15
2.2. Pemberantasan Illegal logging
Upaya pemberantasan IL menjadi prioritas kebijakan kehutanan yang harus dituntaskan mengingat dampak IL sangat merugikan bagi
kelestarian hutan, kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, juga menjadi ancaman terhadap moral bangsa, kedaulatan, dan keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Walaupun political
will pemerintah kuat dalam pemberantasan IL, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap praktek IL
yang disebut juga sebagai tindak kejahatan kehutanan belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa pada saat operasi pemberantasan IL dilakukan, kegiatan penebangan kayu secara illegal terus berjalan. Tampaknya kegiatan
penegakan hukum belum mampu menciptakan dampak jera bagi pelaku
praktek IL. Persepsi di antara penegak hukum dalam penanganan kasus IL belum sepenuhnya sama. Hal ini diindikasikan dengan masih
banyaknya kasus hukum praktek IL yang divonis hukuman ringan bahkan dibebaskan. Tampaknya peningkatan apresiasi nilai ekosistem hutan perlu
juga dilakukan terhadap aparat penegak hukum, dengan harapan makin tingginya apresiasi penegak hukum terhadap nilai ekosistem hutan maka
makin berat hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku IL Ramdan, 2006. Penegakan aturan hukum akan berjalan efektif apabila tingkat
kepatuhan compliance masyarakat terhadap hukum itu besar. Hirakuri 2003 mengemukakan perbedaan compliance tingkat kepatuhan hukum
dalam bidang kehutanan di Finlandia yang compliance-nya tinggi dan Brazil yang compliance-nya rendah. Tingkat compliance yang tinggi di
Finlandia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu economic incentives, forest extention, institutional management and cooperation, small-scale
forestry, forest-management plans, dan penerapan forest-certification. Adapun di Brazil, beberapa permasalahan pengelolaan hutan diantaranya:
16
complicated administratif procedures for procursing logging permits, deficient processes for forest control, law rates of compliance with forest-
law, ineffectiveness within the legal systems for imposing penalties on violators, institutional problems within enforcement division, scarce
financial resources allocated to field enforcement, dan less economic incentives. Dari kasus yang dikemukakan tersebut tampak bahwa
keberhasilan penegakan hukum tidak berdiri sendiri, namun harus didukung oleh pembenahan instrumen lainnya termasuk di dalamnya
instrumen politik, sosial-kelembagaan, dan ekonomi. Pengembangan sistem pemberantasan IL terpadu merupakan upaya
untuk memadu-harmoniskan antara prinsip sustainability dengan legality dalam proses pemanfaatan hasil hutan Ramdan,2006. Lebih lanjut
Ramdan 2006 menyebutkan bahwa apabila pemberantasan IL combatting Illegal loggingCIL, sustainability S dan legality L masing-
masing dinotasikan masing-masing sebagai CIL, S, dan L, maka CIL = f S , L. Pemberantasan IL tidak akan berjalan apabila parameter S dan L
tidak efektif dijalankan. Dalam hal ini upaya pemberantasan IL perlu dimulai dari diterapkannya S dalam pengelolaan hutan secara konsisten,
transparan, dan akuntabel. Prinsip sustainability dalam pengelolaan hutan yang berintikan kelola ekologis lingkungan, kelola produksi ekonomi,
dan kelola sosial senantiasa harus diterapkan secara utuh dalam pengelolaan hutan sesuai dengan tipologi hutan yang dikelola. Apabila
terjadi gap diantara tiga kelola tersebut berdampak pada ketidaklestarian pengelolaan hutan, misalnya terjadi kerusakan lingkungan dan konflik
sosial. Sistem sustainability dalam pengelolaan hutan menjadi inti kegiatan dalam membangun sistem pemberantasan IL di dalam kawasan
hutan. Dalam kegiatan pengelolaan hutan dikenal adanya tiga pilar, yaitu manajemen hutan MH sebagai inti kegiatan, manajemen kawasan MK
sebagai prasyarat keharusan, dan kelembagaan hutan KH sebagai prasyarat kecukupan sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2. Masing-
masing pilar tersebut saling memengaruhi satu dengan lainnya, sehingga di antara pilar tersebut ada interaksi, yaitu MH-KH, MK-KH, dan MK-KH.
17
Ruang interaksi tersebut selama ini belum berjalan secara sinergis, sehingga pencapaian sistem pengelolaan hutan berkelanjutan sering tidak
tercapai. Implementasi MH sebagai inti kegiatan yang terdiri dari kelola ekologis, kelola produksi, dan kelola sosial apabila tidak dijalankan secara
baik sesuai peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan hutan akan mengundang sistem kelembagaan lainnya untuk mengontrol pilar
MH, misalnya masuknya penyidik di luar PPNS Kehutanan untuk menyidik kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Ruang antara MH-KH perlu
dianalisis model sinergisitasnya sehingga tidak mengganggu MH yang menjadi menjadi inti kegiatan. Begitu pula ruang MK-KH yang
mengintegrasikan inti kegiatan dengan prasyarat keharusan. Pilar KH diantaranya adalah kesesuaian dengan tata ruang dan kepastian
kawasan. Ketidakpastian kawasan sangat berdampak pada iklim investasi dalam inti kegiatan MH, sehingga tanpa terpenuhinya secara baik pilar
MK maka kegiatan MH tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu upaya untuk membangun sinergisitas diantara tiga pilar pengelolaan hutan
perlu dilakukan segera, sehingga ekses negatif ketidaksinergisan diantara ketiga pilar tersebut dapat diminimalkan Ramdan, 2006. Untuk mengkaji
kinerja sustainability
dalam pengelolaan
hutan telah
banyak dikembangkan acuanpedoman yang dapat berfungsi sebagai sistem
verifikasi kehutanan. Dalam kegiatan pengusahaan hutan dapat ditemukan beberapa lembaga dan sistem verifikasi kehutanan yang ada di
Indonesia sebagai berikut : A. Departemen Kehutanan
1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL 2. Laporan Tahunan Unit Manajemen ke DepHut
3. Lembaga Penilai Independen LPI 4. Kelompok Kerja Restrukturisasi Pengusahaan Hutan Produksi
Alam 5. Penatausahaan Hasil Hutan PUHH
B. Lembaga Ekolabel Indonesia LEI 1. Sertifikasi PHAPL
18
2. Sertifikasi PHTL 3. Sertifikasi PHBML
4. Sertifikasi Lacak Balak CoC D. Forest Stewardship Council FSC
E. International Tropical Timber Organization ITTO F. Masyarakat Perhutanan Indonesia MPI- Self Declaration
Pernyataan Diri G. Badan Revitalisasi Industri Kehutanan BRIK – Departemen
Kehutanan serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan H. The Nature Conservancy TNC
I. Tropical Forest Foundation TFF J. Global Forest And Trade Network GFTN
Gambar 2. Tiga Pilar Pengelolaan Hutan
Sistem verifikasi kehutanan tersebut menjadi gerbang pertama dalam menyusun sistem pemberantasan IL secara terpadu. Belum dipahaminya
sistem verifikasi kehutanan diantara stakeholders kehutanan, baik pelaku usaha, pemerintah, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan
masyarakat menimbulkan gap yang menimbulkan ekses negatif terhadap perkembangan pembangunan sektor kehutanan. Harmonisasi persepsi
diantara stakeholders kehutanan terhadap sistem verifikasi kehutanan perlu dilakukan dengan menyusun Standar Verifikasi Kegiatan Kehutanan
19
yang disepakati oleh semua pihak. Keberadaan standar tersebut diharapkan akan membangun visi bersama dalam memantau proses
kegiatan kehutanan secara transparan dan akuntabel, sehingga ekses negatif dari kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dapat dihindari
Ramdan, 2006. Pemberantasan IL dengan tingkat kompleksitasnya yang tinggi tidak
cukup mengacu pada proses sustainability di tingkat unit pengelolaan, tetapi harus memperhatikan pula proses legality di setiap proses
pengelolaannya. Upaya membangun sistem pemberantasan IL di Indonesia mencakup beberapa tahapan kegiatan. Ramdan 2006
menyebutkan bahwa langkah pengembangan sistem dimulai dari menganalisis tiga sistem yang mempengaruhi pengelolaan hutan, yaitu
sistem manajemen kawasan dan tata ruang, sistem pengelolaan hutan, dan sistem kelembagaannya yang digunakan untuk menyusun pola
sinergisitasnya diantara ketiga sistem tersebut. Adanya sinergisitas antar sistem tersebut akan membangun harmonisasi antara sistem sustainabilty
dan legality dalam pengelolaan hutan. Komponen utama dari sistem sustainability dan legality yang perlu dibangun menyangkut : a
implementasi prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan; b pembenahan struktur hukum terkait IL; c kebijakan insentif dan
disinsentif; serta d pemberdayaan ekonomi dan partisipasi masyarakat. Koordinasi dan pengawasan antar lembaga perlu dilakukan diantara
komponen a dan b sehingga diperoleh Standar Verifikasi dan Legalitas Pemanfaatan Hasil Hutan yang menjadi bagian penting dari harmonisasi
sistem pengelolaan hutan dan legalitas pemanfaatan hasil hutan. Kebijakan insentif dan disinsentif diarahkan untuk mendorong pelaku
pemanfaatan hutan yang legal agar mengelola hutannya secara on the track sesuai dengan sistem pengelolaan hutan berkelanjutan. Komponen
pemberdayaan masyarakat dan partisipasi masyarakat terdiri dari upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan, peningkatan
apresiasi nilai
sumberdaya hutan,
dan sistem
pengawasan pemberantasan IL oleh masyarakat secara partisipatif. Peningkatan
20
pendapatan dan apresiasi nilai terhadap sumberdaya hutan diharapkan akan membangun sistem perlindungan ekosistem hutan oleh masyarakat
secara mandiri. Pengembangan sistem pengawasan oleh masyarakat didasarkan atas fakta bahwa kemampuan untuk mengontrol praktek IL
tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi harus didukung penuh oleh partisipasi masyarakat. Penanganan praktek IL perlu
dilakukan secara komprehensif. Tidak cukup hanya dengan penegakan hukum saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek lainnya. Ramdan
2006 menyebutkan bahwa alternatif penanganan Illegal logging dapat
dilakukan dengan model BILL sebagai akronim dari Berantas yang Illegal-Lindungi yang Legal yang meliputi beberapa kegiatan sebagai
berikut :
a. Penegakan Hukum Kegiatan penegakan hukum dilakukan untuk menimbulkan
dampak jera terhadap pelaku praktek IL dan meningkatkan tingkat ketaatan publik terhadap peraturan perundangan khususnya di bidang
kehutanan. Proses penegakan hukum terdiri dari : penyidikan, penuntutan, pemidanaan, dan pelaksanaaneksekusi. Tahapan
penyidikan IL menjadi permasalahan tersendiri dalam pemberantasan IL terkait masih lemahnya koordinasi antar institusi penyidik dalam
pemberantasan IL. Lemahnya koordinasi antar penyidik tersebut merupakan celah yang mudah diterobos pelaku IL. Oleh karena itu
perlu pembenahan sistem penyidikan yang terintegrasi diantara institusi penyidik dalam pemberantasan IL
2
.
2
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan Pasal 1
ayat 1 UU No.81981.Ada empat institusi penyidik : penyidik Polri, penyidik PPNS, penyidik Kejaksaan, dan Penyidik Perwira TNI-AL. Tata cara penyerahan berkas perkara oleh PPNS kepada
penyidik Polri diatur oleh Fatwa Mahkamah Agung No.KMA114IV1990 tanggal 7 April 1990 : Baik terhadap tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus Penyidikan PNS tersebut selesai
melakukan penyidikannya harus menyerahkan hasil penyidikannya secara nyata kepada penyidik Polri, barulah setelah itu Penyidik Polri menyerahkan hasil penyidikan PPNS berkas perkara
kepada penuntut umum.
21
b. Peningkatan Apresiasi Publik terhadap Nilai Ekosistem Hutan Upaya untuk meningkatkan apresiasi publik terhadap nilai
ekosistem hutan, disamping dengan metode formal melalui penyuluhan, juga dapat dilakukan dengan pendekatan kultural. Secara
kultural, publik diberikan penjelasan keterkaitan antara tata nilai sosial dengan potensi nilai yang dikandung dalam hutan sebagai sistem
penyangga kehidupan masyarakat. c. Kebijakan Insentif Menghindari Degradasi Hutan
Pemberantasan IL sebaiknya juga memperhatikan kelompok dunia usaha kehutanan yang melakukan kegiatannya secara legal.
Insentif dan penghargaan seharusnya lebih besar diberikan pula pada kelompok dunia usaha atau masyarakat yang selama ini telah
berupaya keras melakukan pencegahan dehutanisasi deforestration avoidance. Tampaknya dalam hal ini pemerintah perlu membuat
kebijakan insentif untuk merangsang dunia usaha dan masyarakat mau menjalankan aktifitasnya secara legal, sehingga gambaran bahwa
berusaha secara legal lebih mahal daripada usaha ilegal dapat dihapuskan. Sebaliknya kebijakan disinsentif bagi dunia usaha yang
melakukan aktifitas ilegal perlu diterapkan pula. Kebijakan disinsentif bagi pelaku aktifitas IL yang dibuat ditujukan untuk membuat efek jera
bahwa apabila berusaha di bidang kehutanan secara ilegal dapat dipastikan secara ekonomi akan rugi. Tampaknya bentuk kebijakan
insentif ini tidak akan efektif berjalan sepanjang korupsi masih marak, sehingga penerapan prinsip-prinsip good governance dalam
pengusahaan hutan mutlak diperlukan. d. Pemberdayaan Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan secara umum relatif rendah. Kelimpahan sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya
tidak mampu mengangkat kondisi ekonominya menjadi lebih baik, sebaliknya akibat eksploitasi hutan yang menimbulkan eksternalitas
negatif telah menjadi beban sosial masyarakat yang berkepanjangan
22
dan cenderung makin termarjinalkan. Kemiskinan dan sempitnya peluang berusaha bagi masyarakat sekitar hutan mendorong mereka
untuk terlibat dalam praktek IL dengan dukungan dana dari pihak luar yang secara ekonomi jauh lebih kuat. Ketika sumberdaya hutan di
sekitarnya yang menjadi rusak, maka pada saat itu pula kemiskinan mereka bertambah. Oleh karena itu upaya pemberdayaan masyarakat
harus terintegrasi dengan program pemberantasan praktek IL. Hasil Operasi Wanalaga Lodaya Tahun 2003 di tiga kawasan konservasi
Cagar Alam Gunung Papandayan, Cagar Alam Gunung Talagabodas, dan Cagar Alam Leuweung Sancang di Kabupaten Garut Provinsi
Jawa Barat menunjukkan bahwa kegiatan penegakan hukum telah berhasil membuat dampak jera pelaku perambahan lahan hutan,
termasuk penggarap lahan hutan di luar kawasan tersebut. Namun ketika upaya pemberdayaan masyarakat terlambat diluncurkan, maka
beberapa perambah lahan hutan yang tadinya sepakat menghentikan aktifitasnya kembali masuk merambah lahan hutan di kawasan
konservasi dan lindung yang ada. Masalah kebutuhan ekonomi ternyata masih menjadi alasan klasik untuk menjarah hutan bagi
kelompok masyarakat yang tingkat ekonominya rendah. e. Kerjasama Internasional Pemberantasan Illegal logging
Sebagian dari kayu diselundupkan ke luar negeri. Beberapa negara mengimpor bahan baku kayunya secara illegal dari Indonesia.
Upaya menyetop perdagangan kayu ilegal tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa kerjasama dengan negara yang disinyalir mengimpor
kayu illegal. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus lebih proaktif terlibat dalam perjanjian multilateral dan bilateral yang berkaitan
dengan pemberantasan praktek IL. Komitmen bersama perlu dibangun dengan negara-negara lain yang selama ini menjadi pengimpor kayu
dalam memerangi praktek IL.
23
2.3. Analisis Stakeholders