100
Tabel 17. Relationship Stakeholders dalam Pemberantasan IL di Indonesia
Stakeholder 1
2 3
4 5
6 7
8 1
2 3
4 5
6 7
8
7.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelembagaan Pemberantasan IL di Indonesia
Kelembagaan pemberantasan IL di Indonesia dikaji dengan menggunakan pendekatan 4Rs yang secara deskriptif menguraikan
tentang tanggung-jawab responsibilities, hak dan kewajiban rights, manfaat Revenues, dan hubungan antar stakeholders relationship.
Namun sebelum keempat Rs tersebut dideskripsikan terlebih dahulu dianalisis pendapat responden tentang pentingnya keberadaan masing-
masing stakeholders yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia. Gambar 26 menunjukkan bahwa keberadaan institusi penegak
hukum, yaitu kepolisian, kejaksanaan, dan pengadilan dianggap penting dalam kegiatan pemberantasan IL di Indonesia. Hanya sebagian kecil
responden yang menganggap keberadaan penegak hukum kurang penting atau tidak penting, tetapi hampir semuanya menganggap penting
keberadaan dari ketiga aparat hukum ini. Hal ini disebabkan bahwa praktek IL dipersepsi sebagai kegiatan melanggar hukum, sehingga
keberadaan aparat penegak hukum menjadi penting. Oleh karena itu kredibilitas, kapasitas, dan kompetensi institusi penegak hukum menjadi
bagian yang sangat penting dalam penegakan hukum di bidang kehutanan. Konsistensi aparat dalam memutuskan perkara yang
memberikan efek jera terhadap pelaku IL dan masyarakat lainnya
101
diharapkan akan meningkatkan ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum kehutanan yang telah ditetapkan. Keselarasan interpretasi
terhadap pasal-pasal yang akan digunakan untuk memberantas praktek IL perlu dilakukan, termasuk perlunya konsensus diantara aparat penegak
hukum untuk menetapkan hukuman minimal yang memberi efek jera bagi pelaku IL di Indonesia.
98 96
93
2 4
2 2
2
20 40
60 80
100 120
Kepolisian Kejaksaan
Pengadilan
Tidak Penting Kurang Penting
Penting
Gambar 26. Pendapat Responden terhadap Keberadaan Aparat Hukum
Gambar 27. menunjukkan pendapat responden terhadap keberadaan instansi pemerintah di tingkat pusat yang terkait dengan pemberantasan
IL di Indonesia. Keberadaan Departemen Kehutanan sebagai instansi teknis yang diberikan tugas mengurus hutan di Indonesia dianggap paling
berkompeten dalam menyelesaikan IL di Indonesia. Selain itu karena IL berdampak terhadap kualitas lingkungan, maka Kementerian Lingkungan
Hidup juga dianggap penting untuk dilibatkan dalam pemberantasan IL di Indonesia.
102
91 87
78 78
78 76
73 69
62 56
51
9 9
22 13
13 24
24 22
27 33
38
4 9
9 2
9 11
11 11
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Departemen Kehutanan
Kantor Meneg Lingkungan Hidup Kantor Menkopolkam
Departemen Keuangan Departemen Dalam Negeri
Departemen Perdagangan Departemen Perindustrian
Departem Hukum dan HAM Badan Intelejen Negara BIN
Departemen Pertahanan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Tidak Penting Kurang Penting
Penting
Gambar 27. Pendapat Responden Terhadap Keberadaan Instansi Pusat Dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL Di Indonesia
Pelaksanaan pemberantasan IL di Indonesia memerlukan koordinasi diantara stakeholders, terutama instansi penegak hukum dan teknis
kehutanan yang lebih dianggap berkompeten. Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Ham Polhukam merupakan instansi yang dipandang
responden mampu melakukan koordinasi dalam pemberantasan IL di Indonesia, selain tentunya terkait dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2005
yang menunjuk Kementerian Polhukam sebagai koordinator dalam percepatan pemberantasan IL di Indonesia.
Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki peranan penting dalam memonitor dan mengawasi lalu
lintas barang, baik ekspor-impor maupun perdagangan antar pulau. Aparat bea cukai berhak untuk memeriksa dokumen barang, termasuk
kayu, apakah barang yang masuk dan keluar pelabuhan memiliki dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Monitoring dan pengawasan yang lemah serta adanya sikap koruptif-kolutif
berkontribusi terhadap
meningkatnya kegiatan
penyelundupan kayu di Indonesia. Keberadaan Departemen Dalam Negeri dalam pemberantasan IL di
Indonesia terkait dengan kewenangannya untuk mengevaluasi kebijakan
103
daerah, berupa keputusan kepala daerah Gubernur atau BupatiWalikota dan peraturan daerah yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan di
atasnya. Keberadaan departemen ini penting terutama di era otonomi daerah yang memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah untuk
mengatur daerahnya sendiri. Banyak kebijakan daerah terkait sumberdaya alam, termasuk hutan yang dipandang bertentangan peraturan
perundang-undangan di atasnya. Hal ini tidak terlepas dari motivasi pengembangan kebijakan daerah yang lebih mengarusutamakan
pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi daripada pelestariannya.
Peranan instansi
lainnya adalah
Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian yang memiliki kewenangan
dalam pengaturan arus perdagangan barang dan kegiatan produksi. Perdagangan merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi. Peningkatan
arus perdagangan menyebabkan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama pelaku usaha. Mekanisme perdagangan saat ini yang cenderung
mengarah ke perdagangan bebas dapat berdampak negatif atau positif terhadap lingkungan. Kayu tropis khususnya yang berasal dari Indonesia
sejak lama memiliki nilai komersial tinggi di pasaran internasional. SCA dan WRI 2004 menyebutkan bahwa hutan tropis Indonesia memiliki lebih
dari 4.000 spesies pohon, baru 40-50 yang dimanfaatkan secara komersial, misalnya Meranti Shorea sp., Keruing Dipterocarpus spp.,
dan Ramin Gonystylus bancanus. Kayu tersebut menjadi bahan industri kayu lapis plywood yang sampai akhir tahun 2000-an merajai pasaran
kayu lapis dunia, dengan tujuan ekspor ke Uni Eropa, Jepang, Korea, dan Amerika Serikat. Tingginya nilai ekonomi kayu Indonesia menjadi daya
tarik pelaku IL untuk menebang hutan dan menyelundupkannya keluar negeri.
Keberadaan stakeholders lainnya dalam pemberantasan IL di Indonesia disajikan pada Gambar 28. Bupati dan Gubernur sebagai
kepala daerah dapat memberikan kontribusi besar terhadap efektifnya pemberantasan IL di daerahnya bersama-sama dengan masyarakat, LSM,
dunia usaha, dan legislatif. Keberadaan dunia internasional dalam
104
pemberantasan IL yang lebih terkait dengan penegakan hukum dianggap kurang penting. Namun demikian dukungan internasional terhadap
pemberantasan IL di Indonesia dapat dilakukan melalui upaya untuk lebih mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dan aparat serta
mendorong kepedulian konsumen internasional untuk menggunakan kayu tropis yang sumbernya legal.
Keberadaan eksekutif dan legislatif di tingkat lapangan dapat berkontribusi positif terhadap pemberantasan IL di wilayahnya atau
sebaliknya membiarkan
kegiatan IL
berjalan sebagai
sumber pendapatannya walaupun ilegal dan melanggar hukum. Kerumitan
pemberantasan IL di tingkat lokal akan meningkat apabila kepala daerah dalam proses pemilihannya melibatkan pengusaha dan masyakat pelaku
IL sebagai tim pendukungnya. Politik balas budi terhadap pendukungnya diwujudkan dengan pembiaran aktifitas IL di wilayahnya sepanjang
memberikan keuntungan ekonomi bagi kepentingan diri dan aktifitas politiknya.
91 87
84 80
73 71
67 60
7 13
11 20
18 20
24 36
2 4
9 9
9 4
20 40
60 80
100 Bupati
Gubernur Masyarakat
LSM Dunia Usaha
DPRD Kabupaten DPRD Provinsi
Dunia Internasional
Tidak Penting Kurang Penting
Penting
Gambar 28. Pendapat Responden terhadap Keberadaan Stakeholders dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL di Indonesia
Pemahaman terhadap kegiatan pemberantasan IL di Indonesia dianggap menjadi salah satu kunci keberhasilan pemberantasan IL.
105
Pendapat responden menunjukkan bahwa pemahapan kepolisian terhadap upaya pemberantasan IL lebih besar daripada kejaksaan dan
pengadilan. Belum selarasnya pemahaman terhadap penegakan hukum IL diantara komponen penegak hukum dapat menyebabkan penegakan
hukam tidak efektif memberikan dampak jera dengan proses yang berlangsung lama.
Responden menilai pemahaman instansi teknis di tingkat pusat dalam
pemberantasan IL
di Indonesia
lebih rendah
tingkat pemahamannya. Hal ini disebabkan bahwa permasalahan IL di Indonesia
kompleks, tidak hanya menyangkut teknis tetapi berkembang menjadi masalah hukum, perdagangan, perbankan, bahkan pencucian uang.
Namun, lingkup yang diberantas adalah masalah pelanggaran hukum kehutanan yang derivatif tindak hukumnya mencakup permasalahan di
luar kehutanan. Oleh karena itu, kepentingan dan pemahaman aparat penegak hukum lebih menonjol daripada instansi teknis.
Di tingkat LSM yang bergerak di bidang lingkungan dipandang memiliki pemahaman yang lebih tinggi dibanding dengan yang lainnya.
Perhatian yang besar juga diberikan oleh dunia internasional yang memandang hutan tropis Indonesia penting untuk mendukung
keberlanjutan ekosistem global. Sejumlah inisiatif dan fasilitasi perumusan kebijakan dan aksi pemberantasan IL di Indonesia didukung oleh lembaga
internasional, misalnya komisi Uni Eropa yang membetuk program FLEGT Forest Law Enforcement and Governance Trade di Indonesia untuk
memfasilitasi pemberantasan IL di Indonesia. Eksekutif dan legislatif dipandang memiliki pemahaman yang kurang
terhadap pemberantasan IL di wilayahnya. Sebagian diantara elit lokal ada yang melihat bahwa pengurusan dan perlindungan kawasan hutan
merupakan kewenangan pusat pemerintah. Hal ini terkait dengan trauma masa lalu, dimana peranan daerah relatif kecil terhadap keputusan pusat
dalam menunjuk pengelola hutan di daerah. Namun dengan adanya reformasi kebijakan termasuk di sektor kehutanan, maka peranan daerah
dalam kebijakan daerah signifikan, misalnya tanpa rekomendasi bupati
106
dan gubernur, Menteri Kehutanan tidak dapat lagi memberikan ijin konsesi hutan alam dan hutan tanaman. Walaupun telah terjadi perubahan
kebijakan kehutan yang lebih terdesentralisasi, sebagian diawasi elit lokal masih melihat hutan dalam kaca mata ekonomi kayu semata sebagai
sumber pemasukan pendapatan daerah.
67 56
47 29
38 40
4 7
13
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kepolisian Kejaksaan
Pengadilan
Tidak Paham Kurang Paham
Paham
Gambar 29. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman Aparat Hukum dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL di
Indonesia
60 59
57 52
50 45
39 39
39 39
36 38
36 34
43 39
48 55
57 55
45 55
2 5
9 5
11 7
7 5
7 16
9
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Kantor Meneg
Lingkungan Hidup
Departemen Kehutanan
Kantor Menkopolkam
Departem Hukum
dan HAM
Departemen Dalam
Negeri B
ad an
In te
le je
n N
eg ar
a B
IN
Departemen Tenaga
Kerja dan
Transmigrasi D
ep ar
te m
en P
er ta
ha na
n Departemen
Perindustrian Departemen
Keuangan Departemen
Perdagangan
Tidak Paham Kurang Paham
Paham
Gambar 30. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman Instansi Pusat dalam Kaitannya Dengan Pemberantasan IL di
Indonesia
107
Gambar 31. Pendapat Responden terhadap Tingkat Pemahaman Stakeholders dalam Kaitannya dengan Pemberantasan IL di
Indonesia
Setiap stakeholders yang menjadi responden memberikan pendapat tentang right hak dan kewajibannya dalam pemberantasan IL di
Indonesia sebagaimana disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Aspek Hak dan Kewajiban Stakeholders dalam
Pemberantasan IL di Indonesia.
No. Kategori Responden
Rights
1. Instansi Pemerintah
bidang Politik, Hukum, dan HAM.
Melakukan koordinasi program, langkah tindak, monitoring,
dan evaluasi
kegiatan dalam
pemberantasan IL di Indonesia. Memperoleh data dan informasi yang berkaitan
dengan permasalahan pemberantasan hukum. 2.
Aparat Penegak Hukum.
Memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam setiap tahapan proses penegakkan hukum
pemberantasan IL; Melakukan proses penindakan hukum terhadap
setiap kegiatan IL yang terjadi; Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
kegiatan pemberantasan IL. Melakukan berbagai upaya penegakkan hukum yang
berkaitan dengan pemberantasan IL di Indonesia. 3.
Instansi Teknis Kehutanan dan
Lingkungan. Melakukan operasi pemberantasan IL baik secara
mandiri maupun gabungan dengan instansi lainnya, terutama dengan aparat penegak hukum.
108
No. Kategori Responden
Rights
Melakukan penyidikan terhadap pelaku IL sebagai upaya penegakan hukum.
Melindungi pemegang izin pengusahaan kayu yang sah dari tindakan IL.
Memulihkan kondisi
ekosistem hutan
yang terdegradasi akibat IL.
4. Instansi Pemerintah di
bidang Keuangan, Industri, dan
Perdagangan. Melakukan monitoring dan pengawasan lalu lintas
perdagangan kayu,
baik ekspor-impor
dan perdagangan antar pulau.
Melakukan penegakan
terhadap upaya
penyelundupan kayu bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya.
Melakukan penyidikan terhadapkayu yang masuk dan keluar serta diduga berasal dari sumber yang
tidak sah. Melakukan pengaturan dan restrukturisasi industri
berbasis hasil
hutan agar
sesuai dengan
kemampuan pasokan bahan baku yang tersedia. Dalam hal ini peminjaman terhadap ijin kapasitas
industri disesuaikan dengan jumlah bahan baku hasil hutan yang tersedia.
5. Instansi Pemerintah di
bidang Luar Negeri. Meningkatkan
kerjasama internasional
dalam pemberan tasan IL, terutam berkaitan dengan
perdaganan internasional yang ilegal. Kerjasama meliputi kerjasama multilateral maupun kerjasama
bilateral perlu disepakati kesepahaman tentang penggunaan kayu yang legal.
Menggalang dukungan internasional terhadap upaya pemberantasan IL di Indonesia.
6. Lembaga Swadaya
Masyarakat. Membantu upaya-upaya pemerintah dan masyarakat
dalam pemberantasan
IL, misalnya
dengan memfasilitasi
program untuk
meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam
berpartisipasi mencegah IL.
Mengumpulkan data dan informasi praktek IL dan melaporkannya kepada aparat yang berwenang.
7. Masyarakat Adat
Menerapkan aturan-aturan adat untuk melindungi hutannya dari praktek IL.
Berpartisipasi dalam proses legislasi peraturan yang mengatur pengelolaan dan perlindungan hutan,
termasuk penysusunan kebijakan pemberantasan IL. Menjaga ekosistem hutan dari setiap aktivitas yang
merusak dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungannya.
109
Tabel 19 menunjukkan bahwa right hak dan kewajiban yang dimiliki dalam pemberantasan IL dapat dikategorikan ke dalam hak dan kewajiban
untuk: a. Melakukan upaya-upaya penegakan hukum dalam pemberantasan IL;
b. Melakukan koordinasi
dengan berbagai
stakeholders serta
mendapatkan data dan informasi terkait pemberantasan IL; c. Melakukan pengawasan yang lebih baik terhadap pengelolaan hutan
secara utuh, sejak proses perencanaan, pengelolaan, pemanenan hasil hutan, pengelolalaan hasil hutan, dan pemasaran hasil hutan;
d. Meningkatkan kerjasama dan dukungan internasioanl terhadap upaya pemberantasan IL di Indonesia;
e. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasana IL dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya upaya pengelolaan
dan pelestarian hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat; Berkaitan dengan tanggung jawab Responsibilities dari setiap
lembaga yang diwawancarai menunjukkan bahwa setiap lembaga secara umum cukup memahami tugas masing-masing dalam kaitannya dengan
pemberantasan IL, baik instansi penegak hukum, instansi terkait di pusat, dan daerah, masyarakat, LSM, maupun lembaga internasional. Tanggung
jawab tersebut meliputi tanggung jawab untuk: a. Melakukan
koordinasi, monitoring,
dan evaluasi
kegiatan pemberantasan IL;
b. Melakukan proses penegakan hukum, mulai tahap penyelidikan, penyidikan dan pemberkasan, penuntutan, serta penjatuhan hukum
berupa hukuman badan dan atau denda; c. Melakukan fasilitasi untuk meningkatkan kapasitas aparat pemerintah,
aparat penegak hukum, masyarakat, dan stakeholders lainnya dalam mendorong percepatan pemberantasan IL di Indonesia.
d. Melakukan penyempurnaan hukum dan sinkronisasi diantara peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan IL di
Indonesia.
110
e. Mengimplementasikan tata kelola pembangunan kehutanan yang baik dengn meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan
hutan di Indonesia; f. Melakukan upaya pemulihan ekosistem hutan dan lingkungannya yang
mengalami degradasi akibat praktek IL; g. Menerapkan aturan dan hukum adat terhadap kegiatan yang merusak
ekosistem hutan di wilayah adat sepanjang masyarakat adat tersebut eksis kelembagaan sosialnya; dan
h. Melakukan penyuluhan dan pendidikan lingkungan akan pentingnya hutan dalam mendukung kehidupan masyarakat.
i. Meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat yang berada di dal am dan sekitar hutan agar tingkat pendapatannya meningkat;
j. Meningkatkan sarana dan prasarana perlindungan hutan. Berkaitan dengan Revenues manfaat yang dapat diperoleh dari
pemberantasan IL, meliputi empat aspek yaitu: ekologi, sosial, ekonomi, dan pemerintahan sebagaimana disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Revenues
Manfaat yang
Dapat Diperoleh
dari Pemberantasan IL
No. Aspek
Revenues
1. Ekologi.
Terjaganya kelestarian lingkungan dan ekosistem.
Mengurangi dampak bencana akibat IL dan kerusakan lingungan lainnya.
Tutupan hutan yang optimal tetap terpelihara sebagai pelindung ekosistem
dan sumber kehidupan masyarakat. Kontribusi
hutan tropis
terhadap lingkungan global dapat dipertahankan
dan meningkat.
2. Sosial.
Menurunkan intensitas konflik, baik konflik antar masyarakat, atau konlik antara
masyarakat dengan hewan hutan yang selama praktek IL terganggu habitatnya.
111
No. Aspek
Revenues
3. Ekonomi.
Meningkatkan pemasukan negara dari hasil hutan.
Meningkatkan keseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan kayu.
Penyelundupan kayu dapat ditekan, sehingga pemasukan terhadap negara
meningkat. Meningkatkan
jaminan keamanan
insvestasi. 4.
Pemerintah. Meningkatkan kredibilitas negara sebagai
negara yang mampu menjaga hutannya dengan
baik, sehingga
dapat meningkatkan kepercayaan internasional.
Tingkat hubungan Relationhship antar stakeholders disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 menunjukkan bahwa hubungan diantara aparat
penegak hukum dalam pemberantasan IL cukup baik. Hubungan yang cukup baik juga terjadi antara aparat penegak hukum dengan instansi
yang secara teknis mengurus pengelolaan hutan, dan instansi yang mengkoordinasikan penangananan IL di Indonesia. Tingkat hubungan
yang kuranglemah terjadi antara instansi teknis kehutanan dan lingkungan dengan daerah. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan
pandangan dalam pengelolaan hutan. Masih banyak daerah yang melihat hutan sebagai sumberdaya alam bernilai ekonomi yang dapat
memberikan masukan pendapatan daerah. Kondisi ini cenderung bagi daerah yang dalam tahap proses pembangunan ekonomi. Untuk
mengembangkan kegiatan ekonominya, daerah membutuhkan dukungan sumberdaya alam termasuk hutan sebagai sumber pendapatan
daerahnya. Tabel 20. juga menunjukkan bahwa pemberantasan IL belum dipandang sebagai masalah bersama yang diindikasikan oleh relasi hanya
cukup baik dalam lingkup aparat penegak hukum dan instansi teknis yang langsung mengurus pengelolaan hutan. Oleh karena itu, upaya untuk
meningkatkan koordinasi diantara stakeholders dalam pemberantasan IL sangat diperlukan.
112
Tabel 20. Tingkat Hubungan Relationhship antar Stakeholders dalam Pemberantasan IL Di Indonesia
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V A
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 B
2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 C
2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 D
2 2 1 2 2 2 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 2 E
1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 F
2 1 1 2 2 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 G
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 H
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 I
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 J
2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 K
1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 L
1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 M
1 2 1 1 1 1 1 1 1 N
1 1 1 1 1 1 1 1 O
1 2 1 1 1 1 1 P
1 1 1 1 2 1 Q
1 1 1 1 1 R
1 1 1 1 S
1 1 1 T
1 1 U
2
Keterangan :
A. Kepolisian I. Departemen Pertahanan
M. Kantor Meneg LH B. Kejaksaan
J. Departemen Perdagangan N. Badan Intelijen Negara BIN
C. Pengadilan K. Departemen Perindustrian
O. Gubernur D. Kantor Menkopolkam
L. Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi
P. Bupati E. Departemen Kehutanan
M. Kantor Meneg LH Q. DPRD Tingkat Provinsi
F. Departemen Keuangan I. Departemen Pertahanan
R. DPRD Tingkat Kabupaten G. Departemen Dalam
Negeri J. Departemen Perdagangan
S. Masyarakat H. Departemen Hukum
HAM K. Departemen Perindustrian
T. Dunia Usaha L. Departemen Tenaga Kerja
Transmigrasi U. LSM
V. Dunia Internasional
7.4. Kesimpulan