pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik pada tataran akademis keilmuan maupun praktis, sebagai berikut:
1.5.1. Manfaat dalam tataran akademiskeilmuan 1
Memperkaya khasanah keilmuan tentang pengembangan institusi pengelolaan sumberdaya bersama milik negara dengan mempertimbangkan kapasitas
organisasi pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah dan perilaku
masyarakat pemanfaat sumberdaya bersama milik serta prinsip disain rezim hak pemilikan.
2 Memperkaya khasanah keilmuan tentang pengelolaan sumberdaya bersama
milik negara yang memerlukan aksi terkoordinasi bersama para pihak untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
1.5.2. Manfaat dalam tataran praktis 1 Sebagai tambahan informasi kepada para pengambil kebijakan dalam
merumuskan pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung. 2 Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang
berkenaan dengan pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung.
1.6 Kebaruan Novelty
Penelitian mengenai pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung sebagai sumberdaya bersama milik pemerintah belumpernah dilakukan,
khususnya jika ditinjau berdasarkan hal-hal berikut secara menyeluruh, yaitu: kapasitas lembaga pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah, perilaku
individukelompok masyarakat pemanfaat dan prinsip disain rezim hak pemilikan. Berdasarkan hal tersebut, kebaruan dari penelitian ini adalah dihasilkannya
rumusan pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT yang didasarkan pada kapasitas lembaga pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat
dalam pengelolaan,
perilaku individukelompok
masyarakat pemanfaat
sumberdaya dan prinsip disain rezim hak pemilikan. yang meliputi kondisi tutupa
✝✝
.
✞✝ ✟
J
✠
U
✠ ✟ ✡
U
☛ ✞✠☞ ✠
2.
✌ ✍✎
t
✏
n
✑ ✒
n
✓
u n
✔
2.1.1 Konsep Hutan lindung di Indonesia Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi tumbuh-tumbuhan dan hewan
yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu Suparmoko, 1997.
Definisi ini memiliki kemiripan dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dalam
pasal ini, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam
persekutuan hidup dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
dinyatakan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Menurut Riyanto 2005 hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperlukan antara lain untuk melindungi sistem
penyangga kehidupan, yaitu proses hidroorologi, proses penyuburan tanah, proses keanekaragaman hayati, proses penyehatan lingkungan dan manfaat lainnya.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat 3 poin b Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan dinyatakan bahwa kriteria hutan
lindung adalah kawasan hutan yang memenuhi salah satu kriteria berikut: 1 Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas
hujan setelah masing-masing dikalikan angka penimbang mempunyai jumlah nilai skor 175 seratus tujuh puluh lima atau lebih;
2 Kawasan yang mempunyai lereng lapangan 40 empat puluh per seratus atau lebih;
3 Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2 000 dua ribu meter atau lebih di atas permukaan laut;
4 Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapang lebih dari 15 lima belas per seratus;
5 Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; 6 Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
2.1.2 Fungsi dan nilai guna sumberdaya hutan lindung
Fungsi hutan di antaranya ialah sebagai berikut Suparmoko 1997: 1 mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara
kesuburan tanah; 2 menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor
sehinga menunjang pembangunan ekonomi; 3 melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik; dan 4 memberikan keindahan alam pada
umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar. Menurut Iskandar 2008 sebagai dampak panjang pantai dengan luas daratan dan dekatnya jarak antara kawasan
daratan dengan kawasan pantai, FAO menilai bahwa hutan pada pulau kecil mempunyai kontribusi penting terhadap kelestarian lingkungan, yaitu: 1
konservasi tanah dan air; 2 perlindungan pantai; 3 konservasi keanekaragaman hayati; dan 4 terkait dengan ekosistem laut.
Menurut Sardjono 2004 fungsi hutan meliputi: 1 fungsi produksi yang memberi manfaat langsung hasil hutan kayu, hasil hutan nir kayu dan areal untuk
bercocok tanam bagi masyarakat lokal. Selain itu juga memberikan manfaat tak langsung bagi masyarakat lokal berupa penghasilan, pelestarian kegiatan budaya
lokal yang berbasiskan produk hutan dan pelestarian dan perkembangan industri rumah tangga masyarakat; 2 fungsi lindung yang memberi manfaat langsung
berupa kesuburan tanah, keanekaragaman hayati flora, fauna, mikroorganisme serta manfaat tak langsung berupa keterjaminan produktivitas pertanian dan
kemandirian pangan, kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat, pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional; 3 fungsi tata klimat yang memberi
manfaat langsung bagi masyarakat lokal berupa iklim mikro dan udara bersih, juga memberi manfaat tak langsung berupa kenyamanan dan kedamaian
kehidupan pedesaan, mendukung kehidupan yang sehat sejahtera dan mengurangi dampak bencana alam; dan 4 fungsi lain-lain, seperti memberi manfaat untuk
batas tanah tanda pemilikan lahan, perlindungan tempat-tempat keramat,
pelestarian identitas kelembagaan lokal, melestarikan etika konservasi dan pergaulan hidup antar anggota masyarakat.
Pearce dan Turner 1990 mengidentifikasi secara rinci total nilai sumberdaya hutan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1. Dalam hal ini produksi
kayu merupakan nilai penggunaan langsung
✕
xt
✖ ✗ ✘
tive use v
✗
lue , sedangkan
fungsi hutan untuk rekreasi dan mengasimilasi karbon merupakan penggunaan tidak langsung n
o n
extr
✗ ✘
tive use v
✗
lue . Sementara itu, nilai tanpa penggunaan
n o
n
✙
use v
✗
lue meliputi nilai atas dasar warisan dari generasi sebelumnya
✚
equest v
✗
lue dan nilai karena keberadaannya exist
✗
n
✘
e v
✗
lue .
Tabel 1 Perincian nilai ekonomi total sumberdaya hutan
Nilai Ekonomi Total Nilai Guna
Nilai Non Guna Nilai guna
Langsung Nilai guna
tak langsung Nilai
Pilihan Nilai
pilihan Nilai
Keberadaan Nilai Non-
guna lainnya Hasil yg
dapat dikonsumsi
langsung Manfaat
Fungsional Nilai
pilihan penggunaan
Nilai pilihan Non
penggunaan Nilai
Pengetahuan Nilai non
penggunaan lainnya
a Kayu b Buah, biji
c Getah d Rotan
e Pakan f Hewan
g Tumbuhan
obat a Fungsi
ekologis b Pengenda-
lian banjir c Perlindu-
ngan terhadap
angin Rekreasi
a Ekosistem b Suaka
marga satwa
a Habitat b Spesies
Langka a Biodiversiti
b Pemandang- an
Sumber: Pearce dan Turner 1990.
Menurut Noordwijk et
✗
l . 2004 h utan lindung mempunyai makna fungsi
perlindungan aktif hutan terhadap aliran air ke daerah hilir. Dalam istilah Belanda hutan lindung atau “
✛ ✘
h erm
✚
o s
” berarti hutan yang berfungsi sebagai “payung atau lindung”. Fungsi penyangga sebenarnya berkaitan langsung dengan fungsi
lindung, karena fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada kejadian hujan. Fungsi penyangga dapat ditingkatkan dengan jalan meningkatkan penggunaan air
dan mempertahankan struktur tanah pada daerah perbukitan h illslo
p e
. Memperhatikan uraian tentang fungsi dan nilai guna atau manfaat hutan dan
hutan lindung di atas dapat dinyatakan keberadaan hutan lindung sangat diperlukan karena fungsi pentingnya sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan. Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak dijelaskan
maksud dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. Tetapi, dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dijelaskan bahwa sistem penyangga kehidupan merupakan suatu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin
kelangsungan kehidupan manusia Pasal 7. Sedangkan perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang
menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan Pasal 8.
Menurut Noordwijk
✜
t
✢
l . 2004
f
ungsi perlindungan pada daerah hulu sebenarnya dapat diberikan oleh tutupan dari berbagai macam vegetasi, selama
sistem tersebut mampu dalam: 1 mempertahankan lapisan seresah di permukaan tanah; 2 mencegah terbentuknya alur dan parit-parit akibat erosi; dan 3
menyerap air untuk evapotranspirasi. Bila vegetasi hutan alami secara bertahap digantikan oleh pohon yang bernilai ekonomi tinggi atau mempunyai fungsi
lainnya, seharusnya fungsi lindung tersebut masih tetap ada. Sistem pembukaan lahan pertanian dengan cara tebang habis pada skala luas, akan menurunkan
fungsi lindung. Pada transformasi hutan secara perlahan menjadi sistem agroforestri, tidak dilakukan penebangan hutan pada skala luas sehingga dalam
proses regenerasinya fungsi hutan masih dapat dipertahankan. Dalam konsep Indonesia, kata hutan adalah lahan yang kepemilikan dan
pengelolaannya diawasi langsung oleh pemerintah atau negara. Sedang lahan milik petani yang menyerupai hutan atau “agroforest”, umumnya disebut kebun.
Pada sistem kebun, pengelolaannya lebih ditekankan pada dua fungsi yaitu “fungsi produksi dan fungsi lindung”.
Dalam kaitannya dengan kriteria dan indikator hidrologi, beberapa macam kebun telah dievaluasi dan hasilnya
menunjukkan bahwa kebun seperti kebun kopi campuran, hutan karet, “parak” suatu sistem campuran pohon buah-buahan, pohon penghasil kayu dan rempah di
Sumatra Barat, kebun buah-buahan pekarangan m
✣
xe
✤
fruit tree h
o meg
✢ ✥ ✤
en s
, dan sistem “repong damar” merupakan sistem yang masih dapat memenuhi
berbagai fungsi lindung pada daerah perbukitan. Dengan demikian kebun tersebut
pantas dinamakan sebagai “kebun lindung” karena dapat berfungsi ganda yaitu fungsi produksi dan fungsi lindung
Noordwijk
✦
t
✧
l . 2004 .
2.1.3 Pengelolaan hutan lindung di Indonesia
Landasan hukum utama pengelolaan hutan lindung di Indonesia antara lain adalah:
1 Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 Ayat 3.
2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan tahun 1967-1999. 3
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang tahun 1992-
1999. 6
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. 7
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah. 8
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan. 9
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan. 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan. 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan. 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah sudah tidak berlaku.
13 Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah KabupatenKota.
14 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6Menhut-II2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH.
Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung meliputi kegiatan: a tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b pemanfaatan hutan
dan penggunaan kawasan hutan; c rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d perlindungan hutan dan konservasi alam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Pasal 21. Tata hutan dimaksudkan dalam rangka pengelolaan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal. Tata hutan lindung meliputi
pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan dengan pemberian
izin pemanfaatan kawasan,
izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 26 Ayat 1 dan 2.
Izin usaha pemanfaatan kawasan diberikan kepada perorangan dan koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan diberikan kepada perorangan,
koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik Negara dan badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu diberikan
kepada perorangan dan koperasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 Ayat 1, 2 dan 3.
Rehabilitasi hutan
dan lahan
dimaksudkan untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya
dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 40.
Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a. reboisasi; b. penghijauan; c. pemeliharaan; d. pengayaan tanaman; e. penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknik, pada lahan kritis dan tidak produktif Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 41. Sedangkan
reklamasi hutan, meliputi usaha usaha untuk memperbaiki dan memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai dengan peruntukanya. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 44 Ayat 1 dan 2. Selanjutnya pada Pasal 46 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan “penyelenggaraan
perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan likungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,
tercapai secara optimal dan lestari. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998
tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah
sudah tidak berlaku sejak tahun 2007, dinyatakan bahwa sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II antara
lain adalah pengelolaan hutan lindung Pasal 5 huruf e. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 6 Ayat 5 urusan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksudkan pada
Pasal 5 huruf e mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam
rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Pada tahun 2007 peraturan pemerintah nomor 621998 tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota. Berdasarkan aturan ini,
urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung yang diserahkan kepada kabupatenkota, diantaranya:
pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan
hutan lindung, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan jangka panjang unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHL,
pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan jangka menengah unit KPHL, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan
tahunan jangka pendek unit KPHL, pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi, dan
pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupatenkota. 2.1.4
Hasil penelitian tentang hutan lindung di Indonesia Hutan Lindung Pulau Marsegu telah dijadikan tempat untuk berladang dan
berkebun oleh masyarakat sekitar, terutama daerah hutan sekunder berkarang dan
daerah berpasir sebelah timur Irwanto 2007. Khusus di daerah hutan lindung di pegunungan, azas kelestarian pengelolaan hutan tidak dapat dilaksanakan dengan
baik, yang terbukti dengan adanya kerusakan-kerusakan hutan, bahkan lahan- lahan kosong yang cukup luas. Salah satu penyebabnya ialah kebutuhan rakyat
setempat yang mendesak dari hutan, antara lain kayu bangunan, hijauan makanan ternak, dan kesempatan kerja tidak dapat terpenuhi dan tersalurkan dengan baik
dan teratur Kartasubrata 1986. Sebagian besar petani tepi hutan adalah petani subsisten yang memiliki potensi sebagai pelestari, namun belum cukup kompeten
khususnya di bidang teknis kehutanan, sosial ekonomi, sosial budaya dan pertanian konservasi. Potensi perilaku petani dalam mengelola hutan lindung
bermotifkan pemenuhan ekonomi jangka pendek, mengelola komoditi non kehutanan dan mengabaikan teknis kehutanan dan pemanfaatan lahan dengan
mengabaikan pertanian konservasi Budiono 2006. Dideskripsikan dalam hasil penelitian Sidu 2006 tentang kerusakan hutan,
kerusakan Hutan Jati di Kawasan Hutan Lindung Jompi didorong oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat, keinginan atas penguasaan lahan, adanya
isu bahwa sebagian wilayah Kawasan Hutan Lindung Jompi akan menjadi wilayah perluasan kota, adanya klaim masyarakat bahwa kawasan Kontu
merupakan tanah adat, adanya komoditi kayu yang bernilai ekonomi tinggi, meningkatnya jumlah pengangguran, kurangnya lapangan kerja dan lemahnya
penegakan hukum. Lebih lanjut dikemukakan di dalam hasil penelitian Sidu
2006 bahwa: 1 kondisi modal sosial masyarakat sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi mengalami penurunanlemah, terutama disebabkan oleh
rendahnya tingkat kepercayaan tru st
antar warga masyarakat. Rendahnya tru st
ini akibat maraknya prilaku sosial yang selalu merugikan antar sesama, seperti penipuan, pencurian dan kekerasan. Rendahnya modal sosial juga dipengaruhi
secara nyata oleh masih rendahnya modal manusia terutama terkait dengan tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah; 2 proses pemberdayaan
masyarakat sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi masih sangat lemah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku
pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung melemahrendah; 3 tingkat pemberdayaan masyarakat sekitar Kawasan Hutan
Lindung Jompi tergolong rendah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh rendahnya proses pemberdayaan masyarakat dan kurang tersedianya modal fisik;
4 perpaduan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keberdayaan masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan, modal fisik, kemampuan pelaku
pemberdayaan, modal sosial dan modal manusia, merupakan model pemberdayaan masyarakat yang efektif sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi.
Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyo
★
t
✩
l
✪
2003 di Kawasan Hutan Lindung Bukit Daun Provinsi Bengkulu menghasilkan kesimpulan bahwa dari
analisis data fisik ternyata perambahan hutan tidak di latar belakangi faktor-faktor fisik dan analisis statistik faktor sosial ekonomi menunjukan bahwa pertumbuhan
penduduk dan pendapatan dari usaha tani mempengaruhi luas perambahan hutan. Ruslan 1992 melakukan penelitian dengan judul penelitian “Sistem
Hidrologi Hutan Lindung Daerah Aliran Sungai Riam Kanan Kalimantan Selatan”. Kesimpulan utama penelitian ini adalah model sistem hidrologi hutan
lindung dapat digunakan untuk menentukan penggunaan lahan yang terpilih dari segi biofisik, agar kondisi hidro-orologis hutan lindung Daerah Aliran Sungai
Riam Kanan menjadi lebih baik.
2.2
✫
u m
✬✭
r
✮✯
y
✯ ✰ ✱
t
✯
n
✲ ✳
n
✮
u n
✴ ✵ ✭✬✯ ✴✯ ✳
✫
um
✬✭
r
✮✯
y
✯
B
✭
r
✵ ✯
m
✯ ✶ ✳
✷✳✸ ✹ ✭
✴ ✯
r
✯
Berdasarkan pengertian dari fungsi pokok hutan lindung, maka hutan lindung merupakan sumberdaya alam berupa sto
✺
k yang dapat menghasilkan
fungsi-fungsi yang sifatnya
✻
n t
✩
n
✼✻✽
l
★
, seperti mengatur tata air, mencegah banjir, mencegah erosi, mengendalikan intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah.
Menurut Riyanto 2005 hasil hutan di hutan lindung adalah sumberdaya alam yang berupa barang dan jasa, yaitu flora dan fauna atau bagian-bagiannya dan non
hayati, baik yang nyata maupun yang tidak nyata, yang berasal dari hutan lindung. Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Kartodihardjo 2004 bahwa sumberdaya alam dapat digolongkan ke dalam bentuk sto
✺
k atau modal alam n
✩
tu
✾ ✩
l
✺✩
p
✻
t
✩
l seperti Daerah Aliran Sungai
DAS, danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi dan sumberdaya sebagai faktor produksi atau
sebagai barangkomoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan dan lain-lain yang
diproduksi oleh berbagai sektordinas sebagai sumber-sumber ekonomi. Sumberdaya alam dalam bentuk sto
✿
k dapat menghasilkan fungsi-fungsi
❀
n t
❁
n
❂ ❀❃
l
❄
sifatnya, seperti menyimpan air, dan mencegah terjadinya banjir di musim hujan dan mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2
di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurangi bahan beracun, maupun kekayaan alam sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya
masyarakat, dan lain-lain. Sumberdaya alam bentuk stock mempunyai fungsi- fungsi yang berguna bagi publik dan fungsi-fungsi tersebut tidak dapat dibagi-
bagikan kepada perseorangan dan tidak pula dapat dimiliki oleh perorangan. Nilai dan tujuan keberadaan sumberdaya alam dapat diinterpretasikan
berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan, yaitu sebagai p
❅ ❀
v
❁
t
❄ ❂
o o
❆ ❇ ❈✿
lu
❃ ❂
o o
❆ ❇
❈ ✿
o m
m o
n p
o o
l
❂
o o
❆ ❇
❈ ❆
❁
n p
u
❃
l
❀ ✿
❂
o o
❆
s Ostrom 1977
❆ ❁
l
❁
m Berge 2004, yang berguna
bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk
mengelolanya. Pengetahuan ini juga menentukan ketepatan pemilihan bentuk
kelembagaan Kartodihardjo 2006. Tabel 2 Tipologi barang dan jasa
Jenis sumberdaya Pengguna
❉
x
✿
lu
❆ ❁ ❃
le No
n
❊
ex
✿
lu
❆ ❁ ❃
le
❋
u
❃
t
❅ ❁
✿
t
❁❃
le
●
riv
❁
te g
o o
❆
s
❍
o mmo
n p
o o
l g
o o
❆
s No
n
❊
su
❃
st
❅ ❁
✿
t
❁ ❃
le
❍
lu
❃
g o
o
❆
s
●
u
❃
li
✿
g o
o
❆
s
Sumber: Ostrom dan Ostrom 1977
■❏
l
❏
m Berge 2004.
Sumberdaya bersama
❍
o mmo
n p
o o
l g
o o
❆
s merupakan sumberdaya alam
atau sumberdaya buatan yang bilamana seseorang menggunakan sumberdaya bersama akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, tetapi sulit
memisahkan akses pengguna Cousin 2000, Ostrom 1990, Dietz et
❁
l
❑
2002
❆ ❁
l
❁
m Quinn et
❁
l
❑
2007. Berdasarkan sifat rivalitas persaingan
✿
o mmo
n p
o o
l g o
o
❆
s misalnya danau, sungai dll termasuk barang dan jasa yang apabila dimanfaatkan
sesorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Selain itu, penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya Kartodihardjo
2006. Menurut Hardin 1968 sumberdaya alam bersama yang aksesnya bebas dan
tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua t
❅ ❁
g e
❆
y o f th
e
▲
o m
m o
n s
. Lebih lanjut dikemukakan oleh Hardin 1968 untuk mencegah sumberdaya berkembang menjadi sumberdaya bersama
▲
o m
m o
n s
dalam artian bebas akses tanpa aturan, dibutuhkan pengaturan sosial secara memaksa, yang
dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian memaksa
▲
o
▼
r
▲ ◆
o n
yang dimaksudkan adalah m
u tu
❖
l
▲
o
▼ P ▲
◆
o n
, yaitu pengaturan yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Quinn
▼
t
❖
l
◗
2007 menyatakan bahwa dijelaskan oleh Hardin 1968 pengguna
▲
o m
m o
n akan melakukan tindakan memaksimalkan aliran manfaat dari sumberdaya yang
o p
▼
n
❖▲▲ ▼
s bilamana biaya atas penggunaannya ditanggung oleh semua pengguna,
dan sebagai kesimpulannya akan terjadi penggunaan yang berlebihan terhadap sumberdaya
▲
o m
m o
n yang kemudian mengarah kepada terjadinya degradasi dan
keruntuhan
▲
o ll
❖
p s
sumberdaya. Menurut Ostrom 1990 tesis t
❘▼
t
P ❖ ❙▼ ❚
y o f th
e
▲
o mmo
n s
Hardin kurang memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam berbagai situasi
sumberdaya bersama
▲
o mmo
n s
. Kemudian solusi pencegahannya dibatasi pada argumen bagi peran yang lebih besar dari pemerintah dalam menangani masalah-
masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan. Argumen tersebut juga mengabaikan keberadaan dan potensi tata kelola dan pengelolaan sumberdaya
bersama oleh kelompok atau komunitas lokal pengguna sumberdaya tersebut. Juga mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi
sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya bersama,
termasuk hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumberdaya tersebut. Menurut Marothia 1993 banyak peneliti dan pembuat kebijakan
menganjurkan privatisasi atau pengambil alihan
▲
o mmo
n p
ro p
erty reso u
P ▲
es oleh
negara untuk pengelolaannya. Ini merupakan kesalah-pahaman yang belakangan ini semakin dipertentangkan oleh banyak ilmuwan sumberdaya alam dan mereka
mendokumentasikan secara rinci sistem
▲
o mmo
n p
ro p
erty yang mungkin
memiliki kekurangan dalam spesifikasi pemilikan dan penetapan rencana institusi dari rezim
hak pemilikan yang berlansung. Sedangkan menurut pendapat Regmi 2007 semua tipe sumberdaya
▲
o mmo
n p
o o
l tidak dapat dilindungi secara
efektif tanpa disain institusikelembagaan yang didasarkan pada masalah yang fundamental.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulankan bahwa sesungguhnya sumberdaya hutan lindung merupakan sumberdaya bersama yang apabila
dimanfaatkan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, namun sulit memisahkan para pengguna sumberdaya hutan lindung tersebut. Guna
menghindari terjadinya o p
❯
n
❱ ❲ ❲❯
s terhadap sumberdaya hutan lindung yang akan
berakibat pada kerusakan sumberdaya hutan lindung, maka hutan lindung dikuasai oleh negara atau menjadi milik negara.
2.
❳ ❨ ❩
st
❬
tu
❭ ❬ ❪
❫ ❴❵ ❛❜
m
❬ ❝ ❬
❵ ❴
n
❪ ❞ ❴
t
❴
s
❡ ❜
w
❜
n
❴
n
❢ ❴
n
❣ ❴
n
❤
tu r
❴
n
❡ ❜
t
❜
r w
❴ ❵ ❬
❝ ❴
n
Institusi adalah sekumpulan norma dan perilaku yang secara jelas mengakomodasi nilai yang terdapat dalam tujuan kolektif Uphoff 1986. Institusi
merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur saling hubungan dalam masyarakat, yang mana telah mendefinisikan tentang hak, kewajiban dan
tanggung jawab, serta hak-hak istimewa anggotanya Schmid 1987. Institusi
merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur perilaku individu North 1990. Menurut Koentjaraningrat 1997 kelembagaan dapat
diistilahkan dengan lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial, yang memiliki makna sebagai suatu bentuk yang abstrak dengan norma-norma dan aturan-aturan
tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Kemudian kelembagaan dapat pula diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan
yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Menurut Rachbini 2006 institusi adalah
satu bentuk aturan formal dan informal dalam bertindak atau berperilaku yang dapat memfasilitasi koordinasi atau memerintah hubungan antar individu dalam
organisasi atau masyarakat. Sedangkan menurut Kartodihardjo dan Jhamtani
2006 institusi adalah tataran dan pola hubungan antar anggota masyarakat, organisasi danatau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling
mengikat yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan. Institusi adalah inovasi manusia untuk mengatur dan mengendalikan sumber
hubungan saling ketergantungan antar manusia terhadap sesuatu Kartodihardjo
2004. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa institusi berkenaan dengan aturan formal dan informal yang
mengarahkan prilaku individu, organisasi atau masyarakat. Lebih lanjut dikemukakan oleh Kartodihardjo
✐
t
❥
l
❦
2004, Kartodihardjo 2008 unsur-unsur institusi terdiri atas atau dicirikan oleh batas yurisdiksi atau
batas wilayah kewenangan
❧
u
♠ ♥♦ ♣ ♥q
t
♥
o n
❥
l
r
o u
n
♣ ❥
ry , hak pemilikan p
ro p
✐
rty
♠ ♥ s t
ts dan aturan representasiketerwakilan ru l
✐
o f rep
rese n
t
❥
tio n
. Tiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
2.3.1 Hak pemilikan
Hak pemilikan menurut Schmid 1987 menggambarkan hubungan individu dengan yang lainnya terhadap sumberdaya alam atau sesuatu. Hak merupakan
instrumen untuk mengendalikan hubungan saling ketergantungan manusia dan merupakan pemecahan terhadap siapa memperoleh apa. Menurut Commons
1968 yang dikutip Ostrom 2003 hak pemilikan merupakan sebuah penyelenggaraan kewenangan otoritas untuk melakukan aksi tertentu pada
sebuah domain yang tertentu. Menurut Ostrom 2003 hak pemilikan menjelaskan aksi yang dapat dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan individu lain
berkenaan dengan “sesuatu”. Jika seseorang memiliki hak, maka seseorang tersebut mempunyai kewajiban yang sepadan atas haknya tersebut. Menurut
Bromley 1991 sebagaimana diacu Hanna dan Munashinghe 1995 hak pemilikan merupakan kumpulan hak yang diberikan dimana telah terdefinisikan
secara jelas hak dan kewajiban di dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut Hanna et
❥
l 1995 empat tipe rezim pemilikan, adalah: 1
pemilikan individual p riv
❥
te p ro
p erty
; 2 pemilikan bersama
q
o mmo
n p
ro p
erty ; pemilikan Negara st
❥
te p ro
p erty
; dan 4 akses terbuka o p
en
❥ qq
es .
Karakteristik masing-masing rezim pemilikan tersebut berdasarkan pemegang pemilikan, hak pemilik dan kewajiban pemilik oleh Hanna et
❥
l
❦
1995 diringkas sebagaimana tersaji pada Tabel 3.
Menurut Arifin 2001 pada hakekatnya terdapat empat macam hak kepemilikan atas sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan lainnya, yakni:
1 Milik Negara st
❥
te p ro
p erty
. Para individu mempunyai
✉✈
w
✇ ①②③✇
n untuk
mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang
mengelola sumberdaya itu. Demikian pula, departemen yang bersangkutan
mempunyai h
④⑤
untuk memutuskan aturan main penggunaanya. Contoh sumberdaya alam milik Negara ini adalah tanah hutan, mineral serta
sumberdaya pertambangan, dan sumberdaya alam lain yang dikuasai Negara untuk hajat hidup orang banyak.
Tabel 3 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajiban pemilik
Tipe Rezim Pemilik
Hak Pemilik Kewajiban Pemilik
Pemilikan individual Individual
Penggunaan diterima secara sosial,
mengendalikan akses Menghidari penggunaan
yang tidak dapat diterima secara social
Pemilikan bersama Kolektif
Mengeluarkan yang bukan pemilik
Pemeliharaan; membatasi tingkat penggunaan
Pemilikan negara Warga Negara
Menetukan aturan Memelihara tujuan sosial
Akses terbuka Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Sumber: Hanna
⑥⑦ ⑧
l
⑨
1995.
2 Milik pribadi p
⑩ ❶
v
❷
t
❸
p ro
p
❸
rty . Para individu pemilik mempunyai h
④⑤
untuk memanfaatkan sumberdaya sesuai aturan dan norma yang berlaku so
❹ ❶❷
lly
❷ ❹❹
❸
p t
❷ ❺
l
❸
u s
❸
s serta memiliki
⑤ ❻
w
④ ❼❽❾
④
n untuk menghindari
pemanfaatan sumberdaya yang eksesif dan tak dapat dibenarkan menurut kaidah norma yang berlaku so
❹ ❶❷
lly u
n
❷ ❹❹
❸
p t
❷ ❺
l
❸
u
❿ ❸
s . Misalnya lahan pertanian yang dimiliki perorangan termasuk di sini.
3 Milik umum
❹
o m
m o
n p
ro p
❸
rty . Kelompok masyarakat yang berhubungan
dengan sumberdaya
milik umum
mempunyai h
④ ⑤
untuk tidak
mengikutsertakan individu lain yang bukan berasal dari kelompok itu, disamping
⑤ ❻
w
④ ❼
❽❾ ④
n untuk mematuhi statusnya orang luar. Sementara itu,
setiap anggota kelompok masyarakat yang terikat dalam sistem sosial tertentu
untuk mengelola sumberdaya mempunyai h
④ ⑤
dan
⑤ ❻
w
④ ❼❽❾
④
n untuk
memelihara kelestariannya sesuai dengan aturan yang disepakati bersama. Misalnya, tanah marga atau sebidang tanah dipedesaan atau air irigasi sistem
subak di Bali, dimana penduduk yang terikat dalam kelompok sosial yang ada dapat memanfaatkan dapat memanfaatkan dan mengelolanya secara
bersama berdasarkan norma hidup dan budaya yang berlaku.
4 Tak bertuan o
p
➀
n
➁➂➂➀
s . Dalam hal ini tidak ada unsur kepemilikan atas
sumberdaya tersebut sehingga setiap orang dari kelompok sosial manapun hanya memiliki privilis privilege, siapa cepat dia dapat, tetapi bukan hak.
Hak-hak dapat dijabarkan menjadi bentuk
➁➂➂➀
ss dan w
➃
t
➄ ➅➆ ➁
w
➁
l
➇
m
➁
n
➁➈➀
m
➀
n t
➇ ➀
x
➂
lusio n
dan
➁
lien
➁
tio n
, yang kemudian dapat dibedakan hak-hak yang seharusnya dipunyai oleh empat kelompok masyarakat yang mempunyai
strata hak pemilikan dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu: o
wn e
➆ ➇ ➉
ro p
rieto
➆ ➇
➂
l
➁
im
➁
n t
, dan
➁
uto rize
➅
user Schlager dan Ostrom 1992.
Menurut Schlager dan Ostrom 1992 hak-hak terkait dengan sumberdaya adalah sebagai berikut:
1 Hak akses
➁ ➂➂
ess rig
h ts
adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non
ekstraktifnya; 2 Hak pemanfaatan with
➅➆ ➁
w
➁
l rig
h ts
adalah hak untuk memanfaatkan suatu unit sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya misalnya
menangkap ikan; 3 Hak pengelolaan m
➁
n
➁
g emen
t rig
h ts
adalah hak untuk mengatur pola pemanfaatan secara internal atau menentukan aturan operasional pemanfaatan
sumberdaya; 4 Hak eksklusi ex
➂
lusio n
rig h
ts adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain menentukan keikutsertaan-mengeluarkan pihak lain;
5 Hak pengalihan
➁
lien
➁
tio n
rig h
ts adalah hak untuk menjual dan menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut di atas. Hubungan antara hak-hak terikat dengan kelompok masyarakat yang
memiliki strata hak oleh Schlager dan Ostrom 1992 dijelaskan dalam bentuk tabel sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Menurut Harsono 1999
➅ ➁
l
➁
m Suhaeri 2005 kepastian hak atas tanah adalah serangkaian wewenang, kewajiban
dan atau larangan bagi pemegang hak untuk berbuat sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat mengenai tanah yang menjadi hak-nya.
Tabel 4 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat
Tipe Hak Pemilik
o w
n
➊➋
Pemilik Terikat
➌
ro p
r
➍ ➊➎
o r
Penyewa
➏
u t
➐
o r
➍
z
➊➑ ➒
l
➓
im
➓
n t
Pengguna
➏
uto riz
➊➑ ➔
ser Akses dan pemanfaatan
X X
X X
Pengelolaan X
X X
Eksklusi X
X Pengalihan
X Sumber: Schlager dan Ostrom 1992.
2.3.2 Batas yurisdiksi kewenangan Menurut Rachman et
→
l
➣
2002 konsep batas yuridiksi dapat memberi arti batas otoritas yang dimiliki suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya. Menurut
Katodihardjo 2008 batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi. Implikasi ekonomi dari adanya batas yurisdiksi adalah batas
suatu HPH, misalnya, untuk melakukan aktivitas ekonomi seperti batas wilayah kerja, batas skala usaha yang diperbolehkan. Dengan demikian perubahan batas
yurisdiksi berakibat terhadap kemampuan HPH menginternalisasikan manfaat atau biaya. Sepanjang tambahan manfaat melebihi tambahan biaya maka HPH
akan memperluas batas yurisdiksinya. Menurut Schmid 1988 dalam Suhaeri 2005 menjelaskan bahwa batas kewenangan diartikan sebagai batas wilayah
kekuasaan yang dimiliki seseorang terhadap sumberdaya alam. Mengingat HLPT mememiliki karakteristik dapat dimanfaatkan secara
bersama, maka persoalan batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan para penggunanya. Berdasarkan konsep batas yuridiksi sebagaimana
disampaikan di atas, maka batas yuridiksi berkenaan dengan alokasi sumberdaya HLPT merupakan batas kewenangan yang dimiliki suatu lembaga dalam
mengatur sumberdaya HLPT. Di samping itu dalam konteks pengelolaan sumberdaya HLPT batas yuridiksi menunjukkan bahwa bagaimana institusi
mengatur siapa yang tercakup dan apa yang diperoleh siapa memperoleh apa. 2.3.3
Aturan keterwakilan Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan
mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Aturan representasi mengatur
siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam pengambilan keputusan. Hal ini tercermin dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil
dan apa akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh kaidah-kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan Kartodihardjo
2008. Menurut Rachman 1999 sebagaimana diacu Rachman
↔
t
↕
l . 2002 keputusan yang diambil dan akibatnya terhadap kinerja akan ditentukan oleh
kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan kolektif.
Dengan demikian aturan keterwakilan mengatur siapa yang berhak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, keputusan apa yang diambil dan apa
akibatnya terhadap kinerja yang ingin dicapai. Apabila menginginkan perubahan alokasi dan distribusi sumberdaya secara keseluruhan dapat dilakukan dengan
aturan keterwakilan.
2.
➙ ➛➜➝ ➞
n
➟➠ ➞➠ ➟ ➡➞
n
➢ ➞
p
➞➠ ➟
t
➞
s
➛➜➝ ➞
n
➟➠ ➞➠ ➟
Organisasi adalah unit sosial yang dengan sengaja diatur, terdiri dari dua orang atau lebih yang berfungsi secara relatif terus menerus untuk mencapai
sasaran atau serangkain sasaran bersama Robbins 2008. Beberapa definisi
organisasi yang dikutip Liliweri 1997 dari beberapa ahli adalah sebagai berikut: 1 Organisasi adalah integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah
spesialis yang berkerjasama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati Thompson 1969.
2 Organisasi adalah suatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahan dan
penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi, modal, gagasan dan sumber alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam
interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan manusia dan sumber-sumbernya, dalam suatu lingkungan tertentu Bakke 1950.
3 Organisasi adalah sebuah sistem yang memaksakan koordinasi kerja antara dua orang atau lebih Barnard.
4 Organisasi modern atau yang sering disebut “birokarasi” selalu berciri: 1 sebuah organisasi selalu mempunyai struktur hierarki; 2 karena itu setiap
organisasi mempunyai hierarki wewenang; 3 setiap karyawan mempunyai wewenang-wewenang khusus yang ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria
kedudukan yang telah ditetapkan; 4 hubungan sosial dalam organisasi selalu bersifat impersonal; 5 organisasi modern atau birokrasi selalu merujuk pada
promosi karyawan atas dasar “merit”, jadi ada jenjang karier; 6 ada peraturan yang jelas tentang tugas yang harus dilaksanakan sehingga setiap orang dapat
mengambil keputusan; dan 7 pembagian tugas dan fungsi berdasarkan keahlian Max weber.
Definisi kapasitas dalam kaitannya dengan organisasi yang dikutip Bateson
➤
t
➥
l
➦
2008 dari beberapa sumber adalah sebagai berikut: 1
➧➨ ➤
➩
n ite
➫
N
➥
tio n
s
➭
evelo p
men t
➯
ro g
➲ ➥
m memendefinisikan
membangun atau mengembangkan kapasitas sebagai proses dimana individu, organisasi,
lembaga, dan masyarakat mengembangkan kemampuan secara individu dan secara bersama untuk melakukan fungsi, memecahkan masalah, dan
mencapai seperangkat sasaran hasil”. 2 Th
e
➳
o rl
➫ ➵➥
n k
menjelaskan bahwa membangun kapasitas sebagai “sebuah proses jangka panjang dengan pendekatan sistematik, merupakan permintaan
untuk memperbaiki kinerja sektor publik, dan penyediaan organisasi dengan struktur yang baik dan personel yang ahli”.
3 Th e
➸
uro p
e
➥
n
➺
en tre fo
r
➭
evelo p
men t
➯
o li
➻
y
➼ ➥
n
➥
g emen
t mendefinisikan
kapasitas sebagai “kombinasi atribut-atribut kekayaan, kemampuan dan hubungan-hubungan yang menentukan sistem manusia untuk melakukan,
bertahan dan memperbaharui diri”. 4 Th
e
➽
o
➻
iety o f
➾➚
stetri
➻
i
➥
n s
➥
n
➫ ➪
yn
➥
e
➻
o lo
g ists o
f
➺ ➥
n
➥ ➫
➥
mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan sebuah entitas seseorang, organisasi, atau
sebuah sistem melakukan fungsi sesuai yang direncanakan secara efektif, secara efisien, dan berkelanjutan untuk mencapai sasaran hasil yang telah
direncanakan dalam mendukung misi organisasi mereka
.
Kapasitas organisasi merupakan hal kritis terkait dengan efektifitas implementasi kebijakan. Konsekuensinya, legislator dan birokrat harus
memperhatikan kapasitas dalam merencanakan program. Kapasitas merupakan suatu investasi yang menunjukkan sebagian dari kualitas kebijakan atau level
implementasi kebijakan Ting 2009. Dalam perspektif kelembagaan pengertian kapasitas adalah batas kewenangan dari dua pihak atau lebih dalam mengelola,
memanfaatkan dan meningkatkan daya guna dari sumberdaya tertentu. Kapasitas lembaga merupakan fungsi dari perilaku organisasi dan kemampuan beradaptasi
Kartodihardjo
➶
t
➹
l . 1997. Dalam konteks perubahan, kapasitas dapat digambarkan sebagai organisasi
dengan beban kerja total untuk terus beroperasi dan mengubah aktivitas Anderson dan Anderson 2009. Menurut McPhee dan Bare 2001 kapasitas
organisasi non profit adalah kemampuan organisasi non profit untuk memenuhi misi mereka secata efektif.
Menurut
➘
n ite
➴ ➷
➹
y o f
➬
re
➹
ter To ro
n to
➮
th e
➱
n t
➹
rio Trillium
✃
o un
➴ ➹
tio n
➹
n
➴
th e
❐ ➹
ytree
✃
o un
➴ ➹
tio n
2009 ada enam aspek kunci yang harus diperhatikan dalam membangun kapasitas organisasi, khususnya organisasi
nirlaba. Keenam aspek tersebut adalah sebagai berikut: 1 Misi, visi dan strategi; berkenaan dengan bagaimana visi, misi dan nilai-nilai
mengarahkan pada apa yang harus diperbuat, membantu mendefinisikan hal- hal yang ingin dicapai komunitas, dan secara bersama berhubungan dengan
program dan pelayanan yang dijalankan. Wilayah ini juga berkenaan dengan bagaimana organisasi mengembangkan tujuan dan sasaran jangka pendek dan
jangka panjang serta bagaimana memonitor pencapaiannya. 2 Tata kelola dan kepemimpinan; melihat bagaimana pemimpin pengarah
ditetapkan dan memikul tanggung-jawab pekerjaan organisasi dan bagaimana tanggung jawabnya kepada sesama dan kepada pemilik modal.
3 Pencapaian target komunitas; berkenaan dengan akses dan kapasitas organisasi dalam bereaksi terhadap komunitas dan upaya tetap melayani. Selain itu, di sini
juga dikaji pada tingkat mana organisasi yang bersangkutan menjalankan usaha kolaboratif dan kemitraan dengan perwakilan komunitas lain, termasuk faktor
yang berkontribusi pada profil agen di dalam komunitasnya dan dalam hubungannya dengan pemilik modal.
4 Program dan dampak, fokus pada pendekatan organisasi di dalam penyampaian program dan pelayanan, staf pelayanan hubungan pengguna,
peluang-peluang untuk pengguna pelayanan memberikan umpan balik, sistem pengawasan dan evaluasi, rentang dan kapasitas program, dan standar
kepentingan agen, norma-norma dan pengalaman terbaik.
5 Manajemen keuangan dan perlindungan aset; mengacu kepada penganggaran dan sistem pelaporan keuangan, manajemen resiko termasuk pengurusan
kesehatan tempat kerja dan keamanannya, peningkatan dana dan tanggung- jawab pemilik modal, termasuk keberlanjutannya.
6 Sumber daya manusia; berkenaan dengan struktur organisasi dan bagaimana kerja organisasi melalui staf dan sukarelawan. Lingkungan kerja, pelatihan dan
dukungan untuk staf dan sukarelawan, kebijaksanaan dan prosedur yang memandu saling hubungan di antara agen, staf dan sukarelawannya.
Gambar 3 Aspek-aspek kunci
kapasitas organisasi
❒
n ite
❮ ❰Ï
y o f
Ð
re
Ï
ter To
ro n
to
Ñ
th e
Ò
n t
Ï
rio Trillium
Ó
o un
❮ Ï
tio n
Ï
n
❮
th e
ÔÏ
ytree
Ó
o un
❮ Ï
tio n
2009. Indikator-indikator yang menunjukan kapasitas organisasi adalah visi dan
rencana strategis, kepemimpinan, manajemen organisasi, sumberdaya manusia, pengembangan sumber daya, manajemen keuangan, struktur kemitraanjaringan
dan kapasitas program Th e N
Ï
ture
Õ
o n
serv
Ï
n
Ö
y 2001.
Aktivitas di dalam membangun kapasitas organisasi terkait dengan aspek kunci kapasitas organisasi
adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 3. Menurut Bateson et
Ï
l. 2008 kapasitas organisasi dapat dinilai berdasarkan wilayah kapasitas inti. Secara rinci
wilayah kapasitas inti yang dinilai disajikan pada Tabel 5. Dalam membangun
Kepekaan pencapaian target komunitas
Kemitraan strategis Akses dan keadilan
Manajemen keuangan dan perlindungan asset
Rencana keberlanjutan Teknologi informasi
Pengembangan dana Misi, Visi strategi
Rencana strategis Rencana operasional
ר
t
Ù
v
Ù
t
Ú
s m
Û
m
Ü Ú
n
Ý
u n
ØÚ
p
Ú
s
Ù
t
Ú
s
Sumberdaya manusia Perekrutan tenaga kerja
Struktur tempat kerja Perekrutan sukarelawan
dan pengelolaanya Tata kelola
kepemimpinan Pengembangan pengarah
Pengembangan
kepemimpinan Program dan dampak
Disain program dan pengembangan
Sistem evaluasi pengawasan
kapasitas organisasi, yang harus dikerjakan oleh organisasi dengan pengarah dan stafnya adalah: 1 menilai kapasitas organisasi saat ini; 2 mengenali kekuatan
organisasi dan wilayah perbaikan; 3 membuat rencana pengembangan
kapasitas; 4
melaksanakan aktivitas
membangun kapasitas
dengan mengedepankan prioritas; dan 5 menilai hasil dari implementasi aktivitas
membangun kapasitas. Tabel 5
Alat penilai kapasitas organisasi berdasarkan perspektif kapasitas utama, deskripsi kapasitas dan wilayah kapasitas inti yang dinilai
Perspektif kapasitas utama untuk penilaian
kapasitas organisasi Deskripsi kapasitas
Wilayah kapasitas inti yang dinilai
Faktor kebudayaan organisasi.
Faktor kebudayaan menguji apa yang memotivasimendorong untuk kesuksesan
organisasi. Faktor ini mengarah pada tiga hal yang mendasari kemampuan organisasi
untuk berfungsi dan bertahan. Visi dan misi
organisasi, budaya organisasi, insentif
organisasi.
Faktor kapasitas operasional.
Faktor operasional mewakili gabungan saling hubungan dari tujuh area inti
indikator yang menopang kemampuan organisasi untuk berbuat, tumbuh dan
bertahan. Kepemimpinan dan
strategi, struktur tata- kelola dan manajemen,
manajemen keuangan, sumberdaya manusia,
sistem dan prosedur, komunikasi,
infrastruktur.
Faktor kinerja organisasi.
Faktor kinerja organisasi menguji empat wilayah yang berhubungan dengan tujuan
dan sasaran organisasi sehingga organisasi dapat terus ada.
Efektivitas, efisiensi, relevansi organisasi,
kesehatan finansial
Faktor eksternal dan persepsi.
Faktor eksternal dan persepsi mengarah pada empat wilayah yang mencerminkan
kenyataan organisasi bukanlah entitas yang terisolasi tetapi beroperasi di
lingkungan yang dinamis dengan banyak unsur yang saling terkait.
Aturan dan norma- norma, kerangka kerja
legal dan politik, hubungan dan jaringan,
pemilikan dan partisipasi
Sumber: Bateson
Þß à
l
á
2008.
2.
â ã
o o
r
äå
n
æ ç å
è
n t
æ
r
éêëæ
n
å ç æ ç
å ìí î
m
ï æ ëæ
Menurut Malone dan Crowston 1990 sebagaimana diacu
ð ñ
l
ñ
m Kim 1996 koordinasi merupakan aksi mengelola saling ketergantungan diantara
berbagai bentuk aktivitas untuk mencapai tujuan. Menurut Hogl 2002 Koordinasi antar sektor dapat dinyatakan sebagai proses atau sebuah
statuskeadaan. Mendefinisikan koordinasi antar sektor sebagai proses menyiratkan pertanyaan “bagaimana koordinasi dibuat? Secara umum, proses
tersebut berkenaan dengan pengorganisasian dan rekonsiliasi dari proses dan aktivitas yang berbeda, menuju keteraturan dan kekompakan. Dalam terminologi
kebijakan berarti rekonsiliasi kebijakan dan program sektor. Koordinasi merupakan spektrum luas kegiatan bersama para agen negara.
Kegiatan ini dapat berada dimana saja di rangkaian komunikasi hinga kerja sama kolaborasi, tergantung pada keluaran apa yang akan dicapai agen, apa yang
dibagi dan dipertanggung-jawabkan, sumber resiko atau implikasi SSC 2008. Koordinasi dapat dipilah menjadi dua, yakni Zingerli
ò
t
ó
l . 2004: 1 koordinasi negatif n
ò ô
ó
t
õ
v
ò ö
o o
÷ ø õ
n
ó
t
õ
o n
yang menyiratkan derajat kerjasama yang rendah dimana aktor tunggal hanya bertujuan mengoptimasi manfaatfaedah aktivitasnya
sendiri pada waktu tertentu. Aktor mengadakan reaksi politik secara negatif pada usul kebijakan, jika mereka melihat kemungkinan berkonsekuensi pada biaya; dan
2 koordinasi positif p o
ù õ
t
õ
v
ò ö
o o
÷ ø õ
n
ó
t
õ
o n
yang menyiratkan derajat kerjasama yang tinggi dimana dari waktu ke waktu para aktor berusaha mengoptimalkan
manfaat dari sejumlah aktivitas. Politik aktor mengevaluasimenilai pilihan dan komitmen banyak aktor dan orang yang bersangkutan dan pilihan apa yang
mereka anggap optimal dalam perspektif jangka panjang. Berlawanan dengan koordinasi negatif, keputusan aktor tidak hanya atas dasar kejadian tunggal, tetapi
kadang-kadang setuju menerima resiko dengan harapan kompensasi dalam interaksi di masa depan. Setelah membangun pola koordinasi dengan sejumlah
keuntungan penting, selanjutnya, aktor bertindak secara ekonomis rasional sejak sewaktu mereka menerima kehilangan dalam kreasi pola koordinasi yang
biasanya sangat mahal. Berdasarkan perspektif teori kesejahteraan, koordinasi positif memberi harapan hasil yang jauh lebih baik untuk maksimasi kesejahteraan
umum daripada koordinasi negatif. Koordinasi positif paling mungkin untuk di dipupuk melalui dilembagakannya interaksi dan dengan fokus negosiasi pada isu-
isu kepentingan bersama. Berdasarkan konsep koordinasi yang dikemukan oleh Malone dan Crowston
1990, Hogl 2002, Zingerli
ò
t
ó
l . 2004 dan SSC 2008 dapat disimpulkan bahwa komponen koordinasi adalah 1 aktorsektororganisasi; 2 saling
ketergantungan; 3 aktivitas sektoraktororganisasi; dan 4 tujuan yang ingin dicapai.
Dari sudut pandang aktor individual, secara umum dapat dijustifikasi bahwa keuntungan koordinasi tidak dapat hadir dengan sendirinya
úû
n n
o t
ü ý þÿ
v
ý
n .
Keseluruhan manfaat harus diperhitungkan. Dari perspektif itu, koordinasi adalah diinginkan jika direncanakan aksi yang dapat menambah capaian kesejahteraan
yang tidak terjangkau dengan pengambilan keputusan aktor individual secara bebas. Keuntungan yang dapat diharapkan dari koordinasi antar sektor, meliputi:
1 dapat mencapai tujuan yang tidak bisa dicapai sendirian; 2 dapat meningkatkan kesempatan bahwa alternatif kebijakan yang dipilih dipastikan
mengakibatkan pencapaian kesejahteraan keseluruhan yang lebih tinggi; 3 dapat membantu ke arah mencegah kehilangan kesejahteraan secara menyeluruh karena
kebijakan dapat memberikan efek kesejahteraan positif untuk aktor individual; dan 4 dapat menghadirkan legitimasi dan penerimaan kebijakan publik Hogl
2002. Koordinasi melihat secara luas solusi atas fragmentasi sektoral yang ada
dipemerintahan disebuah negara yang melaksanakan manajemen publik. Fragmentasi disebabkan oleh pengembangan agen, pengembangan fortofolio
kementerian yang mengarah kepada banyaknya jumlah pilihan, dan di beberapa wilayah karena adanya penekanan berlebihan pada petanggung jawaban vertikal
atas keseluruhan pendekatan pemerintah. Fragmentasi membuat pengkoordinasian layanan menjadi lebih rumit, menambah biaya karena duplikasi layanan dan
usaha, dan kaburnya tanggung-jawab untuk beberapa isu SSC 2008. Lebih lanjut dikemukakan oleh SSC 2008 apabila mekanisme tanggung-jawab vertikal
masih dilihat sebagai suatu cara efisien untuk memastikan kinerja agen, maka mereka memerinci isu ke dalam bagian komponenya. Pendekatan ini tidak efektif
memecahkan isu kompleks dan hasilnya tidak baik, yakni tak tertanganinya isu lintas organisasi. Bila pengkoordinasian agen-agen benar-benar atas isu kompleks,
maka dapat dikembangkan solusi berdasarkan kesepakatan sehingga intervensi lebih efektif.
Harapan tercapainya peningkatan layanan tidak hanya sebatas reorientasi agen mengenai kelompok yang dilayani dan resiko duplikasi layanan.
Hal tersebut sangat jelas berkenaan dengan penguatan koordinasi lintas agen. Koordinasi merupakan sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai
pihak karena perubahan lingkungan yang begitu cepat. Kegagalan di dalam
membangun tujuan organisasi merupakan penyebab kegagalan dalam koordinasi. Koordinasi membutuhkan pertukaran informasi yang intensif antar semua pihak
untuk mengkonfirmasikan sejumlah data detail sumberdaya untuk mencapai tujuan Moekayat 1994. Dalam konteks pelayanan pemerintahnegara, koordinasi
berarti saling berbagi informasi, sumber daya dan tanggung jawab untuk mencapai hasil tertentu SSC 2008.
Menurut Malone 1993 sebagaimana diacu Karyana 2007 koordinasi dan saling ketergantungan merupakan topik yang sering dibahas dalam studi
organisasi. Keduanya memiliki keterkaitan erat, karena koordinasi dalam banyak kasus merupakan masalah yang timbul sebagai akibat saling ketergantungan.
Tiga komponen utama koordinasi adalah tugas dan fungsi t sk , ketersediaan sumberdaya r
✁
so u
✂ ✄ ✁
s dan kegiatan
✄
t
☎
v
☎
t
☎✁
s .
Secara konseptual kooperasi, koordinasi dan integrasi memiliki kemiripan tetapi berbeda dan dapat dipilah di dalam bentuk hirarki yang menunjukan
perbedaan tujuan dan sasaran hasil Stead dan Meijers 2004
✆
l m Zingerli
✁
t l . 2004.
Kooperasi, koordinasi dan integrasi mengindikasikan
reorientasi pembuatan kebijakan dari kebijakan sektoral bebas kepada pembuatan kebijakan
yang terkoordinasi dan terpadu Zingerli
✁
t l . 2004. Menurut Peters 1998 yang dikutip oleh Hogl 2002, aspek berikut dapat
digunakan untuk menjelaskan atau mengukur koordinasi antar sektor; 1 derajat pemborosan dua atau lebih dari dua kegiatanprogram organisasi mengarah pada
tujuan yang sama, namun tanpa adanya saling pertimbangan antar organisasi; 2 derajat inkoherensi dua atau lebih dari dua
kegiatanprogram organisasi mengarah pada tujuan berbeda atau didasarkan pada acuan yang berbeda; 3
derajat kesenjangan kebijakan isu-isu penting tidak tertangani atau tidak teragendakan.
Menurut Hogl 2002 skala koordinasi kebijakan p o
l
☎ ✄
y
✄
o
✝
o
✂ ✆ ☎
nt
☎
o n
✞ ✄
l
✁
dan skala kapasitas koordinasi
✄
o
✝
o
✂ ✆ ☎
nt
☎
o n
✄
p
✄ ☎
ty
✞ ✄
l
✁
dikembangkan oleh Metcalfe 1994 dan 1997. Logisnya kapasitas koordinasi dibangun dari bawah melalui tahap demi tahap. Banyak masalah koordinasi dapat
dipecahkan pada tingkat yang lebih rendah tanpa menerapkan tuntutan permintaan koordinasi pada tingkat lebih tinggi. Di sisi lain, efektivitas koordinasi tingkat
yang lebih tinggi bergantung pada kehandalan kapasitas koordinasi pada tingkat yang lebih rendah. Oleh karena itu, logika ini menyatakan bahwa sistem
koordinasi yang handal bergantung pada rangkaian bangunan kapasitas koordinasi sebagaimana tergambar pada pada Tabel 6, dan dimulai dari tahap pertama.
Tabel 6 Skala kapasitas koordinasi
Tahap 8 Menetapkan sebuah strategi keseluruhan sektor terkait. Langkah ini merupakan
tambahan untuk lebih melengkapi, yang mau tidak mau harus dapat dicapai di dalam praktek.
p Tahap 7
Menetapkan persetujuan bersama atau sejumlah prioritas. Persetujuan antar sektor untuk prioritas bersama danatau pemerintah pusat meletakkan landasan utama
kebijaksanaan dan menetapkan prioritas diantara sektor terkait. Tahap 6
Mendefinisikan batasan bersama dengan menyusun parameter aktivitas sektoral. Organisasi pusat pengambil keputusan antar sektor secara aktif berperan membatasi
kegiatanaktivitas sektoral. Parameter menjelaskan apa yang aktor sektor harus tidak lakukan, tidak terbatas hanya merumuskan apa yang mereka dapat lakukan.
p
✟
Tahap 5 Arbitrasi perbedaan antar sektor. Dimana perbedaan antar sektor tidak dapat
dipecahkan melalui proses koordinasi horizontal seperti dijelaskan pada langkah 2 sampai 4, sebuah mekanisme terpusat biasanya digunakan untuk menyetujui
penerapan prosedur untuk arbitrasi contoh: hirarki pemerintah, pemungutan suara.
✠
Tahap 4 Menghindari kebijakan menyimpang diantara sektor dan mencari persetujuan.
Memperhatikan koordinasi negatif untuk menemukan perbedaan dan saling mencegah efek negatif, aktororganisasi bekerja sama, seperti kemitraan dan tim
proyek, karena mereka memahami saling ketergantungan dintara mereka dan mereka saling memiliki minat dalam memecahkan perbedaan kebijakan.
Step
✡
Tahap 3 Konsultasi dengan yang lain. Merupakan proses dua arah. Sektoraktor memberitahu
sektoraktor lain tentang apa yang mereka lakukan, mereka saling berkonsultasi dalam proses merumuskan kebijakan mereka.
Tahap 2 Pertukaran informasi diantara sektor. Sektoraktor saling menjaga isu-isu terbaru
yang muncul dan bagaimana mereka menyarankan bertindak di wilayah mereka sendiri. Kehandalan dan diterimanya saluran komunikasi reguler yang ada.
Tahap 1 Sektoraktor mengatur dengan bebas sesuai domainhak hukum mereka. Setiap
sektor mempertahankan otonominya di dalam cakupan wilayah kebijakannya.
Sumber: Metcalfe 1994; dimodifikasi Karl Hogl 2002.
Sebagai contoh, kegagalan koordinasi mungkin berkaitan dengan batas kewenangan yang bermakna ganda atau bertentangan tahap 1, dapat juga
kegagalan berasal dari kekurangan informasi tahap 2 atau kurang konsultasi tahap 3. Kegagalan koordinasi ini dapat di hindari dengan kecukupan informasi
dan kecukupan konsultasi, tetapi kedua langkah tersebut tidak dapat dihapus untuk dapat berhasil mencari persetujuan kebijakan dalam kasus perselisihan
serius tahap 4. Sebaliknya, menurut Metcalfe 1997 yang dikutip Hogl 2002 manajemen konvensional sering dimulai dari anggapan bahwa pertama dan yang
paling mendesak adalah mendefinisikan keseluruhan prioritas dan keluasan strategi langkah 7 dan 8. Ini secara implisit mengambil kehandalan lain tingkat
kapasitas koordinasi untuk dijalankan. Sebagai konsekuensinya, pernyataan misi, program dan ekspresi lain berupa prioritas yang luas hanya menjadi retorika kata-
kata indah dalam pidato kosong tanpa infrastruktur koordinasi.
2.
☛ ☞✌
r
✍ ✌
p
✍ ✎ ✏✑
n
☞✌
r
✎✒ ✑ ✓
u
✔
n
✏ ✎
v
✎ ✏
u
Arti persepsi adalah pengalaman seseorang tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan tentang objek tersebut Liliweri 1997. Menurut Liliweri manusia mempersepsi manusia lain atau benda-benda disekitarnya. Persepsi
terhadap manusia selalu disebut persepsi antar pribadi, sedangkan persepsi kepada yang bukan manusia disebut persepsi objek.
Menurut Robbins 2008 persepsi adalah proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan
makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian, apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan obyektif. Faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi dijelaskan oleh Robbins dalam bentuk Gambar 4.
Gambar 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Robbins 2008. Variabel individual seperti persepsi mempengaruhi perilaku Gibsons
✕
t
✖
l
✗
1996. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku seseorang sangat diwarnai oleh banyak faktor serta persepsinya tentang faktor-faktor tersebut. Persepsi yang
dimiliki itu pulalah yang turut menentukan bentuk, sifat dan intensitas peranannya dalam kehidupan organisasional Siagian 1986. Mengingat demikian eratnya
antara persepsi seseorang dengan perilakunya, maka mutlak perlu memahami dan
Faktor pada target
1
Hal baru
2
Gerakan
3
Bunyi
4
Ukuran
5
Latar belakang
6
Kedekatan Faktor pada pemersepsi
1 Sikap 2 Motif
3 Kepentingan 4 Pengalaman
5 Pengharapan Persepsi
Faktor dalam situasi 1 Waktu;
2 Keadaantempat kerja 3 Keadaan sosial
mendalami persepsi individu untuk kepentingan upaya pencapaian tujuan kelompokorganisasi.
Menurut Gibsons 1996 persepsi berperan dalam penerimaan ransangan, mengaturnya, menterjemahkan dan mengiterpretasikan
rangsangan yang sudah teratur itu untuk mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap.
2.7
✘
o t
✙
v
✚ ✛ ✙
✜ ✚
n
✢✣
r
✙ ✤ ✚ ✥
u
✦ ✧✜ ✙
v
✙ ✜
u
Menurut Robbins 2008 motivasi adalah proses yang ikut menentukan intensitas, arah dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran. Meski
motivasi umum terkait dengan upaya kearah sasaran apa saja, kami menyempitkan fokus pada tujuan organisasi agar mencerminkan minat tunggal
kita terhadap perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. Menurut Gibson
★
t
✩
l
✪
1996 motivasi berkaitan dengan perilaku dan kinerja. Lebih lanjut dikemukakan oleh
✫
i
✬
so n
et
✩
l
✪
1996 motivasi merupakan konsep yang kita gunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau di dalam seseorang
individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Menurut Robbins 2008 dan Gibsons et
✩
l . 1996, teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki kebutuhan yang diungkapkan oleh Abraham
Maslow. Menurutnya, bahwa di dalam diri semua manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan, yaitu: 1 fisiologis, antara lain makan rasa lapar, minum
haus, perlindungan pakaian dan rumah, sembuh dari rasa sakit, seks dan kebutuhan jasmani lain; 2 keamanan; antara lain keselamatan dan perlindungan
terhadap kerugian fisik dan emosional, kebutuhan untuk kemerdekaan dari ancaman; 3 sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik, dan
persahabatan; 4 penghargaan, mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor penghormatan dari luar seperti misalnya
status, pengakuan dan perhatian; dan 5 aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi sesorangsesuatu sesuai ambisinya, yang mencakup pertumbuhan, pencapaian
potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri. Menurut McClelland 1992 dalam teori kebutuhan terdapat tiga kebutuhan utama yang mendorong memotivasi
individu untuk berperilaku dengan cara tertentu, yaitu: kebutuhan akan pencapaian, kebutuhan akan hubungan dan kebutuhan akan kekuatan.
2.8
✭
r
✮
n
✯ ✮
p
✰✮✯ ✱ ✮
n
✲
n st
✮
tu
✯ ✮
✳✱
n
✭
r
✮
n
✯ ✮
p
✰✮✯ ✱✮
n R
✴
z
✮
m
✵ ✱✶ ✭✴
m
✮✷✮✶✱
n
Prinsip disain didefinisikan sebagai konsepsi yang menggunakan secara sengaja maupun tidak sengaja keberlangsungan asosiasi individu-individu dengan
mengangkat kembali prinsip pengorganisasian Ostrom 1995. Terkait dengan sumberdaya milik bersama
✸
o m
m o
n p
o o
l
✹ ✺
so u
✹ ✸
✺
s ,
Ostrom 1990 mengemukakan bahwa dalam institusi sumberdaya milik bersama terdapat
beberapa prinsip yang harus dirancang agar institusi tersebut dapat berlangsung secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1 Prinsip batas yang ditentukan secara jelas untuk dapat menentukan kepemilikan seseorang atau rumah tangga terhadap sumberdaya tersebut;
2 Prinsip kongruensi, yaitu distribusi manfaat dengan aturan yang tepat, proporsional dengan pembiayaannya, kemudian aturan yang tepat terkait
dengan waktu, tempat, teknologi dan kuantitas unit sumberdaya terkait dengan kondisi lokal;
3 Prinsip pengaturan pilihan kolektif, yaitu hampir semua individu dipengaruhi oleh aturan operasional yang dapat merubah partisipasinya dalam pelaksanaan
pengaturan; 4 Prinsip adanya kegiatan yang sifatnya memonitor kondisi sumberdaya dan
prilakunya penggunannya yang akuntabel; 5 Prinsip pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan yang
diterapkan sesuai dengan tingkatan kesalahan dan konteks kejadian pengguna, dari petugas yang akuntabel atau dari pengguna lainnya atau keduanya;
6 Prinsip aturan mekanisme penyelesaian konflik di antara pengguna dan antara pengguna dan petugas yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan
tersedia secara lokal; 7 Prinsip adanya pengorganisasian hak yang diakui para pengguna atau
kelembagaan yang tidak dapat dicampurtangani oleh pemerintah. Menurut Agrawal 2001 studi yang dikerjakan Wade 1988 pada institusi
irigasi telah menambah daftar faktor yang memfasilitasi kesuksesan institusi, beberapa faktor disebutkan terus secara regular. Faktor tersebut diantaranya
adalah ukuran kelompok kecil, batas sumberdaya dan keanggotaan kelompok pengguna terdefinisi secara jelas, kemudahan dalam monitoring dan penegakan
aturan, dan kedekatan lokasi antara pengguna dan sumberdaya. Menurut
Kartodihardjo 2006 kelembagaan untuk pengelolaan
✻
o m
m o
n p
o o
l
✼
o o
✽
s didasarkan atas beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya
alam, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, maupun pengakuannya oleh peraturan dan perundangan
yang lebih tinggi. Kumpulan faktor kritis
✾ ✿
t o f
✻
riti
✻ ❀
l f
❀ ✻
to r
sebagai penentu kesuksesan pengaturan sumberdaya
✻
o mmo
n p
o o
l hasil identifikasi Robert Wade, Elinor
Ostrom, Jean-Marie Baland dan Jean-Philipe Platteu yang disintesis oleh Agrawal 2001 dan dapat diaplikasikan pada
✻
o mmo
n s in
stitutio n
s adalah sebagaimana
tersaji pada Tabel 7. Menurut Agrawal 2001 daftar faktor-faktor ini Tabel 7 dapat diaplikasikan pada seluruh institusi sumberdaya milik bersama. Faktor-
faktor tersebut akan sangat bermanfaat untuk memusatkan pengkajian pada kondisi hubungan sebab-akibat yang menunjang keberlanjutan.
Disain rezim hak pemilikan harus merefleksikan tujuan dan sasaran kemasyarakatan. Selanjutnya tugas dalam mendisain rezim hak pemilikan harus
harmonis dengan tujuan kemasyarakatan untuk kinerja ekonomi, keadilan dan pemeliharaan lingkungan ekologi. Tujuan ini dapat secara eksplisit dan implisit
yang dibentuk oleh tradisi budaya, diskursus sosial dan dinamika ekonomi Hanna et
❀
l
❁
1995. Menurut Hanna et
❀
l
❁
1995 mendefinisikan kepentingan individu-individu atau kelompok dalam hubungannya dengan sumberdaya Bromley 1989 adalah
hal yang fundamental pada disain hak pemilikan p ro
p erty rig
h ts
✽
esig n
Runge 1984; Young 1992. Syarat disain selanjutnya adalah kepastian struktur insentif
in
✻
en tive
stru
✻
ture yang merefleksikan aturan tujuan jangka panjang untuk
keberlanjutan sistem ekologi Jentoft 1989; Pinkerton 1989; Ostrom 1993. Sehubungan dengan keharmonisan temporal adalah isu keharmonisan spasial
sp
❀
ti
❀
l
✻
o n
g ruen
✻
e . Hal ini penting untuk menjamin rezim hak pemilikan
memiliki batas yang terdefinisikan secara jelas, sehingga batas konsisten dengan batas alami sistem ekologi Constatnza dan Daly 1992; Berkes dan Folke 1994;
Gunderson et
❀
l . 1994; Smith 1994. Selanjutnya, disain juga harus menyangkut “distribusi otoritas”. Rezim berfungsi baik jika keputusan aturan konsisten dengan
pemilikan, sebagai contoh bilamana sumberdaya dimiliki secara kolektif maka harus dikelola dengan tatanan pilihan kolektif Ostrom 1990.
Tabel 7 Kumpulan faktor kritis untuk kesuksesan pengaturan sumberdaya milik bersama
❂
o m
m o
n p
o o
l
❃ ❄
so u
❃ ❂❄
s hasil identifikasi Wade, Ostrom,
Baland dan Platteau yang disintesis oleh Agrawal 2001
Kumpulan Faktor s
❅❆
o f f
❇❈❆
o r
1. Karakteristik sistem sumberdaya
a. Ukuran kecil b. Batas sumberdaya yang didefinisikan dengan jelas
2. Karakteristik kelompok
a. Ukuran kecil b. Batas kelompok yang didefinisikan dengan jelas
c. Norma berbagi d. Pengalaman sukses di masa lalu - modal sosial
e. Kepemimpinan yang tepat - muda, familiar dengan perubahan
lingkungan eksternal, mempunyai koneksi dengan elite tradisional lokal
f. Saling ketergantungan antar anggota kelompok g. Ragam dukungan, identitas dan kepentingan
3. Saling hubungan antara karakteristik
sistem sumberdaya dan karakteristik
kelompok a. Tumpang tindih lokasi tempat tinggal kelompok pengguna dan
lokasi sumberdaya b. Tingkat ketergantungan anggota kelompok terhadap
sumberdaya tinggi c. Kewajaran dalam alokasi manfaat dari “common resource”
4. Pengaturan institusi a. Aturan sederhana dan mudah untuk dipahami
b. Memikirkanmerencanakan akses lokal dan aturan pengelolaan c. Mudah dalam penegakan aturan
d. Diselesaikannya sanksi e. Tersedianya pengadilan keputusan hakim dengan biaya murah
Sumber: Agrawal 2001.
2.9
❉❊
m
❋●
y
●
r
●
n J
●❍ ● ■ ❏
n
❑▲
u n
❑ ●
n
Menurut Wunder 2005 pembayaran untuk jasa lingkungan p
▼
ymen t
fo r
en viro
n men
t
▼
l servi
❂
es adalah 1 transaksi sukarela vo
lun t
▼
ry t
❃ ▼
n
◆ ▼❂
tio n
; 2 jasa lingkungan yang terdefinisi dengan baik well
❖ P
efin e
P
en viro
n men
t
▼
l servi
❂
e ; 3 melibatkan minimum satu pembeli jasa lingkungan; 4 dari
minimum satu penjual jasa lingkungan; dan 5 hanya berlaku jika jasa layanan terus dapat disediakan penghasil jasa.
Berdasarkan definisi pembayaran jasa lingkungan menurut UNSAID dan RMI 2007 paling tidak ada 4 empat
karakteristik skema
◗ ▼
ymen t
fo r
❘
n viro
n men
t
▼
l
❙
ervi
❂
es PES, yaitu: 1
pembayaran jasa lingkungan dikembangkan berdasarkan azas sukarela dan negosiasi-negosiasi para pihak; 2 mekanisme transaksi dan jasa yang
ditransaksikan dapat terdefinisi secara jelas dan dapat diukur; 3 transaksi melibatkan paling tidak satu pihak penyedia jasa sebagai penjual jasa lingkungan
dan satu pihak sebagai penerima manfaat sebagai pembeli jasa lingkungan; dan 4 skema kontrak harus mampu menjamin akan keberlanjutan skema dan aliran
manfaat dalam waktu yang diperjanjikan. Empat tipe jasa lingkungan yang sering dilaporkan sebagai subjek dari
skema pembayaran untuk jasa lingkungan Landell-Mill dan Porras 2002, Grieg- Gran dan Bann 2003, Wunder 2005
❚❯
l
❯
m Kanounnikoff 2006 adalah: 1 Layanan daerah aliran sungai w
❯
t
❱❲ ❳ ❨❱ ❚
❳ ❱
rv
❩❬❱
s ; memiliki cakupan yang
cukup luas, meliputi kontrol terhadap aliran air atau kontrol terhadap kualitas air, yang berhubungan dengan ekosistem alami tertentu seperti hutan dan air
tawar. Batasan pembayaran jasa pelayanan air termasuk daya ungkit politis atas penyedia pelayanan daerah aliran sungai yang persediaan pelayanan airnya
memiliki justifikasi ilmiah. 2 Penyerapan karbon
❬ ❯
❲ ❭
o n
❳ ❱
q u
❱
st
❲ ❯
t
❩
o n
; Ekosistem hutan merupakan penyedia utama pelayanan penyerapan karbon. Pembayaran untuk pelayanan
penyerapan karbon dilakukan dengan menghindari penebangan hutan, akan tetapi masih dihadapkan pada transaksi biaya tinggi dan ketidakpastian dengan
tergantung pada aturan perdagangan karbon internasional dan efektivitas jangka panjang Grieg-Gran dan Bann 2003.
3 Konservasi keanekaragaman hayati
❭❩
o
❚ ❩
v
❱ ❲ ❳ ❩
ty
❬
o n
❳ ❱
rv
❯
t
❩
o n
; Jasa
konservasi keanekaragaman
hayati sulit
untuk menjadi
subyek valorizationperhitungan khususnya yang berkenaan dengan nilai intengible
tak dapat dihitung langsung, ketidakpastian bertalian dengan persediaan pelayanan dan jenis dan jumlah manfaat yang belum pasti dan adanya transaksi
biaya tinggi Grieg-Gran dan Bann 2003. 4
Keindahan bentang lahan l
❯
n
❚ ❳ ❬
❯
p
❱ ❭ ❱
u ty
; keindahan bentang alam lazim disediakan oleh ekosistem alami, volarisasi nilai pelayanan dari keindahan
bentang alam pemandangan dapat berupa pembayaran operator turis lingkungan
untuk memperoleh akses ke wilayah yang memiliki keindahan bentang alam pemandangan tersebut. Sebagai pembatas utama internalisasi
dari pelayanan keindahan pemandangan sejauh ini masih mengacu kepada kenyataan, pelayanan keindahan pemandangan lebih berbasis pada persediaan
oleh pemerintah dan dicirikan dengan penetapan biaya below-cost pricing
Grieg-Gran and Bann 2003. Akan tetapi, tipikal keindahan pemandangan menyajikan nilai guna langsung externalitas langsung dari ekosistem dan
karenannya diterapkan pembayaran jasa
lingkungan terutama dengan menggunakan nilai tidak langsung untuk menambah perbedaan nilai
pembayaran jasa lingkungan dari instrumen kebijaksanaan lingkungan lainnya.
Skema pembayaran jasa lingkungan merupakan mekanisme pembiayaan yang memerlukan kreasi atas pengumpulan dan pengelolaan dana dari penerima
manfaat. Dalam teori, penerima manfaat tidak harus membayar lebih dari nilai pelayanan yang mereka terima. Diperlukan besaran nilai pelayanan jasa
lingkungan yang layak, oleh karenanya aturan merupakan tantangan utama bagi kelahiran skema pembayarana jasa lingkungan. Penilaian ini meliputi proses
analisis ekonomi dengan konsultasi yang luas dengan penerima manfaat dalam rangka pengaturan sumbangan yang bisa diterima oleh mereka dan cukup bagi
pendanaan sistem pembayarana jasa lingkungan. Tujuan kunci dari skema pembayarana jasa lingkungan adalah menghasilkan aliran pendapatan yang stabil
dan terus menerus yang dapat memastikan keberlanjutan sistem untuk jangka panjang. Pendapatan dapat berasal dari pajak-pajak, biaya dari pengguna, subsidi
pemerintah, sumbangan langsung, dana bantuan atau pinjaman dari lembaga internasional atau donasi oleh NGO internasional atau yayasan Mekanisme
pembayaran harus juga dirancang untuk mengantarkan dana sampai pada pengguna lahan l
❪
n
❫
u
❴ ❵
rs . Dalam teori, pembayaran yang diberikan kepada
pengguna lahan harus cukup untuk mengganti kerugian atas ongkos konservasi dan biaya kesempatan penggunaan lahan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan
keseimbangan antara pembayaran maksimal yang mau disediakan penerima manfaat
❛ ❵
n
❵
fi
❜
i
❪
ries dan pembayaran minimal atas jasa layanan lingkungan
yang dapat disediakan oleh pengguna lahan Mayrand dan Paquin 2004.
2.
❝ ❞❡
n
❢
r
❣❤ ✐ ❥
st
❡
tu
❦ ❡
❧❤
n
❞❡
n
❢
r
❣ ❤
R
❢
z
❡
m
♠❤ ♥ ♦
❢
m
❡ ♣❡ ♥ ❤
n
Menurut Schmid 1987 kinerja institusi diukur oleh siapa mendapat apa dan biaya siapa yang dipertimbangkan. Pada sekelompok orang kinerja institusi
ini dapat dilihat pada tingkat kehidupan, keamanan, kualitas lingkungan, dan
kualitas kehidupan secara umum. Kinerja institusi juga dapat dilihat pada distribusi sumberdayakekayaan dan kesempatan. Atau diukur dari kebebasan
bebas melakukan pilihan untuk bertransaksi, pertumbuhan optimalisasi total dari nilai produksi dan efisiensi pilihan untuk mengoptimalkan pengeluaran dan
pemasukan. Menurut Uphoff 1986a kinerja suatu institusi diukur dari bagaimana institusi menyelesaikan empat tugas pokoknya. Keempat tugas pokok
tersebut, meliputi: 1 pengambilan keputusan termasuk perencanaan dan evaluasi; 2 mobilisasi dan manajemen sumberdaya; 3 komunikasi dan
koordinasi; dan 4 penyelesaian konflik. Selanjutnya Menurut Hanna
q
t
r
l
s
1995 kinerja rezim hak pemilikan dapat diukur melalui satu atau kombinasi dari tiga dimensi: ekonomi, sosial dan ekologi.
Seluruh dimensi adalah saling berhubungan, saling mempengaruhi dan memiliki keterkaitan keterlekatan:
q
m
t q
✉ ✉ q
✉
dalam sebuah sistem. Ukuran kinerja untuk rezim hak pemilikan adalah efisiensi ekonomi. Ukuran efisiensi fokus pada
tingkat produksi dengan keluaran ekonomi terbaik t
✈ q t
q
st
q✇
o n
o m
①✇
o u
t
✇
o m
q
s melalui produksi dengan kombinasi input biaya rendah. Ukuran kinerja sosial
fokus pada rezim keadilan yang merefleksikan definisi sosial atas keadilan distribusi f
r
irn ess
✉
is tri
t
utio n
manfaat dan biaya. Sedangkan ukuran kinerja berbasis ekologi fokus pada tingkat persediaan modal alam sto
✇
k o f n
r
tu
② r
l
✇r
p it
r
l yang dikelola.
2.
③ ③ ④⑤
n
⑥ ⑤
m
⑦⑧
n
⑥⑧
n
⑨ ⑩
st
❶
tu
❷ ❶
Berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat diperlukan oleh masyarakat. Namun ketika institusi tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan,
maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Beberapa literatur menyebutkan ada tiga solusi untuk memperbaiki kinerja institusi, yaitu melalui: pengembangan
institusi in
stituti o
n
r
l
✉
evelo p
men t
, penguatan
institusi in
stitutio n
r
l stren
g th
en in
g atau perubahan institusi in
stitutio n
r
l
✇
h
r
n g
e Pratiwi 2008.
Berdasarkan pendapat Pratiwi 2008 tersebut dapat dinyatakan bahwa Kinerja institusi yang tidak optimal dapat diperbaiki dengan pengembangan institusi
in stitutio
n
r
l
✉
evelo p
men t
berdasarkan kinerja institusi eksisting.
Menurut Nasution 1999 yang dikutip Karyana 2007 pengembangan kelembagaan institusi merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan
hubungan antar individu dalam masyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang dikehendaki. Tujuan pengembangan kelembagaan institusi secara umum adalah
untuk mencapai derajat pemenuhan kebutuhan manusia secara lebih baik dengan alokasi sumberdaya yang efisien dan efektif serta dapat diterima oleh semua
kelompok masyarakat secara adil. Secara spesifik tujuan pengembangan kelembagaan institusi adalah: 1 sebagai wahana akses adil terhadap input
faktor; 2 mampu memberikan aturan main dan acuan secara adil bagi setiap pelaku dalam kelembagaan tersebut guna mencapai efisiensi dan efektifitas yang
tinggi dalam alokasi sumberdaya kepada semua unsur yang terlibat; 3 mampu mendistribusikan hasil proses pemamfaatan sumberdaya untuk mencapai tujuan
yang dikehendaki. Menurut Uphoff 1986 bila merencanakan pengembangan
institusi kelembagaan lokal pada area pengelolaan sumberdaya alam, patut digaris bawahi bagaimana analisis mengarah pada menilaimenaksir faktor seperti
larangan hal tidak diperbolehkan dan manfaat dan biaya pengelolaan sumberdaya yang dapat mempengaruhi kelangsungan berbagai jenis institusi
lokal.
2.
❸
2 B
❹
n tu
❺ ❻
B
❹
n tu
❺ ❼
n st
❽
tu s
❽
:
❾❿
su s
❼ ➀
st
❽
tu
➁ ❽ ➂
❹
n
➃❹➄
o
➄❿❿
n
➅➆
t
❿
n
Bentuk institusi pengelolaan sumberdaya alam di suatu wilayah atau negara akan berkembang sesuai dengan karakteristik sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, penguasaan teknologi serta pengaruh-pengaruh internal yang melingkupinya. Sebagai bahan perbandingan, berikut disajikan bentuk institusi
pengelolaan hutan yang telah berkembang di beberapa negara. 2.12.1 Institusi pengelolaan hutan di Jerman
1 Struktur
➇
t
➈
t
➉ ➊
o rest
➋
n terp
rise Pengelolaan hutan di Jerman baik hutan Negara, sebagian besar hutan
masyarakat maupun hutan pribadi dilakukan oleh
➇
t
➈
te
➊
o rest
➋
n terp
rise SFE.
Struktur organisasi SFE adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 5 berikut:
Gambar 5 Struktur hirarki
➌
t
➍
t
➎ ➏
o rest
➐
n terp
rise Jerman Hesse
n
➑ ➏
o rst
2
➒
11.
➌
t
➍
te
➏
o rest
➐
n terp
rise berasal dari tradisi keberhasilan tata usaha hutan
negara di Hesse yang mempunyai struktur organisasi ditingkat lapangan dikeseluruhan daerah dan bekerja dekat dengan warga negara menurut asas
penyerahan kedaulatan secara terpadu in teg
➓ ➍
te
➔
so vere
ig n
ty ”, di mana
terdapat
➏
o rest
→ ➍
n
➍
g emen
t
➣
n its
FMU yang menjalankan tugas berdasarkan peraturan yang sah.
➌
t
➍
te
➏
o rest
➐
n terp
rise Hessen-Forst mengurusi secara
khusus inventarisasi hutan, perencanaan, penilaian hutan dan teknik kehutanan dengan menerapkan hasil riset silvikultur dari Northwest German Forest Research
Institute NWFVA.
➌
t
➍
te
➏
o rest
➐
n terp
rise dicirikan oleh hirarki sejajar. Dewan direktur
dibagi menjadi empat departemen; dua departemen bekerja sebagai pendukung personel, informasi teknologi, pembiayaan dan penganggaran, sementara dua
departemen lainnya bekerja pada wilayah operasi produksi silvikultur, pemasaran dan kerjasama, konsultasi dan pelayanan-pelayanan lain.
Regu pengontrolan, terdiri dari empat ahli senior, memastikan saling hubungan ke dan dari unit pengelolaan hutan. Tugas mereka meliputi pemberian
nasehat, pengkoordinasian dan mendukung unit pengelolaan hutan dan bantuan dalam mencapai target regional.
Pengontrolan
↔
o n
tro llin
g : pengusahaan hutan negara disupervisi oleh
menteri yang bertanggung jawab dan berkenaan dengan: 1 penerimaan terhadap aturan pengusahaan hutan negara; 2 pencalonan direktur jenderal; 3
penerimaan anggaran belanja tahunan; 4 perjanjian dengan auditor dalam konsultasi dengan Pemeriksa Keuangan Hessian; dan 5 keputusan yang relevan
secara politis. Departemen tidak turut campur tangan dalam urusan operasional bisnis.
Penghubung Li
↕
iso n
:
➙
t
↕
te
➛
o rest
➜
n terp
rise menerapkan prinsip efisiensi
ekonomi dalam melakukan pengembangan secara terus menerus terhadap struktur dan aliran kerja serta pengontrolan pengelolaan. ReguTim pengontrolan
merupakan bagian dari dewan direktur yang bertindak sebagai penghubung dan pengkoordinasi antara organisasi pusat dengan unit pengelolaan hutan. Regu
pengontrolan yang terdiri atas empat ahli senior sen io
r exp erts
yang mempunyai tanggung jawab secara regional. Kedekatan kepada unit pengelolaan hutan
dipastikan melalui komunikasi yang baik dan keputusan cepat. Tugas utama regu pengontrolan adalah menempatkan tujuan dan strategi pengusahaan hutan negara
sedemikian rupa sehingga mendukung kepala unit pengelola hutan sehubungan dengan tanggungjawabnya. ReguTim kontrol juga meneliti operasi manajemen
unit pengelolaan hutan. Komisi Pengusahaan Hutan Negara
➙
t
↕
te
➛
o rest
➜
n terp
rise
↔
o mmissio
n :
merupakan komisi eksternal pengusahaan hutan negara yang independen yang memastikan keseimbangan dan keberlansungan sasaran strategis yang ditentukan
untuk pengusahaan hutan negara. Laporan tahunan pengusahaan hutan negara diteliti oleh komisi dan diberikan komentar dengan semua pertanyaan berkenaan
dengan sasaran-sasaran strategis. Komisi SFE terdiri atas dua belas anggota
komite dengan keahlian yang diakui, yaitu: 1 menteri bertanggung jawab sebagai pemimpin; 2 satu delegasi dari setiap parlemen terwakili dalam
Hessiean Parlemen; 3 satu wakil dari setiap departemen fungsional dan anggaran; 4 satu wakil dari personel pengusahaan hutan negara; dan 5 lebih
dari empat wakil dari sektor lainnya seperti lingkungan, ekonomi, masyarakat
umum atau pemilik hutan kecil-kecilan atau ilmuwan. Para anggota ditetapkan untuk satu periode pemilihan dimana menteri bertanggung jawab dalam konsultasi
dengan menteri keuangan atau Presiden Parlemen Hessian. Komite bersidang
tidak kurang dari sekali setahun atas permintaan menteri yang bertanggung jawab, atau menteri keuangan, direktur jenderal dari pengusahaan hutan negara atau dari
sedikitnya tujuh anggota secara bersama-sama. 2 Struktur
➝
o rest
➞ ➟
n
➟
g emet
➠
n its
FMU
➡
tr u ktur o rg
➟
n i
➢ ➟
si
➝
o rest
➞ ➟
n
➟
g emen
t
➠
n its
FMU adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Organisasi FMU ada di seluruh wilayah negara,
sehingga dapat menjamin unit pengelola hutan dekat dengan masyarakat, otoritas lokal dan pelanggan lain. Hal ini merupakan penerapan prinsip teritorial
territo ri
➟
l p rin
➤
ip l
e yang menjadi sebuah keharusan dalam melaksanakan silvikultur berorientasi alamiah n
➟
ture
➥
o rien
te
➦
silvi
➤
ulture . Organisasi FMU
menjalankan fungsi yang meliputi pendidikan lingkungan, konservasi alam, advis bio-energi dan advis terhadap pemilik hutan privat dan rata-rata FMU mengatur
18.000-20.000 ha dengan 10-12 pasukan daerah
➧ ➟
n g
er
➦
istri
➤
ts . Dengan
demikian struktur internal FMU merupakan kombinasi prinsip teritorial dengan prinsip peningkatan fungsi organisasi.
Gambar 6 Struktur organisasi
➝
o rest
➞ ➟
n
➟
g emen
t
➠
n its
Hesse n
➝
o rst 2
➨
11 .
Organisasi ini dipimpin oleh seorang kepala yang memiliki tugas meliputi pemasaran, pengontrolan, kualitas proses pengelolaan dan organisasi. Kepala
FMU membawahi bidang administrasi, kepala seksi produksi, kepala seksi pelayanan dan kedaulatan serta
➩ ➫
n
➭➯
rs
➲ ➳
st
➩ ➳➵
t . Fungsi utama organisasi ini
meliputi konservasi, pendidikan lingkungan, bioenergi dan penyuluhan. 2.12.2 Institusi pengelolaan hutan di Jepang
Keberhasilan bangsa Jepang dalam mempertahankan kelestarian fungsi sumberdaya alam sejak berabad-abad yang lalu telah banyak dilaporkan dalam
berbagai literatur Kartodihardjo 2004. Menurut Zoysa dan Inoue 2010 “irai” di Jepang adalah sebuah sistem pengelolaan berkelanjutan hutan milik bersama di
pedesaan-pedesaan yang memproduksi kebutuhan dasar domestik dan berfungsi sebagai pengerat hubungan komunitas lokal. Di bawah rezim pemilikan bersama
➵
o m
m o
m p
ro p
➯
rty
➩ ➯ ➭➳
m
➯
s hanya anggota kelompok yang memiliki akses
terhadap sumberdaya yang pemanfaatannya didasarkan pada regulasi. Aturan pengelolaan yang tepat meliputi tanggal dan waktu, tempat dan
jumlah yang diperbolehkan untuk diekstrasi dari hutan “irai” diimplementasikan untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan Kijima
➯
t
➫
l . 2000
➲ ➫
l
➫
m Zoysa dan Inoue 2010. Rumah tangga keluarga di dalam komunitas sangat peduli
terhadap kemampuan lahan hutan “irai” dalam mendukung kelangsungan mata pencaharian penghidupan mereka. Pengambilan keputusan penting terkait
dengan pengelolaan hutan “irai” didasarkan pada persetujuan seluruh anggotanya Goto 2007 dalam Zoysa dan Inoue 2010.
Menurut Kartodihardjo 2004 yang mengutip hasil penelitian McKean 1993 keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dalam hubungannya dengan
kinerja sistem institusi yang diterapkan di tiga desa di Jepang yang diteliti oleh McKean antara lain karena fakta-fakta berikut: 1 hingga kini keberadaan “lahan
milik bersama” masih dapat dipertahankan oleh masyarakat di Jepang karena adanya komunitas pemilik bersama yang teridentifikasi dengan jelas dan tertulis;
2 dalam sejarahnya desa-desa di Jepang berkembang mengikuti perubahan zaman dengan selalu mengacu pada aturan-aturan atau kesepakatan-kesepakatan;
dan 3 dalam mengimplementasikan aturan tersebut, masyarakat Jepang menerapkan sanksi atau penalti bagi pelanggar aturan sebagai suatu sistem kontrol
sosial, dimana penalti tersebut dapat berupa “pengucilan” dari kehidupan sosial masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam tak terkecuali sumberdaya hutan secara berkelanjutan di
pedesaan tradisional di Jepang merupakan akibat dari adanya: 1 aturan yang disepakati masyarakat dan diimplementasikan secara baik serta diberlakukannya
sanksi atas pelanggaran; 2 unit terkecil dari pengelola hutan, yaitu rumah tangga
➸
o u
➺ ➻ ➸
o l
➼
terlibat dalam pengambilan keputusan; dan 3 adanya kesadaran dan kepedulian komunitas terhadap fungsi hutan dalam mendukung penghidupan
masyarakat. 2.12.3 Insitusi pengelolaan hutan di Sri Langka
Mengacu pada pendapat dan hasil penelitian beberapa ahli, Zoysa dan Inoue 2008 melaporkan hal-hal yang berkenaan dengan institusi pengelolaan hutan di
Sri Langka sebagai berikut: 1 Kehutanan Sri Langka memiliki sejarah lebih dari dua ribu tahun yang
direfleksikan di dalam catatan peninggalan raja-raja masa lalu. Sri Langka mempunyai sejarah panjang penanaman pohon sejak tahun 543 sebelum
masehi, dimana tradisi ini ada pada budaya buddha. Dalam catatan sejarah kuno maha-wamsa, rajaratnacari dan rajawali dinyatakan komunitas
pedesaan kampung terorganisir secara baik dan hidup secara harmonis dalam lingkungan hutan sepanjang periode raja Vijaya
543 sebelum masehi. Mereka mengelola keberlanjutan lingkungan hutan disekelilingnya dan
menikmati hak serta dapat secara baik melakukan administrasi sendiri. 2 Penegakan aturan dan regulasi untuk perlindungan hutan dan penggunaan
produksi hutan ditegakkan pula pada periode 161-137 sebelum masehi oleh Raja Dutugamunu.
Raja diperlakukan sebagai pemilik sah lahan hutan. Meskipun raja sebagai penguasa hutan, komunitas masyarakat memegang
hak mengambil hasil hutan dan diawasi oleh para anggota yang ditunjuk sebagai manajer. Hutan dikelola berdasarkan rezim pemilikan bersama dengan
norma-norma dan konvensi untuk mengatur hak-hak individual, sementara kesepakatan sosial digunakan untuk mencegah penyalahgunaan sumber daya
hutan Kariyawasam 2001.
3 Adanya cadangan hutan untuk royalti
➽ ➾➚ ➾➪ ➾➽ ➾
m, institusi biara n
➶
n
➪ ➾➽ ➾
m ,
kuil umum v
➶ ➹ ➾➘ ➾
➽ ➾
m , dan untuk tujuan lain
➪ ➴
v
➾
l
➴➽ ➾
m terdokumentasi di tulisan kuno. Hutan dialokasikan untuk penyelenggaraan pelayanan kepada
masyarakat
➘ ➾ ➷
➾
k
➾➘ ➶
y
➾
, sementara petugas hutan k
➴
l
➴
ko
➘ ➾
l
➾
ditetapkan sebagai pengatur penggunaannya.
Penarikan pajak kepada penguasa hutan pribadi terdokumentasi sejak abad keenam. Penebangan spesies pohon tertentu
dan masuk ke lahan dan kebun hutan keluarga raja adalah dilarang. Aturan ini berlaku hingga diujung zaman kerajaan di Sri Langka tahun 1815.
4 Sistem otoritas pemerintah terhadap penggunaan sumberdaya hutan mulai diterapkan sejak kekuasaan kolonial Inggris. Hak dan tanggung jawab
komunitas dalam mengelola hutan digantikan oleh agen-agen birokrasi perwakilan pemerintah. Rezim kolonial meruntuhkan kohesi komunitas
pedesaan dan sistem pengelolaan hutan berdasarkan pemilikan bersama menjadi terkikis.
5 Sejak tahun 1950, yakni setelah kemerdekaan Sri Langka, pengelolaan dilakukan oleh tenaga teknis terlatih dari departemen kehutanan. Secara umum,
petugas tidak terlatih sebagaimana mestinya untuk secara pantas mengakui hak-hak aslilokal, mengapresiasi pengetahuan lokal dan memahami
ketergantungan ekonomi komunitas terhadap sumberdaya hutan. Institusi tradisional dan kepemimpinan lokal termarginalikan atau terabaikan. Akhirnya,
orang-orang luar dari wilayah kota terutama pedagang kayu mengambil alih kendali sumberdaya hutan dan sistem produksi hutan yang menjadi mata
pencaharian komunitas lokal. Banyak tempat penggembalaan yang berfungsi pada abad ini ditutup.
Walaupun, otoritas kehutanan tidak dapat mengendalikan pengambilan kayu bakar, perladangan berpindah, pertanian
perkebunan, pertambangan, pembalakan kayu dan aktivitas lain di hutan yang dilakukan oleh komunitas lokal secara tidak sah.
6 Saat ini, strategi dan tradisi kuno pemanfaatanpenggunaan sumberdaya menjadi komponen penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan negara Sri
Langka. Fungsi komunitas tradisional dalam mengurus sumberdaya hutan sangat diperlukan, oleh karenanya diperkuat.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan oleh Zoysa dan Inoue 2008 yang mengacu pada pendapat berbagai ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa
keberhasilan pengelolaan hutan di Sri Langka di masa lalu merupakan resultan dari adanya: 1 pengaturan hak masyarakat lokal sekitar hutan untuk menikmati
manfaat hutan; 2 penegakan aturan dan regulasi untuk perlindungan hutan dan penggunaan produksi hutan; 3 sesuai dengan karakteristiknya hutan dikelola
dengan menggunakan pendekatan rezim pemilikan bersama; 4 petugas kehutanan bertugas mengatur penggunaan kawasan hutan.
2.12.4 Institusi Pengelolaan Hutan Lindung di Indonesia: Kasus Kelembagaan Hutan Lindung Sungai Wain
Berdasarkan hasil penelitian tentang kelembagaan pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain HLSW, Falah
➬
t
➮
l
➱
2007 melaporkan bahwa Pemerintah Kota Balikpapan memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung
pengelolaan HLSW, terbukti dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2004 tentang Pengelolaan HLSW serta tiga Surat Keputusan Walikota
tentang Penataan dan Pemanfaatan HLSW, Pembentukan Badan Pengelola HLSW dan Tata Cara dan Pemanfaatan HLSW. Beberapa kegiatan yang berhasil
dilaksanakan Badan Pengelola HLSW BPHLSW antara lain menekan penebangan liar dan perburuan satwa liar hingga 0, upaya penanganan masalah
perambahan dengan memberi hak pemanfaatan lahan kepada masyarakat lokal dalam blok pemanfaatan, kegiatan pemanfaatan kawasan yang meliputi
agroforestri, ekowisata, penelitian, pendidikan lingkungan serta pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian Falah
➬
t
➮
l . 2007 tersebut, pemanfaatan kawasan HLSW yang diperbolehkan berdasarkan Surat Keputusan Walikota
Nomor 13 tahun 2004 adalah agroforestri, pemungutan hasil hutan non kayu, ekowisata dan pendidikan lingkungan serta kegiatan penelitian.
Agroforestri:
kawasan yang telah dirambah dan dijadikan kebun oleh masyarakat dijadikan blok pemanfaatan. Setiap kepala keluarga berhak memperoleh izin pemanfaatan
maksimal dua hektar dalam jangka waktu maksimal lima tahun dan tidak dapat
dipindahtangankan. Pemungutan hasil hutan non kayu: hasil hutan non kayu
yang diperbolehkan adalah pemungutan rotan, madu, buah, tanaman obat-obatan
dan hasil hutan non kayu lainnya yang tidak mengganggu fungsi lingkungan.
Pemanfaatan jasa lingkungan: bentuk pemanfaatan jasa lingkungan yang
diperbolehkan adalah kegiatan penelitian, kunjungan formal, kunjungan pendidikan dan pelatihan, olah raga tantangan serta ekowisata. Salah satu bentuk
pemanfaatan jasa lingkungan yang potensial adalah pemanfaatan air. Insentif pemanfaatan air menjadi sumber pendanaan pengelolaan HLSW, dimana telah
terealisasi setiap tahun Pertamina UP V Balikpapan sebagai konsumen utama air Waduk Wain membayar Rp 200.000.000.
D P A
3 k u
P
✃ ❐❒❮ ❰Ï ❮ ❐Ð ❐ÑÒ ÏÒ❰Ð
ÓÔ
ÕÖר × Ù
Ú Û Ù Ü ×Ý ×
Þ × ß ×Ø ×
Ù à á
âã äå Ý
å Ö å æ
Ø Û ç ×Ü ×
å Öè Þר
å Ý Û
Ù ÛÖ å é
å × Ù ê
×ä ×Ö׿ë ìí î
à á âã
ç Ûï ×ä× Ý ×ä×
Ýð Ö×ð ÞÛñå Ö
ò × ÙÜ
Ú Û
Úå Ö å Þå
ó ð Ù Ü Ø
å Ý Û
Ù é åÙ Ü
Ø Û ç ×
Ü ×
å Ý Û
Ùò ×ÙÜ Ü × Ø
å Ø éÛ
Ú ÞÛæå äð Ý×
Ù ä
å Ýð Ö×ð
åÙ åê éÛïðé×
Ú ×
Ø Û
ç ×
Ü ×
å ä ×Ûï׿
é× ÙÜ
Þ×Ý × Ù
× å ï
ô ä ×
Ù ì
õ î
Ý Û Ú ×
Ù ó××é×
Ù éÛï æ×ä ×Ý
Ø ð Ú ç Ûïä ×ò ×
à á â ã
éÛÖ׿ ç
Ûï×Þ åç
×é Ý×ä ×
ï ðØ ×ÞÙò × Ø ðÚç
Û ï ä×ò ×
à á âã ö
3
÷ ø
P
ùúû ù
k
üý ü ú
S
ý
u
ûþ â Û
Ù äÛÞ ×é×
Ù Ø éðäå
ò × Ù Ü
ä åÜ
ð Ù
×Þ× Ù
ä×Ö× Ú
Ý Û Ù
Û Ö
å é å ×
Ù åÙå
×ä×Ö׿ Ý Û
Ù ä ÛÞ ×é× Ù
Ø éðäå Þר ð Ø
ê Þ×ï Û
Ù ×
Ü Û
ÿ ×Ö×
Ø èØ å ×Ö
ä å Ýå Ö
å æ ðÙ éð Þ
äå éÛÖ å é
å äÛ
Ù Ü × Ù
æ ×ï×Ý × Ù
ä ×Ý×é Ú
Û Úç
Ûï å Þ×
Ù Ü
× Úç
×ï× Ù
äÛé× å Ö
éÛ Ù
é× Ù Ü
Ö×é×ï ç
ÛÖ×Þ× Ù Üê
Ø å ó ×é
Ø å ó ×é
ä× Ù
Þ ×ï×Þ é Û ï
Þ ×ï×Þ é Û ï
ò × ÙÜ
Þ æ×Ø ä ×ï
å Þר ð Ø
äÛ Ù Ü ×
Ù Ø ðçò ÛÞ
ðé× Ú
× Ý Û
Ù ÛÖ å é
å × Ù
åÙ ä
å ✁
å äðê ÞÛÖè
Ú Ýè Þ
ä × Ù
ÖÛ Ú ç ×
Ü ×
ö âå Ö
å æ× Ù
ÝÛ Ù
äÛÞ ×é× Ù
Ø éð ä å
Þ ×Ø ð Ø
åÙå Ú Û
Ù Ü × ñ ð
Ý×ä × Ý Û
Ù ä ×Ý×é ✂Û
✁ å ÖÖ×
✄☎ ✆✝ ✞
ì í ✟ ✟✠ î
ò × Ù Ü
ä å Þ ðé
å Ý ✡ ðÙ ÜåÙ
ì õ
☛ ☛Ó î çå Ö×
Þå é× Ú
ÛÖ×Þð Þ× Ù
Ý Û Ù ÛÖ
å é å ×
Ù ò ×ÙÜ
éÛï åÙ ñå
éÛ Ù
é× ÙÜ
Ø ÛØ ð ×éð
ðÙ å é Ø
è Ø å ×Ö
Ø ÛÖ×
Ú ×
Þ ðïðÙ ß ×Þ éð
éÛïéÛ Ù éðê
Þå é× Ú ÛÖ×Þ ðÞ ×
Ù ×Ý ×
ò × Ù Ü
ä å Ø Û
ç ð é Ø éðäå
Þר ð Ø ö
☞ Û
Ù ð ïðé ✌
ר å ï
ì õ
☛☛ Óî éð
ÿ ð ×
Ù Ø éð ä
å Þ ×Ø ðØ
×ä×Ö׿ ðÙ éð Þ
Ú Û Ú ç Ûï
å Þ × Ù
Ü × Ú ç
×ï× Ù
Ø Û ñ ×ï ×
Ú Û
Ù ä Ûé× å Ö
éÛ Ù
é× Ù Ü
Ö×é×ï ç
ÛÖ×Þ× Ù Üê
Ø å ó×é
Ø å ó×é
Ø Ûïé× Þ ×ï×Þ éÛï
Þ ×ï×Þ éÛï ò ×
Ù Ü Þæ ר
ä×ïå Þ ×Ø ðØ
ê ×é×ð ÝðÙ
Ø é×éð Ø ä ×ï
å åÙ
ä å
✁ å äð
ê ò ×
Ù Ü Þ Û
Ú ð ä å ×
Ù ä×ïå
Ø å ó×é
Ø å ó ×é
Þ æ×Ø éÛïØ Û
ç ðé
×Þ × Ù
ä å
ÿ ×äå Þ ×
Ù Ø ð ×éð
ò × Ù Ü
ç ÛïØ
å ó×é ð
Ú ð
Ú ö ✂ðçò ÛÞ
Ø éð ä
å Þ ×Ø
ð Ø ä ×Ý ×é
ç Ûïð Ý×
åÙ ä
å ✁
å äðê ÞÛÖèÚ Ý èÞê
ÖÛ Úç
× Ü ×
ê Ú ×ð ÝðÙ
Ú ×Ø
ò ×ï×Þ ×é ö
3
÷ ✍
✎ ù
ý ✏
û ù
P
ù ú ✑
u
✒✓
u
✔ ü ú
D
ü ý
ü ☞
Ûé è ä Û
Ý Û ÙÜ
ð Ú
Ýð Ö× Ù
ä×é× ò ×
Ù Ü ä
åÜ ðÙ ×Þ×
Ù ðÙ éð Þ
Ú Û
Ù ä ×Ý×éÞ × Ù
ä×é× Ø ÛØ
ð × å
ä Û ÙÜ
× Ù
Þ Û ç ð éðæ ×
Ù Ø éð ä
å ×ä ×Ö׿
éÛÞÙå Þ è
ç Ø Ûï
✁ ר
å ç ÛïÝ ×ïé
å Ø å Ý ×Ø
åê ß ×
ß × Ùñ ×ï ×
éÛïØ éïð Þéð ï ê
ß × ß ×
Ù ñ ×ï× Ú
Û Ù ä ×Ö×
Ú ä×
Ù Ø éðäå
äè ÞðÚ Û Ù ö
✕ ×ïÛ Ù
× ê
Ú Û
Ù ðïð é
✂ å éè ïðØ
ìí ✟ ✟✖ î ä Û
ÙÜ ×
Ù Ú Û
Ú ×äð Þ×
Ù Ø Ûä
å Þå é Ù ò ×
é åÜ
× Ú
Ûéèä Û ê
Ú å Ø ×Ö
Ù ò × ÝÛ
Ù Ü ×
Ú ×é× Ùê
ß × ß ×
Ù ñ ×ï× ä×
Ù ×
Ù ×Ö å Ø
å Ø ä èÞ ð
Ú Û
Ùê Ú ×Þ ×
Ø ×éð ä ×
Ù Ö×
åÙ Ú Ûéè äÛ
×Þ×Ù Ø
×Ö åÙ Ü
Ú Û
Ù ð éðÝ Þ ÛÖ
Û Ú
×æ× Ù
Ø Ûæ å ÙÜ Ü ×
é× Ù Ü Þ ×Ý×
Ù ×éר
ï Û×Ö å éר
Ø èØ å ×Ö
Ú Û Ù
ÿ ×ä
å ÖÛ
ç å æ ✁
×Ö å äö
☞ Ûéèä Û
ÝÛ Ù Ü ðÚ Ý ðÖ×
Ù ä×é×
Ú ÛÖ×Öð
å èç Ø Ûï
✁ ר
åê ß ×
ß × Ù ñ ×ï×
ä× Ù
Ø éð ä
å ä èÞ ð
Ú Û
Ù ä×Ö×
Ú ÝÛ
Ù ÛÖ
å é å ×
Ù åÙå
ä ×Ý×é ä
å ÿ
ÛÖר Þ× Ù
Ø Û ñ ×ï×
ïåÙñå Ø
Û ç
× Ü ×
å ç Ûïå Þð é
ë
✗ ✗
✘✙ ✘✙✚ ✛✜✢ ✣✤✥ ✦
✢ ✧ ★✣✩ ✪ ✧
✩ ✫ ✜
✢ ✣✤✥ ✦
✢ ✧ ✧✪✧
✬ ✧✭✮ ✪ ✦✩✦✪ ✮
✪✯ ✮
✩ ✰✣ ✪ ✭
✣ ✯✦✱✮ ✧
✬ ✦✪ ✰ ✣✰ ✲✣✳ ✦
✴ ✦ ✤ ✧
✢ ✣✵✦✤ ✦ ✳ ✦✪ ✭
✢ ✮ ✪ ✭ ✤ ✣ ✦
✳ ✧✯✦ ✢
✢ ✫ ✢ ✧✦
✳ ✬
✦✪ ✩✫ ✪
✬ ✧
✢ ✧ ✳ ✧✪ ✭✩✮ ✪ ✭✦✪
✯ ✣✤✰
✦ ✢ ✮
✩ ✩✣ ✜
✣✤ ✦
✬ ✦✦✪
✧✪ ✶
✤ ✦
✢ ✯ ✤✮ ✩ ✯
✮✤ ✬
✧ ✩✦
✷ ✦
✢ ✦✪ ✸✹✺
★ ✙
✻ ✣ ✪
✮ ✤✮ ✯
✼ ✦
✢ ✮
✯✧✫✪ ✽
✚ ✾ ✿ ✿❀
❁ ❂❃ ❂❄ ❅
✮ ✭✧
❆ ✫ ✪✫
✽ ❇❈ ❈ ❉ ❀ ✫✜✢ ✣✤✥
✦ ✢ ✧
✦ ✬
✦ ✳ ✦✱
✬ ✦
✢ ✦ ✤
✢ ✣✰ ✮ ✦
✧ ✳✰✮
✲✣ ✪✭✣ ✯✦ ✱✮
✦✪ ✙
✺ ✦
✤ ✦ ✧
✳✰✮ ✷
✦✪ ✱ ✦✪
❆ ✦
✬ ✦✲ ✦✯
✜✣ ✩ ✣✤ ✴ ✦
✜✣✤✬ ✦
✢ ✦ ✤
✩✦✪ ✬
✦✯✦ ❊
❆ ✦✧✯
✮ ✶
✦✩ ✯✦ ✰ ✣✪ ✭
✣ ✪ ✦✧ ✬✮
✪✧✦ ✩
✣ ✪
❆ ✦✯ ✦✦✪
❆ ✦✪ ✭
✬ ✧✲✣✤ ✫ ✳ ✣ ✱
✰✣✳ ✦ ✳✮
✧ ✫ ✜
✢ ✣✤✥ ✦
✢ ✧ ✙
✛✜✴✣ ✩ ❆
✦✪ ✭ ✬ ✧✫ ✜
✢ ✣✤✥ ✦
✢ ✧ ✬
✦ ✳ ✦
✰ ✲
✣ ✪✣✳ ✧✯✧✦ ✪
✧✪ ✧ ✰ ✣✳ ✧✲
✮ ✯✧
❋ ✤ ✮ ✦✪ ✭
✬ ✧
✬ ✦
✳ ✦ ✰
✩ ✦ ✷
✦ ✢ ✦✪
✸ ✹✺
★ ✬ ✦
✳ ✦ ✰
✦ ✢ ✲
✣ ✩ ✶
✧ ✢ ✧✩✪
❆ ✦
❊ ✜
✣ ✪✬ ✦
● ✜✣ ✪ ✬
✦ ❆
✦ ✪✭ ✯
✣✤✬ ✦✲✦✯
✬ ✧
✬ ✦ ✳ ✦
✰ ✩ ✦
✷ ✦
✢ ✦✪ ✸
✹✺ ★
❊ ✯✧✪✬ ✦✩ ✦✪● ✯✧✪✬ ✦✩ ✦✪
✯ ✣✤ ✯
✣ ✪ ✯ ✮
❆ ✦✪✭
✬ ✧ ✳ ✦✩✮ ✩ ✦✪
✫✤ ✦✪ ✭ ●
✫ ✤
✦✪✭ ✦✯✦
✮ ✫✤ ✭ ✦✪✧
✢ ✦ ✢ ✧
✬ ✧
✬ ✦
✳ ✦ ✰
✩ ✦ ✷
✦ ✢ ✦✪
✸ ✹✺
★ ✬
✦✪ ✯
✮✴✮ ✦✪
❆ ✦✪ ✭
✧✪✭ ✧ ✪
✬ ✧
✵ ✦✲ ✦✧ ✙
✺ ✣ ✪
✣ ✪ ✯ ✮ ✦✪
✫ ✜ ✴✣ ✩
✲ ✣ ✪✣✳ ✧✯✧✦✪
✢ ✣ ✜✦ ✭✦✧ ✰ ✦✪ ✦
✯ ✣✤✢ ✣ ✜
✮ ✯
✬ ✧ ✦✯✦
✢ ✰ ✣ ✪✭ ✦
✵✮ ✲ ✦
✬ ✦
✲✣ ✪ ✬
✦✲✦✯ ❅
✲✤ ✦ ✬ ✳✣
❆ ✢ ✣ ✜✦ ✭✦✧
✰ ✦✪ ✦ ✬ ✧✦✵✮
❅ ✮
✭✧ ❆
✫ ✪ ✫ ✽ ❇❈❈
❉❀ ❊
✫✜✴✣ ✩ ✲✣ ✪✣✳ ✧✯✧✦✪
✯ ✣✤ ✬ ✧
✤ ✧ ✦✯✦
✢ ✯✧✭✦
✩ ✫ ✰
✲✫ ✪ ✣ ✪❊
❆ ✦✧✯
✮ ❋
✽ ✚
❀ ✯
✣✰ ✲✦✯
✽ ❍❃ ❂■❏ ❀ ❊
✯ ✣✰ ✲ ✦✯
✬ ✧
✰ ✦✪✦
✧✪✯ ✣ ✤ ✦✩✢ ✧
✬ ✦ ✳ ✦
✰ ✢ ✧✯
✮ ✦ ✢ ✧
✢ ✫✢ ✧✦ ✳
✢ ✣✬ ✦✪✭
✜✣✤✳ ✦✪ ✭ ✢ ✮ ✪ ✭❑
✽ ❇ ❀ ✦✩ ✯✫
✤ ✽
❂■ ▲▼◆
❀ ❊
✲ ✣✳ ✦✩✮
✦✯✦ ✮
✫ ✤
✦✪✭● ✫✤ ✦✪ ✭ ❆
✦✪ ✭ ✢ ✣✬
✦✪ ✭ ✰ ✣✰
✦✧✪✩ ✦✪ ✲✣✤ ✦✪
✯ ✣✤
✯ ✣ ✪✯
✮ ❑
✬ ✦✪
✽ ✘
❀ ✦ ✩✯✧
✥ ✧
✯✦ ✢
✽ ❂■
▲❖
v
❖▲ ❖
❏ P
❀ ❊
✩✣ ✭✧✦✯✦✪ ❆
✦✪ ✭ ✬
✧ ✳ ✦✩
✮ ✩✦✪
✫✳✣ ✱ ✦✩ ✯✫
✤ ✬
✦ ✳ ✦
✰ ✢ ✧✯
✮ ✦
✢ ✧ ✢ ✫✢ ✧✦
✳ ❆
✦✪ ✭ ✢
✣✬ ✦✪ ✭
✜✣✤✳ ✦✪ ✭ ✢ ✮ ✪ ✭
✙ ✘✙ ✘✙
❇ ◗
✦ ✷
✦✪ ✵ ✦
✤ ✦
✯ ✣✤✢ ✯
✤✮ ✩✯
✮ ✤ ◗
✦ ✷
✦✪ ✵ ✦
✤ ✦
✯ ✣✤ ✢ ✯
✤ ✮ ✩ ✯ ✮✤
✬✣ ✪ ✭✦✪ ✰✣ ✪ ✭✭✮ ✪ ✦✩✦✪
✬ ✦
✶ ✯✦
✤ ✲✣✤ ✯✦✪
❆ ✦✦✪
✬ ✧ ✳ ✦✩
✮ ✩ ✦✪
✮ ✪✯
✮ ✩
✰ ✣ ✪✭✮✰ ✲
✮ ✳ ✩✦✪ ✬ ✦✯✦❘✧✪
✶ ✫✤✰ ✦
✢ ✧ ✬
✦ ✤ ✧
✩ ✣✳ ✫✰ ✲ ✫✩
✢ ✦ ✢ ✦
✤ ✦✪
❆ ✦✪ ✭
✯ ✣✳ ✦✱
✬ ✧✯
✣ ✯✦✲✩ ✦✪ ✙
✻ ✣ ✪
✮ ✤✮ ✯
❅ ✮ ✭ ✧
❆ ✫ ✪✫
✽ ❇ ❈ ❈ ❉ ❀
✷ ✦
✷ ✦✪
✵ ✦ ✤
✦ ✯
✣✤✢ ✯ ✤✮ ✩ ✯
✮✤ ✬ ✧✭✮ ✪ ✦✩ ✦
✪ ✢ ✣ ✜✦ ✭✦✧
✯ ✣ ✩ ✪✧✩
✲ ✣ ✪ ✭
✮✰ ✲
✮ ✳ ✦✪ ✬
✦✯✦ ❊
✜ ✧ ✳ ✦
✲ ✣ ✪✣✳ ✧✯✧
✦✯✦ ✮
✲✣ ✪✭ ✮ ✰ ✲✮✳
✬ ✦✯✦
✯ ✣✳ ✦✱
✰✣ ✪ ✭ ✣ ✯✦✱✮ ✧
✬ ✣ ✪✭ ✦✪ ✲ ✦
✢ ✯✧ ✯
✣ ✪✯✦✪ ✭ ✧✪
✶ ✫
✤ ✰ ✦ ✢ ✧
✦✲✦ ❆
✦✪ ✭ ✦✩ ✦✪
✬ ✧ ✲ ✣✤ ✫✳✣ ✱
✙ ✛
✳✣ ✱ ✩ ✦
✤✣ ✪ ✦ ✧✯
✮ ✬
✦ ✳ ✦
✰ ✰ ✣✳ ✦✩
✮ ✩✦✪
✷ ✦
✷ ✦✪✵ ✦
✤ ✦ ❊
✲✣ ✪✣✳ ✧✯ ✧
✦✯✦ ✮
✲✣ ✪ ✭ ✮ ✰ ✲✮✳
✬ ✦✯✦
✯ ✣✳ ✦✱
✰ ✣ ✪ ❆
✧✦✲✩ ✦✪ ✧✪
✢ ✯ ✤✮ ✰✣ ✪
✲✣ ✪ ✣✳ ✧✯✧✦✪
✜ ✣✤✮
✲✦ ✲✣✤ ✯ ✦✪
❆ ✦ ✦✪
● ✲
✣✤ ✯✦✪
❆ ✦✦✪
❆ ✦✪ ✭
✦ ✳ ✯
✣✤ ✪ ✦✯✧ ✶
✴ ✦ ✷
✦✜ ✦✪✪ ❆
✦ ✯
✣✳ ✦✱ ✬
✧ ✢ ✧✦✲ ✩✦✪✙
❙✣ ✪✭✦✪ ✷
✦ ✷
✦✪✵ ✦ ✤ ✦
✯ ✣✤✢ ✯
✤✮ ✩✯
✮ ✤ ✧✪✧
❊ ✢ ✣ ✯✧✦✲
✤ ✣✢ ✲ ✫✪✬ ✣ ✪ ✬ ✧✜✣✤ ✧
✲ ✣✤
✯✦✪ ❆
✦ ✦✪ ❆
✦✪ ✭ ✢ ✦
✰ ✦ ❊
✬ ✦✪ ✲✣ ✪✭✮✰
✲ ✮ ✳
✬ ✦✯✦ ✰✣ ✪✵ ✦✯✦✯✪
❆ ✦
✙ ✘✙ ✘✙ ✘
◗ ✦
✷ ✦✪
✵ ✦ ✤
✦ ✰ ✣ ✪
✬ ✦
✳ ✦ ✰
◗ ✦
✷ ✦✪✵✦
✤ ✦
✰ ✣ ✪ ✬
✦ ✳ ✦
✰ ✬ ✧✭
✮ ✪✦✩ ✦✪
✮ ✪✯
✮ ✩
✰ ✣ ✪ ✭ ✣ ✯✦✱✮ ✧
✦ ✢ ✲✣ ✩
● ✦
✢ ✲✣ ✩ ✩
✮ ✦
✳ ✧✯✦✯✧ ✶
✢ ✣✵ ✦ ✤ ✦
✳✣ ✜ ✧✱ ✰ ✣ ✪
✬ ✦
✳ ✦ ✰
✬ ✦✪
✰✣ ✪ ❆
✣✳✮ ✤✮ ✱
✰ ✣✳✦ ✳✮
✧ ✯✦✪
❆ ✦
✴ ✦ ✷
✦✜ ✢ ✣✵ ✦
✤ ✦ ✯✦✯✦ ✲
✰ ✮ ✩ ✦ ✦✪ ✯✦
✤ ✦ ✲
✣ ✪✣✳ ✧✯✧ ✬ ✣ ✪✭ ✦✪
✯✧✪✣ ✳ ✧✯✧✙
❅ ✦
✢ ✦ ✤
✦✪ ✷
✦ ✷
✦✪✵ ✦ ✤ ✦
✰✣ ✪ ✬
✦ ✳ ✦
✰ ✽
❖ ❚ ▲
❏ ◆ ❯ ❖
❏
w
❀ ✧✪✧
❱❲
❳❨ ❳ ❩ ❳
❬ ❭❪ ❫❴ ❵❛ ❳
❪ ❜ ❝❪ ❞
❭ ❡ ❢❣
y
❤✐❥
o rm
❦ ✐
t
❧ ♠ ❳
❪ ♥ ❛♦ ❛
❭❩❭❜ ❭ ❜❴
❛♣ ♦ q ♦
❪ r ❭
r ♦r ❝ ❳
❭ ❜ ❳s
❭ ❳ ❪ t
❨ ❳ ❩ ❳❛
❬ ❳
❩ ❭❪ ❭
❳❨❳ ❩ ❳
❬ ❛ ♦❵♦
❜ ❳ ♠ ❳
❪ ♥
❛ ♦ ❪
s ❳❨❭
✉ ❳♥ ❭ ❳
❪ ❨❳❵
❭ ❜ ♦
❩❴ ❛♣❴❜
♣ ♦❛❳ ❪
❫❳❳ q
✈ ♣ ♦
❪ ♥ ♥❝❪ ❳ r ❝ ❛✉ ♦❵❨ ❳
♠ ❳ ✇①②③
❨ ❳ ❪
♣ ❭❬
❳ ❜
④ ♣
❭❬ ❳
❜ ♠ ❳
❪ ♥
q ♦❵ ❩❭ ✉ ❳
q ♣ ❳❨❳
♣ ♦ ❪ ♥ ♦
❩❴❩ ❳❳ ❪
r ❝ ❛✉ ♦❵❨ ❳
♠ ❳ ✇
①②③ ⑤ ✇
❳ ❩
❭❪❭ ❛♦
❪ ♥❳❞❝
♣ ❳❨❳ ♣ ♦
❪ ❨ ❳♣❳ q
⑥ ❝
❪ ♥
❭❪ ❡
⑦ ⑧ ⑧⑨ ❧
✉ ❳ ❬ ⑩❳
⑩ ❳⑩❳ ❪ ❞❳❵ ❳
❳ q ❳❝
❭❪q ♦❵❶❭ ❝ ❳❨ ❳
❩ ❳ ❬
r ♦✉ ❝❳ ❬
♣ ❵ ❴
r ♦r
❛♦❛ ♣♦❵❴❩ ♦ ❬
❜ ♦ q
♦❵❳ ❪
♥❳ ❪
❝❪q ❝❜ q ❝s❝ ❳
❪ ♣ ♦
❪ ♦ ❩❭q❭ ❳
❪ ❨ ♦
❪ ♥ ❳ ❪
❞❳❵ ❳ q ❳
❪ ♠ ❳ s❳⑩❳✉
r ❳❛ ✉
❭❩ ✉ ♦❵
q ❳ q ❳♣
❛❝❜ ❳ ❳
❪ q ❳❵❳ ♣ ♦⑩❳⑩❳
❪ ❞❳ ❵❳ ❨♦
❪ ♥❳
❪ ❵♦r ♣
❴ ❪ ❨ ♦ ❪
❳ q ❳❝
❴ ❵❳
❪ ♥
♠ ❳❪ ♥ ❨❭ ⑩❳⑩❳
❪ ❞❳❵❳
❭t ❨ ♦
❪ ♥ ❳ ❪
❳ q ❳❝
q ❳ ❪
♣❳ ❛ ♦
❪ ♥ ♥❝❪ ❳ ❜
❳ ❪
♣ ♦❨❴ ❛ ❳ ❪
❡ ❷
u
❤ ❸
❣ ❧
⑩❳⑩❳ ❪
❞❳❵❳ ⑤
❹ ♦
❪ ♥ ❳❞❝ ♣ ❳❨ ❳
♣♦ ❪
❨❳♣ ❳ q
❺ ❭q❴
❵❝r ❡ ❻❼❼ ❽ ❧
⑩❳⑩❳ ❪ ❞❳❵ ❳
❛ ♦ ❪ ❨ ❳
❩ ❳❛ ❳❨❳
❩ ❳ ❬
♣ ♦❵❞ ❳ ❜ ❳♣ ❳
❪ ❨❝ ❳
❳❵ ❳ ❬
❨❳ ❩ ❳❛
r ❝❳r ❳ ❪
❳ ❜
♦r ♦
q ❳❵ ❳❳ ❪t
❳ ❜
❵❳✉ ❨❳
❪ ❭❪
❫ ❴
❵❛❳ ❩
⑤ ❾
⑤ ❾
⑤⑨ ❺
q ❝❨❭ ❨❴❜
❝❛ ♦ ❪
❡ ❨ ❴ ❜ ❝ ❛♦
❪ q ❳r ❭ ❧
❺ q ❝ ❨
❭ ❨
❴ ❜ ❝ ❛♦ ❪
❨❭♥ ❝ ❪
❳ ❜ ❳
❪ ❝❪ q❝❜
❛ ♦ ❪ ♥❝ ❛♣ ❝
❩❜ ❳
❪ ❨ ❳
q ❳ ♠ ❳
❪ ♥
❳❨❳ ❜ ❳
❭q ❳ ❪ ❪ ♠ ❳
❨ ♦ ❪ ♥ ❳
❪ ♣♦
❪ ♦
❩❭q❭ ❳ ❪
❨❳❵ ❭
❨❴❜ ❝❛ ♦
❪ ④
❨❴❜ ❝❛ ♦
❪ ♠ ❳
❪ ♥
q ♦❵r ♦❨❭ ❳ ❨❭
❜ ❳
❪q❴ ❵
④ ❜
❳ ❪q ❴ ❵
❳ q ❳❝
❭❪ r
q ❳ ❪
r ❭
④ ❭❪
r q ❳
❪ r
❭ ♠ ❳
❪ ♥
❳❨ ❳ ❜
❳ ❭q ❳
❪❪ ♠ ❳ ❨ ♦
❪ ♥ ❳ ❪
♣♦❪ ♦ ❩❭q❭ ❳
❪ ⑤
❿ ♦♥
❭ ❳ q ❳
❪ ❭❪ ❭
❨❭❩ ❳ ❜ ❝❜
❳ ❪
q ♦❵ ❬
❳❨❳♣ ✉♦❵✉ ❳♥ ❳
❭ ♣ ♦❵❳q❝ ❵❳
❪ ♣ ♦❵❝❪ ❨ ❳
❪ ♥❳
❪t ❩ ❳♣❴
❵❳ ❪
❭❪ r q ❳
❪ r
❭ q ♦❵
❜ ❳
❭qt ❛❳❝ ♣❝❪
❨❴❜ ❝❛ ♦
❪ ❩ ❳
❭❪ r
♦♣ ♦❵ q❭
❬ ❳r
❭❩ ④
❬ ❳r ❭❩
♣ ♦ ❪ ♦
❩❭q❭ ❳ ❪
❡ r
q ❝ ❨ ❭ ❧
♠ ❳ ❪
♥ q ♦❵
❜ ❳
❭qt r ♦❵
q ❳ ❨ ❳
q ❳ ❨❳
❪ ❭❪
❫ ❴
❵❛❳r ❭
❨ ❳❵ ❭
r ❝ ❛✉ ♦❵
④ r ❝❛ ✉♦❵
❩ ❳ ❭❪❪ ♠ ❳
⑤ ❹
♦ ❪
❝❵ ❝ q
❺❝♥❭♠❴❪ ❴ ❡
⑦ ⑧⑧
❲ ❧ ❨❴❜
❝❛ ♦ ❪
❛ ♦❵❝♣ ❳ ❜
❳ ❪
❞❳ q ❳
q ❳ ❪
♣♦ ❵ ❭ r
q❭ ⑩❳ ♠ ❳
❪ ♥ r ❝❨ ❳
❬ ✉ ♦❵
❩ ❳ ❩ ❝
⑤ ➀
❴❜ ❝❛ ♦
❪ ✉
❭ r ❳ ✉ ♦❵✉ ♦
❪q ❝❜ q ❝
❩❭ r ❳ ❪ t
♥ ❳ ❛ ✉ ❳❵
t ❳
q ❳❝ ❜
❳❵ ♠ ❳
④ ❜
❳❵♠ ❳ ❛
❴ ❪ ❝ ❛♦ ❪ q ❳
❩ ❨ ❳❵
❭ r
♦r ♦ ❴
❵❳ ❪
♥ ⑤
➀ ❴❜
❝❛ ♦ ❪
♠ ❳ ❪
♥ ✉ ♦❵✉ ♦
❪q ❝❜ q ❝❩❭ r
❳ ❪
❛ ❭ r ❳
❩❪ ♠ ❳ ❞ ❳
q❳ q ❳
❪ ❬ ❳❵❭ ❳
❪t ❞♦❵❭q ♦❵❳
t ✉❭❴ ♥ ❵❳❫
❭t ♣♦❵❳
q ❝ ❵❳ ❪ t
❜ ♦✉❭ s❳ ❜ ❳
❪ ⑤
➀ ❴ ❜ ❝ ❛♦
❪ ♠ ❳
❪ ♥
✉♦❵ ✉♦ ❪ q ❝
❜ ♥ ❳❛✉ ❳❵
❛❭ r ❳ ❩❪♠ ❳
❫ ❴q❴ t
♥❳❛ ✉❳❵ t
r ❜ ♦
q r ❳ ❨ ❳
❪ ❩ ❳
❭❪ ④
❩ ❳ ❭❪
⑤
3
➁ ➂
D
➃ ➄➃ ➅➆ ➇➈ ➉➊➋
➃ ➌ ➍
P
➎ ➇ ➎➏
➍ ➄ ➍➃ ➇ ➐
➑ ➎ ➇➍➌
➒ ➃
➄ ➃
➓➃➇
Su
➋ ➔➎ ➊
D
➃ ➄
➃ ❺♦r ❝ ❳
❭ ❨ ♦
❪ ♥ ❳ ❪
q ❝s❝ ❳ ❪
♠ ❳❪ ♥ ❭❪ ♥
❭❪ ❨
❭ ❞❳♣ ❳ ❭t
❛ ❳ ❜ ❳
❨ ❳ q ❳
✈ ❭❪ ❫
❴ ❵❛ ❳r
❭ ♠ ❳
❪ ♥
❨❭❜ ❝ ❛♣ ❝ ❩❜
❳ ❪
❛ ♦ ❩
❭ ♣ ❝ q❭
→ ❡ ❻ ❧
r ❜
❳ ❩ ❳
❜ ❳♣ ❳r ❭q ❳r
❴ ❵ ♥❳ ❪ ❭ r
❳r ❭
❨❳ ❪
⑩ ❭❩ ❳
♠ ❳ ❬
♣ ♦❵✉ ❳ ❭❜ ❳
❪ ❜
❳♣❳r ❭q ❳r
❴ ❵♥❳
❪ ❭ r ❳r ❭
➣ ❡
⑦ ❧
r q ❳
q ❝ r ❜ ❴❴
❵❨ ❭❪
❳r ❭t
♣ ♦❵❛❳r ❳ ❩ ❳
❬ ❳
❪ ❜❴ ❴ ❵ ❨
❭❪ ❳r
❭ ❨ ❳
❪ ❜
♦♥❳♥ ❳ ❩ ❳
❪ ❜❴ ❴
❵❨ ❭❪
❳r ❭t
❭ r ❭
q ♦ ❜
r ♣ ♦❵❳
q ❝❵ ❳ ❪
♣ ♦❵❝❪ ❨ ❳ ❪ ♥ ❳
❪ ♠ ❳❪ ♥
❛ ♦ ❪
♥❳ q ❝❵
❜ ❴ ❴ ❵❨❭❪ ❳r ❭
❳ ❪ q ❳❵
❩ ♦❛ ✉❳ ♥❳ ♣♦❛ ♦❵
❭❪ q❳❬ ➣
❡ ❾ ❧ ♣ ♦❵r ♦♣r
❭ ❨❳
❪ ❛❴q❭ ❶ ❳r
❭ ❛ ❳r
♠ ❳ ❵❳ ❜
❳ q
♣ ♦❛❳ ❪
❫❳❳ q
➣ ❡
⑨ ❧
q ❝q ❝♣ ❳ ❪
❩ ❳ ❬
❳ ❪
✇① ②③
t
st
❦ ❢❣
↔
o
↕ ❸
❣
rs
t q❭❪
♥ ❜ ❳
q ❜ ♦♣ ♦
❪q❭❪ ♥❳
❪ ❨❳
❪ ♣ ♦
❪ ♥ ❳❵❝ ❬
st
❦ ❢❣
↔
o
↕ ❸
❣
rs
t ❬ ❳
❜ ❨❳
❪ ❜
♦⑩❳s ❭ ✉ ❳
❪
st
❦ ❢❣ ↔
o
↕ ❸
❣
rs
t q ❵❳
❪ r ❳ ❜
r ❭
s❳r ❳ ❩❭❪
♥ ❜
❝ ❪
♥❳ ❪ t
❜ ♦
❭❪ ♥ ❭❪
❳ ❪
❝ ❪ q ❝
❜ ❛ ♦❛✉ ❳
♠ ❳❵t ✉❭ ❳
♠ ❳ ❵♦
❬ ❳✉
❭❩❭q ❳r ❭
❬ ❝q ❳ ❪
❨❳ ❪
❩ ❳ ❬
❳ ❪
➙
➛➜
➝ ➞➟➠➡ ➢➤➥➤
➦➤ ➟➧ ➢
➠ ➧➨ ➟➤➩➤ ➟
➢ ➤ ➫
➤ ➭ ➯ ➞➟ ➞➫
➠➥➠➤ ➟ ➠ ➟
➠ ➤ ➢➤ ➫
➤ ➲ ➢➤➥➤
➯ ➳➠ ➭➞➳ ➢➤ ➟
➢➤➥➤ ➡ ➞
➩➨ ➟ ➢➞➳➵
➸ ➨
➭➺ ➞➳ ➢
➤➥➤ ➯ ➳➠➭ ➞➳
➤ ➢ ➤ ➫
➤ ➲ ➳➞
➡ ➯ ➻ ➟➢ ➞➟➼ ➠ ➟➽ ➻ ➳➭
➤ ➟ ➩➨
➟➾ ➠
➢ ➤ ➟
➻ ➺➚➞ ➩
➯ ➞➟
➧ ➤ ➭ ➤➥➤ ➟ ➵
➸ ➨ ➭ ➺➞➳
➢➤➥➤ ➡ ➞
➩➨ ➟ ➢➞➳
➤ ➢➤ ➫ ➤ ➲
➢ ➻ ➩ ➨ ➭ ➞➟
➯ ➞➳➤➥➨ ➳➤ ➟ ➯ ➞➳➨ ➟ ➢
➤ ➟➧➤ ➟➼ ➫
➤➯ ➻➳
➤ ➟ ➢
➤ ➳➠ ➠ ➟➡ ➥➤ ➟
➡ ➠ ➥ ➞➳
➩ ➤➠➥➼ ➫
➤➯ ➻ ➳ ➤ ➟
➲➤➡ ➠ ➫ ➯
➞➟ ➞ ➫➠➥➠➤ ➟
➼ ➧➤ ➭ ➺➤ ➳
➪ ➧➤ ➭ ➺
➤ ➳ ➼
➯ ➞ ➥➤
➢➤ ➟ ➢ ➻
➩ ➨ ➭ ➞➟ ➫
➤➠ ➟➟➦➤ ➵ ➶ ➞➟➨ ➳➨➥
➸ ➨➧➠ ➦ ➻➟ ➻
➹➘ ➴ ➴➷➬ ➡
➨ ➭ ➺➞➳
➯ ➳➠ ➭➞➳ ➤ ➢
➤ ➫ ➤ ➲
➡ ➨ ➭➺ ➞➳
➢ ➤➥➤
➦➤ ➟➧ ➫➤ ➟
➧ ➡ ➨
➟➧ ➭➞➭ ➺➞➳➠➩➤ ➟
➢ ➤➥➤
➩ ➞
➯ ➤ ➢ ➤
➯ ➞➟
➧ ➨ ➭➯➨ ➫
➢ ➤➥➤➼
➢ ➤ ➟
➡ ➨ ➭➺ ➞
➳ ➡ ➞
➩➨ ➟➢ ➞➳
➭ ➞➳ ➨➯ ➤➩ ➤➟
➡ ➨ ➭ ➺➞➳ ➦➤ ➟➧
➥➠ ➢ ➤➩
➫ ➤ ➟➧➡ ➨ ➟➧
➭➞➭ ➺ ➞➳ ➠➩➤ ➟
➢ ➤➥➤
➩ ➞
➯ ➤ ➢ ➤
➯ ➞➟
➧ ➨ ➭➯➨ ➫
➢➤➥➤➼ ➭➠➡
➤ ➫➟➦➤ ➫➞
➮ ➤➥
➢➻➩ ➨ ➭ ➞➟➵
3
➱ ✃ ❐
❒
k
❮❰
k P
❒❮❒❮ Ï
u
Ð❮ Ñ
❒ Ò ÓÔ❮Õ❒❮ ÕÐ❮
Ö ❮× ÔØÙ
Ð ❮ Ú
u
❮
c
❰ Û
➤ ➫ ➤ ➭
➯ ➞➟ ➞➫ ➠➥➠➤ ➟
➠ ➟ ➠
➳ ➞ ➡
➯ ➻ ➟➢ ➞➟
➢➠➥ ➞➟ ➥➨ ➩➤ ➟
➢➞➟➧➤ ➟ ➭ ➞➟➧➧➨
➟ ➤➩ ➤ ➟
➥ ➞ ➩ ➟➠➩
Ü
u
Ý ÜÞ ß à
v
á ß âã Üäàåæ
➢➤ ➟ ➡ ➤ ➭➯ ➞➫
ç➨ ➻➥➤ ➹ è
u
Þ éâ ß âã Üäàåæ➬ ê
➶ ➞➟
➧ ➤ ➾ ➨
➯ ➤ ➢ ➤
➯ ➞➟ ➢ ➤➯ ➤➥
➸ ➨ ➧➠➦ ➻ ➟➻
➹➘ ➴➴ ➷
➬ ➢➤ ➟
ë ➨ ➟➧➠ ➟
➹ ➘ ➴ ➴➛➬➼ Ü
u
Ý ÜÞß à
v
á ß â
ã Ü äàå æ
➤ ➢➤ ➫ ➤ ➲
➥ ➞ ➩ ➟➠➩
➯ ➞➟➞➟➥➨➤ ➟
➡ ➤ ➭ ➯
➞➫ ➦➤ ➟➧
➢ ➠ ➫
➤➩ ➨➩ ➤ ➟ ➡ ➞➾
➤ ➳ ➤
➡ ➞➟➧➤ ➚ ➤
➢➞➟➧➤ ➟ ➯ ➞➳➥
➠ ➭ ➺ ➤ ➟➧➤ ➟
➥ ➞➳➥ ➞➟ ➥➨
➵ ➸➞➫
➤ ➟➚ ➨ ➥ ➟➦➤
➭ ➞➟ ➨
➳ ➨ ➥
ìí îïð ➹ ➘ ➴ ➴
ñ ➬
➢➤ ➫ ➤ ➭
➡ ➤ ➭ ➯
➞➫ ç
➨ ➻
➥➤ ➯ ➞➟ ➞➫
➠➥➠ ➥➠ ➢
➤➩ ➭➞➭➠ ➫
➠ ➲ ➡ ➤ ➭
➯ ➞➫
➳ ➞ ➡ ➯
➻➟ ➢➞➟ ➡ ➞➾
➤ ➳ ➤
➤ ➾ ➤➩ ò
➡ ➤ ➭ ➯
➞➫ ç
➨ ➻
➥➤ ➭➞➟➧ ➧➨
➟ ➤➩ ➤ ➟
➺➤➥➤➡ ➤ ➟
➥ ➞➳ ➥ ➞➟➥➨
➨ ➟
➥➨ ➩ ➭ ➞➟➞
➩ ➤ ➟ ➡ ➨
➺➚➞ ➩ ➥➠ó➠➥➤➡
➯ ➞➟➞➫
➠➥➠ ➤
➥➤➨ ➯
➞ ➮
➤ ➮
➤ ➟➾ ➤
➳ ➤
➩ ➞
➥➠➩➤ ➭➞➭➠ ➫
➠➲ ➳ ➞
➡ ➯
➻➟ ➢➞ ➟➵ ð
➟➽ ➻ ➳➭➤ ➟ ➩ ➨ ➟ ➾
➠ ➹ô á
y
àåõ
o rm
â å ➬
➢ ➠➥ ➞➟➥➨➩ ➤ ➟
➢ ➞➟➧➤ ➟ ➭ ➞➟➧➧➨
➟ ➤➩ ➤ ➟
➥ ➞
➩ ➟➠
➩ ß å
o w
ö â ää
ß â
mp
äàåæ ➼
➢➠ ➭ ➤ ➟➤
➯ ➞➟ ➞
➟➥➨➤ ➟ ➡ ➤ ➭
➯ ➞➫
➠ ➟
➽ ➻ ➳➭➤ ➟ ➩➨
➟ ➾ ➠
➢➠ ➭ ➨
➫ ➤➠
➢ ➤ ➳➠
➡ ➤➥➨ ➻ ➳
➤ ➟➧ ➦➤ ➟
➧ ➭ ➞➭
➠ ➫ ➠➩ ➠
➯ ➞➭➤ ➲ ➤ ➭➤ ➟
➭ ➞➭ ➤ ➢➤➠
➥ ➞➟ ➥➤ ➟➧
➯ ➞➳➭➤➡
➤ ➫➤ ➲ ➤ ➟
➦➤ ➟➧ ➢➠➩➤ ➚
➠➼ ➡ ➞➫
➤ ➟➚ ➨ ➥ ➟➦➤
➡ ➤➥➨ ➻ ➳
➤ ➟➧ ➥ ➞➳
➡ ➞➺ ➨ ➥
➢ ➠ ➭➠ ➟
➥➤ ➨
➟ ➥➨ ➩
➭➞➭ ➠ ➫
➠ ➲ ➡ ➞
➡ ➞➻➳ ➤ ➟➧
➤ ➥➤➨
➥ ➞➭➤ ➟➟➦➤ ➨
➟ ➥➨ ➩
➢➠➚ ➤ ➢➠➩➤ ➟
➠ ➟ ➽ ➻ ➳➭➤ ➟
➩ ➨ ➟ ➾ ➠
➺ ➞➳ ➠➩ ➨➥ ➟➦➤ ➵
ï ➞➭➠ ➫
➠ ➲➤ ➟ ➥ ➞
➩ ➟➠➩ ß å
o w
ö â ää
ß â
mp
äàåæ ➨
➟ ➥➨ ➩
➭➞➟ ➞➟ ➥➨ ➩➤ ➟
➠ ➟➽ ➻ ➳➭➤➟ ➩➨
➟➾ ➠
➭➞➟ ➧ ➤ ➾
➨ ➯ ➤➢➤
➯ ➞➟ ➢ ➤➯ ➤➥
ë ➨ ➟➧➠ ➟
➹ ➘ ➴ ➴➛➬➼ ➦➤➠➥➨
➡ ➤ ➭ ➯ ➤➠
➢➞➟➧➤ ➟ ➺ ➞➳
➤➩ ➲
➠ ➳ ➟ ➦➤
➯ ➞➟➧➨
➭ ➯ ➨ ➫
➤ ➟ ➠ ➟➽ ➻ ➳➭
➤ ➡ ➠➼
➨ ➭
➨ ➭➟➦➤
➥ ➞➳➢➤➯➤➥ ➥➠➧➤
➥➤ ➲➤➯ ➯
➞➭ ➠ ➫
➠ ➲➤ ➟ ➡
➤ ➭➯ ➞➫ ➢
➤ ➫ ➤ ➭
➯ ➞➟➞➫
➠➥➠➤ ➟ ➩ ➨➤ ➫
➠➥➤➥➠➽➼ ➦➤➩
➟ ➠
÷ ➤➬
➯ ➞➭➠ ➫ ➠ ➲
➤ ➟ ➡ ➤ ➭
➯ ➞➫
➤ ➮
➤ ➫ ➼
➤➯ ➤➩➤ ➲ ➠➥➨
➠ ➟➽ ➻ ➳➭ ➤ ➟
➹ ➨ ➟➥➨➩ ➢
➠ ➮
➤ ➮
➤ ➟ ➾ ➤ ➳
➤➠➬ ➤➥➤➨
➡ ➨ ➤➥➨ ➡ ➠➥➨➤➡ ➠
➡ ➻ ➡ ➠➤ ➫
➹➨ ➟
➥➨ ➩ ➢➠ ➻➺➡ ➞
➳ó➤➡ ➠➬ ➦➤ ➟➧
➥ ➞➳ ➩ ➤➠➥
➢➞➟➧➤ ➟ ➽
➻ ➩ ➨➡
➯ ➞➟ ➞➫ ➠➥➠➤ ➟ø
➺ ➬
➯ ➞➭
➠ ➫ ➠ ➲➤ ➟
➡ ➤ ➭ ➯
➞➫ ➫
➤ ➟ ➚ ➨➥➤ ➟
➧ ➨ ➟➤ ➭ ➞
➭➯ ➞➳➫
➨➤➡ ➢➞
➡ ➩ ➳
➠➯➡ ➠ ➠ ➟
➽ ➻ ➳➭➤➡ ➠
➢ ➤ ➟
➭ ➞➫ ➤ ➾
➤➩ ó➤
➳ ➠➤➡ ➠
➠ ➟➽ ➻➳ ➭ ➤➡ ➠
➦➤ ➟➧ ➭➨ ➟➧➩ ➠➟
➤ ➢➤ ø ➢
➤ ➟ ➾
➬ ➭➞➟➧ ➲ ➞➟
➥➠➩ ➤ ➟ ➯ ➞➭➠ ➫
➠ ➲➤ ➟ ➡
➤ ➭
➯ ➞➫
➫ ➤ ➟➚
➨ ➥➤ ➟ ➺
➠ ➫ ➤ ➭
➤ ➟➤ ➢➠➤ ➟
➧ ➧➤➯ ➡ ➨
➢ ➤ ➲
➥➠ ➢➤➩ ➢
➠➥ ➞➭➨➩ ➤ ➟ ➫➤➧➠
ó➤ ➳➠➤➡ ➠ ➠ ➟➽ ➻➳ ➭
➤➡ ➠ ➹➡ ➨
➢ ➤ ➲
➥ ➞➳ ➚ ➤ ➢
➠ ➳ ➞
➯ ➫ ➠➩ ➤➡
➠ ➯
➞➳➻ ➫ ➞➲➤ ➟
➠ ➟➽ ➻ ➳➭ ➤➡ ➠➬ ➵
Û ➤ ➫
➤ ➭ ➭➞➟ ➞➭
➯ ➨ ➲ ➥➠➧➤
➥➤ ➲➤➯➤ ➟ ➥ ➞➳➡ ➞➺
➨ ➥➼ ➯ ➳ ➻
➡ ➞➢ ➨
➳ ➯
➞➭ ➠ ➫
➠ ➲ ➤ ➟
➡ ➤ ➭ ➯
➞➫
ùú
ûüýüþ ÿ
✁ ý✂✄✂ü ✁
☎ ✆üý✂✄ ü✄✂ ✝
✞ ü ✁ ✟
ýü✠✂þ û✂ ✟✆✁ü☎ ü ✁
ü ûüýü✡ þ
ýüý ✆✂ ✄
☎ ✁✂☎ ☛
☞ ✌
w
✍ ✎✏✏ ☛ ✎✑✒✏✓☞ ✔ ✕
✖ ÿ ý✂☎ü
✗ ✂
þ ü ✗
✂ ✁✟ ✘
þü ✗
✂ ✁ ✟ ✄
☎ ✁✂☎ ÿ
✁ ✟ üþ
✙ ✂ýü ✁
✗ üþ ÿ
ý ✗
✗ ✆ü✂
✄ ✆ ✚
✆ ü ✁
ÿ ✁
ý✂✄✂ü ✁ û✂
✗ ü
✚ ✂☎ ü ✁
ÿ ü û ü
✛ ü
✙ ý
✜✢ ✕
✣ ýü ✁
✚ ✆✄ ✁✞
ü ✤
✗ ✥
ü ✦
ü ✦
✂ ✁ ✥
✂ ✚
✆ þ ýü✡
✗ üþ ÿ
ý ✦
✗ ÿ
✧ ✁ û
✁ ✤
✚ ✆þýü✡
✗ üþÿ
ý ✂ ✁✝
✧ ✦ þ ü ✁
☎ ✆✁
✥ ✂
û ü ✁
✚ ✆
þ ýü✡ ✗
üþ ÿ ý
✄ ☎
✗ ÿ
✦ ü✄ ✆
✦ ü ✁
ÿ ✦
✆✁ ûü ✁✟ü ✁ û✂
✗ ü
✚ ✂☎ ü ✁
ÿü ûü ✄ü
✙ ý
✞ ü ✁ ✟
✗ üþü
★ ✛
ü ✙
ý ✜✢
✩✕
3
✪ ✫
A
✬✭ ✮✯✰ ✯✰ ✱
✭ ✲✭ ✳
✦ ûü
✗ ü
✦ ☎ ü✁
✄ ✆ ✚
✆ü ✁ ÿ
✁ ý✂✄✂ü ✁
ûü ✁ ûü✄
ü ✞
ü ✁ ✟ û
✂ ☎ ✆þÿ ✆
ý☎ ü ✁ ✤
þ ü☎ü ü ✁üý✂
✗ ✂
✗ ûü✄ü
û✂ýü☎ ✆☎ü ✁ û
✁ ✟ ü ✁
þ ✁✟ ✟✆ ✁
ü☎ ü ✁ þ
✄ ✧
û ü ✁
üý✂ ✗
✂ ✗
✗ ✙
ü ✟ ü✂
✙ ✦
✂☎ ✆✄✴ ★
✢ ✩
ü ✁üý✂ ✗
✂ ✗
☎ üÿü ✗
✂✄ü ✗
✧✦ ✟
ü ✁ ✂
✗ ü
✗ ✂
★ ✜
✩✵ ü ✁üý✂
✗ ✂
✗ ☎
✧✧ ✦ û✂ ✁
ü ✗
✂ ü ✁
✄ü ✦
ý þ
✙ ü ✟ü✶
✗ ☎✄
✧ ✦ ✵
★ ✷ ✩ ü ✁üý✂
✗ ✂
✗ û
✗ ☎
✦ ✂ÿ ✄✂ ✝
ÿ ✦ ✗
ÿ ✗
✂ ✵ ★ ✸ ✩✵
ü ✁ üý✂
✗ ✂
✗ û
✗ ☎
✦ ✂ÿ✄✂ ✝
þ ✧
✄✂ ✹ü ✗
✂ ✵ ★ ù ✩
ü ✁ üý✂
✗ ✂
✗ ✂
✗ ✂
☎ ✆
üý✂✄ü✄✂ ✝ ★ ✺ ✩
ü ✁üý✂ ✗
✂ ✗
✄ ✆✄ ✆ ÿ ü ✁
ýü✡ ü ✁✵ ★
✻ ✩
ü ✁ üý✂
✗ ✂
✗ ☛
✼ ✎
✽✾✿ ✌
✏ ❀ ✾
❁ ☛ ✵
★ú ✩
ü ✁üý✂ ✗
✂ ✗
û✂☎ ✧
✄ ✧
þ ✂☎ û
ü ✁ ☎
✧ þ ÿ
✧ ✁
✁ ✗
✂ü ý
✵ ★ ú ✩
ü ✁üý✂ ✗
✂ ✗
ÿ þ
✙ ü
✞ ü
✦ ü ✁
✚ ü
✗ ü
ý✂ ✁✟ ☎
✆ ✁✟ ü ✁ ✵
û ü ✁
★ú ✩ ✗
✂ ✁✄ ✗
✂ ✗
✕ ❂
ü ✗
✂ ✁ ✟ ✘
þ ü ✗
✂ ✁ ✟ þ
✄ ✧
û ü ✁
üý✂ ✗
✂ ✗
✄ ✦ ✗
✙ ✆✄
û üÿ ü✄
û✂ ✚
ýü ✗
☎ü ✁ ✗
✙ ü
✟ ü✂
✙ ✦
✂☎ ✆
✄✴ ✷ ✕
✺ ✕
✢ ✖
✁üý✂ ✗
✂ ✗
☎ üÿü ✗
✂✄ü ✗
✧ ✦ ✟
ü ✁✂ ✗
ü ✗
✂ ÿ
✁ ✟ ý
✧ ýü
❃❄❅ ✛
✖ ✁üý✂
✗ ✂
✗ ☎üÿ ü
✗ ✂✄
ü ✗
✧✦ ✟
ü ✁✂ ✗
ü ✗
✂ û
✂þ ü☎ ✗
✆ û ☎ ü ✁
✆✁✄ ✆ ☎
þ ✁
✂ýü✂ ☎
þ üþÿ ✆
ü ✁
✧ ✦ ✟ü ✁
✂ ✗
ü ✗
✂ û
üýüþ þ
✁ ✥
ü ÿü✂ ✄ ✆
✚ ✆
ü ✁ ý
þ ✙
ü ✟ü ✕ ✛
ü✡üÿ ü ✁ ✞
ü ✁ ✟ û
✂ýü☎ ✆
☎ ü ✁ ûüýüþ
ü ✁üý✂ ✗
✂ ✗
☎ üÿü ✗
✂✄ü ✗
✧ ✦ ✟
ü ✁✂ ✗
ü ✗
✂ ü ûüýü✡
✗ ✙
ü ✟ ü✂
✙ ✦
✂☎ ✆
✄✴ ★
✢ ✩
þ ✁✂ýü✂
☎üÿ ü ✗
✂✄ü ✗
✧ ✦ ✟ü ✁
✂ ✗
ü ✗
✂ ✗
üü✄ ✂ ✁✂ ✵
û ü ✁
★ ✜
✩ þ
✁ ✟ ✂ û
✁✄✂ ✝ ✂☎ü
✗ ✂
☎ ☎
✆ ü✄ü ✁
ûü ✁ ❆
✂ýü ✞
ü✡ ÿ
✦ ✂
✧✦ ✂✄ü
✗ ÿ
✦✙ ü✂
☎ ü ✁ ✕ ❂
ü ✗
✂ ✁✟ ✘
þü ✗
✂ ✁ ✟ ✄ü✡ üÿü ✁
û✂ ✚
ýü ✗
☎ ü ✁ ✗
✙ ü ✟ü✂
✙ ✦
✂☎ ✆✄✴ ❇❈
❂ ✁✂
ýü✂ ☎üÿ ü
✗ ✂✄ü
✗ ✧✦
✟ ü ✁✂
✗ ü
✗ ✂ ✵
þ ✦
✆ÿ ü☎ü ✁ ☎
✟ ✂ü✄ü ✁
þ ýü☎ ✆☎ü ✁
ÿ ✁
✂ýü✂ü ✁ ✄
✦ ✡ü ûüÿ
☎üÿ ü ✗
✂✄ü ✗
✧ ✦ ✟
ü ✁
✂ ✗
ü ✗
✂ û
✁✟ ü ✁
þ ✁ ✟✟✆ ✁ü☎ü ✁
✂ ✁ û ✂☎ ü✄
✧✦ ✘ ✂ ✁û✂☎ü✄
✧ ✦ ✞
ü ✁ ✟ þ
ý✂ÿ ✆
✄✂✴ ★
✢ ✩
✹✂ ✗
✂ û
ü ✁ ✦
✁ ✥
ü ✁ ü
✗ ✄
✦ ü✄
✟✂ ✗
✵ ★
✜ ✩
☎ ÿ
þ✂þ ÿ✂ ✁ü ✁✵ ★
✷✩ þ ü ✁
ü ✚
þ ✁
✧✦ ✟
ü ✁✂ ✗
ü ✗
✂ ✵ ★ ✸ ✩
✗ ✆þ
✙ ✦
û ü
✞ ü
þ ü ✁✆ ✗
✂ ü ✵ ★ ù ✩
ÿ ✁ ✟
þ ✙
ü ✁ ✟ ü ✁
✗ ✆
þ ✙
✦ ûü ✞
ü ✵ ★ ✺ ✩
þü ✁ü ✚
þ ✁
☎ ✆ü ✁ ✟
ü ✁ ✵ ★
✻ ✩
✗ ✄
✦ ✆☎✄ ✆
✦ ☎
þ✂✄ ✦
üü ✁ ✶
✚ ü
✦ ✂ ✁✟
ü ✁ ✵ ★ú
✩ ☎üÿ ü
✗ ✂✄ü
✗ ÿ
✦✧ ✟
✦ üþ ✕
❅ ✁
✂ýü✂ü ✁ ✄
✦ ✡ü ûüÿ
þü ✗
✂ ✁ ✟ ✘
þü ✗
✂ ✁ ✟ ✂ ✁û✂☎ü✄
✧✦ û
✂ýü☎ ✆
☎ ü ✁ û
✁ ✟ ü
✁ þ
✁ ✟ ✟✆✁ü☎ ü ✁ ✁
✂ýü✂ þ
✧ û ✆
✗ ✞
ü ✁✟ û
✂ ûü ✗
ü ✦
☎ ü ✁ ü✄ü
✗ ✗
☎ üýü ☎üÿ ü
✗ ✂✄ü
✗ ✧✦
✟ ü ✁✂
✗ ü
✗ ✂ ✕
✣ ☎üýü
☎ üÿ ü ✗
✂✄ü ✗
✧✦ ✟
ü ✁✂ ✗
ü ✗
✂ ✄
✦ û
✂ ✦
✂ ü✄ü
✗ ✗
☎ ✧✦
❉ ✗
üþÿ ü✂ ✸
✤ û✂
þ ü ✁ ü
þü ✗
✂ ✁ ✟ ✘
þ ü ✗
✂ ✁✟ ✗
☎ ✧ ✦
★ ❉
✤ ✢
✜✤ ✷
✤ û
ü ✁ ✸ ✩
✄ ✦ ✗
✙ ✆
✄ þ
ýüþ ✙
ü ✁✟☎ü ✁ ✄✂ ✁ ✟
☎ü✄ ✞
ü ✁ ✟ û✂
✥ üÿ ü
✂ ✧✦
✟ ü ✁
✂ ✗
ü ✗
✂ ✗
✡ ✆ ✙
✆ ✁ ✟ ü ✁
û ✁ ✟
ü ✁ ✂ ✁ û
✂☎ ü✄ ✧✦
☎ üÿü ✗
✂✄ü ✗
✧✦ ✟
ü ✁✂ü ✗
✂ ✞
ü ✁ ✟ û
✂ ✁✂ýü✂ ✕ ✣
☎üýü ☎üÿ ü
✗ ✂✄ü
✗ ✧ ✦
✟ü ✁ ✂
✗ ü
✗ ✂
❊❋
● ❍■ ● ❏❑ ▲ ▼◆❖❑ ◆■P ❍
◗ ■❘◗▲ ❙❏ ■ ◆
❚ ❍◆ ▲
❍❖❍ ❑ ◆❘❍
❑ ❯ ▼❱ ❍■◆
❑ ❍ ❑ ◆
❍ ●
❍ ❚❍❲
❑ ❏ ❳ ❍❱❍◆
❙ ❍■❍
● ◆ ❑ ❍
❨ ◆ ▲ ❍■
❖ ❍ ● ❍
❩ ❍ ❳❏❚
❬ ❭ ❪❫
❴ ❏ ■ ❱◆
●❏ ■ ❘◆ ❵
◆ ▲
❍ ❑ ◆
❛ ◆
❚ ❍ P ❍❲
❖ ▼◆❯ ▼◆❘❍ ❑
❖❏ ▼ ❳ ❍◆
▲ ❍■
❜ ❙❏ ▼ ◗❖ ❍
▲ ❍■ ▲ ❏❚ ❍
■❨ ◗❘❍■ ● ❍▼◆
❍■❍ ❚ ◆
❑ ◆ ❑
❘❍❲❍❖ ❖
❏ ▼❘❍ ❙
❍ P ❍■❱
❙❏ ▼◗ ❖ ❍ ▲ ❍■
◗ ❖ ❍ P ❍
◗■ ❘◗ ▲
❙❏ ■ ❱◆ ● ❏ ■❘◆
❵ ◆
▲ ❍ ❑ ◆
▲❏▲ ◗❍❘❍■
❯ ▼ ❱❍■◆ ❑ ❍
❑ ◆ ● ❍■
❛ ◆
❚ ❍ P ❍❲
❖❏ ▼ ❳
❍◆ ▲ ❍■
▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍
❑ ❯ ▼❱ ❍■◆
❑ ❍ ❑ ◆
❭ ❝● ❏ ■❘◆
❵ ◆
▲ ❍
❑ ◆ ▲❏▲
◗❍❘❍■ ● ❍■
❛ ◆
❚ ❍P ❍❲ ❖ ▼◆❯ ▼◆❘❍
❑ ❖❏ ▼
❳ ❍◆ ▲
❍■ ▲ ❍❖ ❍
❑ ◆❘❍❑ ❯▼❱ ❍■◆
❑ ❍ ❑ ◆
◆■◆ ●
◆ ❙ ❍
▲ ❑ ◗ ● ▲ ❍■
◗■ ❘◗ ▲
❙❏ ■ ❱ ❏ ❘❍❲ ◗◆
◗ ▼◗ ❘❍■ ❖ ▼◆❯ ▼◆❘❍
❑ ❛
◆ ❚ ❍
P ❍❲ ❖❏ ▼
❳ ❍◆
▲ ❍■ ▲ ❍❖ ❍
❑ ◆❘❍ ❑
❯▼ ❱❍■ ◆ ❑ ❍
❑ ◆ ● ❍
❚ ❍ ❙
▼ ❍■❱▲ ❍ ❙❏❙ ❳ ❍■ ❱ ◗■
▲ ❍❖❍
❑ ◆❘❍ ❑
❯▼❱ ❍■◆ ❑ ❍
❑ ◆❭ ❞
❍ ❑ ◆
❚ ❖❏ ■◆
❚ ❍◆❍■ ▲ ❍❖ ❍
❑ ◆❘❍ ❑
❯▼ ❱❍■ ◆ ❑ ❍
❑ ◆ ❡
◆■ ● ❏ ■❘◆
❵ ◆
▲ ❍ ❑ ◆
▲❏▲ ◗❍❘❍■
❯▼ ❱❍■ ◆ ❑ ❍
❑ ◆ ●
❍ ■
❛ ◆
❚ ❍ P ❍❲
❖▼ ◆❯▼◆❘❍ ❑
❖ ❏
▼ ❳ ❍ ◆
▲ ❍■
▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍
❑ ❯ ▼❱ ❍■◆
❑ ❍ ❑ ◆
❍ ▲
❍■ ● ◆
❑ ❍ ❨ ◆
▲ ❍■
● ❍
❚ ❍ ❙
❳❏ ■ ❘ ◗▲
❩❍ ❳ ❏❚
❋ ❭
❩❍ ❳ ❏
❚ ❬
❢ ▲ ❍
❚ ❍ ▲
❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍
❑ ❯ ▼❱ ❍■◆
❑ ❍ ❑ ◆
◗■ ❘◗ ▲
❖❏ ■◆ ❚ ❍◆❍■
▲ ❍❖❍
❑ ◆❘❍ ❑
❯▼ ❱❍■ ◆ ❑ ❍
❑ ◆ ❢
▲ ❍
❚ ❍ ▲
❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍
❑ ❯ ▼❱ ❍■◆
❑ ❍ ❑ ◆
❣ ❏❑
▲ ▼◆❖❑ ◆
▲ ❍❖ ❍ ❑ ◆❘❍
❑ ❤
❏ ■ ❱ ❏ ▼ ❘◆❍■
✐ ● ❏❑
▲ ▼◆❖❑ ◆
❑ ▲ ❍ ❚ ❍
❥ ❦ ❧♠♥❧
♦❧♥ ❧ ♣q r ❧ ♣
s♠ q t ✉✈
✇①②❧♠ q ♣ ❧ ♣q
r q ③❧♦ ④⑤④ q
t q ♦ q
♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠ ⑥♠ r ⑥♦
④⑤ ♠ ⑦
❧♥ ❧ q ♣
❧ ♣
❧ ① ❧♠
⑧ ❧ ♣q
t ⑨
❧ ♠ ② ③q
r ⑤r ❧♥ ♦❧♠ ✈
⑩ ❶
❧♥❧ ♣q r ❧ ♣
① ⑤♠ ③❧
⑧ s
❷ ❸ ❹ ❺
❻❼ ❽❾❿➀ ➁ ❾
✉✈ ✇①②❧♠ q ♣
❧ ♣q ④⑤④ q
t q ♦ q
♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠ ①
⑤♠ ③❧ ⑧
⑥♠r ⑥ ♦ ④⑤ ♠
⑦ ❧♥ ❧ q
♣ ❧
♣ ❧ ①
❧♠ ⑧
❧ ♣q t
⑨ ❧ ♠ ②
③q ① ⑤♠
⑦ ❧♠❧ ♦❧ ♠ ✈
➂ ❶
❧♥❧ ♣q r ❧ ♣
♣ ⑤
③ ❧ ♠ ②
s ❻❼ ❽❾❿➀ ➁
❾ ✉✈
✇①②❧♠ q ♣ ❧ ♣q
④⑤④ q t q
♦ q ♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠
♣ ⑤ ③❧♠ ②
⑥ ♠r ⑥♦ ④⑤ ♠
⑦ ❧♥ ❧ q
♣ ❧
♣ ❧ ①
❧♠ ⑧
❧ ♣q t
⑨ ❧ ♠ ②
③q ① ⑤♠
⑦ ❧♠❧ ♦❧ ♠ ✈
➃ ❶
❧♥❧ ♣q r ❧ ♣
⑦ ⑥♦ ⑥♥
r q ♠
②② q s
❻❼ ❽❾❿➀ ➁ ❾❺ ➄ ❸
➅ ➄ ✉✈
✇①②❧♠ q ♣ ❧ ♣q
④⑤④ q t q
♦ q ♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠
⑦ ⑥♦ ⑥♥
r q ♠ ②② q
⑥ ♠r ⑥♦ ④⑤♠
⑦ ❧♥ ❧ q
♣ ❧ ♣
❧ ① ❧ ♠
⑧ ❧ ♣q
t ⑨
❧♠ ②
③ q ① ⑤♠
⑦ ❧ ♠❧♦ ❧♠ ✈
➆ ❶
❧♥❧ ♣q r ❧ ♣
r q ♠ ② ②q
s ➄ ❸
➅ ➄ ✉✈
✇①②❧♠ q ♣ ❧ ♣q
④⑤④ q t q
♦ q ♦⑤ ④❧④♥ ⑥❧♠
r q ♠
②② q ⑥♠r ⑥ ♦
④⑤ ♠ ⑦
❧♥ ❧ q ♣
❧ ♣
❧ ① ❧♠
⑧ ❧ ♣q
t ⑨
❧ ♠ ② ③q ①
⑤♠ ⑦
❧♠❧ ♦❧ ♠ ✈ ➇
⑥④ ➈
⑤ ① ➉
➊ ❧r ⑤ ♣
➋ ♠
❾ ➁
➀❹ ✈
s ➂
❥❥ ➌
✉ ➍
③ q ④
➋ ③q
➎ q
♦❧ ♣ q ✈
❩ ❍ ❳ ❏❚
❋ ❴
❯● ◗❑ ■◆
❚ ❍◆ ❡
▲❏▲ ◗ ❍❘❍■
● ❍■
❛ ◆
❚ ❍ P ❍❲
❖❏▼❳ ❍
◆ ▲
❍■ ▲ ❍❖ ❍
❑ ◆❘❍ ❑
❯ ▼❱ ❍■◆ ❑ ❍
❑ ◆ ❝
■ ●
◆ ▲ ❍❘❯ ▼
▲ ❍❖ ❍
❑ ◆❘❍ ❑
❯ ▼❱ ❍■◆ ❑ ❍
❑ ◆ ❢
◗ ❳
◆■ ●
◆ ▲ ❍❘❯▼
❴ ❯
● ◗
❑ ■ ◆
❚ ❍◆ ❑
▲ ❍
❚ ❍ ▲
❍❖❍ ❑ ◆❘❍
❑ ➏❏▲ ◗ ❍❘❍■
➐ ➑ ➒➓ ➔→ ➣➒↔❫
↕ ◆ ❚ ❍P ❍❲
❖❏ ▼ ❳
❍◆ ▲ ❍■
➐➙➓ ➔➙ ➛
o r
➜
mp ro
v
➔
m
➔→
t
❫
❢ ◗❙❳ ❏ ▼
➝ ➞
→ ➜
t
➔➟ ➠
➙
y o
➛ ➡
➓ ➔➙
t
➔
r
➢
o ro
→
to
➤
t
↔ ➔ ➥→
t
➙ ➓ ➜
o
➢➓ ➜ ➦➦ ➜
um
➧
o u
→ ➟➙
t
➜
o
→ ➤
t
↔ ➔ ➨➙
yt
➓ ➔➔ ➧
o u
→ ➟➙
t
➜
o
→ ➐
❪➩ ➩ ❋
❫ ❡
● ◆ ❙
❯ ●
◆ ❵
◆ ▲ ❍
❑ ◆❭
➫➭
➯➲ ➫➲➳ ➵➸➺➻➼➽
➼➽ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸
➺➽ ➼ ➺ ➸➹➺➪
➻➘➴ ➷➺➬➺ ➮
➺➻➺➴ ➱➘ ➸
➘➻➼➹➼➺ ➸ ➼ ➸
➼ ➺ ➸
➺➻➼➽ ➼➽ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸
➺➽ ➼ ➶
➼➴ ➺ ➾ ➽ ✃ ➶ ➾
➺ ➸ ✃
➸ ➹✃
➾ ➴ ➘ ➸
➬➘➹➺ ❐✃ ➼ ➽ ➹➺➹✃➽
➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼
➶➺ ➸ ➾
➺ ➱➺➽ ➼➹➺➽ ➾
➚ ➚➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼
➺ ➸➹➺➪ ➻➘➴
➷ ➺➬ ➺
➱➘➴➘➪ ➼➸➹➺ ❐ ➶
➺➻➺➴ ➱➘ ➸
➬ ➘➻➚➻➺➺ ➸ ❒ ❮❰Ï
➲ Ï
➺ ❐➺ ➱ ➺ ➸
➺ ➸➺➻➼ ➽ ➼➽
➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼
➼ ➸➼ ➺ ➶
➺➻➺ ❐ ➽ ➘ ➷
➺➬ ➺➼ ➷➘➪➼ ➾
✃ ➹ Ð
ÑÒ Ó➘ ➸➼
➻➺➼ ➽ ➹➺
➹✃ ➽ ➾➚➚ ➪ ➶
➼ ➸➺➽ ➼ ➺ ➸
➹➺➪ ➻➘➴ ➷➺➬ ➺
➱ ➘➴ ➘➪➼ ➸➹➺ ❐
➮ ➺➻➺➴
➱➘ ➸ ➘➻➼➹➼➺ ➸
➼ ➸ ➼
➱➘ ➸ ➼➻➺➼➺ ➸
➽ ➹➺➹✃ ➽
➾ ➚ ➚➪ ➶➼ ➸
➺➽ ➼ ➺ ➸➹➺➪
➻➘➴ ➷➺➬ ➺ ➱
➘➴ ➘➪➼ ➸➹➺ ❐ Ô
➺ ➸➬ ➹
➘➪ ➾
➺➼➹ ➶
➘ ➸➬➺ ➸ ➱➘ ➸➬➘➻➚➻➺ ➺ ➸
❒ ❮❰Ï ➶➼➴➺ ➾➽ ✃ ➶ ➾
➺ ➸ ✃
➸ ➹✃
➾ ➴ ➘ ➸
➼➻➺➼ ➽
➹➺➹✃ ➽ ➾
➚ ➚➪ ➶
➼ ➸➺➽ ➼
➷ ➘➪ ➶➺➽ ➺➪ ➾➺ ➸
➶ ➘➪➺
Õ ➺➹
➱ ➘➴
➷ ➚ ➪➚ ➽
➺ ➸ Ö
➶➘➪➺ Õ
➺➹ ➼ ➸ ➾
➚ ❐➘➪➘ ➸➽
➼ ➶➺ ➸
➶➘➪➺ Õ
➺➹ ➹➼ ➶
➺ ➾ ➹➘➪ ➹➺ ➸
➬ ➺ ➸ ➼ ➸
Ô ➺
➼➽ ✃ ×➼➽ ✃ Ø
❰ ➘➹➘➪➽
ÑÙ ÙÚÒ➲ ❰
➘ ➸ ➼➻➺ ➼➺ ➸
➽ ➹➺➹ ✃ ➽
➾➚ ➚➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼
➶ ➼➽ ✃ ➽
✃ ➸
➶ ➺➻➺➴
➷➘ ➸ ➹✃
➾ ➹➺ ➷
➘➻ Ô
➺ ➸ ➬
➴ ➘ ➸ Õ
➘➻➺➽ ➾ ➺ ➸
➽ ➹➺➹✃ ➽ ➾➚➚ ➪ ➶
➼ ➸➺➽ ➼ ➺ ➸➹➺➪
➻➘➴ ➷
➺➬ ➺ ➱
➘➴ ➘➪➼ ➸ ➹➺ ❐
➶➺➻➺➴ ➱➘ ➸
➬ ➘➻➚➻➺➺ ➸ ❒ ❮❰Ï
➽ ➘ ➷➺➬ ➺➼➴➺ ➸➺
➶➼➽ ➺
Õ ➼ ➾➺ ➸
➱ ➺ ➶➺
Ï ➺ ➷
➘➻ Ñ➭
➷ ➘➪ ➼➾✃ ➹
Ð Ï
➺ ➷➘➻ Ñ➭
Û➹➺➹✃➽ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸
➺➽ ➼ ➶➺ ➸
➻➘➴ ➷➺➬➺ Ô
➺ ➸➬ ➹➘➪ ➻➼ ➷
➺➹ ➷➘➪ ➶➺➽ ➺➪ ➾
➺ ➸ ➾
➘➬ ➼➺➹➺ ➸ ➶➺➻➺➴
➱ ➘ ➸➬➘➻➚ ➻➺
➺ ➸
❒ ❮
❰ Ï ➵
➪ ➘➺ ➾➚ ➸➽ ➘ ➱
➹✃ ➺ ➻
➱➘ ➸➬➘➻➚➻➺➺ ➸ ❮
➘➴ ➷➺➬➺
Ô ➺ ➸
➬ ➹➘➪ ➻
➼ ➷➺➹ Û➹➺➹✃➽
➾➚➚ ➪ ➶ ➼ ➸➺➽ ➼
➳ Ò Ó➘ ➸➼
➻➺➼ ➹➺ ❐
➺ ➱➺ ➸ ➾
➘➬ ➺➬➺➻➺ ➸ ➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸
➺➽ ➼ ➺ ➸➹➺➪
➻➘➴ ➷
➺➬ ➺ ➱➘➴➘➪ ➼ ➸
➹➺ ❐ Ü
➘➪ ➶
➺➽ ➺➪ ➾➺ ➸ ➱➘➪➴ ➺➽ ➺➻➺ ❐
➺ ➸ ➾
➚ ➚➪ ➶
➼ ➸➺➽ ➼
➱➺ ➶ ➺
➴ ➺➽ ➼ ➸ ➬
× ➴ ➺➽
➼ ➸➬ ➾
➘➬➼➺➹➺ ➸ ➶➺➻➺➴
➱ ➘ ➸➬➘➻➚ ➻➺➺ ➸
❒ ❮❰Ï ➶
➼➻➺ ➾✃ ➾➺ ➸ ➱➘ ➸
➼➻➺➼➺ ➸ ➹➺ ❐
➺ ➱➺ ➸ ➾➘➬➺ ➬➺➻➺ ➸
➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼
Ô ➺ ➸➬
➴➘ ➸➬➺ Ý ✃
➱ ➺ ➶➺
➽ ➾➺➻➺ ➾
➺ ➱➺➽ ➼➹➺➽ ➾
➚ ➚➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼
Ó➘➹ Ý ➺➻ Þ➘
Ø ÑÙ ÙßÒ➲ Ï
➺ ➷ ➘➻
➱ ➘➪➴ ➺➽ ➺➻➺ ❐
➺ ➸ ➶
➺ ➸ ➹➺ ❐
➺ ➱➺ ➸ ➾
➘ ➬➺➬ ➺➻➺ ➸ ➾
➚ ➚➪ ➶
➼ ➸➺➽ ➼
➶ ➼ ➷✃➺➹
➽ ➘ ➷➺➬➺➼➴ ➺ ➸ ➺
➶ ➼➽ ➺
Õ ➼ ➾
➺ ➸ ➱➺ ➶
➺ Ï
➺ ➷ ➘➻
Ñ Ñ ➲
Ï ➺ ➷➘➻
Ñ Ñ ❰
➘➪➴➺➽ ➺➻➺ ❐➺ ➸ ➶
➺ ➸ ➹➺ ❐➺ ➱
➺ ➸ ➾➘➬➺➬ ➺➻➺ ➸
➾ ➚ ➚➪
➶ ➼ ➸➺➽ ➼
➵ ➪ ➘➺
➾➚ ➸➽ ➘ ➱ ➹✃ ➺
➻ ➱➘ ➸➬➘➻➚➻➺➺ ➸
❰ ➘➪ ➴➺➽ ➺➻➺ ❐
➺ ➸ Ï
➺ ❐ ➺ ➱➺ ➸
➾ ➘ ➬➺➬➺➻ ➺ ➸
➾ ➚ ➚➪
➶ ➼ ➸➺
➽ ➼ ➷➘➪ ➶➺➽ ➺➪ ➾➺➸
➽ ➾➺➻➺ ➾
➺ ➱➺➽ ➼➹➺➽
➾➚➚ ➪ ➶➼ ➸ ➺➽ ➼
Ó ➘➹ Ý ➺➻ Þ
➘
àá
âãäåæçåç ä è
ç éçêç ä ë ã
ìçì çæç ä ëíí îïå äçð å
ç äè çî
æ ãñòçì ç ê ãñ ã
îå äè ç é
ïçæ ç ñ ê
ãä ì
ã æíæçç ä
ð ó ñò ãîïç ôç õö â
÷ ï å ñ
ç ëð óï ë
ç ä ó
äèó ë ñ ãä
åæçå ëçêçð å è
çð ë
í í îïå äçð å ò
ã îï çð
çî ë
ç ä ð ëçæç
ë çê çð å è
çð ëíí îï å ä
çð å ø
ãè ù
çæ ú
ã û
á üü ý þ
á üü ÿ
ôç äì ïå ñíï å
ú å ëçð
å í æ ãé
õíìæ û ✁✂✂
✁ ✄
☎ ë
çæ ç ëç
ê çð å è çð
ë í íï å ä
çð å èã
îð ã òó
è çï çæç é
ð ã ò çì çå ñ
ç äç ôç äì
èã æç é
ïåð ç ñêçå ëç ä ê çï ç
ò çò è
å ä✆ çó ç ä
ê óð è ç ëç
û ÷ çò ã
æ à
✄ ✝
✄ à
✄ ✝
✞ ä çæåð åð
ï ã ð ëîåê è
å ú
ê ã î ð ãêð å
ï ç ä ñí è
å ✟çð å ñ
çð ôçî ç ëç è ê ãñç ä
ú çç è
âãäåæçåç ä ê ã
î ð ã ê ð å
ñçð ôçîç ëç è ê ãñç ä
ú çç è
è ã î éçïçê
ñç ä ú
çç è ð ó
ñ ò
ã îï çôç
õö â ÷
ñ ãä ì ìó
ä ç ëç ä
ê ãäï ãëç è ç ä
ï ã
ð ëîåê è
å ú
ï ãäìç ä ð ëíî
ê ãä
åæçåç ä ôç äì
ï åîó ñ
ó ð ëç ä ò
ã îï çð
çî ë
ç ä ☎
ë çæç
öå ë ã î è
ûø ã
óææ ã î
á ü ü
à ✄
✠çæç ñ ê
ãä ã æåè
å ç ä å äå
þ ó
äèó ë ñ ãä
ì ó ë
ó î ê
ã îð ã
ê ð å ñçð
ô çîç ë
ç è ê
ãñç ä ú
çç è è ã
î éçï çê ñç ä
ú çç è
ð ó ñ
ò ã
î ïç ôç õ ö â
÷ ï åæç ë
ó ëç ä
ê ã ä ì ó ëó îç ä
èã î
é çï çê
ò ã
ò ã
îçê ç í ò ✆ ãë
ê ã
î ð ã êð å
ôç äì ò
ã î ë ãäçç ä
ï ãäìç ä
ñç ä ú
çç è ð ó
ñ ò
ã îï çô ç
õö â÷ þ
ï å ñ
ç äç ñçð
å äì ✡
ñçð å äì í ò ✆ãë
ê ã
îð ã ê ð
å ïåî å ä
ù å
ë ã ï çæç ñ
ò ã
ò ã
îç êç ò ó è
åî ê
ã îð ã
ê ð å ✄
â ãä ì ó
ë ó îç ä
ê ãîð ã ê ð
å ê çïç
ð ãè åç ê
òó è
åî ê
ãä åæç åç ä
ï åð ó ð ó
ä ï çæç ñ
ò ãäè
ó ë
ìî çï çð å ê ãäåæçåç
ä ôç äì
ò ã
î ì ã î ç ë
ï çî å ð ç äìç è
ò ã
î ñç ä ú
çç è ð ç ñêçå
è åï ç ë
ò ã
î ñç ä ú
çç è ✄
õçð åæ ê
ãä åæçå ç ä
ê ã
îð ã ê ð å
ç ë
ç ä ï åð ç ✆
å ëç ä ï çæç ñ
ò ãä è ó ë
÷ç ò ã æ
á ✁✄
☎ ã
æç ä ✆ ó èäôç
ó äè
ó ë
ñ ãä ì
ãè ç é
ó å è
å ä ì ëç è
ê ã
îð ã êð å
ñçð ôçîç ëç è ê
ãñ ç ä
ú çç è
ò ã
îï çð çî
ë ç ä
íò ô ãë ê
ãä å æ
çåç ä ð ã
ê ã
î è å
ôç äì ï åð ç ✆
å ë ç ä
ê çïç ÷çò
ã æ
á ✁ þ
ïåæç ëó ëç ä ëæçð
å ú
å ë çð å
èã î
é çï çê
è í è
çæ ð ëí î
ê ãä
åæçåç ä ôç ä
ì ï åê ã
î íæ ãé ï çîå
ð ã✆ ó
ñ æç é
í ò ✆ãë
ï ç ä ò ó è
åî ê ãäåæçåç ä
✄ ✠çæ çñ
éçæ å äå
è å ä
ì ë
ç è
ê ãîð ã êð å
ñçð ôçîç ëç è ï åêåæç é
ñ ãä✆ çï å
✝ û
è åì ç
ë ã æçð
þ ôçåè
ó î
ã äï ç é
þ ð ã
ïç äì þ
ïç ä è
å ä ì ìå
✄ âãäãä è
óç ä ë ãèã
ìí îå ï åïçð çî
ë ç ä
êç ïç è
í è
çæ ð ëíî
ê ãäåæçåç ä ï ãäìç ä
å ä èã î ✟çæ
ë ã æçð ☛
û ð ëíî
èãî è å äìì å
ï å ëóî ç äìå ð ëí î
è ã î ãäï ç é
ï åòç ìå ✆
ó ñ
æ ç é ë ã
æç ð û
ôçå è
ó ✝
✄ õçð åæ
ê ã
î éå è ó äì ç ä
è å ä
ì ë
ç è ê ã
î ð ã êð å
ç ë ç ä
ï åð ç ✆ å ëç ä
ï çæç ñ ò
ãäè ó
ë ÷ç ò ã
æ á ✝
✄ âãäåæçåç ä
ñ í
è å✟çð å
ñçð ôçîç ë ç è
ê ãñç ä
ú ç ç è
ïçæç ñ ê
ãñ ç ä
ú çç è
ç ä ð ó
ñ ò
ã îïç ôç
õö â ÷
ñ ãä ì ìó
ä ç ëç ä
ê ãäï ãëç è ç ä
ï ã
ð ëîåê è
å ú
ï ãäìç ä ð ëíî
ê ãä
åæçåç ä ôç äì
ï åîó ñ
ó ð ëç ä ò
ã îï çð
çî ë
ç ä ☎
ë çæç
öå ë ã î è
ûø ã
ó ææ ã î
á üü
à ✄
✠çæç ñ ê
ãä ã æåè
å ç ä å äå
þ ó
äèó ë ñ ãä
ì ó ë
ó î è
å äì ë
ç è ñí è
å ✟çð å ñçð ôçî ç ëç è
ê ãñ
ç ä ú
çç è ï çæç ñ
ê ãñç ä
ú çç è
ç ä ð ó
ñ ò
ã îï çôç
õö â ÷
ï åæç ëó ëç ä ê
ãäìó ë
ó î ç ä èã
î é
çï çê ò
ã ò
ã îçê ç
í ò ✆ãë ñ
í è
å ✟çð å ò
ã îï çð çî ëç ä
ñ í
è å ✟çð å
ãëí ä
í ñ
å þ
ñ í
è å ✟çð
å ð í ð åçæ
ï ç ä ñ
í è
å ✟çð å
æå äì ë
ó äìç ä
þ ï å
ñç äç ñçð å ä
ì ✡
ñçð å äì í ò
✆ãë ñí è
å ✟çð å å äå
ï åîå ä ù
å æç ìå
ë ã ïçæç ñ
ò ã
ò ã
îç êç ò ó
è åî
ê ãäôç è
çç ä ñí è
å ✟çð å ð ã
ê ã
î è å
ôç ä
ì ï åð ç ✆
å ëç ä êçï ç
÷ çò ã
æ á
ý þ
á ☞ ïç ä
á à
✄ â ãä
ì ó ëó îç ä ê
ã îð ã
ê ð å
✌✍
✎✏✑✏ ✒ ✓✔✕✏ ✎
✖ ✗✔✕✘ ✎ ✓✙✕✚✏✕✏ ✙
✑✕✒ ✗✒ ✗ ✙ ✑✏✚ ✏✛
✖ ✓✙✔ ✗✜ ✢✘✏✑ ✏✒ ✕
✎✓✙✕✚✏✕✏ ✙
✣✏ ✙✢ ✖ ✓
✘ ✢ ✓ ✘✏
✜ ✑ ✏✘✕
✒ ✏ ✙✢✏✔ ✛ ✓
✛ ✤✔✕ ✥✏✒ ✕ ✒ ✏✛ ✎✏✕
✔✕ ✑✏ ✜ ✛ ✓
✛ ✤✔✕ ✥
✏✒ ✕ ✦ ✧
✏ ✖✓
✚ ★ ✍
✩✖ ✪✓✜ ✑✏ ✙
✖✗✔✕✘ ✫ ✖✗✔✕✘ ✎ ✓✙✕✚✏✕✏ ✙
✎ ✓ ✘✒ ✓✎✒ ✕
✛✏ ✒ ✣✏✘ ✏ ✜✏✔ ✎ ✓
✛✏ ✙ ✬✏✏✔ ✔ ✓
✘ ✭✏✑ ✏ ✎ ✛ ✏ ✙✬✏✏✔
✒ ✗✛ ✖✓
✘ ✑✏ ✣✏ ✮✯✰ ✧
✱ ✎ ✓ ✘✒ ✓✎✒ ✕
✔ ✓✘ ✭✏✑✏ ✎ ✤
✖ ✪✓✜✲
✳ ✤
✴ ✘✏✕✏ ✙
✎ ✓✙✣✏✔✏✏ ✙ ✎ ✓
✘✒ ✓✎✒ ✕ ✰ ✓
✘✒ ✓✙✔✏✒ ✓ ✖✓
✘ ✑✏✒ ✏✘ ✜✏ ✙ ✒ ✜
✤ ✘ ✎ ✓
✘✒ ✓✎ ✒ ✕
★ ✍
✵ ✶
✷ ✸
✹ ✏ ✙ ✬
✏✏✔ ✰ ✓✙ ✢✢ ✗✙✏✏ ✙
✱ ✺✻ ✼ ✽✾ ✿
u
✼ ✲
★ ✹
✏ ✙ ✬ ✏✏✔
✚✏ ✙ ✢ ✒ ✗ ✙✢
✏ ✦ ❀
✗ ✛
✖✓ ✘
✭ ✏✒ ✕✚
✭ ✗ ✔✏ ✙
✙ ✤
✙ ✜
✏ ✣ ✗ ✱✘✤ ✔✏ ✙
❁ ✖ ✗
✏ ✭ ✫✖✗✏ ✭ ✏ ✙
❁ ✔ ✏ ✙
✏✛ ✏ ✙ ✭✕✏✒
❁ ✢ ✓
✔✏ ✭ ❁
✒ ✏✣ ✗✘ ✫ ✛ ✏✣ ✗
✘ ✲
…. ….
…. ….
…. b. Sumber tanaman obat
…. ….
…. ….
…. c. Sumber air
…. ….
…. ….
…. 2
Manfaat fungsional a. Pengatur tata air
…. ….
…. ….
…. b. Mencegah erosi dan sedimentasi
…. ….
…. ….
…. c. Perlindungan terhadap angin
…. ….
…. ….
…. d. Mencegah banjir
…. ….
…. ….
…. 3
Manfaat pilihan a. Tempat pelaksanaan upacara adat
…. ….
…. ….
…. b. Tempat olah raga
…. ….
…. ….
…. c. Tempat rekreasi
…. ….
…. ….
…. B.
Manfaat Bukan Penggunaan
❂
o
❃ ✺
s
✼ ✽
✾✿
u
✼
1 Manfaat keberadaan
a. Habitat berbagai jenis tumbuhan ….
…. ….
…. ….
b. Habitat berbagai jenis hewan ….
…. ….
…. ….
2. Manfaat lainnya
a. Keindahanpemandangan ….
…. ….
…. ….
Keterangan: 1= tidak bermanfaat; 2 = kurang bermanfaat; 3 = cukup bermanfaat; 4 = bermanfaat; 5 = sangat bermanfaat.
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat motivasi masyarakat pemanfaat berdasarkan objek penilaian seperti yang diilustrasikan pada Tabel 14, 15 dan 16
maka dilakukan klasifikasi terhadap total skor penilaian yang diperoleh dari sejumlah objek dan butir penilaian. Dalam hal ini tingkat motivasi ekonomi, sosial
dan lingkungan masyarakat pemanfaat dipilah menjadi 3 tiga kelas, yaitu
rendah, sedang, dan tinggi. Penentuan kelas didasarkan pada total skor penilaian dengan interval kelas: skor tertinggi dikurangi skor terendah dibagi jumlah
kelas yaitu 3. Hasil perhitungan tingkat motivasi akan disajikan dalam bentuk Tabel 17.
Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan tingkat persepsinya terhadap manfaat HLPT
No Uraian Tingkat Persepsi
Rendah Sedang
Tinggi f
f f
A Manfaat Penggunaan u
❄ ❅
v
❆❇
u
❅
1. Manfaat Langsung 2. Manfaat Fungsional
3. Manfaat Pilihan
B. Manfaat Bukan Penggunaan
❈
o
❉ ❊❄
❅ ❋❆ ❇
u
❅
1. Manfaat Keberadaan 2. Manfaat lainnya
Keterangan: f = frekuensi; = persentase.
Tabel 14 Butir-butir pernyataan
penilaian motivasi ekonomi masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT
No Uraian pernyataan motivasi
Persentase 1
2 3
4 5
1 Kebutuhan memperoleh pendapatan dari
hasil hutan non kayu ….
…. ….
…. ….
2 Kebutuhan memperoleh pendapatan dari
pemanfaatan lahan ….
…. ….
…. ….
3 Kebutuhan memperoleh pendapatan dari
pemanfaatan air ….
…. ….
…. ….
4 Kebutuhan memperoleh pendapatan dari
insentif pemerintah ….
…. ….
…. ….
Keterangan: 1= tidak memotivasi; 2 = kurang memotivasi; 3 = cukup memotivasi; 4 = memotivasi; 5 = sangat memotivasi.
Tabel 15 Butir-butir pernyataan penilaian motivasi sosial masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT
No Uraian
Persentase 1
2 3
4 5
1 Kebutuhan akan saling hubungan dengan
orang lain ….
…. ….
…. ….
2 Kebutuhan memelihara eksistensi budaya konservasi
sumberdaya alam ….
…. ….
…. ….
3 Kebutuhan memperoleh kesadaran dalam
aktifitas kehutanan ….
…. ….
…. ….
4 Kebutuhan untuk menjalankan ajaran agama
…. ….
…. ….
…. 5
Kebutuhan untuk mencegah hijrah ke kota ….
…. ….
…. ….
6 Kebutuhan akan prestisekebanggaan sosial
…. ….
…. ….
…. 7
Kebutuhan berkontribusi pada komunitas ….
…. ….
…. ….
Keterangan: 1= tidak memotivasi; 2 = kurang memotivasi; 3 = cukup memotivasi; 4 = memotivasi; 5 = sangat memotivasi.
Tabel 16 Butir-butir pernyataan penilaian motivasi lingkungan masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT
No Uraian
Persentase 1
2 3
4 5
1 Kebutuhan untuk memperbaiki kualitas
sumber daya hutan ….
…. ….
…. ….
2 Kebutuhan untuk memperbaiki sumber air
…. ….
…. ….
…. 3
Kebutuhan untuk mengurangi banjir ….
…. ….
…. ….
4 Kebutuhan konservasi tumbuhan dan hewan
…. ….
…. ….
…. 5
Kebutuhan untuk mewujudkan keinginan mengkonservasi lingkungan
…. ….
…. ….
…. 6
Kebutuhan untuk pengembangan kepariwisataan ….
…. ….
…. ….
Keterangan: 1= tidak memotivasi; 2 = kurang memotivasi; 3 = cukup memotivasi; 4 =
memotivasi; 5 = sangat memotivasi.
Tabel 17 Distribusi responden berdasarkan tingkat motivasi masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT
No Uraian Tingkat motivasi
Rendah Sedang
Tinggi f
f f
1 Motivasi ekonomi
2 Motivasi social
3 Motivasi lingkungan
Keterangan: f = frekuensi, = pesentase.
3.6.4 Analisis isi kualitatif Analisis isi kualitaif
●
u
❍ ■❏❑ ❍
❑❏
v
▲ ❍ ▼❍
■
y
◆ ❏ ◆
❖P ◗
o
▼
t
▲▼
t digunakan untuk menganalisis data sekunder yang bersumber dari peraturan perundangan dan
dokumen kebijakan, khususnya peraturan perundangan dan kebijakan yang berkenaan dengan koordinasi antar lembaga pemerintah. Menurut Mayring
2000, Patton 2002, Hsieh dan Shannon 2005 yang dikutip oleh Zhang dan Wildemuth 2009 analisis isi kualitatif adalah: 1 metode riset untuk
menafsirkan data berupa isi teks secara subjektif melalui proses pengklasifikasian secara sistematis dengan pengkodean dan mengidentifikasi tema atau pola Hsieh
dan Shannon 2005; 2 sebuah pendekatan empiris, metode analisis terkendali terhadap teks di dalam konteks komunikasinya, mengikuti aturan analisis isi
dengan model tahap demi tahap, tanpa kuantifikasi Mayring 2000; dan 3 merupakan reduksi data kualitatif dan melakukan usaha mengambil isi material
kualitatif dan mencoba mengidentifikasi inti arti dan konsistensi Patton 2002. Tahapan yang digunakan dalam analisis isi kualitatif adalah sebagai berikut:
1 penyiapan data; 2 menentukan unit analisis; 3 mengembangkan kategori dan skema pengkodean; 4 mencoba skema pengkodean pada contoh sampel
teks; 5 mengkode seluruh data; 6 menilai konsistensi pengkodean; dan 7 membuat kesimpulan dari data yang telah di kode.
3.6.5 Analisis tutupan lahan HLPT Analisis tutupan lahan dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh
inderaja dan sistem informasi geografis SIG. Analisis tutupan lahan HLPT didasarkan pada Peta Dasar Tematik Kehutanan PDTK tahun 2006, Peta
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Timur tahun 2001, Peta Administrasi Pemerintahan Provinsi Kalimanatan Timur tahun 2001, Peta
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan tahun 2006 dan Hasil Penafsiran Citra Spot 5 tahun 2009. Analisis tutupan lahan ini dimaksudkan untuk
mengetahui kelas tutupan lahan dengan masing-masing luasannya, guna menggambarkan kondisi terkini penggunaan lahan pada kawasan HLPT.
Menurut Soenarmo 2009 pengideraan jauh merupakan ilmu-teknik-seni untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau
objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak
langsung dengan benda atau target terseut. Sedangkan sistem informasi geografis adalah suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan
berhubungan dalam mencapai sasaran berdasarkan informasi data, fakta, kondisi, fenomena berbasis geografis daerah, spasial, keruangan yang dapat
dicek posisinya dipermukaan bumi bergeoreferensi. 3.6.6 Analisis
❘ ❙❚❯❱❲ ❳❨❩❱ ❬ ❘
Analisis
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
digunakan untuk menemukan
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
yang potensial dapat terlibat dalam pemulihan fungsi HLPT dan kepentingannya serta
menilai tingkat kepetingan dan pengaruhnya. Menurut Glick
❱ ❙ ❚
❨
2002
a
nalisis
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
sering hanya digunakan untuk mengidentifikasi
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
utama, menggunakan definisi umum
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
. Sementara secara umum definisi
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
adalah sesorang siapa saja yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi aksi organisasi.
Menurut
Allen dan Kilvington 2003 analisis
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
adalah mengidentifikasi
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
kunci dalam sebuah projek, menilai minat atau kepentingan mereka, dan bagaimana kepentingan mereka
mempegaruhi kelangsungan dan resiko projek. Sedangkan
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
adalah seseorang, kelompok atau lembaga dengan kepentingan di dalam kebijakan,
program atau projek. Mengacu pada Bryson 2003 dan WHO 2009 analisis
❘ ❙❚ ❯❱❲
❳ ❨❩ ❱ ❬
❘
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1 mengidentifikasi
❘ ❙❚❯❱❲ ❳❨❩❱ ❬ ❘
; 2 mengidentifikasi minat
❭❪ ❙ ❱ ❬
❱❘ ❙ ❘ ❙❚❯❱❲ ❳❨❩❱ ❬
❘
dalam pemulihan fungsi HLPT; dan 3 menilai kepentingan
❭ ❫❴
❳ ❬ ❙❚❪
❵ ❱
dan pengaruh
❭❪ ❛
❨
u
❱❪ ❵
❱
masing- masing st
❚❯❱❲
o
❨❩ ❱
rs dalam pemulihan fungsi HLPT; dan 4 memetakan
st
❚❯❱❲
o
❨❩ ❱
rs berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya.
Identifikasi pemangku kepentingan st
❚ ❯ ❱❲
o
❨❩ ❱
rs dilakukan dengan
menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik bola salju
❘ ❪
o w
❜ ❚❨❨
.
❝
t
❚ ❯❱❲
o
❨❩❱
rs yang pertama kali teridentifikasi dan terwawancarai diminta untuk
mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan pemangku kepetingan lain yang memiliki kepentingan dan pengaruh terhadap pemulihan fungsi HLPT,
dengan ketentuan satu pemangku kepetingan diharapkan dapat mengungkapkan dua pemangku kepetingan lainnya. Dengan beberapa pertanyaan kunci yang akan
digunakan untuk mengidentifikasi pemangku kepetingan sebagai berikut: 1 siapa
yang berhak terlibat?; 2 siapa yang potensial sebagai penerima manfaat? 3 siapa yang memiliki pengaruh menguntungkan atau merugikan?; 4 siapa yang
memiliki respon dalam perencanaan-percananaan yang diharapkan?; 5 siapa yang memberi dana, keterampilannya atau informasi penting?; apa kepentingan
mereka? dan bagaimana tingkat kepetingan dan pengaruh mereka? Hasil analisis
❞ ❡❢❣❤✐ ❥❦❧❤ ♠ ❞
berdasarkan minat, tingkat kepentingan dan
tingkat pengaruhnya dalam pemulihan fungsi HLPT disusun dalam bentuk Tabel 18. Selanjutnya dilakukan pengkategorian
❞ ❡❢❣❤✐ ❥
❦❧ ❤ ♠
menurut kepentingan dan pengaruhnya terhadap pemulihan fungsi HLPT dengan menggunakan “diagram
matriks
♥❢ ❡♠ ♦
x
❧ ♦ ❢♣ ♠ ❢
m ”. Sehingga, sebaran posisi st
❢ ❣❤✐
o
❦❧❤
r menurut
kepentingan dan pengaruhnya dapat diilustrasikan dalam diagram matriks, seperti pada Gambar 8.
Tabel 18 Hasil analisis minat, tingkat kepentingan dan pengaruh st
❢ ❣❤✐
o
❦❧❤
rs dalam pengelolaan sumberdaya HLPT
q
t
❢❣❤✐
o
❦❧❤
rs Minat
Tingkat kepentingan
Tingkat pengaruh
Keterangan: a
Pada kolom st
r st✉
o
✈ ✇ t①
s , dituliskan nama seluruh st
r s t ✉
o
✈ ✇
t ①
s
②
b Pada kolom minat, merujuk pada motif st
r st✉
o
✈ ✇
t ①
s dalam pemulihan fungsi HLPT satu
hingga tiga kepentingan st
r s t ✉
o
✈ ✇
t ①
s .
c Pada kolom tingkat kepentingan, merujuk pada derajat kepetingan st
r st✉
o
✈ ✇ t①
s terkait dengan pemulihan fungsi HLPT, dengan nilai sangat tinggi = 5; tinggi = 4; sedang = 3;
kurang = 2; sangat kurang = 1 ; dan tidak diketahui = 0. d
Pada kolom tingkat pengaruh, merujuk pada derajat pengaruh st
r st
✉
o
✈ ✇
t ①
s berdasarkan
sumberdaya manusia, keuangan dan politik terkait dengan pemulihan fungsi HLPT, dengan nilai sangat tinggi = 5; tinggi = 4; sedang = 3; kurang = 2; sangat kurang = 1 ; dan tidak
diketahui = 0.
Gambar 8 Diagram matriks berdasarkan kepentingan dan pengaruh.
Kuadran A subjek menunjukan kelompok yang memiliki
kepentingan tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT, tetapi rendah pengaruhnya. Kuadran B pemain menunjukan kelompok
yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT.
Kudaran C penghubung menunjukan yang tinggi pengaruhnya dan
rendah kepentingannya, sedangkan kuadran D penonton menunjukkan kelompok
③ ④⑤ ⑥⑦⑧⑨ ⑩❶ ⑦❷
yang rendah pengaruh dan kepentingannya. 3.6.7 Analisis taksonomik dan analisis komponensial
Analisis taksonomik dan analisis komponensial digunakan untuk menganalisis data primer hasil wawancara mendalam tentang distribusi otoritas
hak dan kewajiban
③ ④⑤
⑥
. Menurut Bungin 2005 dan Sugiyono 2006 analisis taksonomik adalah analisis keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan
domain yang telah ditetapkan, di mana analisis ini menggunakan pendekatan ”non-kontras antara elemen”. Sedangkan analisis komponensial menggunakan
pendekatan ”kontras antara elemen”. Tahapan analisis dikotomik dan analisis komponensial dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1 distribusi otoritas yang meliputi hak dan
kewajiban
③ ④⑤
⑥ ⑦⑧⑨ ⑩❶ ⑦❷ ③
ditetapkan sebagai domain atau kategori yang menjadi 68
Gambar 8 Diagram matriks
③ ④⑤
⑥⑦⑧ ⑨
⑩❶⑦❷ ③
berdasarkan kepentingan dan pengaruh. Kuadran A subjek menunjukan kelompok
③ ④⑤
⑥⑦⑧ ⑨
⑩❶⑦❷
yang memiliki kepentingan tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT, tetapi rendah pengaruhnya.
Kuadran B pemain menunjukan kelompok
③ ④⑤
⑥⑦⑧ ⑨
⑩❶⑦❷
yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT.
Kudaran C penghubung menunjukan
③ ④⑤
⑥⑦⑧ ⑨
⑩❶⑦❷
yang tinggi pengaruhnya dan rendah kepentingannya, sedangkan kuadran D penonton menunjukkan kelompok
yang rendah pengaruh dan kepentingannya. 3.6.7 Analisis taksonomik dan analisis komponensial
Analisis taksonomik dan analisis komponensial digunakan untuk menganalisis data primer hasil wawancara mendalam tentang distribusi otoritas
hak dan kewajiban
⑥⑦⑧⑨ ⑩❶ ⑦❷ ③
. Menurut Bungin 2005 dan Sugiyono 2006 analisis taksonomik adalah analisis keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan
domain yang telah ditetapkan, di mana analisis ini menggunakan pendekatan ”non-kontras antara elemen”. Sedangkan analisis komponensial menggunakan
pendekatan ”kontras antara elemen”. Tahapan analisis dikotomik dan analisis komponensial dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1 distribusi otoritas
③ ④⑤
⑥ ⑦⑧⑨ ⑩❶ ⑦❷ ③
yang meliputi hak dan kewajiban
ditetapkan sebagai domain atau kategori yang menjadi 68
Gambar 8 Diagram matriks berdasarkan kepentingan dan pengaruh.
Kuadran A subjek menunjukan kelompok yang memiliki
kepentingan tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT, tetapi rendah pengaruhnya. Kuadran B pemain menunjukan kelompok
yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pemulihan fungsi HLPT.
Kudaran C penghubung menunjukan yang tinggi pengaruhnya dan
rendah kepentingannya, sedangkan kuadran D penonton menunjukkan kelompok yang rendah pengaruh dan kepentingannya.
3.6.7 Analisis taksonomik dan analisis komponensial Analisis taksonomik dan analisis komponensial digunakan untuk
menganalisis data primer hasil wawancara mendalam tentang distribusi otoritas hak dan kewajiban
. Menurut Bungin 2005 dan Sugiyono 2006 analisis taksonomik adalah analisis keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan
domain yang telah ditetapkan, di mana analisis ini menggunakan pendekatan ”non-kontras antara elemen”. Sedangkan analisis komponensial menggunakan
pendekatan ”kontras antara elemen”. Tahapan analisis dikotomik dan analisis komponensial dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1 distribusi otoritas yang meliputi hak dan
kewajiban ditetapkan sebagai domain atau kategori yang menjadi
fokus penelitian; 2 berdasarkan domain atau kategori tersebut selanjutnya dilakukan analisis taksonomik atas dasar elemen-elemen yang serupa atau
serumpun, sehingga diperoleh sub domainkategori; 3 selanjutnya, dilakukan analisis komponensial, yakni menganalisis atas dasar elemen-elemen kontras pada
masing-masing sub kategori dari masing-masing domain atau kategori. Tahapan analisis diilustrasikan dalam bentuk diagram, seperti Gambar 9.
Gambar 9 Tahapan analisis data dengan teknik analisis taksonomik dan komponensial.
3.6.8 Analisis pembayaran jasa lingkungan Mengacu pada pendapat Wunder 2005 serta USAID dan RMI 2007,
dalam penelitian ini analisis pembayaran untuk pelayanan jasa lingkungan dari sumberdaya HLPT, khususnya untuk pelayanan jasa sumberdaya air dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut: 1 Menentukan transaksi siapa dengan siapa
Tahapan ini dimaksudkan untuk mengetahui pihak-pihak pengguna pemanfaat sumberdaya air yang bersumber dari HLPT dan pihak-pihak yang
mempengaruhi penurunan dan peningkatan kuantitas sumberdaya air HLPT. Dengan mengetahui pihak-pihak tersebut, maka transaksi pembayaran untuk
pelayanan lingkungan, khususnya yang terkait dengan sumberdaya air dapat
ditentukan. ?
? ?
Analisis taksonomik
?
Domainkategori ?
?
? ?
? ?
? ?
?
? ?
? Analisis
komponensial ?
? ?
? ?
? ?
? ?
? ?
? ?
? ?
? ?
? ?
? ?
? ?
?
2 Menentukan nilai keinginan membayar Menurut Fauzi 2006, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran
jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan
membayar w
❸ ❹ ❹ ❸ ❺
❻ ❺ ❼
ss to p
❽
y
❾ ❿ ➀ ➁
seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran
ini, nilai ekologis ekosistem bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa.
➂
o
❺
t
❸❺ ❻❼❺ ➃ ❽❹
u
❽
t
❸
o
❺ ➄
❼
t
➅
o
➆
s
➂ ➃ ➄
digunakan untuk mengetahui penilaian kelompok masyarakat terhadap keberadaan sumberdaya HLPT atau
untuk mengetahui keinginan membayar w
❸❹❹❸ ❺ ❻❺❼
ss to p
❽
y atau WTP
masyarakat terhadap perbaikan kualitas HLPT. Hasil penilaian keinginan untuk membayar disajikan dalam bentuk Tabel 19 berikut:
Tabel 19 Keinginan untuk membayar
No Uraian
Keinginan membayar WTP 1
Kesediaan responden: a. Bersedia
b. Ragu-ragu c. Tidak bersedia
2 Nilai kesediaan membayar
a. Rata-rata keseluruhan responden b. Rata-rata dari yang bersedia
c. Nilai minimum d. Nilai maksimum
3 Menentukan nilai untuk rehabilitasi hutan dan lahan Berdasarkan kajian-kajian sebelumnya, umumnya dana kompensasi dalam
skema pembayaran jasa lingkungan digunakan untuk kepentingan konservasi, oleh karena penting untuk menghitung biaya rehabilitasi hutan dan lahan suatu
kawasan berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan. Perhitungan estimasi biaya rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan menghitung biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan: 1 penanaman; 2 pemeliharaan tanaman; dan 3 pengamanan. Secara keseluruhan hasil perhitungan biaya rehabilitasi
hutan dan lahan akan disajikan dalam bentuk Tabel 20 berikut:
Tabel 20 Estimasi biaya rehabilitasi hutan dan lahan No
Uraian kegiatan Volume satuan
Biaya satuan Total biaya
A. Penanaman 1.
2. 3.
B. Pemeliharaan Tanaman 4.
5. 6.
C. Pengamanan Tanaman 7.
8. 9.
D. Total biaya dengan pemeliharaan berkelanjutan
3.6.9 Sintesis
Perumusan pengembangan institusi dilakukan menggunakan teknik analisis tema dengan mengkaji saling hubungan antar kategori yang diperoleh dari hasil
analisis parsial tujuan 1, 2, 3, dan 4. Teknik analisis tema
➇ ➈➉ ➊➋
v
➌➍ ➈➎➏ ➊
u
➐➑
u
➍ ➒ ➐
➑➓➌➔➌ ➉
menurut Faisal 1990 yang dikutip Sugiyono 2006 merupakan upaya mencari “benang merah” yang mengintegrasikan lintas domainkategori yang ada.
Guna memudahkan dalam pengintegrasian lintas kategori yang ada digunakan pemetaan teori yang merupakan teknik untuk membantu analisis guna
mengidentifikasi dan merancang asumsi-asumsi. Menurut Dunn 2003 pemetaan teori dapat membantu mengungkap empat jenis argumen kausal, yakni:
konvergen, divergen, serial dan siklik. Argumen konvergen adalah argumen yang di dalamnya dua atau lebih asumsi tentang sebab akibat digunakan untuk
mendukung kesimpulan atau pernyataan. Argumen divergen adalah argumen yang di dalamnya sebuah asumsi mendukung lebih dari dua kesimpulan atau
pernyataan. Di sisi lain, dalam argumen serial sebuah kesimpulan atau pernyataan digunakan sebagai asumsi untuk mendukung sejumlah kesimpulan atau
pernyataan lanjutan. Akhirnya, argumen siklik adalah argumen serial yang di dalamnya kesimpulan atau pernyataan akhir dalam suatu rangkaian dikaitkan
dengan pernyataan atau kesimpulan pertama dalam rangkaian itu. Sebuah teori dapat mengandung campuran dari argumen konvergen, divergen, serial dan siklik.
Secara ringkas tahapan analisis pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT disajikan pada Gambar 10. Sedangkan secara lengkap datainformasi, jenis
data, sumber data, teknik penentuan sampel, jumlah sampel, metode analisis dan sumber acuan metode analisis yang digunakan sesuai tujuan penelitian disajikan
pada Tabel 21.
Gambar 10 Diagram tahapan analisis pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT.
73 Tabel 21 Datainformasi, jenis data, sumber data, teknik penentuan sampel, jumlah sampel, metode analisis dan sumber acuan metode
analisis yang digunakan sesuai tujuan penelitian
Tujuan penelitian fokus kajian
DataInformasi Jenis dan
sumber data Teknik pengambilan
sampel Jumlah sampel
Metode analisis dan sumber acuan Tujuan 1: Mengetahui
kapasitas organiasi dan menemukan wilayah
perbaikan kapasitas organisasi pengelola HLPT.
Skala kapasitas organisasi dan wilayah perbaikan kapasitas
organisasi. Data primer dari
responden. Pengambilan
sampel secara sengaja
32 Analisis kapasitas organisasi: The
Nature Conservancy 2001; Bateson
→➣ ↔ ↕
. 2008. Tujuan 2: Menemukan
penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga
pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya
HLPT. 1
Status koordinasi, permasalahan koordinasi, kegagalan koordinasi,
kapasitas koordinasi. 2
Isi teks peraturan perundangan yang mengatur koordinasi antar
lembaga. 1
Data primer dari informan kunci.
2 Data sekunder dari
peraturan perundangan.
1 Pengambilan
sampel bola salju
2 Pengambilan
contoh secara sengaja
1 20
2 9
1 Analisis koordinasi antar lembaga: Peters 1998
➙ ↔
↕ ↔
➛
Zingerli
→➣ ↔ ↕
. 2004; Metcalfe 1997
➙ ↔ ↕↔
➛
Hogl 2002. 2
Analisis isi kualitatif : Zhang dan Wildemuth 2009.
Tujuan 3: Menemukan sumber
penyebab ketidak selarasan perilaku masyarakat
pemanfaat berdasarkan persepsi dan motivasinya.
Persepsi, tingkat persepsi, motivasi dan tingkat motivasi masyarakat
pemanfaat. Data primer dari
responden. Pengambilan
sampel secara sengaja
115 Analisis deskriptif:
Peace dan Turner 1990; Meuller 1996; Sudjana 1992.
Tujuan 4: Menemukan kejelasan batas spasial
pemulihan fungsi HLPT,
➜ ➣
↔ ➝ →
➞➟ ↕ ➙
→ ➠➜
pemulihan fungsi HLPT, otoritas hak
dan kewajiban
➜ ➣
↔➝ →
➞ ➟
↕ ➙ →
➠➜
pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif
pemulihan fungsi HLPT. Tutupan lahan HLPT, s
➣ ↔ ➝
→ ➞➟ ↕
➙ →
➠➜
, kepentingan dan pengaruh
➜ ➣
↔ ➝ →
➞➟ ↕ ➙
→ ➠
➡
otoritas hak dan kewajiban
➜ ➣
↔➝ →
➞ ➟ ↕
➙ →
➠➜ ➡
penjual dan pembeli jasa lingkungan, keinginan
untuk membayar dan biaya rehabilitasi hutan dan lahan.
Data sekunder dari dokumen dan data primer
dari pengamatan, responden dan informan
kunci. Pengambilan
sampel bola salju dan pengambilan
sampel quota 20 iforman
kunci dan 200 responden
Analisis tutupan lahan dengan pengideraan jauh dan sistem informasi
geografis Soenarmo, 2009; analisis
➜ ➣
↔➝ →
➞ ➟
↕ ➙ →
➠➜
Bryson 2003 dan WHO 2009; analisis taksonomik dan
komponensial Bungin 2005 dan Sugiyono 2006; analisis pembayaran
jasa lingkungan Wunder 2005; Mayrand dan Paquin 2004.
➢
V.
KARAKTERISTIK SUMBERDAYA HLPT DAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT PEMANFAAT
SUMBERDAYA HLPT
4.1 Karakteristik Sumberdaya HLPT