Manfaat Penelitian Kebaruan Novelty

pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik pada tataran akademis keilmuan maupun praktis, sebagai berikut: 1.5.1. Manfaat dalam tataran akademiskeilmuan 1 Memperkaya khasanah keilmuan tentang pengembangan institusi pengelolaan sumberdaya bersama milik negara dengan mempertimbangkan kapasitas organisasi pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah dan perilaku masyarakat pemanfaat sumberdaya bersama milik serta prinsip disain rezim hak pemilikan. 2 Memperkaya khasanah keilmuan tentang pengelolaan sumberdaya bersama milik negara yang memerlukan aksi terkoordinasi bersama para pihak untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. 1.5.2. Manfaat dalam tataran praktis 1 Sebagai tambahan informasi kepada para pengambil kebijakan dalam merumuskan pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung. 2 Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang berkenaan dengan pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung.

1.6 Kebaruan Novelty

Penelitian mengenai pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung sebagai sumberdaya bersama milik pemerintah belumpernah dilakukan, khususnya jika ditinjau berdasarkan hal-hal berikut secara menyeluruh, yaitu: kapasitas lembaga pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah, perilaku individukelompok masyarakat pemanfaat dan prinsip disain rezim hak pemilikan. Berdasarkan hal tersebut, kebaruan dari penelitian ini adalah dihasilkannya rumusan pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT yang didasarkan pada kapasitas lembaga pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan, perilaku individukelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya dan prinsip disain rezim hak pemilikan. yang meliputi kondisi tutupa ✝✝ . ✞✝ ✟ J ✠ U ✠ ✟ ✡ U ☛ ✞✠☞ ✠ 2. ✌ ✍✎ t ✏ n ✑ ✒ n ✓ u n ✔ 2.1.1 Konsep Hutan lindung di Indonesia Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi tumbuh-tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu Suparmoko, 1997. Definisi ini memiliki kemiripan dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dalam pasal ini, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan hidup dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. dinyatakan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Menurut Riyanto 2005 hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperlukan antara lain untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, yaitu proses hidroorologi, proses penyuburan tanah, proses keanekaragaman hayati, proses penyehatan lingkungan dan manfaat lainnya. Berdasarkan Pasal 2 Ayat 3 poin b Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan dinyatakan bahwa kriteria hutan lindung adalah kawasan hutan yang memenuhi salah satu kriteria berikut: 1 Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan angka penimbang mempunyai jumlah nilai skor 175 seratus tujuh puluh lima atau lebih; 2 Kawasan yang mempunyai lereng lapangan 40 empat puluh per seratus atau lebih; 3 Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2 000 dua ribu meter atau lebih di atas permukaan laut; 4 Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapang lebih dari 15 lima belas per seratus; 5 Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; 6 Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai. 2.1.2 Fungsi dan nilai guna sumberdaya hutan lindung Fungsi hutan di antaranya ialah sebagai berikut Suparmoko 1997: 1 mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah; 2 menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor sehinga menunjang pembangunan ekonomi; 3 melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik; dan 4 memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar. Menurut Iskandar 2008 sebagai dampak panjang pantai dengan luas daratan dan dekatnya jarak antara kawasan daratan dengan kawasan pantai, FAO menilai bahwa hutan pada pulau kecil mempunyai kontribusi penting terhadap kelestarian lingkungan, yaitu: 1 konservasi tanah dan air; 2 perlindungan pantai; 3 konservasi keanekaragaman hayati; dan 4 terkait dengan ekosistem laut. Menurut Sardjono 2004 fungsi hutan meliputi: 1 fungsi produksi yang memberi manfaat langsung hasil hutan kayu, hasil hutan nir kayu dan areal untuk bercocok tanam bagi masyarakat lokal. Selain itu juga memberikan manfaat tak langsung bagi masyarakat lokal berupa penghasilan, pelestarian kegiatan budaya lokal yang berbasiskan produk hutan dan pelestarian dan perkembangan industri rumah tangga masyarakat; 2 fungsi lindung yang memberi manfaat langsung berupa kesuburan tanah, keanekaragaman hayati flora, fauna, mikroorganisme serta manfaat tak langsung berupa keterjaminan produktivitas pertanian dan kemandirian pangan, kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat, pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional; 3 fungsi tata klimat yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat lokal berupa iklim mikro dan udara bersih, juga memberi manfaat tak langsung berupa kenyamanan dan kedamaian kehidupan pedesaan, mendukung kehidupan yang sehat sejahtera dan mengurangi dampak bencana alam; dan 4 fungsi lain-lain, seperti memberi manfaat untuk batas tanah tanda pemilikan lahan, perlindungan tempat-tempat keramat, pelestarian identitas kelembagaan lokal, melestarikan etika konservasi dan pergaulan hidup antar anggota masyarakat. Pearce dan Turner 1990 mengidentifikasi secara rinci total nilai sumberdaya hutan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1. Dalam hal ini produksi kayu merupakan nilai penggunaan langsung ✕ xt ✖ ✗ ✘ tive use v ✗ lue , sedangkan fungsi hutan untuk rekreasi dan mengasimilasi karbon merupakan penggunaan tidak langsung n o n extr ✗ ✘ tive use v ✗ lue . Sementara itu, nilai tanpa penggunaan n o n ✙ use v ✗ lue meliputi nilai atas dasar warisan dari generasi sebelumnya ✚ equest v ✗ lue dan nilai karena keberadaannya exist ✗ n ✘ e v ✗ lue . Tabel 1 Perincian nilai ekonomi total sumberdaya hutan Nilai Ekonomi Total Nilai Guna Nilai Non Guna Nilai guna Langsung Nilai guna tak langsung Nilai Pilihan Nilai pilihan Nilai Keberadaan Nilai Non- guna lainnya Hasil yg dapat dikonsumsi langsung Manfaat Fungsional Nilai pilihan penggunaan Nilai pilihan Non penggunaan Nilai Pengetahuan Nilai non penggunaan lainnya a Kayu b Buah, biji c Getah d Rotan e Pakan f Hewan g Tumbuhan obat a Fungsi ekologis b Pengenda- lian banjir c Perlindu- ngan terhadap angin Rekreasi a Ekosistem b Suaka marga satwa a Habitat b Spesies Langka a Biodiversiti b Pemandang- an Sumber: Pearce dan Turner 1990. Menurut Noordwijk et ✗ l . 2004 h utan lindung mempunyai makna fungsi perlindungan aktif hutan terhadap aliran air ke daerah hilir. Dalam istilah Belanda hutan lindung atau “ ✛ ✘ h erm ✚ o s ” berarti hutan yang berfungsi sebagai “payung atau lindung”. Fungsi penyangga sebenarnya berkaitan langsung dengan fungsi lindung, karena fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada kejadian hujan. Fungsi penyangga dapat ditingkatkan dengan jalan meningkatkan penggunaan air dan mempertahankan struktur tanah pada daerah perbukitan h illslo p e . Memperhatikan uraian tentang fungsi dan nilai guna atau manfaat hutan dan hutan lindung di atas dapat dinyatakan keberadaan hutan lindung sangat diperlukan karena fungsi pentingnya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan. Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak dijelaskan maksud dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. Tetapi, dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa sistem penyangga kehidupan merupakan suatu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan manusia Pasal 7. Sedangkan perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan Pasal 8. Menurut Noordwijk ✜ t ✢ l . 2004 f ungsi perlindungan pada daerah hulu sebenarnya dapat diberikan oleh tutupan dari berbagai macam vegetasi, selama sistem tersebut mampu dalam: 1 mempertahankan lapisan seresah di permukaan tanah; 2 mencegah terbentuknya alur dan parit-parit akibat erosi; dan 3 menyerap air untuk evapotranspirasi. Bila vegetasi hutan alami secara bertahap digantikan oleh pohon yang bernilai ekonomi tinggi atau mempunyai fungsi lainnya, seharusnya fungsi lindung tersebut masih tetap ada. Sistem pembukaan lahan pertanian dengan cara tebang habis pada skala luas, akan menurunkan fungsi lindung. Pada transformasi hutan secara perlahan menjadi sistem agroforestri, tidak dilakukan penebangan hutan pada skala luas sehingga dalam proses regenerasinya fungsi hutan masih dapat dipertahankan. Dalam konsep Indonesia, kata hutan adalah lahan yang kepemilikan dan pengelolaannya diawasi langsung oleh pemerintah atau negara. Sedang lahan milik petani yang menyerupai hutan atau “agroforest”, umumnya disebut kebun. Pada sistem kebun, pengelolaannya lebih ditekankan pada dua fungsi yaitu “fungsi produksi dan fungsi lindung”. Dalam kaitannya dengan kriteria dan indikator hidrologi, beberapa macam kebun telah dievaluasi dan hasilnya menunjukkan bahwa kebun seperti kebun kopi campuran, hutan karet, “parak” suatu sistem campuran pohon buah-buahan, pohon penghasil kayu dan rempah di Sumatra Barat, kebun buah-buahan pekarangan m ✣ xe ✤ fruit tree h o meg ✢ ✥ ✤ en s , dan sistem “repong damar” merupakan sistem yang masih dapat memenuhi berbagai fungsi lindung pada daerah perbukitan. Dengan demikian kebun tersebut pantas dinamakan sebagai “kebun lindung” karena dapat berfungsi ganda yaitu fungsi produksi dan fungsi lindung Noordwijk ✦ t ✧ l . 2004 . 2.1.3 Pengelolaan hutan lindung di Indonesia Landasan hukum utama pengelolaan hutan lindung di Indonesia antara lain adalah: 1 Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 Ayat 3. 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan tahun 1967-1999. 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang tahun 1992- 1999. 6 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah. 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah sudah tidak berlaku. 13 Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota. 14 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6Menhut-II2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH. Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung meliputi kegiatan: a tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; c rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d perlindungan hutan dan konservasi alam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 21. Tata hutan dimaksudkan dalam rangka pengelolaan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal. Tata hutan lindung meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 26 Ayat 1 dan 2. Izin usaha pemanfaatan kawasan diberikan kepada perorangan dan koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik Negara dan badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu diberikan kepada perorangan dan koperasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 Ayat 1, 2 dan 3. Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 40. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a. reboisasi; b. penghijauan; c. pemeliharaan; d. pengayaan tanaman; e. penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknik, pada lahan kritis dan tidak produktif Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 41. Sedangkan reklamasi hutan, meliputi usaha usaha untuk memperbaiki dan memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukanya. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 44 Ayat 1 dan 2. Selanjutnya pada Pasal 46 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan “penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan likungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah sudah tidak berlaku sejak tahun 2007, dinyatakan bahwa sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II antara lain adalah pengelolaan hutan lindung Pasal 5 huruf e. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 6 Ayat 5 urusan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 5 huruf e mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Pada tahun 2007 peraturan pemerintah nomor 621998 tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota. Berdasarkan aturan ini, urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung yang diserahkan kepada kabupatenkota, diantaranya: pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan jangka panjang unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHL, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan jangka menengah unit KPHL, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan jangka pendek unit KPHL, pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupatenkota. 2.1.4 Hasil penelitian tentang hutan lindung di Indonesia Hutan Lindung Pulau Marsegu telah dijadikan tempat untuk berladang dan berkebun oleh masyarakat sekitar, terutama daerah hutan sekunder berkarang dan daerah berpasir sebelah timur Irwanto 2007. Khusus di daerah hutan lindung di pegunungan, azas kelestarian pengelolaan hutan tidak dapat dilaksanakan dengan baik, yang terbukti dengan adanya kerusakan-kerusakan hutan, bahkan lahan- lahan kosong yang cukup luas. Salah satu penyebabnya ialah kebutuhan rakyat setempat yang mendesak dari hutan, antara lain kayu bangunan, hijauan makanan ternak, dan kesempatan kerja tidak dapat terpenuhi dan tersalurkan dengan baik dan teratur Kartasubrata 1986. Sebagian besar petani tepi hutan adalah petani subsisten yang memiliki potensi sebagai pelestari, namun belum cukup kompeten khususnya di bidang teknis kehutanan, sosial ekonomi, sosial budaya dan pertanian konservasi. Potensi perilaku petani dalam mengelola hutan lindung bermotifkan pemenuhan ekonomi jangka pendek, mengelola komoditi non kehutanan dan mengabaikan teknis kehutanan dan pemanfaatan lahan dengan mengabaikan pertanian konservasi Budiono 2006. Dideskripsikan dalam hasil penelitian Sidu 2006 tentang kerusakan hutan, kerusakan Hutan Jati di Kawasan Hutan Lindung Jompi didorong oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat, keinginan atas penguasaan lahan, adanya isu bahwa sebagian wilayah Kawasan Hutan Lindung Jompi akan menjadi wilayah perluasan kota, adanya klaim masyarakat bahwa kawasan Kontu merupakan tanah adat, adanya komoditi kayu yang bernilai ekonomi tinggi, meningkatnya jumlah pengangguran, kurangnya lapangan kerja dan lemahnya penegakan hukum. Lebih lanjut dikemukakan di dalam hasil penelitian Sidu 2006 bahwa: 1 kondisi modal sosial masyarakat sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi mengalami penurunanlemah, terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kepercayaan tru st antar warga masyarakat. Rendahnya tru st ini akibat maraknya prilaku sosial yang selalu merugikan antar sesama, seperti penipuan, pencurian dan kekerasan. Rendahnya modal sosial juga dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya modal manusia terutama terkait dengan tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah; 2 proses pemberdayaan masyarakat sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi masih sangat lemah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung melemahrendah; 3 tingkat pemberdayaan masyarakat sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi tergolong rendah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh rendahnya proses pemberdayaan masyarakat dan kurang tersedianya modal fisik; 4 perpaduan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keberdayaan masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan, modal fisik, kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosial dan modal manusia, merupakan model pemberdayaan masyarakat yang efektif sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyo ★ t ✩ l ✪ 2003 di Kawasan Hutan Lindung Bukit Daun Provinsi Bengkulu menghasilkan kesimpulan bahwa dari analisis data fisik ternyata perambahan hutan tidak di latar belakangi faktor-faktor fisik dan analisis statistik faktor sosial ekonomi menunjukan bahwa pertumbuhan penduduk dan pendapatan dari usaha tani mempengaruhi luas perambahan hutan. Ruslan 1992 melakukan penelitian dengan judul penelitian “Sistem Hidrologi Hutan Lindung Daerah Aliran Sungai Riam Kanan Kalimantan Selatan”. Kesimpulan utama penelitian ini adalah model sistem hidrologi hutan lindung dapat digunakan untuk menentukan penggunaan lahan yang terpilih dari segi biofisik, agar kondisi hidro-orologis hutan lindung Daerah Aliran Sungai Riam Kanan menjadi lebih baik. 2.2 ✫ u m ✬✭ r ✮✯ y ✯ ✰ ✱ t ✯ n ✲ ✳ n ✮ u n ✴ ✵ ✭✬✯ ✴✯ ✳ ✫ um ✬✭ r ✮✯ y ✯ B ✭ r ✵ ✯ m ✯ ✶ ✳ ✷✳✸ ✹ ✭ ✴ ✯ r ✯ Berdasarkan pengertian dari fungsi pokok hutan lindung, maka hutan lindung merupakan sumberdaya alam berupa sto ✺ k yang dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang sifatnya ✻ n t ✩ n ✼✻✽ l ★ , seperti mengatur tata air, mencegah banjir, mencegah erosi, mengendalikan intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah. Menurut Riyanto 2005 hasil hutan di hutan lindung adalah sumberdaya alam yang berupa barang dan jasa, yaitu flora dan fauna atau bagian-bagiannya dan non hayati, baik yang nyata maupun yang tidak nyata, yang berasal dari hutan lindung. Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kartodihardjo 2004 bahwa sumberdaya alam dapat digolongkan ke dalam bentuk sto ✺ k atau modal alam n ✩ tu ✾ ✩ l ✺✩ p ✻ t ✩ l seperti Daerah Aliran Sungai DAS, danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi dan sumberdaya sebagai faktor produksi atau sebagai barangkomoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan dan lain-lain yang diproduksi oleh berbagai sektordinas sebagai sumber-sumber ekonomi. Sumberdaya alam dalam bentuk sto ✿ k dapat menghasilkan fungsi-fungsi ❀ n t ❁ n ❂ ❀❃ l ❄ sifatnya, seperti menyimpan air, dan mencegah terjadinya banjir di musim hujan dan mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurangi bahan beracun, maupun kekayaan alam sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya masyarakat, dan lain-lain. Sumberdaya alam bentuk stock mempunyai fungsi- fungsi yang berguna bagi publik dan fungsi-fungsi tersebut tidak dapat dibagi- bagikan kepada perseorangan dan tidak pula dapat dimiliki oleh perorangan. Nilai dan tujuan keberadaan sumberdaya alam dapat diinterpretasikan berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan, yaitu sebagai p ❅ ❀ v ❁ t ❄ ❂ o o ❆ ❇ ❈✿ lu ❃ ❂ o o ❆ ❇ ❈ ✿ o m m o n p o o l ❂ o o ❆ ❇ ❈ ❆ ❁ n p u ❃ l ❀ ✿ ❂ o o ❆ s Ostrom 1977 ❆ ❁ l ❁ m Berge 2004, yang berguna bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk mengelolanya. Pengetahuan ini juga menentukan ketepatan pemilihan bentuk kelembagaan Kartodihardjo 2006. Tabel 2 Tipologi barang dan jasa Jenis sumberdaya Pengguna ❉ x ✿ lu ❆ ❁ ❃ le No n ❊ ex ✿ lu ❆ ❁ ❃ le ❋ u ❃ t ❅ ❁ ✿ t ❁❃ le ● riv ❁ te g o o ❆ s ❍ o mmo n p o o l g o o ❆ s No n ❊ su ❃ st ❅ ❁ ✿ t ❁ ❃ le ❍ lu ❃ g o o ❆ s ● u ❃ li ✿ g o o ❆ s Sumber: Ostrom dan Ostrom 1977 ■❏ l ❏ m Berge 2004. Sumberdaya bersama ❍ o mmo n p o o l g o o ❆ s merupakan sumberdaya alam atau sumberdaya buatan yang bilamana seseorang menggunakan sumberdaya bersama akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, tetapi sulit memisahkan akses pengguna Cousin 2000, Ostrom 1990, Dietz et ❁ l ❑ 2002 ❆ ❁ l ❁ m Quinn et ❁ l ❑ 2007. Berdasarkan sifat rivalitas persaingan ✿ o mmo n p o o l g o o ❆ s misalnya danau, sungai dll termasuk barang dan jasa yang apabila dimanfaatkan sesorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Selain itu, penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya Kartodihardjo 2006. Menurut Hardin 1968 sumberdaya alam bersama yang aksesnya bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua t ❅ ❁ g e ❆ y o f th e ▲ o m m o n s . Lebih lanjut dikemukakan oleh Hardin 1968 untuk mencegah sumberdaya berkembang menjadi sumberdaya bersama ▲ o m m o n s dalam artian bebas akses tanpa aturan, dibutuhkan pengaturan sosial secara memaksa, yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian memaksa ▲ o ▼ r ▲ ◆ o n yang dimaksudkan adalah m u tu ❖ l ▲ o ▼ P ▲ ◆ o n , yaitu pengaturan yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Quinn ▼ t ❖ l ◗ 2007 menyatakan bahwa dijelaskan oleh Hardin 1968 pengguna ▲ o m m o n akan melakukan tindakan memaksimalkan aliran manfaat dari sumberdaya yang o p ▼ n ❖▲▲ ▼ s bilamana biaya atas penggunaannya ditanggung oleh semua pengguna, dan sebagai kesimpulannya akan terjadi penggunaan yang berlebihan terhadap sumberdaya ▲ o m m o n yang kemudian mengarah kepada terjadinya degradasi dan keruntuhan ▲ o ll ❖ p s sumberdaya. Menurut Ostrom 1990 tesis t ❘▼ t P ❖ ❙▼ ❚ y o f th e ▲ o mmo n s Hardin kurang memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam berbagai situasi sumberdaya bersama ▲ o mmo n s . Kemudian solusi pencegahannya dibatasi pada argumen bagi peran yang lebih besar dari pemerintah dalam menangani masalah- masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan. Argumen tersebut juga mengabaikan keberadaan dan potensi tata kelola dan pengelolaan sumberdaya bersama oleh kelompok atau komunitas lokal pengguna sumberdaya tersebut. Juga mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya bersama, termasuk hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumberdaya tersebut. Menurut Marothia 1993 banyak peneliti dan pembuat kebijakan menganjurkan privatisasi atau pengambil alihan ▲ o mmo n p ro p erty reso u P ▲ es oleh negara untuk pengelolaannya. Ini merupakan kesalah-pahaman yang belakangan ini semakin dipertentangkan oleh banyak ilmuwan sumberdaya alam dan mereka mendokumentasikan secara rinci sistem ▲ o mmo n p ro p erty yang mungkin memiliki kekurangan dalam spesifikasi pemilikan dan penetapan rencana institusi dari rezim hak pemilikan yang berlansung. Sedangkan menurut pendapat Regmi 2007 semua tipe sumberdaya ▲ o mmo n p o o l tidak dapat dilindungi secara efektif tanpa disain institusikelembagaan yang didasarkan pada masalah yang fundamental. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulankan bahwa sesungguhnya sumberdaya hutan lindung merupakan sumberdaya bersama yang apabila dimanfaatkan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, namun sulit memisahkan para pengguna sumberdaya hutan lindung tersebut. Guna menghindari terjadinya o p ❯ n ❱ ❲ ❲❯ s terhadap sumberdaya hutan lindung yang akan berakibat pada kerusakan sumberdaya hutan lindung, maka hutan lindung dikuasai oleh negara atau menjadi milik negara. 2. ❳ ❨ ❩ st ❬ tu ❭ ❬ ❪ ❫ ❴❵ ❛❜ m ❬ ❝ ❬ ❵ ❴ n ❪ ❞ ❴ t ❴ s ❡ ❜ w ❜ n ❴ n ❢ ❴ n ❣ ❴ n ❤ tu r ❴ n ❡ ❜ t ❜ r w ❴ ❵ ❬ ❝ ❴ n Institusi adalah sekumpulan norma dan perilaku yang secara jelas mengakomodasi nilai yang terdapat dalam tujuan kolektif Uphoff 1986. Institusi merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur saling hubungan dalam masyarakat, yang mana telah mendefinisikan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab, serta hak-hak istimewa anggotanya Schmid 1987. Institusi merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur perilaku individu North 1990. Menurut Koentjaraningrat 1997 kelembagaan dapat diistilahkan dengan lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial, yang memiliki makna sebagai suatu bentuk yang abstrak dengan norma-norma dan aturan-aturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Kemudian kelembagaan dapat pula diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Menurut Rachbini 2006 institusi adalah satu bentuk aturan formal dan informal dalam bertindak atau berperilaku yang dapat memfasilitasi koordinasi atau memerintah hubungan antar individu dalam organisasi atau masyarakat. Sedangkan menurut Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 institusi adalah tataran dan pola hubungan antar anggota masyarakat, organisasi danatau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling mengikat yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan. Institusi adalah inovasi manusia untuk mengatur dan mengendalikan sumber hubungan saling ketergantungan antar manusia terhadap sesuatu Kartodihardjo 2004. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa institusi berkenaan dengan aturan formal dan informal yang mengarahkan prilaku individu, organisasi atau masyarakat. Lebih lanjut dikemukakan oleh Kartodihardjo ✐ t ❥ l ❦ 2004, Kartodihardjo 2008 unsur-unsur institusi terdiri atas atau dicirikan oleh batas yurisdiksi atau batas wilayah kewenangan ❧ u ♠ ♥♦ ♣ ♥q t ♥ o n ❥ l r o u n ♣ ❥ ry , hak pemilikan p ro p ✐ rty ♠ ♥ s t ts dan aturan representasiketerwakilan ru l ✐ o f rep rese n t ❥ tio n . Tiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 2.3.1 Hak pemilikan Hak pemilikan menurut Schmid 1987 menggambarkan hubungan individu dengan yang lainnya terhadap sumberdaya alam atau sesuatu. Hak merupakan instrumen untuk mengendalikan hubungan saling ketergantungan manusia dan merupakan pemecahan terhadap siapa memperoleh apa. Menurut Commons 1968 yang dikutip Ostrom 2003 hak pemilikan merupakan sebuah penyelenggaraan kewenangan otoritas untuk melakukan aksi tertentu pada sebuah domain yang tertentu. Menurut Ostrom 2003 hak pemilikan menjelaskan aksi yang dapat dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan individu lain berkenaan dengan “sesuatu”. Jika seseorang memiliki hak, maka seseorang tersebut mempunyai kewajiban yang sepadan atas haknya tersebut. Menurut Bromley 1991 sebagaimana diacu Hanna dan Munashinghe 1995 hak pemilikan merupakan kumpulan hak yang diberikan dimana telah terdefinisikan secara jelas hak dan kewajiban di dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut Hanna et ❥ l 1995 empat tipe rezim pemilikan, adalah: 1 pemilikan individual p riv ❥ te p ro p erty ; 2 pemilikan bersama q o mmo n p ro p erty ; pemilikan Negara st ❥ te p ro p erty ; dan 4 akses terbuka o p en ❥ qq es . Karakteristik masing-masing rezim pemilikan tersebut berdasarkan pemegang pemilikan, hak pemilik dan kewajiban pemilik oleh Hanna et ❥ l ❦ 1995 diringkas sebagaimana tersaji pada Tabel 3. Menurut Arifin 2001 pada hakekatnya terdapat empat macam hak kepemilikan atas sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan lainnya, yakni: 1 Milik Negara st ❥ te p ro p erty . Para individu mempunyai ✉✈ w ✇ ①②③✇ n untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang mengelola sumberdaya itu. Demikian pula, departemen yang bersangkutan mempunyai h ④⑤ untuk memutuskan aturan main penggunaanya. Contoh sumberdaya alam milik Negara ini adalah tanah hutan, mineral serta sumberdaya pertambangan, dan sumberdaya alam lain yang dikuasai Negara untuk hajat hidup orang banyak. Tabel 3 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajiban pemilik Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik Pemilikan individual Individual Penggunaan diterima secara sosial, mengendalikan akses Menghidari penggunaan yang tidak dapat diterima secara social Pemilikan bersama Kolektif Mengeluarkan yang bukan pemilik Pemeliharaan; membatasi tingkat penggunaan Pemilikan negara Warga Negara Menetukan aturan Memelihara tujuan sosial Akses terbuka Tidak ada Tidak ada Tidak ada Sumber: Hanna ⑥⑦ ⑧ l ⑨ 1995. 2 Milik pribadi p ⑩ ❶ v ❷ t ❸ p ro p ❸ rty . Para individu pemilik mempunyai h ④⑤ untuk memanfaatkan sumberdaya sesuai aturan dan norma yang berlaku so ❹ ❶❷ lly ❷ ❹❹ ❸ p t ❷ ❺ l ❸ u s ❸ s serta memiliki ⑤ ❻ w ④ ❼❽❾ ④ n untuk menghindari pemanfaatan sumberdaya yang eksesif dan tak dapat dibenarkan menurut kaidah norma yang berlaku so ❹ ❶❷ lly u n ❷ ❹❹ ❸ p t ❷ ❺ l ❸ u ❿ ❸ s . Misalnya lahan pertanian yang dimiliki perorangan termasuk di sini. 3 Milik umum ❹ o m m o n p ro p ❸ rty . Kelompok masyarakat yang berhubungan dengan sumberdaya milik umum mempunyai h ④ ⑤ untuk tidak mengikutsertakan individu lain yang bukan berasal dari kelompok itu, disamping ⑤ ❻ w ④ ❼ ❽❾ ④ n untuk mematuhi statusnya orang luar. Sementara itu, setiap anggota kelompok masyarakat yang terikat dalam sistem sosial tertentu untuk mengelola sumberdaya mempunyai h ④ ⑤ dan ⑤ ❻ w ④ ❼❽❾ ④ n untuk memelihara kelestariannya sesuai dengan aturan yang disepakati bersama. Misalnya, tanah marga atau sebidang tanah dipedesaan atau air irigasi sistem subak di Bali, dimana penduduk yang terikat dalam kelompok sosial yang ada dapat memanfaatkan dapat memanfaatkan dan mengelolanya secara bersama berdasarkan norma hidup dan budaya yang berlaku. 4 Tak bertuan o p ➀ n ➁➂➂➀ s . Dalam hal ini tidak ada unsur kepemilikan atas sumberdaya tersebut sehingga setiap orang dari kelompok sosial manapun hanya memiliki privilis privilege, siapa cepat dia dapat, tetapi bukan hak. Hak-hak dapat dijabarkan menjadi bentuk ➁➂➂➀ ss dan w ➃ t ➄ ➅➆ ➁ w ➁ l ➇ m ➁ n ➁➈➀ m ➀ n t ➇ ➀ x ➂ lusio n dan ➁ lien ➁ tio n , yang kemudian dapat dibedakan hak-hak yang seharusnya dipunyai oleh empat kelompok masyarakat yang mempunyai strata hak pemilikan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu: o wn e ➆ ➇ ➉ ro p rieto ➆ ➇ ➂ l ➁ im ➁ n t , dan ➁ uto rize ➅ user Schlager dan Ostrom 1992. Menurut Schlager dan Ostrom 1992 hak-hak terkait dengan sumberdaya adalah sebagai berikut: 1 Hak akses ➁ ➂➂ ess rig h ts adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktifnya; 2 Hak pemanfaatan with ➅➆ ➁ w ➁ l rig h ts adalah hak untuk memanfaatkan suatu unit sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya misalnya menangkap ikan; 3 Hak pengelolaan m ➁ n ➁ g emen t rig h ts adalah hak untuk mengatur pola pemanfaatan secara internal atau menentukan aturan operasional pemanfaatan sumberdaya; 4 Hak eksklusi ex ➂ lusio n rig h ts adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain menentukan keikutsertaan-mengeluarkan pihak lain; 5 Hak pengalihan ➁ lien ➁ tio n rig h ts adalah hak untuk menjual dan menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas. Hubungan antara hak-hak terikat dengan kelompok masyarakat yang memiliki strata hak oleh Schlager dan Ostrom 1992 dijelaskan dalam bentuk tabel sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Menurut Harsono 1999 ➅ ➁ l ➁ m Suhaeri 2005 kepastian hak atas tanah adalah serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang hak untuk berbuat sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat mengenai tanah yang menjadi hak-nya. Tabel 4 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat Tipe Hak Pemilik o w n ➊➋ Pemilik Terikat ➌ ro p r ➍ ➊➎ o r Penyewa ➏ u t ➐ o r ➍ z ➊➑ ➒ l ➓ im ➓ n t Pengguna ➏ uto riz ➊➑ ➔ ser Akses dan pemanfaatan X X X X Pengelolaan X X X Eksklusi X X Pengalihan X Sumber: Schlager dan Ostrom 1992. 2.3.2 Batas yurisdiksi kewenangan Menurut Rachman et → l ➣ 2002 konsep batas yuridiksi dapat memberi arti batas otoritas yang dimiliki suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya. Menurut Katodihardjo 2008 batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi. Implikasi ekonomi dari adanya batas yurisdiksi adalah batas suatu HPH, misalnya, untuk melakukan aktivitas ekonomi seperti batas wilayah kerja, batas skala usaha yang diperbolehkan. Dengan demikian perubahan batas yurisdiksi berakibat terhadap kemampuan HPH menginternalisasikan manfaat atau biaya. Sepanjang tambahan manfaat melebihi tambahan biaya maka HPH akan memperluas batas yurisdiksinya. Menurut Schmid 1988 dalam Suhaeri 2005 menjelaskan bahwa batas kewenangan diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan yang dimiliki seseorang terhadap sumberdaya alam. Mengingat HLPT mememiliki karakteristik dapat dimanfaatkan secara bersama, maka persoalan batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan para penggunanya. Berdasarkan konsep batas yuridiksi sebagaimana disampaikan di atas, maka batas yuridiksi berkenaan dengan alokasi sumberdaya HLPT merupakan batas kewenangan yang dimiliki suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya HLPT. Di samping itu dalam konteks pengelolaan sumberdaya HLPT batas yuridiksi menunjukkan bahwa bagaimana institusi mengatur siapa yang tercakup dan apa yang diperoleh siapa memperoleh apa. 2.3.3 Aturan keterwakilan Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam pengambilan keputusan. Hal ini tercermin dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh kaidah-kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan Kartodihardjo 2008. Menurut Rachman 1999 sebagaimana diacu Rachman ↔ t ↕ l . 2002 keputusan yang diambil dan akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan kolektif. Dengan demikian aturan keterwakilan mengatur siapa yang berhak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap kinerja yang ingin dicapai. Apabila menginginkan perubahan alokasi dan distribusi sumberdaya secara keseluruhan dapat dilakukan dengan aturan keterwakilan. 2. ➙ ➛➜➝ ➞ n ➟➠ ➞➠ ➟ ➡➞ n ➢ ➞ p ➞➠ ➟ t ➞ s ➛➜➝ ➞ n ➟➠ ➞➠ ➟ Organisasi adalah unit sosial yang dengan sengaja diatur, terdiri dari dua orang atau lebih yang berfungsi secara relatif terus menerus untuk mencapai sasaran atau serangkain sasaran bersama Robbins 2008. Beberapa definisi organisasi yang dikutip Liliweri 1997 dari beberapa ahli adalah sebagai berikut: 1 Organisasi adalah integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah spesialis yang berkerjasama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati Thompson 1969. 2 Organisasi adalah suatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahan dan penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi, modal, gagasan dan sumber alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan manusia dan sumber-sumbernya, dalam suatu lingkungan tertentu Bakke 1950. 3 Organisasi adalah sebuah sistem yang memaksakan koordinasi kerja antara dua orang atau lebih Barnard. 4 Organisasi modern atau yang sering disebut “birokarasi” selalu berciri: 1 sebuah organisasi selalu mempunyai struktur hierarki; 2 karena itu setiap organisasi mempunyai hierarki wewenang; 3 setiap karyawan mempunyai wewenang-wewenang khusus yang ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria kedudukan yang telah ditetapkan; 4 hubungan sosial dalam organisasi selalu bersifat impersonal; 5 organisasi modern atau birokrasi selalu merujuk pada promosi karyawan atas dasar “merit”, jadi ada jenjang karier; 6 ada peraturan yang jelas tentang tugas yang harus dilaksanakan sehingga setiap orang dapat mengambil keputusan; dan 7 pembagian tugas dan fungsi berdasarkan keahlian Max weber. Definisi kapasitas dalam kaitannya dengan organisasi yang dikutip Bateson ➤ t ➥ l ➦ 2008 dari beberapa sumber adalah sebagai berikut: 1 ➧➨ ➤ ➩ n ite ➫ N ➥ tio n s ➭ evelo p men t ➯ ro g ➲ ➥ m memendefinisikan membangun atau mengembangkan kapasitas sebagai proses dimana individu, organisasi, lembaga, dan masyarakat mengembangkan kemampuan secara individu dan secara bersama untuk melakukan fungsi, memecahkan masalah, dan mencapai seperangkat sasaran hasil”. 2 Th e ➳ o rl ➫ ➵➥ n k menjelaskan bahwa membangun kapasitas sebagai “sebuah proses jangka panjang dengan pendekatan sistematik, merupakan permintaan untuk memperbaiki kinerja sektor publik, dan penyediaan organisasi dengan struktur yang baik dan personel yang ahli”. 3 Th e ➸ uro p e ➥ n ➺ en tre fo r ➭ evelo p men t ➯ o li ➻ y ➼ ➥ n ➥ g emen t mendefinisikan kapasitas sebagai “kombinasi atribut-atribut kekayaan, kemampuan dan hubungan-hubungan yang menentukan sistem manusia untuk melakukan, bertahan dan memperbaharui diri”. 4 Th e ➽ o ➻ iety o f ➾➚ stetri ➻ i ➥ n s ➥ n ➫ ➪ yn ➥ e ➻ o lo g ists o f ➺ ➥ n ➥ ➫ ➥ mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan sebuah entitas seseorang, organisasi, atau sebuah sistem melakukan fungsi sesuai yang direncanakan secara efektif, secara efisien, dan berkelanjutan untuk mencapai sasaran hasil yang telah direncanakan dalam mendukung misi organisasi mereka . Kapasitas organisasi merupakan hal kritis terkait dengan efektifitas implementasi kebijakan. Konsekuensinya, legislator dan birokrat harus memperhatikan kapasitas dalam merencanakan program. Kapasitas merupakan suatu investasi yang menunjukkan sebagian dari kualitas kebijakan atau level implementasi kebijakan Ting 2009. Dalam perspektif kelembagaan pengertian kapasitas adalah batas kewenangan dari dua pihak atau lebih dalam mengelola, memanfaatkan dan meningkatkan daya guna dari sumberdaya tertentu. Kapasitas lembaga merupakan fungsi dari perilaku organisasi dan kemampuan beradaptasi Kartodihardjo ➶ t ➹ l . 1997. Dalam konteks perubahan, kapasitas dapat digambarkan sebagai organisasi dengan beban kerja total untuk terus beroperasi dan mengubah aktivitas Anderson dan Anderson 2009. Menurut McPhee dan Bare 2001 kapasitas organisasi non profit adalah kemampuan organisasi non profit untuk memenuhi misi mereka secata efektif. Menurut ➘ n ite ➴ ➷ ➹ y o f ➬ re ➹ ter To ro n to ➮ th e ➱ n t ➹ rio Trillium ✃ o un ➴ ➹ tio n ➹ n ➴ th e ❐ ➹ ytree ✃ o un ➴ ➹ tio n 2009 ada enam aspek kunci yang harus diperhatikan dalam membangun kapasitas organisasi, khususnya organisasi nirlaba. Keenam aspek tersebut adalah sebagai berikut: 1 Misi, visi dan strategi; berkenaan dengan bagaimana visi, misi dan nilai-nilai mengarahkan pada apa yang harus diperbuat, membantu mendefinisikan hal- hal yang ingin dicapai komunitas, dan secara bersama berhubungan dengan program dan pelayanan yang dijalankan. Wilayah ini juga berkenaan dengan bagaimana organisasi mengembangkan tujuan dan sasaran jangka pendek dan jangka panjang serta bagaimana memonitor pencapaiannya. 2 Tata kelola dan kepemimpinan; melihat bagaimana pemimpin pengarah ditetapkan dan memikul tanggung-jawab pekerjaan organisasi dan bagaimana tanggung jawabnya kepada sesama dan kepada pemilik modal. 3 Pencapaian target komunitas; berkenaan dengan akses dan kapasitas organisasi dalam bereaksi terhadap komunitas dan upaya tetap melayani. Selain itu, di sini juga dikaji pada tingkat mana organisasi yang bersangkutan menjalankan usaha kolaboratif dan kemitraan dengan perwakilan komunitas lain, termasuk faktor yang berkontribusi pada profil agen di dalam komunitasnya dan dalam hubungannya dengan pemilik modal. 4 Program dan dampak, fokus pada pendekatan organisasi di dalam penyampaian program dan pelayanan, staf pelayanan hubungan pengguna, peluang-peluang untuk pengguna pelayanan memberikan umpan balik, sistem pengawasan dan evaluasi, rentang dan kapasitas program, dan standar kepentingan agen, norma-norma dan pengalaman terbaik. 5 Manajemen keuangan dan perlindungan aset; mengacu kepada penganggaran dan sistem pelaporan keuangan, manajemen resiko termasuk pengurusan kesehatan tempat kerja dan keamanannya, peningkatan dana dan tanggung- jawab pemilik modal, termasuk keberlanjutannya. 6 Sumber daya manusia; berkenaan dengan struktur organisasi dan bagaimana kerja organisasi melalui staf dan sukarelawan. Lingkungan kerja, pelatihan dan dukungan untuk staf dan sukarelawan, kebijaksanaan dan prosedur yang memandu saling hubungan di antara agen, staf dan sukarelawannya. Gambar 3 Aspek-aspek kunci kapasitas organisasi ❒ n ite ❮ ❰Ï y o f Ð re Ï ter To ro n to Ñ th e Ò n t Ï rio Trillium Ó o un ❮ Ï tio n Ï n ❮ th e ÔÏ ytree Ó o un ❮ Ï tio n 2009. Indikator-indikator yang menunjukan kapasitas organisasi adalah visi dan rencana strategis, kepemimpinan, manajemen organisasi, sumberdaya manusia, pengembangan sumber daya, manajemen keuangan, struktur kemitraanjaringan dan kapasitas program Th e N Ï ture Õ o n serv Ï n Ö y 2001. Aktivitas di dalam membangun kapasitas organisasi terkait dengan aspek kunci kapasitas organisasi adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 3. Menurut Bateson et Ï l. 2008 kapasitas organisasi dapat dinilai berdasarkan wilayah kapasitas inti. Secara rinci wilayah kapasitas inti yang dinilai disajikan pada Tabel 5. Dalam membangun Kepekaan pencapaian target komunitas  Kemitraan strategis  Akses dan keadilan Manajemen keuangan dan perlindungan asset  Rencana keberlanjutan  Teknologi informasi  Pengembangan dana Misi, Visi strategi  Rencana strategis  Rencana operasional ר t Ù v Ù t Ú s m Û m Ü Ú n Ý u n ØÚ p Ú s Ù t Ú s Sumberdaya manusia  Perekrutan tenaga kerja  Struktur tempat kerja  Perekrutan sukarelawan dan pengelolaanya Tata kelola kepemimpinan  Pengembangan pengarah  Pengembangan kepemimpinan Program dan dampak  Disain program dan pengembangan  Sistem evaluasi pengawasan kapasitas organisasi, yang harus dikerjakan oleh organisasi dengan pengarah dan stafnya adalah: 1 menilai kapasitas organisasi saat ini; 2 mengenali kekuatan organisasi dan wilayah perbaikan; 3 membuat rencana pengembangan kapasitas; 4 melaksanakan aktivitas membangun kapasitas dengan mengedepankan prioritas; dan 5 menilai hasil dari implementasi aktivitas membangun kapasitas. Tabel 5 Alat penilai kapasitas organisasi berdasarkan perspektif kapasitas utama, deskripsi kapasitas dan wilayah kapasitas inti yang dinilai Perspektif kapasitas utama untuk penilaian kapasitas organisasi Deskripsi kapasitas Wilayah kapasitas inti yang dinilai Faktor kebudayaan organisasi. Faktor kebudayaan menguji apa yang memotivasimendorong untuk kesuksesan organisasi. Faktor ini mengarah pada tiga hal yang mendasari kemampuan organisasi untuk berfungsi dan bertahan. Visi dan misi organisasi, budaya organisasi, insentif organisasi. Faktor kapasitas operasional. Faktor operasional mewakili gabungan saling hubungan dari tujuh area inti indikator yang menopang kemampuan organisasi untuk berbuat, tumbuh dan bertahan. Kepemimpinan dan strategi, struktur tata- kelola dan manajemen, manajemen keuangan, sumberdaya manusia, sistem dan prosedur, komunikasi, infrastruktur. Faktor kinerja organisasi. Faktor kinerja organisasi menguji empat wilayah yang berhubungan dengan tujuan dan sasaran organisasi sehingga organisasi dapat terus ada. Efektivitas, efisiensi, relevansi organisasi, kesehatan finansial Faktor eksternal dan persepsi. Faktor eksternal dan persepsi mengarah pada empat wilayah yang mencerminkan kenyataan organisasi bukanlah entitas yang terisolasi tetapi beroperasi di lingkungan yang dinamis dengan banyak unsur yang saling terkait. Aturan dan norma- norma, kerangka kerja legal dan politik, hubungan dan jaringan, pemilikan dan partisipasi Sumber: Bateson Þß à l á 2008. 2. â ã o o r äå n æ ç å è n t æ r éêëæ n å ç æ ç å ìí î m ï æ ëæ Menurut Malone dan Crowston 1990 sebagaimana diacu ð ñ l ñ m Kim 1996 koordinasi merupakan aksi mengelola saling ketergantungan diantara berbagai bentuk aktivitas untuk mencapai tujuan. Menurut Hogl 2002 Koordinasi antar sektor dapat dinyatakan sebagai proses atau sebuah statuskeadaan. Mendefinisikan koordinasi antar sektor sebagai proses menyiratkan pertanyaan “bagaimana koordinasi dibuat? Secara umum, proses tersebut berkenaan dengan pengorganisasian dan rekonsiliasi dari proses dan aktivitas yang berbeda, menuju keteraturan dan kekompakan. Dalam terminologi kebijakan berarti rekonsiliasi kebijakan dan program sektor. Koordinasi merupakan spektrum luas kegiatan bersama para agen negara. Kegiatan ini dapat berada dimana saja di rangkaian komunikasi hinga kerja sama kolaborasi, tergantung pada keluaran apa yang akan dicapai agen, apa yang dibagi dan dipertanggung-jawabkan, sumber resiko atau implikasi SSC 2008. Koordinasi dapat dipilah menjadi dua, yakni Zingerli ò t ó l . 2004: 1 koordinasi negatif n ò ô ó t õ v ò ö o o ÷ ø õ n ó t õ o n yang menyiratkan derajat kerjasama yang rendah dimana aktor tunggal hanya bertujuan mengoptimasi manfaatfaedah aktivitasnya sendiri pada waktu tertentu. Aktor mengadakan reaksi politik secara negatif pada usul kebijakan, jika mereka melihat kemungkinan berkonsekuensi pada biaya; dan 2 koordinasi positif p o ù õ t õ v ò ö o o ÷ ø õ n ó t õ o n yang menyiratkan derajat kerjasama yang tinggi dimana dari waktu ke waktu para aktor berusaha mengoptimalkan manfaat dari sejumlah aktivitas. Politik aktor mengevaluasimenilai pilihan dan komitmen banyak aktor dan orang yang bersangkutan dan pilihan apa yang mereka anggap optimal dalam perspektif jangka panjang. Berlawanan dengan koordinasi negatif, keputusan aktor tidak hanya atas dasar kejadian tunggal, tetapi kadang-kadang setuju menerima resiko dengan harapan kompensasi dalam interaksi di masa depan. Setelah membangun pola koordinasi dengan sejumlah keuntungan penting, selanjutnya, aktor bertindak secara ekonomis rasional sejak sewaktu mereka menerima kehilangan dalam kreasi pola koordinasi yang biasanya sangat mahal. Berdasarkan perspektif teori kesejahteraan, koordinasi positif memberi harapan hasil yang jauh lebih baik untuk maksimasi kesejahteraan umum daripada koordinasi negatif. Koordinasi positif paling mungkin untuk di dipupuk melalui dilembagakannya interaksi dan dengan fokus negosiasi pada isu- isu kepentingan bersama. Berdasarkan konsep koordinasi yang dikemukan oleh Malone dan Crowston 1990, Hogl 2002, Zingerli ò t ó l . 2004 dan SSC 2008 dapat disimpulkan bahwa komponen koordinasi adalah 1 aktorsektororganisasi; 2 saling ketergantungan; 3 aktivitas sektoraktororganisasi; dan 4 tujuan yang ingin dicapai. Dari sudut pandang aktor individual, secara umum dapat dijustifikasi bahwa keuntungan koordinasi tidak dapat hadir dengan sendirinya úû n n o t ü ý þÿ v ý n . Keseluruhan manfaat harus diperhitungkan. Dari perspektif itu, koordinasi adalah diinginkan jika direncanakan aksi yang dapat menambah capaian kesejahteraan yang tidak terjangkau dengan pengambilan keputusan aktor individual secara bebas. Keuntungan yang dapat diharapkan dari koordinasi antar sektor, meliputi: 1 dapat mencapai tujuan yang tidak bisa dicapai sendirian; 2 dapat meningkatkan kesempatan bahwa alternatif kebijakan yang dipilih dipastikan mengakibatkan pencapaian kesejahteraan keseluruhan yang lebih tinggi; 3 dapat membantu ke arah mencegah kehilangan kesejahteraan secara menyeluruh karena kebijakan dapat memberikan efek kesejahteraan positif untuk aktor individual; dan 4 dapat menghadirkan legitimasi dan penerimaan kebijakan publik Hogl 2002. Koordinasi melihat secara luas solusi atas fragmentasi sektoral yang ada dipemerintahan disebuah negara yang melaksanakan manajemen publik. Fragmentasi disebabkan oleh pengembangan agen, pengembangan fortofolio kementerian yang mengarah kepada banyaknya jumlah pilihan, dan di beberapa wilayah karena adanya penekanan berlebihan pada petanggung jawaban vertikal atas keseluruhan pendekatan pemerintah. Fragmentasi membuat pengkoordinasian layanan menjadi lebih rumit, menambah biaya karena duplikasi layanan dan usaha, dan kaburnya tanggung-jawab untuk beberapa isu SSC 2008. Lebih lanjut dikemukakan oleh SSC 2008 apabila mekanisme tanggung-jawab vertikal masih dilihat sebagai suatu cara efisien untuk memastikan kinerja agen, maka mereka memerinci isu ke dalam bagian komponenya. Pendekatan ini tidak efektif memecahkan isu kompleks dan hasilnya tidak baik, yakni tak tertanganinya isu lintas organisasi. Bila pengkoordinasian agen-agen benar-benar atas isu kompleks, maka dapat dikembangkan solusi berdasarkan kesepakatan sehingga intervensi lebih efektif. Harapan tercapainya peningkatan layanan tidak hanya sebatas reorientasi agen mengenai kelompok yang dilayani dan resiko duplikasi layanan. Hal tersebut sangat jelas berkenaan dengan penguatan koordinasi lintas agen. Koordinasi merupakan sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak karena perubahan lingkungan yang begitu cepat. Kegagalan di dalam membangun tujuan organisasi merupakan penyebab kegagalan dalam koordinasi. Koordinasi membutuhkan pertukaran informasi yang intensif antar semua pihak untuk mengkonfirmasikan sejumlah data detail sumberdaya untuk mencapai tujuan Moekayat 1994. Dalam konteks pelayanan pemerintahnegara, koordinasi berarti saling berbagi informasi, sumber daya dan tanggung jawab untuk mencapai hasil tertentu SSC 2008. Menurut Malone 1993 sebagaimana diacu Karyana 2007 koordinasi dan saling ketergantungan merupakan topik yang sering dibahas dalam studi organisasi. Keduanya memiliki keterkaitan erat, karena koordinasi dalam banyak kasus merupakan masalah yang timbul sebagai akibat saling ketergantungan. Tiga komponen utama koordinasi adalah tugas dan fungsi t sk , ketersediaan sumberdaya r ✁ so u ✂ ✄ ✁ s dan kegiatan ✄ t ☎ v ☎ t ☎✁ s . Secara konseptual kooperasi, koordinasi dan integrasi memiliki kemiripan tetapi berbeda dan dapat dipilah di dalam bentuk hirarki yang menunjukan perbedaan tujuan dan sasaran hasil Stead dan Meijers 2004 ✆ l m Zingerli ✁ t l . 2004. Kooperasi, koordinasi dan integrasi mengindikasikan reorientasi pembuatan kebijakan dari kebijakan sektoral bebas kepada pembuatan kebijakan yang terkoordinasi dan terpadu Zingerli ✁ t l . 2004. Menurut Peters 1998 yang dikutip oleh Hogl 2002, aspek berikut dapat digunakan untuk menjelaskan atau mengukur koordinasi antar sektor; 1 derajat pemborosan dua atau lebih dari dua kegiatanprogram organisasi mengarah pada tujuan yang sama, namun tanpa adanya saling pertimbangan antar organisasi; 2 derajat inkoherensi dua atau lebih dari dua kegiatanprogram organisasi mengarah pada tujuan berbeda atau didasarkan pada acuan yang berbeda; 3 derajat kesenjangan kebijakan isu-isu penting tidak tertangani atau tidak teragendakan. Menurut Hogl 2002 skala koordinasi kebijakan p o l ☎ ✄ y ✄ o ✝ o ✂ ✆ ☎ nt ☎ o n ✞ ✄ l ✁ dan skala kapasitas koordinasi ✄ o ✝ o ✂ ✆ ☎ nt ☎ o n ✄ p ✄ ☎ ty ✞ ✄ l ✁ dikembangkan oleh Metcalfe 1994 dan 1997. Logisnya kapasitas koordinasi dibangun dari bawah melalui tahap demi tahap. Banyak masalah koordinasi dapat dipecahkan pada tingkat yang lebih rendah tanpa menerapkan tuntutan permintaan koordinasi pada tingkat lebih tinggi. Di sisi lain, efektivitas koordinasi tingkat yang lebih tinggi bergantung pada kehandalan kapasitas koordinasi pada tingkat yang lebih rendah. Oleh karena itu, logika ini menyatakan bahwa sistem koordinasi yang handal bergantung pada rangkaian bangunan kapasitas koordinasi sebagaimana tergambar pada pada Tabel 6, dan dimulai dari tahap pertama. Tabel 6 Skala kapasitas koordinasi Tahap 8 Menetapkan sebuah strategi keseluruhan sektor terkait. Langkah ini merupakan tambahan untuk lebih melengkapi, yang mau tidak mau harus dapat dicapai di dalam praktek. p Tahap 7 Menetapkan persetujuan bersama atau sejumlah prioritas. Persetujuan antar sektor untuk prioritas bersama danatau pemerintah pusat meletakkan landasan utama kebijaksanaan dan menetapkan prioritas diantara sektor terkait. Tahap 6 Mendefinisikan batasan bersama dengan menyusun parameter aktivitas sektoral. Organisasi pusat pengambil keputusan antar sektor secara aktif berperan membatasi kegiatanaktivitas sektoral. Parameter menjelaskan apa yang aktor sektor harus tidak lakukan, tidak terbatas hanya merumuskan apa yang mereka dapat lakukan. p ✟ Tahap 5 Arbitrasi perbedaan antar sektor. Dimana perbedaan antar sektor tidak dapat dipecahkan melalui proses koordinasi horizontal seperti dijelaskan pada langkah 2 sampai 4, sebuah mekanisme terpusat biasanya digunakan untuk menyetujui penerapan prosedur untuk arbitrasi contoh: hirarki pemerintah, pemungutan suara. ✠ Tahap 4 Menghindari kebijakan menyimpang diantara sektor dan mencari persetujuan. Memperhatikan koordinasi negatif untuk menemukan perbedaan dan saling mencegah efek negatif, aktororganisasi bekerja sama, seperti kemitraan dan tim proyek, karena mereka memahami saling ketergantungan dintara mereka dan mereka saling memiliki minat dalam memecahkan perbedaan kebijakan. Step ✡ Tahap 3 Konsultasi dengan yang lain. Merupakan proses dua arah. Sektoraktor memberitahu sektoraktor lain tentang apa yang mereka lakukan, mereka saling berkonsultasi dalam proses merumuskan kebijakan mereka. Tahap 2 Pertukaran informasi diantara sektor. Sektoraktor saling menjaga isu-isu terbaru yang muncul dan bagaimana mereka menyarankan bertindak di wilayah mereka sendiri. Kehandalan dan diterimanya saluran komunikasi reguler yang ada. Tahap 1 Sektoraktor mengatur dengan bebas sesuai domainhak hukum mereka. Setiap sektor mempertahankan otonominya di dalam cakupan wilayah kebijakannya. Sumber: Metcalfe 1994; dimodifikasi Karl Hogl 2002. Sebagai contoh, kegagalan koordinasi mungkin berkaitan dengan batas kewenangan yang bermakna ganda atau bertentangan tahap 1, dapat juga kegagalan berasal dari kekurangan informasi tahap 2 atau kurang konsultasi tahap 3. Kegagalan koordinasi ini dapat di hindari dengan kecukupan informasi dan kecukupan konsultasi, tetapi kedua langkah tersebut tidak dapat dihapus untuk dapat berhasil mencari persetujuan kebijakan dalam kasus perselisihan serius tahap 4. Sebaliknya, menurut Metcalfe 1997 yang dikutip Hogl 2002 manajemen konvensional sering dimulai dari anggapan bahwa pertama dan yang paling mendesak adalah mendefinisikan keseluruhan prioritas dan keluasan strategi langkah 7 dan 8. Ini secara implisit mengambil kehandalan lain tingkat kapasitas koordinasi untuk dijalankan. Sebagai konsekuensinya, pernyataan misi, program dan ekspresi lain berupa prioritas yang luas hanya menjadi retorika kata- kata indah dalam pidato kosong tanpa infrastruktur koordinasi. 2. ☛ ☞✌ r ✍ ✌ p ✍ ✎ ✏✑ n ☞✌ r ✎✒ ✑ ✓ u ✔ n ✏ ✎ v ✎ ✏ u Arti persepsi adalah pengalaman seseorang tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tentang objek tersebut Liliweri 1997. Menurut Liliweri manusia mempersepsi manusia lain atau benda-benda disekitarnya. Persepsi terhadap manusia selalu disebut persepsi antar pribadi, sedangkan persepsi kepada yang bukan manusia disebut persepsi objek. Menurut Robbins 2008 persepsi adalah proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian, apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan obyektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dijelaskan oleh Robbins dalam bentuk Gambar 4. Gambar 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Robbins 2008. Variabel individual seperti persepsi mempengaruhi perilaku Gibsons ✕ t ✖ l ✗ 1996. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku seseorang sangat diwarnai oleh banyak faktor serta persepsinya tentang faktor-faktor tersebut. Persepsi yang dimiliki itu pulalah yang turut menentukan bentuk, sifat dan intensitas peranannya dalam kehidupan organisasional Siagian 1986. Mengingat demikian eratnya antara persepsi seseorang dengan perilakunya, maka mutlak perlu memahami dan Faktor pada target 1 Hal baru 2 Gerakan 3 Bunyi 4 Ukuran 5 Latar belakang 6 Kedekatan Faktor pada pemersepsi 1 Sikap 2 Motif 3 Kepentingan 4 Pengalaman 5 Pengharapan Persepsi Faktor dalam situasi 1 Waktu; 2 Keadaantempat kerja 3 Keadaan sosial mendalami persepsi individu untuk kepentingan upaya pencapaian tujuan kelompokorganisasi. Menurut Gibsons 1996 persepsi berperan dalam penerimaan ransangan, mengaturnya, menterjemahkan dan mengiterpretasikan rangsangan yang sudah teratur itu untuk mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap. 2.7 ✘ o t ✙ v ✚ ✛ ✙ ✜ ✚ n ✢✣ r ✙ ✤ ✚ ✥ u ✦ ✧✜ ✙ v ✙ ✜ u Menurut Robbins 2008 motivasi adalah proses yang ikut menentukan intensitas, arah dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Meski motivasi umum terkait dengan upaya kearah sasaran apa saja, kami menyempitkan fokus pada tujuan organisasi agar mencerminkan minat tunggal kita terhadap perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. Menurut Gibson ★ t ✩ l ✪ 1996 motivasi berkaitan dengan perilaku dan kinerja. Lebih lanjut dikemukakan oleh ✫ i ✬ so n et ✩ l ✪ 1996 motivasi merupakan konsep yang kita gunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau di dalam seseorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Menurut Robbins 2008 dan Gibsons et ✩ l . 1996, teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki kebutuhan yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Menurutnya, bahwa di dalam diri semua manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan, yaitu: 1 fisiologis, antara lain makan rasa lapar, minum haus, perlindungan pakaian dan rumah, sembuh dari rasa sakit, seks dan kebutuhan jasmani lain; 2 keamanan; antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional, kebutuhan untuk kemerdekaan dari ancaman; 3 sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik, dan persahabatan; 4 penghargaan, mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor penghormatan dari luar seperti misalnya status, pengakuan dan perhatian; dan 5 aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi sesorangsesuatu sesuai ambisinya, yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri. Menurut McClelland 1992 dalam teori kebutuhan terdapat tiga kebutuhan utama yang mendorong memotivasi individu untuk berperilaku dengan cara tertentu, yaitu: kebutuhan akan pencapaian, kebutuhan akan hubungan dan kebutuhan akan kekuatan. 2.8 ✭ r ✮ n ✯ ✮ p ✰✮✯ ✱ ✮ n ✲ n st ✮ tu ✯ ✮ ✳✱ n ✭ r ✮ n ✯ ✮ p ✰✮✯ ✱✮ n R ✴ z ✮ m ✵ ✱✶ ✭✴ m ✮✷✮✶✱ n Prinsip disain didefinisikan sebagai konsepsi yang menggunakan secara sengaja maupun tidak sengaja keberlangsungan asosiasi individu-individu dengan mengangkat kembali prinsip pengorganisasian Ostrom 1995. Terkait dengan sumberdaya milik bersama ✸ o m m o n p o o l ✹ ✺ so u ✹ ✸ ✺ s , Ostrom 1990 mengemukakan bahwa dalam institusi sumberdaya milik bersama terdapat beberapa prinsip yang harus dirancang agar institusi tersebut dapat berlangsung secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1 Prinsip batas yang ditentukan secara jelas untuk dapat menentukan kepemilikan seseorang atau rumah tangga terhadap sumberdaya tersebut; 2 Prinsip kongruensi, yaitu distribusi manfaat dengan aturan yang tepat, proporsional dengan pembiayaannya, kemudian aturan yang tepat terkait dengan waktu, tempat, teknologi dan kuantitas unit sumberdaya terkait dengan kondisi lokal; 3 Prinsip pengaturan pilihan kolektif, yaitu hampir semua individu dipengaruhi oleh aturan operasional yang dapat merubah partisipasinya dalam pelaksanaan pengaturan; 4 Prinsip adanya kegiatan yang sifatnya memonitor kondisi sumberdaya dan prilakunya penggunannya yang akuntabel; 5 Prinsip pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan yang diterapkan sesuai dengan tingkatan kesalahan dan konteks kejadian pengguna, dari petugas yang akuntabel atau dari pengguna lainnya atau keduanya; 6 Prinsip aturan mekanisme penyelesaian konflik di antara pengguna dan antara pengguna dan petugas yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan tersedia secara lokal; 7 Prinsip adanya pengorganisasian hak yang diakui para pengguna atau kelembagaan yang tidak dapat dicampurtangani oleh pemerintah. Menurut Agrawal 2001 studi yang dikerjakan Wade 1988 pada institusi irigasi telah menambah daftar faktor yang memfasilitasi kesuksesan institusi, beberapa faktor disebutkan terus secara regular. Faktor tersebut diantaranya adalah ukuran kelompok kecil, batas sumberdaya dan keanggotaan kelompok pengguna terdefinisi secara jelas, kemudahan dalam monitoring dan penegakan aturan, dan kedekatan lokasi antara pengguna dan sumberdaya. Menurut Kartodihardjo 2006 kelembagaan untuk pengelolaan ✻ o m m o n p o o l ✼ o o ✽ s didasarkan atas beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya alam, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, maupun pengakuannya oleh peraturan dan perundangan yang lebih tinggi. Kumpulan faktor kritis ✾ ✿ t o f ✻ riti ✻ ❀ l f ❀ ✻ to r sebagai penentu kesuksesan pengaturan sumberdaya ✻ o mmo n p o o l hasil identifikasi Robert Wade, Elinor Ostrom, Jean-Marie Baland dan Jean-Philipe Platteu yang disintesis oleh Agrawal 2001 dan dapat diaplikasikan pada ✻ o mmo n s in stitutio n s adalah sebagaimana tersaji pada Tabel 7. Menurut Agrawal 2001 daftar faktor-faktor ini Tabel 7 dapat diaplikasikan pada seluruh institusi sumberdaya milik bersama. Faktor- faktor tersebut akan sangat bermanfaat untuk memusatkan pengkajian pada kondisi hubungan sebab-akibat yang menunjang keberlanjutan. Disain rezim hak pemilikan harus merefleksikan tujuan dan sasaran kemasyarakatan. Selanjutnya tugas dalam mendisain rezim hak pemilikan harus harmonis dengan tujuan kemasyarakatan untuk kinerja ekonomi, keadilan dan pemeliharaan lingkungan ekologi. Tujuan ini dapat secara eksplisit dan implisit yang dibentuk oleh tradisi budaya, diskursus sosial dan dinamika ekonomi Hanna et ❀ l ❁ 1995. Menurut Hanna et ❀ l ❁ 1995 mendefinisikan kepentingan individu-individu atau kelompok dalam hubungannya dengan sumberdaya Bromley 1989 adalah hal yang fundamental pada disain hak pemilikan p ro p erty rig h ts ✽ esig n Runge 1984; Young 1992. Syarat disain selanjutnya adalah kepastian struktur insentif in ✻ en tive stru ✻ ture yang merefleksikan aturan tujuan jangka panjang untuk keberlanjutan sistem ekologi Jentoft 1989; Pinkerton 1989; Ostrom 1993. Sehubungan dengan keharmonisan temporal adalah isu keharmonisan spasial sp ❀ ti ❀ l ✻ o n g ruen ✻ e . Hal ini penting untuk menjamin rezim hak pemilikan memiliki batas yang terdefinisikan secara jelas, sehingga batas konsisten dengan batas alami sistem ekologi Constatnza dan Daly 1992; Berkes dan Folke 1994; Gunderson et ❀ l . 1994; Smith 1994. Selanjutnya, disain juga harus menyangkut “distribusi otoritas”. Rezim berfungsi baik jika keputusan aturan konsisten dengan pemilikan, sebagai contoh bilamana sumberdaya dimiliki secara kolektif maka harus dikelola dengan tatanan pilihan kolektif Ostrom 1990. Tabel 7 Kumpulan faktor kritis untuk kesuksesan pengaturan sumberdaya milik bersama ❂ o m m o n p o o l ❃ ❄ so u ❃ ❂❄ s hasil identifikasi Wade, Ostrom, Baland dan Platteau yang disintesis oleh Agrawal 2001 Kumpulan Faktor s ❅❆ o f f ❇❈❆ o r 1. Karakteristik sistem sumberdaya a. Ukuran kecil b. Batas sumberdaya yang didefinisikan dengan jelas 2. Karakteristik kelompok a. Ukuran kecil b. Batas kelompok yang didefinisikan dengan jelas c. Norma berbagi d. Pengalaman sukses di masa lalu - modal sosial e. Kepemimpinan yang tepat - muda, familiar dengan perubahan lingkungan eksternal, mempunyai koneksi dengan elite tradisional lokal f. Saling ketergantungan antar anggota kelompok g. Ragam dukungan, identitas dan kepentingan 3. Saling hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok a. Tumpang tindih lokasi tempat tinggal kelompok pengguna dan lokasi sumberdaya b. Tingkat ketergantungan anggota kelompok terhadap sumberdaya tinggi c. Kewajaran dalam alokasi manfaat dari “common resource” 4. Pengaturan institusi a. Aturan sederhana dan mudah untuk dipahami b. Memikirkanmerencanakan akses lokal dan aturan pengelolaan c. Mudah dalam penegakan aturan d. Diselesaikannya sanksi e. Tersedianya pengadilan keputusan hakim dengan biaya murah Sumber: Agrawal 2001. 2.9 ❉❊ m ❋● y ● r ● n J ●❍ ● ■ ❏ n ❑▲ u n ❑ ● n Menurut Wunder 2005 pembayaran untuk jasa lingkungan p ▼ ymen t fo r en viro n men t ▼ l servi ❂ es adalah 1 transaksi sukarela vo lun t ▼ ry t ❃ ▼ n ◆ ▼❂ tio n ; 2 jasa lingkungan yang terdefinisi dengan baik well ❖ P efin e P en viro n men t ▼ l servi ❂ e ; 3 melibatkan minimum satu pembeli jasa lingkungan; 4 dari minimum satu penjual jasa lingkungan; dan 5 hanya berlaku jika jasa layanan terus dapat disediakan penghasil jasa. Berdasarkan definisi pembayaran jasa lingkungan menurut UNSAID dan RMI 2007 paling tidak ada 4 empat karakteristik skema ◗ ▼ ymen t fo r ❘ n viro n men t ▼ l ❙ ervi ❂ es PES, yaitu: 1 pembayaran jasa lingkungan dikembangkan berdasarkan azas sukarela dan negosiasi-negosiasi para pihak; 2 mekanisme transaksi dan jasa yang ditransaksikan dapat terdefinisi secara jelas dan dapat diukur; 3 transaksi melibatkan paling tidak satu pihak penyedia jasa sebagai penjual jasa lingkungan dan satu pihak sebagai penerima manfaat sebagai pembeli jasa lingkungan; dan 4 skema kontrak harus mampu menjamin akan keberlanjutan skema dan aliran manfaat dalam waktu yang diperjanjikan. Empat tipe jasa lingkungan yang sering dilaporkan sebagai subjek dari skema pembayaran untuk jasa lingkungan Landell-Mill dan Porras 2002, Grieg- Gran dan Bann 2003, Wunder 2005 ❚❯ l ❯ m Kanounnikoff 2006 adalah: 1 Layanan daerah aliran sungai w ❯ t ❱❲ ❳ ❨❱ ❚ ❳ ❱ rv ❩❬❱ s ; memiliki cakupan yang cukup luas, meliputi kontrol terhadap aliran air atau kontrol terhadap kualitas air, yang berhubungan dengan ekosistem alami tertentu seperti hutan dan air tawar. Batasan pembayaran jasa pelayanan air termasuk daya ungkit politis atas penyedia pelayanan daerah aliran sungai yang persediaan pelayanan airnya memiliki justifikasi ilmiah. 2 Penyerapan karbon ❬ ❯ ❲ ❭ o n ❳ ❱ q u ❱ st ❲ ❯ t ❩ o n ; Ekosistem hutan merupakan penyedia utama pelayanan penyerapan karbon. Pembayaran untuk pelayanan penyerapan karbon dilakukan dengan menghindari penebangan hutan, akan tetapi masih dihadapkan pada transaksi biaya tinggi dan ketidakpastian dengan tergantung pada aturan perdagangan karbon internasional dan efektivitas jangka panjang Grieg-Gran dan Bann 2003. 3 Konservasi keanekaragaman hayati ❭❩ o ❚ ❩ v ❱ ❲ ❳ ❩ ty ❬ o n ❳ ❱ rv ❯ t ❩ o n ; Jasa konservasi keanekaragaman hayati sulit untuk menjadi subyek valorizationperhitungan khususnya yang berkenaan dengan nilai intengible tak dapat dihitung langsung, ketidakpastian bertalian dengan persediaan pelayanan dan jenis dan jumlah manfaat yang belum pasti dan adanya transaksi biaya tinggi Grieg-Gran dan Bann 2003. 4 Keindahan bentang lahan l ❯ n ❚ ❳ ❬ ❯ p ❱ ❭ ❱ u ty ; keindahan bentang alam lazim disediakan oleh ekosistem alami, volarisasi nilai pelayanan dari keindahan bentang alam pemandangan dapat berupa pembayaran operator turis lingkungan untuk memperoleh akses ke wilayah yang memiliki keindahan bentang alam pemandangan tersebut. Sebagai pembatas utama internalisasi dari pelayanan keindahan pemandangan sejauh ini masih mengacu kepada kenyataan, pelayanan keindahan pemandangan lebih berbasis pada persediaan oleh pemerintah dan dicirikan dengan penetapan biaya below-cost pricing Grieg-Gran and Bann 2003. Akan tetapi, tipikal keindahan pemandangan menyajikan nilai guna langsung externalitas langsung dari ekosistem dan karenannya diterapkan pembayaran jasa lingkungan terutama dengan menggunakan nilai tidak langsung untuk menambah perbedaan nilai pembayaran jasa lingkungan dari instrumen kebijaksanaan lingkungan lainnya. Skema pembayaran jasa lingkungan merupakan mekanisme pembiayaan yang memerlukan kreasi atas pengumpulan dan pengelolaan dana dari penerima manfaat. Dalam teori, penerima manfaat tidak harus membayar lebih dari nilai pelayanan yang mereka terima. Diperlukan besaran nilai pelayanan jasa lingkungan yang layak, oleh karenanya aturan merupakan tantangan utama bagi kelahiran skema pembayarana jasa lingkungan. Penilaian ini meliputi proses analisis ekonomi dengan konsultasi yang luas dengan penerima manfaat dalam rangka pengaturan sumbangan yang bisa diterima oleh mereka dan cukup bagi pendanaan sistem pembayarana jasa lingkungan. Tujuan kunci dari skema pembayarana jasa lingkungan adalah menghasilkan aliran pendapatan yang stabil dan terus menerus yang dapat memastikan keberlanjutan sistem untuk jangka panjang. Pendapatan dapat berasal dari pajak-pajak, biaya dari pengguna, subsidi pemerintah, sumbangan langsung, dana bantuan atau pinjaman dari lembaga internasional atau donasi oleh NGO internasional atau yayasan Mekanisme pembayaran harus juga dirancang untuk mengantarkan dana sampai pada pengguna lahan l ❪ n ❫ u ❴ ❵ rs . Dalam teori, pembayaran yang diberikan kepada pengguna lahan harus cukup untuk mengganti kerugian atas ongkos konservasi dan biaya kesempatan penggunaan lahan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan keseimbangan antara pembayaran maksimal yang mau disediakan penerima manfaat ❛ ❵ n ❵ fi ❜ i ❪ ries dan pembayaran minimal atas jasa layanan lingkungan yang dapat disediakan oleh pengguna lahan Mayrand dan Paquin 2004. 2. ❝ ❞❡ n ❢ r ❣❤ ✐ ❥ st ❡ tu ❦ ❡ ❧❤ n ❞❡ n ❢ r ❣ ❤ R ❢ z ❡ m ♠❤ ♥ ♦ ❢ m ❡ ♣❡ ♥ ❤ n Menurut Schmid 1987 kinerja institusi diukur oleh siapa mendapat apa dan biaya siapa yang dipertimbangkan. Pada sekelompok orang kinerja institusi ini dapat dilihat pada tingkat kehidupan, keamanan, kualitas lingkungan, dan kualitas kehidupan secara umum. Kinerja institusi juga dapat dilihat pada distribusi sumberdayakekayaan dan kesempatan. Atau diukur dari kebebasan bebas melakukan pilihan untuk bertransaksi, pertumbuhan optimalisasi total dari nilai produksi dan efisiensi pilihan untuk mengoptimalkan pengeluaran dan pemasukan. Menurut Uphoff 1986a kinerja suatu institusi diukur dari bagaimana institusi menyelesaikan empat tugas pokoknya. Keempat tugas pokok tersebut, meliputi: 1 pengambilan keputusan termasuk perencanaan dan evaluasi; 2 mobilisasi dan manajemen sumberdaya; 3 komunikasi dan koordinasi; dan 4 penyelesaian konflik. Selanjutnya Menurut Hanna q t r l s 1995 kinerja rezim hak pemilikan dapat diukur melalui satu atau kombinasi dari tiga dimensi: ekonomi, sosial dan ekologi. Seluruh dimensi adalah saling berhubungan, saling mempengaruhi dan memiliki keterkaitan keterlekatan: q m t q ✉ ✉ q ✉ dalam sebuah sistem. Ukuran kinerja untuk rezim hak pemilikan adalah efisiensi ekonomi. Ukuran efisiensi fokus pada tingkat produksi dengan keluaran ekonomi terbaik t ✈ q t q st q✇ o n o m ①✇ o u t ✇ o m q s melalui produksi dengan kombinasi input biaya rendah. Ukuran kinerja sosial fokus pada rezim keadilan yang merefleksikan definisi sosial atas keadilan distribusi f r irn ess ✉ is tri t utio n manfaat dan biaya. Sedangkan ukuran kinerja berbasis ekologi fokus pada tingkat persediaan modal alam sto ✇ k o f n r tu ② r l ✇r p it r l yang dikelola. 2. ③ ③ ④⑤ n ⑥ ⑤ m ⑦⑧ n ⑥⑧ n ⑨ ⑩ st ❶ tu ❷ ❶ Berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat diperlukan oleh masyarakat. Namun ketika institusi tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan, maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Beberapa literatur menyebutkan ada tiga solusi untuk memperbaiki kinerja institusi, yaitu melalui: pengembangan institusi in stituti o n r l ✉ evelo p men t , penguatan institusi in stitutio n r l stren g th en in g atau perubahan institusi in stitutio n r l ✇ h r n g e Pratiwi 2008. Berdasarkan pendapat Pratiwi 2008 tersebut dapat dinyatakan bahwa Kinerja institusi yang tidak optimal dapat diperbaiki dengan pengembangan institusi in stitutio n r l ✉ evelo p men t berdasarkan kinerja institusi eksisting. Menurut Nasution 1999 yang dikutip Karyana 2007 pengembangan kelembagaan institusi merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan hubungan antar individu dalam masyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang dikehendaki. Tujuan pengembangan kelembagaan institusi secara umum adalah untuk mencapai derajat pemenuhan kebutuhan manusia secara lebih baik dengan alokasi sumberdaya yang efisien dan efektif serta dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat secara adil. Secara spesifik tujuan pengembangan kelembagaan institusi adalah: 1 sebagai wahana akses adil terhadap input faktor; 2 mampu memberikan aturan main dan acuan secara adil bagi setiap pelaku dalam kelembagaan tersebut guna mencapai efisiensi dan efektifitas yang tinggi dalam alokasi sumberdaya kepada semua unsur yang terlibat; 3 mampu mendistribusikan hasil proses pemamfaatan sumberdaya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Menurut Uphoff 1986 bila merencanakan pengembangan institusi kelembagaan lokal pada area pengelolaan sumberdaya alam, patut digaris bawahi bagaimana analisis mengarah pada menilaimenaksir faktor seperti larangan hal tidak diperbolehkan dan manfaat dan biaya pengelolaan sumberdaya yang dapat mempengaruhi kelangsungan berbagai jenis institusi lokal. 2. ❸ 2 B ❹ n tu ❺ ❻ B ❹ n tu ❺ ❼ n st ❽ tu s ❽ : ❾❿ su s ❼ ➀ st ❽ tu ➁ ❽ ➂ ❹ n ➃❹➄ o ➄❿❿ n ➅➆ t ❿ n Bentuk institusi pengelolaan sumberdaya alam di suatu wilayah atau negara akan berkembang sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, penguasaan teknologi serta pengaruh-pengaruh internal yang melingkupinya. Sebagai bahan perbandingan, berikut disajikan bentuk institusi pengelolaan hutan yang telah berkembang di beberapa negara. 2.12.1 Institusi pengelolaan hutan di Jerman 1 Struktur ➇ t ➈ t ➉ ➊ o rest ➋ n terp rise Pengelolaan hutan di Jerman baik hutan Negara, sebagian besar hutan masyarakat maupun hutan pribadi dilakukan oleh ➇ t ➈ te ➊ o rest ➋ n terp rise SFE. Struktur organisasi SFE adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 5 berikut: Gambar 5 Struktur hirarki ➌ t ➍ t ➎ ➏ o rest ➐ n terp rise Jerman Hesse n ➑ ➏ o rst 2 ➒ 11. ➌ t ➍ te ➏ o rest ➐ n terp rise berasal dari tradisi keberhasilan tata usaha hutan negara di Hesse yang mempunyai struktur organisasi ditingkat lapangan dikeseluruhan daerah dan bekerja dekat dengan warga negara menurut asas penyerahan kedaulatan secara terpadu in teg ➓ ➍ te ➔ so vere ig n ty ”, di mana terdapat ➏ o rest → ➍ n ➍ g emen t ➣ n its FMU yang menjalankan tugas berdasarkan peraturan yang sah. ➌ t ➍ te ➏ o rest ➐ n terp rise Hessen-Forst mengurusi secara khusus inventarisasi hutan, perencanaan, penilaian hutan dan teknik kehutanan dengan menerapkan hasil riset silvikultur dari Northwest German Forest Research Institute NWFVA. ➌ t ➍ te ➏ o rest ➐ n terp rise dicirikan oleh hirarki sejajar. Dewan direktur dibagi menjadi empat departemen; dua departemen bekerja sebagai pendukung personel, informasi teknologi, pembiayaan dan penganggaran, sementara dua departemen lainnya bekerja pada wilayah operasi produksi silvikultur, pemasaran dan kerjasama, konsultasi dan pelayanan-pelayanan lain. Regu pengontrolan, terdiri dari empat ahli senior, memastikan saling hubungan ke dan dari unit pengelolaan hutan. Tugas mereka meliputi pemberian nasehat, pengkoordinasian dan mendukung unit pengelolaan hutan dan bantuan dalam mencapai target regional. Pengontrolan ↔ o n tro llin g : pengusahaan hutan negara disupervisi oleh menteri yang bertanggung jawab dan berkenaan dengan: 1 penerimaan terhadap aturan pengusahaan hutan negara; 2 pencalonan direktur jenderal; 3 penerimaan anggaran belanja tahunan; 4 perjanjian dengan auditor dalam konsultasi dengan Pemeriksa Keuangan Hessian; dan 5 keputusan yang relevan secara politis. Departemen tidak turut campur tangan dalam urusan operasional bisnis. Penghubung Li ↕ iso n : ➙ t ↕ te ➛ o rest ➜ n terp rise menerapkan prinsip efisiensi ekonomi dalam melakukan pengembangan secara terus menerus terhadap struktur dan aliran kerja serta pengontrolan pengelolaan. ReguTim pengontrolan merupakan bagian dari dewan direktur yang bertindak sebagai penghubung dan pengkoordinasi antara organisasi pusat dengan unit pengelolaan hutan. Regu pengontrolan yang terdiri atas empat ahli senior sen io r exp erts yang mempunyai tanggung jawab secara regional. Kedekatan kepada unit pengelolaan hutan dipastikan melalui komunikasi yang baik dan keputusan cepat. Tugas utama regu pengontrolan adalah menempatkan tujuan dan strategi pengusahaan hutan negara sedemikian rupa sehingga mendukung kepala unit pengelola hutan sehubungan dengan tanggungjawabnya. ReguTim kontrol juga meneliti operasi manajemen unit pengelolaan hutan. Komisi Pengusahaan Hutan Negara ➙ t ↕ te ➛ o rest ➜ n terp rise ↔ o mmissio n : merupakan komisi eksternal pengusahaan hutan negara yang independen yang memastikan keseimbangan dan keberlansungan sasaran strategis yang ditentukan untuk pengusahaan hutan negara. Laporan tahunan pengusahaan hutan negara diteliti oleh komisi dan diberikan komentar dengan semua pertanyaan berkenaan dengan sasaran-sasaran strategis. Komisi SFE terdiri atas dua belas anggota komite dengan keahlian yang diakui, yaitu: 1 menteri bertanggung jawab sebagai pemimpin; 2 satu delegasi dari setiap parlemen terwakili dalam Hessiean Parlemen; 3 satu wakil dari setiap departemen fungsional dan anggaran; 4 satu wakil dari personel pengusahaan hutan negara; dan 5 lebih dari empat wakil dari sektor lainnya seperti lingkungan, ekonomi, masyarakat umum atau pemilik hutan kecil-kecilan atau ilmuwan. Para anggota ditetapkan untuk satu periode pemilihan dimana menteri bertanggung jawab dalam konsultasi dengan menteri keuangan atau Presiden Parlemen Hessian. Komite bersidang tidak kurang dari sekali setahun atas permintaan menteri yang bertanggung jawab, atau menteri keuangan, direktur jenderal dari pengusahaan hutan negara atau dari sedikitnya tujuh anggota secara bersama-sama. 2 Struktur ➝ o rest ➞ ➟ n ➟ g emet ➠ n its FMU ➡ tr u ktur o rg ➟ n i ➢ ➟ si ➝ o rest ➞ ➟ n ➟ g emen t ➠ n its FMU adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Organisasi FMU ada di seluruh wilayah negara, sehingga dapat menjamin unit pengelola hutan dekat dengan masyarakat, otoritas lokal dan pelanggan lain. Hal ini merupakan penerapan prinsip teritorial territo ri ➟ l p rin ➤ ip l e yang menjadi sebuah keharusan dalam melaksanakan silvikultur berorientasi alamiah n ➟ ture ➥ o rien te ➦ silvi ➤ ulture . Organisasi FMU menjalankan fungsi yang meliputi pendidikan lingkungan, konservasi alam, advis bio-energi dan advis terhadap pemilik hutan privat dan rata-rata FMU mengatur 18.000-20.000 ha dengan 10-12 pasukan daerah ➧ ➟ n g er ➦ istri ➤ ts . Dengan demikian struktur internal FMU merupakan kombinasi prinsip teritorial dengan prinsip peningkatan fungsi organisasi. Gambar 6 Struktur organisasi ➝ o rest ➞ ➟ n ➟ g emen t ➠ n its Hesse n ➝ o rst 2 ➨ 11 . Organisasi ini dipimpin oleh seorang kepala yang memiliki tugas meliputi pemasaran, pengontrolan, kualitas proses pengelolaan dan organisasi. Kepala FMU membawahi bidang administrasi, kepala seksi produksi, kepala seksi pelayanan dan kedaulatan serta ➩ ➫ n ➭➯ rs ➲ ➳ st ➩ ➳➵ t . Fungsi utama organisasi ini meliputi konservasi, pendidikan lingkungan, bioenergi dan penyuluhan. 2.12.2 Institusi pengelolaan hutan di Jepang Keberhasilan bangsa Jepang dalam mempertahankan kelestarian fungsi sumberdaya alam sejak berabad-abad yang lalu telah banyak dilaporkan dalam berbagai literatur Kartodihardjo 2004. Menurut Zoysa dan Inoue 2010 “irai” di Jepang adalah sebuah sistem pengelolaan berkelanjutan hutan milik bersama di pedesaan-pedesaan yang memproduksi kebutuhan dasar domestik dan berfungsi sebagai pengerat hubungan komunitas lokal. Di bawah rezim pemilikan bersama ➵ o m m o m p ro p ➯ rty ➩ ➯ ➭➳ m ➯ s hanya anggota kelompok yang memiliki akses terhadap sumberdaya yang pemanfaatannya didasarkan pada regulasi. Aturan pengelolaan yang tepat meliputi tanggal dan waktu, tempat dan jumlah yang diperbolehkan untuk diekstrasi dari hutan “irai” diimplementasikan untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan Kijima ➯ t ➫ l . 2000 ➲ ➫ l ➫ m Zoysa dan Inoue 2010. Rumah tangga keluarga di dalam komunitas sangat peduli terhadap kemampuan lahan hutan “irai” dalam mendukung kelangsungan mata pencaharian penghidupan mereka. Pengambilan keputusan penting terkait dengan pengelolaan hutan “irai” didasarkan pada persetujuan seluruh anggotanya Goto 2007 dalam Zoysa dan Inoue 2010. Menurut Kartodihardjo 2004 yang mengutip hasil penelitian McKean 1993 keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dalam hubungannya dengan kinerja sistem institusi yang diterapkan di tiga desa di Jepang yang diteliti oleh McKean antara lain karena fakta-fakta berikut: 1 hingga kini keberadaan “lahan milik bersama” masih dapat dipertahankan oleh masyarakat di Jepang karena adanya komunitas pemilik bersama yang teridentifikasi dengan jelas dan tertulis; 2 dalam sejarahnya desa-desa di Jepang berkembang mengikuti perubahan zaman dengan selalu mengacu pada aturan-aturan atau kesepakatan-kesepakatan; dan 3 dalam mengimplementasikan aturan tersebut, masyarakat Jepang menerapkan sanksi atau penalti bagi pelanggar aturan sebagai suatu sistem kontrol sosial, dimana penalti tersebut dapat berupa “pengucilan” dari kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam tak terkecuali sumberdaya hutan secara berkelanjutan di pedesaan tradisional di Jepang merupakan akibat dari adanya: 1 aturan yang disepakati masyarakat dan diimplementasikan secara baik serta diberlakukannya sanksi atas pelanggaran; 2 unit terkecil dari pengelola hutan, yaitu rumah tangga ➸ o u ➺ ➻ ➸ o l ➼ terlibat dalam pengambilan keputusan; dan 3 adanya kesadaran dan kepedulian komunitas terhadap fungsi hutan dalam mendukung penghidupan masyarakat. 2.12.3 Insitusi pengelolaan hutan di Sri Langka Mengacu pada pendapat dan hasil penelitian beberapa ahli, Zoysa dan Inoue 2008 melaporkan hal-hal yang berkenaan dengan institusi pengelolaan hutan di Sri Langka sebagai berikut: 1 Kehutanan Sri Langka memiliki sejarah lebih dari dua ribu tahun yang direfleksikan di dalam catatan peninggalan raja-raja masa lalu. Sri Langka mempunyai sejarah panjang penanaman pohon sejak tahun 543 sebelum masehi, dimana tradisi ini ada pada budaya buddha. Dalam catatan sejarah kuno maha-wamsa, rajaratnacari dan rajawali dinyatakan komunitas pedesaan kampung terorganisir secara baik dan hidup secara harmonis dalam lingkungan hutan sepanjang periode raja Vijaya 543 sebelum masehi. Mereka mengelola keberlanjutan lingkungan hutan disekelilingnya dan menikmati hak serta dapat secara baik melakukan administrasi sendiri. 2 Penegakan aturan dan regulasi untuk perlindungan hutan dan penggunaan produksi hutan ditegakkan pula pada periode 161-137 sebelum masehi oleh Raja Dutugamunu. Raja diperlakukan sebagai pemilik sah lahan hutan. Meskipun raja sebagai penguasa hutan, komunitas masyarakat memegang hak mengambil hasil hutan dan diawasi oleh para anggota yang ditunjuk sebagai manajer. Hutan dikelola berdasarkan rezim pemilikan bersama dengan norma-norma dan konvensi untuk mengatur hak-hak individual, sementara kesepakatan sosial digunakan untuk mencegah penyalahgunaan sumber daya hutan Kariyawasam 2001. 3 Adanya cadangan hutan untuk royalti ➽ ➾➚ ➾➪ ➾➽ ➾ m, institusi biara n ➶ n ➪ ➾➽ ➾ m , kuil umum v ➶ ➹ ➾➘ ➾ ➽ ➾ m , dan untuk tujuan lain ➪ ➴ v ➾ l ➴➽ ➾ m terdokumentasi di tulisan kuno. Hutan dialokasikan untuk penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat ➘ ➾ ➷ ➾ k ➾➘ ➶ y ➾ , sementara petugas hutan k ➴ l ➴ ko ➘ ➾ l ➾ ditetapkan sebagai pengatur penggunaannya. Penarikan pajak kepada penguasa hutan pribadi terdokumentasi sejak abad keenam. Penebangan spesies pohon tertentu dan masuk ke lahan dan kebun hutan keluarga raja adalah dilarang. Aturan ini berlaku hingga diujung zaman kerajaan di Sri Langka tahun 1815. 4 Sistem otoritas pemerintah terhadap penggunaan sumberdaya hutan mulai diterapkan sejak kekuasaan kolonial Inggris. Hak dan tanggung jawab komunitas dalam mengelola hutan digantikan oleh agen-agen birokrasi perwakilan pemerintah. Rezim kolonial meruntuhkan kohesi komunitas pedesaan dan sistem pengelolaan hutan berdasarkan pemilikan bersama menjadi terkikis. 5 Sejak tahun 1950, yakni setelah kemerdekaan Sri Langka, pengelolaan dilakukan oleh tenaga teknis terlatih dari departemen kehutanan. Secara umum, petugas tidak terlatih sebagaimana mestinya untuk secara pantas mengakui hak-hak aslilokal, mengapresiasi pengetahuan lokal dan memahami ketergantungan ekonomi komunitas terhadap sumberdaya hutan. Institusi tradisional dan kepemimpinan lokal termarginalikan atau terabaikan. Akhirnya, orang-orang luar dari wilayah kota terutama pedagang kayu mengambil alih kendali sumberdaya hutan dan sistem produksi hutan yang menjadi mata pencaharian komunitas lokal. Banyak tempat penggembalaan yang berfungsi pada abad ini ditutup. Walaupun, otoritas kehutanan tidak dapat mengendalikan pengambilan kayu bakar, perladangan berpindah, pertanian perkebunan, pertambangan, pembalakan kayu dan aktivitas lain di hutan yang dilakukan oleh komunitas lokal secara tidak sah. 6 Saat ini, strategi dan tradisi kuno pemanfaatanpenggunaan sumberdaya menjadi komponen penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan negara Sri Langka. Fungsi komunitas tradisional dalam mengurus sumberdaya hutan sangat diperlukan, oleh karenanya diperkuat. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan oleh Zoysa dan Inoue 2008 yang mengacu pada pendapat berbagai ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan hutan di Sri Langka di masa lalu merupakan resultan dari adanya: 1 pengaturan hak masyarakat lokal sekitar hutan untuk menikmati manfaat hutan; 2 penegakan aturan dan regulasi untuk perlindungan hutan dan penggunaan produksi hutan; 3 sesuai dengan karakteristiknya hutan dikelola dengan menggunakan pendekatan rezim pemilikan bersama; 4 petugas kehutanan bertugas mengatur penggunaan kawasan hutan. 2.12.4 Institusi Pengelolaan Hutan Lindung di Indonesia: Kasus Kelembagaan Hutan Lindung Sungai Wain Berdasarkan hasil penelitian tentang kelembagaan pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain HLSW, Falah ➬ t ➮ l ➱ 2007 melaporkan bahwa Pemerintah Kota Balikpapan memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung pengelolaan HLSW, terbukti dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2004 tentang Pengelolaan HLSW serta tiga Surat Keputusan Walikota tentang Penataan dan Pemanfaatan HLSW, Pembentukan Badan Pengelola HLSW dan Tata Cara dan Pemanfaatan HLSW. Beberapa kegiatan yang berhasil dilaksanakan Badan Pengelola HLSW BPHLSW antara lain menekan penebangan liar dan perburuan satwa liar hingga 0, upaya penanganan masalah perambahan dengan memberi hak pemanfaatan lahan kepada masyarakat lokal dalam blok pemanfaatan, kegiatan pemanfaatan kawasan yang meliputi agroforestri, ekowisata, penelitian, pendidikan lingkungan serta pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian Falah ➬ t ➮ l . 2007 tersebut, pemanfaatan kawasan HLSW yang diperbolehkan berdasarkan Surat Keputusan Walikota Nomor 13 tahun 2004 adalah agroforestri, pemungutan hasil hutan non kayu, ekowisata dan pendidikan lingkungan serta kegiatan penelitian. Agroforestri: kawasan yang telah dirambah dan dijadikan kebun oleh masyarakat dijadikan blok pemanfaatan. Setiap kepala keluarga berhak memperoleh izin pemanfaatan maksimal dua hektar dalam jangka waktu maksimal lima tahun dan tidak dapat dipindahtangankan. Pemungutan hasil hutan non kayu: hasil hutan non kayu yang diperbolehkan adalah pemungutan rotan, madu, buah, tanaman obat-obatan dan hasil hutan non kayu lainnya yang tidak mengganggu fungsi lingkungan. Pemanfaatan jasa lingkungan: bentuk pemanfaatan jasa lingkungan yang diperbolehkan adalah kegiatan penelitian, kunjungan formal, kunjungan pendidikan dan pelatihan, olah raga tantangan serta ekowisata. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan yang potensial adalah pemanfaatan air. Insentif pemanfaatan air menjadi sumber pendanaan pengelolaan HLSW, dimana telah terealisasi setiap tahun Pertamina UP V Balikpapan sebagai konsumen utama air Waduk Wain membayar Rp 200.000.000. D P A 3 k u P ✃ ❐❒❮ ❰Ï ❮ ❐Ð ❐ÑÒ ÏÒ❰Ð ÓÔ ÕÖר × Ù Ú Û Ù Ü ×Ý × Þ × ß ×Ø × Ù à á âã äå Ý å Ö å æ Ø Û ç ×Ü × å Öè Þר å Ý Û Ù ÛÖ å é å × Ù ê ×ä ×Ö׿ë ìí î à á âã ç Ûï ×ä× Ý ×ä× Ýð Ö×ð ÞÛñå Ö ò × ÙÜ Ú Û Úå Ö å Þå ó ð Ù Ü Ø å Ý Û Ù é åÙ Ü Ø Û ç × Ü × å Ý Û Ùò ×ÙÜ Ü × Ø å Ø éÛ Ú ÞÛæå äð Ý× Ù ä å Ýð Ö×ð åÙ åê éÛïðé× Ú × Ø Û ç × Ü × å ä ×Ûï׿ é× ÙÜ Þ×Ý × Ù × å ï ô ä × Ù ì õ î Ý Û Ú × Ù ó××é× Ù éÛï æ×ä ×Ý Ø ð Ú ç Ûïä ×ò × à á â ã éÛÖ׿ ç Ûï×Þ åç ×é Ý×ä × ï ðØ ×ÞÙò × Ø ðÚç Û ï ä×ò × à á âã ö 3 ÷ ø P ùúû ù k üý ü ú S ý u ûþ â Û Ù äÛÞ ×é× Ù Ø éðäå ò × Ù Ü ä åÜ ð Ù ×Þ× Ù ä×Ö× Ú Ý Û Ù Û Ö å é å × Ù åÙå ×ä×Ö׿ Ý Û Ù ä ÛÞ ×é× Ù Ø éðäå Þר ð Ø ê Þ×ï Û Ù × Ü Û ÿ ×Ö× Ø èØ å ×Ö ä å Ýå Ö å æ ðÙ éð Þ äå éÛÖ å é å äÛ Ù Ü × Ù æ ×ï×Ý × Ù ä ×Ý×é Ú Û Úç Ûï å Þ× Ù Ü × Úç ×ï× Ù äÛé× å Ö éÛ Ù é× Ù Ü Ö×é×ï ç ÛÖ×Þ× Ù Üê Ø å ó ×é Ø å ó ×é ä× Ù Þ ×ï×Þ é Û ï Þ ×ï×Þ é Û ï ò × ÙÜ Þ æ×Ø ä ×ï å Þר ð Ø äÛ Ù Ü × Ù Ø ðçò ÛÞ ðé× Ú × Ý Û Ù ÛÖ å é å × Ù åÙ ä å ✁ å äðê ÞÛÖè Ú Ýè Þ ä × Ù ÖÛ Ú ç × Ü × ö âå Ö å æ× Ù ÝÛ Ù äÛÞ ×é× Ù Ø éð ä å Þ ×Ø ð Ø åÙå Ú Û Ù Ü × ñ ð Ý×ä × Ý Û Ù ä ×Ý×é ✂Û ✁ å ÖÖ× ✄☎ ✆✝ ✞ ì í ✟ ✟✠ î ò × Ù Ü ä å Þ ðé å Ý ✡ ðÙ ÜåÙ ì õ ☛ ☛Ó î çå Ö× Þå é× Ú ÛÖ×Þð Þ× Ù Ý Û Ù ÛÖ å é å × Ù ò ×ÙÜ éÛï åÙ ñå éÛ Ù é× ÙÜ Ø ÛØ ð ×éð ðÙ å é Ø è Ø å ×Ö Ø ÛÖ× Ú × Þ ðïðÙ ß ×Þ éð éÛïéÛ Ù éðê Þå é× Ú ÛÖ×Þ ðÞ × Ù ×Ý × ò × Ù Ü ä å Ø Û ç ð é Ø éðäå Þר ð Ø ö ☞ Û Ù ð ïðé ✌ ר å ï ì õ ☛☛ Óî éð ÿ ð × Ù Ø éð ä å Þ ×Ø ðØ ×ä×Ö׿ ðÙ éð Þ Ú Û Ú ç Ûï å Þ × Ù Ü × Ú ç ×ï× Ù Ø Û ñ ×ï × Ú Û Ù ä Ûé× å Ö éÛ Ù é× Ù Ü Ö×é×ï ç ÛÖ×Þ× Ù Üê Ø å ó×é Ø å ó×é Ø Ûïé× Þ ×ï×Þ éÛï Þ ×ï×Þ éÛï ò × Ù Ü Þæ ר ä×ïå Þ ×Ø ðØ ê ×é×ð ÝðÙ Ø é×éð Ø ä ×ï å åÙ ä å ✁ å äð ê ò × Ù Ü Þ Û Ú ð ä å × Ù ä×ïå Ø å ó×é Ø å ó ×é Þ æ×Ø éÛïØ Û ç ðé ×Þ × Ù ä å ÿ ×äå Þ × Ù Ø ð ×éð ò × Ù Ü ç ÛïØ å ó×é ð Ú ð Ú ö ✂ðçò ÛÞ Ø éð ä å Þ ×Ø ð Ø ä ×Ý ×é ç Ûïð Ý× åÙ ä å ✁ å äðê ÞÛÖèÚ Ý èÞê ÖÛ Úç × Ü × ê Ú ×ð ÝðÙ Ú ×Ø ò ×ï×Þ ×é ö 3 ÷ ✍ ✎ ù ý ✏ û ù P ù ú ✑ u ✒✓ u ✔ ü ú D ü ý ü ☞ Ûé è ä Û Ý Û ÙÜ ð Ú Ýð Ö× Ù ä×é× ò × Ù Ü ä åÜ ðÙ ×Þ× Ù ðÙ éð Þ Ú Û Ù ä ×Ý×éÞ × Ù ä×é× Ø ÛØ ð × å ä Û ÙÜ × Ù Þ Û ç ð éðæ × Ù Ø éð ä å ×ä ×Ö׿ éÛÞÙå Þ è ç Ø Ûï ✁ ר å ç ÛïÝ ×ïé å Ø å Ý ×Ø åê ß × ß × Ùñ ×ï × éÛïØ éïð Þéð ï ê ß × ß × Ù ñ ×ï× Ú Û Ù ä ×Ö× Ú ä× Ù Ø éðäå äè ÞðÚ Û Ù ö ✕ ×ïÛ Ù × ê Ú Û Ù ðïð é ✂ å éè ïðØ ìí ✟ ✟✖ î ä Û ÙÜ × Ù Ú Û Ú ×äð Þ× Ù Ø Ûä å Þå é Ù ò × é åÜ × Ú Ûéèä Û ê Ú å Ø ×Ö Ù ò × ÝÛ Ù Ü × Ú ×é× Ùê ß × ß × Ù ñ ×ï× ä× Ù × Ù ×Ö å Ø å Ø ä èÞ ð Ú Û Ùê Ú ×Þ × Ø ×éð ä × Ù Ö× åÙ Ú Ûéè äÛ ×Þ×Ù Ø ×Ö åÙ Ü Ú Û Ù ð éðÝ Þ ÛÖ Û Ú ×æ× Ù Ø Ûæ å ÙÜ Ü × é× Ù Ü Þ ×Ý× Ù ×éר ï Û×Ö å éר Ø èØ å ×Ö Ú Û Ù ÿ ×ä å ÖÛ ç å æ ✁ ×Ö å äö ☞ Ûéèä Û ÝÛ Ù Ü ðÚ Ý ðÖ× Ù ä×é× Ú ÛÖ×Öð å èç Ø Ûï ✁ ר åê ß × ß × Ù ñ ×ï× ä× Ù Ø éð ä å ä èÞ ð Ú Û Ù ä×Ö× Ú ÝÛ Ù ÛÖ å é å × Ù åÙå ä ×Ý×é ä å ÿ ÛÖר Þ× Ù Ø Û ñ ×ï× ïåÙñå Ø Û ç × Ü × å ç Ûïå Þð é ë ✗ ✗ ✘✙ ✘✙✚ ✛✜✢ ✣✤✥ ✦ ✢ ✧ ★✣✩ ✪ ✧ ✩ ✫ ✜ ✢ ✣✤✥ ✦ ✢ ✧ ✧✪✧ ✬ ✧✭✮ ✪ ✦✩✦✪ ✮ ✪✯ ✮ ✩ ✰✣ ✪ ✭ ✣ ✯✦✱✮ ✧ ✬ ✦✪ ✰ ✣✰ ✲✣✳ ✦ ✴ ✦ ✤ ✧ ✢ ✣✵✦✤ ✦ ✳ ✦✪ ✭ ✢ ✮ ✪ ✭ ✤ ✣ ✦ ✳ ✧✯✦ ✢ ✢ ✫ ✢ ✧✦ ✳ ✬ ✦✪ ✩✫ ✪ ✬ ✧ ✢ ✧ ✳ ✧✪ ✭✩✮ ✪ ✭✦✪ ✯ ✣✤✰ ✦ ✢ ✮ ✩ ✩✣ ✜ ✣✤ ✦ ✬ ✦✦✪ ✧✪ ✶ ✤ ✦ ✢ ✯ ✤✮ ✩ ✯ ✮✤ ✬ ✧ ✩✦ ✷ ✦ ✢ ✦✪ ✸✹✺ ★ ✙ ✻ ✣ ✪ ✮ ✤✮ ✯ ✼ ✦ ✢ ✮ ✯✧✫✪ ✽ ✚ ✾ ✿ ✿❀ ❁ ❂❃ ❂❄ ❅ ✮ ✭✧ ❆ ✫ ✪✫ ✽ ❇❈ ❈ ❉ ❀ ✫✜✢ ✣✤✥ ✦ ✢ ✧ ✦ ✬ ✦ ✳ ✦✱ ✬ ✦ ✢ ✦ ✤ ✢ ✣✰ ✮ ✦ ✧ ✳✰✮ ✲✣ ✪✭✣ ✯✦ ✱✮ ✦✪ ✙ ✺ ✦ ✤ ✦ ✧ ✳✰✮ ✷ ✦✪ ✱ ✦✪ ❆ ✦ ✬ ✦✲ ✦✯ ✜✣ ✩ ✣✤ ✴ ✦ ✜✣✤✬ ✦ ✢ ✦ ✤ ✩✦✪ ✬ ✦✯✦ ❊ ❆ ✦✧✯ ✮ ✶ ✦✩ ✯✦ ✰ ✣✪ ✭ ✣ ✪ ✦✧ ✬✮ ✪✧✦ ✩ ✣ ✪ ❆ ✦✯ ✦✦✪ ❆ ✦✪ ✭ ✬ ✧✲✣✤ ✫ ✳ ✣ ✱ ✰✣✳ ✦ ✳✮ ✧ ✫ ✜ ✢ ✣✤✥ ✦ ✢ ✧ ✙ ✛✜✴✣ ✩ ❆ ✦✪ ✭ ✬ ✧✫ ✜ ✢ ✣✤✥ ✦ ✢ ✧ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✲ ✣ ✪✣✳ ✧✯✧✦ ✪ ✧✪ ✧ ✰ ✣✳ ✧✲ ✮ ✯✧ ❋ ✤ ✮ ✦✪ ✭ ✬ ✧ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✩ ✦ ✷ ✦ ✢ ✦✪ ✸ ✹✺ ★ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✦ ✢ ✲ ✣ ✩ ✶ ✧ ✢ ✧✩✪ ❆ ✦ ❊ ✜ ✣ ✪✬ ✦ ● ✜✣ ✪ ✬ ✦ ❆ ✦ ✪✭ ✯ ✣✤✬ ✦✲✦✯ ✬ ✧ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✩ ✦ ✷ ✦ ✢ ✦✪ ✸ ✹✺ ★ ❊ ✯✧✪✬ ✦✩ ✦✪● ✯✧✪✬ ✦✩ ✦✪ ✯ ✣✤ ✯ ✣ ✪ ✯ ✮ ❆ ✦✪✭ ✬ ✧ ✳ ✦✩✮ ✩ ✦✪ ✫✤ ✦✪ ✭ ● ✫ ✤ ✦✪✭ ✦✯✦ ✮ ✫✤ ✭ ✦✪✧ ✢ ✦ ✢ ✧ ✬ ✧ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✩ ✦ ✷ ✦ ✢ ✦✪ ✸ ✹✺ ★ ✬ ✦✪ ✯ ✮✴✮ ✦✪ ❆ ✦✪ ✭ ✧✪✭ ✧ ✪ ✬ ✧ ✵ ✦✲ ✦✧ ✙ ✺ ✣ ✪ ✣ ✪ ✯ ✮ ✦✪ ✫ ✜ ✴✣ ✩ ✲ ✣ ✪✣✳ ✧✯✧✦✪ ✢ ✣ ✜✦ ✭✦✧ ✰ ✦✪ ✦ ✯ ✣✤✢ ✣ ✜ ✮ ✯ ✬ ✧ ✦✯✦ ✢ ✰ ✣ ✪✭ ✦ ✵✮ ✲ ✦ ✬ ✦ ✲✣ ✪ ✬ ✦✲✦✯ ❅ ✲✤ ✦ ✬ ✳✣ ❆ ✢ ✣ ✜✦ ✭✦✧ ✰ ✦✪ ✦ ✬ ✧✦✵✮ ❅ ✮ ✭✧ ❆ ✫ ✪ ✫ ✽ ❇❈❈ ❉❀ ❊ ✫✜✴✣ ✩ ✲✣ ✪✣✳ ✧✯✧✦✪ ✯ ✣✤ ✬ ✧ ✤ ✧ ✦✯✦ ✢ ✯✧✭✦ ✩ ✫ ✰ ✲✫ ✪ ✣ ✪❊ ❆ ✦✧✯ ✮ ❋ ✽ ✚ ❀ ✯ ✣✰ ✲✦✯ ✽ ❍❃ ❂■❏ ❀ ❊ ✯ ✣✰ ✲ ✦✯ ✬ ✧ ✰ ✦✪✦ ✧✪✯ ✣ ✤ ✦✩✢ ✧ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✢ ✧✯ ✮ ✦ ✢ ✧ ✢ ✫✢ ✧✦ ✳ ✢ ✣✬ ✦✪✭ ✜✣✤✳ ✦✪ ✭ ✢ ✮ ✪ ✭❑ ✽ ❇ ❀ ✦✩ ✯✫ ✤ ✽ ❂■ ▲▼◆ ❀ ❊ ✲ ✣✳ ✦✩✮ ✦✯✦ ✮ ✫ ✤ ✦✪✭● ✫✤ ✦✪ ✭ ❆ ✦✪ ✭ ✢ ✣✬ ✦✪ ✭ ✰ ✣✰ ✦✧✪✩ ✦✪ ✲✣✤ ✦✪ ✯ ✣✤ ✯ ✣ ✪✯ ✮ ❑ ✬ ✦✪ ✽ ✘ ❀ ✦ ✩✯✧ ✥ ✧ ✯✦ ✢ ✽ ❂■ ▲❖ v ❖▲ ❖ ❏ P ❀ ❊ ✩✣ ✭✧✦✯✦✪ ❆ ✦✪ ✭ ✬ ✧ ✳ ✦✩ ✮ ✩✦✪ ✫✳✣ ✱ ✦✩ ✯✫ ✤ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✢ ✧✯ ✮ ✦ ✢ ✧ ✢ ✫✢ ✧✦ ✳ ❆ ✦✪ ✭ ✢ ✣✬ ✦✪ ✭ ✜✣✤✳ ✦✪ ✭ ✢ ✮ ✪ ✭ ✙ ✘✙ ✘✙ ❇ ◗ ✦ ✷ ✦✪ ✵ ✦ ✤ ✦ ✯ ✣✤✢ ✯ ✤✮ ✩✯ ✮ ✤ ◗ ✦ ✷ ✦✪ ✵ ✦ ✤ ✦ ✯ ✣✤ ✢ ✯ ✤ ✮ ✩ ✯ ✮✤ ✬✣ ✪ ✭✦✪ ✰✣ ✪ ✭✭✮ ✪ ✦✩✦✪ ✬ ✦ ✶ ✯✦ ✤ ✲✣✤ ✯✦✪ ❆ ✦✦✪ ✬ ✧ ✳ ✦✩ ✮ ✩ ✦✪ ✮ ✪✯ ✮ ✩ ✰ ✣ ✪✭✮✰ ✲ ✮ ✳ ✩✦✪ ✬ ✦✯✦❘✧✪ ✶ ✫✤✰ ✦ ✢ ✧ ✬ ✦ ✤ ✧ ✩ ✣✳ ✫✰ ✲ ✫✩ ✢ ✦ ✢ ✦ ✤ ✦✪ ❆ ✦✪ ✭ ✯ ✣✳ ✦✱ ✬ ✧✯ ✣ ✯✦✲✩ ✦✪ ✙ ✻ ✣ ✪ ✮ ✤✮ ✯ ❅ ✮ ✭ ✧ ❆ ✫ ✪✫ ✽ ❇ ❈ ❈ ❉ ❀ ✷ ✦ ✷ ✦✪ ✵ ✦ ✤ ✦ ✯ ✣✤✢ ✯ ✤✮ ✩ ✯ ✮✤ ✬ ✧✭✮ ✪ ✦✩ ✦ ✪ ✢ ✣ ✜✦ ✭✦✧ ✯ ✣ ✩ ✪✧✩ ✲ ✣ ✪ ✭ ✮✰ ✲ ✮ ✳ ✦✪ ✬ ✦✯✦ ❊ ✜ ✧ ✳ ✦ ✲ ✣ ✪✣✳ ✧✯✧ ✦✯✦ ✮ ✲✣ ✪✭ ✮ ✰ ✲✮✳ ✬ ✦✯✦ ✯ ✣✳ ✦✱ ✰✣ ✪ ✭ ✣ ✯✦✱✮ ✧ ✬ ✣ ✪✭ ✦✪ ✲ ✦ ✢ ✯✧ ✯ ✣ ✪✯✦✪ ✭ ✧✪ ✶ ✫ ✤ ✰ ✦ ✢ ✧ ✦✲✦ ❆ ✦✪ ✭ ✦✩ ✦✪ ✬ ✧ ✲ ✣✤ ✫✳✣ ✱ ✙ ✛ ✳✣ ✱ ✩ ✦ ✤✣ ✪ ✦ ✧✯ ✮ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✰ ✣✳ ✦✩ ✮ ✩✦✪ ✷ ✦ ✷ ✦✪✵ ✦ ✤ ✦ ❊ ✲✣ ✪✣✳ ✧✯ ✧ ✦✯✦ ✮ ✲✣ ✪ ✭ ✮ ✰ ✲✮✳ ✬ ✦✯✦ ✯ ✣✳ ✦✱ ✰ ✣ ✪ ❆ ✧✦✲✩ ✦✪ ✧✪ ✢ ✯ ✤✮ ✰✣ ✪ ✲✣ ✪ ✣✳ ✧✯✧✦✪ ✜ ✣✤✮ ✲✦ ✲✣✤ ✯ ✦✪ ❆ ✦ ✦✪ ● ✲ ✣✤ ✯✦✪ ❆ ✦✦✪ ❆ ✦✪ ✭ ✦ ✳ ✯ ✣✤ ✪ ✦✯✧ ✶ ✴ ✦ ✷ ✦✜ ✦✪✪ ❆ ✦ ✯ ✣✳ ✦✱ ✬ ✧ ✢ ✧✦✲ ✩✦✪✙ ❙✣ ✪✭✦✪ ✷ ✦ ✷ ✦✪✵ ✦ ✤ ✦ ✯ ✣✤✢ ✯ ✤✮ ✩✯ ✮ ✤ ✧✪✧ ❊ ✢ ✣ ✯✧✦✲ ✤ ✣✢ ✲ ✫✪✬ ✣ ✪ ✬ ✧✜✣✤ ✧ ✲ ✣✤ ✯✦✪ ❆ ✦ ✦✪ ❆ ✦✪ ✭ ✢ ✦ ✰ ✦ ❊ ✬ ✦✪ ✲✣ ✪✭✮✰ ✲ ✮ ✳ ✬ ✦✯✦ ✰✣ ✪✵ ✦✯✦✯✪ ❆ ✦ ✙ ✘✙ ✘✙ ✘ ◗ ✦ ✷ ✦✪ ✵ ✦ ✤ ✦ ✰ ✣ ✪ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ◗ ✦ ✷ ✦✪✵✦ ✤ ✦ ✰ ✣ ✪ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✬ ✧✭ ✮ ✪✦✩ ✦✪ ✮ ✪✯ ✮ ✩ ✰ ✣ ✪ ✭ ✣ ✯✦✱✮ ✧ ✦ ✢ ✲✣ ✩ ● ✦ ✢ ✲✣ ✩ ✩ ✮ ✦ ✳ ✧✯✦✯✧ ✶ ✢ ✣✵ ✦ ✤ ✦ ✳✣ ✜ ✧✱ ✰ ✣ ✪ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✬ ✦✪ ✰✣ ✪ ❆ ✣✳✮ ✤✮ ✱ ✰ ✣✳✦ ✳✮ ✧ ✯✦✪ ❆ ✦ ✴ ✦ ✷ ✦✜ ✢ ✣✵ ✦ ✤ ✦ ✯✦✯✦ ✲ ✰ ✮ ✩ ✦ ✦✪ ✯✦ ✤ ✦ ✲ ✣ ✪✣✳ ✧✯✧ ✬ ✣ ✪✭ ✦✪ ✯✧✪✣ ✳ ✧✯✧✙ ❅ ✦ ✢ ✦ ✤ ✦✪ ✷ ✦ ✷ ✦✪✵ ✦ ✤ ✦ ✰✣ ✪ ✬ ✦ ✳ ✦ ✰ ✽ ❖ ❚ ▲ ❏ ◆ ❯ ❖ ❏ w ❀ ✧✪✧ ❱❲ ❳❨ ❳ ❩ ❳ ❬ ❭❪ ❫❴ ❵❛ ❳ ❪ ❜ ❝❪ ❞ ❭ ❡ ❢❣ y ❤✐❥ o rm ❦ ✐ t ❧ ♠ ❳ ❪ ♥ ❛♦ ❛ ❭❩❭❜ ❭ ❜❴ ❛♣ ♦ q ♦ ❪ r ❭ r ♦r ❝ ❳ ❭ ❜ ❳s ❭ ❳ ❪ t ❨ ❳ ❩ ❳❛ ❬ ❳ ❩ ❭❪ ❭ ❳❨❳ ❩ ❳ ❬ ❛ ♦❵♦ ❜ ❳ ♠ ❳ ❪ ♥ ❛ ♦ ❪ s ❳❨❭ ✉ ❳♥ ❭ ❳ ❪ ❨❳❵ ❭ ❜ ♦ ❩❴ ❛♣❴❜ ♣ ♦❛❳ ❪ ❫❳❳ q ✈ ♣ ♦ ❪ ♥ ♥❝❪ ❳ r ❝ ❛✉ ♦❵❨ ❳ ♠ ❳ ✇①②③ ❨ ❳ ❪ ♣ ❭❬ ❳ ❜ ④ ♣ ❭❬ ❳ ❜ ♠ ❳ ❪ ♥ q ♦❵ ❩❭ ✉ ❳ q ♣ ❳❨❳ ♣ ♦ ❪ ♥ ♦ ❩❴❩ ❳❳ ❪ r ❝ ❛✉ ♦❵❨ ❳ ♠ ❳ ✇ ①②③ ⑤ ✇ ❳ ❩ ❭❪❭ ❛♦ ❪ ♥❳❞❝ ♣ ❳❨❳ ♣ ♦ ❪ ❨ ❳♣❳ q ⑥ ❝ ❪ ♥ ❭❪ ❡ ⑦ ⑧ ⑧⑨ ❧ ✉ ❳ ❬ ⑩❳ ⑩ ❳⑩❳ ❪ ❞❳❵ ❳ ❳ q ❳❝ ❭❪q ♦❵❶❭ ❝ ❳❨ ❳ ❩ ❳ ❬ r ♦✉ ❝❳ ❬ ♣ ❵ ❴ r ♦r ❛♦❛ ♣♦❵❴❩ ♦ ❬ ❜ ♦ q ♦❵❳ ❪ ♥❳ ❪ ❝❪q ❝❜ q ❝s❝ ❳ ❪ ♣ ♦ ❪ ♦ ❩❭q❭ ❳ ❪ ❨ ♦ ❪ ♥ ❳ ❪ ❞❳❵ ❳ q ❳ ❪ ♠ ❳ s❳⑩❳✉ r ❳❛ ✉ ❭❩ ✉ ♦❵ q ❳ q ❳♣ ❛❝❜ ❳ ❳ ❪ q ❳❵❳ ♣ ♦⑩❳⑩❳ ❪ ❞❳ ❵❳ ❨♦ ❪ ♥❳ ❪ ❵♦r ♣ ❴ ❪ ❨ ♦ ❪ ❳ q ❳❝ ❴ ❵❳ ❪ ♥ ♠ ❳❪ ♥ ❨❭ ⑩❳⑩❳ ❪ ❞❳❵❳ ❭t ❨ ♦ ❪ ♥ ❳ ❪ ❳ q ❳❝ q ❳ ❪ ♣❳ ❛ ♦ ❪ ♥ ♥❝❪ ❳ ❜ ❳ ❪ ♣ ♦❨❴ ❛ ❳ ❪ ❡ ❷ u ❤ ❸ ❣ ❧ ⑩❳⑩❳ ❪ ❞❳❵❳ ⑤ ❹ ♦ ❪ ♥ ❳❞❝ ♣ ❳❨ ❳ ♣♦ ❪ ❨❳♣ ❳ q ❺ ❭q❴ ❵❝r ❡ ❻❼❼ ❽ ❧ ⑩❳⑩❳ ❪ ❞❳❵ ❳ ❛ ♦ ❪ ❨ ❳ ❩ ❳❛ ❳❨❳ ❩ ❳ ❬ ♣ ♦❵❞ ❳ ❜ ❳♣ ❳ ❪ ❨❝ ❳ ❳❵ ❳ ❬ ❨❳ ❩ ❳❛ r ❝❳r ❳ ❪ ❳ ❜ ♦r ♦ q ❳❵ ❳❳ ❪t ❳ ❜ ❵❳✉ ❨❳ ❪ ❭❪ ❫ ❴ ❵❛❳ ❩ ⑤ ❾ ⑤ ❾ ⑤⑨ ❺ q ❝❨❭ ❨❴❜ ❝❛ ♦ ❪ ❡ ❨ ❴ ❜ ❝ ❛♦ ❪ q ❳r ❭ ❧ ❺ q ❝ ❨ ❭ ❨ ❴ ❜ ❝ ❛♦ ❪ ❨❭♥ ❝ ❪ ❳ ❜ ❳ ❪ ❝❪ q❝❜ ❛ ♦ ❪ ♥❝ ❛♣ ❝ ❩❜ ❳ ❪ ❨ ❳ q ❳ ♠ ❳ ❪ ♥ ❳❨❳ ❜ ❳ ❭q ❳ ❪ ❪ ♠ ❳ ❨ ♦ ❪ ♥ ❳ ❪ ♣♦ ❪ ♦ ❩❭q❭ ❳ ❪ ❨❳❵ ❭ ❨❴❜ ❝❛ ♦ ❪ ④ ❨❴❜ ❝❛ ♦ ❪ ♠ ❳ ❪ ♥ q ♦❵r ♦❨❭ ❳ ❨❭ ❜ ❳ ❪q❴ ❵ ④ ❜ ❳ ❪q ❴ ❵ ❳ q ❳❝ ❭❪ r q ❳ ❪ r ❭ ④ ❭❪ r q ❳ ❪ r ❭ ♠ ❳ ❪ ♥ ❳❨ ❳ ❜ ❳ ❭q ❳ ❪❪ ♠ ❳ ❨ ♦ ❪ ♥ ❳ ❪ ♣♦❪ ♦ ❩❭q❭ ❳ ❪ ⑤ ❿ ♦♥ ❭ ❳ q ❳ ❪ ❭❪ ❭ ❨❭❩ ❳ ❜ ❝❜ ❳ ❪ q ♦❵ ❬ ❳❨❳♣ ✉♦❵✉ ❳♥ ❳ ❭ ♣ ♦❵❳q❝ ❵❳ ❪ ♣ ♦❵❝❪ ❨ ❳ ❪ ♥❳ ❪t ❩ ❳♣❴ ❵❳ ❪ ❭❪ r q ❳ ❪ r ❭ q ♦❵ ❜ ❳ ❭qt ❛❳❝ ♣❝❪ ❨❴❜ ❝❛ ♦ ❪ ❩ ❳ ❭❪ r ♦♣ ♦❵ q❭ ❬ ❳r ❭❩ ④ ❬ ❳r ❭❩ ♣ ♦ ❪ ♦ ❩❭q❭ ❳ ❪ ❡ r q ❝ ❨ ❭ ❧ ♠ ❳ ❪ ♥ q ♦❵ ❜ ❳ ❭qt r ♦❵ q ❳ ❨ ❳ q ❳ ❨❳ ❪ ❭❪ ❫ ❴ ❵❛❳r ❭ ❨ ❳❵ ❭ r ❝ ❛✉ ♦❵ ④ r ❝❛ ✉♦❵ ❩ ❳ ❭❪❪ ♠ ❳ ⑤ ❹ ♦ ❪ ❝❵ ❝ q ❺❝♥❭♠❴❪ ❴ ❡ ⑦ ⑧⑧ ❲ ❧ ❨❴❜ ❝❛ ♦ ❪ ❛ ♦❵❝♣ ❳ ❜ ❳ ❪ ❞❳ q ❳ q ❳ ❪ ♣♦ ❵ ❭ r q❭ ⑩❳ ♠ ❳ ❪ ♥ r ❝❨ ❳ ❬ ✉ ♦❵ ❩ ❳ ❩ ❝ ⑤ ➀ ❴❜ ❝❛ ♦ ❪ ✉ ❭ r ❳ ✉ ♦❵✉ ♦ ❪q ❝❜ q ❝ ❩❭ r ❳ ❪ t ♥ ❳ ❛ ✉ ❳❵ t ❳ q ❳❝ ❜ ❳❵ ♠ ❳ ④ ❜ ❳❵♠ ❳ ❛ ❴ ❪ ❝ ❛♦ ❪ q ❳ ❩ ❨ ❳❵ ❭ r ♦r ♦ ❴ ❵❳ ❪ ♥ ⑤ ➀ ❴❜ ❝❛ ♦ ❪ ♠ ❳ ❪ ♥ ✉ ♦❵✉ ♦ ❪q ❝❜ q ❝❩❭ r ❳ ❪ ❛ ❭ r ❳ ❩❪ ♠ ❳ ❞ ❳ q❳ q ❳ ❪ ❬ ❳❵❭ ❳ ❪t ❞♦❵❭q ♦❵❳ t ✉❭❴ ♥ ❵❳❫ ❭t ♣♦❵❳ q ❝ ❵❳ ❪ t ❜ ♦✉❭ s❳ ❜ ❳ ❪ ⑤ ➀ ❴ ❜ ❝ ❛♦ ❪ ♠ ❳ ❪ ♥ ✉♦❵ ✉♦ ❪ q ❝ ❜ ♥ ❳❛✉ ❳❵ ❛❭ r ❳ ❩❪♠ ❳ ❫ ❴q❴ t ♥❳❛ ✉❳❵ t r ❜ ♦ q r ❳ ❨ ❳ ❪ ❩ ❳ ❭❪ ④ ❩ ❳ ❭❪ ⑤ 3 ➁ ➂ D ➃ ➄➃ ➅➆ ➇➈ ➉➊➋ ➃ ➌ ➍ P ➎ ➇ ➎➏ ➍ ➄ ➍➃ ➇ ➐ ➑ ➎ ➇➍➌ ➒ ➃ ➄ ➃ ➓➃➇ Su ➋ ➔➎ ➊ D ➃ ➄ ➃ ❺♦r ❝ ❳ ❭ ❨ ♦ ❪ ♥ ❳ ❪ q ❝s❝ ❳ ❪ ♠ ❳❪ ♥ ❭❪ ♥ ❭❪ ❨ ❭ ❞❳♣ ❳ ❭t ❛ ❳ ❜ ❳ ❨ ❳ q ❳ ✈ ❭❪ ❫ ❴ ❵❛ ❳r ❭ ♠ ❳ ❪ ♥ ❨❭❜ ❝ ❛♣ ❝ ❩❜ ❳ ❪ ❛ ♦ ❩ ❭ ♣ ❝ q❭ → ❡ ❻ ❧ r ❜ ❳ ❩ ❳ ❜ ❳♣ ❳r ❭q ❳r ❴ ❵ ♥❳ ❪ ❭ r ❳r ❭ ❨❳ ❪ ⑩ ❭❩ ❳ ♠ ❳ ❬ ♣ ♦❵✉ ❳ ❭❜ ❳ ❪ ❜ ❳♣❳r ❭q ❳r ❴ ❵♥❳ ❪ ❭ r ❳r ❭ ➣ ❡ ⑦ ❧ r q ❳ q ❝ r ❜ ❴❴ ❵❨ ❭❪ ❳r ❭t ♣ ♦❵❛❳r ❳ ❩ ❳ ❬ ❳ ❪ ❜❴ ❴ ❵ ❨ ❭❪ ❳r ❭ ❨ ❳ ❪ ❜ ♦♥❳♥ ❳ ❩ ❳ ❪ ❜❴ ❴ ❵❨ ❭❪ ❳r ❭t ❭ r ❭ q ♦ ❜ r ♣ ♦❵❳ q ❝❵ ❳ ❪ ♣ ♦❵❝❪ ❨ ❳ ❪ ♥ ❳ ❪ ♠ ❳❪ ♥ ❛ ♦ ❪ ♥❳ q ❝❵ ❜ ❴ ❴ ❵❨❭❪ ❳r ❭ ❳ ❪ q ❳❵ ❩ ♦❛ ✉❳ ♥❳ ♣♦❛ ♦❵ ❭❪ q❳❬ ➣ ❡ ❾ ❧ ♣ ♦❵r ♦♣r ❭ ❨❳ ❪ ❛❴q❭ ❶ ❳r ❭ ❛ ❳r ♠ ❳ ❵❳ ❜ ❳ q ♣ ♦❛❳ ❪ ❫❳❳ q ➣ ❡ ⑨ ❧ q ❝q ❝♣ ❳ ❪ ❩ ❳ ❬ ❳ ❪ ✇① ②③ t st ❦ ❢❣ ↔ o ↕ ❸ ❣ rs t q❭❪ ♥ ❜ ❳ q ❜ ♦♣ ♦ ❪q❭❪ ♥❳ ❪ ❨❳ ❪ ♣ ♦ ❪ ♥ ❳❵❝ ❬ st ❦ ❢❣ ↔ o ↕ ❸ ❣ rs t ❬ ❳ ❜ ❨❳ ❪ ❜ ♦⑩❳s ❭ ✉ ❳ ❪ st ❦ ❢❣ ↔ o ↕ ❸ ❣ rs t q ❵❳ ❪ r ❳ ❜ r ❭ s❳r ❳ ❩❭❪ ♥ ❜ ❝ ❪ ♥❳ ❪ t ❜ ♦ ❭❪ ♥ ❭❪ ❳ ❪ ❝ ❪ q ❝ ❜ ❛ ♦❛✉ ❳ ♠ ❳❵t ✉❭ ❳ ♠ ❳ ❵♦ ❬ ❳✉ ❭❩❭q ❳r ❭ ❬ ❝q ❳ ❪ ❨❳ ❪ ❩ ❳ ❬ ❳ ❪ ➙ ➛➜ ➝ ➞➟➠➡ ➢➤➥➤ ➦➤ ➟➧ ➢ ➠ ➧➨ ➟➤➩➤ ➟ ➢ ➤ ➫ ➤ ➭ ➯ ➞➟ ➞➫ ➠➥➠➤ ➟ ➠ ➟ ➠ ➤ ➢➤ ➫ ➤ ➲ ➢➤➥➤ ➯ ➳➠ ➭➞➳ ➢➤ ➟ ➢➤➥➤ ➡ ➞ ➩➨ ➟ ➢➞➳➵ ➸ ➨ ➭➺ ➞➳ ➢ ➤➥➤ ➯ ➳➠➭ ➞➳ ➤ ➢ ➤ ➫ ➤ ➲ ➳➞ ➡ ➯ ➻ ➟➢ ➞➟➼ ➠ ➟➽ ➻ ➳➭ ➤ ➟ ➩➨ ➟➾ ➠ ➢ ➤ ➟ ➻ ➺➚➞ ➩ ➯ ➞➟ ➧ ➤ ➭ ➤➥➤ ➟ ➵ ➸ ➨ ➭ ➺➞➳ ➢➤➥➤ ➡ ➞ ➩➨ ➟ ➢➞➳ ➤ ➢➤ ➫ ➤ ➲ ➢ ➻ ➩ ➨ ➭ ➞➟ ➯ ➞➳➤➥➨ ➳➤ ➟ ➯ ➞➳➨ ➟ ➢ ➤ ➟➧➤ ➟➼ ➫ ➤➯ ➻➳ ➤ ➟ ➢ ➤ ➳➠ ➠ ➟➡ ➥➤ ➟ ➡ ➠ ➥ ➞➳ ➩ ➤➠➥➼ ➫ ➤➯ ➻ ➳ ➤ ➟ ➲➤➡ ➠ ➫ ➯ ➞➟ ➞ ➫➠➥➠➤ ➟ ➼ ➧➤ ➭ ➺➤ ➳ ➪ ➧➤ ➭ ➺ ➤ ➳ ➼ ➯ ➞ ➥➤ ➢➤ ➟ ➢ ➻ ➩ ➨ ➭ ➞➟ ➫ ➤➠ ➟➟➦➤ ➵ ➶ ➞➟➨ ➳➨➥ ➸ ➨➧➠ ➦ ➻➟ ➻ ➹➘ ➴ ➴➷➬ ➡ ➨ ➭ ➺➞➳ ➯ ➳➠ ➭➞➳ ➤ ➢ ➤ ➫ ➤ ➲ ➡ ➨ ➭➺ ➞➳ ➢ ➤➥➤ ➦➤ ➟➧ ➫➤ ➟ ➧ ➡ ➨ ➟➧ ➭➞➭ ➺➞➳➠➩➤ ➟ ➢ ➤➥➤ ➩ ➞ ➯ ➤ ➢ ➤ ➯ ➞➟ ➧ ➨ ➭➯➨ ➫ ➢ ➤➥➤➼ ➢ ➤ ➟ ➡ ➨ ➭➺ ➞ ➳ ➡ ➞ ➩➨ ➟➢ ➞➳ ➭ ➞➳ ➨➯ ➤➩ ➤➟ ➡ ➨ ➭ ➺➞➳ ➦➤ ➟➧ ➥➠ ➢ ➤➩ ➫ ➤ ➟➧➡ ➨ ➟➧ ➭➞➭ ➺ ➞➳ ➠➩➤ ➟ ➢ ➤➥➤ ➩ ➞ ➯ ➤ ➢ ➤ ➯ ➞➟ ➧ ➨ ➭➯➨ ➫ ➢➤➥➤➼ ➭➠➡ ➤ ➫➟➦➤ ➫➞ ➮ ➤➥ ➢➻➩ ➨ ➭ ➞➟➵ 3 ➱ ✃ ❐ ❒ k ❮❰ k P ❒❮❒❮ Ï u Ð❮ Ñ ❒ Ò ÓÔ❮Õ❒❮ ÕÐ❮ Ö ❮× ÔØÙ Ð ❮ Ú u ❮ c ❰ Û ➤ ➫ ➤ ➭ ➯ ➞➟ ➞➫ ➠➥➠➤ ➟ ➠ ➟ ➠ ➳ ➞ ➡ ➯ ➻ ➟➢ ➞➟ ➢➠➥ ➞➟ ➥➨ ➩➤ ➟ ➢➞➟➧➤ ➟ ➭ ➞➟➧➧➨ ➟ ➤➩ ➤ ➟ ➥ ➞ ➩ ➟➠➩ Ü u Ý ÜÞ ß à v á ß âã Üäàåæ ➢➤ ➟ ➡ ➤ ➭➯ ➞➫ ç➨ ➻➥➤ ➹ è u Þ éâ ß âã Üäàåæ➬ ê ➶ ➞➟ ➧ ➤ ➾ ➨ ➯ ➤ ➢ ➤ ➯ ➞➟ ➢ ➤➯ ➤➥ ➸ ➨ ➧➠➦ ➻ ➟➻ ➹➘ ➴➴ ➷ ➬ ➢➤ ➟ ë ➨ ➟➧➠ ➟ ➹ ➘ ➴ ➴➛➬➼ Ü u Ý ÜÞß à v á ß â ã Ü äàå æ ➤ ➢➤ ➫ ➤ ➲ ➥ ➞ ➩ ➟➠➩ ➯ ➞➟➞➟➥➨➤ ➟ ➡ ➤ ➭ ➯ ➞➫ ➦➤ ➟➧ ➢ ➠ ➫ ➤➩ ➨➩ ➤ ➟ ➡ ➞➾ ➤ ➳ ➤ ➡ ➞➟➧➤ ➚ ➤ ➢➞➟➧➤ ➟ ➯ ➞➳➥ ➠ ➭ ➺ ➤ ➟➧➤ ➟ ➥ ➞➳➥ ➞➟ ➥➨ ➵ ➸➞➫ ➤ ➟➚ ➨ ➥ ➟➦➤ ➭ ➞➟ ➨ ➳ ➨ ➥ ìí îïð ➹ ➘ ➴ ➴ ñ ➬ ➢➤ ➫ ➤ ➭ ➡ ➤ ➭ ➯ ➞➫ ç ➨ ➻ ➥➤ ➯ ➞➟ ➞➫ ➠➥➠ ➥➠ ➢ ➤➩ ➭➞➭➠ ➫ ➠ ➲ ➡ ➤ ➭ ➯ ➞➫ ➳ ➞ ➡ ➯ ➻➟ ➢➞➟ ➡ ➞➾ ➤ ➳ ➤ ➤ ➾ ➤➩ ò ➡ ➤ ➭ ➯ ➞➫ ç ➨ ➻ ➥➤ ➭➞➟➧ ➧➨ ➟ ➤➩ ➤ ➟ ➺➤➥➤➡ ➤ ➟ ➥ ➞➳ ➥ ➞➟➥➨ ➨ ➟ ➥➨ ➩ ➭ ➞➟➞ ➩ ➤ ➟ ➡ ➨ ➺➚➞ ➩ ➥➠ó➠➥➤➡ ➯ ➞➟➞➫ ➠➥➠ ➤ ➥➤➨ ➯ ➞ ➮ ➤ ➮ ➤ ➟➾ ➤ ➳ ➤ ➩ ➞ ➥➠➩➤ ➭➞➭➠ ➫ ➠➲ ➳ ➞ ➡ ➯ ➻➟ ➢➞ ➟➵ ð ➟➽ ➻ ➳➭➤ ➟ ➩ ➨ ➟ ➾ ➠ ➹ô á y àåõ o rm â å ➬ ➢ ➠➥ ➞➟➥➨➩ ➤ ➟ ➢ ➞➟➧➤ ➟ ➭ ➞➟➧➧➨ ➟ ➤➩ ➤ ➟ ➥ ➞ ➩ ➟➠ ➩ ß å o w ö â ää ß â mp äàåæ ➼ ➢➠ ➭ ➤ ➟➤ ➯ ➞➟ ➞ ➟➥➨➤ ➟ ➡ ➤ ➭ ➯ ➞➫ ➠ ➟ ➽ ➻ ➳➭➤ ➟ ➩➨ ➟ ➾ ➠ ➢➠ ➭ ➨ ➫ ➤➠ ➢ ➤ ➳➠ ➡ ➤➥➨ ➻ ➳ ➤ ➟➧ ➦➤ ➟ ➧ ➭ ➞➭ ➠ ➫ ➠➩ ➠ ➯ ➞➭➤ ➲ ➤ ➭➤ ➟ ➭ ➞➭ ➤ ➢➤➠ ➥ ➞➟ ➥➤ ➟➧ ➯ ➞➳➭➤➡ ➤ ➫➤ ➲ ➤ ➟ ➦➤ ➟➧ ➢➠➩➤ ➚ ➠➼ ➡ ➞➫ ➤ ➟➚ ➨ ➥ ➟➦➤ ➡ ➤➥➨ ➻ ➳ ➤ ➟➧ ➥ ➞➳ ➡ ➞➺ ➨ ➥ ➢ ➠ ➭➠ ➟ ➥➤ ➨ ➟ ➥➨ ➩ ➭➞➭ ➠ ➫ ➠ ➲ ➡ ➞ ➡ ➞➻➳ ➤ ➟➧ ➤ ➥➤➨ ➥ ➞➭➤ ➟➟➦➤ ➨ ➟ ➥➨ ➩ ➢➠➚ ➤ ➢➠➩➤ ➟ ➠ ➟ ➽ ➻ ➳➭➤ ➟ ➩ ➨ ➟ ➾ ➠ ➺ ➞➳ ➠➩ ➨➥ ➟➦➤ ➵ ï ➞➭➠ ➫ ➠ ➲➤ ➟ ➥ ➞ ➩ ➟➠➩ ß å o w ö â ää ß â mp äàåæ ➨ ➟ ➥➨ ➩ ➭➞➟ ➞➟ ➥➨ ➩➤ ➟ ➠ ➟➽ ➻ ➳➭➤➟ ➩➨ ➟➾ ➠ ➭➞➟ ➧ ➤ ➾ ➨ ➯ ➤➢➤ ➯ ➞➟ ➢ ➤➯ ➤➥ ë ➨ ➟➧➠ ➟ ➹ ➘ ➴ ➴➛➬➼ ➦➤➠➥➨ ➡ ➤ ➭ ➯ ➤➠ ➢➞➟➧➤ ➟ ➺ ➞➳ ➤➩ ➲ ➠ ➳ ➟ ➦➤ ➯ ➞➟➧➨ ➭ ➯ ➨ ➫ ➤ ➟ ➠ ➟➽ ➻ ➳➭ ➤ ➡ ➠➼ ➨ ➭ ➨ ➭➟➦➤ ➥ ➞➳➢➤➯➤➥ ➥➠➧➤ ➥➤ ➲➤➯ ➯ ➞➭ ➠ ➫ ➠ ➲➤ ➟ ➡ ➤ ➭➯ ➞➫ ➢ ➤ ➫ ➤ ➭ ➯ ➞➟➞➫ ➠➥➠➤ ➟ ➩ ➨➤ ➫ ➠➥➤➥➠➽➼ ➦➤➩ ➟ ➠ ÷ ➤➬ ➯ ➞➭➠ ➫ ➠ ➲ ➤ ➟ ➡ ➤ ➭ ➯ ➞➫ ➤ ➮ ➤ ➫ ➼ ➤➯ ➤➩➤ ➲ ➠➥➨ ➠ ➟➽ ➻ ➳➭ ➤ ➟ ➹ ➨ ➟➥➨➩ ➢ ➠ ➮ ➤ ➮ ➤ ➟ ➾ ➤ ➳ ➤➠➬ ➤➥➤➨ ➡ ➨ ➤➥➨ ➡ ➠➥➨➤➡ ➠ ➡ ➻ ➡ ➠➤ ➫ ➹➨ ➟ ➥➨ ➩ ➢➠ ➻➺➡ ➞ ➳ó➤➡ ➠➬ ➦➤ ➟➧ ➥ ➞➳ ➩ ➤➠➥ ➢➞➟➧➤ ➟ ➽ ➻ ➩ ➨➡ ➯ ➞➟ ➞➫ ➠➥➠➤ ➟ø ➺ ➬ ➯ ➞➭ ➠ ➫ ➠ ➲➤ ➟ ➡ ➤ ➭ ➯ ➞➫ ➫ ➤ ➟ ➚ ➨➥➤ ➟ ➧ ➨ ➟➤ ➭ ➞ ➭➯ ➞➳➫ ➨➤➡ ➢➞ ➡ ➩ ➳ ➠➯➡ ➠ ➠ ➟ ➽ ➻ ➳➭➤➡ ➠ ➢ ➤ ➟ ➭ ➞➫ ➤ ➾ ➤➩ ó➤ ➳ ➠➤➡ ➠ ➠ ➟➽ ➻➳ ➭ ➤➡ ➠ ➦➤ ➟➧ ➭➨ ➟➧➩ ➠➟ ➤ ➢➤ ø ➢ ➤ ➟ ➾ ➬ ➭➞➟➧ ➲ ➞➟ ➥➠➩ ➤ ➟ ➯ ➞➭➠ ➫ ➠ ➲➤ ➟ ➡ ➤ ➭ ➯ ➞➫ ➫ ➤ ➟➚ ➨ ➥➤ ➟ ➺ ➠ ➫ ➤ ➭ ➤ ➟➤ ➢➠➤ ➟ ➧ ➧➤➯ ➡ ➨ ➢ ➤ ➲ ➥➠ ➢➤➩ ➢ ➠➥ ➞➭➨➩ ➤ ➟ ➫➤➧➠ ó➤ ➳➠➤➡ ➠ ➠ ➟➽ ➻➳ ➭ ➤➡ ➠ ➹➡ ➨ ➢ ➤ ➲ ➥ ➞➳ ➚ ➤ ➢ ➠ ➳ ➞ ➯ ➫ ➠➩ ➤➡ ➠ ➯ ➞➳➻ ➫ ➞➲➤ ➟ ➠ ➟➽ ➻ ➳➭ ➤➡ ➠➬ ➵ Û ➤ ➫ ➤ ➭ ➭➞➟ ➞➭ ➯ ➨ ➲ ➥➠➧➤ ➥➤ ➲➤➯➤ ➟ ➥ ➞➳➡ ➞➺ ➨ ➥➼ ➯ ➳ ➻ ➡ ➞➢ ➨ ➳ ➯ ➞➭ ➠ ➫ ➠ ➲ ➤ ➟ ➡ ➤ ➭ ➯ ➞➫ ùú ûüýüþ ÿ ✁ ý✂✄✂ü ✁ ☎ ✆üý✂✄ ü✄✂ ✝ ✞ ü ✁ ✟ ýü✠✂þ û✂ ✟✆✁ü☎ ü ✁ ü ûüýü✡ þ ýüý ✆✂ ✄ ☎ ✁✂☎ ☛ ☞ ✌ w ✍ ✎✏✏ ☛ ✎✑✒✏✓☞ ✔ ✕ ✖ ÿ ý✂☎ü ✗ ✂ þ ü ✗ ✂ ✁✟ ✘ þü ✗ ✂ ✁ ✟ ✄ ☎ ✁✂☎ ÿ ✁ ✟ üþ ✙ ✂ýü ✁ ✗ üþ ÿ ý ✗ ✗ ✆ü✂ ✄ ✆ ✚ ✆ ü ✁ ÿ ✁ ý✂✄✂ü ✁ û✂ ✗ ü ✚ ✂☎ ü ✁ ÿ ü û ü ✛ ü ✙ ý ✜✢ ✕ ✣ ýü ✁ ✚ ✆✄ ✁✞ ü ✤ ✗ ✥ ü ✦ ü ✦ ✂ ✁ ✥ ✂ ✚ ✆ þ ýü✡ ✗ üþ ÿ ý ✦ ✗ ÿ ✧ ✁ û ✁ ✤ ✚ ✆þýü✡ ✗ üþÿ ý ✂ ✁✝ ✧ ✦ þ ü ✁ ☎ ✆✁ ✥ ✂ û ü ✁ ✚ ✆ þ ýü✡ ✗ üþ ÿ ý ✄ ☎ ✗ ÿ ✦ ü✄ ✆ ✦ ü ✁ ÿ ✦ ✆✁ ûü ✁✟ü ✁ û✂ ✗ ü ✚ ✂☎ ü ✁ ÿü ûü ✄ü ✙ ý ✞ ü ✁ ✟ ✗ üþü ★ ✛ ü ✙ ý ✜✢ ✩✕ 3 ✪ ✫ A ✬✭ ✮✯✰ ✯✰ ✱ ✭ ✲✭ ✳ ✦ ûü ✗ ü ✦ ☎ ü✁ ✄ ✆ ✚ ✆ü ✁ ÿ ✁ ý✂✄✂ü ✁ ûü ✁ ûü✄ ü ✞ ü ✁ ✟ û ✂ ☎ ✆þÿ ✆ ý☎ ü ✁ ✤ þ ü☎ü ü ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ ûü✄ü û✂ýü☎ ✆☎ü ✁ û ✁ ✟ ü ✁ þ ✁✟ ✟✆ ✁ ü☎ ü ✁ þ ✄ ✧ û ü ✁ üý✂ ✗ ✂ ✗ ✗ ✙ ü ✟ ü✂ ✙ ✦ ✂☎ ✆✄✴ ★ ✢ ✩ ü ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ ☎ üÿü ✗ ✂✄ü ✗ ✧✦ ✟ ü ✁ ✂ ✗ ü ✗ ✂ ★ ✜ ✩✵ ü ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ ☎ ✧✧ ✦ û✂ ✁ ü ✗ ✂ ü ✁ ✄ü ✦ ý þ ✙ ü ✟ü✶ ✗ ☎✄ ✧ ✦ ✵ ★ ✷ ✩ ü ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ û ✗ ☎ ✦ ✂ÿ ✄✂ ✝ ÿ ✦ ✗ ÿ ✗ ✂ ✵ ★ ✸ ✩✵ ü ✁ üý✂ ✗ ✂ ✗ û ✗ ☎ ✦ ✂ÿ✄✂ ✝ þ ✧ ✄✂ ✹ü ✗ ✂ ✵ ★ ù ✩ ü ✁ üý✂ ✗ ✂ ✗ ✂ ✗ ✂ ☎ ✆ üý✂✄ü✄✂ ✝ ★ ✺ ✩ ü ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ ✄ ✆✄ ✆ ÿ ü ✁ ýü✡ ü ✁✵ ★ ✻ ✩ ü ✁ üý✂ ✗ ✂ ✗ ☛ ✼ ✎ ✽✾✿ ✌ ✏ ❀ ✾ ❁ ☛ ✵ ★ú ✩ ü ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ û✂☎ ✧ ✄ ✧ þ ✂☎ û ü ✁ ☎ ✧ þ ÿ ✧ ✁ ✁ ✗ ✂ü ý ✵ ★ ú ✩ ü ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ ÿ þ ✙ ü ✞ ü ✦ ü ✁ ✚ ü ✗ ü ý✂ ✁✟ ☎ ✆ ✁✟ ü ✁ ✵ û ü ✁ ★ú ✩ ✗ ✂ ✁✄ ✗ ✂ ✗ ✕ ❂ ü ✗ ✂ ✁ ✟ ✘ þ ü ✗ ✂ ✁ ✟ þ ✄ ✧ û ü ✁ üý✂ ✗ ✂ ✗ ✄ ✦ ✗ ✙ ✆✄ û üÿ ü✄ û✂ ✚ ýü ✗ ☎ü ✁ ✗ ✙ ü ✟ ü✂ ✙ ✦ ✂☎ ✆ ✄✴ ✷ ✕ ✺ ✕ ✢ ✖ ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ ☎ üÿü ✗ ✂✄ü ✗ ✧ ✦ ✟ ü ✁✂ ✗ ü ✗ ✂ ÿ ✁ ✟ ý ✧ ýü ❃❄❅ ✛ ✖ ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ ☎üÿ ü ✗ ✂✄ ü ✗ ✧✦ ✟ ü ✁✂ ✗ ü ✗ ✂ û ✂þ ü☎ ✗ ✆ û ☎ ü ✁ ✆✁✄ ✆ ☎ þ ✁ ✂ýü✂ ☎ þ üþÿ ✆ ü ✁ ✧ ✦ ✟ü ✁ ✂ ✗ ü ✗ ✂ û üýüþ þ ✁ ✥ ü ÿü✂ ✄ ✆ ✚ ✆ ü ✁ ý þ ✙ ü ✟ü ✕ ✛ ü✡üÿ ü ✁ ✞ ü ✁ ✟ û ✂ýü☎ ✆ ☎ ü ✁ ûüýüþ ü ✁üý✂ ✗ ✂ ✗ ☎ üÿü ✗ ✂✄ü ✗ ✧ ✦ ✟ ü ✁✂ ✗ ü ✗ ✂ ü ûüýü✡ ✗ ✙ ü ✟ ü✂ ✙ ✦ ✂☎ ✆ ✄✴ ★ ✢ ✩ þ ✁✂ýü✂ ☎üÿ ü ✗ ✂✄ü ✗ ✧ ✦ ✟ü ✁ ✂ ✗ ü ✗ ✂ ✗ üü✄ ✂ ✁✂ ✵ û ü ✁ ★ ✜ ✩ þ ✁ ✟ ✂ û ✁✄✂ ✝ ✂☎ü ✗ ✂ ☎ ☎ ✆ ü✄ü ✁ ûü ✁ ❆ ✂ýü ✞ ü✡ ÿ ✦ ✂ ✧✦ ✂✄ü ✗ ÿ ✦✙ ü✂ ☎ ü ✁ ✕ ❂ ü ✗ ✂ ✁✟ ✘ þü ✗ ✂ ✁ ✟ ✄ü✡ üÿü ✁ û✂ ✚ ýü ✗ ☎ ü ✁ ✗ ✙ ü ✟ü✂ ✙ ✦ ✂☎ ✆✄✴ ❇❈ ❂ ✁✂ ýü✂ ☎üÿ ü ✗ ✂✄ü ✗ ✧✦ ✟ ü ✁✂ ✗ ü ✗ ✂ ✵ þ ✦ ✆ÿ ü☎ü ✁ ☎ ✟ ✂ü✄ü ✁ þ ýü☎ ✆☎ü ✁ ÿ ✁ ✂ýü✂ü ✁ ✄ ✦ ✡ü ûüÿ ☎üÿ ü ✗ ✂✄ü ✗ ✧ ✦ ✟ ü ✁ ✂ ✗ ü ✗ ✂ û ✁✟ ü ✁ þ ✁ ✟✟✆ ✁ü☎ü ✁ ✂ ✁ û ✂☎ ü✄ ✧✦ ✘ ✂ ✁û✂☎ü✄ ✧ ✦ ✞ ü ✁ ✟ þ ý✂ÿ ✆ ✄✂✴ ★ ✢ ✩ ✹✂ ✗ ✂ û ü ✁ ✦ ✁ ✥ ü ✁ ü ✗ ✄ ✦ ü✄ ✟✂ ✗ ✵ ★ ✜ ✩ ☎ ÿ þ✂þ ÿ✂ ✁ü ✁✵ ★ ✷✩ þ ü ✁ ü ✚ þ ✁ ✧✦ ✟ ü ✁✂ ✗ ü ✗ ✂ ✵ ★ ✸ ✩ ✗ ✆þ ✙ ✦ û ü ✞ ü þ ü ✁✆ ✗ ✂ ü ✵ ★ ù ✩ ÿ ✁ ✟ þ ✙ ü ✁ ✟ ü ✁ ✗ ✆ þ ✙ ✦ ûü ✞ ü ✵ ★ ✺ ✩ þü ✁ü ✚ þ ✁ ☎ ✆ü ✁ ✟ ü ✁ ✵ ★ ✻ ✩ ✗ ✄ ✦ ✆☎✄ ✆ ✦ ☎ þ✂✄ ✦ üü ✁ ✶ ✚ ü ✦ ✂ ✁✟ ü ✁ ✵ ★ú ✩ ☎üÿ ü ✗ ✂✄ü ✗ ÿ ✦✧ ✟ ✦ üþ ✕ ❅ ✁ ✂ýü✂ü ✁ ✄ ✦ ✡ü ûüÿ þü ✗ ✂ ✁ ✟ ✘ þü ✗ ✂ ✁ ✟ ✂ ✁û✂☎ü✄ ✧✦ û ✂ýü☎ ✆ ☎ ü ✁ û ✁ ✟ ü ✁ þ ✁ ✟ ✟✆✁ü☎ ü ✁ ✁ ✂ýü✂ þ ✧ û ✆ ✗ ✞ ü ✁✟ û ✂ ûü ✗ ü ✦ ☎ ü ✁ ü✄ü ✗ ✗ ☎ üýü ☎üÿ ü ✗ ✂✄ü ✗ ✧✦ ✟ ü ✁✂ ✗ ü ✗ ✂ ✕ ✣ ☎üýü ☎ üÿ ü ✗ ✂✄ü ✗ ✧✦ ✟ ü ✁✂ ✗ ü ✗ ✂ ✄ ✦ û ✂ ✦ ✂ ü✄ü ✗ ✗ ☎ ✧✦ ❉ ✗ üþÿ ü✂ ✸ ✤ û✂ þ ü ✁ ü þü ✗ ✂ ✁ ✟ ✘ þ ü ✗ ✂ ✁✟ ✗ ☎ ✧ ✦ ★ ❉ ✤ ✢ ✜✤ ✷ ✤ û ü ✁ ✸ ✩ ✄ ✦ ✗ ✙ ✆ ✄ þ ýüþ ✙ ü ✁✟☎ü ✁ ✄✂ ✁ ✟ ☎ü✄ ✞ ü ✁ ✟ û✂ ✥ üÿ ü ✂ ✧✦ ✟ ü ✁ ✂ ✗ ü ✗ ✂ ✗ ✡ ✆ ✙ ✆ ✁ ✟ ü ✁ û ✁ ✟ ü ✁ ✂ ✁ û ✂☎ ü✄ ✧✦ ☎ üÿü ✗ ✂✄ü ✗ ✧✦ ✟ ü ✁✂ü ✗ ✂ ✞ ü ✁ ✟ û ✂ ✁✂ýü✂ ✕ ✣ ☎üýü ☎üÿ ü ✗ ✂✄ü ✗ ✧ ✦ ✟ü ✁ ✂ ✗ ü ✗ ✂ ❊❋ ● ❍■ ● ❏❑ ▲ ▼◆❖❑ ◆■P ❍ ◗ ■❘◗▲ ❙❏ ■ ◆ ❚ ❍◆ ▲ ❍❖❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯ ▼❱ ❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ❍ ● ❍ ❚❍❲ ❑ ❏ ❳ ❍❱❍◆ ❙ ❍■❍ ● ◆ ❑ ❍ ❨ ◆ ▲ ❍■ ❖ ❍ ● ❍ ❩ ❍ ❳❏❚ ❬ ❭ ❪❫ ❴ ❏ ■ ❱◆ ●❏ ■ ❘◆ ❵ ◆ ▲ ❍ ❑ ◆ ❛ ◆ ❚ ❍ P ❍❲ ❖ ▼◆❯ ▼◆❘❍ ❑ ❖❏ ▼ ❳ ❍◆ ▲ ❍■ ❜ ❙❏ ▼ ◗❖ ❍ ▲ ❍■ ▲ ❏❚ ❍ ■❨ ◗❘❍■ ● ❍▼◆ ❍■❍ ❚ ◆ ❑ ◆ ❑ ❘❍❲❍❖ ❖ ❏ ▼❘❍ ❙ ❍ P ❍■❱ ❙❏ ▼◗ ❖ ❍ ▲ ❍■ ◗ ❖ ❍ P ❍ ◗■ ❘◗ ▲ ❙❏ ■ ❱◆ ● ❏ ■❘◆ ❵ ◆ ▲ ❍ ❑ ◆ ▲❏▲ ◗❍❘❍■ ❯ ▼ ❱❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ● ❍■ ❛ ◆ ❚ ❍ P ❍❲ ❖❏ ▼ ❳ ❍◆ ▲ ❍■ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯ ▼❱ ❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ❭ ❝● ❏ ■❘◆ ❵ ◆ ▲ ❍ ❑ ◆ ▲❏▲ ◗❍❘❍■ ● ❍■ ❛ ◆ ❚ ❍P ❍❲ ❖ ▼◆❯ ▼◆❘❍ ❑ ❖❏ ▼ ❳ ❍◆ ▲ ❍■ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍❑ ❯▼❱ ❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ◆■◆ ● ◆ ❙ ❍ ▲ ❑ ◗ ● ▲ ❍■ ◗■ ❘◗ ▲ ❙❏ ■ ❱ ❏ ❘❍❲ ◗◆ ◗ ▼◗ ❘❍■ ❖ ▼◆❯ ▼◆❘❍ ❑ ❛ ◆ ❚ ❍ P ❍❲ ❖❏ ▼ ❳ ❍◆ ▲ ❍■ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯▼ ❱❍■ ◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ● ❍ ❚ ❍ ❙ ▼ ❍■❱▲ ❍ ❙❏❙ ❳ ❍■ ❱ ◗■ ▲ ❍❖❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯▼❱ ❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆❭ ❞ ❍ ❑ ◆ ❚ ❖❏ ■◆ ❚ ❍◆❍■ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯▼ ❱❍■ ◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ❡ ◆■ ● ❏ ■❘◆ ❵ ◆ ▲ ❍ ❑ ◆ ▲❏▲ ◗❍❘❍■ ❯▼ ❱❍■ ◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ● ❍ ■ ❛ ◆ ❚ ❍ P ❍❲ ❖▼ ◆❯▼◆❘❍ ❑ ❖ ❏ ▼ ❳ ❍ ◆ ▲ ❍■ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯ ▼❱ ❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ❍ ▲ ❍■ ● ◆ ❑ ❍ ❨ ◆ ▲ ❍■ ● ❍ ❚ ❍ ❙ ❳❏ ■ ❘ ◗▲ ❩❍ ❳ ❏❚ ❋ ❭ ❩❍ ❳ ❏ ❚ ❬ ❢ ▲ ❍ ❚ ❍ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯ ▼❱ ❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ◗■ ❘◗ ▲ ❖❏ ■◆ ❚ ❍◆❍■ ▲ ❍❖❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯▼ ❱❍■ ◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ❢ ▲ ❍ ❚ ❍ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯ ▼❱ ❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ❣ ❏❑ ▲ ▼◆❖❑ ◆ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❤ ❏ ■ ❱ ❏ ▼ ❘◆❍■ ✐ ● ❏❑ ▲ ▼◆❖❑ ◆ ❑ ▲ ❍ ❚ ❍ ❥ ❦ ❧♠♥❧ ♦❧♥ ❧ ♣q r ❧ ♣ s♠ q t ✉✈ ✇①②❧♠ q ♣ ❧ ♣q r q ③❧♦ ④⑤④ q t q ♦ q ♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠ ⑥♠ r ⑥♦ ④⑤ ♠ ⑦ ❧♥ ❧ q ♣ ❧ ♣ ❧ ① ❧♠ ⑧ ❧ ♣q t ⑨ ❧ ♠ ② ③q r ⑤r ❧♥ ♦❧♠ ✈ ⑩ ❶ ❧♥❧ ♣q r ❧ ♣ ① ⑤♠ ③❧ ⑧ s ❷ ❸ ❹ ❺ ❻❼ ❽❾❿➀ ➁ ❾ ✉✈ ✇①②❧♠ q ♣ ❧ ♣q ④⑤④ q t q ♦ q ♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠ ① ⑤♠ ③❧ ⑧ ⑥♠r ⑥ ♦ ④⑤ ♠ ⑦ ❧♥ ❧ q ♣ ❧ ♣ ❧ ① ❧♠ ⑧ ❧ ♣q t ⑨ ❧ ♠ ② ③q ① ⑤♠ ⑦ ❧♠❧ ♦❧ ♠ ✈ ➂ ❶ ❧♥❧ ♣q r ❧ ♣ ♣ ⑤ ③ ❧ ♠ ② s ❻❼ ❽❾❿➀ ➁ ❾ ✉✈ ✇①②❧♠ q ♣ ❧ ♣q ④⑤④ q t q ♦ q ♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠ ♣ ⑤ ③❧♠ ② ⑥ ♠r ⑥♦ ④⑤ ♠ ⑦ ❧♥ ❧ q ♣ ❧ ♣ ❧ ① ❧♠ ⑧ ❧ ♣q t ⑨ ❧ ♠ ② ③q ① ⑤♠ ⑦ ❧♠❧ ♦❧ ♠ ✈ ➃ ❶ ❧♥❧ ♣q r ❧ ♣ ⑦ ⑥♦ ⑥♥ r q ♠ ②② q s ❻❼ ❽❾❿➀ ➁ ❾❺ ➄ ❸ ➅ ➄ ✉✈ ✇①②❧♠ q ♣ ❧ ♣q ④⑤④ q t q ♦ q ♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠ ⑦ ⑥♦ ⑥♥ r q ♠ ②② q ⑥ ♠r ⑥♦ ④⑤♠ ⑦ ❧♥ ❧ q ♣ ❧ ♣ ❧ ① ❧ ♠ ⑧ ❧ ♣q t ⑨ ❧♠ ② ③ q ① ⑤♠ ⑦ ❧ ♠❧♦ ❧♠ ✈ ➆ ❶ ❧♥❧ ♣q r ❧ ♣ r q ♠ ② ②q s ➄ ❸ ➅ ➄ ✉✈ ✇①②❧♠ q ♣ ❧ ♣q ④⑤④ q t q ♦ q ♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠ r q ♠ ②② q ⑥♠r ⑥ ♦ ④⑤ ♠ ⑦ ❧♥ ❧ q ♣ ❧ ♣ ❧ ① ❧♠ ⑧ ❧ ♣q t ⑨ ❧ ♠ ② ③q ① ⑤♠ ⑦ ❧♠❧ ♦❧ ♠ ✈ ➇ ⑥④ ➈ ⑤ ① ➉ ➊ ❧r ⑤ ♣ ➋ ♠ ❾ ➁ ➀❹ ✈ s ➂ ❥❥ ➌ ✉ ➍ ③ q ④ ➋ ③q ➎ q ♦❧ ♣ q ✈ ❩ ❍ ❳ ❏❚ ❋ ❴ ❯● ◗❑ ■◆ ❚ ❍◆ ❡ ▲❏▲ ◗ ❍❘❍■ ● ❍■ ❛ ◆ ❚ ❍ P ❍❲ ❖❏▼❳ ❍ ◆ ▲ ❍■ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯ ▼❱ ❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ❝ ■ ● ◆ ▲ ❍❘❯ ▼ ▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ❯ ▼❱ ❍■◆ ❑ ❍ ❑ ◆ ❢ ◗ ❳ ◆■ ● ◆ ▲ ❍❘❯▼ ❴ ❯ ● ◗ ❑ ■ ◆ ❚ ❍◆ ❑ ▲ ❍ ❚ ❍ ▲ ❍❖❍ ❑ ◆❘❍ ❑ ➏❏▲ ◗ ❍❘❍■ ➐ ➑ ➒➓ ➔→ ➣➒↔❫ ↕ ◆ ❚ ❍P ❍❲ ❖❏ ▼ ❳ ❍◆ ▲ ❍■ ➐➙➓ ➔➙ ➛ o r ➜ mp ro v ➔ m ➔→ t ❫ ❢ ◗❙❳ ❏ ▼ ➝ ➞ → ➜ t ➔➟ ➠ ➙ y o ➛ ➡ ➓ ➔➙ t ➔ r ➢ o ro → to ➤ t ↔ ➔ ➥→ t ➙ ➓ ➜ o ➢➓ ➜ ➦➦ ➜ um ➧ o u → ➟➙ t ➜ o → ➤ t ↔ ➔ ➨➙ yt ➓ ➔➔ ➧ o u → ➟➙ t ➜ o → ➐ ❪➩ ➩ ❋ ❫ ❡ ● ◆ ❙ ❯ ● ◆ ❵ ◆ ▲ ❍ ❑ ◆❭ ➫➭ ➯➲ ➫➲➳ ➵➸➺➻➼➽ ➼➽ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ ➺ ➸➹➺➪ ➻➘➴ ➷➺➬➺ ➮ ➺➻➺➴ ➱➘ ➸ ➘➻➼➹➼➺ ➸ ➼ ➸ ➼ ➺ ➸ ➺➻➼➽ ➼➽ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ ➶ ➼➴ ➺ ➾ ➽ ✃ ➶ ➾ ➺ ➸ ✃ ➸ ➹✃ ➾ ➴ ➘ ➸ ➬➘➹➺ ❐✃ ➼ ➽ ➹➺➹✃➽ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ ➶➺ ➸ ➾ ➺ ➱➺➽ ➼➹➺➽ ➾ ➚ ➚➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ ➺ ➸➹➺➪ ➻➘➴ ➷ ➺➬ ➺ ➱➘➴➘➪ ➼➸➹➺ ❐ ➶ ➺➻➺➴ ➱➘ ➸ ➬ ➘➻➚➻➺➺ ➸ ❒ ❮❰Ï ➲ Ï ➺ ❐➺ ➱ ➺ ➸ ➺ ➸➺➻➼ ➽ ➼➽ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ ➼ ➸➼ ➺ ➶ ➺➻➺ ❐ ➽ ➘ ➷ ➺➬ ➺➼ ➷➘➪➼ ➾ ✃ ➹ Ð ÑÒ Ó➘ ➸➼ ➻➺➼ ➽ ➹➺ ➹✃ ➽ ➾➚➚ ➪ ➶ ➼ ➸➺➽ ➼ ➺ ➸ ➹➺➪ ➻➘➴ ➷➺➬ ➺ ➱ ➘➴ ➘➪➼ ➸➹➺ ❐ ➮ ➺➻➺➴ ➱➘ ➸ ➘➻➼➹➼➺ ➸ ➼ ➸ ➼ ➱➘ ➸ ➼➻➺➼➺ ➸ ➽ ➹➺➹✃ ➽ ➾ ➚ ➚➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ ➺ ➸➹➺➪ ➻➘➴ ➷➺➬ ➺ ➱ ➘➴ ➘➪➼ ➸➹➺ ❐ Ô ➺ ➸➬ ➹ ➘➪ ➾ ➺➼➹ ➶ ➘ ➸➬➺ ➸ ➱➘ ➸➬➘➻➚➻➺ ➺ ➸ ❒ ❮❰Ï ➶➼➴➺ ➾➽ ✃ ➶ ➾ ➺ ➸ ✃ ➸ ➹✃ ➾ ➴ ➘ ➸ ➼➻➺➼ ➽ ➹➺➹✃ ➽ ➾ ➚ ➚➪ ➶ ➼ ➸➺➽ ➼ ➷ ➘➪ ➶➺➽ ➺➪ ➾➺ ➸ ➶ ➘➪➺ Õ ➺➹ ➱ ➘➴ ➷ ➚ ➪➚ ➽ ➺ ➸ Ö ➶➘➪➺ Õ ➺➹ ➼ ➸ ➾ ➚ ❐➘➪➘ ➸➽ ➼ ➶➺ ➸ ➶➘➪➺ Õ ➺➹ ➹➼ ➶ ➺ ➾ ➹➘➪ ➹➺ ➸ ➬ ➺ ➸ ➼ ➸ Ô ➺ ➼➽ ✃ ×➼➽ ✃ Ø ❰ ➘➹➘➪➽ ÑÙ ÙÚÒ➲ ❰ ➘ ➸ ➼➻➺ ➼➺ ➸ ➽ ➹➺➹ ✃ ➽ ➾➚ ➚➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ ➶ ➼➽ ✃ ➽ ✃ ➸ ➶ ➺➻➺➴ ➷➘ ➸ ➹✃ ➾ ➹➺ ➷ ➘➻ Ô ➺ ➸ ➬ ➴ ➘ ➸ Õ ➘➻➺➽ ➾ ➺ ➸ ➽ ➹➺➹✃ ➽ ➾➚➚ ➪ ➶ ➼ ➸➺➽ ➼ ➺ ➸➹➺➪ ➻➘➴ ➷ ➺➬ ➺ ➱ ➘➴ ➘➪➼ ➸ ➹➺ ❐ ➶➺➻➺➴ ➱➘ ➸ ➬ ➘➻➚➻➺➺ ➸ ❒ ❮❰Ï ➽ ➘ ➷➺➬ ➺➼➴➺ ➸➺ ➶➼➽ ➺ Õ ➼ ➾➺ ➸ ➱ ➺ ➶➺ Ï ➺ ➷ ➘➻ Ñ➭ ➷ ➘➪ ➼➾✃ ➹ Ð Ï ➺ ➷➘➻ Ñ➭ Û➹➺➹✃➽ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ ➶➺ ➸ ➻➘➴ ➷➺➬➺ Ô ➺ ➸➬ ➹➘➪ ➻➼ ➷ ➺➹ ➷➘➪ ➶➺➽ ➺➪ ➾ ➺ ➸ ➾ ➘➬ ➼➺➹➺ ➸ ➶➺➻➺➴ ➱ ➘ ➸➬➘➻➚ ➻➺ ➺ ➸ ❒ ❮ ❰ Ï ➵ ➪ ➘➺ ➾➚ ➸➽ ➘ ➱ ➹✃ ➺ ➻ ➱➘ ➸➬➘➻➚➻➺➺ ➸ ❮ ➘➴ ➷➺➬➺ Ô ➺ ➸ ➬ ➹➘➪ ➻ ➼ ➷➺➹ Û➹➺➹✃➽ ➾➚➚ ➪ ➶ ➼ ➸➺➽ ➼ ➳ Ò Ó➘ ➸➼ ➻➺➼ ➹➺ ❐ ➺ ➱➺ ➸ ➾ ➘➬ ➺➬➺➻➺ ➸ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ ➺ ➸➹➺➪ ➻➘➴ ➷ ➺➬ ➺ ➱➘➴➘➪ ➼ ➸ ➹➺ ❐ Ü ➘➪ ➶ ➺➽ ➺➪ ➾➺ ➸ ➱➘➪➴ ➺➽ ➺➻➺ ❐ ➺ ➸ ➾ ➚ ➚➪ ➶ ➼ ➸➺➽ ➼ ➱➺ ➶ ➺ ➴ ➺➽ ➼ ➸ ➬ × ➴ ➺➽ ➼ ➸➬ ➾ ➘➬➼➺➹➺ ➸ ➶➺➻➺➴ ➱ ➘ ➸➬➘➻➚ ➻➺➺ ➸ ❒ ❮❰Ï ➶ ➼➻➺ ➾✃ ➾➺ ➸ ➱➘ ➸ ➼➻➺➼➺ ➸ ➹➺ ❐ ➺ ➱➺ ➸ ➾➘➬➺ ➬➺➻➺ ➸ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ Ô ➺ ➸➬ ➴➘ ➸➬➺ Ý ✃ ➱ ➺ ➶➺ ➽ ➾➺➻➺ ➾ ➺ ➱➺➽ ➼➹➺➽ ➾ ➚ ➚➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ Ó➘➹ Ý ➺➻ Þ➘ Ø ÑÙ ÙßÒ➲ Ï ➺ ➷ ➘➻ ➱ ➘➪➴ ➺➽ ➺➻➺ ❐ ➺ ➸ ➶ ➺ ➸ ➹➺ ❐ ➺ ➱➺ ➸ ➾ ➘ ➬➺➬ ➺➻➺ ➸ ➾ ➚ ➚➪ ➶ ➼ ➸➺➽ ➼ ➶ ➼ ➷✃➺➹ ➽ ➘ ➷➺➬➺➼➴ ➺ ➸ ➺ ➶ ➼➽ ➺ Õ ➼ ➾ ➺ ➸ ➱➺ ➶ ➺ Ï ➺ ➷ ➘➻ Ñ Ñ ➲ Ï ➺ ➷➘➻ Ñ Ñ ❰ ➘➪➴➺➽ ➺➻➺ ❐➺ ➸ ➶ ➺ ➸ ➹➺ ❐➺ ➱ ➺ ➸ ➾➘➬➺➬ ➺➻➺ ➸ ➾ ➚ ➚➪ ➶ ➼ ➸➺➽ ➼ ➵ ➪ ➘➺ ➾➚ ➸➽ ➘ ➱ ➹✃ ➺ ➻ ➱➘ ➸➬➘➻➚➻➺➺ ➸ ❰ ➘➪ ➴➺➽ ➺➻➺ ❐ ➺ ➸ Ï ➺ ❐ ➺ ➱➺ ➸ ➾ ➘ ➬➺➬➺➻ ➺ ➸ ➾ ➚ ➚➪ ➶ ➼ ➸➺ ➽ ➼ ➷➘➪ ➶➺➽ ➺➪ ➾➺➸ ➽ ➾➺➻➺ ➾ ➺ ➱➺➽ ➼➹➺➽ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼ Ó ➘➹ Ý ➺➻ Þ ➘ àá âãäåæçåç ä è ç éçêç ä ë ã ìçì çæç ä ëíí îïå äçð å ç äè çî æ ãñòçì ç ê ãñ ã îå äè ç é ïçæ ç ñ ê ãä ì ã æíæçç ä ð ó ñò ãîïç ôç õö â ÷ ï å ñ ç ëð óï ë ç ä ó äèó ë ñ ãä åæçå ëçêçð å è çð ë í í îïå äçð å ò ã îï çð çî ë ç ä ð ëçæç ë çê çð å è çð ëíí îï å ä çð å ø ãè ù çæ ú ã û á üü ý þ á üü ÿ ôç äì ïå ñíï å ú å ëçð å í æ ãé õíìæ û ✁✂✂ ✁ ✄ ☎ ë çæ ç ëç ê çð å è çð ë í íï å ä çð å èã îð ã òó è çï çæç é ð ã ò çì çå ñ ç äç ôç äì èã æç é ïåð ç ñêçå ëç ä ê çï ç ò çò è å ä✆ çó ç ä ê óð è ç ëç û ÷ çò ã æ à ✄ ✝ ✄ à ✄ ✝ ✞ ä çæåð åð ï ã ð ëîåê è å ú ê ã î ð ãêð å ï ç ä ñí è å ✟çð å ñ çð ôçî ç ëç è ê ãñç ä ú çç è âãäåæçåç ä ê ã î ð ã ê ð å ñçð ôçîç ëç è ê ãñç ä ú çç è è ã î éçïçê ñç ä ú çç è ð ó ñ ò ã îï çôç õö â ÷ ñ ãä ì ìó ä ç ëç ä ê ãäï ãëç è ç ä ï ã ð ëîåê è å ú ï ãäìç ä ð ëíî ê ãä åæçåç ä ôç äì ï åîó ñ ó ð ëç ä ò ã îï çð çî ë ç ä ☎ ë çæç öå ë ã î è ûø ã óææ ã î á ü ü à ✄ ✠çæç ñ ê ãä ã æåè å ç ä å äå þ ó äèó ë ñ ãä ì ó ë ó î ê ã îð ã ê ð å ñçð ô çîç ë ç è ê ãñç ä ú çç è è ã î éçï çê ñç ä ú çç è ð ó ñ ò ã î ïç ôç õ ö â ÷ ï åæç ë ó ëç ä ê ã ä ì ó ëó îç ä èã î é çï çê ò ã ò ã îçê ç í ò ✆ ãë ê ã î ð ã êð å ôç äì ò ã î ë ãäçç ä ï ãäìç ä ñç ä ú çç è ð ó ñ ò ã îï çô ç õö â÷ þ ï å ñ ç äç ñçð å äì ✡ ñçð å äì í ò ✆ãë ê ã îð ã ê ð å ïåî å ä ù å ë ã ï çæç ñ ò ã ò ã îç êç ò ó è åî ê ã îð ã ê ð å ✄ â ãä ì ó ë ó îç ä ê ãîð ã ê ð å ê çïç ð ãè åç ê òó è åî ê ãä åæç åç ä ï åð ó ð ó ä ï çæç ñ ò ãäè ó ë ìî çï çð å ê ãäåæçåç ä ôç äì ò ã î ì ã î ç ë ï çî å ð ç äìç è ò ã î ñç ä ú çç è ð ç ñêçå è åï ç ë ò ã î ñç ä ú çç è ✄ õçð åæ ê ãä åæçå ç ä ê ã îð ã ê ð å ç ë ç ä ï åð ç ✆ å ëç ä ï çæç ñ ò ãä è ó ë ÷ç ò ã æ á ✁✄ ☎ ã æç ä ✆ ó èäôç ó äè ó ë ñ ãä ì ãè ç é ó å è å ä ì ëç è ê ã îð ã êð å ñçð ôçîç ëç è ê ãñ ç ä ú çç è ò ã îï çð çî ë ç ä íò ô ãë ê ãä å æ çåç ä ð ã ê ã î è å ôç äì ï åð ç ✆ å ë ç ä ê çïç ÷çò ã æ á ✁ þ ïåæç ëó ëç ä ëæçð å ú å ë çð å èã î é çï çê è í è çæ ð ëí î ê ãä åæçåç ä ôç ä ì ï åê ã î íæ ãé ï çîå ð ã✆ ó ñ æç é í ò ✆ãë ï ç ä ò ó è åî ê ãäåæçåç ä ✄ ✠çæ çñ éçæ å äå è å ä ì ë ç è ê ãîð ã êð å ñçð ôçîç ëç è ï åêåæç é ñ ãä✆ çï å ✝ û è åì ç ë ã æçð þ ôçåè ó î ã äï ç é þ ð ã ïç äì þ ïç ä è å ä ì ìå ✄ âãäãä è óç ä ë ãèã ìí îå ï åïçð çî ë ç ä êç ïç è í è çæ ð ëíî ê ãäåæçåç ä ï ãäìç ä å ä èã î ✟çæ ë ã æçð ☛ û ð ëíî èãî è å äìì å ï å ëóî ç äìå ð ëí î è ã î ãäï ç é ï åòç ìå ✆ ó ñ æ ç é ë ã æç ð û ôçå è ó ✝ ✄ õçð åæ ê ã î éå è ó äì ç ä è å ä ì ë ç è ê ã î ð ã êð å ç ë ç ä ï åð ç ✆ å ëç ä ï çæç ñ ò ãäè ó ë ÷ç ò ã æ á ✝ ✄ âãäåæçåç ä ñ í è å✟çð å ñçð ôçîç ë ç è ê ãñç ä ú ç ç è ïçæç ñ ê ãñ ç ä ú çç è ç ä ð ó ñ ò ã îïç ôç õö â ÷ ñ ãä ì ìó ä ç ëç ä ê ãäï ãëç è ç ä ï ã ð ëîåê è å ú ï ãäìç ä ð ëíî ê ãä åæçåç ä ôç äì ï åîó ñ ó ð ëç ä ò ã îï çð çî ë ç ä ☎ ë çæç öå ë ã î è ûø ã ó ææ ã î á üü à ✄ ✠çæç ñ ê ãä ã æåè å ç ä å äå þ ó äèó ë ñ ãä ì ó ë ó î è å äì ë ç è ñí è å ✟çð å ñçð ôçî ç ëç è ê ãñ ç ä ú çç è ï çæç ñ ê ãñç ä ú çç è ç ä ð ó ñ ò ã îï çôç õö â ÷ ï åæç ëó ëç ä ê ãäìó ë ó î ç ä èã î é çï çê ò ã ò ã îçê ç í ò ✆ãë ñ í è å ✟çð å ò ã îï çð çî ëç ä ñ í è å ✟çð å ãëí ä í ñ å þ ñ í è å ✟çð å ð í ð åçæ ï ç ä ñ í è å ✟çð å æå äì ë ó äìç ä þ ï å ñç äç ñçð å ä ì ✡ ñçð å äì í ò ✆ãë ñí è å ✟çð å å äå ï åîå ä ù å æç ìå ë ã ïçæç ñ ò ã ò ã îç êç ò ó è åî ê ãäôç è çç ä ñí è å ✟çð å ð ã ê ã î è å ôç ä ì ï åð ç ✆ å ëç ä êçï ç ÷ çò ã æ á ý þ á ☞ ïç ä á à ✄ â ãä ì ó ëó îç ä ê ã îð ã ê ð å ✌✍ ✎✏✑✏ ✒ ✓✔✕✏ ✎ ✖ ✗✔✕✘ ✎ ✓✙✕✚✏✕✏ ✙ ✑✕✒ ✗✒ ✗ ✙ ✑✏✚ ✏✛ ✖ ✓✙✔ ✗✜ ✢✘✏✑ ✏✒ ✕ ✎✓✙✕✚✏✕✏ ✙ ✣✏ ✙✢ ✖ ✓ ✘ ✢ ✓ ✘✏ ✜ ✑ ✏✘✕ ✒ ✏ ✙✢✏✔ ✛ ✓ ✛ ✤✔✕ ✥✏✒ ✕ ✒ ✏✛ ✎✏✕ ✔✕ ✑✏ ✜ ✛ ✓ ✛ ✤✔✕ ✥ ✏✒ ✕ ✦ ✧ ✏ ✖✓ ✚ ★ ✍ ✩✖ ✪✓✜ ✑✏ ✙ ✖✗✔✕✘ ✫ ✖✗✔✕✘ ✎ ✓✙✕✚✏✕✏ ✙ ✎ ✓ ✘✒ ✓✎✒ ✕ ✛✏ ✒ ✣✏✘ ✏ ✜✏✔ ✎ ✓ ✛✏ ✙ ✬✏✏✔ ✔ ✓ ✘ ✭✏✑ ✏ ✎ ✛ ✏ ✙✬✏✏✔ ✒ ✗✛ ✖✓ ✘ ✑✏ ✣✏ ✮✯✰ ✧ ✱ ✎ ✓ ✘✒ ✓✎✒ ✕ ✔ ✓✘ ✭✏✑✏ ✎ ✤ ✖ ✪✓✜✲ ✳ ✤ ✴ ✘✏✕✏ ✙ ✎ ✓✙✣✏✔✏✏ ✙ ✎ ✓ ✘✒ ✓✎✒ ✕ ✰ ✓ ✘✒ ✓✙✔✏✒ ✓ ✖✓ ✘ ✑✏✒ ✏✘ ✜✏ ✙ ✒ ✜ ✤ ✘ ✎ ✓ ✘✒ ✓✎ ✒ ✕ ★ ✍ ✵ ✶ ✷ ✸ ✹ ✏ ✙ ✬ ✏✏✔ ✰ ✓✙ ✢✢ ✗✙✏✏ ✙ ✱ ✺✻ ✼ ✽✾ ✿ u ✼ ✲ ★ ✹ ✏ ✙ ✬ ✏✏✔ ✚✏ ✙ ✢ ✒ ✗ ✙✢ ✏ ✦ ❀ ✗ ✛ ✖✓ ✘ ✭ ✏✒ ✕✚ ✭ ✗ ✔✏ ✙ ✙ ✤ ✙ ✜ ✏ ✣ ✗ ✱✘✤ ✔✏ ✙ ❁ ✖ ✗ ✏ ✭ ✫✖✗✏ ✭ ✏ ✙ ❁ ✔ ✏ ✙ ✏✛ ✏ ✙ ✭✕✏✒ ❁ ✢ ✓ ✔✏ ✭ ❁ ✒ ✏✣ ✗✘ ✫ ✛ ✏✣ ✗ ✘ ✲ …. …. …. …. …. b. Sumber tanaman obat …. …. …. …. …. c. Sumber air …. …. …. …. …. 2 Manfaat fungsional a. Pengatur tata air …. …. …. …. …. b. Mencegah erosi dan sedimentasi …. …. …. …. …. c. Perlindungan terhadap angin …. …. …. …. …. d. Mencegah banjir …. …. …. …. …. 3 Manfaat pilihan a. Tempat pelaksanaan upacara adat …. …. …. …. …. b. Tempat olah raga …. …. …. …. …. c. Tempat rekreasi …. …. …. …. …. B. Manfaat Bukan Penggunaan ❂ o ❃ ✺ s ✼ ✽ ✾✿ u ✼ 1 Manfaat keberadaan a. Habitat berbagai jenis tumbuhan …. …. …. …. …. b. Habitat berbagai jenis hewan …. …. …. …. …. 2. Manfaat lainnya a. Keindahanpemandangan …. …. …. …. …. Keterangan: 1= tidak bermanfaat; 2 = kurang bermanfaat; 3 = cukup bermanfaat; 4 = bermanfaat; 5 = sangat bermanfaat. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat motivasi masyarakat pemanfaat berdasarkan objek penilaian seperti yang diilustrasikan pada Tabel 14, 15 dan 16 maka dilakukan klasifikasi terhadap total skor penilaian yang diperoleh dari sejumlah objek dan butir penilaian. Dalam hal ini tingkat motivasi ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat pemanfaat dipilah menjadi 3 tiga kelas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Penentuan kelas didasarkan pada total skor penilaian dengan interval kelas: skor tertinggi dikurangi skor terendah dibagi jumlah kelas yaitu 3. Hasil perhitungan tingkat motivasi akan disajikan dalam bentuk Tabel 17. Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan tingkat persepsinya terhadap manfaat HLPT No Uraian Tingkat Persepsi Rendah Sedang Tinggi f f f A Manfaat Penggunaan u ❄ ❅ v ❆❇ u ❅ 1. Manfaat Langsung 2. Manfaat Fungsional 3. Manfaat Pilihan B. Manfaat Bukan Penggunaan ❈ o ❉ ❊❄ ❅ ❋❆ ❇ u ❅ 1. Manfaat Keberadaan 2. Manfaat lainnya Keterangan: f = frekuensi; = persentase. Tabel 14 Butir-butir pernyataan penilaian motivasi ekonomi masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT No Uraian pernyataan motivasi Persentase 1 2 3 4 5 1 Kebutuhan memperoleh pendapatan dari hasil hutan non kayu …. …. …. …. …. 2 Kebutuhan memperoleh pendapatan dari pemanfaatan lahan …. …. …. …. …. 3 Kebutuhan memperoleh pendapatan dari pemanfaatan air …. …. …. …. …. 4 Kebutuhan memperoleh pendapatan dari insentif pemerintah …. …. …. …. …. Keterangan: 1= tidak memotivasi; 2 = kurang memotivasi; 3 = cukup memotivasi; 4 = memotivasi; 5 = sangat memotivasi. Tabel 15 Butir-butir pernyataan penilaian motivasi sosial masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT No Uraian Persentase 1 2 3 4 5 1 Kebutuhan akan saling hubungan dengan orang lain …. …. …. …. …. 2 Kebutuhan memelihara eksistensi budaya konservasi sumberdaya alam …. …. …. …. …. 3 Kebutuhan memperoleh kesadaran dalam aktifitas kehutanan …. …. …. …. …. 4 Kebutuhan untuk menjalankan ajaran agama …. …. …. …. …. 5 Kebutuhan untuk mencegah hijrah ke kota …. …. …. …. …. 6 Kebutuhan akan prestisekebanggaan sosial …. …. …. …. …. 7 Kebutuhan berkontribusi pada komunitas …. …. …. …. …. Keterangan: 1= tidak memotivasi; 2 = kurang memotivasi; 3 = cukup memotivasi; 4 = memotivasi; 5 = sangat memotivasi. Tabel 16 Butir-butir pernyataan penilaian motivasi lingkungan masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT No Uraian Persentase 1 2 3 4 5 1 Kebutuhan untuk memperbaiki kualitas sumber daya hutan …. …. …. …. …. 2 Kebutuhan untuk memperbaiki sumber air …. …. …. …. …. 3 Kebutuhan untuk mengurangi banjir …. …. …. …. …. 4 Kebutuhan konservasi tumbuhan dan hewan …. …. …. …. …. 5 Kebutuhan untuk mewujudkan keinginan mengkonservasi lingkungan …. …. …. …. …. 6 Kebutuhan untuk pengembangan kepariwisataan …. …. …. …. …. Keterangan: 1= tidak memotivasi; 2 = kurang memotivasi; 3 = cukup memotivasi; 4 = memotivasi; 5 = sangat memotivasi. Tabel 17 Distribusi responden berdasarkan tingkat motivasi masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT No Uraian Tingkat motivasi Rendah Sedang Tinggi f f f 1 Motivasi ekonomi 2 Motivasi social 3 Motivasi lingkungan Keterangan: f = frekuensi, = pesentase. 3.6.4 Analisis isi kualitatif Analisis isi kualitaif ● u ❍ ■❏❑ ❍ ❑❏ v ▲ ❍ ▼❍ ■ y ◆ ❏ ◆ ❖P ◗ o ▼ t ▲▼ t digunakan untuk menganalisis data sekunder yang bersumber dari peraturan perundangan dan dokumen kebijakan, khususnya peraturan perundangan dan kebijakan yang berkenaan dengan koordinasi antar lembaga pemerintah. Menurut Mayring 2000, Patton 2002, Hsieh dan Shannon 2005 yang dikutip oleh Zhang dan Wildemuth 2009 analisis isi kualitatif adalah: 1 metode riset untuk menafsirkan data berupa isi teks secara subjektif melalui proses pengklasifikasian secara sistematis dengan pengkodean dan mengidentifikasi tema atau pola Hsieh dan Shannon 2005; 2 sebuah pendekatan empiris, metode analisis terkendali terhadap teks di dalam konteks komunikasinya, mengikuti aturan analisis isi dengan model tahap demi tahap, tanpa kuantifikasi Mayring 2000; dan 3 merupakan reduksi data kualitatif dan melakukan usaha mengambil isi material kualitatif dan mencoba mengidentifikasi inti arti dan konsistensi Patton 2002. Tahapan yang digunakan dalam analisis isi kualitatif adalah sebagai berikut: 1 penyiapan data; 2 menentukan unit analisis; 3 mengembangkan kategori dan skema pengkodean; 4 mencoba skema pengkodean pada contoh sampel teks; 5 mengkode seluruh data; 6 menilai konsistensi pengkodean; dan 7 membuat kesimpulan dari data yang telah di kode. 3.6.5 Analisis tutupan lahan HLPT Analisis tutupan lahan dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh inderaja dan sistem informasi geografis SIG. Analisis tutupan lahan HLPT didasarkan pada Peta Dasar Tematik Kehutanan PDTK tahun 2006, Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Timur tahun 2001, Peta Administrasi Pemerintahan Provinsi Kalimanatan Timur tahun 2001, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan tahun 2006 dan Hasil Penafsiran Citra Spot 5 tahun 2009. Analisis tutupan lahan ini dimaksudkan untuk mengetahui kelas tutupan lahan dengan masing-masing luasannya, guna menggambarkan kondisi terkini penggunaan lahan pada kawasan HLPT. Menurut Soenarmo 2009 pengideraan jauh merupakan ilmu-teknik-seni untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak langsung dengan benda atau target terseut. Sedangkan sistem informasi geografis adalah suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan berhubungan dalam mencapai sasaran berdasarkan informasi data, fakta, kondisi, fenomena berbasis geografis daerah, spasial, keruangan yang dapat dicek posisinya dipermukaan bumi bergeoreferensi. 3.6.6 Analisis ❘ ❙❚❯❱❲ ❳❨❩❱ ❬ ❘ Analisis ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ digunakan untuk menemukan ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ yang potensial dapat terlibat dalam pemulihan fungsi HLPT dan kepentingannya serta menilai tingkat kepetingan dan pengaruhnya. Menurut Glick ❱ ❙ ❚ ❨ 2002 a nalisis ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ sering hanya digunakan untuk mengidentifikasi ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ utama, menggunakan definisi umum ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ . Sementara secara umum definisi ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ adalah sesorang siapa saja yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi aksi organisasi. Menurut Allen dan Kilvington 2003 analisis ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ adalah mengidentifikasi ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ kunci dalam sebuah projek, menilai minat atau kepentingan mereka, dan bagaimana kepentingan mereka mempegaruhi kelangsungan dan resiko projek. Sedangkan ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ adalah seseorang, kelompok atau lembaga dengan kepentingan di dalam kebijakan, program atau projek. Mengacu pada Bryson 2003 dan WHO 2009 analisis ❘ ❙❚ ❯❱❲ ❳ ❨❩ ❱ ❬ ❘ dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1 mengidentifikasi ❘ ❙❚❯❱❲ ❳❨❩❱ ❬ ❘ ; 2 mengidentifikasi minat ❭❪ ❙ ❱ ❬ ❱❘ ❙ ❘ ❙❚❯❱❲ ❳❨❩❱ ❬ ❘ dalam pemulihan fungsi HLPT; dan 3 menilai kepentingan ❭ ❫❴ ❳ ❬ ❙❚❪ ❵ ❱ dan pengaruh ❭❪ ❛ ❨ u ❱❪ ❵ ❱ masing- masing st ❚❯❱❲ o ❨❩ ❱ rs dalam pemulihan fungsi HLPT; dan 4 memetakan st ❚❯❱❲ o ❨❩ ❱ rs berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya. Identifikasi pemangku kepentingan st ❚ ❯ ❱❲ o ❨❩ ❱ rs dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik bola salju ❘ ❪ o w ❜ ❚❨❨ . ❝ t ❚ ❯❱❲ o ❨❩❱ rs yang pertama kali teridentifikasi dan terwawancarai diminta untuk mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan pemangku kepetingan lain yang memiliki kepentingan dan pengaruh terhadap pemulihan fungsi HLPT, dengan ketentuan satu pemangku kepetingan diharapkan dapat mengungkapkan dua pemangku kepetingan lainnya. Dengan beberapa pertanyaan kunci yang akan digunakan untuk mengidentifikasi pemangku kepetingan sebagai berikut: 1 siapa yang berhak terlibat?; 2 siapa yang potensial sebagai penerima manfaat? 3 siapa yang memiliki pengaruh menguntungkan atau merugikan?; 4 siapa yang memiliki respon dalam perencanaan-percananaan yang diharapkan?; 5 siapa yang memberi dana, keterampilannya atau informasi penting?; apa kepentingan mereka? dan bagaimana tingkat kepetingan dan pengaruh mereka? Hasil analisis ❞ ❡❢❣❤✐ ❥❦❧❤ ♠ ❞ berdasarkan minat, tingkat kepentingan dan tingkat pengaruhnya dalam pemulihan fungsi HLPT disusun dalam bentuk Tabel 18. Selanjutnya dilakukan pengkategorian ❞ ❡❢❣❤✐ ❥ ❦❧ ❤ ♠ menurut kepentingan dan pengaruhnya terhadap pemulihan fungsi HLPT dengan menggunakan “diagram matriks ♥❢ ❡♠ ♦ x ❧ ♦ ❢♣ ♠ ❢ m ”. Sehingga, sebaran posisi st ❢ ❣❤✐ o ❦❧❤ r menurut kepentingan dan pengaruhnya dapat diilustrasikan dalam diagram matriks, seperti pada Gambar 8. Tabel 18 Hasil analisis minat, tingkat kepentingan dan pengaruh st ❢ ❣❤✐ o ❦❧❤ rs dalam pengelolaan sumberdaya HLPT q t ❢❣❤✐ o ❦❧❤ rs Minat Tingkat kepentingan Tingkat pengaruh Keterangan: a Pada kolom st r st✉ o ✈ ✇ t① s , dituliskan nama seluruh st r s t ✉ o ✈ ✇ t ① s ② b Pada kolom minat, merujuk pada motif st r st✉ o ✈ ✇ t ① s dalam pemulihan fungsi HLPT satu hingga tiga kepentingan st r s t ✉ o ✈ ✇ t ① s . c Pada kolom tingkat kepentingan, merujuk pada derajat kepetingan st r st✉ o ✈ ✇ t① s terkait dengan pemulihan fungsi HLPT, dengan nilai sangat tinggi = 5; tinggi = 4; sedang = 3; kurang = 2; sangat kurang = 1 ; dan tidak diketahui = 0. d Pada kolom tingkat pengaruh, merujuk pada derajat pengaruh st r st ✉ o ✈ ✇ t ① s berdasarkan sumberdaya manusia, keuangan dan politik terkait dengan pemulihan fungsi HLPT, dengan nilai sangat tinggi = 5; tinggi = 4; sedang = 3; kurang = 2; sangat kurang = 1 ; dan tidak diketahui = 0. Gambar 8 Diagram matriks berdasarkan kepentingan dan pengaruh. Kuadran A subjek menunjukan kelompok yang memiliki kepentingan tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT, tetapi rendah pengaruhnya. Kuadran B pemain menunjukan kelompok yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT. Kudaran C penghubung menunjukan yang tinggi pengaruhnya dan rendah kepentingannya, sedangkan kuadran D penonton menunjukkan kelompok ③ ④⑤ ⑥⑦⑧⑨ ⑩❶ ⑦❷ yang rendah pengaruh dan kepentingannya. 3.6.7 Analisis taksonomik dan analisis komponensial Analisis taksonomik dan analisis komponensial digunakan untuk menganalisis data primer hasil wawancara mendalam tentang distribusi otoritas hak dan kewajiban ③ ④⑤ ⑥ . Menurut Bungin 2005 dan Sugiyono 2006 analisis taksonomik adalah analisis keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan, di mana analisis ini menggunakan pendekatan ”non-kontras antara elemen”. Sedangkan analisis komponensial menggunakan pendekatan ”kontras antara elemen”. Tahapan analisis dikotomik dan analisis komponensial dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 distribusi otoritas yang meliputi hak dan kewajiban ③ ④⑤ ⑥ ⑦⑧⑨ ⑩❶ ⑦❷ ③ ditetapkan sebagai domain atau kategori yang menjadi 68 Gambar 8 Diagram matriks ③ ④⑤ ⑥⑦⑧ ⑨ ⑩❶⑦❷ ③ berdasarkan kepentingan dan pengaruh. Kuadran A subjek menunjukan kelompok ③ ④⑤ ⑥⑦⑧ ⑨ ⑩❶⑦❷ yang memiliki kepentingan tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT, tetapi rendah pengaruhnya. Kuadran B pemain menunjukan kelompok ③ ④⑤ ⑥⑦⑧ ⑨ ⑩❶⑦❷ yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT. Kudaran C penghubung menunjukan ③ ④⑤ ⑥⑦⑧ ⑨ ⑩❶⑦❷ yang tinggi pengaruhnya dan rendah kepentingannya, sedangkan kuadran D penonton menunjukkan kelompok yang rendah pengaruh dan kepentingannya. 3.6.7 Analisis taksonomik dan analisis komponensial Analisis taksonomik dan analisis komponensial digunakan untuk menganalisis data primer hasil wawancara mendalam tentang distribusi otoritas hak dan kewajiban ⑥⑦⑧⑨ ⑩❶ ⑦❷ ③ . Menurut Bungin 2005 dan Sugiyono 2006 analisis taksonomik adalah analisis keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan, di mana analisis ini menggunakan pendekatan ”non-kontras antara elemen”. Sedangkan analisis komponensial menggunakan pendekatan ”kontras antara elemen”. Tahapan analisis dikotomik dan analisis komponensial dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 distribusi otoritas ③ ④⑤ ⑥ ⑦⑧⑨ ⑩❶ ⑦❷ ③ yang meliputi hak dan kewajiban ditetapkan sebagai domain atau kategori yang menjadi 68 Gambar 8 Diagram matriks berdasarkan kepentingan dan pengaruh. Kuadran A subjek menunjukan kelompok yang memiliki kepentingan tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT, tetapi rendah pengaruhnya. Kuadran B pemain menunjukan kelompok yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT. Kudaran C penghubung menunjukan yang tinggi pengaruhnya dan rendah kepentingannya, sedangkan kuadran D penonton menunjukkan kelompok yang rendah pengaruh dan kepentingannya. 3.6.7 Analisis taksonomik dan analisis komponensial Analisis taksonomik dan analisis komponensial digunakan untuk menganalisis data primer hasil wawancara mendalam tentang distribusi otoritas hak dan kewajiban . Menurut Bungin 2005 dan Sugiyono 2006 analisis taksonomik adalah analisis keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan, di mana analisis ini menggunakan pendekatan ”non-kontras antara elemen”. Sedangkan analisis komponensial menggunakan pendekatan ”kontras antara elemen”. Tahapan analisis dikotomik dan analisis komponensial dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 distribusi otoritas yang meliputi hak dan kewajiban ditetapkan sebagai domain atau kategori yang menjadi fokus penelitian; 2 berdasarkan domain atau kategori tersebut selanjutnya dilakukan analisis taksonomik atas dasar elemen-elemen yang serupa atau serumpun, sehingga diperoleh sub domainkategori; 3 selanjutnya, dilakukan analisis komponensial, yakni menganalisis atas dasar elemen-elemen kontras pada masing-masing sub kategori dari masing-masing domain atau kategori. Tahapan analisis diilustrasikan dalam bentuk diagram, seperti Gambar 9. Gambar 9 Tahapan analisis data dengan teknik analisis taksonomik dan komponensial. 3.6.8 Analisis pembayaran jasa lingkungan Mengacu pada pendapat Wunder 2005 serta USAID dan RMI 2007, dalam penelitian ini analisis pembayaran untuk pelayanan jasa lingkungan dari sumberdaya HLPT, khususnya untuk pelayanan jasa sumberdaya air dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1 Menentukan transaksi siapa dengan siapa Tahapan ini dimaksudkan untuk mengetahui pihak-pihak pengguna pemanfaat sumberdaya air yang bersumber dari HLPT dan pihak-pihak yang mempengaruhi penurunan dan peningkatan kuantitas sumberdaya air HLPT. Dengan mengetahui pihak-pihak tersebut, maka transaksi pembayaran untuk pelayanan lingkungan, khususnya yang terkait dengan sumberdaya air dapat ditentukan. ? ? ? Analisis taksonomik ? Domainkategori ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? Analisis komponensial ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? 2 Menentukan nilai keinginan membayar Menurut Fauzi 2006, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar w ❸ ❹ ❹ ❸ ❺ ❻ ❺ ❼ ss to p ❽ y ❾ ❿ ➀ ➁ seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa. ➂ o ❺ t ❸❺ ❻❼❺ ➃ ❽❹ u ❽ t ❸ o ❺ ➄ ❼ t ➅ o ➆ s ➂ ➃ ➄ digunakan untuk mengetahui penilaian kelompok masyarakat terhadap keberadaan sumberdaya HLPT atau untuk mengetahui keinginan membayar w ❸❹❹❸ ❺ ❻❺❼ ss to p ❽ y atau WTP masyarakat terhadap perbaikan kualitas HLPT. Hasil penilaian keinginan untuk membayar disajikan dalam bentuk Tabel 19 berikut: Tabel 19 Keinginan untuk membayar No Uraian Keinginan membayar WTP 1 Kesediaan responden: a. Bersedia b. Ragu-ragu c. Tidak bersedia 2 Nilai kesediaan membayar a. Rata-rata keseluruhan responden b. Rata-rata dari yang bersedia c. Nilai minimum d. Nilai maksimum 3 Menentukan nilai untuk rehabilitasi hutan dan lahan Berdasarkan kajian-kajian sebelumnya, umumnya dana kompensasi dalam skema pembayaran jasa lingkungan digunakan untuk kepentingan konservasi, oleh karena penting untuk menghitung biaya rehabilitasi hutan dan lahan suatu kawasan berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan. Perhitungan estimasi biaya rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan menghitung biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan: 1 penanaman; 2 pemeliharaan tanaman; dan 3 pengamanan. Secara keseluruhan hasil perhitungan biaya rehabilitasi hutan dan lahan akan disajikan dalam bentuk Tabel 20 berikut: Tabel 20 Estimasi biaya rehabilitasi hutan dan lahan No Uraian kegiatan Volume satuan Biaya satuan Total biaya A. Penanaman 1. 2. 3. B. Pemeliharaan Tanaman 4. 5. 6. C. Pengamanan Tanaman 7. 8. 9. D. Total biaya dengan pemeliharaan berkelanjutan 3.6.9 Sintesis Perumusan pengembangan institusi dilakukan menggunakan teknik analisis tema dengan mengkaji saling hubungan antar kategori yang diperoleh dari hasil analisis parsial tujuan 1, 2, 3, dan 4. Teknik analisis tema ➇ ➈➉ ➊➋ v ➌➍ ➈➎➏ ➊ u ➐➑ u ➍ ➒ ➐ ➑➓➌➔➌ ➉ menurut Faisal 1990 yang dikutip Sugiyono 2006 merupakan upaya mencari “benang merah” yang mengintegrasikan lintas domainkategori yang ada. Guna memudahkan dalam pengintegrasian lintas kategori yang ada digunakan pemetaan teori yang merupakan teknik untuk membantu analisis guna mengidentifikasi dan merancang asumsi-asumsi. Menurut Dunn 2003 pemetaan teori dapat membantu mengungkap empat jenis argumen kausal, yakni: konvergen, divergen, serial dan siklik. Argumen konvergen adalah argumen yang di dalamnya dua atau lebih asumsi tentang sebab akibat digunakan untuk mendukung kesimpulan atau pernyataan. Argumen divergen adalah argumen yang di dalamnya sebuah asumsi mendukung lebih dari dua kesimpulan atau pernyataan. Di sisi lain, dalam argumen serial sebuah kesimpulan atau pernyataan digunakan sebagai asumsi untuk mendukung sejumlah kesimpulan atau pernyataan lanjutan. Akhirnya, argumen siklik adalah argumen serial yang di dalamnya kesimpulan atau pernyataan akhir dalam suatu rangkaian dikaitkan dengan pernyataan atau kesimpulan pertama dalam rangkaian itu. Sebuah teori dapat mengandung campuran dari argumen konvergen, divergen, serial dan siklik. Secara ringkas tahapan analisis pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT disajikan pada Gambar 10. Sedangkan secara lengkap datainformasi, jenis data, sumber data, teknik penentuan sampel, jumlah sampel, metode analisis dan sumber acuan metode analisis yang digunakan sesuai tujuan penelitian disajikan pada Tabel 21. Gambar 10 Diagram tahapan analisis pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT. 73 Tabel 21 Datainformasi, jenis data, sumber data, teknik penentuan sampel, jumlah sampel, metode analisis dan sumber acuan metode analisis yang digunakan sesuai tujuan penelitian Tujuan penelitian fokus kajian DataInformasi Jenis dan sumber data Teknik pengambilan sampel Jumlah sampel Metode analisis dan sumber acuan Tujuan 1: Mengetahui kapasitas organiasi dan menemukan wilayah perbaikan kapasitas organisasi pengelola HLPT. Skala kapasitas organisasi dan wilayah perbaikan kapasitas organisasi. Data primer dari responden. Pengambilan sampel secara sengaja 32 Analisis kapasitas organisasi: The Nature Conservancy 2001; Bateson →➣ ↔ ↕ . 2008. Tujuan 2: Menemukan penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya HLPT. 1 Status koordinasi, permasalahan koordinasi, kegagalan koordinasi, kapasitas koordinasi. 2 Isi teks peraturan perundangan yang mengatur koordinasi antar lembaga. 1 Data primer dari informan kunci. 2 Data sekunder dari peraturan perundangan. 1 Pengambilan sampel bola salju 2 Pengambilan contoh secara sengaja 1 20 2 9 1 Analisis koordinasi antar lembaga: Peters 1998 ➙ ↔ ↕ ↔ ➛ Zingerli →➣ ↔ ↕ . 2004; Metcalfe 1997 ➙ ↔ ↕↔ ➛ Hogl 2002. 2 Analisis isi kualitatif : Zhang dan Wildemuth 2009. Tujuan 3: Menemukan sumber penyebab ketidak selarasan perilaku masyarakat pemanfaat berdasarkan persepsi dan motivasinya. Persepsi, tingkat persepsi, motivasi dan tingkat motivasi masyarakat pemanfaat. Data primer dari responden. Pengambilan sampel secara sengaja 115 Analisis deskriptif: Peace dan Turner 1990; Meuller 1996; Sudjana 1992. Tujuan 4: Menemukan kejelasan batas spasial pemulihan fungsi HLPT, ➜ ➣ ↔ ➝ → ➞➟ ↕ ➙ → ➠➜ pemulihan fungsi HLPT, otoritas hak dan kewajiban ➜ ➣ ↔➝ → ➞ ➟ ↕ ➙ → ➠➜ pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif pemulihan fungsi HLPT. Tutupan lahan HLPT, s ➣ ↔ ➝ → ➞➟ ↕ ➙ → ➠➜ , kepentingan dan pengaruh ➜ ➣ ↔ ➝ → ➞➟ ↕ ➙ → ➠ ➡ otoritas hak dan kewajiban ➜ ➣ ↔➝ → ➞ ➟ ↕ ➙ → ➠➜ ➡ penjual dan pembeli jasa lingkungan, keinginan untuk membayar dan biaya rehabilitasi hutan dan lahan. Data sekunder dari dokumen dan data primer dari pengamatan, responden dan informan kunci. Pengambilan sampel bola salju dan pengambilan sampel quota 20 iforman kunci dan 200 responden Analisis tutupan lahan dengan pengideraan jauh dan sistem informasi geografis Soenarmo, 2009; analisis ➜ ➣ ↔➝ → ➞ ➟ ↕ ➙ → ➠➜ Bryson 2003 dan WHO 2009; analisis taksonomik dan komponensial Bungin 2005 dan Sugiyono 2006; analisis pembayaran jasa lingkungan Wunder 2005; Mayrand dan Paquin 2004. ➢ V. KARAKTERISTIK SUMBERDAYA HLPT DAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT PEMANFAAT SUMBERDAYA HLPT

4.1 Karakteristik Sumberdaya HLPT