diikuti, dan 6 kemampuan biaya memperoleh informasi, seperti terlihat pada Lampiran 2. Analisis terhadap aksesibilitas petani dengan informasi pertanian,
berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan, dan lokasi petani, dapat disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Kemampuan Petani Sayuran Mengakses Informasi Pertanian
Uraian Tingkat Kemampuan Petani Mengakses Informasi
Rendah Sedang
Tinggi Jumlah
1. Tipologi Petani
- Petani Maju - Petani Berkembang
20 ,7 34, 1
48, 3 56, 6
31, 0 9, 3
100, 0 100, 0
2. Jenis Sayuran
- Kubis - Kentang
- Cabai 10, 1
50, 7 35, 5
71, 9 38, 7
50, 0 18, 0
10, 7 14, 5
100, 0 100, 0
100, 0 3. Lokasi
- Bogor - Cianjur
- Bandung 11, 3
5, 0 76, 3
56, 3 88, 8
18, 8 32, 5
6, 3 5, 0
100, 0 100, 0
100, 0 Total Petani
30, 8 54, 6
14, 6 100, 0
Sumber: Data Primer 2006 Keterangan: = Kemampuan mengakses informasi berbeda nyata p 0,01 menurut
tipologi petani, jenis sayuran, dan lokasi.
Tabel 19 menggambarkan bahwa secara keseluruhan tingkat kemampuan petani mengakses informasi, berada pada kategori sedang atau baru 55 petani
yang mampu mengakses informasi pertanian. Apabila diperhatikan menurut tipologi petani, menunjukkan bahwa tingkat kemampuan petani maju dalam
mengakses informasi lebih tinggi dari petani berkembang. Pada Tabel 19 dapat diperhatikan bahwa 57 petani berkembang, tingkat kemampuannya pada
kategori sedang dan 9 pada kategori tinggi, sedangkan petani maju 48 tingkat kemampuannya pada kategori sedang dan 31 pada kategori tinggi.
Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi petani, ada perbedaan yang nyata p0,01 antara tingkat kemampuan mengakses
informasi petani maju dengan petani berkembang. Demikian halnya, berdasarkan lokasi petani dan jenis sayuran yang dihasilkan, ada perbedaan yang nyata
p0,01 dalam tingkat kemampuan mengakses informasi. Rendahnya modal intelektual pendidikan petani, membuat akses petani terhadap sumber informasi
menjadi lemah sehingga mereka terisolasi dari informasi. Tabel 20 menunjukkan bahwa ada hubungan antara karakteristik pribadi petani dengan kemudahan
mendapatkan informasi.
Tabel 20 Hubungan antara Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran dengan Peubah Kemudahan Mendapatkan Informasi Pertanian
Peubah X
5
Kemudahan Mendapatkan Informasi Pertanian X
5
Peubah X
1
Komunikatif X
5.1
Penggunaan Saluran dan
Alat Komu- nikasi X
5.2
Penyuluhan X
5.3
Keterjangkauan X
5.4
Total X
5
Karakteristik Pribadi Petani Sayuran X
1
1. Status Sosial Ekonomi X
1.1
0.11 0.18
-0.05 0.23
0.07 2. Kesadaran Pentingnya Informasi X
1.2
0.77 0.78
0.83 0.41
0.84 3. Kemampuan Mengakses Informasi X
1.3
0.55 0.53
0.61 0.33
0.63 4. Motivasi terhadap Ush.tani Sayuran X
1.4
0.37 0.46
0.35 0.24
0.38 5. Keinovatifan X
1.5
-0.03 0.04
0.12 0.01
0.09
Sumber: Data Primer diolah, 2006 Keterangan: = Korelasi nyata p 0,01
Kemampuan petani utuk memperoleh, memilih, dan memanfaatkan informasi tentang usahatani sayuran juga masih kurang. Petani berkembang
dengan berbagai kendala internal dan eksternal yang dihadapi, membuat mereka lebih banyak menunggu informasi. Mereka merasa agak sulit akses terhadap
informasi yang dibutuhkannya. Umumnya mereka juga jarang melakukan kontak dengan sumber informasi secara personal, tetapi lebih sering melalui pertemuan
kelompok atau kegiatan penyuluhan. Sedangkan petani maju, umumnya tidak terpaku dengan informasi yang tersedia di daerahnya saja tetapi mereka lebih aktif
mencari informasi yang dibutuhkannya dari luar desanya, karena informasi yang ada di daerahnya sudah dianggap ketinggalan dan kurang mampu menjawab
kebutuhan mereka. Dengan demikian, aksesibilitas petani terhadap sumber informasi dipengaruhi oleh kemudahan petani mendapatkan informasi ditinjau
dari aspek komunikatif, penggunaan saluran dan alat komunikasi, kegiatan penyuluhan, dan keterjangkauan.
Tingkat Motivasi Petani terhadap Usahatani Sayuran
Motivasi untuk berhasil dalam usahatani sayuran, merupakan suatu kekuatan yang mendorong petani untuk terus berupaya mencapai hasil yang lebih
baik dalam berusahatani. Setiap orang mempunyai motiv tertentu untuk melakukan sesuatu, misalnya dalam bekerja kita mengenal motivasi kerja.
Menurut Maslow 1970, motivasi adalah kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki.
Dengan demikian, motivasi berarti membangkitkan motiv daya gerak yang
mendorong seseorang berbuat sesuatu seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau suatu tujuan.
Tingkat motivasi petani terhadap usahatani sayuran pada penelitian ini, diukur dengan indikator: 1 minat meningkatkan produktivitas, 2 minat
meningkatkan kualitas, 3 minat memperhatikan kelestarian lingkungan, 4 minat memilih jenis sayuran yang diminati pasar, 5 minat mencoba ide-ide baru,
6 frekuensi kegiatan pelatihanpenyuluhan yang diikuti, dan 6 jumlah jam per hari bekerja untuk usahatani sayuran, seperti terlihat pada Lampiran 3. Analisis
terhadap tingkat motivasi petani berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan, dan lokasi petani, dapat disajikan pada Tabel 21, Secara keseluruhan
tingkat motivasi petani sayuran berada pada kategori tinggi atau 59 petani sudah tinggi tingkat motivasinya dalam berusahatani sayuran. Berdasarkan tipologi
petani, menunjukkan bahwa tingkat motivasi petani maju lebih tinggi dari petani berkembang. Pada Tabel 21, dapat diperhatikan bahwa 78 petani maju tingkat
motivasinya pada kategori tinggi dan 0 pada kategori rendah, sedangkan petani berkembang 53 tingkat motivasinya pada kategori tinggi dan 1 pada kategori
rendah. Maknanya, motivasi untuk berhasil petani maju lebih tinggi daripada petani berkembang. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan status sosial
ekonomi petani, seperti yang ditunjukkan Tabel 18 dan Tabel 20. Tabel 21 Tingkat Motivasi Petani terhadap Usahatani Sayuran
Uraian Tingkat Motivasi
Rendah Sedang
Tinggi Jumlah
1. Tipologi Petani - Petani Maju
- Petani Berkembang 0, 0
1, 1 22, 4
46, 2 77, 6
52, 7 100, 0
100, 0 2. Jenis Sayuran
- Kubis - Kentang
- Cabai 1, 1
1, 3 0, 0
36, 0 30, 7
55, 3 62, 9
68, 0 44, 7
100, 0 100, 0
100, 0 3. Lokasi
- Bogor - Cianjur
- Bandung 0, 0
1, 3 1, 3
47, 5 41, 3
32, 5 52, 5
57, 5 66, 3
100, 0 100, 0
100, 0 Total Petani
0, 8 40, 4
58, 8 100, 0
Sumber: Data Primer 2006 Ket
erangan: = Tingkat motivasi petani berbeda nyata p 0,01 menurut tipologi petani dan jenis sayuran
Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi petani, ada perbedaan yang nyata p0,01 antara tingkat motivasi petani maju
dengan petani berkembang. Berdasarkan jenis sayuran, juga ada perbedaan yang nyata p0,01 tingkat motivasi antara petani kubis, petani kentang, dan petani
cabai. Hal ini ada kaitannya dengan perbedaan status sosial ekonomi masing- masing petani. Namun, tidak ada perbedaan yang nyata tingkat motivasi petani
antar lokasi p0,05. Suatu motiv timbul berdasarkan kebutuhan hidup. Kebutuhan, merupakan
unsur yang paling kuat untuk mambentuk motiv. Herzberg dalam Thoha 1996 mengidentifikasi dua perangkat kegiatan yang memuaskan kebutuhan manusia,
yaitu: 1 kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan kerja prestasi, penghargaan, tanggungjawab, kemajuan atau promosi, pekerjaan itu sendiri, dan
potensi bagi pertumbuhan pribadi, dan 2 kebutuhan yang berkaitan dengan ketidakpuasan kerja. Selanjutnya, Herzberg mengembangkan teori motivasi pada
dua faktor, yaitu: faktor hygiene syarat kerja dan faktor motivator pendorong. Faktor hygiene bersifat ekstrinsik yang berada di luar diri, sedangkan faktor
motivator bersifat intrinsik berada di dalam diri. Faktor hygiene, misalnya: upah, kondisi lingkungan tempat bekerja kebijaksanaan administrasi tempat bekerja.
Faktor motivasi, misalnya: keberhasilan, penghargaan, pekerjaannya sendiri, rasa tanggung jawab, dan faktor peningkatan. Kedua faktor tersebut perlu untuk
keberhasilan suatu kegiatan, namun faktor motivator lebih besar untuk membangkitkan semangat kerja. Persoalan-persoalan semangat kerja tidak dapat
diatasi hanya dengan pemberian upah dan gaji yang tinggi, insentif yang besar, dan memperbaiki kondisi tempat kerja, tetapi juga berasal dari diri sendiri.
Mc Clelland dalam Thoha 1996 dalam teorinya tentang motivasi berprestasi mengemukakan bahwa manusia pada hakekatnya mempunyai
kemampuan untuk berprestasi di atas kemampuan orang lain. Seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi, jika ia mempunyai keinginan untuk
melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi orang lain. Kebutuhan manusia menurut Mc Clelland ada tiga, yaitu: kebutuhan untuk
berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan. Ketiga kebutuhan ini, terbukti merupakan unsur-unsur yang amat penting untuk
menentukan prestasi seseorang dalam bekerja.
Beberapa karakteristik dari orang-orang yang berprestasi tinggi, antara lain adalah:
1 Memerlukan umpan balik yang segera. Orang yang mempunyai kebutuhan prestasi tinggi, umumnya lebih menyenangi semua informasi mengenai hasil-
hasil yang dikerjakan. Informasi yang merupakan umpan balik yang bisa memperbaiki prestasinya pada masa yang akan datang, sangat dibutuhkan oleh
orang tersebut. 2 Memperhitungkan keberhasilan. Seseorang yang berprestasi tinggi, pada
umumnya hanya memperhitungkan keberhasilan prestasi saja dan tidak memperdulikan penghargaan-penghargaan materi.
3 Menyatu dengan tugas. Sekali orang yang berprestasi tinggi memilih suatu tujuan untuk dicapai, maka ia cenderung untuk menyatu dengan tugas
pekerjaannya sampai ia benar-benar berhasil gemilang. Hal ini berarti, bahwa ia bertekad akan mencapai tujuan yang telah dipilihnya dengan ketekatan hati
yang bulat, tidak setengah-setengah. Dengan demikian, unsur motivasi sangat penting, baik bagi kehidupan
individu maupun kelompok karena dengan motivasi inilah akan timbul kekuatan potensial manusia untuk berprestasi. Motivasi yang tinggi dari petani sayuran juga
akan berpengaruh, baik terhadap tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi maupun terhadap keinginan serta kemudahan untuk mendapatkan informasi.
Tingkat Keinovatifan Petani
Persepsi seseorang tentang sesuatu, sangat dipengaruhi oleh pengetahuannya yang erat kaitannya dengan sejumlah informasi yang dimiliki.
Petani yang melakukan kontak lebih intensif dengan sumber informasi, akan lebih terbuka dan memiliki persepsi lebih baik terhadap inovasi atau ide-ide baru.
Tingkat keinovatifan petani sayuran pada penelitian ini diukur dengan indikator: 1 upaya mencari informasi pertanian dan 2 jumlah inovasi yang sudah dicoba,
seperti terlihat pada Lampiran 4. Analisis terhadap tingkat keinovatifan petani berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan, dan lokasi petani,
dapat disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22 Tingkat Keinovatifan Petani Sayuran
Uraian Tingkat Keinovatifan Petani
Rendah Sedang
Tinggi Jumlah
1. Tipologi Petani - Petani Maju
- Petani Berkembang 46, 6
45, 1 44, 8
45, 6 8, 6
9, 3 100, 0
100, 0 2. Jenis Sayuran
- Kubis - Kentang
- Cabai 44, 9
50, 7 40, 8
44, 9 41, 3
50, 0 10, 1
8, 0 9, 2
100, 0 100, 0
100, 0 3. Lokasi
- Bogor - Cianjur
- Bandung 48, 8
36, 3 51, 3
41, 3 47, 5
47, 5 10, 0
16, 3 1, 3
100, 0 100, 0
100, 0 Total Petani
45, 4 45, 4
9, 2 100, 0
Sumber: Data Primer 2006 Keterangan: = Tingkat keinovatifan petani berbeda nyata p 0,01 menurut lokasi
Dari data yang digambarkan pada Tabel 22 dapat dijelaskan, bahwa secara keseluruhan tingkat keinovatifan petani sayuran berada pada kategori rendah atau
sedang atau 45 petani tingkat keinovatifannya dalam berusahatani sayuran masih rendahsedang. Berdasarkan tipologi petani, menunjukkan bahwa tingkat
keinovatifan petani maju tidak berbeda dengan petani berkembang. Pada Tabel 22, juga dapat diperhatikan bahwa 47 petani maju, tingkat keinovatifannya pada
kategori rendah dan 9 pada kategori tinggi, sedangkan 45 petani berkembang tingkat keinovatifannya pada kategori rendah dan 9 pada kategori tinggi. Hal ini
terjadi karena ada hubungannya dengan luas lahan yang sempit yang dimiliki petani, namun tidak ada perbedaan yang nyata antara tingkat keinovatifan petani
maju dengan petani berkembang. Tingkat keinovatifan, juga akan berpengaruh terhadap tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi serta kemudahan untuk
mendapatkan informasi, seperti yang ditunjukkan Tabel 18 dan Tabel 20. Inovasi menurut Totok Mardikanto 1991, adalah sesuatu ide, perilaku,
produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakanditerapkandilaksanakan oleh sebagian warga masyarakat
dalam suatu lokalitas tertentu yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat, demi selalu
terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan. Pengertian ”baru” yang melekat pada istilah
inovasi tersebut, bukan selalu berarti baru diciptakan tetapi dapat berupa sesuatu
yang sudah “lama” dikenal, diterima atau digunakanditerapkan oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih ”baru”.
Inovasi sebagai pesan penyuluhan dalam upaya pembangunan, haruslah mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang memiliki sifat
pembaruan. Rogers 1971 mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktek- praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru
oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Pengertian “baru” di sini mengandung makna bukan sekedar “baru diketahui” oleh pikiran kognitif, akan
tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap afektif dan juga baru dalam pengertian belum
dilaksanakan diterapkan psikomotorik oleh seluruh warga masyarakat setempat. Rogers dan Shoemaker 1981 mengemukakan bahwa perilaku
komunikasi dari anggota masyarakat yang lebih inovatif adalah: 1 partisipasi sosialnya lebih tinggi, 2 lebih sering mengadakan komunikasi interpersonal
dengan anggota sistem sosial lainnya, 3 lebih sering mengadakan hubungan dengan orang asing kelompok acuan mereka kebanyakan orang di luar sistem,
4 lebih sering mengadakan hubungan dengan agen pembaruan, 5 keterdedahan dengan media massa, 6 mencari informasi tentang inovasi lebih banyak,
sehingga pengetahuannya tentang inovasi lebih sempurna, 7 lebih tinggi tingkat kepemimpinannya, terutama pada sistem sosial yang normanya modern, dan 8
menjadi anggota sistem yang bernorma lebih modern, dan lebih terpadu. Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi
petani dan jenis sayuran yang dihasilkan, tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal keinovatifannya p0,05. Namun, ada perbedaan yang nyata tingkat
keinovatifan petani antar lokasi p0,01, karena ada hubungannya dengan perbedaan nyata tingkat pendidikan formal petani menurut lokasi Tabel 16.
Fakta menunjukkan, 18 petani Bandung memiliki pendidikan formal pada kategori tinggi 9 tahun, sedangkan petani Bogor hanya 1 dan petani Cianjur
10 pada kategori yang sama 9 tahun. Umumnya, petani yang mempunyai tingkat kreativitas yang lebih tinggi
akan sering melakukan kegiatan uji coba inovasi baru yang sering dilakukan pada skala terbatas sebelum diterapkan keseluruh lahan usahata ninya. Maknanya pada
penelitian ini adalah, keinovatifan petani akan mempengaruhi tingkat keberdayaannya dalam kemampuan merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi,
dan mengatasi masalah usahataninya, seperti ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23 Hubungan antara Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran
dengan Peubah Tingkat Keberdayaan Petani
Peubah Y
1
Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran Y
1
Peubah X
1
Y
1.1
Y
1.2
Y
1.3
Y
1.4
Total Y
1
Karakteristik Pribadi Petani Sayuran X
1
1. Status Sosial Ekonomi X
1.1
0.45 0.47
0.21 0.29
0.46 2. Kesadaran Pentingnya Informasi X
1.2
0.14 0.09
0.18 0.01
0.13 3. Kemampuan Mengakses Informasi X
1.3
0.24 0.31
0.34 -0.02
0.31 4. Motivasi terhadap Usahatani Sayuran X
1.4
0.33 0.28
0.35 0.18
0.35 5. Keinovatifan X
1.5
-0.21 -0.09
-0.01 -0.08
-0.13
Sumber: Data Primer diolah, 2006
Keterangan:
= Korelasi nyata p 0,05 dan = Korelasi nyata p 0,01
Y
1.1
= Kemampuan Merencanakan; Y
1.2
= Kemampuan Melaksanakan Sayuran Y
1.3
= Kemampuan Mengevaluasi; Y
1.4
= Kemampuan Mengatasi Masalah
Dengan demikian, adopsi inovasi oleh petani sayuran pada hakekatnya merupakan proses perubahan perilaku pada diri petani setelah menerima inovasi.
Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap,
pengetahuan, dan keterampilannya.
Tingkat Kebutuhan Petani Sayuran terhadap Berbagai Informasi Pertanian
Pada penelitian ini, jenis-jenis informasi pertanian merupakan indikator yang akan dilihat tingkat kebutuhannya bagi petani sayuran, yaitu informasi
tentang: peningkatan produksi dan mutu sayuran, ketersediaan sarana produksi, ketersediaan permodalan, teknologi pengolahan hasil sayuran, dukungan
pemasaran sayuran, dan metode analisis usahatani sayuran. Analisis terhadap tingkat kebutuhan dan memperoleh berbagai informasi pertanian berdasarkan
tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan, dan lokasi, dapat disajikan pada Tabel 24.
Secara keseluruhan petani, informasi ‘Metode Analisis Usahatani Sayuran’ merupakan jenis informasi yang tingkat kebutuhannya berada pada kategori tinggi
atau 59 petani, tingkat kebutuhannya terhadap informasi tersebut pada kategori tinggi. Kondisi ini menunjukkan rendahnya kemampuan petani menganalisis
kebutuhan biaya dan keuntungan yang akan diperoleh secara tepat, dan diduga ada hubungannya dengan rendahnya tingkat pendidikan petani. Hal ini akan
mempengaruhi kemampuan petani dalam merencanakan usahatani sayuran. Tabel 24 Tingkat Kebutuhan Petani Sayuran terhadap Berbagai
Jenis Informasi Pertanian
Uraian Tingkat Kebutuhan Petani
Rendah Sedang
Tinggi Jumlah
1. Tipologi Petani 1.1 Petani
Maju - Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran
- Inf. Ketersediaan Sarana Produksi - Inf. Ketersediaan Permodalan
- Inf. Teknologi Pengolahan Hasil - Inf. Dukungan Pemasaran
- Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran
1.2 Petani Berkembang
- Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran - Inf. Ketersediaan Sarana Produksi
- Inf. Ketersediaan Permodalan - Inf. Teknologi Pengolahan Hasil
- Inf. Dukungan Pemasaran - Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran
1, 7 0, 0
81, 0 63, 8
29, 3 0, 0
15, 9 4, 4
88, 5 87, 4
31, 9
0, 5 63 ,8
51, 7 15, 5
32, 8 55, 2
37, 9
78, 6 58, 2
9, 3 12, 6
64, 3 41, 2
34, 5 48, 3
3, 5 3, 4
15, 5 62, 1
5, 5 37, 4
2, 2 0, 0
3, 8 58, 3
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
2. Jenis Sayuran 1.1 Kubis
- Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran - Inf. Ketersediaan Sarana Produksi
- Inf. Ketersediaan Permodalan - Inf. Teknologi Pengolahan Hasil
- Inf. Dukungan Pemasaran - Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran
1.2 Kentang - Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran
- Inf. Ketersediaan Sarana Produksi - Inf. Ketersediaan Permodalan
- Inf. Teknologi Pengolahan Hasil - Inf. Dukungan Pemasaran
- Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran 1.3 Cabai
- Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran - Inf. Ketersediaan Sarana Produksi
- Inf. Ketersediaan Permodalan - Inf. Teknologi Pengolahan Hasil
- Inf. Dukungan Pemasaran - Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran
9, 0 2, 3
85, 4 82, 0
23, 6 1, 2
14, 7 8, 0
82, 6 78, 7
44, 0 0, 0
14, 4 0, 0
92, 1 84, 2
27, 6
0, 0 75, 3
43, 8 13, 5
16, 9 68, 5
44, 9
77, 3 65, 3
10, 7 20, 0
50, 7 32, 0
72, 4 63, 2
7, 9 15, 8
65, 8 43, 4
15, 7 53, 9
1, 1 1, 1
7, 9 53, 9
8, 0 26, 7
6, 7 1, 3
5, 3 68, 0
13, 2 36, 8
0, 0 0, 0
6, 6 56, 6
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
Total Petani - Inf. Peningk.Prod. dan Mutu Sayuran
- Inf. Ketersediaan Sarana Produksi - Inf. Ketersediaan Permodalan
- Inf. Teknologi Pengolahan Hasil - Inf. Dukungan Pemasaran
- Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran 12, 5
3, 3 86, 7
81, 7 31, 2
0, 4 75, 0
56, 7 10, 8
17, 5 62, 1
40, 4 12, 5
40, 0 2, 5
0, 8 6, 7
59, 2 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0
Sumber: Data Primer 2006 Keterangan: = Tingkat kebutuhan petani berbeda nyata p 0,01 menurut tipologi
petani dan jenis sayuran
Sedangkan informasi yang terendah tingkat kebutuhannya, adalah informasi tentang: ketersediaan permodalan 87 dan teknologi pengolahan hasil
82. Hal ini, ada hubungannya dengan kurangnya minat petani berurusan dengan lembaga keuangan formal untuk meminjam modal karena prosedur yang
berbelit-belit dan harus meminjam dalam jumlah yang relatif besar. Apabila mereka membutuhkan modal, dapat dengan cepat diperoleh dari tengkulak dan
ada jaminan pasar hasil sayurannya. Pada dasarnya, petani membutuhkan berbagai informasi pertanian untuk
usahataninya karena mereka juga ingin meningkatkan pendapatannya, hanya saja faktor modal merupakan penghambat. Jenis-jenis informasi pertanian ini
semuanya dibutuhkan, baik oleh petani maju maupun petani berkembang. Petani maju 62 dan petani berkembang 58 membutuhkan informasi ‘Metode
Analisis Usahatani Sayuran’ dengan tingkat kebutuhan berada pada kategori tinggi. Sedangkan, tingkat kebutuhan terhadap informasi teknologi pengolahan
hasil, juga masih rendah 82 karena faktor keterbatasan modal yang dimliliki petani, termasuk belum memikirkan menghasilkan sayuran dalam bentuk olahan.
Pada Tabel 24, juga dapat diperhatikan bahwa tingkat kebutuhan petani maju 81 akan informasi ketersediaan permodalan dan informasi teknologi
pengolahan hasil 64 berada pada kategori rendah. Sedangkan petani berkembang 89, tingkat kebutuhan akan informasi ketersediaan permodalan
dan informasi teknologi pengolahan hasil berada pada kategori rendah. Kebutuhan, tidaklah selalu bersifat absolut namun masalah akan dapat terjadi
apabila usulan yang disampaikan oleh petani kepada penyuluhagen pembaruan bukan ‘kebutuhan’ tetapi ‘keinginan’ mereka. Kebutuhan, merupakan kesenjangan
atau jarak antara pengukuran atau persepsi terhadap performan yang diharapkan dengan performan yang teramati atau yang aktual.
Adanya perbedaan tingkat kebutuhan terhadap berbagai jenis informasi pertanian akan mempengaruhi upaya penyediaan berbagai informasi yang
dibutuhkan petani. Di sini, penyuluh sedapat mungkin membantu petani untuk mengenali secara tepat berbagai informasi yang dibutuhkannya. Tabel 25
menunjukkan bahwa ada hubungan antara tuntutan kebutuhan dan memperoleh
informasi pertanian dengan penyediaan informasi pertanian.
Tabel 25 Hubungan antara Peubah Tuntutan Kebutuhan dan Memperoleh Informasi dengan Peubah Penyediaan Informasi Pertanian
Pe ubah X
6
Penyediaan Informasi Pertanian X
6
Peubah X
2
Relevansi X
6.1
Akurasi X
6.2
Kelengkapan X
6.3
Ketajaman X
6.4
Ketepatan X
6.5
Keterwakilan X
6.6
Total X
6
Tuntutan Kebutuhan Inf. Pertanian X
2
1. Inf. Peningk. Produksi dan Mutu Sayuran X
3.1
0.37 0.14
0.37 0.38
0.39 0.38
0.39 2. Informasi Ketersediaan Sarana Produksi X
2.2
0.52 -0.04
0.47 0.53
0.51 0.54
0.53 3. Informasi Ketersediaan Permodalan X
2.3
0.27 0.08
0.26 0.29
0.33 0.28
0.31 4. Inf. Teknologi Pengolahan Hasil Sayuran X
2.4
0.35 0.17
0.37 0.39
0.38 0.39
0.40 5. Informasi Dukungan Pemasaran Sayuran X
2.5
0.51 0.05
0.47 0.53
0.52 0.55
0.54 6. Inf. Metode Analisis Usahatani Sayuran X
2.6
-0.04 0.14
0.02 -0.03
-0.06 -0.003
-0.02 Total X
2
0.49 0.09
0.47 0.51
0.51 0.52
0.53
Sumber: Data Primer diolah, 2006 Keterangan: = Korelasi nyata p 0,05
= Korelasi nyata p 0,01
Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi petani, ada perbedaan dalam hal tingkat kebutuhan akan berbagai jenis informasi
pertanian, yaitu berbeda nyata p0,01 untuk informasi: peningkatan produksi dan mutu sayuran, teknologi pengolahan hasil, dan informasi dukungan
pemasaran, tetapi tidak berbeda nyata p0,05 untuk informasi: ketersediaan sarana produksi, ketersediaan permodalan, dan metode analisis usahatani sayuran.
Berdasarkan jenis sayuran yang dihasilkan, kebutuhan informasi petani kubis, petani kentang, dan petani cabai berbeda nyata p0,01 untuk informasi:
ketersediaan sarana produksi dan dukungan pemasaran, tetapi tidak berbeda nyata p0,05 untuk informasi: peningkatan produksi dan mutu sayuran, ketersediaan
permodalan, teknologi pengolahan hasil, dan metode analisis usahatani sayuran. Selanjutnya berdasarkan lokasi, tingkat kebutuhan akan berbagai informasi
berbeda nyata p0,01 untuk informasi: peningkatan produksi dan mutu sayuran, ketersediaan sarana produksi, ketersediaan permodalan, teknologi pengolahan
hasil, dan dukungan pemasaran, tetapi tidak berbeda nyata p0,05 untuk informasi metode analisis usahatani sayuran.
Dengan demikian, penyuluh dituntut untuk selalu memperbarui atau mengkaji ulang kebutuhan informasi dari petani sebagai komunitas binaannya
secara periodik, karena seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan lingkungan sosial kondisi sosial ekonomi, maka kebutuhan petani dapat saja
berubah. Hal ini diperlukan agar komunitas binaan petani dan kelompoknya merasakan adanya perhatian dan keseriusan penyuluh terhadap mereka.
Jika kebutuhan informasi petani sayuran dikaitkan pemanfaatannya dengan aspek-aspek manajemen usahatani sayuran merencanakan, melaksanakan,
mengevaluasi, dan mengatasi masalah usahatani pada penelitian ini, maka informasi yang dibutuhkan pada masing-masing aspek adalah:
Perencanaan usahatani , membutuhkan informasi: 1 peningkatan
produksi dan mutu sayuran, yakni: rencana produksi, jenis sayuran yang diminati pasar, pola tanam satu tahun, prakiraan iklimcuaca, jenis, dan dosisjumlah sarana
produksi yang digunakan, 2 ketersediaan sarana produksi, yakni: jenis sarana produksi bibit, pupuk, pestisida yang tersedia, 3 ketersediaan permodalan,
yakni: skim pola kredit usahatani dan lembaga penyedia modal, 4 teknologi pengolahan hasil sayuran, yakni: jenis sayuran yang tahan lama disimpan, jenis
sayuran dalam bentuk olahan, dan pabrik-pabrik yang mengolah hasil sayuran, 5 dukungan pemasaran, yakni: lokasi pemasaran, harga sayuran, jumlah, dan mutu
sayuran yang dibutuhkan, 6 analisis usahatani sayuran, yakni: biaya yang dibutuhkan dan keuntungan diperoleh dalam satu kali proses produksi.
Pelaksanaan usahatani , membutuhkan informasi: 1 cara
pengorganisasian penyediaan sarana produksi, 2 pengorganisasian penyediaan dan penggunaan permodalan, 3 teknologi budidayaproduksi, 4 teknologi
panen dan pasca panen, dan 5 cara pengawasan produksi. Evaluasi usahatani, membutuhkan informasi: 1 prosedur kerja usahatani, 2 cara menilai proses
pelaksanaan usahatani, 3 jenis-jenis pengembanganperbaikanperubahan yang mungkin terjadi selama pelaksanaan usahatani, dan 4 hambatan-hambatan yang
mungkin terjadi selama pelaksanaan usahatani. Selanjutnya, dalam Mengatasi masalah usahatani
, membutuhkan informasi: 1 teknik manajerial usahatani, 2 rantai pemasaran sayuran, dan 3 proses produksi, dan perusahaan mitra.
Kondisi Eksternal Petani Sayuran
Indikator kondisi eksternal petani sayuran yang dilihat pada penelitian ini, adalah: lingkungan fisik, lingkungan sosial, ketersediaan informasi pertanian,
kondisi megapolitan, dan kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura. Analisis terhadap kekondusifan faktor lingkungan
berdasarkan tipologi petani dan lokasi petani, dapat disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26 Kekondusifan Faktor Lingkungan Petani Sayuran
Uraian Kekondusifan Faktor Lingkungan
Tidak Kondusif Kurang Kon
dusif Kondusif
Jumlah 1. Tipologi Petani
1.1 Petani Maju
- Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial
- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan
- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan
Pembangunan Subsektor Hortikultura 1.2 Petani
Berkembang - Lingkungan Fisik
- Lingkungan Sosial - Ketersediaan Informasi Pertanian
- Kondisi Megapolitan - Kebijakan Bidang Penyuluhan dan
Pembangunan Subsektor Hortikultura 0, 0
0, 0 17, 2
62, 1 50, 0
0, 5 0, 5
13, 7 85, 7
76, 9 70, 7
6, 9 32, 8
32, 8 36, 2
74, 2 7, 2
56, 0 14, 3
19, 3 29, 3
93, 1 50, 0
5, 1 13, 8
25, 3 92, 3
30, 3 0, 0
3, 8 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0
2. Lokasi 2.1 Bogor
- Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial
- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan
- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan
Pembangunan Subsektor Hortikultura 2.2 Cianjur
- Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial
- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan
- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan
Pembangunan Subsektor Hortikultura 2.3 Bandung
- Lingkungan Fisik - Lingkungan Sosial
- Ketersediaan Informasi Pertanian - Kondisi Megapolitan
- Kebijakan Bidang Penyuluhan dan
Pembangunan Subsektor Hortikultura 0, 0
0, 0 10, 0
62, 5 48, 7
1, 2 1, 3
3, 7 88, 8
71, 3
0, 0 0, 0
30, 0 88, 7
91, 3 77, 5
1, 2 48, 8
33, 8 32, 5
85, 0 5, 0
53, 8 11, 2
28, 7
57, 5 15, 0
48, 7 11, 3
8, 7 22, 5
98, 8 41, 2
3, 7 18, 8
13, 8 93, 7
42, 5 0, 0
0, 0
42, 5 85, 0
21, 3 0, 0
0, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0
Total Petani - Lingkungan Fisik
- Lingkungan Sosial - Ketersediaan Informasi Pertanian
- Kondisi Megapolitan - Kebijakan Bidang Penyuluhan dan
Pembangunan Subsektor Hortikultura 0, 4
0, 4 14, 6
80, 0 70, 4
73, 3 7, 1
50, 4 18, 8
23, 3 26, 3
92, 5 35, 0
1, 2 6, 3
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0
Total 1, 3
87, 1 11, 6
100, 0
Sumber: Data Primer 2006 Keterangan: = Kekondusifan faktor lingkungan berbeda nyata p 0,01 menurut
tipologi petani dan lokasi
Dari data yang digambarkan pada Tabel 26, dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan kekondusifan faktor lingkungan adalah, 95 petani menyatakan
lingkungan sosial merupakan faktor lingkungan yang kondusif, 65 petani menyatakan tingkat ketersediaan informasi pertanian kurang kondusif, 74 petani
menyatakan lingkungan fisik yang kurang kondusif. Selanjutnya, 99 petani
menyatakan kondisi megapolitan tidak kondusif dan 94 petani yang menyatakan kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura juga tidak
kondusif. Kondisi ini menunjukkan rendahnya dukungan pemerintah terhadap petani hortikultura secara keseluruhan, termasuk petani sayuran.
Lingkungan fisik petani, merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan petani dalam berusahatani. Lingkungan fisik yang dilihat, adalah:
kondisi infrastruktur, sarana angkutan hasil pertanian, saluran pengairan, modal usaha, air, lahan, iklimcuaca, sarana dan prasarana, dan tenaga kerja. Apabila
kondisi lingkungan fisik cukup kondusif, maka akan memotivasi petani dalam berusahatani yang pada akhirnya akan meningkatkan keinovatifan dan
kesadarannya untuk mencari informasi yang dibutuhkan. Fakta menunjukkan, bahwa petani sulit mendapatkan informasi iklimcuaca karena BPPUPTD tidak
difasilitasi dengan alat pengukur curah hujan. Di samping itu, belum tersedia sarana penanganan pasca panen, seperti gudang pendingin yang memadai yang
semestinya dapat difasilitasi pemerintah, sehingga petani tidak berdaya ketika harga sayuran anjlok pada saat panen raya karena tidak tahan disimpan lama.
Dilain pihak, petani tidak mampu menyediakan sarana pendingin karena modal yang ada digunakan untuk sarana produksi dan menutupi kebutuhan sehari-hari.
Demikian juga, kondisi lingkungan sosial yang kondusif, tidak terlepas dari dukungan norma masyarakat atau nilai budaya setempat, dukungan keluarga
dan tokoh masyarakat, serta interaksi sosial petani dalam masyarakat. Poerwanto 2000 mengemukakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan antar dua atau
lebih individu yang saling mempengaruhi dan mengubah tingkah laku yang lain. Petani yang berada dalam sistem sosial, berusaha menyesuaikan perilakunya
dalam berusahatani dengan norma masyarakat yang disepakati bersama dan berlaku di daerahnya. Semakin intensif mereka berinteraksi, maka semakin besar
kemungkinan mereka untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Dukungan tokoh masyarakat dapat berperan sebagai sumber informasi
pertanian, karena interaksinya cukup luas dengan masyarakat di luar daerahnya. Kondisi ini semestinya dapat dimanfaatkan oleh petani dengan sering bergaul dan
bekerjasama dengan tokoh masyarakat setempat. Selain itu, aggota keluarga
berperan membantu petani dalam mempertimbangkan pendapat dan pengambilan keputusan untuk memajukan dan mengembangkan usahataninya.
Nilai budaya yang dipedomani petani, juga akan mempengaruhi perilaku dan interaksi sosialnya karena sudah merupakan suatu sistem nilai. Menurut
Rogers dan Shoemaker 1971, sistem nilai atau norma sistem merupakan pedoman tingkah laku yang telah mapan bagi anggota suatu sistem sosial tertentu.
Setiap daerah mempunyai sistem nilai yang berbeda-beda, menyebabkan kondisi sosialnya akan berbeda pula.
Tingkat ketersediaan informasi pertanian di lokasi secara lokal, media massa cetak dan elektronik, penyuluh, BPPUPTD, lembaga penyuluhan, dan
lembagapusat informasi lainnya serta kualitas informasi yang tersedia masih rendah kurang kondusif, terutama informasi tentang keadaan faktual
pelaksanaan usahatani yang akan dilaksanakan dan potensi pengembangan agribisnis sayuran termasuk informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah
dalam pembangunan subsektor hortikultura. Informasi yang ada di daerahnya kurang mampu menjawab masalah mereka, sehingga informasi tersebut kurang
berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengatasi masalah usahataninya. Tabel 27 menunjukkan
bahwa ada hubungan antara kekondusifan faktor lingkungan dengan penyediaan informasi pertanian.
Tabel 27 Hubungan antara Peubah Kekondusifan Faktor Lingkungan dengan Peubah Penyediaan Informasi Pertanian
Sumber: Data Primer diolah, 2006 Keterangan: = Korelasi nyata p 0,05 dan = Korelasi nyata p 0,01
Tingkat ketersediaan informasi pertanian, erat kaitannya dengan tingkat kecukupan informasi pertanian bagi petani sayuran. Artinya makin tinggi tingkat
ketersediaan informasi pertanian, maka tingkat kecukupan informasi pada petani
Peubah X
6
Penyediaan Informasi Pertanian X
6
Peubah X
3
Relevansi X
6.1
Akurasi X
6.2
Kelengkapan X
6.3
Ketajaman X
6.4
Ketepatan X
6.5
Keterwakilan X
6.6
Total X
6
Kekondusifan Faktor Lingkungan X
3
1. Lingkungan Fisik X
3.1
0.07 -0.21
0.03 0.08
0.05 0.09
0.05 2. Lingkungan Sosial X
3.2
0.15 0.38
0.18 0.19
0.21 0.19
0.22 3. Ketersediaan Informasi Pertanian X
3.3
0.05 0.53
0.06 0.05
0.07 0.05
0.11 4. Kondisi Megapolitan X
3.4
0.58 0.05
0.56 0.59
0.57 0.58
0.59 5. Kebijakan Penyuluhan Pembangunan
Subsektor Hortikultura X
3.5
0.67 0.04
0.59 0.68
0.64 0.67
0.67 Total X
3
0.45 0.28
0.39 0.47
0.45 0.47
0.48
sayuran juga makin tinggi. Selanjutnya kawasan megapolitan, juga belum kondusif bagi petani dalam pengembangan usahatani sayuran karena belum ada
pengaturan jaringan kerjasama dalam satu kawasan, seperti Provinsi DKI.Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten yang menjadi kota satelit Jakarta, baik
di bidang pemasaran maupun dalam hal pertukaran informasi pertanian. Kerjasama satu kawasan ini dibutuhkan untuk pengaturan pola tanam dan
produksi masing-masing jenis sayuran yang diminati pasar, sehingga tidak terjadi kelebihan produksi pada saat panen yang menyebabkan harga sayuran turun
drastis. Kondisi ini, akan mengurangi motivasi petani dalam berusahatani sayuran dalam skala usaha yang lebih luas dan tidak mampu merencanakan usahataninya
pada masa yang akan datang. Kebijakan di bidang penyuluhan, juga belum mendukung usahatani
sayuran terutama dalam hal: dukungan kelembagaan penyuluhan, lembaga penyedia informasi, ketersediaan sarana penyuluh dan prasarana penyuluhan di
BPPUPTD. Di samping itu, penyuluh yang ada saat ini belum memiliki kompetensi yang memadai, utamanya belum memiliki kemampuan dan wawasan
dalam mengembangkan agribisnis sayuran. Fakta di lapangan menunjukkan, umumnya penyuluh lebih menguasai bidang usahatani komoditas padi, jagung,
kedelai, dan komoditas pangan lainnya yang merupakan komoditas prioritas dan politis. Kurangnya pelatihan bagi penyuluh, menyebabkan rendahnya kompetensi
penyuluh di bidang usahatani sayuran. Kondisi ini akan mempengaruhi motivasi petani untuk mencari informasi
pertanian, karena tidak dapat memanfaatkan penyuluh sebagai sumber dan saluran informasi yang mereka butuhkan. Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan
antara kekondusifan faktor lingkungan dengan kondisi internal petani, seperti disajikan pada Tabel 28. Faktor lingkungan ini, juga berpengaruh terhadap
motivasi dan kemampuan petani dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengatasi masalah usahataninya. Hubungan antara
kekondusifan faktor lingkungan dengan tingkat keberdayaan petani sayuran, dapat diperhatikan pada Tabel 29.
Tabel 28 Hubungan antara Peubah Kekondusifan Faktor Lingkungan dengan Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran
Peubah X
3
Kekondusifan Faktor Lingkungan X
3
Peubah X
1
Lingkungan Fisik X
3.1
Lingkungan Sosial X
3.2
Ketersediaan Informasi
Pertanian X
3.3
Kondisi Megapolitan
X
3.4
Kebijakan Penyul. Pemb. Subsektor
Pertanian X
3.5
Total X
3
Karakteristik Pribadi Petani Sayuran X
1
1. Status Sosial Ekonomi X
1.1
0.18 0.24
0.16 0.38
0.45 0.39
2. Kesadaran Pentingnya Informasi X
1.2
0.02 0.55
0.67 0.25
0.24 0.55
3. Kemampuan Mengakses Informasi X
1.3
0.01 0.54
0.53 0.46
0.49 0.66
4. Motivasi terhadap Usahatani Sayuran X
1.4
0.23 0.32
0.19 0.14
0.17 0.30
5. Keinovatifan X
1.5
-0.27 -0. 08
0.07 -0.16
-0.14 -0.13
Total X
1
0. 05 0.53
0.58 0.35
0.40 0.60
Sumber: Data Primer diolah, 2006 Keterangan: = Korelasi nyata p 0,05
= Korelasi nyata p 0,01
Tabel 29 Hubungan antara Peubah Kekondusifan Faktor Lingkungan dengan Peubah Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran
Sumber: Data Primer diolah, 2006 Keterangan: = Korelasi nyata p 0,05
= Korelasi nyata p 0,01
Selanjutnya, hasil uji beda menunjukkan bahwa kekondusifan faktor lingkungan berdasarkan tipologi petani berbeda nyata p0,01 untuk: lingkungan
sosial, kondisi megapolitan, serta kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan sub sektor hortikultura, tetapi tidak berbeda nyata p0,05 untuk: lingkungan
fisik, dan ketersediaan informasi pertanian. Demikian juga berdasarkan lokasi, kekondusifan faktor lingkungan berbeda nyata p0,01 untuk: lingkungan fisik,
dan ketersediaan informasi pertanian, kondisi megapolitan, serta kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura, tetapi tidak berbeda nyata
p0,05 untuk lingkungan sosial.
Peubah X
3
Kekondusifan Faktor Lingkungan X
3
Peubah Y
1
Lingkungan Fisik X
3.1
Lingkungan Sosial X
3.2
Ketersediaan Informasi
Pertanian X
3.3
Kondisi Megapolitan
X
3.4
Kebijakan Penyul. Pemb. Subsektor
Pertanian X
3.5
Total X
3
Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran Y
1
1. Kemampuan Merencanakan Usahatani Sayuran Y
1.1
0.30 0.16
-0.11 0.51
0.56 0.34
2. Kemampuan Melaksanakan Usahatani Sayuran Y
1.2
0.26 0.15
-0.09 0.51
0.53 0.36
3. Kemampuan Mengevaluasi Usahatani Sayuran Y
1.3
0.16 0.22
0.005 0.32
0.36 0.30
4. Kemampuan Mengatasi Masalah Usahatani Sayuran Y
1.4
0.24 0.13
-0.02 0.21
0.22 0.19
Total Y
1
0.29 0.19
-0.08 0.51
0.56 0.38
Dengan demikian, kondisi eksternal petani sayuran seperti: lingkungan fisik, lingkungan sosial, ketersediaan informasi pertanian, kondisi megapolitan,
dan kebijakan penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura, merupakan
kekondusifan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi karakteristik pribadi petani sayuran, penyediaan informasi pertanian, dan tingkat keberdayaan petani.
Kesiapan Sumber Informasi Menyediakan dan Menyalurkan Informasi Pertanian
Kesiapan sumber informasi pertanian pada penelitian ini ditentukan dari kualitas sumber informasi pertanian dengan melihat kondisi dari empat indikator,
yaitu: ketersediaan sumber informasi, kemampuan sumber informasi menyediakan informasi, kualitas pelayanan sumber informasi, dan kualitas saluran informasi.
Analisis terhadap kualitas sumber informasi berdasarkan tipologi dan lokasi petani, dapat disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30 Kualitas Sumber Informasi Pertanian
Uraian Kualitas Sumber Informasi Pertanian
Rendah Sedang
Tinggi Jumlah
1. Tipologi Petani 1.1 Petani
Maju - Ketersediaan Sumber Informasi
- Kemampuan Menyediakan Informasi - Kualitas Pelayanan
- Kualitas Saluran Informasi 1.2 Petani
Berkembang - Ketersediaan Sumber Informasi
- Kemampuan Menyediakan Informasi - Kualitas Pelayanan
- Kualitas Saluran Informasi 31, 0
27, 6 34, 5
34.,4
46, 2 45, 1
46, 2 62, 1
50, 0 62, 1
58, 6 25, 9
47, 8 50, 0
50, 5 27, 5
19, 0 10, 3
6, 9 39, 7
6, 0 4, 9
3, 3 10, 4
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
2. Lokasi 2.1 Bogor
- Ketersediaan Sumber Informasi - Kemampuan Menyediakan Informasi
- Kualitas Pelayanan - Kualitas Saluran Informasi
2.2 Cianjur - Ketersediaan Sumber Informasi
- Kemampuan Menyediakan Informasi - Kualitas Pelayanan
- Kualitas Saluran Informasi 2.3 Bandung
- Ketersediaan Sumber Informasi - Kemampuan Menyediakan Informasi
- Kualitas Pelayanan - Kualitas Saluran Informasi
33, 8 30, 0
33, 7 53, 7
22, 5 20, 0
22, 5 31, 2
71, 2 72, 5
73, 7 81, 2
51, 2 58 ,8
56, 3 13, 8
65, 0 72, 5
75, 0 56, 3
28, 8 27, 5
26, 3 11, 3
15, 0 11, 2
10, 0 32, 5
12, 5 7, 5
2, 5 12, 5
0, 0 0, 0
0, 0 7, 5
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
Total Petani - Ketersediaan Sumber Informasi
- Kemampuan Menyediakan Informasi - Kualitas Pelayanan
- Kualitas Saluran Informasi 42, 5
40, 8 43, 3
55, 4 48, 3
52, 9 52, 5
27, 1 9, 2
6, 3 4, 2
17, 5 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 Total
41, 7 52, 1
6, 2 100, 0
Sumber: Data Primer 2006 Keterangan: = Kualitas sumber informasi pertanian berbeda nyata p 0,01
menurut tipologi petani dan lokasi
Secara keseluruhan kualitas sumber informasi masih rendah dengan kondisi masing-masing indikator, yakni: hanya 9 petani yang menyatakan
bahwa ketersediaan sumber informasi berada pada kategori tinggi, hanya 6 petani yang menyatakan bahwa kemampuan menyediakan informasi berada pada
kategori tinggi, hanya 4 petani yang menyatakan kualitas pelayanan berada pada kategori tinggi, dan hanya 18 yang menyatakan bahwa kualitas saluran
informasi berada pada kategori tinggi. Kualitas sumber informasi menurut tipologi petani juga berbeda, karena ada pebedaan jenis informasi yang dibutuhkan petani
maju dan petani berkembang. Tabel 31 menunjukkan bahwa ada hubungan antara kualitas sumber informasi dengan penyediaan informasi. Maknanya adalah,
apabila sumber informasi dan saluran informasi tidak tersedia dan tidak siap untuk menyalurkan informasi maka rancangan penyediaan informasi petani tidak akan
bermanfaat. Tabel 31 Hubungan antara Peubah Kualitas Sumber Informasi dengan
Peubah Penyediaan Informasi Pertanian
Sumber: Data Primer diolah, 2006 Keterangan: = Korelasi nyata p 0,05 dan = Korelasi nyata p 0,01
Selanjutnya, hasil analisis uji beda menunjukkan bahwa berdasarkan tipologi petani, kualitas sumber informasi berbeda nyata p0,01 untuk indikator:
ketersediaan sumber informasi, kemampuan menyediakan informasi, kualitas saluran informasi dan berbeda nyata p0,05 untuk indikator kualitas pelayanan.
Sedangkan, kualitas sumber informasi berdasarkan lokasi berbeda nyata p0,01 untuk semua indikator. Dengan demikian, kesiapan sumber informasi pertanian
ditentukan oleh kualitas masing-masing faktor yakni: ketersediaan sumber informasi serta kemampuannya menyediakan dan menyalurkan informasi yang
dibutuhkan petani untuk mengembangkan usahatani sayuran. Di samping itu, kesiapan atau kualitas sumber informasi dapat mempengaruhi penyediaan
informasi pertanian. Penjelasan m asing-masing indikator adalah sebagai berikut:
Peubah X
6
Penyediaan Informasi Pertanian X
6
Peubah X
4
Relevansi X
6.1
Akurasi X
6.2
Kelengkapan X
6.3
Ketajaman X
6.4
Ketepatan X
6.5
Keterwakilan X
6.6
Total X
6
Kualitas Sumber Informasi Pertanian X
4
1. Ketersediaan Sumber Informasi X
4.1
0.07 0.78
0.16 0.07
0.06 0.11
0.16 2. Kemampuan Menyediakan Informasi X
4.2
0.08 0.79
0.15 0.08
0.06 0.10
0.16 3. Pelayanan X
4.3
0.12 0.80
0.19 0.10
0.08 0.15
0.20 4. Kualitas Saluran Informasi X
4.4
0.16 0.58
0.22 0.19
0.21 0.19
0.24 Total X
4
0.13 0.81
0.21 0.14
0.13 0.16
0.22
Ketersediaan Sumber Informasi
Sumber informasi yang dilihat pada penelitian ini, adalah: penyuluh, Mantri Tani, ketua kelompok tani, petani maju, sesama petani, pedagang sarana
produksi, tengkulak, koperasi, BPPUPTD, dan petugas lainnya LSM, swasta. Analisis terhadap ketersediaan berbagai sumber informasi ini, dapat disajikan
pada Tabel 32. Tabel 32 Ketersediaan Sumber Informasi Pertanian
Uraian Ketersediaan Sumber Informasi Pertanian
Td k Tersedia Ragu-ragu
Tersedia Jumlah
1. Petani Maju
- Penyuluh - Mantri
Tani - Petugas lain LSM, swasta
- Ketua Kelompok
Tani - Petani Maju
- Sesama Petani
- Pedagang Saprodi
- Tengkulak - Koperasi
- BPP UPTD 2. Petani
Berkembang - Penyuluh
- Mantri Tani
- Petugas lain LSM, Swasta - Ketua
Kelompok Tani
- Petani Maju - Sesama
Petani - Pedagang
Saprodi - Tengkulak
- Koperasi - BPP UPTD
34, 5 91, 4
79, 3 29, 3
37, 9
0, 0 10, 3
25, 9 87, 0
50, 0
47, 8 93, 5
84, 1 53, 3
56, 6
2, 7 9, 9
17, 0 96, 2
72, 5 12, 1
1, 7 20, 7
12, 1 22, 4
13, 8 15, 5
19, 0
3, 4 6, 9
19, 2 4, 9
0, 0 13, 2
12, 6 7, 7
11, 0 12, 1
0, 5 6, 0
53, 4 6, 9
0, 0 58, 6
39, 7 86, 2
74, 2 55, 1
8, 6 43, 1
33, 0 1, 6
15 ,9 33, 5
30, 8 89, 6
79, 1 70, 9
3, 3 21, 5
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
2. Total Petani - Penyuluh
- Mantri Tani
- Petugas lain LSM, Swasta - Ketua
Kelompok Tani
- Petani Maju - Sesama
Petani - Pedagang
Saprodi - Tengkulak
- Koperasi - BPP UPTD
44, 6 92, 9
82, 9 47, 5
52, 1 2, 1
10, 0 19, 2
94, 2 67, 1
17, 5 4, 2
5, 0 12, 9
15, 0 9, 2
12, 1 13, 7
1, 2 6, 3
37, 9 2, 9
12, 1 39, 6
32, 9 88, 7
77, 9 67, 1
4, 6 26, 6
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
Sumber: Data Primer 2006 Keterangan: = Ketersediaan sumber informasi berbeda nyata p 0,01
menurut tipologi petani
Secara keseluruhan ketersediaan sumber informasi pertanian masih rendah, dengan ketersediaan masing-masing sumber informasi, yakni: sesama
petani 89, pedagang saprodi 78, tengkulak 67, ketua kelompok tani 40, penyuluh 38, petani maju 33 BPPUPTD 27, petugas lainnya
12, koperasi 5, dan Mantri Tani 3. Khusus untuk penyuluh, ada 45 petani yang menyatakan penyuluh tidak ada di wilayahnya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa jumlah penyuluh di lapangan masih terbatas dan penyuluh tidak melakukan kegiatan penyuluhan kecuali jika dipanggil oleh petani.
Berdasarkan hasil analisis uji beda, ketersediaan sumber informasi
menurut tipologi petani berbeda nyata p0,01. Petani berkembang, umumnya mencari informasi kepada tengkulak atau pedagang pengumpul, pedagang sarana
produksi, dan sesama petani, jarang mau mencari informasi pasar dengan kesadaran sendiri. Sedangkan petani maju, atas prakarsa sendiri biasanya
mendapatkan informasi pasar dengan cara mensurvai sendiri atau langsung dari tangan pertama
, baik dari pedagang pasar induk maupun mitra yang lain. Informasi dari tangan pertama ini, sering bias setelah sampai di lapangan yang
dibawakan oleh pedagang setempat yang merupakan tangan kedua. Petani maju tidak terpengaruh dengan informasi yang ada di lapangan, tetapi informasi pasar
dari tangan pertama lebih mendorongnya untuk mencapai hasil yang lebih tinggi. Dengan demikian, sumber-sumber informasi yang diamati pada penelitian
ini seperti: penyuluh, Mantri Tani, ketua kelompok tani, petani maju, sesama petani, pedagang sarana produksi, tengkulak, koperasi, BPPUPTD, dan petugas
lainnya LSM, swasta, belum dirasakan petani keberadaannya sebagai sumber informasi pertanian di wilayahnya.
Kemampuan Menyediakan Informasi
Sumber informasi yang diteliti, adalah: penyuluh, Mantri Tani, ketua kelompok tani, petani maju, sesama petani, pedagang saprodi, tengkulak,
koperasi, BPP, dan petugas lainnya. Analisis terhadap kemampuan sumber informasi menyediakan informasi pertanian, dapat disajikan pada Tabel 33.
Secara keseluruhan persepsi petani terhadap kemampuan sumber informasi menyediakan informasi pertanian, umumnya masih rendah kecuali dari sesama
petani 83. Kemampuan masing-masing sumber informasi dalam menyediakan informasi pertanian, adalah: pedagang saprodi 53, tengkulak 48, ketua
kelompok tani 29, petani maju 22, penyuluh 17, petugas lainnya 15, BPPUPTD 11, koperasi 0,4, dan tidak ada petani 0 yang
menyatakan bahwa Mantri Tani mampu sebagai sumber informasi pertanian. Khusus untuk penyuluh, ada 52 petani yang menyatakan penyuluh tidak mampu
menyediakan informasi yang dibutuhkan petani, karena terbatasnya wawasan dan kurangnya akses penyuluh terhadap sumber-sumber informasi.
Tabel 33 Kemampuan Sumber Informasi Menyediakan Informasi Pertanian
Uraian Kemampuan Sumber Informasi Pertanian
Tidak Mampu Kurang Mampu
Mampu Jumlah
1. Petani Maju
- Penyuluh - Mantri Tani
- Petugas lain LSM,Swasta - Ketua Kelompok Tani
- Petani Maju - Sesama Petani
- Pedagang Saprodi - Tengkulak
- Koperasi - BPP UPTD
2. Petani Berkembang
- Penyuluh - Mantri Tani
- Petugas lain LSM, Swasta - Ketua Kelompok Tani
- Petani Maju - Sesama Petani
- Pedagang Saprodi - Tengkulak
- Koperasi - BPP UPTD
39, 7 94, 8
79, 3 31, 0
41, 4 0, 1
12, 1 25, 9
91, 4 53, 4
56, 0 94, 5
84, 1 58, 2
57, 7 3, 3
11, 5 18, 1
96, 2 75, 8
25, 8 5, 2
0, 0 27, 6
27, 6 19, 9
37, 9
31,0 8, 6
19, 0 32, 5
5, 5 3, 3
17, 0 23, 6
13, 2 34, 1
33, 0 3, 3
18, 7 34, 5
0, 0 20, 7
41, 4 31, 0
81, 0 50, 0
43, 1 0, 0
27, 6
11, 5 0, 0
12 ,6 24, 8
18, 7 83, 5
54, 4 48, 9
0, 5 5, 5
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
Total Petani - Penyuluh
- Mantri Tani - Petugas lain LSM, Swasta
- Ketua Kelompok Tani - Petani Maju
- Sesama Petani - Pedagang Saprodi
- Tengkulak - Koperasi
- BPP UPTD 52, 1
94, 6 82, 9
51, 6 53, 7
2, 5 11, 7
20, 0 95, 0
70, 4 30, 8
5, 4 2, 5
19, 6 24, 6
14, 6 35, 0
32, 5 4, 6
18, 8 17, 1
0, 0 14, 6
28, 8 21, 7
82, 9 53, 3
47, 5
0, 4 10, 8
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
100, 0 100, 0
Sumber: Data Primer 2006 Keterangan: = Kemampuan sumber informasi berbeda nyata p 0,01 menurut
tipologi petani
Kondisi ini tidak terlepas dari terbatasnya sarana penyuluh untuk akses ke sumber-sumber informasi dan kurangnya pelatihan bagi para penyuluh dalam
meningkatkan kemampuannya kognitif dan psikomotorik, sehingga tidak jarang petani maju lebih berkembang wawasanpengetahuannya daripada penyuluh
karena adanya kesadaran petani maju untuk mencari informasi. Berdasarkan hasil
analisis uji beda menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap kemampuan semua sumber informasi menurut tipologi petani, berbeda nyata p0,01, karena jenis-
jenis informasi yang dibutuhkan oleh masing-masing petani juga berbeda.
Dengan demikian, kemampuan sumber-sumber informasi ini dalam menyediakan informasi masih terbatas pada informasi pasar di tingkat petani dan
informasi tentang jenis-jenis sarana produksi yang tersedia di pasar atau di kios- kios. Artinya, belum semua jenis informasi yang dibutuhkan petani sayuran
tersedia pada sumber informasi yang diamati pada penelitian ini.
Kualitas Pelayanan Sumber Informasi
Aspek pelayanan merupakan faktor yang selayaknya menjadi perhatian dari sumber informasi karena pelayanan yang prima akan memotivasi petani
untuk memanfaatkan informasi yang disediakan. Indikator kualitas pelayanan, adalah: keterpercayaan reliability, keterjaminan assurance, penampilan
tangibility, pemerhatian empathy, dan ketanggapan responsive-ness. Analisis terhadap kualitas sumber-sumber informasi ini, dapat disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34 Kualitas Pelayanan Sumber Informasi Pertanian
Sumber: Data Primer 2006 R = Rendah S = Sedang T = Tinggi
Keterangan: = Kualitas pelayanan berbeda nyata p 0,01menurut tipologi petani Uraian
Kualitas Pelayanan
Keterpercayaan Keterjaminan Penampilan Pemerhatian
Ketanggapam R
S T
R S
T R
S T
R S
T R
S T
1. Petani Maju - Penyuluh
- Mantri Tani
- Petugas lainnya
LSM, Swasta
- Ketua Kelompok Tani - Petani Maju
- Sesama Petani
- Pedagang Saprodi
- Tengkulak - Koperasi
- BPP UPTD 2. Petani Berkembang
- Penyuluh - Mantri
Tani - Petugas
lainnya LSM,
Swasta - Ketua
Kelompok Tani
- Petani Maju - Sesama
Petani - Pedagang
Saprodi - Tengkulak
- Koperasi - BPP UPTD
34 , 5 93, 1
79, 3 29, 3