Matriks pendapat gabungan Lokasi dan Waktu Penelitian Rancangan Penelitian

26 elemen dalam suatu level struktur keputusan. Berdasarkan bobot normal akan didapatkan nilai eigen vector dan index konsistensi. Ketiga langkah ini diulang untuk mendapatkan bobot dari masing- masing elemen pada setiap levelnya. Selanjutnya,

d. Matriks pendapat gabungan

Untuk mendapatkan matriks pendapat gabungan maka pertama- tama dilakukan penentuan skala kepentingan relatif serta bobot dua elemen pada suatu tingkat level II dalam kaitannya dengan elemen pada tingkat diatasnya level I. Penentuan skala kepentingan diulang pada semua elemen pada suatu level terhadap masing-masing elemen pada level di atasnya.

e. Prioritas pengambilan keputusan

Penentuan prioritas keputusan yang akan diambil untuk dikembangkan di suatu daerah ditentukan dengan melakukan sintesa dari bobot prioritas dari semua variabel yang ada pada tiap-tiap level pada struktur keputusan. Jika konsistensi keseluruhan dari matriks gabungan 10 maka prioritas tersebut sudah konsisten. Pendekatan AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu:

1. Dekomposisi

Dengan prinsip ini struktur masalah yang kompleks dibagi menjadi bagian-bagian secara hierarki. Tujuan didefinisikan dari yang umum sampai khusus . Dalam bentuk yang paling sederhana struktur akan dibandingkan tujuan ,kriteria dan level alternatif. Tiap himpunan alternatif mungkin akan dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detail ,mencakup lebih banyak kriteria yang lain. Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri atas satu elemen. Level berikutnya mungkin mengandung beberapa elemen, di mana elemen-elemen tersebut bisa dibandingkan, memiliki kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki perbedaan 27 yang terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level yang baru.

2. Perbandingan penilaianpertimbangan comparative judgments

Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala penilaian yang berupa angka. Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika dikombinasikan akan menghasilkan prioritas.

3. Sintesa Prioritas

Sintesa prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dari kriteria bersangkutan di level atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang dipengaruhi kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau dikenal dengan prioritas global yang kemudian digunakan untuk memboboti prioritas lokal dari elemen di level terendah sesuai dengan kriterianya. AHP didasarkan atas empat aksioma utama yaitu Amborowati, 2006 : a. Aksioma Resiprokal Aksioma ini menyatakan jika PC EA,EB adalah sebuah perbandingan berpasangan antara elemen A dan elemen B, dengan memperhitungkan C sebagai elemen parent, menunjukkan berapa kali lebih banyak properti yang dimiliki elemen A terhadap B, maka PC EB,EA= 1 PC EA,EB. Misalnya jika A 5 kali lebih besar daripada B, maka B=15 A. b. Aksioma Homogenitas Aksioma ini menyatakan bahwa elemen yang dibandingkan tidak berbeda terlalu jauh. Jika perbedaan terlalu besar, hasil yang didapatkan mengandung nilai kesalahan yang tinggi. Ketika hirarki dibangun, kita harus berusaha mengatur elemen-elemen agar elemen tersebut tidak 28 menghasilkan hasil dengan akurasi rendah dan inkonsistensi tinggi. c. Aksioma Ketergantungan Aksioma ini menyatakan bahwa prioritas elemen dalam hirarki tidak bergantung pada elemen level di bawahnya. Aksioma ini membuat kita bisa menerapkan prinsip komposisi hirarki. d. Aksioma Ekspektasi Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap Selanjutnya Saaty 2001 menyatakan bahwa proses hirarki analitik AHP menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas isu kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukung keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur kedalam suatu komponen-komponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP kita dapat memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut Marimin, 2004. Tahapan prosedur dalam AHP adalah sebagai berikut: a. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi. b. Penilaian kriteria dan alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty 1988, untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 29 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan Keterangan 1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya 5 Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya 7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya 9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya Proses perbandingan berpasangan, dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A, kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Maka susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Contoh matriks perbandingan berpasangan A1 A2 A3 A1 1 A2 1 A3 1 Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 4. Penilaian ini dilakukan oleh seorang pembuat keputusan yang ahli dalam bidang persoalan yang sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j dibandingkan 30 dengan elemen i merupakan kebalikannya. Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung direct, yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya atau dari pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan tersebut. Jika si pengambil keputusan memiliki pengalaman atau pemahaman yang besar mengenai masalah keputusan yang dihadapi, maka dia dapat langsung memasukkan pembobotan dari setiap alternatif. c. Penentuan prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan pairwise comparisons. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas melalui tahapan- tahapan beriku : a kuadratkan matriks hasil perbandingan berpasangan; dan b hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi matriks. d. Konsistensi Logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut Suryadi dan Ramdhani, 1998: Hubungan kardinal : a ij . a jk = a ik Hubungan ordinal : A i A j , A j A k maka A i A k 31 Hubungan di atas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut : a dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak empat kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pisang maka anggur lebih enak delapan kali dari pisang; b Dengan melihat preferensi transitif, misalnya anggur lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pisang maka anggur lebih enak dari pisang. Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : a. Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian. b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris. c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks. e. Indeks Konsistensi CI = λmaks-n n-1 f. Rasio Konsistensi = CI RI, di mana RI adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan. Daftar RI dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Indeks Random Saaty, 2001 Ukuran Matriks Nilai RI Ukuran Matriks Nilai RI 1,2 0,00 9 1,45 3 0,58 10 1,49 4 0,90 11 1,51 5 1,12 12 1,48 6 1,24 13 1,56 7 1,32 14 1,57 8 1,41 15 1,59 9 1,45 10 1,49 11 1,51 12 1,48 13 1,56 14 1,57 15 1,59 32

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Jakarta dan Jambi selama 12 dua belas bulan mulai bulan April 2008 sampai April 2009. Jakarta adalah pusat pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan wilayah dimana perumusan dan penetapan kebijakan tingkat nasional dilakukan, termasuk kebijakan tentang pemberantasan IL di Indonesia. Berbagai instansi dan lembaga yang terkait dengan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia berada di Jakarta, sehingga sumber informasi dan nara sumber yang berkaitan dengan pemberantasan IL tingkat nasional juga berada di Jakarta. Untuk memperdalam kasus IL dan pemberantasannya di lapangan, maka dilakukan pendalaman kasus di Provinsi Jambi. Kasus IL di Provinsi Jambi dalam tiga tahun terakhir meningkat sejak dilakukannya operasi pemberantasan IL secara besar-besaran di Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Jambi.

3.2. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu : a Menganalisis kebijakan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia; b Menganalisis peranan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL di Indonesia;c Menentukan prioritas alternatif kebijakan pemberantasan IL yang efektif dan sesuai diterapkan di Indonesia. 3.2.1. Analisis Kebijakan Terkait Pemberantasan IL 3.2.1.1.Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia, baik yang bersifat lex specialis khusus maupun lex generalisumum. Sumber data sekunder berasal dari instansilembaga yang memiliki kaitan 33 dengan upaya pemberantasan IL di Indonesia, seperti : Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kepolisian Republik Indonesia POLRI, Departemen Kehutanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Pusat Informasi Kehutanan Provinsi Jambi, Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jambi, dan EC-FLEGT EC-Indonesia Forest Law Enforcement, Governance and Trade. Penelusuran peraturan perundang-undangan terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia dilakukan pula dengan menggunakan fasilitas penelusuran browsing melalui internet. Selain dokumen peraturan perundang-undangan, data sekunder lainnya yang diperlukan adalah peta-peta tematik, yaitu : peta penunjukkan kawasan hutan dan perairan Provinsi Jambi, peta administrasi, dan peta jaringan jalan. 3.2.1.2.Parameter yang Diamati Penelitian difokuskan kepada aturan hukum yang secara tekstual terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia, terutama menyangkut ketersediaan aturan sanksi hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat lex specialis maupun lex generalis. Peraturan perundang-undangan yang bersifat lex specialis sebagai dasar hukum pemberantasan IL di Indonesia yaitu : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerntah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di KawasanHutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Adapun peraturan perundang-undangan yang bersifat lex generalis dan memiliki keterkaitan dengan pemberantasan IL di Indonesi yaitu : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan 34 Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang- Undang No. 20 tahun 2001, Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. Parameter yang diamati difokuskan kepada pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap kegiatan IL di Indonesia, baik yang ada di dalam aturan hukum yang sifatnya lex specialis maupun lex generalis. 3.2.1.3.Metode Analisis Data Analisis kebijakan dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan kritis. Muhadjir 2000 mengemukakan tahapan dalam pendekatan kritis kajian hukum dan perundang-undangan, yaitu : a mengadakan kritik terhadap teori dan praktek dari peraturan perundang-undangan yang ada, b membangun konstruksi teoritik yang baru, c dari kontsruksi teori baru dituangkan dalam program institusional sebagai pijakan pengembangan kelembagaan, dan d menelaah implikasi peraturan perundang-undangan baik berupa konsekuensi logis internal maupun eksternalnya. Hasil analisis kritis tersebut dijadikan dasar dalam mengkaji apakah peraturan perundang-undangan yang selama ini digunakan dalam pengaturan pengelolaan hutan dan pemberantasan IL sudah efektif dalam mengendalikan permasalahan IL di Indonesia. 3.2.2. Analisis Kelembagan Pemberantasan IL 3.2.2.1.Metode Pengumpulan Data Analisis kelembagaan memerlukan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terstruktur yang disertai 35 dengan pengisian kuisioner oleh responden. Responden dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan keterkaitan peranan dari masing- masing responden sebagai bagian dari stakeholders yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pemberantasan IL di Indonesia, yaitu : pemerintah, pemerintah daerah dinasinstansi daerah yang mengurus kehutanan, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, LSM, akademisi, serta tokoh masyarakat. Jumlah responden berjumlah 46 empat puluh enam orang. 3.2.2.2.Parameter yang Diamati Selain informasi umum tentang responden, beberapa parameter kelembagaan yang dikaji meliputi : hak-hak, tanggung-jawab, manfaat yang akan didapatkan, dan intensitas keterkaitan antar stakeholders dalam pengendalian kebijakan IL di Indonesia. 3.2.2.3.Metode Analisis Data Analisis kelembagaan difokuskan untuk mengkaji peranan setiap stakeholders dalam pemberantasan IL, terutama yang berkaitan dengan dengan rights hak-hak yang dimiliki stakeholders, responsibilities tanggung-jawab yang dimiliki stakeholders, revenuereturns hasil manfaat yang didapatkan stakeholders, dan relationship hubungan antar stakeholders. Untuk mendapatkan empat parameter tersebut, maka disusun kuisioner yang diminta untuk diisi oleh responden yang terpilih secara purposif. Hasil pengisian kuisioner selanjutnya ditabulasikan sehingga diperoleh informasi tentang karakteristik kelembagaan dari setiap stakeholders, terutama yang berkaitan dengan empat parameter utamanya yaitu hak-hak yang dimiliki stakeholders, tanggung-jawab yang dimiliki stakeholders, manfaat yang didapatkan stakeholders, dan hubungan antar stakeholders dalam pemberantasan IL di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis dengan pendekatan 4 Rs tersebut akan diperoleh karakteristik kelembagaan pemberantasan IL di Indonesia saat ini, sehingga rekomendasi pembenahan kelembagaan pemberantasan IL dapat dibangun. 36 3.2.3. Penentuan Prioritas Alternatif Kebijakan Pemberantasan IL 3.2.3.1.Metode Pengumpulan Data Rumusan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia harus sesuai dengan karakteristik wilayahnya, termasuk di dalamnya karakteristik sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Untuk mendapatkan informasi tersebut dilakukan kegiatan pengumpulan data melalui kegiatan wawancara dengan para pihak stakeholders yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia. Wawancara juga dilengkapi dengan pengisian kuisioner yang telah dibuat sebelumnya. Kuisioner yang dibuat berisi pertanyaan tentang : identitas responden, nilai perbandingan responden terhadap faktor, aktor, tujuan, dan alternatif dalam pemberantasan IL di Indonesia. Sampel responden dipilih secara purposif dengan pertimbangan bahwa responden yang benar-benar memahami permasalahan lingkungan, responden dipilih dari kalangan pemerintah, pemerintah daerah dinasinstansi daerah yang mengurus kehutanan, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, LSM, akademisi, serta tokoh masyarakat. Jumlah responden adalah 46 orang. 3.2.3.2.Parameter yang Diamati Responden yang dipilih dalam penelitian ini dilakukan secara purposif, yaitu responden yang dianggap memahami secara baik permasalahan pemberantasan IL di Indonesia yang berasal dari instansilembaga pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga internasional yang memiliki program pemberantasan IL, akademisi, aparat penegak hukum, lembaga adat, dan masyarakat. Instansi pemerintah yang menjadi responden adalah instansi yang diinstruksikan berdasarkan instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Kayu Illegal dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Responden dari pakar dan akademisi dipilih dengan mempertimbangkan beberapa kriteria, yaitu: a memiliki pengalaman yang kompeten sesuai bidang yang dikaji; b memiliki reputasi, kedudukanjabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang 37 dikaji; serta c memiliki kredibilitas tinggi, bersedia, dan atau berada di lokasi yang dikaji. 3.2.3.3.Metode Analisis Data Analisis dilakukan dengan menggunakan metode AHP Anaytical Hierarchy Process. Hirarki desain kebijakan pemberantasan IL di Indonesia disusun mulai dari tingkatan level paling tinggi sampai paling rendah dalam hirarki. Tingkatan tertinggi merupakan fokus, disusul oleh faktor, pelaku aktor, dan alternatif kebijakan. Prinsip penilaian dalam AHP adalah membandingkan secara berpasangan pairwise comparisons tingkat kepentingan atau tingkat pengaruh satu elemen dengan elemen lainnya yang berada dalam satu tingkatan level berdasarkan pertimbangan tertentu. Nilai yang diberikan berada dalam skala pendapat yang dikeluarkan oleh Saaty 1993 sebagaimana telah ditunjukkan pada Tabel 4. Nilai rata-rata geometrik dari semua responden dari setiap nilai pendapat yang dibandingkan diolah menggunakan perangkat lunak Hipre 3+. Analisis ini digunakan untuk menginterpretasi prioritas dari faktor, aktor, dan sifat kebijakan yang mempengaruhi kebijakan pemberantasan IL di Indonesia. Tabel 7. Matriks Ringkasan Metodologi Penelitian Metodologi No Sub Tujuan Pengumpulan Data Parameter Analisis Data Output 1. Efektifitas kebijakan dan peraturan perundang- undangan terkait IL efektif menurunkan praktek IL  Penelusuran pustaka  Aturan sanksi yang ada dalam peraturan perundangan  Analisis deskriptif dengan pendekatan kritis  Terpetakannya aturan hukum pemberantasan IL di Indonesia 2. Peranan kelembagaan stakeholders dalam pemberantasan IL di Indonesia  Penelusuran pustaka, wawancara terstruktur, kuisioner.  Hak-hak, Tanggung- jawab Manfaat yang akan didapatkan intensitas keterkaitan antar stakeholders  Analisis 4Rs  Terpetakannya kelembagaan rules of game dalam pemberantasan IL di Indonesia 3. Desain kebijakan yang dapat dipandang efektif dalam pemberantasan IL  Penelusuran pustaka, wawancara terstruktur, kuisioner.  Faktor, Aktor, Tujuan, dan Alternatif Kebijakan, terkait IL di Indonesia  Analisis AHP  Rumusan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia 38

3.3. Definisi Operasional