Latar Belakang Keragaman Genetik Jati Rakyat di Jawa Berdasarkan Penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jati Tectona grandis Linn. f. merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan diminati oleh banyak orang, baik dalam maupun luar negeri. Hingga saat ini, Jati masih menjadi komoditas mewah dikarenakan kualitasnya yang tinggi, walaupun harga belinya mahal. Harga jual yang mahal di pasar internasional US 640m 3 untuk kayu papan Jati Jawa tahun 1989, menyebabkan kayu Jati lebih diutamakan sebagai kayu mewah Palupi, 2006. Indonesia merupakan negara keempat terbesar dalam penyediaan kayu Jati setelah Burma, India, dan Thailand, dengan jumlah produksi per tahun sekitar 800.000 m 3 selama kurun waktu 1984-1988. Pada tahun 1989, Indonesia mampu mengekspor kayu papan Jati sebesar 46.000 m 3 dengan nilai US 29,4 juta dan sejak tahun 1990, jumlah kayu papan Jati yang diekspor dikurangi untuk dapat memenuhi permintaan industri furnitur dalam negeri Dephut, 2002. Pertambahan jumlah penduduk dunia, khususnya Indonesia, membuat jumlah permintaan akan kayu Jati meningkat. Kebutuhan kayu Jati olahan untuk Indonesia, baik skala domestik maupun ekspor pada tahun 1999 sebesar 2,5 juta m 3 tahun dan baru terpenuhi sebesar 0,8 juta m 3 tahun Leksono 2001 dalam Siregar 2005. Dewasa ini, kesenjangan gap yang lebar antara permintaan dan persediaan kayu Jati dipenuhi oleh pihak-pihak yang tidak berwenang dengan cara yang mudah dan ilegal. Menurut Murthy 1992, kesenjangan yang lebar antara permintaan dan produksi kayu Jati hanya bisa dipenuhi dengan meningkatkan produksi dan menciptakan hutan yang lestari dengan cara memperkenalkan jenis- jenis yang cepat tumbuh fast-growing species dan memiliki hasil yang tinggi high-yielding species, mengurangi panjangnya daur, dan menerapkan strategi genetik dan pemuliaan pohon seperti breeding dan bioteknologi. Selama ini industri kayu secara umum masih banyak menyerap kayu dari sumber lain karena jatah produksi tebangan yang diberikan tidak mencukupi. Hal ini mengakibatkan praktek illegal logging yang marak terjadi tahun 2003 yang kemudian berangsur-angsur hilang seiring dengan digelarnya Operasi Hutan Lestari 2005 oleh Dephut. Kontribusi sumber bahan baku resmi yang paling besar adalah hutan tanaman sebesar 60,46 , Hak Pengusahaan Hutan sebesar 21,93 , Izin Pemanfaatan Kayu 14,31, Hutan Rakyat 1,68 , impor 1,28 , dan Perum Perhutani 0,34 . Dengan demikian apabila dilihat berdasarkan lokasinya, Sumatera dan Kalimantan tetap merupakan sentra produksi bahan baku dan industri kayu nasional Dephut, 2002. Berdasarkan pernyataan di atas, salah satu sumber bahan baku andalan untuk industri kayu nasional adalah hutan rakyat. Dan salah satu jenis pohon yang dikembangkan pada hutan rakyat adalah Jati. Potensi hutan Jati rakyat di Indonesia telah ada sejak awal tahun 2005 seluas 1.568.415 ha dengan potensi mencapai 39.564.000 m 3 , jumlah pohon mencapai 226.680.000 batang, dan yang siap tebang sebanyak 78.486.000 batang dengan potensi produksi kayu minimal 19.621.000 m 3 . Potensi hutan Jati rakyat tersebut sebagian besar masih terkonsentrasi di Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Sumatra Effendi, 2005. Pasar kayu Jati dunia meliputi jangkauan yang luas untuk pasar kayu Jati mentah, kayu untuk bahan baku industri dan pulp, serta pasar untuk produk kerajinan. Pasar produk kerajinan dari kayu Jati sangat membutuhkan pasokan kayu Jati yang besar. Bahkan Asosiasi Kerajinan Kayu seperti Asosiasi Industri Meubel dan Kerajinan Indonesia menjanjikan memberikan sertifikasi produk kayu Jati rakyat yang memasok kebutuhan kayu mereka untuk produk kerajinan Away, 2001. Adanya potensi besar industri yang mampu menyerap Jati rakyat dan dukungan regulasi insentif dari pemerintah, maka masa depan pengembangan hutan Jati rakyat menjadi lebih baik, sehingga memiliki keuntungan ganda baik dari sisi finansial ekonomis maupun dari sisi kesejahteraan rakyat di sekitar hutan. Namun kemampuan riset petani Indonesia masih rendah, sehingga pemerintah harus terus mengembangkan strategi yang lebih komprehensif untuk meningkatkan produk hasil pengembangan hutan Jati rakyat. Keberhasilan pengembangan hutan Jati Rakyat terutama ditentukan oleh pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik Jati dan tempat tumbuhnya. Oleh karena itu perlu dilakukan riset dan pengembangan pengetahuan pengelolaan serta peningkatan teknologi untuk program konservasi genetik dan pemuliaan agar hutan Jati rakyat dapat berkembang dengan baik. Salah satu dasar yang dibutuhkan untuk melakukan program konservasi genetik dan pemuliaan adalah data mengenai struktur genetik sifat genotipe jenis tanaman tersebut. Dan metode yang dapat dilakukan untuk penelusuran sifat tanaman dari segi genotipenya adalah metode isozim dan ADN. Namun teknik isozim memiliki kelemahan yaitu sulit untuk mendeteksi keragaman genetik diantara gen-gen yang memiliki hubungan dekat. Salah satu metode untuk analisis ADN adalah dengan menggunakan metode Random Amplified Polymorphic DNA RAPD. RAPD adalah metode untuk mendeteksi dengan cepat genom yang polimorfik. RAPD adalah modifikasi dari PCR yang dikembangkan pada tahun 1990 oleh J. Williams Williams et al. 1990 dalam Kaidah 1999.

1.2 Tujuan