26
elemen dalam suatu level struktur keputusan. Berdasarkan bobot normal akan didapatkan nilai eigen vector dan index konsistensi.
Ketiga langkah ini diulang untuk mendapatkan bobot dari masing- masing elemen pada setiap levelnya. Selanjutnya,
d. Matriks pendapat gabungan
Untuk mendapatkan matriks pendapat gabungan maka pertama- tama dilakukan penentuan skala kepentingan relatif serta bobot
dua elemen pada suatu tingkat level II dalam kaitannya dengan elemen pada tingkat diatasnya level I. Penentuan skala
kepentingan diulang pada semua elemen pada suatu level terhadap masing-masing elemen pada level di atasnya.
e. Prioritas pengambilan keputusan
Penentuan prioritas keputusan yang akan diambil untuk dikembangkan di suatu daerah ditentukan dengan melakukan
sintesa dari bobot prioritas dari semua variabel yang ada pada tiap-tiap level pada struktur keputusan. Jika konsistensi
keseluruhan dari matriks gabungan 10 maka prioritas tersebut sudah konsisten. Pendekatan AHP didasarkan atas 3 prinsip
dasar yaitu:
1. Dekomposisi
Dengan prinsip ini struktur masalah yang kompleks dibagi menjadi bagian-bagian secara hierarki. Tujuan didefinisikan
dari yang umum sampai khusus . Dalam bentuk yang paling sederhana struktur akan dibandingkan tujuan ,kriteria dan
level alternatif. Tiap himpunan alternatif mungkin akan dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detail ,mencakup lebih
banyak kriteria yang lain. Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri atas satu elemen. Level
berikutnya mungkin mengandung beberapa elemen, di mana elemen-elemen
tersebut bisa
dibandingkan, memiliki
kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki perbedaan
27
yang terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level yang baru.
2. Perbandingan penilaianpertimbangan comparative judgments
Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan
skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala
penilaian yang
berupa angka.
Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika dikombinasikan akan
menghasilkan prioritas.
3. Sintesa Prioritas
Sintesa prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dari kriteria bersangkutan di level atasnya
dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang dipengaruhi kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau dikenal
dengan prioritas global yang kemudian digunakan untuk memboboti prioritas lokal dari elemen di level terendah sesuai
dengan kriterianya. AHP didasarkan atas empat aksioma utama yaitu Amborowati, 2006 :
a. Aksioma Resiprokal Aksioma ini menyatakan jika PC EA,EB adalah sebuah
perbandingan berpasangan antara elemen A dan elemen B, dengan memperhitungkan C sebagai elemen parent,
menunjukkan berapa kali lebih banyak properti yang dimiliki elemen A terhadap B, maka PC EB,EA= 1 PC
EA,EB. Misalnya jika A 5 kali lebih besar daripada B, maka B=15 A.
b. Aksioma Homogenitas Aksioma ini menyatakan bahwa elemen yang dibandingkan
tidak berbeda terlalu jauh. Jika perbedaan terlalu besar, hasil yang didapatkan mengandung nilai kesalahan yang
tinggi. Ketika hirarki dibangun, kita harus berusaha mengatur elemen-elemen agar elemen tersebut tidak
28
menghasilkan hasil
dengan akurasi
rendah dan
inkonsistensi tinggi. c. Aksioma Ketergantungan
Aksioma ini menyatakan bahwa prioritas elemen dalam hirarki tidak bergantung pada elemen level di bawahnya.
Aksioma ini membuat kita bisa menerapkan prinsip komposisi hirarki.
d. Aksioma Ekspektasi Struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini
tidak dipenuhi maka pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objektif yang tersedia atau diperlukan
sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap Selanjutnya Saaty 2001 menyatakan bahwa proses hirarki analitik
AHP menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas isu kompleks dengan menyederhanakan dan
mempercepat proses pendukung keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merinci suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur
kedalam suatu komponen-komponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP kita dapat memecahkan suatu masalah dalam
pengambilan keputusan. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi
bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang
arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa
untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut Marimin, 2004.
Tahapan prosedur dalam AHP adalah sebagai berikut: a. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi.
b. Penilaian kriteria dan alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan.
Menurut Saaty 1988, untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9
29
adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat
pada Tabel 4. Tabel 4. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan
Intensitas Kepentingan
Keterangan
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang
lainnya 5
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya 7
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya 9
Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya 2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan
Perbandingan dilakukan
berdasarkan kebijakan
pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap
elemen lainnya Proses perbandingan berpasangan, dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A,
kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Maka susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan
tampak seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Contoh matriks perbandingan berpasangan
A1 A2
A3 A1
1 A2
1 A3
1 Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen
digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 4. Penilaian ini dilakukan oleh seorang pembuat keputusan yang ahli
dalam bidang persoalan yang sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan
dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j dibandingkan
30
dengan elemen i merupakan kebalikannya. Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung direct, yaitu
metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya atau dari
pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan tersebut. Jika si pengambil keputusan memiliki pengalaman atau
pemahaman yang besar mengenai masalah keputusan yang dihadapi, maka dia dapat langsung memasukkan pembobotan dari setiap
alternatif. c. Penentuan prioritas
Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan pairwise comparisons. Nilai-nilai perbandingan relatif
kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat
dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan
manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan
disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas melalui tahapan- tahapan beriku : a kuadratkan matriks hasil perbandingan
berpasangan; dan b hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi matriks.
d. Konsistensi Logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan
secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan
tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut Suryadi dan Ramdhani,
1998: Hubungan kardinal
: a
ij
. a
jk
= a
ik
Hubungan ordinal : A
i
A
j
, A
j
A
k
maka A
i
A
k
31
Hubungan di atas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikut : a dengan melihat preferensi multiplikatif, misalnya bila anggur lebih enak
empat kali dari mangga dan mangga lebih enak dua kali dari pisang maka anggur lebih enak delapan kali dari pisang; b Dengan melihat
preferensi transitif, misalnya anggur lebih enak dari mangga dan mangga lebih enak dari pisang maka anggur lebih enak dari pisang.
Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten
sempurna. Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : a. Mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian.
b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris. c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan
hasilnya dijumlahkan. d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks.
e. Indeks Konsistensi CI = λmaks-n n-1 f. Rasio Konsistensi = CI RI, di mana RI adalah indeks random
konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan. Daftar RI dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Indeks Random Saaty, 2001
Ukuran Matriks Nilai RI
Ukuran Matriks Nilai RI
1,2 0,00
9 1,45
3 0,58
10 1,49
4 0,90
11 1,51
5 1,12
12 1,48
6 1,24
13 1,56
7 1,32
14 1,57
8 1,41
15 1,59
9 1,45
10 1,49
11 1,51
12 1,48
13 1,56
14 1,57
15 1,59
32
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Jakarta dan Jambi selama 12 dua belas bulan mulai bulan April 2008 sampai April 2009. Jakarta adalah
pusat pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan wilayah dimana perumusan dan penetapan kebijakan tingkat nasional dilakukan,
termasuk kebijakan tentang pemberantasan IL di Indonesia. Berbagai instansi dan lembaga yang terkait dengan kebijakan pemberantasan IL di
Indonesia berada di Jakarta, sehingga sumber informasi dan nara sumber yang berkaitan dengan pemberantasan IL tingkat nasional juga berada di
Jakarta. Untuk memperdalam kasus IL dan pemberantasannya di lapangan,
maka dilakukan pendalaman kasus di Provinsi Jambi. Kasus IL di Provinsi Jambi dalam tiga tahun terakhir meningkat sejak dilakukannya operasi
pemberantasan IL secara besar-besaran di Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan Jambi.
3.2. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu : a Menganalisis kebijakan yang terkait dengan pemberantasan IL di
Indonesia; b Menganalisis peranan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL di Indonesia;c Menentukan prioritas alternatif
kebijakan pemberantasan IL yang efektif dan sesuai diterapkan di Indonesia.
3.2.1. Analisis Kebijakan Terkait Pemberantasan IL 3.2.1.1.Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia,
baik yang bersifat lex specialis khusus maupun lex generalisumum. Sumber data sekunder berasal dari instansilembaga yang memiliki kaitan
33
dengan upaya pemberantasan IL di Indonesia, seperti : Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kepolisian Republik
Indonesia POLRI, Departemen Kehutanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Pusat Informasi
Kehutanan Provinsi Jambi, Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jambi, dan EC-FLEGT EC-Indonesia Forest Law Enforcement, Governance and
Trade. Penelusuran peraturan perundang-undangan terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia dilakukan pula dengan menggunakan
fasilitas penelusuran browsing melalui internet. Selain dokumen peraturan perundang-undangan, data sekunder lainnya yang diperlukan
adalah peta-peta tematik, yaitu : peta penunjukkan kawasan hutan dan perairan Provinsi Jambi, peta administrasi, dan peta jaringan jalan.
3.2.1.2.Parameter yang Diamati
Penelitian difokuskan kepada aturan hukum yang secara tekstual terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia, terutama menyangkut
ketersediaan aturan sanksi hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat lex specialis maupun lex generalis.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat lex specialis sebagai dasar hukum pemberantasan IL di Indonesia yaitu : Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Peraturan Pemerntah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan, Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di KawasanHutan Dan Peredarannya Di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia. Adapun peraturan perundang-undangan yang bersifat lex generalis dan memiliki keterkaitan dengan
pemberantasan IL di Indonesi yaitu : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
34
Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang- Undang No. 20 tahun 2001, Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang
Perubahan atas
Undang-undang No.31
tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi
Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Parameter yang diamati difokuskan kepada pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap kegiatan IL di Indonesia, baik
yang ada di dalam aturan hukum yang sifatnya lex specialis maupun lex generalis.
3.2.1.3.Metode Analisis Data
Analisis kebijakan dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan kritis. Muhadjir 2000 mengemukakan tahapan dalam pendekatan kritis
kajian hukum dan perundang-undangan, yaitu : a mengadakan kritik terhadap teori dan praktek dari peraturan perundang-undangan yang ada,
b membangun konstruksi teoritik yang baru, c dari kontsruksi teori baru dituangkan dalam program institusional sebagai pijakan pengembangan
kelembagaan, dan d menelaah implikasi peraturan perundang-undangan baik berupa konsekuensi logis internal maupun eksternalnya. Hasil
analisis kritis tersebut dijadikan dasar dalam mengkaji apakah peraturan perundang-undangan yang selama ini digunakan dalam pengaturan
pengelolaan hutan dan pemberantasan IL sudah efektif dalam mengendalikan permasalahan IL di Indonesia.
3.2.2. Analisis Kelembagan Pemberantasan IL 3.2.2.1.Metode Pengumpulan Data
Analisis kelembagaan memerlukan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terstruktur yang disertai
35
dengan pengisian kuisioner oleh responden. Responden dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan keterkaitan peranan dari masing-
masing responden sebagai bagian dari stakeholders yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pemberantasan IL di
Indonesia, yaitu : pemerintah, pemerintah daerah dinasinstansi daerah yang mengurus kehutanan, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, LSM,
akademisi, serta tokoh masyarakat. Jumlah responden berjumlah 46 empat puluh enam orang.
3.2.2.2.Parameter yang Diamati
Selain informasi umum tentang responden, beberapa parameter kelembagaan yang dikaji meliputi : hak-hak, tanggung-jawab, manfaat
yang akan didapatkan, dan intensitas keterkaitan antar stakeholders dalam pengendalian kebijakan IL di Indonesia.
3.2.2.3.Metode Analisis Data
Analisis kelembagaan difokuskan untuk mengkaji peranan setiap stakeholders dalam pemberantasan IL, terutama yang berkaitan dengan
dengan rights hak-hak yang dimiliki stakeholders, responsibilities tanggung-jawab yang dimiliki stakeholders, revenuereturns hasil
manfaat yang didapatkan stakeholders, dan relationship hubungan antar stakeholders.
Untuk mendapatkan empat parameter tersebut, maka disusun kuisioner yang diminta untuk diisi oleh responden yang terpilih secara
purposif. Hasil pengisian kuisioner selanjutnya ditabulasikan sehingga diperoleh informasi tentang karakteristik kelembagaan dari setiap
stakeholders, terutama yang berkaitan dengan empat parameter utamanya yaitu hak-hak yang dimiliki stakeholders, tanggung-jawab yang
dimiliki stakeholders, manfaat yang didapatkan stakeholders, dan hubungan antar stakeholders dalam pemberantasan IL di Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis dengan pendekatan 4 Rs tersebut akan diperoleh karakteristik kelembagaan pemberantasan IL di Indonesia saat
ini, sehingga rekomendasi pembenahan kelembagaan pemberantasan IL dapat dibangun.
36
3.2.3. Penentuan Prioritas Alternatif Kebijakan Pemberantasan IL 3.2.3.1.Metode Pengumpulan Data
Rumusan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia harus sesuai dengan karakteristik wilayahnya, termasuk di dalamnya karakteristik
sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Untuk mendapatkan informasi tersebut dilakukan kegiatan pengumpulan data melalui kegiatan
wawancara dengan para pihak stakeholders yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia. Wawancara juga dilengkapi dengan
pengisian kuisioner yang telah dibuat sebelumnya. Kuisioner yang dibuat berisi pertanyaan tentang : identitas responden, nilai perbandingan
responden terhadap faktor, aktor, tujuan, dan alternatif dalam pemberantasan IL di Indonesia.
Sampel responden dipilih secara purposif dengan pertimbangan bahwa
responden yang
benar-benar memahami
permasalahan lingkungan, responden dipilih dari kalangan pemerintah, pemerintah
daerah dinasinstansi daerah yang mengurus kehutanan, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, LSM, akademisi, serta tokoh masyarakat. Jumlah
responden adalah 46 orang.
3.2.3.2.Parameter yang Diamati
Responden yang dipilih dalam penelitian ini dilakukan secara purposif, yaitu responden yang dianggap memahami secara baik
permasalahan pemberantasan IL di Indonesia yang berasal dari instansilembaga pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga
internasional yang
memiliki program
pemberantasan IL, akademisi, aparat penegak hukum, lembaga adat, dan masyarakat. Instansi pemerintah yang menjadi responden adalah instansi
yang diinstruksikan berdasarkan instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Kayu Illegal dan Peredarannya di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia. Responden dari pakar dan akademisi dipilih dengan mempertimbangkan beberapa kriteria, yaitu: a memiliki
pengalaman yang kompeten sesuai bidang yang dikaji; b memiliki reputasi, kedudukanjabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang
37
dikaji; serta c memiliki kredibilitas tinggi, bersedia, dan atau berada di lokasi yang dikaji.
3.2.3.3.Metode Analisis Data
Analisis dilakukan dengan menggunakan metode AHP Anaytical Hierarchy Process. Hirarki desain kebijakan pemberantasan IL di
Indonesia disusun mulai dari tingkatan level paling tinggi sampai paling rendah dalam hirarki. Tingkatan tertinggi merupakan fokus, disusul oleh
faktor, pelaku aktor, dan alternatif kebijakan. Prinsip penilaian dalam AHP adalah membandingkan secara
berpasangan pairwise comparisons tingkat kepentingan atau tingkat pengaruh satu elemen dengan elemen lainnya yang berada dalam satu
tingkatan level berdasarkan pertimbangan tertentu. Nilai yang diberikan berada dalam skala pendapat yang dikeluarkan oleh Saaty 1993
sebagaimana telah ditunjukkan pada Tabel 4. Nilai rata-rata geometrik dari semua responden dari setiap nilai pendapat yang dibandingkan diolah
menggunakan perangkat lunak Hipre 3+. Analisis ini digunakan untuk menginterpretasi prioritas dari faktor, aktor, dan sifat kebijakan yang
mempengaruhi kebijakan pemberantasan IL di Indonesia. Tabel 7. Matriks Ringkasan Metodologi Penelitian
Metodologi No
Sub Tujuan Pengumpulan Data
Parameter Analisis Data
Output 1.
Efektifitas kebijakan dan
peraturan perundang-
undangan terkait IL efektif
menurunkan praktek IL
Penelusuran pustaka
Aturan sanksi yang ada dalam
peraturan perundangan
Analisis deskriptif
dengan pendekatan
kritis Terpetakannya aturan
hukum pemberantasan IL di
Indonesia
2. Peranan
kelembagaan stakeholders
dalam pemberantasan
IL di Indonesia Penelusuran
pustaka, wawancara
terstruktur, kuisioner.
Hak-hak, Tanggung-
jawab Manfaat yang akan
didapatkan intensitas
keterkaitan antar
stakeholders Analisis 4Rs
Terpetakannya kelembagaan rules of
game dalam pemberantasan IL di
Indonesia
3. Desain kebijakan
yang dapat dipandang efektif
dalam pemberantasan
IL Penelusuran
pustaka, wawancara
terstruktur, kuisioner.
Faktor, Aktor, Tujuan, dan
Alternatif Kebijakan,
terkait IL di Indonesia
Analisis AHP Rumusan kebijakan
pemberantasan IL di Indonesia
38
3.3. Definisi Operasional