117
8.3. Hasil dan
Pembahasan Analisis
Prioritas Kebijakan
Pemberantasan IL di Indonesia
Prioritas kebijakan pemberantasan IL di Indonesia berdasarkan hasil analisis data melalui pendekatan AHP disajikan pada Gambar 33. Secara
umum hasil yang disajikan pada Gambar 33 menunjukkan bahwa faktor, aktor, tujuan, dan alternatif kebijakan yang memiliki nilai prioritas tertinggi
adalah faktor penegakan hukum, aktor pemerintah, tujuan untuk pemulihan ekosistem hutan, dan menerapkan kebijakan yang bersifat
command and control.
Gambar 33. Hirarki Hasil AHP Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia
Hasil analisis
menunjukkan bahwa
prioritas faktor
yang mempengaruhi pemberantasan IL di Indonesia adalah: penegakan hukum
0,483, pemberdayaan ekonomi masyarakat 0,257, pelaksanaan sistem pengelolaan hutan berkelanjutan yang konsisten 0,198, serta
peningkatan pendapatan nasional dan regional 0,093 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 34. Penegakkan hukum law enforcement
dalam pemberantasan IL di Indonesia masih dianggap lemah dan belum menimbulkan efek jera terhadap pelaku IL. Penegakan hukum yang efektif
tentunya tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh upaya
118
pemberdayaan masyarakat sebagai bagian terpadu dalam sistem pengelolaan hutan. Oleh karena itu, konsistensi pelaksanaan sistem
pengelolaan hutan
disamping berkontribusi
terhadap perbaikan
lingkungan juga berkontribusi terhadap pendapatan nasional dan daerah.
0.451
0.257 0.198
0.093
0.05 0.1
0.15 0.2
0.25 0.3
0.35 0.4
0.45 0.5
Penegakan Hukum Ekonomi Masyarakat
Sistem Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Pendapatan Nasional dan Daerah
FAKTOR
BOBOT
Gambar 34. Urutan Prioritas Faktor yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia
Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pemberantasan IL di Indonesia adalah: Pemerintah 0,342, Pemerintah Daerah 0,267, Aparat
Penegak Hukum 0,204, Masyarakat 0,102, dan LSM 0,085 Gambar 35. Praktek IL di Indonesia yang sangat menghawatirkan perlu diberantas
melalui sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan oleh besarnya intensitas praktek IL dan dampaknya terhadap
lingkungan, kehidupan ekonomi masyarakat, dan pembangunan.
0.342 0.267
0.204 0.102
0.085
0.05 0.1
0.15 0.2
0.25 0.3
0.35 0.4
Pemerintah Pemerintah Daerah
Aparat Penegak Hukum M asyarakat
LSM
AKTOR
BOBOT
Gambar 35. Urutan Prioritas Aktor yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia
119
Pemerintah bersama dengan lembaga legislatif sebenarnya dapat merumuskan dan menerapkan kebijakan yang paling efektif untuk
menimbulkan dampak jera bagi pelaku IL. Pemerintah dengan kewenangannya selain menerapkan kebijakan hukum pemberantasan IL,
juga dapat menetapkan kebijakan lainnya untuk mempersempit ruang gerak pelaku IL, misalnya: a menetapkan kebijakan penggunaan bahan
baku industri berbasis hasil hutan harus berasal dari sumber yang sah dan legal; b menetapkan kriteria legalitas kayu; c menetapkan kebijakan
pengelolaan hutan yang bebas korupsi dan kolusi; d memberikan insentif kepada pelaku dunia usaha kehutanan yang mampu mengelola hutannya
dengan berkelanjutan; e meningkatkan kerjasama dengan dunia internasional dalam pemberantasan IL, khususnya yang berkaitan dengan
perdagangan kayu internasional, baik berupa kerjasama bilateral maupun multilateral.
Pemerintah daerah berkontribusi besar terhadap keberhasilan pemberantasan IL di daerahnya, dimana hutan berada di wilayahnya.
Dukungan penuh pemerintah daerah dalam pemberantasan IL merupakan kunci penting pemberantasan IL. Kebijakan daerah yang pro-ekologis
tentunya akan sangat membantu efektifnya pemberantasan IL, namun sebaliknya kebijakan daerah yang lebih memprioritaskan pertumbuhan
ekonomi akan menjadi kendala pemberantasan IL. Permasalahan IL yang cenderung mengarah terhadap pelanggaran
aturan hukum kehutanan memerlukan peranan aparat penegak hukum, baik instansi kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Tiga institusi
penegak hukum tersebut diharapkan mampu berjalan secara harmonis, sehingga proses penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan
memberikan dampak jera terhadap pelaku IL. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pemberantasan IL sangat
penting, dimana
tanpa dukungan
masyarakat maka
program pemberantasan IL tidak akan berjalan efektif. Masyarakat sekitar hutan
dengan kondisi ekonomi yang miskin menjadikan kegiatan penebangan kayu, baik legal maupun ilegal sebagai sumber pekerjaannya karena tidak
120
ada pilihan pekerjaan yang lebih baik. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan IL harus disertai dengan upaya
peningkatan kesejahteraannya, dimana tanpa terpenuhinya kebutuhan hidup, maka hutan yang ada di sekitarnya menjadi tumpuan untuk
bertahan hidup. Pemberantasan IL perlu didukung oleh LSM yang berperan untuk membantu aparat dalam memberikan data informasi
kejadian IL, serta memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan kehidupannya.
Hasil analisis
Gambar 36
menunjukkan bahwa
tujuan pemberantasan IL di Indonesia lebih diprioritaskan pada upaya untuk
memulihkan ekosistem hutan 0,526, meningkatkan nilai ekonomi hutan 0,295, dan meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonommi
0,179. Akibat praktek IL yang tidak terkendali meningkatkan lahan kritis yang terdegradasi kualitasnya. Hutan yang terdegradasi memiliki nilai
tangible dan intangible yang rendah, sehingga untuk meningkatkan nilai manfaat hutan memerlukan upaya pemulihan ekosistem hutan. Hutan
yang kembali baik akan memberikan manfaat yang optimal pula, sehingga nilai ekonomi hutan akan meningkat. Dengan meningkatnya nilai ekonomi
hutan, maka akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi wilayah.
0.526
0.295 0.179
0.000 0.100
0.200 0.300
0.400 0.500
0.600
Pem ulihan Ekosistem Hutan
Peningkatan Nilai Ekonom i Hutan
Peningkatan Kesejahteraan dan
Pertum buhan Ekonom i TUJUAN
BOBOT
Gambar 36. Urutan Prioritas Tujuan yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia
121
Dalam melakukan pemberantasan IL di Indonesia, kebijakan yang bersifat command and control menempati prioritas pertama 0,500, yang
selanjutnya berupa kebijakan yang bersifat insentifdisinsentif 0,315, serta gabungan antara dua kebijakan sebelumnya 0,186 Gambar 36.
Kebijakan command and control dipandang perlu diterapkan dalam pemberantasan IL di Indonesia karena: a Tingkat kekritisan lahan hutan
akibat praktek IL berada pada taraf mengkhawatirkan dan sebagian diantaranya menjadi pemicu terjadinya bencana alam dan bencana
ekologis yang sangat mengganggu kehidupan masyarakat dan pembangunan. Oleh karena itu, penanganan yang cepat dan terpusat
masih diperlukan; dan b Tingkat ketaatan terhadap hukum law compliance masyarakat terhadap aturan hukum kehutanan relatif masih
rendah, sehingga upaya penegakan hukum masih diperlukan untuk mengarahkan perilaku masyarakat agar patuh terhadap aturan hukum
yang telah ditetapkan. Apabila ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum meningkat, maka kebijakan insentif dan disinsentif secara ekonomi
dapat diberlakukan.
0.500 0.315
0.186
0.000 0.100
0.200 0.300
0.400 0.500
0.600
Kebijakan Pemberantasan Illog Bersifat Command and Control
Kebijakan Pemberantasan Illog Bersifat Incentives and
Disinsentives Gabungan Kebijakan
Pemberantasan Illog Bersifat Command and Control dengan
Incentives and Disinsentives ALTERNATIF KEBIJAKAN
BOBOT
Gambar 37. Urutan Prioritas Alternatif Kebijakan yang Mempengaruhi Pemberantasan IL di Indonesia
122
8.4. Kesimpulan