139 yang sama dengan itu, gugatan atas persyaratan gubernur di Mahkama
Konstitusi dilakukan juga untuk memangkas ketentuan bahwa gubernur DIY harus dijabat oleh seorang lelaki. Kalau Mahkama Konstitusi
mengabulkan gugatan dengan menghilangkan keharusan melengkapi riwayat hidup istri dari persyaratan gubernur maka semakin terbukalah peluang
GKR Mangkubumi untuk duduk sebagai Gubernur DIY.
5.4. Diskusi
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa analisis dispositif Foucaultian Buhmann, 2005telah memainkan peran kunci dalam upaya memahami
terjadinya dinamika politik keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis atas area referensi telah menemukan bahwa secara historis Daeah
Istimewa Yogyakarta yang merupakan penggabungan dua bekas kerajaan Kasultanan dan Pakualaman telah memiliki referensi yang kokoh dalam hal
sirkulasi dan suksesi kekuasaan. Bagaimana proses tersebut diatur terangkum jelas dalam apa yang disebut sebagai paugeran atau tata nilai.
Basis referensi tersebut menjadi rujukan dan sekaligus terus mendapatkan penguatan dalam setiap terjadi perguliran kekuasaan. Sampai saat ini di
Kasultanan telah terjadi 14 kali pergantian raja dari 10 raja yang pernah ada, sementara di Pakualaman telah terjadi 10 kali suksesi.
Perguliran kekuasaan 10 raja di Kasultanan yang telah berlangsung sebanyak 14 kali menunjukkan bahwa dalam prakteknya pergantian dan
penentuan raja tidak selalu dan sepenuhnya berjalan sesuai ketentuan yang diatur dalam paugeran dan tata nilai. Ada deviasi atas paugeran dan juga
dinamika politik yang ikut mewarnai. Terjadinya peristiwa naik dan turun takhtanya Hamengku Buwono II dan HB III, serta ada raja yang turun
140 takhta sebelum wafatnya menunjukkan bahwa telah terjadi dinamika politik
pada proses suksesi yang pernah ada. Begitu pula halnya ketika di Kasultanan dan Pakualaman muncul praktek penentuan raja ketika raja
yang diputuskan naik takhta tersebut masih belum cukup umur. Tradisi sirkulasi kekuasaan di internal Kasultanan dan Pakualaman
telah menempatkan Sultan dan Paku Alam pada posisi sentral dan sekaligus simbol yang merepresentasikan eksistensi kedua kerajaan yang mereka
pimpin. Modalitas ini bersinergi dengan konsep kekuasaan dalam filosofis Jawa yang menempatkan raja sebagai pusat kekuasaan. Dalam perspektif
ini figur Sultan di mata masyarakat adalah raja yang memiliki kekuasaan politik, militer, dan keagamaan absolut, yang diakui secara tradisional
Soemarjan, 1986. Dalam konteks ini posisi seorang raja begitu menentukan arah dan warna bagaimana kekuasaan dijalankan. Warna dari
kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh kecakapan, integritas dan visi dari seorang raja yang berkuasa. Dalam konteks ini, proses pembentukan
Yogyakarta sebagai sebuah Daerah Istimewa tak dapat dilepaskan dari pengaruh dan figur Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII
Harsono, 2012, dan Lutfi et.al, 2016. Besarnya pengaruh dan lekatnya figur Sultan dan Paku Alam ini di mata masyarakat DIY telah membentuk
sikap positif dan akomodatif warga terhadap sistem monarki di Yogyakarta Hakim et.al, 2015.
Pemberian piagam kedudukan dari Presiden Soekarno kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945 dan
kemudian diikuti dengan lahirnya Undang-undang 31950 dapat dikatakan sebagai bentuk akomodasi atas posisi sentral tersebut. Akomodasi atas
posisi sentral dan unik dari Sultan dan Paku Alam tersebut telah menjadi
141 pintu masuk dalam pengaturan pengisian jabatan gubernur dan wakil
gubernur DIY pada periode-periode selanjutnya. Hal inilah kemudian yang menjadi referensi dalam tata cara dan praktek pengisian jabatan gubernur
dan wakil gubernur. Sejak provinsi ini terbentuk hingga sekarang telah lahir beberapa
Undang-undang yang menjadi acuan dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Dinamika dan perkembangan dalam pengaturan tersebut
telah melahirkan praktek yang berbeda pula dalam hal tata cara dan mekanisme dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Pernah
pengisian dilakukan dengan penunjukan dan penetapan langsung dari pemerintah pusat tetapi di kala lain dilakukan dengan pemilihan. Dalam hal
siapa yang harus ditentukan sebagai gubernur dan wakil gubernur juga mengalami perubahan. Pada awalnya gubernur ditetapkan dari Sultan yang
sedang bertakhta dan wakil gubernur adalah otomatis dijabat Paku Alam yang sedang bertakhta. Selanjutnya, berubah menjadi gubernur dijabat oleh
keturunan Sultan dan wakil Gubernur diisi dari keturunan Paku Alam. Terakhir, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Keistimewaan
pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dilakukan dengan mekanisme tersendiri sedangkan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh
calon gubernur DIY adalah sedang bertakhta sebagai Sultan. Sementara syarat mutlak untuk menjadi wakil gubernur adalah sedang menduduki takhta
Paku Alam di Kadipaten Pakualaman . Dinamika tersebut tumbuh dan berkembang di atas tiga gelanggang
pergulatan kuasa yang satu sama lain berproses saling pengaruh- mempengaruhi. Ketiga arena tersebut adalah: pertama, tradisi dan praktek
dalam suksesi raja di Kasultanan dan Pakualaman; kedua, posisi unik dan
142 spesial Sultan dan Paku Alam dalam proses pengisian jabatan gubernur
dan wakil gubernur; dan ketiga, strategi yang dipakai Kasultanan dan Pakualaman untuk memperoleh dan melanggengkan kekuasaan. Ketiga hal
ini bukan saja menjadi arena tempat pertarungan wacana dan pergumulan kuasa berlangsung tetapi juga sekaligus menjadi faktor penentu dalam
pembentukan format keistimewaan DIY dan transformasinya dalam bentuknya yang baru sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor
13 Tahun 2012. Keistimewaan DIY yang memusat pada pengisian jabatan gubernur
dari Sultan dan wakil gubernur dari Paku Alam yang bertakhta secara otomatis telah menempatkan posisi Sultan dan Paku Alam sebagai titik
episentrum terjadinya konflik dan muara banyak kepentingan. Pada diri keduanya melekat tiga entitas sekaligus yakni sebagai pribadi dan seorang
warga negara, sebagai raja yang memimpin kerajaan, serta sebagai gubernur dan wakil gubernur yang menjalankan tugas-tugas negara. Analisis atas
strategi imperatif telah mengkonfirmasi bagaimana Kasultanan dan Pakualaman telah sedemikian jauh terlibat dalam melancarkan strategi dan
usaha-usaha untuk tetap berkuasa. Keluarga Kasultanan dan keluarga Pakualaman melakukan usaha-usaha dalam merebut dan melanggengkan
kekuasaan dengan mengakumulasi penguasaan mereka atas modal sosial social capital, modal politik political capital, modal ekonomi
economic capital, dan hegemoni budaya cultural hegemony.
5.5. Implikasi