993).

Flora normal hidup di beberapa bagian tubuh seperti: kulit, rongga mulut, faring, konjungtiva, uretra, dan vagina. Namun, bagian tubuh seperti: susunan saraf pusat (SSP), darah, bronkus, bronkiolus, alveolus, limpa, ginjal, dan kantung kemih, merupakan bagian tubuh yang bebas dari flora normal. Flora normal dalam tubuh manusia juga memiliki peranan yaitu berfungsi menyediakan nutrisi bagi pejamu dan memiliki mekanisme potensi pertahanan pejamu. Nutrisi yang disediakan flora normal didapatkan dari hasil metabolisme flora normal itu


(16)

sendiri. Sedangkan fungsi potensi pertahanan pejamu disebabkan karena flora normal tumbuh pada suasana ekologi tertentu. Hal tersebut secara tidak langsung akan mempersulit mikroorganisme patogen sulit untuk berkembang dan memperbanyak diri. Jika flora normal terganggu, mikroorganisme patogen dapat berkembang biak dan menyebabkan penyakit (Levinson, 2008; Nasution, 2010).

Flora normal yang menetap di rongga mulut dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan penyakit pada daerah rongga mulut seperti karies. Oleh sebab itu, kebersihan mulut dan rongga mulut menjadi sangat penting untuk dijaga kebersihannya.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjaga kebersihan rongga mulut adalah dengan menggunakan obat kumur. Obat kumur yang dipasarkan umumnya mengandung zat aktif yang bersifat antiseptik. Obat kumur antiseptik banyak digunakan pada berbagai kondisi klinis, baik sebagai agen terapeutik maupun agen profilaksis. Indikasi utama dari penggunaan obat kumur antiseptik adalah untuk memperbaiki kondisi kesehatan gigi atau untuk mencegah infeksi yang disebabkan bakteri di rongga mulut pada keadaan tertentu seperti pada prosedur ekstraksi gigi, prosedur bedah intraoral, penggunaan obat-obatan imunosupresif saat terapi kanker, dan transplantasi. Selain itu, obat kumur antiseptik juga sering diresepkan untuk mengontrol tingkat dan plak biofilm dari bakteri yang bersifat kariogenik (Oyanagi et al., 2012).

Obat kumur antiseptik umumnya mengandung salah satu jenis zat aktif yang berfungsi membunuh mikroorganisme. Zat-zat aktif tersebut antara lain : klorheksidin glukonat, bensetonium klorida, minyak-minyak mineral dalam alkohol, dan povidon iodin (Oyanagi et al., 2012). Obat kumur yang dipasarkan di Indonesia umumnya juga mengandung salah satu dari zat-zat aktif diatas. Di antara beberapa zat-zat aktif yang terkandung dalam obat kumur antiseptik, klorheksidin glukonat merupakan agen yang paling efektif sebagai agen yang antiplak (Marchetti et al., 2011). Walaupun memiliki kerja antiseptik yang kuat, klorheksidin glukonat memiliki efek samping seperti pigmentasi gigi, perubahan sensasi pengecapan, dan pembentukan kalkulus supragingival pada pemakaian dalam jangka panjang. Sedangkan zat aktif lain yang banyak digunakan adalah


(17)

povidon iodin. Povidon iodin merupakan salah satu jenis antiseptik yang paling efektif dan bernilai ekonomis sebagai obat kumur. Atas dasar hal diatas, maka penulis merasa perlu membandingkan efektivitas diantara kedua jenis obat kumur antiseptik yang digunakan secara luas tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah perbandingan efektivitas antara klorheksidin glukonat 0,2% dengan povidon iodin 1% sebagai obat kumur antiseptik terhadap penurunan jumlah koloni mikroorganisme di sekitar rongga mulut pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum Penelitian

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk membandingkan antara klorheksidin glukonat 0,2% dengan povidon iodin 1% sebagai obat kumur antiseptik terhadap penurunan jumlah koloni mikroorganisme di sekitar rongga mulut pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian

Adapun beberapa tujuan spesifik dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui rata-rata jumlah koloni mikroorganisme di sekitar rongga mulut mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Mengetahui persentase rata-rata penurunan jumlah koloni mikroorganisme di sekitar rongga mulut mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara setelah berkumur dengan menggunakan klorheksidin glukonat 0,2%.

3. Mengetahui persentase rata-rata penurunan jumlah koloni mikroorganisme di sekitar rongga mulut mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara setelah berkumur dengan menggunakan povidon iodin 1%.


(18)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Hasil penelitian dapat memberikan informasi mengenai perbandingan

klorheksidin glukonat 0,2% dengan povidon iodin 1% sebagai obat kumur antiseptik terhadap penurunan jumlah koloni mikroorganisme di sekitar rongga mulut pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Bagi masyarakat, hasil penelitian dapat digunakan sebagai data dalam memilih obat kumur antiseptik yang efektif digunakan oleh masyarakat. 3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Rongga Mulut 2.1.1. Pendahuluan

Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari : lidah bagian oral (dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum keras), dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal, ‘alveolar ridge’, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang membatasi rongga mulut (Yousem et al., 1998).

Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir (Tortora et al., 2009).

Gambar 2.1. Anatomi Rongga Mulut (Tortorra et al., 2009)


(20)

2.1.2. Bibir dan Palatum

Bibir atau disebut juga labia, adalah lekukan jaringan lunak yang mengelilingi bagian yang terbuka dari mulut. Bibir terdiri dari otot orbikularis oris dan dilapisi oleh kulit pada bagian eksternal dan membran mukosa pada bagian internal (Seeley et al., 2008 ; Jahan-Parwar et al., 2011).

Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral dan ke bagian mandibula pada bagian inferior (Jahan-Parwar et al., 2011).

Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis, jaringan subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun dari bagian superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitel-epitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu, gambaran histologi juga menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor. Folikel rambut dan kelejar sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur tersebut tidak ditemukan pada bagian vermilion (Tortorra et al., 2009; Jahan-Parwar et al., 2011).

Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan dengan gusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di bagian tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot businator di pipi dan otot-otot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara.

Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga


(21)

mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi menjadi dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole (palatum lunak).

Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila dan tulang palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama halnya dengan paltum durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Marieb and Hoehn, 2010; Jahan-Parwar et al., 2011).

Gambar 2.2. Anatomi Palatum (Agave Clinic, 2007)

2.1.3. Lidah

Lidah merupakan salah satu organ aksesoris dalam sistem pencernaan. Secara embriologis, lidah mulai terbentuk pada usia 4 minggu kehamilan. Lidah tersusun dari otot lurik yang dilapisi oleh membran mukosa. Lidah beserta otot-otot yang berhubungan dengan lidah merupakan bagian yang menyusun dasar dari


(22)

rongga mulut. Lidah dibagi menjadi dua bagian yang lateral simetris oleh septum median yang berada disepanjang lidah. Lidah menempel pada tulang hyoid pada bagian inferior, prosesus styloid dari tulang temporal dan mandibula (Tortorra et al., 2009; Marieb and Hoehn, 2010 ; Adil et al., 2011).

Setiap bagian lateral dari lidah memiliki komponen otot-otot ekstrinsik dan intrinsik yang sama. Otot ekstrinsik lidah terdiri dari otot hyoglossus, otot genioglossus dan otot styloglossus. Otot-otot tersebut berasal dari luar lidah (menempel pada tulang yang ada di sekitar bagian tersebut) dan masuk kedalam jaringan ikat yang ada di lidah. Otot-otot eksternal lidah berfungsi untuk menggerakkan lidah dari sisi yang satu ke sisi yang berlawanan dan menggerakkan ke arah luar dan ke arah dalam. Pergerakan lidah karena otot tersebut memungkinkan lidah untuk memosisikan makanan untuk dikunyah, dibentuk menjadi massa bundar, dan dipaksa untuk bergerak ke belakang mulut untuk proses penelanan. Selain itu, otot-otot tersebut juga membentuk dasar dari mulut dan mempertahankan agar posisi lidah tetap pada tempatnya.

Otot-otot intrisik lidah berasal dari dalam lidah dan berada dalam jaringan ikat lidah. Otot ini mengubah bentuk dan ukuran lidah pada saat berbicara dan menelan. Otot tersebut terdiri atas : otot longitudinalis superior, otot longitudinalis inferior, otot transversus linguae, dan otot verticalis linguae. Untuk menjaga agar pergerakan lidah terbatas ke arah posterior dan menjaga agar lidah tetap pada tempatnya, lidah berhubungan langsung dengan frenulum lingual, yaitu lipatan membran mukosa yang berada pada bagian tengah sumbu tubuh dan terletak di permukaan bawah lidah, yang menghubungkan langsung antara lidah dengan dasar dari rongga mulut (Tortorra et al., 2009; Marieb and Hoehn, 2010).

Pada bagian dorsum lidah (permukaan atas lidah) dan permukaan lateral lidah, lidah ditutupi oleh papila. Papila adalah proyeksi dari lamina propria yang ditutupi oleh epitel pipih berlapis. Sebagian dari papila memiliki kuncup perasa, reseptor dalam proses pengecapan, sebagian yang lainnya tidak. Namun, papila yang tidak memiliki kuncup perasa memiliki reseptor untuk sentuhan dan berfungsi untuk menambah gaya gesekan antara lidah dan makanan, sehingga mempermudah lidah untuk menggerakkan makanan di dalam rongga mulut.


(23)

Secara histologi (Mescher, 2010), terdapat empat jenis papila yang dapat dikenali sampai saat ini, yaitu :

1. Papila filiformis. Papila filiformis mempunyai jumlah yang sangat banyak di lidah. Bentuknya kerucut memanjang dan terkeratinasi, hal tersebut menyebabkan warna keputihan atau keabuan pada lidah. Papila jenis ini tidak mengandung kuncup perasa.

2. Papila fungiformis. Papila fungiformis mempunyai jumlah yang lebih sedikit dibanding papila filiformis. Papila ini hanya sedikit terkeratinasi dan berbentuk menyerupai jamur dengan dasarnya adalah jaringan ikat. Papila ini memiliki beberapa kuncup perasa pada bagian permukaan luarnya. Papila ini tersebar di antara papila filiformis.

3. Papila foliata. Papila ini sedikit berkembang pada orang dewasa, tetapi mengandung lipatan-lipatan pada bagian tepi dari lidah dan mengandung kuncup perasa.

4. Papila sirkumfalata. Papila sirkumfalata merupakan papila dengan jumlah paling sedikit, namun memiliki ukuran papila yang paling besar dan mengandung lebih dari setengah jumlah keseluruhan papila di lidah manusia. Dengan ukuran satu sampai tiga milimeter, dan berjumlah tujuh sampai dua belas buah dalam satu lidah, papila ini umumnya membentuk garis berbentuk menyerupai huruf V dan berada di tepi dari sulkus terminalis.

Pada bagian akhir dari papila sirkumfalata, dapat dijumpai sulkus terminalis. Sulkus terminalis merupakan sebuah lekukan melintang yang membagi lidah menjadi dua bagian, yaitu lidah bagian rongga mulut (dua pertiga anterior lidah) dan lidah yang terletak pada orofaring (satu pertiga posterior lidah). Mukosa dari lidah yang terletak pada orofaring tidak memiliki papila, namun tetap berstruktur bergelombang dikarenakan keberadaan tonsil lingualis yang terletak di dalam mukosa lidah posterior tersebut (Saladin, 2008; Marieb and Hoehn, 2010).


(24)

Gambar 2.3. Penampang Lidah (Netter, 2011)

2.1.4 Gigi

Manusia memiliki dua buah perangkat gigi, yang akan tampak pada periode kehidupan yang berbeda. Perangkat gigi yang tampak pertama pada anak-anak disebut gigi susu atau deciduous teeth. Perangkat kedua yang muncul setelah perangkat pertama tanggal dan akan terus digunakan sepanjang hidup, disebut sebagai gigi permanen. Gigi susu berjumlah dua puluh empat buah yaitu : empat buah gigi seri (insisivus), dua buah gigi taring (caninum) dan empat buah geraham (molar) pada setiap rahang. Gigi permanen berjumlah tiga puluh dua buah yaitu : empat buah gigi seri, dua buah gigi taring, empat buah gigi premolar, dan enam buah gigi geraham pada setiap rahang (Seeley et al., 2008).

Gigi susu mulai tumbuh pada gusi pada usia sekitar 6 bulan, dan biasanya mencapai satu perangkat lengkap pada usia sekitar 2 tahun. Gigi susu akan secara bertahap tanggal selama masa kanak-kanak dan akan digantikan oleh gigi permanen.


(25)

Gambar 2.4. Gigi Susu dan Gigi Permanen (Tortorra et al., 2009)

Gigi melekat pada gusi (gingiva), dan yang tampak dari luar adalah bagian mahkota dari gigi. Menurut Kerr et al. (2011), mahkota gigi mempunyai lima buah permukaan pada setiap gigi. Kelima permukaan tersebut adalah bukal (menghadap kearah pipi atau bibir), lingual (menghadap kearah lidah), mesial (menghadap kearah gigi), distal (menghadap kearah gigi), dan bagian pengunyah (oklusal untuk gigi molar dan premolar, insisal untuk insisivus, dan caninus).

Bagian yang berada dalam gingiva dan tertanam pada rahang dinamakan bagian akar gigi. Gigi insisivus, caninus, dan premolar masing-masing memiliki satu buah akar, walaupun gigi premolar pertama bagian atas rahang biasanya memiliki dua buah akar. Dua buah molar pertama rahang atas memiliki tiga buah akar, sedangkan molar yang berada dibawahnya hanya memiliki dua buah akar.

Bagian mahkota dan akar dihubungkan oleh leher gigi. Bagian terluar dari akar dilapisi oleh jaringan ikat yang disebut cementum, yang melekat langsung dengan ligamen periodontal. Bagian yang membentuk tubuh dari gigi disebut dentin. Dentin mengandung banyak material kaya protein yang menyerupai


(26)

tulang. Dentin dilapisi oleh enamel pada bagian mahkota, dan mengelilingi sebuah kavitas pulpa pusat yang mengandung banyak struktur jaringan lunak (jaringan ikat, pembuluh darah, dan jaringan saraf) yang secara kolektif disebut pulpa. Kavitas pulpa akan menyebar hingga ke akar, dan berubah menjadi kanal akar. Pada bagian akhir proksimal dari setiap kanal akar, terdapat foramen apikal yang memberikan jalan bagi pembuluh darah, saraf, dan struktur lainnya masuk ke dalam kavitas pulpa (Seeley et al., 2008, Tortorra et al., 2009).

2.2. Flora Normal 2.2.1. Pendahuluan

Istilah ‘flora normal’ menunjukkan populasi mikroorganisme yang hidup di kulit dan membran mukosa orang normal yang sehat. Beberapa jenis bakteri dan jamur merupakan dua jenis organisme yang termasuk ke dalam kumpulan flora normal. Keberadaaan flora virus normal masih diragukan (Brooks et al., 2008; Levinson, 2008).

Kulit dan membran mukosa selalu mengandung berbagai mikroorganisme yang dapat tersusun menjadi dua kelompok, yaitu: flora residen dan flora transien. Flora residen terdiri dari jenis mikroorganisme yang relatif tetap dan secara teratur ditemukan di daerah tertentu pada usia tertentu; jika terganggu, flora tersebut secara cepat akan tumbuh kembali dengan sendirinya. Flora transien terdiri dari mikroorganisme yang nonpatogen atau secara potensial bersifat patogen yang menempati kulit atau membran mukosa selama beberapa jam, hari, atau minggu; berasal dari lingkungan, tidak menyebabkan penyakit, dan tidak dapat menghidupkan dirinya sendiri secara permanen di permukaan. Anggota flora transien secara umum memiliki makna kecil selama flora normal masih tetap utuh. Namun, apabila flora residen terganggu, mikroorganisme transien dapat berkolonisasi, berproliferasi dan menyebabkan penyakit (Brooks et al., 2008).

2.2.2. Peran Flora Residen

Mikroorganisme yang secara konstan ada di permukaan tubuh bersifat komensal. Pertumbuhannya di daerah tertentu bergantung pada faktor-faktor


(27)

fisiologi, yaitu temperatur, kelembaban, dan adanya zat gizi serta zat inhibitor tertentu. Keberadaan flora normal tersebut tidak penting bagi kehidupan, karena hewan “bebas mikroorganisme” dapat hidup pada keadaan tidak adanya flora mikroba normal (Brooks et al., 2008; Nasution, 2010).

Flora residen di daerah tertentu memainkan peranan yang nyata dalam mempertahankan kesehatan dan fungsi normal. Anggota flora residen dalam saluran cerna menyintesis vitamin K dan membantu absorpsi makanan. Pada memnran mukosa dan kulit, flora residen mencegah kolonisasi patogen dan kemungkinan terjadinya penyakit melalui “interferensi bakteri”. Mekanisme gangguan interfernsi tersebut tidak jelas. Mekanisme tersebut dapat meliputi kompetisi terhadap reseptor atau tempat pengikatan (binding sites) pada sel pejamu, kompetisi mendapatkan makanan, saling menghambat oleh hasil metabolik atau toksik, saling menghambat oleh bahan antibiotik atau bakteriosin, atau dengan mekanisme lain. Supresi flora normal secara jelas menyebabkan kekosongan lokal parsial yang cenderung diisi oleh organisme dari lingkungan atau dari bagian tubuh yang lain. Organisme tersebut bersifat oportunistik dan dapat menjadi patogen (Brooks dkk, 2008; Nasution, 2010).

Sebaliknya, anggota flora normal sendiri dapat menyebabkan penyakit dalam keadaan tertentu. Organisme-organisme tersebut beradaptasi dengan cara hidup yang noninvasif yang disebabkan oleh keterbatasan keadaan lingkungan. Jika dipindahkan secara paksa akibat pembatasan lingkungan tersebut dan dimasukkan ke dalam aliran darah atau jaringan, organisme tersebut dapat menjadi patogenik. Hal tersebut tampak pada individu yang berada dalam status imunokompromi dan sangat lemah karena suatu penyakit kronik, dimana flora normal akan menyebabkan suatu penyakit pada tempat anatomisnya (Levinson, 2008).

Hal yang penting adalah bahwa mikroba yang tergolong flora residen normal tidak membahayakan dan dapat menguntungkan di lokasi normalnya pada penjamu serta pada keadaan tanpa kelainan yang menyertai. Organisme tersebut dapat menyebabkan penyakit jika dimasukkan dalam jumlah besar dan jika terdapat faktor predisposisi. Berikut adalah tabel mengenai jenis flora normal


(28)

yang sering ditemukan pada berbagai tempat di tubuh manusia (Kayser et al., 2005).

Tabel 2.1. Tabel Distribusi Flora Normal Pada Manusia Sumber : Kayser et al., 2005

2.2.3 Flora Normal Mulut dan Saluran Pernapasan Atas

Membran mukosa mulut dan faring sering steril saat lahir, tetapi dapat terkontaminasi saat melewati jalan lahir. Dalam waktu 4-12 jam setelah lahir, Streptococcus viridans dapat ditemukan sebagai anggota flora residen yang paling menonjol dan tetap demikian seumur hidup. Organisme tersebut kemungkinan berasal dari saluran pernapasan ibu dan orang yang hadir saat persalinan. (Nasution, 2010).

Di faring dan trakea, flora normal yang serupa tumbuh sendiri, sedangkan beberapa bakteri dalam bronkus normal. Bronkus kecil dan alveoli secara normal


(29)

adalah steril. Organisme yang dominan dalam saluran pernapasan atas terutama faring, adalah neisseria dan streptokokus alfa-hemolitik, dan nonhemolitik. Stafilokokus, difteroid, hemofilus, pneumokokus, mikoplasma, dan prevotella juga ditemukan.

Infeksi mulut dan saluran pernapasan biasanya disebabkan oleh flora oronasal campuran, termasuk anaerob. Ada beberapa penyakit dalam rongga mulut yang disebabkan oleh flora normal, diantaranya adalah karies gigi dan penyakit periodontal (Nester et al., 2008; Nasution, 2010).

2.3. Karies Gigi dan Penyakit Periodontal

Penyakit utama yang disebabkan oleh flora normal yang di rongga mulut adalah karies gigi dan penyakit periodontal. Kedua penyakit tersebut merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang paling penting di dunia. Karies gigi masih merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang serius di negara berkembang, dimana penyakit ini diderita 60-90% anak usia sekolah dan hampir keseluruhan dari orang dewasa (Petersen et al., 2005; Nester et al., 2008).

Masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia sendiri juga masih memerlukan perhatian khusus. Menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2003 menyebutkan bahwa 81 persen anak usia 5 tahun mengalami karies, dan 51 persen anak diatas 10 tahun mengalami karies yang belum mendapatkan perawatan. Data SKRT tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi kareis gigi pada masyarakat Indonesia adalah 90 persen. Ini merupakan indikator bagi masyarakat Indonesia bahwa kesadaran masyarakat Indonesia masih sangat kurang terhadap kesehatan gigi dan mulut (Herwanda dan Bahar, 2009).

Menurut The National Preventive Dentistry Program, 20% dari 60% penderita karies yang merupakan anak-anak, merupakan anak-anak yang berasal dari status ekonomi rendah. Sedangkan penyakit periodontal merupakan masalah yang tersebar luas pada masyarakat terutama orang dewasa (Burt, 2005; Peng et al., 2011).


(30)

Karies gigi merupakan suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi kavitas. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya karies yaitu individu yang rentan, tersedianya karbohidrat di rongga mulut yang cukup, terbentuknya plak, dan banyaknya mikroorganisme kariogenik seperti Streptococcus mutans (Prakash et al.,2012).

Gambar 2.5. Faktor Penyebab Karies Gigi

Steptococcus mutans merupakan penyebab utama dari karies. Nama ‘mutans’ diberikan dikarenakan seringnya transisi bentuk dari bentuk kokus menjadi kokobasil. Sampai sekarang telah ditemukan tujuh buah spesies Steptococcus mutans yang ditemukan pada manusia dan hewan. Sebanyak delapan buah serotipe (a-h) telah dikenali berdasarkan susunan antigen spesifik yang berada pada dinding sel bakteri tersebut. Diantara semua serotipe dari Streptococcus mutans yang telah dikenali, hanya tiga buah serotipe Streptococcus mutans yang ditemukan pada manusia yaitu serotipe c, e ,dan f (Samaranayake, 2002).


(31)

Gambar 2.6. Streptococcus mutans pada Pewarnaan Gram

Streptococcus mutans bersama dengan beberapa bakteri jenis lain akan berkolonisasi di permukaan luar dari gigi untuk membentuk plak. Jika plak yang terbentuk tidak dibersihkan secara manual dengan menggunakan sikat gigi atau secara alamiah dengan menggunakan metode pembersihan berupa saliva, asam yang dihasilkan bakteri sebagai hasil metabolisme karbohidrat di gigi akan menyebabkan demineralisasi dari enamel. Fisura dan celah dari permukaan gigi adalah tempat yang paling sering terjadinya kerusakan gigi. Seiring berjalannya waktu, karies akan menyebar hingga ke bagian dentin, yang menyebabkan terbentuknya kavitas dari enamel dan penetrasi menuju ke bagian pulpa. Jika karies sudah mencapai pulpa, keadaan ini disebut dengan pulpitis akut. Pada fase akut, dimana infeksi pulpa masih terbatas, gigi menjadi sensitif terhadap perkusi, rasa dingin dan rasa panas. Rasa nyeri di sekitar daerah infeksi akan hilang jika stimulus yang merangsang dihilangkan (Kasper et al., 2005).

Pada saat infeksi sudah mengenai semua bagian pulpa, akan terjadi pulpitis yang bersifat ireversibel dan akan menyebabkan nekrosis pulpa pada akhirnya. Pada stadium akhir dari karies gigi, rasa nyeri sangat hebat pada daerah infeksi. Rasa sakit yang dirasakan bersifat tajam dan akan bertambah buruk jika berada dalam posisi berbaring. Ketika telah terjadi nekrosis sempurna pada gigi, rasa nyeri akan muncul secara konstan atau intermiten, namun sensitivitas terhadap rasa dingin akan hilang (Kasper et al., 2005).


(32)

Penyakit periodontal merupakan suatu penyakit akibat infeksi yang mengenai jaringan yang menyokong gigi. Gigi disokong oleh gusi atau gingiva, dan akar dari gigi akan diikat oleh ligamen periodontal. Pada penyakit periodontal, jaringan penyokong gigi hancur. Jika bagian yang hancur adalah bagian gusi, disebut sebagai gingivitis. Sedangkan jika hanya melibatkan jaringan ikat dan tulang, disebut periodontitis (Cartensen et al., 2012).

Proses terjadinya penyakit periodontal dimulai secara tak kasat mata. Proses tersebut mula-mula terjadi diatas garis gusi dan didalam sulkus gingiva. Plak, termasuk plak yang telah termineralisasi (calculus), dapat dicegah pembentukannya dengan menjaga kesehatan rongga mulut dan pembersihan oleh tenaga profesional secara berkala. Inflamasi kronik akan terjadi dan menyebabkan hiperemi yang tidak menyakitkan di bagian gingiva (gingivitis) yang biasanya akan berdarah jika disikat. Jika tidak diperhatikan, penyakit ini akan menjadi berat sehingga akan meyebabkan terbukanya sulkus yang telah dimineralisasi dan destruksi dari jaringan ikat periodontal. Kantung yang terbentuk di sekeliling dari gigi yang berisi pus dan debris (Kasper et al., 2005).

Ketika periodontium sudah rusak sepenuhnya, gigi akan menjadi longgar dan dapat terlepas. Penyakit periodontal yang akut dan agresif sangat jarang ditemukan dibandingkan dengan yang kronik. Tetapi jika individu stres atau terpapar dengan patogen baru, penyakit yang sangat progresif dan bersifat destruktif yang mengenai jaringan periodontal akan terjadi.

Kejadian karies gigi dan penyakit periodontal sebenarnya dapat dicegah,yaitu dengan cara menjaga dan memelihara kesehatan rongga mulut. Hal yang dapat digunakan sebagai acuan untuk memelihara kesehatan rongga mulut akan dibahas pada bagian selanjutnya.

2.4. Pemeliharaan Kesehatan Rongga Mulut

Meskipun di beberapa negara berkembang dilaporkan sudah terjadi perbaikan atau peningkatan kesehatan gigi mulut, namun kesehatan gigi mulut tetap merupakan tantangan masalah kesehatan yang perlu ditanggulangi. Setidaknya ada enam masalah yang timbul dan dihubungkan dengan masalah


(33)

kesehatan gigi. Keenam masalah tersebut adalah karies, penyakit periodontal, halitosis, stomatitis, gangguan pada sendi temporomandibular, dan beberapa penyakit sistemik yang seperti penyakit jantung koroner, Diabetes Mellitus, dan pneumonia. Masalah-masalah tersebut saling terkait dan bisa timbul bersamaan dan berdampak terhadap kualitas hidup seseorang (Pintauli and Hamada, 2008).

WHO (World Health Organization) sendiri sudah sejak tahun 1986 menyelenggarakan konferensi internasional untuk mengembangkan pendekatan pencegahan yang radikal terhadap kesehatan umum masyarakat. Berdasarkan pendekatan inilah, WHO Global Oral Health Program membuat upaya peningkatan kesehatan gigi mulut masyarakat. Selain pendekatan pentingnya ‘pola hidup sehat’ , pendekatan juga ditujukan kepada pendekatan faktor risiko. Semua pendekatan ini dititikberatkan kepada upaya pencegahan. Di Indonesia, upaya pencegahan lebih terpusat pada karies gigi dan penyakit periodontal yang dapat dikatakan sebagai penyakit mulut yang dapat dicegah. Kontrol plak atau tindakan menyikat gigi merupakan kunci keberhasilan untuk mempunyai rongga mulut yang sehat dalam upaya pencegahan dan pemeliharaan rongga mulut yang optimal.

ADA (American Dentistry Association) merekomendasikan beberapa cara untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Rekomendasi tersebut adalah tentang menggosok gigi, pengunaan benang pembersih ataupun pembersih sela gigi, rekomendasi pola hidup sehat, dan melakukan pengecekan gigi secara berkala ke pusat perawatan gigi yang memiliki tenaga profesional yang memiliki kemampuan memeriksa dan membersihkan gigi (ADA, 2012).

ADA merekomendasikan kepada masyarakat agar meyikat gigi sebanyak dua kali sehari dengan menggunakan pasta gigi berfluor yang telah diakui oleh ADA. Pada saat meyikat gigi, usahakan membersihkan seluruh permukaan gigi. Penggunaan sikat gigi elektrik dianjurkan pada orang yang menderita artritis sehingga sulit menggerakkan tangan. Kehigienisan sikat gigi juga penting dijaga, dimana tidak dianjurkan menyimpan sikat gigi di tempat yang tertutup karena dapat menyebabkan pertumbuhan kuman pada sikat gigi. Sikat gigi diganti setiap tiga atau empat bulan, atau jika bulu sikat telah berjerumbai, karena bulu sikat


(34)

yang telah berjerubai tidak dapat membersihkan gigi dengan baik. Penggunaan alat bantu untuk membersihkan gigi dianjurkan untuk membersihkan sela-sela gigi yang tidak dapat dibersihkan dengan cara menggosok gigi. Alat bantu yang dianjurkan oleh ADA adalah benang pembersih dan pembersih sela gigi. Alat bantu ini diharapkan dapat membantu melepaskan lapisan lengket yang disebut plak dan sisa-sisa makanan yang terperangkap di sela-sela gigi dan di bawah garis gusi (MFMER, 2011; ADA, 2012).

Faktor diet juga berpengaruh pada kebersihan rongga mulut. ADA merekomendasikan diet yang seimbang dan pembatasan makan makanan ringan diantara waktu makan. Selain itu, melakukan pemeriksaan kesehatan gigi pada pusat kesehatan yang memiliki tenaga terlatih juga merupakan salah satu upaya menjaga kesehatan gigi dan mulut. Pemeriksaan rutin yang direkomendasikan untuk orang dewasa adalah kira-kira tiga bulan sampai dua tahun sekali. Makin sehat kesehatan gigi dan mulut seseorang, maka makin lama waktu selang antara satu pemeriksaan rutin dengan pemeriksaan rutin lainnya. Namun, jika ditemukan kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut yang buruk, jarak antar pemeriksaan rutin akan semakin sempit (NHS, 2011).

Pembersihan plak supragingival setiap hari merupakan faktor utama dalam mencegah kejadian karies, gingivitis dan periodontitis. Cara umum untuk menghilangkan plak bakterial tersebut adalah dengan cara melepaskan biofilm secara manual dengan menggunakan sikat gigi dan penggunaan benang gigi. Namun, beberapa studi menyatakan bahwa waktu menyikat gigi rata-rata pada orang dewasa kurang untuk dapat kebersihan rongga mulut yang baik. Informasi lainnya menunjukkan bahwa hanya 2-10% dari pasien yang menggunakan benang gigi unutk membersihkan sela-sela gigi. Selain hal tersebut, sebuah studi menyatakan bahwa kepatuhan pasien akan berkurang seiring berjalannya waktu walaupun telah diberikan edukasi sebelumnya (Marchetti et al., 2011).

Banyak studi menunjukkan bahwa ternyata obat kumur efektif dan berguna untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Obat kumur digunakan dengan cara dikumur dalam rongga mulut dengan bantuan otot-otot pipi, bibir, dan lidah sehingga partikel dan debris akan lepas dari rongga mulut. Obat kumur yang


(35)

mengandung antimikroba efektif terhadap mikroba yang berada pada permukaan gingiva dan mukosa rongga mulut (Daniel et al., 2008; Marchetti et al., 2011).

Banyak produk obat kumur yang mengandung alkohol sebagai komposisi utama. Alkohol dalam obat kumur digunakan sebagai pelarut dari perasa yang digunakan untuk menutupi rasa dari bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa pasien dengan xerostomia, ketergantungan alkohol, atau jaringan yang senstif terhadap alkohol harus menggunakan obat kumur yang bebas alkohol. Menurut Haq et al. (2009), alkohol dalam obat kumur tidak meningkatkan efektivitas dari kerja obat kumur tersebut. Alkohol justru memiliki kecenderungan menyebabkan efek samping seperti rasa terbakar pada mulut karena alkohol dapat mengaktifkan vanilloid receptor-1, agreviasi dari xerostomia, dan halitosis pada sebagian kasus. Alkohol juga diduga memiliki peran dalam menyebabkan kanker pada rongga mulut karena bersifat iritatif pada epitel. Namun, menurut ADA dan FDA (Food and Drug Administration), data yang didapatkan masih belum cukup untuk membuktikan hubungan antara penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol dengan kejadian kanker mulut (Daniel et al., 2008; Dental Guide, 2012).

Ada 3 jenis obat kumur yang tersedia dipasaran. Yang pertama adalah obat kumur yang bersifat kosmetik, dimana obat kumur tersebut hanya digunakan untuk menghilangkan bau mulut. Yang kedua adalah obat kumur antiseptik. obat kumur antiseptik banyak dipakai pada bidang kedokteran gigi sebagai terapi unutk berbagai kondisi klinis seperti mengurangi pembentukan plak gigi dan mengurangi kejadian kerusakan gigi. Sedangkan yang terakhir adalah obat kumur yang mengandung fluor. Obat kumur jenis ini digunakan oleh orang-orang dengan risiko kerusakan gigi. Namun, obat kumur jenis ini jarang digunakan karena sebagian besar fluor yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan gigi telah didapatkan dari menggosok gigi dengan pasta gigi yang mengandung fluor. ADA dan FDA merekomendasikan dua jenis obat kumur yang telah diterima oleh kedua organisasi tersebut. Kedua jenis obat kumur tersebut adalah obat kumur yang mengandung minyak esensial dan obat kumur dengan kandungan aktif klorheksidin. Kedua obat kumur tersebut biasanya digunakan pada keadaan


(36)

gingivitis dan untuk mengontrol dan mengobati biofilm plak (Daniel et al., 2008; Dental Guide, 2012).

2.5. Klorheksidin Glukonat

Klorheksidin glukonat merupakan suatu disinfektan dan suatu agen antiinfektif yang juga digunakan sebagai obat kumur untuk mencegah terbentuknya plak pada gigi. Klorheksidin glukonat memiliki rumus molekul C34H54Cl2N10O14, dengan berat molekul 897.7572. Klorheksidin memiliki titik didih pada suhu 1121.4°C dalam tekanan 760 mmHg (DrugBank, 2012; ChemNet, 2012).

Gambar 2.7. Struktur Kimia Klorheksidin Glukonat (DailyMed, 2010)

Klorheksidin memiliki beberapa senyawa berbentuk garam, yaitu klorheksidin hidroklorida, klorheksidin asetat, dan klorheksidin glukonat. Salah satu dari ketiga senyawa tersebut yang digunakan sebagai obat kumur adalah klorheksidin glukonat. Klorheksidin sendiri memiliki nama IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) N-(4-chlorophenyl)-1-3-(6-{N-[3-(4-chlorophenyl)carbamimidamidomethanimidoyl]amino}hexyl)carbamimidamidom ethanimidamide, sedangkan klorheksidin glukonat memiliki nama 1,1’-hexamethylenebis [5-(p-chlorophenyl)biguanide] di-D-gluconate (DailyMed, 2010; DrugBank, 2012).

Klorheksidin bekerja sebagai agen antimikrobial topikal dikarenakan bermuatan positif. Ketika klorheksidin yang bersifat sebagai kation bereaksi dengan sel bakteri yang bermuatan negatif, akan terjadi ikatan antara keduanya. Setelah klorheksidin terabsorpsi ke dalam dinding sel dari organisme tersebut,


(37)

klorheksidin akan menghancurkan integritas dari membran sel dari organisme tersebut. Akibat dari integritas membran sel yang terganggu, maka terjadi kebocoran komponen-komponen intraseluler dari organisme tersebut. Plak, mukosa oral, dan hidroksiapatit akan sedikit menyerap klorheksidin sehingga secara tidak langsung berperan sebagai reservoir yang akan mensekresi klorheksidin secara lambat (DrugBank, 2012; Thomas, 2011).

Klorheksidin diabsorpsi secara sangat buruk pada saluran gastrointestinal. Tidak ada data yang jelas mengenai ikatan dengan protein maupun metabolisme dari klorheksidin. Ekskresi klorheksidin terutama melalui feses.

Klorheksidin diindikasikan untuk mencegah karies gigi, dekontaminasi bagian orofaring bagi pasien-pasien yang sangat sakit, higienitas pelayan kesehatan, pembersih kulit secara umum, dan pada saat persiapan dan perawatan tempat kateterisasi (DrugBank, 2012). Menurut Jarral et al. (2011), klorheksidin terbukti lebih efektif dibandingkan dengan povidon iodin sebagai pencuci tangan para dokter bedah. Klorheksidin mampu menurunkan jumlah koloni secara signifikan dan mampu menurunkan angka kejadian surgical site infection (SSI) pada proses pembedahan kontaminasi-bersih. Selain itu, klorheksidin juga terbukti efektif sebagai agen antimikroba pada keratitis yang disebabkan Acanthamoeba, dimana 83% dari 6 mata pasien mengalami penyembuhan yang lebih cepat dibanding dengan kelompok kontrol (TOXNET, 2004).

Menurut Zorko dan Jerala (2008), klorheksidin memiliki kemampuan untuk berikatan dan menetralisasi lipopolisakarida (LPS) bakteri. Klorheksidin merupakan salah satu produk antiseptik yang paling banyak digunakan, baik sebagai pencuci tangan maupun obat kumur. Klorheksidin bersifat aktif terhadap berbagai jenis bakteri, baik Gram positif maupun Gram negatif dan kompatibel bila digunakan bersama dengan berbagai jenis antibiotika.

Menurut Ireland (2007), klorheksidin glukonat merupakan obat kumur yang paling efektif dalam menurunkan perkembangan dari plak. Ini menyebabkan klorheksidin menjadi salah satu obat standar yang diresepkan untuk berbagai penyakit mulut, termasuk segala bentuk ulserasi pada rongga mulut dan juga untuk menurukan kejadian gingivitis.


(38)

Walaupun klorheksidin glukonat sangat efektif dalam menurunkan jumlah bakteri pada rongga mulut, klorheksidin glukonat juga memiliki efek samping yang cukup berat. Dua efek samping yang paling sering dijumpai adalah proses kolorasi (pewarnaan) pada gigi dan perubahan dari rasa suatu zat. Oleh sebab itu, produk yang mengandung klorheksidin glukonat hanya dianjurkan pemakaiannya dalam jangka waktu 30 hari setiap 3 bulan (Cappelli and Mobley, 2008).

2.6. Povidon Iodin

Povidon iodin ialah suatu iodofor yang kompleks antara yodium dengan polivinil pirolidon.Povidon iodine larut dalam air, stabil secara kimia dan larut dalam pirolidin polivinil polimer. Povidon iodin memiliki rumus molekul C6H9I2NO dan memiliki nama IUPAC 1-ethenylpyrrolidin-2-one; molecular iodine. (Kurniati, 2008; PubChem, 2012; Chembase, 2012).

Gambar2.8. Struktur Kimia Povidon Iodin (Drugs, 2012)

Iodin merupakan salah satu antiseptik paling tua. Preparat iodin yang terdahulu menyebabkan nyeri lokal dan reaksi jaringan. Povidon iodin sendiri telah dikenal sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Povidon iodin yang mengandung 10% polivinilpirolidon iodin merupakan yang produk yang paling banyak diproduksi secara komersil oleh pabrik-pabrik (Khan, 2006).

Povidon iodin memiliki efek bakterisidal dan efektif untuk berbagai jenis bakteri, jamur, maupun spora. Efek bakterisidal dan fungisidal dari povidon iodin berlangsung selama beberapa detik. Povidon iodin diduga memiliki cara kerja


(39)

dengan menginaktivasi substrat vital sitoplasma, yang sangat penting untuk kelangsungan hidup dari bakteri.

Povidon iodin dikontraindikasikan untuk pasien dengan kelainan fungsi tiroid, hipersensitif terhadap povidon iodin, dan juga wanita dalam masa hamil dan menyusui (Samaranayake, 2002).


(40)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

3.2. Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1. Variabel Independen

a) Berkumur dengan klorheksidin glukonat 0,2%. b) Berkumur dengan povidon iodin 1%.

3.2.2. Variabel Dependen

Jumlah koloni mikroorganisme di sekitar rongga mulut.

3.2.3. Definisi Operasional

a) Berkumur dengan klorheksidin glukonat 0,2% adalah berkumur dengan larutan yang mengandung 0,2 gram klorheksidin glukonat dalam 100 mililiter pelarut sebanyak 10 mliliter selama 30 detik, setelah berkumur hasil kumuran dibuang.

i. Cara ukur : menentukan jumlah klorhekidin glukonat 0,2% dan lama waktu berkumur.

Berkumur dengan

klorheksidin glukonat 0,2%

Berkumur dengan povidon iodin 1%

Jumlah koloni

mikroorganisme di sekitar rongga mulut


(41)

ii. Alat ukur : gelas ukur 10 ml dan stopwatch. iii. Skala ukur : rasio.

iv. Hasil pengukuran : jumlah obat kumur dalam mililiter, sedangkan waktu berkumur dalam detik.

b) Berkumur dengan povidon iodin 1% adalah berkumur dengan larutan yang mengandung 1 gram povidon iodin dalam 100 mililiter pelarut sebanyak 10 mililiter selama 30 detik , setelah berkumur hasil kumuran dibuang.

i. Cara ukur : menentukan jumlah povidon iodin 1% dan lama waktu berkumur.

ii. Alat ukur : gelas ukur 10 ml dan stopwatch. iii. Skala ukur : rasio.

iv. Hasil pengukuran : jumlah obat kumur dalam mililiter, sedangkan waktu berkumur dalam detik.

c) Jumlah koloni mikroorganisme di rongga mulut didefinisikan sebagai selisih antara hasil penghitungan jumlah koloni sebelum dan sesudah berkumur dengan menggunakan obat kumur antiseptik yang telah disediakan.

i. Cara ukur : perhitungan jumlah koloni sebelum dan sesudah berkumur dengan menggunakan obat kumur pada media pembiakan.

ii. Alat ukur : perhitungan langsung CFU (Colony Forming Units) pada media pembiakan.

iii. Skala pengukuran : skala pengukuran yang digunakan adalah skala rasio dimana skala memiliki nilai nol bermakna.

iv. Hasil pengukuran : dalam bentuk CFU (Colony Forming Units), dimana hasil perhitungan koloni sebelum berkumur dengan menggunakan obat kumur akan diselisihkan dengan hasil perhitungan koloni setelah berkumur dengan menggunakan obat kumur, sehingga didapatkan selisih antara hasil perhitungan koloni antara sebelum dan sesudah menggunakan obat kumur. Hasil


(42)

selisih yang telah didapatkan akan dibandingkan dengan hasil perhitungan koloni sebelum berkumur, sehingga didapatkan hasil dalam bentuk persentasi.

3.3. Hipotesis

Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ada perbedaan efektivitas antara klorheksidin glukonat 0,2% dengan povidon iodin 1% sebagai obat kumur antiseptik dalam menurunkan jumlah koloni mikroorganisme di sekitar rongga mulut.


(43)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan “One Group Pretest-Posttest”. Pada saat melakukan intervensi tidak ada kelompok kontrol pada percobaan ini. Pengambilan data diambil sebelum dan setelah dilakukan intervensi kepada subjek (Notoatmodjo, 2005).

4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Jalan Universitas nomor 1, Kampus Universitas Sumatera Utara, Medan.

4.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dan pengumpulan data akan dilakukan mulai dari Juli 2012 hingga November 2012, dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data yang telah dikumpulkan.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi target adalah semua mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2009 yang masih terdaftar sebagai mahasiswa yang masih aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dan tidak dalam masa cuti perkuliahan.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian diambil dari populasi target yang memenuhi kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi.


(44)

a. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2009.

Kriteria eksklusi:

a. Sampel menggunakan preparat antibiotik dalam bentuk sediaan obat apapun dalam 7 hari terakhir sebelum pengambilan spesimen.

b. Sampel menggunakan preparat antiseptik untuk rongga mulut dalam bentuk sediaan apapun dalam 7 hari terakhir sebelum pengambilan spesimen.

c. Sampel menggunakan preparat antiinflamasi dalam bentuk sediaan obat apapun dalam 7 hari terakhir sebelum pengambilan spesimen.

d. Sampel menggunakan oral appliances (gigi tiruan/protesa dan alat bantu merapikan gigi/ortodontik).

e. Sedang memiliki salah satu penyakit gigi dan mulut seperti : gigi berlubang, karies gigi, dan penyakit periodontal.

f. Hipersensitif terhadap sediaan klorheksidin glukonat. g. Hipersensitif terhadap sediaan povidon iodin.

h. Tidak bersedia menandatangani lembar informed consent.

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dimana semua sampel yang didapat dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Wahyuni, 2007).

Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus data kontiniu berpasangan untuk rancangan eksperimental (Wahyuni, 2007) :


(45)

• Nilai dan nilai

• Nilai μ0, dan µa didapatkan dari penelitian sebelumnya yaitu : = 24,2

μ0 = 257,1 μa = 250,8 Sehingga,

Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan untuk tiap kelompok percobaan adalah 16 orang subjek.

4.4. Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Pengambilan Sampel 4.4.1. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang didapat langsung dari hasil analisis sampel penelitian, meliputi jumlah koloni sebelum dilakukan intervensi dengan menggunakan obat kumur dan jumlah koloni setelah dilakukan intervensi dengan menggunakan obat kumur.

Sebelum dilakukan proses pengambilan sampel dan intervensi dengan mengguanakan obat kumur, subjek yang memenuhi kriteria inklusi akan dijelaskan mengenai informed consent. Setelah menyetujui informed consent, unsur-unsur kriteria eksklusi akan ditanyakan kepada subjek. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi, tidak termasuk kriteria eksklusi, dan bersedia untuk menjadi subjek penelitian akan dijelaskan mengenai prosedur eksperimen dan tata cara pengambilan sampel pada penelitian tersebut.


(46)

4.4.2. Prosedur Pengambilan Sampel

Adapun prosedur pengambilan sampel pada penelitian ini adalah :

1. Subjek diminta untuk berkumur dengan 10 mililiter aquabidest terlebih dahulu selama 30 detik, kemudian hasil berkumur dibuang.

2. Setelah 2 menit dilakukan pengambilan sampel saliva dari subjek dengan cara meminta subjek mengeluarkan saliva pada wadah steril yang telah disediakan. 3. Selanjutnya subjek diminta berkumur dengan menggunakan salah satu dari

obat kumur pertama sebanyak 10 mililiter selama 30 detik, kemudian hasil berkumur dibuang.

4. Setelah 2 menit berkumur dengan menggunakan obat kumur, dilakukan pengambilan sampel saliva untuk kedua kalinya dari subjek.

5. Satu minggu berikutnya, subjek diminta untuk datang ke laboratorium untuk mengambil sampel ketiga dan keempat.

6. Subjek diminta berkumur terlebih dahulu dengan 10 mililiter aquabidest selama 30 detik, kemudian hasil berkumur dibuang.

7. Selanjutnya diambil sampel saliva ketiga.

8. Selanjutnya, subjek diminta berkumur dengan menggunakan obat kumur kedua sebanyak 10 mililiter selama 30 detik, setelah itu, hasil kumuran dibuang.

9. Setelah 2 menit berkumur dengan menggunakan obat kumur kedua, dilakukan pengambilan sampel saliva untuk keempat kalinya dari subjek.

10.Setiap sampel yang telah didapatkan akan diberi identitas atau pengkodean sesegera mungkin setelah setiap prosedur pengambilan sampel dilakukan. Ini dilakukan agar sampel dapat segera diproses lebih lanjut.

11.Selanjutnya setiap sampel yang telah didapatkan dan diberi identitas akan divortex.

12.Sebanyak 1 mililiter sampel saliva dipindahkan kedalam tabung steril yang telah berisi 9 mililiter buffer fosfat pH 7,4. Dengan demikian, telah dilakukan pengenceran 1 : 10.


(47)

13.Kemudian, hasil pengenceran akan dilakukan kembali dengan menggunakan dilusi serial dengan buffer fosfat pH 7,4 hingga didapatkan pengenceran 1 : 1000.

14.Sebelum dilakukan pengambilan hasil pengenceran untuk diencerkan ke tahap berikutnya, sampel terlebih dahulu divortex untuk menghomogenkan larutan, sehingga akan mengurangi bias yang terjadi akibat ketidakhomogenan hasil pengenceran.

15.Selanjutnya, sebanyak 1 mililiter larutan akan ditanamkan ke agar nutrien. Selanjutnya, agar darah diinkubasi selama 48 jam secara aerob dalam suhu 370C.

16.Setelah 48 jam, akan dilakukan pembacaan jumlah koloni.

4.5. Alat dan Bahan Penelitian 4.5.1. Alat Penelitian

Seluruh alat yang digunakan dalam penelitian ini dalam keadaan steril saat digunakan. Alat-alat yang tahan terhadap suhu tinggi disterilisasi dengan menggunakan oven atau autoklaf. Alat-alat yang tidak tahan terhadap suhu tinggi (biasanya yang terbuat dari bahan plastik seperti pot plastik) disterilisasi dengan cara penyinaran dengan menggunakan sinar UV (ultraviolet).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : i. Pot plastik ukuran 5 cc.

ii. Pot plastik ukuran 30 cc. iii. Spuit 1 cc steril.

iv. Spuit 10 cc steril. v. Sarung tangan steril. vi. Tabung reaksi steril. vii. Cawan petri steril. viii. Erlenmeyer steril.

ix. Alat vortex. x. Rak tabung reaksi. xi. Gelas ukur 10 ml.


(48)

xii. Stopwatch. xiii. Inkubator.

xiv. Biohazard kelas 1 (safety cabinet). xv. Autoklaf.

xvi. Oven.

4.5.2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : i. Sampel saliva yang didapatkan dari subjek penelitian.

ii. Povidon iodin 1%.

iii. Klorheksidin glukonat 0,2%. iv. Buffer fosfat pH 7,4.

v. Agar nutrien.

4.6. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data 4.6.1. Metode Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah seluruh hasil pembacaan hitung koloni dilakukan. Data yang telah diperoleh akan diolah lebih lanjut dengan menggunakan uji beda mean dengan menggunakan uji t-berpasangan.

4.6.2. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer. Analisis data pada penelitian ini meliputi perhitungan selisih hasil pembacaan jumlah koloni, perhitungan persentase penurunan jumlah koloni, perhitungan rata-rata dan stardar deviasi persentase penurunan jumlah koloni, dan uji beda mean t-berpasangan.


(49)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU). Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan penelitian, seperti alat dan bahan untuk pelaksanaan kultur mikrobiologi dan alat inkubator untuk pengeraman bakteri. Penelitian dilaksanakan di ruangan laboratorium yang terletak di lantai 1 gedung Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Gedung Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara terletak di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Jalan Universitas No.1 Kampus Universitas Sumatera Utara Medan dengan batas wilayah:

5.1.2. Uji Efektivitas Obat Kumur

Uji efektivitas obat kumur dilakukan dengan membandingkan persentase penurunan jumlah koloni. Uji efektivitas ini dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel saliva dari subjek penelitian. Pengambilan sampel saliva dibagi menjadi dua kali pengambilan untuk setiap obat kumur yang digunakan, dikarenakan keterbatasan alat yang tersedia. Pengambilan sampel saliva untuk obat kumur antiseptik povidon iodin 1% adalah pada tanggal 19 dan 20 November 2012. Sedangkan waktu pengambilan sampel saliva untuk obat kumur antiseptik klorheksidin glukonat 0,2% adalah pada tanggal 27 dan 28 November 2012.

Setiap dilakukan penanaman sampel ke dalam media pembiakan, terlebih dahulu dilakukan penanaman kontrol media (agar nutrien) untuk menhindari kontaminasi mikroorganisme pada cawan petri yang telah disterilisasi dengan oven maupun mikroorganisme yang berasal dari larutan media agar nutrien.


(50)

Selain media, dalam setiap penanaman sampel ke dalam media pembiakan, juga dilakukan penanaman kontrol buffer. Kontrol buffer dilakukan dengan cara menanamkan 1 ml cairan buffer fosfat pH 7,4 ke dalam media pembiakan agar nutrien.

Tabel 5.1. Hasil Kontrol Media dan Kontrol Buffer

Tanggal Penanaman Hasil

Kontrol Media Kontrol Buffer

19 November 2012 Negatif Negatif

20 November 2012 Negatif Negatif

27 November 2012 Negatif Negatif

28 November 2012 Negatif Negatif

Hasil pembacaan kontrol dan kontrol buffer dilakukan 48 jam setelah penanaman ke media pembiakan. Dari hasil pembacaan setelah 48 jam, tidak dijumpai adanya pertumbuhan koloni bakteri apapun baik dalam cawan kontrol maupun cawan kontrol buffer (lihat tabel 5.1.).

Setelah 48 jam masa pengeraman, dilakukan perhitungan hasil pembiakan saliva masing-masing obat kumur. Hasil perhitungan jumlah koloni dalam Colony Forming Units (CFU) sebelum dan setelah berkumur dengan menggunakan klorheksidin glukonat 0,2% dapat dilihat pada tabel 5.2. dibawah ini.

Tabel 5.2. Hasil Perhitungan Jumlah Koloni Sebelum dan Setelah Berkumur Dengan Menggunakan Klorheksidin Glukonat 0,2%

Kode Sampel

Sebelum Berkumur (dalam CFU)

Setelah Berkumur (dalam CFU)

01 38000 7000

02 86000 2000

03 18000 1000

04 72000 1000

05 172000 4000

06 188000 17000

07 108000 2000

08 200000 1000

09 78000 2000

10 200000 45000

11 200000 52000

12 144000 10000

13 47000 2000


(51)

15 76000 1000

16 200000 47000

Data hasil perhitungan jumlah koloni sebelum dan setelah berkumur dengan menggunakan klorheksidin glukonat 0,2% diolah kembali untuk mendapatkan hasil dalam bentuk selisih perhitungan jumlah koloni dan persentase penurunan yang dibandingkan dengan hasil sebelum berkumur (lihat tabel 5.3.). Dari hasil persentase penurunan jumlah koloni mikroorganisme setelah berkumur dengan klorheksidin glukonat 0,2% didapatkan rata-rata persentase penurunan yaitu sebesar 89,80% dengan standar deviasi sebesar 11,02.

Tabel 5.3. Selisih Jumlah Colony Forming Units (CFU) Dengan Menggunakan Klorheksidin Glukonat 0,2% dan Persentase Penurunan Jumlah Koloni Mikroorganisme Setelah Berkumur dengan Klorheksidin Glukonat 0,2% Nomor Sampel Selisih Jumlah Koloni

(dalam CFU)

Persentase Penurunan Jumlah Koloni

01 31000 81,58%

02 84000 97,67%

03 17000 94,44%

04 71000 98,61%

05 168000 97,67%

06 171000 90,96%

07 106000 98,15%

08 199000 99,50%

09 76000 97,44%

10 155000 77,50%

11 148000 74,00%

12 134000 93,06%

13 45000 95,74%

14 15000 65,22%

15 75000 98,68%

16 153000 76,50%

Hasil pembiakan sebelum dan setelah berkumur dengan povidon iodin 1% juga dilakukan perhitungan setelah 48 jam masa pengeraman. Hasil perhitungan koloni dalam bentuk Colony Forming Units (CFU) sebelum dan setelah berkumur dengan povidon iodin 1% disajikan dalam tabel 5.4..


(52)

Tabel 5.4. Hasil Perhitungan Jumlah Koloni Sebelum dan Setelah Berkumur Dengan Menggunakan Povidon iodin 1%

Kode Sampel

Sebelum Berkumur (dalam CFU)

Setelah Berkumur (dalam CFU)

01 212000 124000

02 152000 80000

03 244000 116000

04 68000 56000

05 136000 64000

06 280000 212000

07 300000 234000

08 48000 10000

09 128000 84000

10 25000 20000

11 300000 256000

12 108000 68000

13 37000 18000

14 186000 112000

15 248000 192000

16 17000 17000

Data hasil perhitungan jumlah koloni sebelum dan setelah berkumur dengan menggunakan povidon iodin 1% juga didapatkan data selisih perhitungan jumlah koloni dan persentase penurunan yang dibandingkan dengan hasil sebelum berkumur (lihat tabel 5.5.).

Dari hasil persentase penurunan jumlah koloni mikroorganisme setelah berkumur dengan povidon iodin didapatkan rata-rata persentase penurunan yaitu sebesar 37,14% dengan standar deviasi sebesar 17,08.


(53)

Tabel 5.5. Selisih Jumlah Colony Forming Units (CFU) Dengan Menggunakan Povidon iodin1% dan Persentase Penurunan Jumlah Koloni Mikroorganisme Setelah Berkumur dengan Povidon Iodin 1%

Nomor Sampel Selisih Jumlah Koloni (dalam CFU)

Persentase Penurunan Jumlah Koloni

01 88000 41,51%

02 72000 47,37%

03 128000 52,46%

04 12000 17,65%

05 72000 52,94%

06 68000 24,29%

07 66000 22,00%

08 38000 79,17%

09 44000 34,38%

10 5000 20,00%

11 44000 14,67%

12 40000 37,04%

13 19000 51,35%

14 74000 39,78%

15 56000 22,58%

16 10000 37,04%

5.2. Pembahasan

5.2.1. Interpretasi dan Diskusi Hasil

Hasil akhir dari data yang dihasilkan pada penelitian dianalisis dengan menggunakan bantuan program komputer. Penelitian dilakukan dengan membandingkan rata-rata persentase penurunan dengan uji t-berpasangan. Setelah dilakukan analisis dengan bantuan program komputer didapatkan perbedaan bermakna diantara kedua rata-rata tersebut dengan nilai t-nya adalah 11,96 dengan nilai p<0,05.

Dari data penelitian didapatkan rata-rata persentase penurunan jumlah koloni setelah berkumur dengan klorheksidin glukonat 0,2% lebih tinggi dibandingkan dengan povidon iodin. Hal serupa juga dilaporkan pada penelitian Thomas (2011), dimana obat kumur yang dibandingkan adalah klorheksidin glukonat 0,12%, kombinasi setilpiridinium klorida 0,05% dan natrium florida 0,05%.


(54)

Hasil penelitian Thomas (2011) menunjukkan bahwa klorheksidin glukonat 0,12% lebih efektif dalam menurunkan jumlah koloni mikroorganisme baik dalam suasana aerob maupun anaerob dibandingkan dengan kombinasi setilpiridinium klorida 0,05% dan natrium florida 0,05% dan dengan cairan normal salin. Peningkatan efektivitas dari klorheksidin glukonat sendiri mungkin dikarenakan mukosa oral menyerap sebagian kecil dari klorheksidin pada saat berkumur. Hasil penyerapan tersebut akan sedikit demi sedikit disekresikan kembali ke rongga mulut sehingga efek kerjanya lebih panjang. Penelitian terbaru menyatakan kerja antimikroba dari molekul klorheksidin yang bermuatan positif dan bersiat dikation mempermudah interaksi dengan bakteri yang akan berkoloni di permukaan gigi (Nayak dan Mythili, 2010).

Penelitian Neeraja et al. (2008) yang juga membandingkan obat kumur yang sama dengan penelitian ini, juga memaparkan hasil yang sama. Penelitian yang lebih menekankan perhitungan jumlah S.mutans pada anak usia 6 hingga 12 tahun tersebut juga menunjukkan bahwa klorheksidin glukonat jauh lebih unggul dibandingkan povidon iodin. Dari penelitian tersebut, dipaparkan bahwa keunggulan dari klorheksidin didapatkan karena retensinya yang lebih lama pada rongga mulut. Di lain pihak, povidon iodin juga memiliki efek antimikroba, tetapi efeknya bersifat segera namun singkat setelah ekspektorasi obat kumur tersebut.

Menurut Marchetti et al. (2011) dan Malhotra et al. (2011), klorheksidin glukonat dinilai masih merupakan baku emas dalam hal obat kumur dibandingkan dengan obat kumur lainnya termasuk obat kumur yang zak aktifnya adalah minyak mineral baik yang mengandung alkohol maupun yang tidak. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa minyak mineral yang mengandung alkohol jauh lebih tinggi efikasinya sebagai obat kumur jika dibandingkan denagn minyak mineral yang tidak menagandung alkohol.

Hal bertolak belakang dilaporkan oleh Oyanagi et al. (2012), yang dalam penelitiannya menggunakan berbagai jenis obat kumur sebagai antiseptik oral. Obat kumur yang mereka bandingkan antara lain klorheksidin glukonat 0,05%, bensetonium klorida 0,2%, minyak mineral yang mengandung alkohol, povidon iodin 7%, dan buffer fosfat dalam salin dengan pH 7,3. Hasil penelitian


(55)

menunjukkan bahwa minyak mineral yang mengandung alkohol merupakan obat kumur paling efektif sebagai bakterisidal sedangkan yang paling lemah adalah klorheksidin glukonat 0,05%.

Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Bajaj dan Tandon (2011), dimana penelitian mereka adalah membandingkan efektivitas antara klorheksidin glukonat 0,1% dengan obat kumur tradisional Tripala 0,6%. Hasil yang didapatkan penelitian tersebut adalah tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua jenis obat kumur yang dibandingkan.

Data-data dalam setiap penelitian diatas, hampir selalu menyebutkan efek jangka panjang dari penggunaan tiap jenis obat kumur. Pada penelitian Marchetti et al. (2011), dilaporkan bahwa penggunaan klorheksidin glukonat dalam jangka panjang akan menyebabkan perubahan warna enamel gigi, terbentuknya kalkulus klorheksidin di gigi dan perubahan sensasi dalam indra pengecapan. Sedangkan untuk povidon iodin, pada beberapa kasus ditemukan ‘iodine-induced hypothyroidism’ dikarenakan penggunaan obat kumur dalam jumlah sangat besar dan atau dalam jangka panjang. Akan tetapi, hal tersebut akan hilang dengan segera jika dilakukan penghentian berkumur dengan povidon iodin (Sato et al., 2007)

Analisis hasil berbagai penelitian diatas menunjukkan bahwa efektivitas dari masing-masing obat kumur menjadi salah satu kriteria yang penting dalam menentukan pilihan obat kumur. Dalam hal ini, sebagian besar penelitian mendapatkan hasil yang sama dengan penelitian ini yakni bahwa klorheksidin glukonat masih lebih unggul dibandingkan dengan povidon iodin ditinjau dari kerjanya sebagai obat kumur antiseptik.

Namun, seperti yang telah ditekankan diatas, bahwa pilihan bukan hanya semata-mata didasarkan pada besarnya efektivitas obat kumur tersebut dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme, melainkan juga efek jangka panjang yang akan diterima oleh individu. Hal tersebut perlu ditekankan karena sebagian besar penggunaan obat kumur adalah penggunaan dalam jangka waktu yang panjang.


(56)

5.2.2. Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini, ditemukan berbagai jenis keterbatasan yang mungkin dapat mempengaruhi data hasil penelitian. Hal-hal tersebut antara lain :

1. Hasil perhitungan koloni dilakukan dengan cara perhitungan secara langsung, bukan dengan menggunakan alat colony counter. Hal ini disebabkan karena tidak tersedianya alat colony counter di laboratorium mikrobiologi FK USU.

2. Sampel yang didapatkan sebelum dan setelah berkumur mungkin akan bervariasi dikarenakan perbedaan kolonisasi flora normal maupun mikroorganisme transien pada setiap subjek penelitian, hal ini dapat mempengaruhi hasil pembiakan.

3. Mikroorganisme yang tumbuh mungkin dapat terkontaminasi dari mikroorganisme yang terdapat pada makanan yang dimakan oleh subjek sebelum dilakukan pengambilan sampel saliva. Hal ini dapat terjadi karena waktu pengambilan sampel tidak ditentukan secara ketat, melainkan dalam selang waktu tertentu.

4. Mikroorganisme yang tumbuh mungkin dapat terkontaminasi dari mikroorganisme yang terdapat di udara. Hal ini dapat terjadi karena tempat pengambilan sampel bukan merupakan tempat yang suci hama.

5. Pengeraman hanya dilakukan pada keadaan aerob sehingga mikroorganisme yang tumbuh dalam keadaan anaerob tidak dapat tumbuh. 6. Alat-alat yang digunakan memiliki ketelitian yang terbatas, sehingga akan


(57)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ditemukan perbedaan bermakna antara efektivitas klorheksidin glukonat 0,2% dengan povidon iodin 1% sebagai obat kumur antiseptik dalam menurunkan jumlah koloni di sekitar rongga mulut, dengan hasil uji t-berpasangannya adalah 11,96 (p<0,05).

6.2. Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Pemilihan obat kumur yang tepat masih merupakan sebuah masalah yang penting. Hal tersebut dikarenakan pemilihan obat kumur yang tepat bukan semata-mata hanya berdasarkan dari keefektivannya dalam menurunkan mikroorganisme penyebab berbagai masalah di rongga mulut, tetapi juga harus memperhatikan efek jangka panjang yang ditimbulkan oleh obat kumur jika dipakai secara terus menerus.

2. Penelitian serupa perlu dilakukan dengan membandingkan lebih banyak jenis obat kumur (termasuk obat kumur tradisional) maupun dengan obat kumur yang sama tetapi dengan konsentrasi yang berbeda.

3. Penelitian serupa perlu dilakukan tetapi dengan meningkatkan jumlah variabel yang diteliti, jumlah sampel, dan ketelitian alat-alat yang digunakan.

4. Penelitian serupa mungkin dapat diterapkan pada keadaan lain (keadaan yang patologis) sehingga dapat lebih dirasakan manfaat penelitiannya.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

American Dentistry Association (ADA), 2012. Cleaning Your Teeth and Gums.

Available from

Adil, A.E., Ghossaini, S.N., Meyers, A.D., 2011. Tongue Anatomy. Available from:

[Accessed 27 April 2012].

[Accessed 18 May 2012].

Agave Clinic, 2007. Images. Available from:

Bajaj, N., Tandon, S., 2011. The Effect of Triphala and Chlorhexidine Mouthwash on Dental Plaque, Gingival Inflammation and Microbial Growth. International Journal of Ayurveda Research. 2 (1) 29-41.

Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A., 2008. Flora Mikroba Normal Tubuh Manusia. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg, Ed23. Jakarta: EGC, 198-199.

Burt, B., 2005. Epidemiology of Periodontal Diseases. Available from:

[Accessed 27 May 2012].

Cappelli, D.P., Mobley, C.N., 2008. Prevention Stategies for Dental Caries. Prevention in Clinical Oral Health Care. Philadelphia: Mosby, Inc., an affliate of Elsevier Inc, 200-203.

Cartensen, T.K., Fraser, W.R., Plantz, S.C.H., Talavera, F., Quinn, J., 2012.

Periodontal (Gum) Disease. Available from:

Chembase, 2012. Povidone-iodine. Available from:

ChemNet, 2012. 18472-51-0 Chlorhexidine Gluconate. Available from:


(59)

DailyMed, 2010. Periochip (chlorhexidine gluconate) insert, extended release [Adrian Pharmaceuticals, LLC]. Available from: 18 May 2012].

Daniel, S.J., Harfst, S.A., Wilder, R.S., 2008. Mouthrinses. Mosby’s Dental Hygiene: Concepts, Cases, and Competencies. Philadelphia: Mosby, Inc., an affliate of Elsevier Inc, 290-294.

Dental Guide, 2012. A guide to Mouthwash. Available from:

[Accessed 26 May 2012].

DrugBank, 2012. Chlorhexidine. Available from:

Haq, M.W., Batool, M., Ahsan, S.M., Qureshi, N.R., 2009. Alcohol use in mouthwash and possible oral health concerns. J Pak Med Assoc 59 (3) 186-190.

Herwanda, Bahar, A., 2009. The Impact of Oral Health on School Children. KPPIKG 2009 15th Scientific Meeting & Refresher Course in Dentistry Faculty of Dentistry Universitas Indonesia. Jakarta: Sagung Seto, 226-230.

Ireland, R., 2007, The periodontium, tooth deposits and periodontal diseases. Clinical Textbook of Dental Hygiene and Therapy. Singapore: Blackwell Publishing Company, 123-125.

Jahan-Parwar, B., Blackwell, K., 2011. Lips and Perioral Region Anatomy. Available from:

Jarral, O.A., McCormack, D.J., Ibrahim, S., Shipolini, A.R., 2008. Should surgeons scrub with chlorhexidine or iodine prior to surgery?. Interactive CardioVascular and Thoracic Surgery 12 (11) 1017–1021.

Kasper, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Fauci,A.S., Jameson, J.L., Longo, D.L., 2005. Oral Manifestations of Disease. Harrison’s Principle of


(60)

Internal Medicine 16th Edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc, 194-196.

Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M., 2005. General Aspects of Medical Microbiology. Medical Microbiology. Germany: Georg Thieme Verlag, 25.

Kerr, A.R., Gest, T.R., 2011. Tooth Anatomy. Available from:

[Accessed 12 May 2012].

Kurniati, R., Winarto, 2008. Perbedaan Desinfeksi Antara Povidon Iodine dan Alkohol 70 % dengan Alkohol 70 % Terhadap Hasil Kultur Darah

Septikemia. Available from:

Levinson, W., 2008. Normal Flora. Review of Medical Microbiology & Immunology, Tenth Edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc, 25-29.

Malhotra, R., Grover, V., Kapoor, A., Saxena, D., 2011. Comparison of the effectiveness of a commercially available herbal mouthrinse with chlorhexidine gluconate at the clinical and patient level. J Indian Soc Periodontol 15(4) : 349-352.

Marchetti, E., Mummolo, S., Mattia, J.D., Casalena, F., Martino, S.D., 2011. Efficacy of essential oil mouthwash with and without alcohol: a 3-Day plaque accumulation model. Trials 12:262.

Marieb, E.N., Hoehn, K., 2010. The Digestive System. Human Anatomy & Physiology eighth edition. United States of America: Pearson Education, Inc, 858-863.

Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER), 2011. Oral Health : Brush up on dental care basics. Available from: 2012].


(1)

LAMPIRAN 7

Gambar 1. Tabung yang digunakan untuk menampung sampel saliva (belakang) dan tabung yang akan digunakan sebagai tempat aquadest atau obat kumur antiseptik.

Gambar 2. Tabung volume 5 ml yang telah berisi sampel saliva


(2)

(a) (b)

Gambar 4. (a) Gelas ukur 10 ml untuk mengukur cairan obat kumur, (b) Safety cabinet tempat melakukan proses dilusi serial dan penanaman sampel saliva

Gambar 5. Tabung berisi buffer fosfat pH 7,4 yang digunakan sebagai media pengenceran saliva


(3)

Gambar 6. Proses dilusi serial sampel saliva yang dilakukan di dalam safety cabinet untuk mencegah kontaminasi dari lingkungan kerja

Gambar 7. Proses penanaman sampel saliva ke dalam cawan petri steril kosong yang nantinya akan diisi agar nutrien


(4)

Gambar 8. Cawan petri yang berisi sampel saliva telah diisi dengan menggunakan agar nutien sebagai media pertumbuhan, selanjutnya diinkubasi dalam suasana aerob dengan suhu 370C

Gambar 9. Hasil kultur (salah satu hari) yang akan dibaca setelah sebelumnya telah diinkubasi selama 48 jam dalam inkubator


(5)

Gambar 10. Hasil pembacaan (salah satu hari) jumlah koloni yang tumbuh dalam media pembiakan

(a) (b)

Gambar 11. (a) Contoh hasil pembiakan kontrol agar (salah satu hari) yang menunjukkan hasil negatif, (b) Contoh hasil pembiakan kontrol buffer fosfat (salah satu hari) yang menunjukkan hasil negatif


(6)

(a) (b)

Gambar 12. Contoh hasil pembiakan (a) sampel nomor 5 sebelum berkumur, (b) sampel nomor 5 setelah berkumur

(a) (b)

Gambar 13. Contoh hasil pembiakan (a) sampel nomor 6 sebelum berkumur, (b) sampel nomor 6 setelah berkumur


Dokumen yang terkait

Efektivitas kumur-kumur dengan Baking Soda 2% terhadap indeks plak dan jumlah koloni bakteri saliva rongga mulut

2 6 53

Efektivitas kumur-kumur dengan larutan triclosan 0,3 % terhadap indeks plak dan jumlah koloni bakteri saliva rongga mulut

2 7 56

Efektivitas Ekstrak Siwak 1% (Salvadora Persica) sebagai Obat Kumur dalam Mengurangi Akumulasi Plak pada Mahasiswa Angkatan 2012 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

5 28 61

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTISEPTIK CHLOREXIDINE GLUKONAT DENGAN PHENOXYLETHANOL Perbandingan Efektivitas Antiseptik Chlorexidine Glukonat dengan Phenoxylethanol terhadap Penurunan Angka Kuman pada Telapak Tangan.

0 2 16

PENDAHULUAN Perbandingan Efektivitas Antiseptik Chlorexidine Glukonat dengan Phenoxylethanol terhadap Penurunan Angka Kuman pada Telapak Tangan.

0 5 4

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTISEPTIK CHLOREXIDINE GLUKONAT DENGAN PHENOXYLETHANOL Perbandingan Efektivitas Antiseptik Chlorexidine Glukonat dengan Phenoxylethanol terhadap Penurunan Angka Kuman pada Telapak Tangan.

0 2 14

PERBEDAAN EFEKTIVITAS OBAT KUMUR CHLORHEXIDINE DAN METHYLSALICYLATE DALAM MENURUNKAN JUMLAH KOLONI BAKTERI RONGGA MULUT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 52

Perbedaan efektivitas obat kumur chlorhexidine dan methylsalicylate dalam menurunkan jumlah koloni bakteri rongga mulut

1 3 48

Perbandingan Efektivitas Klorheksidin Glukonat 0,2% dengan Povidon Iodin 1% Sebagai Obat Kumur Antiseptik terhadap Penurunan Jumlah Koloni Mikroorganisme di Sekitar Rongga Mulut pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

0 0 17

Perbandingan Efektivitas Klorheksidin Glukonat 0,2% dengan Povidon Iodin 1% Sebagai Obat Kumur Antiseptik terhadap Penurunan Jumlah Koloni Mikroorganisme di Sekitar Rongga Mulut pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

0 1 6