RAPD Random Amplified Polymorphic DNA

Jati menunjukkan karakter yang bervariasi dalam populasi maupun antar populasi. Berdasarkan penampakan luarnya terdapat beberapa perbedaan morfologi bentuk pohon, batang, dan sifat kayu. Di Jawa terdapat beberapa jenis Jati menurut sifat kayunya yaitu Jati lengo atau Jati malam memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak, berwarna gelap, banyak bercak dan bergaris. Jati sungu berwarna hitam, padat, dan keras, sedangkan Jati werut memiliki kayu yang keras dan serat yang berombak. Jati doreng berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah, sedangkan pada Jati kembang dan Jati kapur kayunya berwarna keputih- putihan karena mengandung banyak kapur, kurang kuat dan kurang awet. Menurut batangnya, Jati dibedakan menjadi Jati ri knobel, Jati pring, Jati gembol, dan Jati kijong. Jati gembol ini memiliki tumor pada batangnya di bagian bawah karena terinfeksi bakteri tanah. Berdasarkan penampakan bentuk batangnya Jati dibedakan menjadi Jati belimbing, Jati knobel, Jati boleng, dan Jati mulus Mahfudz et al. 2004. Selain di Jawa, Jati juga memiliki penyebaran di Muna. Jati Muna terkenal memiliki keunggulan tersendiri dibanding Jati di daerah lain. Balai Penelitian Kehutanan Sulawesi di Makasar menyebutkan bahwa kayu Jati Muna memiliki empat keunggulan, yang meliputi kekuatan, kerapatan, kekerasan, serta fisik kimia Aminuddin, 2006.

2.4 RAPD Random Amplified Polymorphic DNA

RAPD merupakan salah satu jenis penanda molekular yang banyak dipakai dalam penelitian dan diagnostik biologi molekular. Sebagai salah satu penanda genetik, RAPD dikenal sebagai penanda yang relatif murah dan tidak memerlukan keterampilan teknis yang tinggi. Penanda ini bersifat dominan, dalam arti, ia dapat membedakan kelas genotipe resesif dari kelas-kelas genotipe yang lain. RAPD memerlukan teknik PCR Polymerase Chain Reaction dan elektroforesis gel dalam penerapannya. Kelemahan RAPD yang sangat dikenal adalah mudah memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang, sehingga dianggap kurang reliable , khususnya bagi keperluan diagnostik, seperti sidik jari ADN. Metode RAPD dapat mengamplifikasi ADN genomik pada daerah intron maupun ekson. Amplifikasi ADN genom dengan menggunakan primer tunggal acak umumnya menghasilkan beragam produk amplifikasi, sesuai dengan daerah genom yang dapat dikenali oleh primer. Masalah yang dihadapi dalam menganalisis larik-larik RAPD adalah ketika mengintepretasi larik. Larik yang berukuran molekul sama pada gel dapat berupa produk amplifikasi yang berbeda karena visualisasi dengan cara elektroforesis hanya mengetahui ADN secara kuantitas, tidak secara kualitas. RAPD memerlukan pasangan primer dan setiap pasangan primer akan menghasilkan sejumlah pita band yang akan tampak pada hasil elektroforesis gel. Pasangan primer yang dipilih bisa sudah diketahui atau dipilih beberapa secara acak diberikan pada sampel-sampel ADN disebut ADN cetakan yang sudah dipersiapkan. Pada saat proses PCR, primer akan menempel pada urutan- urutan basa yang komplemen pada ADN cetakan. Diakhir proses PCR akan terdapat sejumlah besar fragmen-fragmen pendek ADN hasil amplifikasi. Apabila terdapat delesi untuk suatu lokasi cetakan, maka akan terjadi polimorfisme. Dengan elektroforesis gel, akan terlihat pita yang terputus-putus apabila terdapat polimorfisme oleh karena itu bersifat dominan. Dalam elektroforesis gel terdapat dua material dasar yang disebut fase diam dan fase bergerak eluen. Fase diam berfungsi menyaring objek yang akan dipisah, sementara fase bergerak berfungsi membawa objek yang akan dipisah. Sering kali ditambahkan larutan penyangga pada fase bergerak untuk menjaga kestabilan objek elektroforesis gel. Elektroda positif dan negatif diletakkan pada masing-masing ujung preparat elektroforesis gel. Zat yang akan dielektroforesis dimuat pada kolom disebut well pada sisi elektroda negatif. Apabila aliran listrik diberikan, terjadi aliran elektron dan zat objek akan bergerak ke arah sisi elektroda positif. Kecepatan pergerakan ini berbeda-beda, tergantung dari muatan dan ukuran objek. Kisi-kisi gel berfungsi sebagai pemisah. Objek berukuran lebih besar akan lebih lambat berpindah. Pertama kali teknik RAPD dilakukan oleh Williams et al. 1990 dalam Septimayani 2002. Williams et al. berhasil mengamplifikasi ADN dan bersifat polimorfik dengan menggunakan primer acak serta bantuan enzim Taq ADN polymerase . RAPD banyak digunakan karena mempunyai beberapa keuntungan. Menurut Williams et al. 1990 dalam Septimayani 2002, metode RAPD lebih sederhana, cepat, ADN yang diperlukan sedikit dan tidak perlu terlalu murni, tidak menggunakan satu primer. Secara umum analisis RAPD terdiri dari empat tahap, yaitu 1 tahap ekstraksi ADN, 2 tahap pengujian kualitas dan kuantitas ekstraksi ADN, 3 tahap amplifikasi ADN RAPD, dan 4 tahap pengujian kualitas dan kuantitas hasil amplifikasi. Menurut Sambrook 1989, daun yang masih muda dengan berat 0,2-0,3 g cukup untuk menghasilkan ADN yang sesuai dengan kebutuhan selama analisis, sementara itu menurut Kaidah 1999 dari jaringan tanaman dewasa dan daun kering masih bisa didapatkan ekstrak ADN-nya. Menurut Kimball 1992, sel berkembang dengan cara menggandakan diri dan memperbesar volume sel. Oleh karena itu semakin muda suatu jaringan daun akan memberikan peluang yang lebih besar dalam menghasilkan ADN dalam jumlah yang lebih besar daripada daun yang sudah lebih tua umurnya. Proses amplifikasi ADN RAPD, pada intinya adalah proses perbanyakan ADN secara enzimatis. Pada tahap ini terdapat tiga proses, yaitu 1 proses denaturasi ADN pada suhu 95 C, 2 proses penempelan ADN annealing dan 3 proses ekstensi Gambar 4. Paling penting dari proses PCR adalah kesterilannya, karena PCR ini sangatlah rentan jika adanya kontaminasi. Walaupun terdapat kontaminasi yang sangat kecil, baik pada ADN maupun bahan-bahan PCR, maka hasilnya akan berbeda dari yang seharusnya false result Binder, 1997. Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR dalam satu siklus: Gambar 4 Tahapan-tahapan pada proses PCR Polymerase Chain Reaction Wikipedia, 2006 1. Tahap denaturasi. Pada tahap ini berlangsung pada suhu tinggi, 94–96°C ikatan hidrogen ADN terputus denaturasi dan ADN menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama sampai 5 menit untuk memastikan semua berkas ADN terpisah. Pemisahan ini menyebabkan ADN tidak stabil dan siap menjadi template cetakan bagi primer. Durasi tahap ini berlangsung antara 1–2 menit. 2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian cetakan ADN yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45– 60°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit. 3. Tahap pemanjangan atau elongasi atau ektensi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis ADN-polimerase P pada Gambar 4 yang dipakai. Dengan Taq-polymerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76°C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit. Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Tahap 4 pada Gambar 4 menunjukkan perkembangan yang terjadi pada siklus-siklus selanjutnya. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas baru berwarna hijau menjadi tempat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas ADN yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah ADN yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial. Menurut Bernard 1998 PCR merupakan suatu teknik untuk memperbanyak potongan ADN spesifik. Ada 4 komponen utama yang dibutuhkan untuk melakukan proses PCR yaitu, 1. ADN target, 2. Primer, 3. ADN polymerase dan 4. 4 dNTP. Prinsip proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek 30-60 detik dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat. Tahap terakhir dari RAPD adalah pengujian kuantitas ADN hasil amplifikasi. Pada tahap ini terjadi pemisahan pita-pita ADN berdasarkan perbedaan berat molekulnya. Pita ADN yang mempunyai berat molekul lebih ringan “jalan” lebih cepat. Keragaman antara populasi dapat dilihat dengan melihat perbedaan pola pita polymorphic ADN antar populasi. BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu