AZAZ PERLINDUNGAN DALAM PENGANGKATAN ANAK Studi Komparatif Antara Hukum Adat, Hukum Perdata dan Hukum Islam
A. Latar Belakang Masalah
Pasangan seorang pria dan seorang wanita yang telah membentuk suatu hubungan rumah tangga dalam suatu ikatan perkawinan memiliki naluri ataupun
fitra sebagai makhluk sosial guna melangsungkan hidupnya. Selain membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
1
Atau sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa tujuan
perkainan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan memiliki makna tujuan lain yang tidak
tertulis yaitu meneruskan keturunan. Membentuk keluarga yang bahagia sangat serat hubungannya dengan
keturunan. Akan tetapi tidak seluruh perkawinan melahirkan keturunan yang kelak akan menerima akibat-akibat hukumnya sebagai anak kandung. Sementara itu jika
dipaksakan ingin memiliki anak, maka jalan yang dilakukan adalah dengan melakukan upaya pengangkatan anak, yaitu menjadikan anak orang lain sebagai
anaknya. Pengangkatan anak inilah yang kemudian menjadi pendorong bagi pasangan suami istri untuk memiliki anak, sehingga terjadilan perpindahan anak
1 Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT, yang kemudian dijadikan sebagai tujuan perkawinan, Q.S. Ar-Rum:21
dari satu kelompok keluarga ke dalam kelompok keluarga yang lain.
2
Selanjutnya istilah ini dikenal dengan istilah pengangkatan anak adopsi.
Pengangkatan anak merupakan salah satu peristiwa hukum yang terjadi sebagai akibat, meski bukan satu-satunya, karena perkawinan itu sendiri tidak
memiliki keturunan atau anak. Tingginya frekuensi pengangkatan anak di dalam masyarakat diduga sebagai akibat perkawinan yang tidak menghasilkan
keturunan. Sehingga muncullah stigma, apabila suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, tujuan perkawinan dipandang tidak tercapai. Sebaliknya
apabila di dalam suatu perkawinan telah melahirkan keturunan, tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat berjalan.
3
Sebagai akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak, maka peristiwa ini merupakan bagian hukum kekeluargaan, dengan demikian ia melibatkan
persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan antara manusia.
4
Pengangkatan anak sendiri menurut hukum Islam tidak bisa dijadikan dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam kewarisa Islam adalah hubungan
nasab atau arham.
5
Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan anak menurut hukum kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status
kewarisan anak angkat. Dalam hukum Islam, apabila bukan merupakan anak sendiri, tidak mewarisi dari orang yang telah mengangkat anak tersebut.
Pengangkatan anak juga tidak terlepas dari pengaruh hukum adat. Dalam masyarakat hukum adat, pengangkatan anak dilakukan untuk mengayomi,
2 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, cet v, 2006, hal. 7-8
3 Soerjono Soekanto, Hukum Adat di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 25
4 Muderis Zaini, Op.Cit, hal. 30 5 Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Waris, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. VII, 2003 hal 78
membantu dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak angkat. Dalam tradisi masyarakat adat, pengangkatan anak melalui sebuah proses adat. Proses
pengangkatan anak yang dipimpin oleh petua adat, dimaksudkan agar seseorang yang dijadikan sebagai anak angkat akan mengetahui hak dan kewajibannya
sebagai anak angkat dan sebaliknya orang tua angkatpun mengetahui hak dan kewajibannya sebbagai orang tua angkat.
6
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW yang kita warisi dari Pemerintah Hindi Belanda sendiri tidak mengenal peraturan mengenai lembaga
pengangkatan anak.
7
Hanya bagi golongan Tionghoa saja yang diadakan pengaturannya secara tertulis dalam Staatsblad tahun 1917 No. 129 bahwa Kitab
Undang-Undang Perdata Indonesia BW tidak memuat peraturan mengenai adopsi.
Selanjutnya bagaimana menyangkut aspek perlindungan anak itu sendiri, karena sejatinya anak merupakan amanah sekaligus sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan dengan kekayaan harta benda lainnya. Oleh karena itu, sebagai
ammanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung
tinggi. Ini merupakan amanat yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak.
8
6 M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Medan, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, 1993, hal. 12.
7 Ali Afandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 2002, hal. 57
8 Bagian ini menjadi konssiderasi dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantahkan bahwa keinginan mempunyai anak adalah hal yang manusiawi dan alamiah, namun demikian
melihat ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia, akhirnya masyarakat terbentur oleh eksistensi adopsi di Indonesia sendiri, oleh karena banyak
ketidakksinkronan apabila kita menelaah tentang eksistensi lembaga adopsi itu sendiri dalam sumber-sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik
hukum barat yang bersumber dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek BW, hukum adat yang merupakan “the living law” yang
berlaku di Indonesia maupun hukum Islam yang merupakan konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang mayoritas mutlak beragama Islam.
9
Dalam BW tidak diatur tentang masalah adopsi atau lembaga pengangkatan anak. Dalam
beberapa pasal BW hanya menjelaskan masalah pewarisan dengan istilah “anak luar kawin” atau anak yang diakui erkend kind. 8
Pengangkatan anak untuk kesejahteraan anak yang dilakukan diluar adat dan kebiasaan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Per Undang-Undangan yang
tercantum dalam Pasal 12 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Sedangkan menurut hukum adat
terdapat keanekaragaman hukum yang berbeda, antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, sesuai dengan perbedaan lingkaran hukum adat, seperti yang
dikemukakan oleh Prof. Van Vollenhoven. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan unifikasi hukum
sehubungan dengan hal itu perlu ditinjau terlebih dahulu hukum adat itu, apa lagi
9 Moderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, cet. V. Sinar Grafika, Jakarta, 1980, hal. 2
dalam perkembangannya sekarang. Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1978 mencantumkan peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan antara
lain pembaharuan kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.10
Dengan demikian tentunya akan terdapat beberapa perbedaan pada masing- masing daerah hukum di Indonesia, tentang masalah status anak angkat
itu. Dalam pembagian hukum perdata materil adopsi terletak dalam lapangan hukum keluarga. Hukum keluarga adalah semua kaidah-kaidah yang mengatur
dan menentukan syarat-syarat, dan cara mengadakan hubungan abadi serta seluruh akibat hukumnya.
10
Dalam hukum Islam lebih tegas dijelaskan, bahwa pengangkatan seorang anak dengan pengertian menjadikannya sebagai anak
kandung didalam segala hal, tidak dibenarkan. Hal ini sesuai dengan pembahasan Al Ustadz Umar Hubies dalam bukunya “Fatawa”. Hanya yang perlu digaris
bawahi disini adalah bahwa larangan yang dimaksudkan adalah pada status pengangkatan anak menjadi anak kandung sendiri, dengan menempati status yang
persis sama dalam segala hal. Dalam BW tidak dikenal kedudukan anak angkat itu sendiri, tetapi khusus bagi orang-orang yang termasuk golongan Tionghoa,
lembaga adopsi ini diatur dalam Staatsblad 1917 nomor 129. Dalam hukum adat masih terdapat ketentuan-ketentuan yang beraneka ragam, namun demikian masih
pula terdapat titik tautnya, sesuai dengan keekaan dari keanekaragaman budaya bangsa Indonesia yang tercermin dalam bentuk lambang negara Indonesia. Dalam
10 Soedirman Kartohadiprojo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, cetakan kelima, Pembangunan, Jakarta, 1967, h. 61-62.
hukum Islam ada indikasi tidak menerima lembaga adopsi ini dalam artian persamaan status anak angkat dengan anak kandung.
Adopsi adalah suatu lembaga hukum yang terletak di Bidang Hukum Perdata, khususnya Hukum Perorangan dan Kekeluargaan. Lembaga Adopsi ini
berbeda-beda pada negara yang satu dibandingkan negara yang lain dan keanekaragaman ini menimbulkan persoalan Vorfrage Persoalan Pendahuluan
dan Anpassung Penyesuaian dalam negara-negara yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan seorang anak adopsi Belgia yang ayah adopsi
Belgianya ketabrak mobil dan meninggal dunia. Apakah anak adopsi ini dapat dianggap merupakan “anak” seperti yang dimaksudkan oleh pasal 1370
KUHPerdata dan karenanya akan diperbolehkan atau tidak mengajukan gugatan ganti kerugian karena perbuatan melanggar hukum.
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa praktek pengangkatan anak telah dikenal luas oleh kalangan masyarakat Indonesia. Namun masih banyak orang-orang yang
melakukan proses pengangkatan anak secara langsung tanpa melalui proses yang benar yaitu, melalui penetapan pengadilan akan tetapi dengan berhubungan
langsung kepada orang tua anak atau melalui perantara. Kondisi pengangkatan anak yang ada dalam masyarakat kita tidak sesuai dengan yang seharusnya, masih
banyaknya orang-orang yang tidak mengikuti peraturan yang ada demi mencari keuntungan sendiri dan kelancaran proses yang mereka lakukan bahkan dengan
memalsukan akte lahir anak. Namun proses pengangkatan anak yang semacam itu sampai saat ini masih banyak dilakukan karena rendahnya kesadaran masyarakat
akan hukum dan kurangnya sosialisasi yang menyeluruh mengenai program
pengangkatan anak yang sah. Sehingga dari thesa ini, penulis tertaris untuk mengkaji lebih dalam mengenai pengangkatan anak dengan membatasi pada
perbandingan antara pengangkatan anak menurut perspektif hukum Islam dengan
judul tesis: Azaz Perlindungan Dalam Pengangkatan Anak Studi Komparatif Antara Hukum Adat, Hukum Perdata dan Hukum Islam
B. Rumusan Masalah