Pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung Pulau Tarakan sebagai penyangga ekosistem pulau kecil

(1)

i

EKOSISTEM PULAU KECIL

ADI SUTRISNO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2011 Adi Sutrisno P062070061


(3)

iii

Protection Forest as the Ecosystem Buffer of Small Islands. Supervised by Hariadi Kartodihardjo, Dudung Darusman and Bramasto Nugroho.

The Background that prompted this research was the damages of Tarakan Protection Forest (in Indonesian, Hutan Lindung Pulau Tarakan or HLPT), which is a common pool resource of state property. The main purpose of this research was to formulate recovery-functioned institutional development of HLPT as a buffering ecosystem for small islands. The main objectives were achieved through the following sub-objectives: (1) to understand the capacity organization and to find priority areas in improving management organization capacity, (2) to find the main cause for the failure of inter-government agency coordination in the management of HLPT, (3) to find causes of disharmony the users community behavior with the purposes of HLPT management based on the perceptions and motivations, (4) to find the well-defined spatial boundaries, stakeholders, authority (rights and responsibilities) and incentive structure on function recovery of HLPT. The analysis was conducted using organizational capacity analysis technique, inter-government agency coordination analysis, qualitative analysis of content, descriptive analysis of perception and motivation, land cover analysis, stakeholder analysis, taxonomic and componential analysis and analysis of payments for environmental services, while the synthesis was carried out using the technique of discovering cultural themes. Based on the study conducted, the results were as follows: (1) The capacity of Technical Implementation Unit of Protection Forest Management as a site organizer was low (nil-moderate), suggesting low ability of the unit to achieve the objectives of HLPT management; (2) The coordination capacity of inter-government agency within the management of HLPT was considerably low since of the ambiguous regarding jurisdiction, lack of information and consultation. On the other hand, coordination tended to use the vertical coordination mechanism which was characterized by the coordination undertaken by the highest leadership levels of government organizations (ministers, governors, regents/mayors, district secretary). The consequences are coordination status failure among government agencies in the management of HLPT due to the inabililty to eliminite redundancies, incoherencies and untackled urgent issues. This suggest minimum coodination to field-spatial based programs and coordination system among government agencies that hasn’t embodied yet; (3) The low level of users’ community perception of functional and optional benefits, low levels of economic and environment motivation, and the high social motivation of the users’ community in utilization Protection Forest Resource of Tarakan Island had become the primary causes of disharmony among behavior of users’ community and the management objectives of HLPT. This refers to perception and motivation that didn’t support the main purpose of HLPT management; (4) In general, HLPT ecosystem consists of forest and non-forest ecosystems, which, if the HLPT function recovery efforts were to be done, would involve 13 key stakeholders. Furthermore, it was identified that the water users community were the beneficiaries who had the willingness to pay Rp 300 m-3 which is a potential source of funding of forest and land rehabilitation.


(4)

iv RINGKASAN

ADI SUTRISNO. Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil. Dibimbing oleh Hariadi Kartodihardjo, Bramasto Nugroho dan Dudung Darusman.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kerusakan sumberdaya Hutan Lindung Pulau Tarakan (HLPT) yang merupakan sumberdaya bersama milik negara yang berada pada sebuah pulau kecil dan memiliki fungsi penting sebagai sistem penyangga kehidupan. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT sebagai penyangga ekosistem pulau kecil. Tujuan utama dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut: (1) mengetahui kapasitas organisasi dan menemukan wilayah prioritas perbaikan kapasitas organisasi pengelola HLPT; (2) menemukan penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT; (3) menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat dengan tujuan pengelolaan sumberdaya HLPT berdasarkan persepsi dan motivasinya; dan (4) menemukan kejelasan batas spasial pemulihan fungsi HLPT, stakeholders pemulihan fungsi HLPT, otoritas (hak dan kewajiban) stakeholders pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik observasi berpartisipasi, wawancara terstruktur, wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Data yang digunakan terdiri atas data primer dan sekunder, dengan sumber data responden, informan kunci dan dokumen. Teknik pengambilan sampel yang diterapkan dalam penelitian terdiri atas teknik pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling), pengambilan sampel bola salju (snowball sampling) dan pengambilan sampel quota (quota sampling). Sedangkan variabel yang ditelaah meliputi: kapasitas organisasi pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah, persepsi dan motivasi masyarakat pemanfaat, substansi peraturan perundangan tentang koordinasi, tutupan lahan, stakeholders, kepentingan dan pengaruh stakeholders, hak dan kewajiban stakeholders, transaksi jasa lingkungan, keinginan membayar dan bentuk insentif.

Metode analisis kapasitas organisasi digunakan untuk menganalisis data yang berkenaan dengan kapasitas organisasi pengelola HLPT. Guna menemukan penyebab kegagalan koordinasi antar organisasi pemerintah dalam pengelolaan HLPT digunakan teknik analisis koordinasi antar lembaga (sektor), sedangkan untuk menemukan sumber penyebab kegagalan koordinasi berdasarkan peraturan perundangan digunakan teknik analisis isi kualitatif. Teknik deskriptif persepsi dan motivasi digunakan untuk menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT dengan tujuan pengelolaan HLPT. Analisis tutupan lahan digunakan untuk mengetahui kelas tutupan pada HLPT. Analisis stakeholders digunakan untuk mengidentifikasi stakeholders pemulihan fungsi HLPT, stakeholders berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya dalam pemulihan fungsi HLPT, sedangkan untuk mengetahui hak dan kewajibanstakeholders dalam pemulihan fungsi HLPT digunakan teknik analisis taksonomik dan komponensial. selanjutnya analisis pembayaran jasa lingkungan digunakan untuk mengetahui struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.


(5)

v

1) Kapasitas UPT-KPHL Model Tarakan sebagai organisasi pengelola HLPT tingkat tapak adalah rendah (nil-moderate) dengan kelemahan-kelemahan organisasi sebagai berikut: (1) kerjasama dengan organisasi pemerintah dan non pemerintah; (2) perencanaan strategis bidang keuangan dan diversifikasi sumber pendanaan organisasi; (3) pendelegasian wewenang pengambilan keputusan; (4) kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur (standar operasional); (5) proses rekruitmen, orientasi dan pengembangan staf, supervisi dan evaluasi; dan (6) penilaian pencapaian misi organisasi dan penilaian dampak serta relevansi program. Hal ini berarti UPT-KPHL Model Tarakan memiliki kemampuan yang rendah untuk mencapai tujuan pengelolaan HLPT.

2) Kapasitas koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT rendah yang disebabkan oleh permasalahan ambigu kewenangan, kekurangan informasi dan kurang dalam hal konsultasi. Di sisi lain, kebijakan koordinasi cenderung menggunakan pendekatan mekanisme koordinasi vertikal yang dicirikan oleh pengkoordinasian yang dilakukan oleh level pimpinan organisasi pemerintah (menteri, gubenur, bupati/walikota, sekretaris daerah). Akibatnya status koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT gagal karena belum dapat ditiadakannya pemborosan, inkonsistensi dan tidak tertanganinya isu penting. Hal ini bermakna tidak adanya koordinasi kebijakan program berbasis spasial lapangan dan belum dilembagakannya sistem koordinasi antar lembaga pemerintah.

3) Rendahnya tingkat persepsi masyarakat pemanfaat terhadap manfaat fungsional dan pilihan HLPT, rendahnya tingkat motivasi lingkungan dan tingginya tingkat motivasi sosial masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan HLPT merupakan faktor pendorong/stimulus ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat dengan tujuan pengelolaan HLPT. Hal ini berarti persepsi dan motivasi tidak mendukung tujuan pengelolaan HLPT.

4) Ekosistem HLPT sebagian besar telah berubah menjadi areal dengan tutupan lahan non hutan, yang dalam upaya pemulihannya dapat melibatkan 13 stakeholderskunci. Dimana, hak stakeholders subjek mengarah pada hak untuk memanfaatkan/ menggunakan dan memperoleh izin pemanfaatan sumberdaya HLPT dengan kewajiban berpartisipasi dan berkontribusi terhadap pendanaan dalam pemulihan fungsi HLPT. Hak stakeholders pemain dan penghubung mengarah pada hak untuk mengelola, mengawasi, memfasilitasi dan menilai program pemulihan fungsi HLPT dengan kewajiban mewujudkan program pemulihan fungsi HLPT. Selanjutnya, teridentifikasi bahwa masyarakat pengguna air bersih merupakan penerima manfaat yang memiliki kesediaan membayar dengan nilai Rp 300 m-3 yang merupakan potensi sumber pendanaan rehabilitasi hutan dan lahan, sedangkan UPT-KPHL Model Tarakan sebagai penyedia jasa layanan lingkungan dan masyarakat pengguna lahan sebagai pihak yang dapat berperan menggunakan lahan yang dikuasainya untuk kepentingan konservasi sumber air.

5) Kontribusi hasil penelitian terhadap teori pengelolaan sumberdaya hutan milik Negara (common pool resources) adalah sebagai berikut: pada kondisi kapasitas


(6)

vi

organisasi pengelola rendah, kapasitas koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan rendah, kebijakan koordinasi menekankan pada pendekatan mekanisme koordinasi vertikal dan persepsi serta motivasi masyarakat pemanfaat mendorong perilaku masyarakat tidak selaras dengan tujuan pengelolaan HLPT berakibat pada perubahan tutupan lahan hutan, stakeholders yang terlibat, hak-kewajiban stakeholders dan insentif dalam pemulihan fungsi sumberdaya hutan milik negara tersebut. Ambigu kewenangan, kekurangan informasi dan kurangnya konsultasi teridentifikasi menyebabkan rendahnya kapasitas koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya bersama milik negara. Di sisi lain, dalam pengelolaan sumberdaya bersama milik negara hanya dengan menggunakan pendekatan mekanisme koordinasi vertikal yang mengandalkan pengkoordinasian oleh pimpinan organisasi pemerintah. Akibatnya, terjadi kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya bersama milik pemerintah yang dibuktikan oleh tidak dapat diminimalisirnya pemborosan, inkoherensi dan tidak tertanganinya isu-isu. Hal ini bermakna pengelolaan sumberdaya bersama milik negara yang penggunanya tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan lainnya diperlukan koordinasi pada level program berbasis spasial lapangan dan tidak cukup hanya dengan menerapkan pendekatan mekanisme koordinasi vertikal.


(7)

vii

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

viii

PENGEMBANGAN INSTITUSI PEMULIHAN FUNGSI HUTAN

LINDUNG PULAU TARAKAN SEBAGAI PENYANGGA

EKOSISTEM PULAU KECIL

ADI SUTRISNO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Progran Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

ix

NRP : P062070061

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Ketua

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS

Anggota Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr


(10)

x

Penguji pada Ujian tertutup : Dr. Ir. Didik Suharjito (Staf Pengajar Bagian Kebijakan Kehutanan IPB)

Dr. Ir. Iin Ichwandi (Staf Pengajar Bagian Kebijakan Kehutanan IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Hendrayanto (Staf Pengajar Bagian Hidrologi Hutan dan Daerah Aliran Sungai IPB)

Dr. Yunus Abbas, M.Si (Ketua Bappeda Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur


(11)

xi

dan karunia-Nya disertasi yang berjudul “Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan Sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil” ini dapat diselesaikan.

Selesainya penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bimbingan komisi pembimbing, yang telah memberikan pemahaman dan pengarahan kepada penulis tentang bagaimana seharusnya mengkaji permasalahan yang terkait dengan institusi pengelolaan sumberdaya alam. Disamping itu, peran yang cukup besar juga diberikan oleh pihak pengelola program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, khususnya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam proses studi.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku anggota komisi pembimbing. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak pengelola program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Disertasi ini masih belum sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan, guna perbaikan disertasi ini.

Bogor, maret 2011 Adi Sutrisno


(12)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Berau Kalimantan Timur pada tanggal 18 Juni 1964 sebagai anak sulung dari pasangan Saderi bin Amir (Alm) dan Satiyem binti Sadir (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Pada Tahun 2001 penulis diterima di Program Studi Ilmu Kehutanan Program Pascasarjana Universitas Mulawarman dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007 melalui Beasiswa Program Pascasarjana dari Diretorat Pendidikan Tinggi. Penulis telah berkeluarga pada tahun 1992 dengan Siti Julaiha dan telah dikaruniai tiga anak, Nindya Adiasti (19 tahun), Windya Anjastantri (15 tahun) dan Trisna Erhandi (9 tahun).

Penulis pernah bekerja pada PT. Tanjung Buyu Perkasa, PT. Cita Laras, CV. Mardawa, CV. Agroteknik Konsultama dan CV. Agrotrimitra Konsultama. Sejak tahun 2000 hingga saat ini penulis berkerja di Universitas Borneo Tarakan, sebuah Universitas swasta di wilayah Utara Kalimantan Timur yang saat ini oleh pemerintah diubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Pemerintah (PTP).

Karya ilmiah berjudul “Analisis Persepsi dan Motivasi Masyarakat Pemanfaat Sumberdaya Hutan Lindung Pulau Tarakan” akan diterbitkan pada Jurnal Sorot pada tahun 2011. Sedangkan, karya ilmiah berjudul “AnalisisStakeholders dan Pembayaran Jasa Lingkungan dalam Pemulihan Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan” akan diterbitkan pada Jurnal Sosio Ekonomika pada tahun ini.


(13)

✁✁✁

………. (xviii)

✠✡ ☛☞✡ ✌✏✡✒✓✔✌✡ ✕………. (xix)

. ✖✗ ✘✂✄✙✚✛✚✄✘...………... 1

1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Kerangka Pemikiran... 4

1.3 Perumusan Masalah………. 7

1.4 Tujuan Penelitian…. ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 1.6 Kebaruan (Novelty)……….. 10 10 ✔✔. ✆✞✘✜ ✄✚✄✘✖✚✟ ✆✄✢✄..………... 11

2.1 Hutan Lindung………... ... 11

2.1.1 Konsep hutan lindung di Indonesia ..……….………….... 11

2.1.2 Fungsi dan nilai guna sumberdaya hutan lindung... 12

2.1.3 Pengelolaan hutan lindung di Indonesia... 2.1.4 Hasil penelitian tentang hutan lindung di Indonesia...……….. 15 17 2.2 Sumberdaya Hutan Lindung sebagai Sumberdaya Bersama Milik Negara… ……… 19

2.3 Institusi, Hak Pemilikan, Batas Kewenangan dan Aturan Keterwakilan ………...………... 22

2.4 Organisasi dan Kapasitas Organisasi..………. 2.5 Koordinasi Antar Organisasi/Lembaga……… 27 31 2.6 Persepsi dan Perilaku Individu………... 36

2.7 Motivasi dan Perilaku Individu…... 37

2,8 Prinsip Disain Institusi dan Prinsip Disain Rezim Hak Pemilikan….. 38

2.9 Pembayaran Jasa Lingkungan……….. 2.10 Kinerja Institusi dan Kinerja Rezim Hak Pemilikan….………... 40 42 2.11 Pengembangan Institusi………... 2.12 Bentuk-Bentuk Institusi: Kasus Institusi Pengelolaan Hutan………. 43 44 ✔✔✔ ✒✎☞✣ ✠✎✓✎ ✕✎ ✏ ✔☞✔✡ ✕ 53 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian………... 53

3.2 Pendekatan Studi……….. 54

3.3 Metode pengumpulan data……… 54

3.4 Data/Informasi Penelitian, Jenis Data dan Sumber Data………. 56

3.5 Teknik penentuan responden dan informan kunci……… 57

3.6 Analisis Data……… 58

3.6.1 Analisis kapasitas organisasi pengelola HLPT ………... 58

3.6.2 Analisis koordinasi antar lembaga…….……….. 60

3.6.3 Analisis deskriptif persepsi dan motivasi masyarakat Pemanfaat………. 61

3.6.4 Analisis isi kualitatif……….……… 65


(14)

xiv

3.6.6 Analisis✤ ✥✦✧★✩ ✪✫✬★ ✭✤……….……….

3.3.7 Analisis taksonomik dan analisis komponensial………. 3.3.8 Analisis pembayaran jasa lingkungan………... 3.3.9 Sintesis……….

66 68 69 71

V KARAKTERISTIK SUMBERDAYA HLPT DAN KARAKTERISTIK

MASYARAKAT PEMANFAAT SUMBERDAYA HLPT………. 74

4.1 Karakteristik Sumberdaya HLPT………. 74

4.2 Karakteristik Kelompok Pemanfaat Sumberdaya HLPT………. 81

4.3 Pemanfaatan Sumberdaya HLPT……….. 83

V HASIL DAN PEMBAHASAN………. 88

5.1 Kapasitas Organisasi Pengelola HLPT ……….. 5.2 Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah dalam Pengelolaan HLPT… 88 90 5.3 Kebijakan Koordinasi dalam Pengelolaan Hutan……… 95

5.4 Persepsi dan Motivasi Masyarakat Pemanfaat Terhadap Sumberdaya HLPT……… 99

5.5 Tutupan Lahan, Minat✯ ✥✦✧★✩✪✫✬ ★ ✭✤, Distribusi Otoritas dan Struktur Insentif dalam Pemulihan Fungsi HLPT……….. 104

5.6 Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi HLPT……….. 117

VI KESIMPULAN DAN SARAN………. 127

6.1 Kesimpulan………. 127

6.2 Saran………... 129

DAFTAR PUSTAKA………. 131


(15)

xv

1 Perincian nilai ekonomi total sumberdaya hutan……… 13

2 Tipologi barang dan jasa………. 20

3 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan

kewajiban pemilik……… 24

4 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat

……….. 26

5

6

Alat penilai kapasitas organisasi berdasarkan perspektif kapasitas utama, deskripsi kapasitas dan wilayah kapasitas inti yang dinilai………... Skala kapasitas koordinasi………

31 35 7 Kumpulan faktor kritis untuk kesuksesan pengaturan

sumberdaya milik bersama (✰✱✲✲ ✱✳✴ ✱✱✵✶ ✷✸ ✱✹✶ ✰✷✸) hasil

identifikasi Wade, Ostrom, Baland dan Platteau yang disintesis

oleh Agrawal (2001)………. 40

8 9

Skala kapasitas organisasi untuk penilaian kapasitas organisasi.. Modus nilai, kekuatan dan wilayah perbaikan kapasitas

organisasi……….. 59 59 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Status koordinasi dan lembaga yang terlibat berdasarkan

kegiatan dalam pengelolaan HLPT……….. Permasalahan dan tahapan kegagalan koordinasi……… Objek dan butir-butir penilaian persepsi masyarakat pemanfaat terhadap manfaat sumberdaya HLPT (persepsi terhadap objek).. Distribusi responden berdasarkan tingkat persepsinya terhadap manfaat HLPT……….. Butir-butir pernyataan penilaian motivasi ekonomi masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT………. Butir-butir pernyataan penilaian motivasi sosial masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT……… Butir-butir pernyataan penilaian motivasi lingkungan

masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT.. Distribusi responden berdasarkan tingkat motivasi dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT……….. Hasil analisis minat, tingkat kepentingan dan pengaruh

✸✺✻ ✼✷✽✱✵✾✷✶ ✸ dalam pemulihan fungsi HLPT………...

Keinginan untuk membayar………. Estimasi biaya konservasi HLPT berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan………. Data/informasi, jenis data, sumber data, teknik penentuan sampel, jumlah sampel, metode analisis dan sumber acuan metode analisis berdasarkan tujuan penelitian………

60 60 62 63 63 64 64 64 67 70 71 73 22 Rataan temperatur, kelembaban, curah hujan dan hari hujan….. 75 23 Jenis pohon, jumlah pohon, kerapatan seluruh jenis, kerapatan

suatu jenis dan kerapatan relatif suatu jenis pada HLPT…….. 76 24 Kondisi vegetasi pada kawasan HLPT berdasarkan koordinat


(16)

xvi

25 Sifat kimia tanah HLPT……… 78

26 Status kesuburan dan tekstur tanah HLPT... 79 27 Debit air pada beberapa sungai di sekitar HLPT………. 80 28 Rata-rata lebar sungai, kedalaman sungai dan kecepatan aliran

air pada beberapa sungai di sekitar HLPT……… 81

29 Distribusi frekuensi kelompok masyarakat pemanfaat

berdasarkan jumlah anggota rumah tangga……….. 81

30 Distribusi frekuensi kelompok masyarakat pemanfaat

sumberdaya HLPT (responden) berdasarkan pendidikan, asal

daerah, pekerjaan dan pendapatan rumah tangga………. 82 31 Jumlah tenaga kerja PDAM Kota Tarakan berdasarkan status

pepegawaian pada tahun 2007 - 2009………... 83

32 Penggunaan lahan di dalam kawasan HLPT oleh kelompok

masyarakat pemanfaat………. 84

33 Distribusi frekuensi kelompok masyarakat pemanfaat

(responden) berdasarkan perijinan pemilikan lahan/tanah dan

cara memperoleh lahan/tanah………... 85

34 Kapasitas terpasang instalasi air, jumlah produksi air, jumlah distribusi air dan jumlah pelanggan PDAM Kota Tarakan tahun

2007 – 2009……….. 86

35 Skala kapasitas organisasi dan wilayah prioritas perbaikan

kapasitas organisasi……….. 88

36 Status koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan HLPT, permasalahan dan kegagalan koordinasi

berdasarkan skala kapasitas koordinasi Metcalfe (1997) ……… 91 37 Distribusi masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT

berdasarkan tingkat persepsinya terhadap manfaat HLPT ……. 99 38 Distribusi persentase masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT

menurut persepsinya terhadap manfaat HLPT……… 100

39 Distribusi frekuensi masyarakat pemanfaat berdasarkan tingkat motivasi ekonomi, sosial dan lingkungan dalam pemanfaatan

sumberdaya HLPT………... 101

40 41

Distribusi persentase menurut motivasi ekonomi masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT……… Distribusi persentase responden menurut motivasi ekonomi

masyarakat pemanfaat bermata pencaharian sebagai petani dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT………..

102

102 42 Distribusi persentase menurut motivasi lingkungan masyarakat

pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT 103

43 Distribusi persentase menurut motivasi sosial masyarakat

pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT……….. 104

44 Luas tutupan lahan pada kawasan HLPT berdasarkan kelas

penutupan lahan……….. 106

45 Tingkat kepentingan dan pengaruh✿❀ ❁❂❃❄ ❅❆ ❇❃❈✿pemulihan

ekosistem DTA Danau Toba………. 110

46 Distribusi responden berdasarkan kesediaan untuk membayar


(17)

xvii

48 Estimasi biaya rehabilitasi hutan dan lahan per hektar berdasarkan standar biaya teknis rehabilitasi hutan dan

lahan Kota Tarakan……….. 116


(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian………... 6

2 3

Perumusan masalah penelitian……….. Aspek-aspek kunci kapasitas organisasi………

9 30 4

5 6

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi………. Struktur Hirarki State Forest Enterprise Jerman………... Struktur Organisasi Forest Management Units (FMU)……….

36 45 47

7 Tempat penelitian……….. 53

8 9 10

Diagram matriks◆ ❖P ◗❘❙❚ ❯❱ ❘❲ ◆berdasarkan kepentingan dan

pengaruh………. Tahapan analisis data dengan teknik analisis taksonomik dan komponensial………. Diagram tahapan analisis pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT………...

68 69 72 11

12

Tutupan lahan di Hutan Lindung Pulau Tarakan………... Matriks kepentingan dan pengaruh◆ ❖P ◗❘❙❚ ❯❱ ❘❲ ◆pemulihan

fungsi HLPT………...

105 109 13 Alternatif pengembangan institusi pemulihan fungsi Hutan Lindung


(19)

xix 1

2

Hasil analisis skala kapasitas organisasi, kekuatan dan wilayah prioritas perbaikan lembaga pengelola HLPT (Dishutamben) ……….. Hasil analisis skala kapasitas organisasi, kekuatan dan wilayah prioritas perbaikan lembaga pengelola HLPT (UPT-KPHL Model Tarakan)……….

141

143 3 Hasil analisis koordinasi antar lembaga pemerintah

berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci…….. 145 4 Hasil analisis❳ ❨❩ ❬❭❪❫ ❴❵ ❭❛ ❳, minat, kepentingan dan

pengaruhnya dalam pemulihan fungsi HLPT……… 155

5 Hasil analisis distribusi otoritas (hak dan kewajiban)

❳❨❩❬❭❪❫❴❵❭❛ ❳ dalam pemulihan fungsi HLPT…...…………. 157

6 Hasil wawancara tentang keinginan membayar masyarakat

pengguna air.………. 158

7 Tabel jumlah anggota keluarga, status pernikahan,

pendidikan, asal daerah masyarakat (responden) pemanfaat

sumberdaya HLPT……… 167

8 Pekerjaan dan pendapatan masyarakat pemanfaat


(20)

❜ ❝

P

❞ ❡❢❣❤ ✐❥ ✐❣❡

❦❧ ❦ ♠ ♥♦ ♥♣q rs♥t ♥✉✈

Hutan Lindung Pulau Tarakan (HLPT) ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 175/Kpts/Um/3/1979, tanggal 13 Maret 1979 dengan luas 2.400 ha atau kurang lebih 10% dari luas Pulau Tarakan (Sutrisno 2003). Kemudian pada tanggal 22 April 2003 HLPT ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 143/Kpts-II/2003, juga dengan luasan 2.400 ha (BPKH Wilayah IV Samarinda 2009).

Hutan Lindung Pulau Tarakan berada pada sebuah pulau kecil karena menurut BPS Kota Tarakan (2007) Pulau Tarakan hanya memiliki luas daratan 250,08 km2 dan luas perairan/laut seluas 406,53 km2. Menurut Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2. Batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat, adalah sebagai berikut: 1) pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 orang; 2) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (✇① ②③④① ③⑤② ⑥④①③⑤), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular; 3) mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; 4) daerah tangkapan air (⑦① ⑧ ⑦⑨✇ ⑩ ③⑧ ① ❶⑩①) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut; dan 5) dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Memperhatikan karakteristik pulau kecil tersebut, maka keberadaan HLPT adalah sangat penting. Keberadaan HLPT menjadi semakin penting karena HLPT merupakan daerah hulu dari 73 sungai yang ada di Kota Tarakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bappeda Kota Tarakan (2004) berdasarkan penelusuran (⑧ ❶①⑦② ③❷) pada peta topografi, terdapat sekitar 73 buah sungai di wilayah Pulau


(21)

Tarakan. Sungai-sungai tersebut membentang dari wilayah perbukitan di tengah-tengah Pulau Tarakan dan kemudian bermuara di pantai.

Kawasan HLPT juga memiliki fungsi penting jika ditinjau dari aspek sosial ekonomi, karena masyarakat di sekitar HLPT menjadikan HLPT sebagai tempat untuk melakukan aktivitas pertanian, peternakan bahkan pemukiman. Hutan Lindung Pulau Tarakan juga dimanfaatkan sebagai tempat melakukan aktivitas olah raga, tempat bagi aktivitas pencinta alam serta sebagai objek bagi aktivitas pendidikan dan penelitian oleh kelompok masyarakat tertentu.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, HLPT merupakan kawasan hutan yang pengelolaannya diatur berdasarkan peraturan perundangan. Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung meliputi kegiatan: (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (2) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan (4) perlindungan hutan dan konservasi alam.

Pada tahun 1998 sesuai dengan semangat desentralisasi, Daerah Tingkat II diberi kewenangan dalam sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan, hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah (sudah tidak berlaku). Berdasarkan peraturan pemerintah ini, urusan pengelolaan yang dapat dilaksanakan pemerintah daerah meliputi kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Pada tahun 2007 peraturan pemerintah tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan aturan ini, sebagian urusan pemerintah bidang kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung diserahkan kepada Kabupaten/Kota.

Namun, di kawasan HLPT dijumpai fakta-fakta sebagai berikut: (1) pada kawasan HLPT tercatat tinggal 1.347,74 ha lahan berhutan, sedangkan sisanya seluas 1.014,29 ha berupa semak belukar dan 17,38 ha berupa lahan terbuka


(22)

3

(Sutrisno 2003). Kawasan HLPT dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai bentuk pemanfaatan mengakibatkan perubahan fisik hutan lindung (seluas 2.400 ha) menjadi lahan terbuka (non hutan) ± 1.316 ha (Dishutbun Kota Tarakan 2008); (2) berdasarkan observasi, sebagian areal HLPT telah dikonversi ke berbagai peruntukan seperti pertanian (khususnya tanaman sayuran) dan kebun (Dishutbun Kota Tarakan 2008); (3) kawasan HLPT menjadi pemukiman untuk dua kelompok masyarakat, masing-masing sebanyak 40 KK dan 80 KK. Bahkan sebagian areal pemukiman tersebut sudah terlanjur memiliki sertifikat (Dishutbun Kota Tarakan 2008); (4) pada kawasan HLPT terdapat infrastruktur jalan yang dibangun oleh Pemerintah Kota Tarakan; dan (5) Pada kawasan HLPT terdapat bangunan embung dan instalasi air minum milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang menurut Kepala Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi Kota Tarakan pemanfaatan atas sumberdaya air di kawasan HLPT belum dilengkapi dengan perizinan.

Kerusakan HLPT berakibat pada terjadinya penurunan fungsi HLPT diantaranya (Irawan 2002 ❸❹ ❺❹ ❻ Sutrisno 2003): (1) meningkatnya erosi yang dicirikan oleh Tingkat Bahaya Erosi (TBE) berat dan sangat berat telah terjadi di masing-masing Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada di kawasan HLPT; dan (2) perbedaan fluktuasi debit air minimum dan maksimum cukup besar, yang mengindikasikan sedikitnya air yang terserap sehingga debit air setelah beberapa hari tidak turun hujan rendah dan menjadi tinggi ketika turun hujan. Hal sesuai dengan yang dinyatakan oleh Bratawinata (1997) hutan yang rusak lebih-lebih yang kondisinya gundul (tidak bervegetasi), menyebabkan air hujan berinfiltrasi sedikit sekali dan air hujan jatuh langsung kepermukaan tanah. Sehingga pada musim hujan masalah banjir, erosi dan sedimentasi ke tempat yang lebih rendah meningkat. Menurut Dudley dan Stolton (2003) hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) umumnya menghasilkan air dengan kualitas tinggi, dari alternatif penggunaan lainnya. Hutan alam punya hubungan yang rumit dengan aliran air dan beberapa dapat menambah tingkat aliran air.

Fakta-fakta yang terjadi di dalam kawasan HLPT tersebut merupakan indikasi ketidakberhasilan pengelolaan HLPT yang dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang diberi kuasa oleh negara. Satu diantara beberapa penyebab


(23)

ketidakberhasilan tersebut diduga adalah aspek institusi. Pembuktian atas dugaan ini dapat dilakukan melalui sebuah penelitian, oleh karenanya penelitian tentang hal tersebut patut dilakukan.

❼❽ ❾ ❿➀➁➂ ➃➄➅➂ P➀➆➇➅ ➇➁➂➃

Hutan Lindung Pulau Tarakan merupakan sumberdaya bersama (➈➉ ➊➊➉ ➋ ➌➉➉ ➍➎ ➏➐➉ ➑➎ ➈➏ ➐) yang berada pada sebuah pulau kecil dan memiliki fungsi penting sebagai sistem penyangga kehidupan. Pengelolaan terhadap sumberdaya HLPT didasarkan pada peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya HLPT antara lain, adalah: (1) Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; dan (5) Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Keberhasilan pengelolaan sumberdaya HLPT tidak hanya tergantung pada tersedianya peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya HLPT, tetapi terdapat aspek lain yang sangat menentukan tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan peraturan perundangan, yaitu institusi. Menurut Kartodihardjo (2008) institusi dicirikan oleh: (1) hak pemilikan (➌➎ ➉➌➏➎ ➒➓ ➎ ➔→➣➒ ➐); (2) batas yurisdiksi (↔➑ ➎ ➔➐↕➔➈➒➔➉ ➋➙➍ ➛➉ ➑➋↕➙➎ ➓); dan (3) aturan representasi (➎➑ ➍➏ ➉f representation).

Sumberdaya HLPT adalah sumberdaya milik negara, dimana menurut Schlager dan Ostrom (1992) dan Hanna et al. (1995) hak pemilikan (property rights) sumberdaya eksis dibawah pemilikan negara (state property), bilamana jaminan klaim berada pada pemerintah. Menurut Ellsworth (2004) hak pemilikan negara adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana pemiliknya adalah lembaga publik atau organisasi pemerintah yang diberi kuasa oleh negara. Hak pemilikan negara memiliki karakteristik dan pengaturannya dilaksanakan


(24)

5

pemerintah, yang mana pengaturan oleh pemerintah harus menjamin masyarakat untuk memperoleh hak untuk memanfaatkan secara berkeadilan.

Sumberdaya HLPT memiliki karakteristik dapat dimanfaatkan secara bersama, sehingga dengan demikian persoalan batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan pengguna sumberdaya HLPT. Menurut Schmid (1988) dalam Suhaeri (2005) batas kewenangan diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap sumberdaya alam.

Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi (Kartodihardjo 2008). Hal ini berarti bahwa dalam pengelolaan sumberdaya HLPT keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap kinerja yang ingin dicapai ditentukan oleh kaidah-kaidah aturan representasi ini.

Institusi merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur perilaku individu (North 1990). Menurut Agrawal (2001) salah satu faktor kritis penentu kesuksesan tata kelola sumberdaya milik bersama adalah saling hubungan antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok. Konsep yang dikemukakan oleh North (1990) dan Agrawal (2001) tersebut menjelaskan bahwa aturan formal dan informal mengarahkan perilaku individu/organisasi dalam hubungannya dengan sumberdaya, dimana perilaku individu/organisasi merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan pengelolaan sumberdaya, tak terkecuali dalam pengelolaan sumberdaya HLPT. Hal ini berarti bahwa perilaku organisasi pengelola dan perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat/pengguna sumberdaya HLPT berperan dalam keberhasilan pengelolaan sumberdaya HLPT.

Terkait dengan dengan sumberdaya bersama (➜➝ ➞➞➝ ➟ ➠➝➝ ➡ ➢ ➤➥➝ ➦ ➢➜ ➤➥) Ostrom (1990) mengemukakan bahwa dalam institusi sumberdaya bersama terdapat prinsip disain untuk merancang agar institusi dapat berlangsung secara berkelanjutan. Menurut Hanna ➤➧ ➨➡. (1995) penelitian mengenai hak pemilikan dan sumberdaya lingkungan haruslah memperhatikan komponen kritis pada struktur rezim hak pemilikan dan fungsinya. Komponen tersebut tercakup dalam prinsip disain yang mendasari rezim hak pemilikan.


(25)

Menurut Pratiwi (2008) berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat diperlukan oleh masyarakat. Namun ketika institusi tidak berjalan atau kinerjanya dipertanyakan, maka diperlukan suatu langkah perbaikan. Beberapa literatur menyebutkan ada tiga solusi untuk memperbaiki kinerja institusi, yaitu melalui: pengembangan institusi (➩➫ ➭ ➯➩ ➯➲ ➯➩ ➳➫ ➵➸ ➺ ➻➼➻➸ ➳➽ ➾➻➫➯), penguatan institusi (➩➫➭ ➯➩ ➯➲➯➩ ➳➫ ➵➸ ➭ ➯➚ ➻➫ ➪ ➯➶ ➻➫➩➫ ➪) atau perubahan institusi (➩➫➭ ➯➩➯➲ ➯➩ ➳➫➵➸ ➹ ➶➵➫➪➻). Memperhatikan penjelasan Pratiwi (2008), maka satu diantara beberapa upaya untuk memperbaiki kinerja institusi adalah dengan pengembangan institusi. Menurut Nasution (1999) yang dikutip Karyana (2007) pengembangan kelembagaan (institusi) merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan hubungan antar individu dalam masyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang dikehendaki.

Berdasarkan uraian di atas, maka pengembangan institusi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memperbaiki institusi (dalam arti aturan dan organisasi) yang mengarahkan prilaku individu atau organisasi untuk memulihkan fungsi HLPT. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam bentuk Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Umpan balik Keberhasilan pengelolaan sumberdaya

HLPT ditentukan oleh institusi

Aturan keterwakilan

Pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT sebagai sistem penyangga ekosistem pulau kecil Hak pemilikan

Prinsip disain rezim hak pemilikan Peraturan

perundangan

Sumberdaya HLPT: 1) Sumberdaya bersama 2) Berada pada pulau kecil 3) Sistem penyangga kehidupan

Umpan balik

Batas kewenangan

Perilaku organisasi pemerintah Perilaku individu/ masyarakat


(26)

7

➘➴ ➷ P➬➮➱✃➱ ❐ ❒❮❰ ❒ ❐ ❒Ï❒Ð

Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran yang disampaikan sebelumnya, dapat diketahui bahwa fakta di lapangan menunjukan sumberdaya HLPT sebagai sumberdaya bersama milik pemerintah yang berada pada sebuah pulau kecil yang memiliki fungsi penting sebagai penyangga ekosistem telah mengalami kerusakan. Hal ini merupakan indikasi rendahnya kinerja pengelolaan sumberdaya HLPT. Jika perilaku organisasi pengelola sumberdaya HLPT berperan dalam keberhasilan pengelolaan sumberdaya HLPT, maka kerusakan sumberdaya HLPT menunjukan bahwa pengelolaan sumberdaya HLPT yang dilakukan oleh lembaga pengelola dengan tujuan untuk melestarikan fungsi HLPT tidak berhasil, hal ini merupakan indikasi adanya permasalahan dalam kapasitas organisasi/lembaga pemerintah pengelola HLPT. Menurut ÑÒ Ó Ô Õ Ö×Ó ØÙ Õf Obstetricians and Gynaecologists of Canada yang dikutip Bateson et al. (2008) kapasitas sebagai kemampuan sebuah entitas (seseorang, organisasi, atau sebuah sistem) melakukan fungsi sesuai yang direncanakan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan untuk mencapai sasaran hasil yang telah direncanakan.

Fakta penguasaan tanah/lahan di dalam kawasan HLPT yang dilengkapi dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat maupun bukti-bukti lain yang dikeluarkan pemerintah merupakan satu indikasi adanya permasalahan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya HLPT. Menurut Uphoff (1986a) kinerja suatu institusi dapat diukur bagaimana institusi dapat menyelesaikan tugas pokoknya, antara lain adalah koordinasi.

Permasalahan lain yang mempengaruhi kerusakan sumberdaya HLPT diduga adalah perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT yang tidak selaras dengan tujuan pengelolaan HLPT. Perilaku masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap manfaat sumberdaya HLPT dan motivasi mereka dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gibsons et al. (1996) faktor individual seperti persepsi mempengaruhi perilaku. Motivasi berkaitan dengan perilaku dan kinerja, motivasi merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan dorongan-dorongan yang timbul pada atau di dalam diri seseorang individu yang menggerakan dan mengarahkan perilaku.


(27)

Mengacu pada pendapat Nort (1990) dan Agrawal (2001) permasalahan yang juga harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan formal (kebijakan) yang mengatur saling hubungan antar kelompok dalam hubungannya dengan sumberdaya HLPT dan saling hubungan antara kelompok dengan sumberdaya hutan, karena aturan formal menentukan perilaku kelompok. Oleh karenanya untuk mengembangkan institusi, permasalahan yang terkait dengan aturan formal juga patut untuk diketahui, khususnya aturan formal yang mengatur tentang koordinasi antar lembaga pemerintah.

Pengembangan institusi dalam rangka memperbaiki kinerja institusi pengelolaan HLPT tidak hanya ditentukan oleh bagaimana dapat mengatasi permasalahan terkait dengan kapasitas lembaga pemerintah pengelola HLPT, koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT dan perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT, tetapi juga ditentukan oleh komponen kritis rezim hak pemilikan yang tercakup dalam prinsip disain rezim hak pemilikan. Mengutip pendapat beberapa ahli, menurut HannaÚÛ ÜÝ. (1995) hal yang fundamental pada disain hak pemilikan (Þ ßàÞÚß Ûá ßâã ä Ûå æÚåâãç) adalah mendefinisikan kepentingan (âçÛÚß Úå Ûå) individu-individu atau kelompok dalam hubungannya dengan sumberdaya. Syarat disain selanjutnya adalah kepastian struktur insentif (âç èÚçÛâéÚ å ÛßêèÛêß Ú). Kemudian, untuk menjamin rezim hak pemilikan memiliki batas yang terdefinisikan secara jelas adalah keharmonisan spasial (å Þ Ü Ûâ ÜÝ èàçã ßêÚç èÚ). Selain itu, disain juga harus menyangkut distribusi otoritas.

Secara ringkas uraian rumusan masalah penelitian ini disajikan pada Gambar 2 dan berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian (ß Úå ÚÜßèä ë êÚå Ûâàçå), sebagai berikut: (1) bagaimanakah kapasitas organisasi/lembaga pengelola HLPT?; (2) apakah penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT?; (3) apakah penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT dengan tujuan pengelolaan HLPT ditinjau dari persepsi dan motivasinya?; dan (4) bagaimanakah kondisi tutupan lahan (spasial), tingkat kepentingan dan pengaruh å ÛÜì Úäà ÝæÚßå, hak dan kewajiban å ÛÜì Úäà ÝæÚßå dan struktur insentif dalam pemulihan fungsi HLPT?


(28)

9

Gambar 2 Perumusan masalah penelitian.

íî ï ð ñjuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan institusi pemulihan fungsi HLPT sebagai sistem penyangga ekosistem pulau kecil. Tujuan utama tersebut dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut:

1) Mengetahui kapasitas organisasi dan menemukan wilayah prioritas perbaikan kapasitas organisasi pengelola HLPT.

2) Menemukan penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT.

3) Menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat dengan tujuan pengelolaan sumberdaya HLPT berdasarkan persepsi dan motivasinya.

4) Menemukan kejelasan batas spasial pemulihan fungsi HLPT, òóô õö÷ø ùú öû ò pemulihan fungsi HLPT, otoritas (hak dan kewajiban) òóô õö÷ø ùú öû ò

Kerusakan

Sumberdaya HLPT

Pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT sebagai sistem penyangga ekosistem pulau kecil

Prinsip disain:

1) Kepentingan kelompok (üýþ ÿ ✁ ✂✄ ☎ ✆ü)

2) Keharmonisan spasial (ruang)

3) Struktur insentif 4) Distibusi otoritas

Permasalahan

ketidakselarasan perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat Permasalahan dalam

peraturan perundangan tentang koordinasi antar lembaga pemerintah

Sumberdaya Hutan Lindung Pulau Tarakan: sumberdaya bersama, milik negara, berada pada pulau kecil, sebagai sistem penyangga kehidupan

Umpan balik

Rendahnya kinerja pengelolaan HLPT

Permasalahan koordinasi antar lembaga pemerintah

Umpan balik Permasalahan

Kapasitas organisasi pemerintah


(29)

pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik pada tataran akademis (keilmuan) maupun praktis, sebagai berikut:

1.5.1. Manfaat dalam tataran akademis/keilmuan

1) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pengembangan institusi pengelolaan sumberdaya bersama milik negara dengan mempertimbangkan kapasitas organisasi pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah dan perilaku masyarakat pemanfaat sumberdaya bersama milik serta prinsip disain rezim hak pemilikan.

2) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pengelolaan sumberdaya bersama milik negara yang memerlukan aksi terkoordinasi (bersama) para pihak untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.

1.5.2. Manfaat dalam tataran praktis

1) Sebagai tambahan informasi kepada para pengambil kebijakan dalam merumuskan pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung.

2) Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang berkenaan dengan pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung.

1.6 Kebaruan (Novelty)

Penelitian mengenai pengembangan institusi pemulihan fungsi hutan lindung sebagai sumberdaya bersama milik pemerintah belumpernah dilakukan, khususnya jika ditinjau berdasarkan hal-hal berikut secara menyeluruh, yaitu: kapasitas lembaga pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah, perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat dan prinsip disain rezim hak pemilikan. Berdasarkan hal tersebut, kebaruan dari penelitian ini adalah dihasilkannya rumusan pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT yang didasarkan pada kapasitas lembaga pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan, perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya dan prinsip disain rezim hak pemilikan.yang meliputi kondisi tutupa


(30)

✝✝

.

✞✝ ✟

J

U

✠ ✟✡

U

☛ ✞✠☞ ✠ 2.✌ ✍✎✏tn✑ ✒nnu

2.1.1 Konsep Hutan lindung di Indonesia

Hutan dapat didefinisikan sebagai asosiasi tumbuh-tumbuhan dan hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu (Suparmoko, 1997). Definisi ini memiliki kemiripan dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dalam pasal ini, hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan hidup dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

dinyatakan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Menurut Riyanto (2005) hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperlukan antara lain untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, yaitu proses hidroorologi, proses penyuburan tanah, proses keanekaragaman hayati, proses penyehatan lingkungan dan manfaat lainnya.

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) poin (b) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan dinyatakan bahwa kriteria hutan lindung adalah kawasan hutan yang memenuhi salah satu kriteria berikut:

1) Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;

2) Kawasan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per seratus) atau lebih;

3) Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2 000 (dua ribu) meter atau lebih di atas permukaan laut;


(31)

4) Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapang lebih dari 15% (lima belas per seratus);

5) Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air;

6) Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai. 2.1.2 Fungsi dan nilai guna sumberdaya hutan lindung

Fungsi hutan di antaranya ialah sebagai berikut (Suparmoko 1997): (1) mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah; (2) menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor sehinga menunjang pembangunan ekonomi; (3) melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik; dan (4) memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar. Menurut Iskandar (2008) sebagai dampak panjang pantai dengan luas daratan dan dekatnya jarak antara kawasan daratan dengan kawasan pantai, FAO menilai bahwa hutan pada pulau kecil mempunyai kontribusi penting terhadap kelestarian lingkungan, yaitu: (1) konservasi tanah dan air; (2) perlindungan pantai; (3) konservasi keanekaragaman hayati; dan (4) terkait dengan ekosistem laut.

Menurut Sardjono (2004) fungsi hutan meliputi: (1) fungsi produksi yang memberi manfaat langsung hasil hutan kayu, hasil hutan nir kayu dan areal untuk bercocok tanam bagi masyarakat lokal. Selain itu juga memberikan manfaat tak langsung bagi masyarakat lokal berupa penghasilan, pelestarian kegiatan budaya lokal yang berbasiskan produk hutan dan pelestarian dan perkembangan industri rumah tangga masyarakat; (2) fungsi lindung yang memberi manfaat langsung berupa kesuburan tanah, keanekaragaman hayati (flora, fauna, mikroorganisme) serta manfaat tak langsung berupa keterjaminan produktivitas pertanian dan kemandirian pangan, kesehatan dan kesejahteraan hidup masyarakat, pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional; (3) fungsi tata klimat yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat lokal berupa iklim mikro dan udara bersih, juga memberi manfaat tak langsung berupa kenyamanan dan kedamaian kehidupan pedesaan, mendukung kehidupan yang sehat sejahtera dan mengurangi dampak bencana alam; dan (4) fungsi lain-lain, seperti memberi manfaat untuk batas tanah (tanda pemilikan lahan), perlindungan tempat-tempat keramat,


(32)

13

pelestarian identitas kelembagaan lokal, melestarikan etika konservasi dan pergaulan hidup antar anggota masyarakat.

Pearce dan Turner (1990) mengidentifikasi secara rinci total nilai sumberdaya hutan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1. Dalam hal ini produksi kayu merupakan nilai penggunaan langsung (✕✖ ✗ ✘xt tive use vlue ), sedangkan fungsi hutan untuk rekreasi dan mengasimilasi karbon merupakan penggunaan tidak langsung (non extr✗✘tive use vlue ). Sementara itu, nilai tanpa penggunaan (nonuse vlue) meliputi nilai atas dasar warisan dari generasi sebelumnya (✚equest vlue ) dan nilai karena keberadaannya (exist✗ne vlue ).

Tabel 1 Perincian nilai ekonomi total sumberdaya hutan

Nilai Ekonomi Total

Nilai Guna Nilai Non Guna Nilai guna Langsung Nilai guna tak langsung Nilai Pilihan Nilai pilihan Nilai Keberadaan Nilai Non-guna lainnya (Hasil yg dapat dikonsumsi langsung) (Manfaat Fungsional) (Nilai pilihan penggunaan) (Nilai pilihan Non penggunaan) (Nilai Pengetahuan) (Nilai non penggunaan lainnya) a) Kayu b) Buah, biji c) Getah d) Rotan e) Pakan f) Hewan g) Tumbuhan obat a) Fungsi ekologis b) Pengenda-lian banjir c) Perlindu

-ngan terhadap angin

Rekreasi a) Ekosistem b) Suaka marga satwa a) Habitat b) Spesies Langka a) Biodiversiti b) Pemandang-an

Sumber: Pearce dan Turner (1990).

Menurut Noordwijk et l . (2004) hutan lindung mempunyai makna fungsi perlindungan aktif hutan terhadap aliran air ke daerah hilir. Dalam istilah Belanda hutan lindung atau “✛✘hermos ” berarti hutan yang berfungsi sebagai “payung atau lindung”. Fungsi penyangga sebenarnya berkaitan langsung dengan fungsi lindung, karena fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada kejadian hujan. Fungsi penyangga dapat ditingkatkan dengan jalan meningkatkan penggunaan air dan mempertahankan struktur tanah pada daerah perbukitan (hillslope ).

Memperhatikan uraian tentang fungsi dan nilai guna atau manfaat hutan dan hutan lindung di atas dapat dinyatakan keberadaan hutan lindung sangat diperlukan karena fungsi pentingnya sebagai perlindungan sistem penyangga


(33)

kehidupan. Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak dijelaskan maksud dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. Tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa sistem penyangga kehidupan merupakan suatu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan manusia (Pasal 7). Sedangkan perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan (Pasal 8).

Menurut Noordwijk ✜t l. (2004) fungsi perlindungan pada daerah hulu sebenarnya dapat diberikan oleh tutupan dari berbagai macam vegetasi, selama sistem tersebut mampu dalam: (1) mempertahankan lapisan seresah di permukaan tanah; (2) mencegah terbentuknya alur dan parit-parit akibat erosi; dan (3) menyerap air untuk evapotranspirasi. Bila vegetasi hutan alami secara bertahap digantikan oleh pohon yang bernilai ekonomi tinggi atau mempunyai fungsi lainnya, seharusnya fungsi lindung tersebut masih tetap ada. Sistem pembukaan lahan pertanian dengan cara tebang habis pada skala luas, akan menurunkan fungsi lindung. Pada transformasi hutan secara perlahan menjadi sistem agroforestri, tidak dilakukan penebangan hutan pada skala luas sehingga dalam proses regenerasinya fungsi hutan masih dapat dipertahankan.

Dalam konsep Indonesia, kata hutan adalah lahan yang kepemilikan dan pengelolaannya diawasi langsung oleh pemerintah atau negara. Sedang lahan milik petani yang menyerupai hutan atau “agroforest”, umumnya disebut kebun. Pada sistem kebun, pengelolaannya lebih ditekankan pada dua fungsi yaitu “fungsi produksi dan fungsi lindung”. Dalam kaitannya dengan kriteria dan indikator hidrologi, beberapa macam kebun telah dievaluasi dan hasilnya menunjukkan bahwa kebun seperti kebun kopi campuran, hutan karet, “parak” (suatu sistem campuran pohon buah-buahan, pohon penghasil kayu dan rempah di Sumatra Barat), kebun buah-buahan pekarangan (m✣✤xe fruit tree✢✥ ✤ homegens ), dan sistem “repong damar” merupakan sistem yang masih dapat memenuhi berbagai fungsi lindung pada daerah perbukitan. Dengan demikian kebun tersebut


(34)

15

pantas dinamakan sebagai “kebun lindung” karena dapat berfungsi ganda yaitu fungsi produksi dan fungsi lindung (Noordwijk✦t l. 2004).

2.1.3 Pengelolaan hutan lindung di Indonesia

Landasan hukum utama pengelolaan hutan lindung di Indonesia antara lain adalah:

1) Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3).

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (tahun 1967-1999).

3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang (tahun 1992-1999).

6) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.

7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah.

8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

9) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.

11) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

12) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah (sudah tidak berlaku).

13) Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.


(35)

14) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung meliputi kegiatan: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d) perlindungan hutan dan konservasi alam (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 21). Tata hutan dimaksudkan dalam rangka pengelolaan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal. Tata hutan lindung meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 26 Ayat 1 dan 2).

Izin usaha pemanfaatan kawasan diberikan kepada perorangan dan koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik Negara dan badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu diberikan kepada perorangan dan koperasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 Ayat (1, 2 dan 3).

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 40). Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan: a. reboisasi; b. penghijauan; c. pemeliharaan; d. pengayaan tanaman; e. penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknik, pada lahan kritis dan tidak produktif (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 41). Sedangkan reklamasi hutan, meliputi usaha usaha untuk memperbaiki dan memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukanya. Kegiatan reklamasi meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi (Undang-Undang


(36)

17

Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 44 Ayat (1) dan (2). Selanjutnya pada Pasal 46 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan “penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan likungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah (sudah tidak berlaku sejak tahun 2007), dinyatakan bahwa sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II antara lain adalah pengelolaan hutan lindung (Pasal 5 huruf e). Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 6 Ayat (5) urusan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 5 huruf e mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Pada tahun 2007 peraturan pemerintah nomor 62/1998 tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan aturan ini, urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung yang diserahkan kepada kabupaten/kota, diantaranya: pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL, pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL, pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota.

2.1.4 Hasil penelitian tentang hutan lindung di Indonesia

Hutan Lindung Pulau Marsegu telah dijadikan tempat untuk berladang dan berkebun oleh masyarakat sekitar, terutama daerah hutan sekunder berkarang dan


(37)

daerah berpasir sebelah timur (Irwanto 2007). Khusus di daerah hutan lindung di pegunungan, azas kelestarian pengelolaan hutan tidak dapat dilaksanakan dengan baik, yang terbukti dengan adanya kerusakan-kerusakan hutan, bahkan lahan-lahan kosong yang cukup luas. Salah satu penyebabnya ialah kebutuhan rakyat setempat yang mendesak dari hutan, antara lain kayu bangunan, hijauan makanan ternak, dan kesempatan kerja tidak dapat terpenuhi dan tersalurkan dengan baik dan teratur (Kartasubrata 1986). Sebagian besar petani tepi hutan adalah petani subsisten yang memiliki potensi sebagai pelestari, namun belum cukup kompeten khususnya di bidang teknis kehutanan, sosial ekonomi, sosial budaya dan pertanian konservasi. Potensi perilaku petani dalam mengelola hutan lindung bermotifkan pemenuhan ekonomi jangka pendek, mengelola komoditi non kehutanan dan mengabaikan teknis kehutanan dan pemanfaatan lahan dengan mengabaikan pertanian konservasi (Budiono 2006).

Dideskripsikan dalam hasil penelitian Sidu (2006) tentang kerusakan hutan, kerusakan Hutan Jati di Kawasan Hutan Lindung Jompi didorong oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat, keinginan atas penguasaan lahan, adanya isu bahwa sebagian wilayah Kawasan Hutan Lindung Jompi akan menjadi wilayah perluasan kota, adanya klaim masyarakat bahwa kawasan Kontu merupakan tanah adat, adanya komoditi kayu yang bernilai ekonomi tinggi, meningkatnya jumlah pengangguran, kurangnya lapangan kerja dan lemahnya penegakan hukum. Lebih lanjut dikemukakan di dalam hasil penelitian Sidu (2006) bahwa: 1) kondisi modal sosial masyarakat sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi mengalami penurunan/lemah, terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kepercayaan (trust ) antar warga masyarakat. Rendahnya trust ini akibat maraknya prilaku sosial yang selalu merugikan antar sesama, seperti penipuan, pencurian dan kekerasan. Rendahnya modal sosial juga dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya modal manusia terutama terkait dengan tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah; 2) proses pemberdayaan masyarakat sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi masih sangat lemah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung melemah/rendah; 3) tingkat pemberdayaan masyarakat sekitar Kawasan Hutan


(38)

19

Lindung Jompi tergolong rendah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh rendahnya proses pemberdayaan masyarakat dan kurang tersedianya modal fisik; 4) perpaduan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keberdayaan masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan, modal fisik, kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosial dan modal manusia, merupakan model pemberdayaan masyarakat yang efektif sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyo ★t l✪ (2003) di Kawasan Hutan Lindung Bukit Daun Provinsi Bengkulu menghasilkan kesimpulan bahwa dari analisis data fisik ternyata perambahan hutan tidak di latar belakangi faktor-faktor fisik dan analisis statistik faktor sosial ekonomi menunjukan bahwa pertumbuhan penduduk dan pendapatan dari usaha tani mempengaruhi luas perambahan hutan.

Ruslan (1992) melakukan penelitian dengan judul penelitian “Sistem Hidrologi Hutan Lindung Daerah Aliran Sungai Riam Kanan Kalimantan Selatan”. Kesimpulan utama penelitian ini adalah model sistem hidrologi hutan lindung dapat digunakan untuk menentukan penggunaan lahan yang terpilih dari segi biofisik, agar kondisi hidro-orologis hutan lindung Daerah Aliran Sungai Riam Kanan menjadi lebih baik.

2.2um✬✭r✮✯✯y ✰ ✱tn✲ ✳n✮✴nu ✵ ✭✬✯ ✴✯ ✳ ✫um✬✭r✮✯y Br✵✯m✯ ✶ ✳✷✳✸ ✹ ✭✴ ✯✯r

Berdasarkan pengertian dari fungsi pokok hutan lindung, maka hutan lindung merupakan sumberdaya alam berupa stok yang dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang sifatnya✻ntn✼✻✽★l , seperti mengatur tata air, mencegah banjir, mencegah erosi, mengendalikan intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah. Menurut Riyanto (2005) hasil hutan di hutan lindung adalah sumberdaya alam yang berupa barang dan jasa, yaitu flora dan fauna atau bagian-bagiannya dan non hayati, baik yang nyata maupun yang tidak nyata, yang berasal dari hutan lindung. Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kartodihardjo (2004) bahwa sumberdaya alam dapat digolongkan ke dalam bentuk stok atau modal alam (n✩tu✾ ✩l ✺✩ptl ) seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), danau, kawasan lindung, pesisir dan lain-lain yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi dan sumberdaya sebagai faktor produksi atau sebagai barang/komoditas seperti kayu, rotan, air, mineral, ikan dan lain-lain yang


(39)

diproduksi oleh berbagai sektor/dinas sebagai sumber-sumber ekonomi. Sumberdaya alam dalam bentuk stok dapat menghasilkan fungsi-fungsi ❀ntn❂ ❀❃l❄ sifatnya, seperti menyimpan air, dan mencegah terjadinya banjir di musim hujan dan mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurangi bahan beracun, maupun kekayaan alam sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya masyarakat, dan lain-lain. Sumberdaya alam bentuk stock mempunyai fungsi-fungsi yang berguna bagi publik dan fungsi-fungsi-fungsi-fungsi tersebut tidak dapat dibagi-bagikan kepada perseorangan dan tidak pula dapat dimiliki oleh perorangan.

Nilai dan tujuan keberadaan sumberdaya alam dapat diinterpretasikan berdasarkan tipologi barang dan jasa yang dapat dihasilkan, yaitu sebagai ❅❀pvtoo❆ ❇❈✿❃lu ❂❆❇❈ooommon pool ❂❆❇❈oo ❆❁n pul❀✿ ❂❆oos (Ostrom 1977 ❆❁lm Berge 2004), yang berguna bagi penetapan ketentuan-ketentuan untuk mengelolanya. Pengetahuan ini juga menentukan ketepatan pemilihan bentuk kelembagaan (Kartodihardjo 2006).

Tabel 2 Tipologi barang dan jasa

Jenis sumberdaya Pengguna

❉✿xlu❆❁ ❃le Non ❊✿ex❆❁ ❃lu le

ut❅❁✿t❁❃lerivteoogsommo pnools goo Nonsu❃❅❁✿st t❁ ❃lelu❃ ❆oogsuli✿ ❆goos

Sumber: Ostrom dan Ostrom (1977)■❏lm Berge (2004).

Sumberdaya bersama (❍ommo pnools goo ) merupakan sumberdaya alam atau sumberdaya buatan yang bilamana seseorang menggunakan sumberdaya bersama akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, tetapi sulit memisahkan akses pengguna (Cousin 2000, Ostrom 1990, Dietzet l ❑2002❆❁lm Quinn et l ❑ 2007). Berdasarkan sifat rivalitas (persaingan)✿ommosn pool goo

(misalnya danau, sungai dll) termasuk barang dan jasa yang apabila dimanfaatkan sesorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Selain itu, penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya (Kartodihardjo 2006).

Menurut Hardin (1968) sumberdaya alam bersama yang aksesnya bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua (t❅❁❆gey o f the


(40)

21

ommons ). Lebih lanjut dikemukakan oleh Hardin (1968) untuk mencegah sumberdaya berkembang menjadi sumberdaya bersama (▲ommons ) dalam artian bebas akses tanpa aturan, dibutuhkan pengaturan sosial secara memaksa, yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian memaksa (▲▼or▲◆on ) yang dimaksudkan adalah ❖mutul ▲▼P ▲◆o on , yaitu pengaturan yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Quinn ▼t l◗(2007) menyatakan bahwa dijelaskan oleh Hardin (1968) pengguna ▲onomm akan melakukan tindakan memaksimalkan aliran manfaat dari sumberdaya yang o

p

n❖▲▲▼s bilamana biaya atas penggunaannya ditanggung oleh semua pengguna, dan sebagai kesimpulannya akan terjadi penggunaan yang berlebihan terhadap sumberdaya ▲ommon yang kemudian mengarah kepada terjadinya degradasi dan keruntuhan (▲ollsp ) sumberdaya.

Menurut Ostrom (1990) tesis ❘▼t tP ❖❙▼ ❚y of the ommons Hardin kurang memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam berbagai situasi sumberdaya bersama (▲ommons ). Kemudian solusi pencegahannya dibatasi pada argumen bagi peran yang lebih besar dari pemerintah dalam menangani masalah-masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan. Argumen tersebut juga mengabaikan keberadaan dan potensi tata kelola dan pengelolaan sumberdaya bersama oleh kelompok atau komunitas lokal pengguna sumberdaya tersebut. Juga mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya bersama, termasuk hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumberdaya tersebut.

Menurut Marothia (1993) banyak peneliti dan pembuat kebijakan menganjurkan privatisasi atau pengambil alihan ▲ommoP ▲n pesroperty resou oleh negara untuk pengelolaannya. Ini merupakan kesalah-pahaman yang belakangan ini semakin dipertentangkan oleh banyak ilmuwan sumberdaya alam dan mereka mendokumentasikan secara rinci sistem ▲ommo pnroperty yang mungkin memiliki kekurangan dalam spesifikasi pemilikan dan penetapan (rencana) institusi dari rezim hak pemilikan yang berlansung. Sedangkan menurut pendapat Regmi (2007) semua tipe sumberdaya▲ommon pool tidak dapat dilindungi secara


(41)

efektif tanpa disain institusi/kelembagaan yang didasarkan pada masalah yang fundamental.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulankan bahwa sesungguhnya sumberdaya hutan lindung merupakan sumberdaya bersama yang apabila dimanfaatkan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, namun sulit memisahkan para pengguna sumberdaya hutan lindung tersebut. Guna menghindari terjadinyaopn❱ ❲ ❲❯s terhadap sumberdaya hutan lindung yang akan berakibat pada kerusakan sumberdaya hutan lindung, maka hutan lindung dikuasai oleh negara atau menjadi milik negara.

2.❳ ❨ ❩sttu❭ ❬ ❪❫ ❴❵❛❜❬❝ ❬❵ ❴m n❪❞ ❴ts ❡ ❜❜wn❴❢ ❴n n❣ ❴n❤❴rtun❡ ❜trw❴❵ ❬❝ ❴n

Institusi adalah sekumpulan norma dan perilaku yang secara jelas mengakomodasi nilai yang terdapat dalam tujuan kolektif (Uphoff 1986). Institusi merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur saling hubungan dalam masyarakat, yang mana telah mendefinisikan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab, serta hak-hak istimewa anggotanya (Schmid 1987). Institusi merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur perilaku individu (North 1990). Menurut Koentjaraningrat (1997) kelembagaan dapat diistilahkan dengan lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial, yang memiliki makna sebagai suatu bentuk yang abstrak dengan norma-norma dan aturan-aturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Kemudian kelembagaan dapat pula diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Menurut Rachbini (2006) institusi adalah satu bentuk aturan formal dan informal dalam bertindak atau berperilaku yang dapat memfasilitasi koordinasi atau memerintah hubungan antar individu dalam organisasi atau masyarakat. Sedangkan menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) institusi adalah tataran dan pola hubungan antar anggota masyarakat, organisasi dan/atau antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling mengikat yang diwadahi dalam sebuah organisasi atau jaringan.

Institusi adalah inovasi manusia untuk mengatur dan mengendalikan sumber hubungan saling ketergantungan antar manusia terhadap sesuatu (Kartodihardjo


(42)

23

2004). Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa institusi berkenaan dengan aturan formal dan informal yang mengarahkan prilaku individu, organisasi atau masyarakat.

Lebih lanjut dikemukakan oleh (Kartodihardjo ✐t ❥❦l 2004, Kartodihardjo (2008) unsur-unsur institusi terdiri atas atau dicirikan oleh batas yurisdiksi atau batas wilayah kewenangan (❧u♠ ♥♦♣ ♥qtonl r♣❥oun ry ), hak pemilikan (p✐roprty ♠ ♥s tts) dan aturan representasi/keterwakilan (ru✐l of representtion ). Tiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.3.1 Hak pemilikan

Hak pemilikan menurut Schmid (1987) menggambarkan hubungan individu dengan yang lainnya terhadap sumberdaya alam atau sesuatu. Hak merupakan instrumen untuk mengendalikan hubungan saling ketergantungan manusia dan merupakan pemecahan terhadap siapa memperoleh apa. Menurut Commons (1968) yang dikutip Ostrom (2003) hak pemilikan merupakan sebuah penyelenggaraan kewenangan (otoritas) untuk melakukan aksi tertentu pada sebuah domain yang tertentu. Menurut Ostrom (2003) hak pemilikan menjelaskan aksi yang dapat dilakukan oleh individu dalam hubungannya dengan individu lain berkenaan dengan “sesuatu”. Jika seseorang memiliki hak, maka seseorang tersebut mempunyai kewajiban yang sepadan atas haknya tersebut. Menurut Bromley (1991) sebagaimana diacu Hanna dan Munashinghe (1995) hak pemilikan merupakan kumpulan hak yang diberikan dimana telah terdefinisikan secara jelas hak dan kewajiban di dalam pemanfaatan sumberdaya alam.

Menurut Hanna et l (1995) empat tipe rezim pemilikan, adalah: 1) pemilikan individual (p❥rivte property ); 2) pemilikan bersama (qommon p

ro p

erty ); pemilikan Negara (st❥te property ); dan 4) akses terbuka (open❥qqes ). Karakteristik masing-masing rezim pemilikan tersebut berdasarkan pemegang pemilikan, hak pemilik dan kewajiban pemilik oleh Hanna et l ❦(1995) diringkas sebagaimana tersaji pada Tabel 3.

Menurut Arifin (2001) pada hakekatnya terdapat empat macam hak kepemilikan atas sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan lainnya, yakni: 1) Milik Negara (st❥te property ). Para individu mempunyai ✉✈✇ ①②③✇w n untuk


(43)

mengelola sumberdaya itu. Demikian pula, departemen yang bersangkutan mempunyai h④⑤ untuk memutuskan aturan main penggunaanya. Contoh sumberdaya alam milik Negara ini adalah tanah hutan, mineral serta sumberdaya pertambangan, dan sumberdaya alam lain yang dikuasai Negara untuk hajat hidup orang banyak.

Tabel 3 Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan kewajiban pemilik

Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik Pemilikan individual Individual Penggunaan diterima

secara sosial, mengendalikan akses

Menghidari penggunaan yang tidak dapat diterima secara social

Pemilikan bersama Kolektif Mengeluarkan yang bukan pemilik

Pemeliharaan; membatasi tingkat penggunaan Pemilikan negara Warga Negara Menetukan aturan Memelihara tujuan sosial Akses terbuka Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Sumber: Hanna⑥⑦⑧⑨l (1995).

2) Milik pribadi (p⑩❶❷vt proprty ). Para individu pemilik mempunyai h④⑤ untuk memanfaatkan sumberdaya sesuai aturan dan norma yang berlaku (so❹❶❷lly ❷❹❹❸pt❷❺l uss ) serta memiliki ⑤❻w④❼❽❾④n untuk menghindari pemanfaatan sumberdaya yang eksesif dan tak dapat dibenarkan menurut kaidah norma yang berlaku (so❹❶❷lly un ❷❹❹❸❷❺pt lu❿ ❸s ). Misalnya lahan pertanian yang dimiliki perorangan termasuk di sini.

3) Milik umum (❹ommon proprty ). Kelompok masyarakat yang berhubungan dengan sumberdaya milik umum mempunyai h④⑤ untuk tidak mengikutsertakan individu lain yang bukan berasal dari kelompok itu, disamping⑤❻w④❼❽❾④n untuk mematuhi statusnya orang luar. Sementara itu, setiap anggota kelompok masyarakat yang terikat dalam sistem sosial tertentu untuk mengelola sumberdaya mempunyai h④⑤ dan ⑤❻w④❼❽❾④n untuk memelihara kelestariannya sesuai dengan aturan yang disepakati bersama. Misalnya, tanah marga atau sebidang tanah dipedesaan atau air irigasi (sistem subak di Bali), dimana penduduk yang terikat dalam kelompok sosial yang ada dapat memanfaatkan dapat memanfaatkan dan mengelolanya secara bersama berdasarkan norma hidup dan budaya yang berlaku.


(1)

❆ ❇❈ ❉❊❋● ❍■ ❊❏ ❑ ▲▼◆▼ ■❖ ❊❊❏P ❊❏● ▼❏P❊●❊◗ ❊❏❋ ❊❘ ❙❊■ ❊◆ ❊◗●▼ ❋ ❊❏ ❚❊ ❊◗❯❱ ❋❲▼ ■P ❊ ❙❊❳❉▲ ❨

❩❬❭ ❬❪❫❴❵❛ ❬❜❝ ❴❜ ❞❴ ❜❡ ❵❢❴❣ ❴❪❤ ✐✐ ❜

❥❬❦✐❧❢ ❴ ❜❝ ✐ ❛✐❦✐❜ ♠♥♦ ♦♦♦♦ ♦

♥♦♦ ♦♦ ♦♦♣ ♥q ♦ ♦♦ ♦♦

♥q ♦ ♦♦ ♦♦♣ r♦♦ ♦♦ ♦♦

r♦ ♦♦♦♦♦♣ rq ♦♦♦♦ ♦

srq ♦♦♦♦ ♦

♦♦♥ ❢ ❴❝✐t✐ ❜t❵✐✉ ✈❪✇❛ ❴❜❤ ✐①❡❦ √

002 Wiraswasta

003 Wiraswasta √

004 Bekerja di bidang pertanian

005 Bekerja di bidang pertanian √

006 Bekerja di bidang pertanian

007 Bekerja di bidang pertanian

008 Bekerja di bidang pertanian √

009 Bekerja di bidang pertanian

010 Bekerja di bidang pertanian

011 Berdagang/wiraswasta √

012 Bekerja di bidang pertanian

013 Bekerja di bidang pertanian

014 Pegawai Depag (PNS) √

015 Wiraswasta √

016 Bekerja di bidang pertanian

017 Bekerja di bidang pertanian

018 Pegawai swasta √

019 Buruh

020 Bekerja di bidang pertanian


(2)

② ③④

⑤⑥ ⑦⑧⑨ ⑩⑥❶❷ ❸❹⑥❶ ❺ ❻❼ ⑥❶ ❽

❾ ❿ ❿ ➀ ➁➂⑥ ➃⑥⑨➄➃⑥ ➄❼ ⑥ √

023 Bekerja di bidang pertanian

024 Pegawai swasta

025 Pegawai swasta √

026 Pegawai swasta

027 Bekerja di luar bidang pertanian

028 Buruh

029 Bekerja di bidang pertanian √

030 Bekerja di luar bidang pertanian

031 Wiraswasta

032 Pegawai swasta √

033 Bekerja di bidang pertanian

034 PNS

035 Buruh (buat batu bata) √

036 Buruh (buat batu bata)

037 Buruh (buat batu bata)

038 Buruh nambang pasir √

039 TNI – POLRI

040 Pegawai swasta

041 Bekerja di luar bidang pertanian √

042 Pegawai swasta √

043 Pegawai sawata

044 PNS


(3)

➅ ➆➇ ➈➉ ➊➋➌ ➍➉➎➏ ➐➑➉➎ ➒ ➓➔ ➉➎ →

➣ ↔↕ ➙➌ ➍➉ ➛➜➉ ➛➔ ➉ √

047 Wiraswasta

048 Wiraswasta

049 Wiraswasta √

050 Bekerja di luar bidang pertanian

051 Wiraswasta

052 Wiraswasta

053 Pegawai swasta √

054 Wiraswasta

055 Bekerja bidang pertanian

056 Wiraswasta √

057 Bekerja di bidang pertanian

058 Bekerja di bidang pertanian

059 Bekerja di bidang pertanian √

060 Bekerja di bidang pertanian

061 Bekerja di bidang pertanian

062 Bekerja di bidang pertanian √

063 Bekerja di bidang pertanian

064 Bekerja di bidang pertanian

065 Bekerja di bidang pertanian √

066 Pegawai swasta √

067 Bekerja di bidang pertanian

068 Bekerja di bidang pertanian


(4)

➝ ➞➟

➠➡ ➢➤➥ ➦➡➧➨ ➩➫➡➧ ➭ ➯➲ ➡➧ ➳

➵ ➸➵ ➺➻➼ ➻➦➭ ➡ ➽➥➾➥ ➽➡➧ ➚➤ ➻➦➲➡ ➧➥ ➡➧

➵ ➸➪ ➺➻➼ ➻➦➭ ➡ ➽➥➾➥ ➽➡➧ ➚➤ ➻➦➲➡ ➧➥ ➡➧ √

072 Bekerja di bidang pertanian

073 Bekerja bidang pertanian √

074 Wiraswasta

075 Bekerja sendiri-mekanik dan jualsayur

076 Bekerja sendiri-Bengkel √

077 Bekerja sendiri-wiraswasta

078 Bekerja sendiri-jual sayur

079 Bekerja sendiri-jual sayur √

080 Wiraswasta-jual jamu √

081 Bekerja sendiri-jual sayur

082 Bekerja di bidang pertanian

083 Bekerja sendiri-jual sayur √

084 Bekerja sendiri-jual sayur

085 Buruh (toko)

086 Bekerja di luar bidang pertanian √

087 Bekerja diluar bidang pertanian

088 Bekerja diluar bidang pertanian

089 Wiraswasta √

090 Wiraswasta

091 Bekerja di luar bidang pertanian


(5)

➶ ➹ ➹ ➘➴ ➷➬➮ ➱➴✃❐ ❒❮➴✃ ❰ ÏÐ ➴✃ Ñ

Ò ÓÔ ÕÖ× Ö➱❰ ➴ Ø➮Ù➮ Ø➴✃ Ú➬ Ö➱Ð➴ ✃➮ ➴✃ √

094 PNS-Wiraswasta

095 Buruh

096 Buruh √

097 Wiraswasta

098 Bekerja di luar bidang pertanian

099 Bekerja di luar bidang pertanian

100 Wiraswasta √

101 Bekerja di bidang pertanian

102 Bekerja sendiri diluar bidang usaha tani

103 Bekerja di bidang pertanian √

104 Wiraswasta

105 Pegawai swasta

106 Pegawai swasta √

107 Bekerja di bidang pertanian

108 Wiraswasta

109 Pegawai swasta √

110 Bekerja di bidang pertanian

111 Wiraswasta

112 Bekerja di bidang pertanian √

113 Wiraswasta √

114 Wiraswasta


(6)

Û ÜÝ

Þß àáâ ãßäå æçßä è éê ßä ë

Jumlah ìíæìî ïìð ñë ìòæìì ïòîñë îðæåïóð ñë óæíïð ò ñë ô ìæôð ïð ð ñë

õö÷ öãè ßø öä ùâãâùâúâ ùß äûá öãê ßäâ ßä üðæìüï óåñë õö÷ öãè ßø öä ùâãâùâçéßãú â ùßä û

á öãê ßäâ ßä üíæüð ïðð ñë

ý þÿ✁ þ✂✄ý☎Þ✆✂ íæìïü åñë

ýöû ß✝ßâÿ ✝ßøê ß î ✞æî ìïðüñë