9
BAB II TINJAUAN TEORI
2. 1. Pendahuluan
Pada bagian ini akan disajikan penjelasan tentang tinjauan teori yang meliputi kajian pustaka, kerangka teori, kerangka pikir, serta definisi konsep
dan operasional penelitian. Kajian pustaka memuat deskripsi tentang riview atas literatur yang sudah dipublikasikan dimana literatur tersebut mengkaji
isu yang terkait dengan Yogyakarta sebagai lokus dimana penelitian ini dilakukan. Sementara kerangka teori berisi teori yang dipergunakan sebagai
pisau analisis dan sekaligus panduan dalam proses analisis. Secara konsep dan operasional teori tersebut diturunkan dalam bentuk indikator-indikator
yang akan dipergunakan sebagai alur dalam penulisan.
2.2. Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang dideskripsikan pada pembahasan ini dikategorikan secara tematik sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.
Pertama, kategori kajian teoritis tentang kekuasaan dan implementasi
desentralisasi baik simetris maupun asimetris, di Indonesia maupun di luar negeri; Kedua, kategori kajian tentang Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
daerah istimewa terutama terkait dengan monarkisme, identitas nasional dan gerakan sosial di Yogyakarta; Ketiga, kategori kajian tentang pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta. 9
10 Pada kategori pertama diketengahkan kajian yang dilakukan oleh
Vedi R. Hadiz 2003 di Sumatera Utara dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang bertajukDecentralization and Democracy in Indonesia: A Critique
of Neo-Institutionalist Perspectives. Hadis menemukan kenyataan bahwa
semangat dan cita-cita demokrasi yang diimplementasikan melalui kebijakan desentralisasi tidak selalu indah dalam prakteknya di lapangan. Dalam
studinya Ia mendapati bahwa Desentralisasi yang, dalam pandangan kaum Neo-Institusionalism
, merupakan suatu kebijakan yang hendak dicapai dari demokrasi, tetapi pada tingkatan praktis di lapangan tidak lagi berwujud
sebagai agenda dan teoritis kebijakan implementatif melainkan juga sedemikian sarat dengan muatan politik. Praktek yang terjadi di Sumatera
Utara dan Daerah Istimewa Yogyakarta begitu jelas menggambarkan cara di mana lembaga-lembaga dapat dibajak oleh berbagai kepentingan yang
pada akhirnya terdeviasi dari pandangan dunia kaum ‘rasionalitas teknokratis’.
Sementara Ni’matul Huda 2014 dalam Desentralisasi Asimetris dalam NKRI Kajian terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus, dan
Otonomi Khusus memfokuskan pada kajian mengenai pemerintahan
daerah dan pelaksanaan desentralisasi asimetris di Indonesia. Salah satu bab dari buku ini, yakni Bab Kedua mengkaji khusus tentang desentralisasi
dan desentralisasi asimetris. Pada bagian ini diperoleh penjelasan yang cukup tentang perbedaan antara desentralisasi dan desentralisasi asimetris berikut
contoh-contohnya di Indonesia. Bagian lainnya dari buku ini lebih banyak menjelaskan tentang deskripsi bagaimana penerapan desentralisasi asimetris
di Aceh, Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Papua. Sesuai dengan latar belakang penulisnya, hukum tata negara, maka penjelasan yang lebih detail terkait
11 proses politik dan pemerintahan tentu tidak terlalu banyak informasi yang
didapatkan. Indra Kesuma Nasution 2016 dalam The Challenge of Decen-
tralization in Indonesia: Symmetrical and Asymmetrical Debate memberikan aksentuasi pada bagaimana praktek desentralisasi di Papua
dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan kajiannya di dua provinsi tersebut, Indra berkesimpulan bahwa implementasi desentralisasi baik simetris maupun
asimetris belum bisa menjadi solusi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan perwujudan kesejahteraan masyarakat. Bahkan
secara dramatis Ia menyimpulkan 2016:696, “Symmetrical and asymmetrical implementations of decentralization in Indonesia have
failed ”. Salah satu indikator yang dikemukakan adalah masuknya Papua
dan NTB sebagai provinsi termiskin di Indonesia both provinces are in the position of the poorest in Indonesia
. Kalau studi Indra memaparkan narasi kelam desentralisasi pada aras
implementatif di tingkat aplikasinya, berbeda halnya dengan temuan Atnafu Morka 2016 di Benshangul GumuzEthiopia. Dalam “Decentralization
and Town Development: The Case of Selected Metekel Zone Towns in Benshangul Gumus Regional State
” Morka menjelaskan tentang pengaruh signifikan desentralisasi pada kemajuan kawasan Metekel dan kota secara
umum. Kemajuan ini ditandai dengan adanya restrukturisasi sistem administrasi daerah, meningkatnya partisipasi masyarakat dan pembangunan
infrastruktur 2016: 80. Sebagai sebuah bentuk model pemerintahan berbasis otonomi,
keistimewaan DIY harus dipahami dalam konteks sebagai medan kuasa dimana pembentukannya begitu sarat dengan pergulatan wacana dan kuasa.
12 Untuk itulah analisis dispositif Michel Foucault hadir sebagai piranti untuk
memahami bagaimana dinamika politik yang terjadi. Andrea D. Bührmann dalam karyanya The Emerging of the Entrepreneurial Self and Its
Current Hegemony. Some Basic Reflections on How to Analyze the Formation and Transformation of Modern Forms of Subjectivity
menjelaskan bahwa analisis dispositif adalah model analisis dispositif ini merupakan rekonstruksi teori Foucault dengan mensintesakan antara
prosedur investigasi teori analisis wacana dengan prosedur teori analisis relasi kuasa. Deskripsi lebih lanjut mengenai karya ini akan dijelaskan pada
bagian kerangka teori yang akan dibahas pada bagian tersendiri. Pada kategori kedua, terkait dengan kepemimpinan lokal yang identik
dengan sistem monarki, politik identitas dan gerakan sosial dalam memper- juangkan dan mempertahankan keistimewaan D.I. Yogyakarta diawali
dengan kajian Tri Ratnawati tentang posisi Sultan Hamengku Buwono X dalam kapasitasnya sebagai Gubernur. Dalam sistem pemerintahan Indo-
nesia, Gubernur merupakan Kepala Daerah dan sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. Tri Ratnawati dalam karyanya “Antara “Otonomi” Sultan
dan “Kepatuhan” Pada Pusat di Era Reformasi: Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta DIY” yang dipublikasikan di Governance, Vol. 2,
No. 1, November 2011 melakukan penelitian mengenai peran ganda
Gubernur DIY di EraReformasi, sebagai alat daerah dan alat pusat sekaligus serta untukmengetahui sejauhmana Gubernur DIY Sultan Hamengku
Buwono HB Xmenikmati “otonomi” sebagai alat daerah dalam status keistimewaan DIY dan bagaimana kepatuhan dia kepada Pemerintah Pusat.
Dalam penelitian tersebut Tri Ratnawati menemukan bahwa Sultan cenderung lebih menonjol kekuasaan dan posisinya sebagai alat daerah
13 ketimbang sebagai alat Pemerintah Pusat. Posisi Sultan sebagai penguasa
tradisional raja,sangat mendukung kekuasaannya sebagai birokrat gubernur, di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta yang sebagian masih
paternalistik terutama yang tinggal di perdesaan. Karena itu Ratnawati merekomendasikan pertama, Sultan perlu meningkatkan kapabilitasnya
sebagai Gubernur DIY; Kedua, tugaskewajiban dan hak-hak Sultan selaku Gubernur DIY alat Pusat perlu dirinci dalam RUUK DIY. Hal ini akan
mempermudah Pusatmelakukan evaluasi terhadap kinerja Gubernur DIY. Kajian lain dilakukan oleh Dwi Harsono 2012 dengan tajuk, “Reign
to the People: The Application of “Democratic Monarchy” in Yogya- karta”
yang melakukan kajian mengenai penerapan monarki demokratik di Yogyakarta. Penelitian menemukan bahwa penerapan penggabungan
antara lembaga monarki dan demokrasi di Provinsi Daerah Istimewa Yogya- karta telah melahirkan sistem yang hybrid dimana Sultan berusaha menghar-
monisasikan antara nilai-nilai timur dan barat dengan memperkuat monarki melalui pendekatan demokratis. Selanjutnya, Harsono menegaskan bahwa
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah contoh kongkrit suatu daerah otonomi khusus yang sukses mengkombinasikan antara nilai-nilai monarki yang
berbasis di Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman dengan nilai-nilai demokrasi yang menjadi ruh sistem pemerintahan dan politik modern.
Selanjutnya, Hakim, Liu, Isler dan Woodward 2015 berdasarkan hasil penelitian survey yang mereka lakukan di Yogyakarta dan Surakarta
yang tergambar dalam “Monarchisme, national identity and social representations of history in Indonesia: Intersections of the Local and
National in the Sultanates of Yogyakarta and Surakarta” menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara berjalannya sistem monarki dengan
14 kemunculan identitas nasional. Penelitian survey dengan sample generasi
muda ini menemukan bahwa kemunculan kembali otoritas lokal tidak terlalu berkonflik dengan perkembangan bangsa. Baik di Yogyakarta maupun di
Surakarta ditemukan bahwa representasi sejarah sosial telah berpengaruh pada hubungan antara monarki dan identitas nasional. Secara khusus untuk
di Yogyakarta tereksplorasi bahwa: Pertama, ada persinggungan positif antara representasi nasional dengan lokal; Kedua, tingginya dukungan
terhadap Kesultanan Yogyakarta karena memiliki budaya dan sejarah untuk menjustifikasi statusnya sebagai daerah istimewa; Ketiga, berjalannya sistem
dan monarkisme di Yogyakarta dianggap telah berkontribusi positif pada identitas nasional dan kepercayaan atas lembaga politik demokratik nasional.
Penelitian tentang isu keistimewaan D.I. Yogyakarta juga dilakukan oleh Suryo Sakti Hadiwiyono untuk penulisan thesisnya yang kemudian
dipublikasikan dengan judul, Menggugat Keistimewaan Yogyakarta: Tarik ulur Kepentingan, Konflik Elit dan Isu Perpecahan
, oleh penerbit Pinus Book Publisher pada tahun 2009. Penelitian ini memfokuskan pada
tarik ulur kepentingan atau hubungan antara pusat dan daerah dan fenomena perpecahan yang terjadi baik dari Kasultanan Ngayogyakarta maupun
Kadipaten Pakualaman. Temuan dalam penelitian ini adalah bahwa sejak pejanjian Giyanti hingga merebak kembali isu keistimewaan seiring dengan
dibahasnya payung hukum keistimewaan Yogyakarta Bumi Mataram tidak pernah lepas dari intrik, konflik dan fenomena perpecahan di kalangan elit,
lebih-lebih lagi ketika menyongsong terjadi suksesi kepemimpinan. Penelitian tentang keistimewaan Yogyakarta juga dilakukan oleh
Cornelis Lay, dkk. dari Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam rangka penyusunan naskah akademik Rancangan
15 Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang
kemudian dipublikasikan pada tahun 2008 melalui Jurnal Monograph on Politic and Government
yang berjudul “Keistimewaan Yogyakarta: Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan
Yogyakarta”. Vol.2, No.1. Penelitian ini mengungkap bahwa masyarakat Yogyakarta kontemporer memiliki dua wajah, yakni wajah yang tetap hidup
dalam hubungan patron-client yang kuat dan berkiblat pada prinsip untuk terus-menerus menghormari dan melestarikan nilai-nilai budaya Yogyakarta
dan wajah masyarakat yang lebih bependirian untuk membangun hubungan dengan corak horizontal yang kuat. Wajah pertama tidak otomatis
terpinggirkan meskipun arus modernisasi terus mengakselerasi wajah kedua. Sementara David Efendi 2016 dalam Collective Identity and
Protest Tactics in Yogyakarta Under The Post-Suharto Regime menyatakan bahwa keistimewaan sudah menjadi semacam identitas kolektif
bagi warga Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan lebih jauh daripada itu sudah menjadi bentuk “marwah” atau kehormatan. Karena adanya
kesadaran bahwa keistimewaan menjadi sebagai harga diri masyarakat maka lahirlah gerakan sosial yang mewujud dalam berbagai bentuk organisasi
sebagai saluran taktik dan srategis perjuangan masyarakat. Dalam tulisan ini Efendi juga menggambarkan tentang mobilisasi berbagai kelompok
masyarakat dalam memperjuangkan keistimewaan DIY. Pada kategori ketiga terdapat dua kajian yaitu kajian yang dilakukan
oleh Bambang Purwoko Wawan Mas’udi 2001 serta Fajar Laksono dkk. 2011. Bambang Purwoko Wawan Mas’udi dalam kajiannya
yang berjudul “Wakil Gubernur dan Keistimewaan DIY” menyatakan bahwa perlunya jalan alternatif dalam pengisian jabatan Wakil Gubernur yang pada
16 satu sisi tetap memberikan tempat seluas-luasnya bagi kasultanan dan
Pakualaman dan di sisi lain juga mengakomodasi tuntutan demokrasi sebagai suatu keniscayaan.
Sementara Fajar Laksono dan kawan kawan pada kajian mereka yang bertajuk “Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
Bingkai Demokrasi Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Studi Kasus Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”
menyimpulkan bahwa Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur dan Sri Paku Alam sebagai Wakil Gubernur Provinsi DIY tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi menurut UUD 1945 karena dalam Pembukaan UUD 1945, para penyusun UUD 1945 sepakat untuk
mengadaptasikan bentuk dan model demokrasi yang sesuai dengan budaya dan corak masyarakat Indonesia yakni demokrasi permusyawaratan
berdasar kekeluargaan.
Penelitian tentang DINAMIKA POLITIK KEISTIMEWAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA UU NOMOR 13
TAHUN 2012 ini ada relevansinya dengan penelitian dan kajian yang pernah
ada sebelumnya sebagaimana dipaparkan di atas. Selanjutnya penelitian ini akan melanjutkan dan melengkapi penelitian-penelitian yang pernah ada
sebelumnya terutama penekanan pada dinamika politik yang terjadi di Daerah istimewa Yogyakarta sesudah diundangkannya UU Keistimewaan
DIY. Sejauh penelusuran kami belum ada penelitian yang secara khusus mengangkat isu tersebut.
17 Berikut tabel ringkasan kajian pustaka atas hasil penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya:
Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian
Hasil Penelitain
1
Tri Ratnawati 2011
Antara “Otonomi” Sultan dan
“Kepatuhan” Pada Pusat di Era
Reformasi: Studi Kasus Daerah
Istimewa Yogyakarta DIY”
Sultan cenderung lebih menonjol kekuasaan dan posisinya sebagai
alat daerah katimbang sebagai alat Pemerintah Pusat. Posisi
Sultan sebagai penguasa tradisional raja,
sangat mendukung kekuasaannya sebagai birokrat
gubernur, di tengah-tengah masyarakat Yogya yang
sebagian masih paternalistik terutama yang tinggal di
perdesaan
. 2
Moh. Abdul Hakim, dkk
2015 Monarchisme,
national identity and social
representations of history in
Indonesia: Intersections of the
local and national in the sultanates of
Yogyakarta and Surakarta
Penelitian survey dengan sample generasi muda ini
menemukan bahwa kemunculan kembali otoritas local tidak
terlalu konflik dengan perkembangan bangsa. Baik di
Yogyakarta maupun di Surakarta ditemukan bahwa representasi
sejarah sosial telah berpengaruh pada hubungan antara monarki
dan identitas nasional. Secara khusus untuk di Yogyakarta
tereksplorasi bahwa: ada persinggungan positif antara
representasi nasional dan local; tigginya dukungan terhadap
kesultanan Yogyakarta karena memiliki budaya dan sejarah
untuk menjustifikasi statusnya sebagai daerah istimewa;
monarkisme di Yogyakarta dianggap telah berkontribusi
positif pada identitas nasional dan kepercayaan atas lembaga
politik demokratik nasional.
18
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitain
3
Ni’matul Huda
2014
Desentralisasi Asimetris dalam
NKRI Kajian terhadap Daerah
Istimewa, Daerah Khusus, dan
Otonomi Khusus Uraian dan penjelasan tentang
perbedaan antara desentralisasi biasa dan desentralisasi asimetris berikut
contoh-contohnya di Indonesia serta bagaimana penerapan desentralisasi
asimetris di Aceh, Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Papua.
4
Vedi R. Hadiz 2003
Decentralization and Democracy in
Indonesia: A Critique of
Neo- Institutionalist
Perspectives Desentralisasi yang, dalam
pandangan kaum Neo Institusionalism, merupakan suatu
kebijakan yang hendak dicapai dari demokrasi, tetapi pada tingkatan
praktis di lapangan tidak hanya sebagai agenda dan teoritis
melainkan juga sangat sarat dengan muatan politik. Pengalaman
Indonesia begitu jelas menggambarkancara di mana
lembaga-lembaga dapat dibajak oleh berbagai kepentingan yang pada
akhirnya terdeviasi dari pandangan dunia kaum rasionalitas teknokratis.
5
Bambang Purwoko
Wawan Mas’udi
2001 Wakil Gubernur
dan Keistimewaan
DIY Perlunya jalan alternatif dalam
pengisian jabatan Wakil Gubernur yang pada satu sisi tetap memberikan
tempat seluas-luasnya bagi kasultanan dan Pakualaman dan di
sisi lain juga mengakomodasi tuntutan demokrasi sebagai suatu
keniscayaan.
6
Fajar Laksono, dkk.
2011 Status
Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam Bingkai
Demokrasi Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 Studi
Kasus Pengisian Jabatan Kepala
Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur dan Sri
Paku Alam sebagai Wakil Gubernur Provinsi DIY tidak bertentangan
dengan prinsipprinsip demokrasi menurut UUD 1945 karena dalam
Pembukaan UUD 1945, para penyusun UUD 1945 sepakat untuk
mengadaptasikan bentuk dan model demokrasi yang sesuai dengan
budaya dan corak masyarakat
19
No Nama Peneliti
Judul Penelitian Hasil Penelitain
7
David Efendi 2015
Collective Identity and Protest Tactics
in Yogyakarta Under The
Post-Suharto Regime
Ada tiga temuan dari penelitian ini: 1 pemahaman atas identitas
kolektif bisa berdasarkan atas perspektif politik, budaya, dan
kelompok kelompokindigenoussebagai
bagian dari sumber budaya yang membentuknya; 2 penggunaan
sumber budaya oleh organisasi mengkonfirmasi teory geraka
sosial; dan 3 keberadaan organisasi lokal berkontribusi pada
penajaman bentuk aktivitas gerakan dimana mereka ikut
berpartisipasi.
8
Indra Kesuma Nasution
2016 The Challenge of
Decentralization in Indonesia:
Symmetrical and Asymmetrical
Debate Berdasarkan penelitian di Papua
dan Nusa Tenggara Barat ditemukan bahwa desentralisasi
baik simetris maupun asimetris ternyata belum cukup untuk
menjadi solusi dalam pembangunan di tingkat local dan
pengembangan masyarakat.
9
Atnafu Morka 2016
Decentralization and Town
Development: The Case of Selected
Metekel Zone Towns in
Benshangul Gumus Regional
State. Penelitian ini menguji sejauh mana
kontribusi kebijakan desentralisasi pada perkembangan sebuah kota,
serta peluang dan tantangannya. Penelitian ini menunjukkan bahwa
desentralisasi secara actual telah berpengaruh pada pembangunan di
tingkat akar rumput di Zona Metekel.
10
Dwi Harsono 2012
Reign to the People: The
Application of “Democratic
Monarchy” in Yogyakarta
Penelitian menemukan bahwa penerapan penggabungan antara
lembaga monarki dan demokrasi telah melahirkan system yang
hybrid dimana Sultan berusaha mengharmonisasikan antara nilai-
nilai timur dan barat dengan memperkuat monarki melalui
pendekatan demokratis.
20
No Nama Peneliti Judul Penelitian
Hasil Penelitain
11
Suryo Sakti Hadiwiyono
2009 Menggugat
Keistimewaan Yogyakarta: Tarik
ulur Kepentingan, Konflik Elit dan
Isu Perpecahan Sejak pejanjian Giyanti hingga
merebak kembali isu keistimewaan seiring dengan
dibahasnya payung hukum keistimewaan Yogyakarta bumi
Mataram tidak pernah lepas dari intrik, konflik dan fenomena
perpecahan di kalangan elit, lebih- lebih lagi ketika menyongsong
terjadi suksesi kepemimpinan.
12
Cornelis Lay, dkk
2008 Keistimewaan
Yogyakarta: Naskah
Akademik dan Rancangan
Undang-Undang Keistimewaan
Yogyakarta Masyarakat Yogyakarta
kontemporer memiliki dua wajah, yakni wajah yang tetap hidup
dalam hubungan patron-client yang kuat dan berkiblat pada
prinsip untuk terus-menerus menghormari dan melestarikan
nilai-nilai budaya Yogyakarta dan wajah masyarakat yang lebih
bependirian untuk membangun hubungan dengan corak horizontal
yang kuat. Wajah pertama tidak otomatis terpinggirkan meskipun
arus modernisasi terus mengakselerasi wajah kedua
13
Andrea D. Bührmann
2005 The Emerging of
the Entrepreneurial
Self and Its Current
Hegemony. Some Basic Reflections
on How to Analyze the
Formation and Transformation of
Modern Forms of Subjectivity
Tulisan ini berangkat dari pra- anggapan bahwa banyak kajian
tentang pemerintahan lebih menekankan pada hubungannya
dengan formasi dan transformasi bentuk-bentuk modern dari
subyektivitas. Untuk memahami fenomena tersebut Bührmann
meletakkkan bentuk-bentuk modern dari subyektivitas tersebut
dalam konteks pengaruh praktek- praktek dispositif yang dirujuknya
dari Foucault. Selanjutnya, ia merekonstruksi metode Analisis
Dispositif Foucault sebagai starting point
untuk mengkaji
21
2.3. Kerangka Teori