21
Jadi, gaya kepemimpinan otoriter menganggap bahwa dirinyalah yang paling berkuasa, segala keputusan berada ditangannya, dan tidak membuka diri
untuk berinteraksi dengan guru. Ia hanya menginformasikan tentang tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh guru. Dalam menerapkan
kedisiplinan pun ia menggunakan paksaan dan hukuman.
e. Tipe Lissez Faire
Pada tipe kepemimpinan laissez faire ini sang pemimpin praktis tidak memimpin dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semau sendiri.
Pemimpin tidak berpartisipasi sedikitpun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahan sendiri. Dia
merupakan pemimpin simbol, dan biasanya tidak memiliki keterampilan teknis, sebab duduknya sebagai direktur atau pemimpin, ketua dewan, komandan atau
kepala biasanya diperoleh melalui penyogokan, suapan atau nepotisme.
28
Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan kepemimpinannya. Dia membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya.
Pemimpin sama sekali tidak memberikan kontrol dam koreksi terhadap pekerjaan bawahannya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan sepenuhnya kepada
bawahannya tanpa petunjuk atau saran-saran dari pemimpin.
29
Hal-hal berikut dapat dikemukakan sebagai karakteristik utama pemimpin yang laissez faire. Seorang yang laissez faire berpandangan, bahwa pada
umumnya organisasi akan berjalan dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang
menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang baru ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pimpinan tidak terlalu
sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional.
28
Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, Yogyakarta: Kaukaba, 2012, h. 84
29
Tim Dosen Administrasi UPI, Manajemen Pendidikan, Bandung, Alfabeta, 2013, h. 126
22
Seorang pemimpin yang laissez faire melihat peranannya sebagai “polisi lalu lintas”. Dengan anggapan bahwa para anggota organisasi sudah mengetahui
dan cukup dewasa untuk taat kepada peraturan permainan yang berlaku, dan ia cenderung memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan
menurut temponya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakkan.
30
Kepemimpinan laissez faire, juga disebut sebagai kepemimpinan liberal, merupakan suatu pola pengabaian abrogation sehingga pemimpin berusaha
menghindari tanggung jawab terhadap pengikutnya. Dalam proses pengambilan keputusan pemimpin tidak mengarahkan dan memberikan perintah kepada para
pengikutnya menentukan sendiri. Ia bisa jadi hanya mengamati dan memerhatikan tanpa berpartisipasi langsung. Seorang pemimpin yang liberal menyebabkan para
pengikutnya menjadi manusia yang penuh kreatif, dan dapat menentukan pilihannya masing-masing dalam mencapai tujuannya. Interaksi dalam kelompok
yang dipimpin oleh pemimpin tipe ini tidak ada sama sekali karena ia menganut sikap yang tak acuh terhadap pengikutnya dan menghindari tanggung jawab
terhadap mereka.
31
Kepala sekolah yang memiliki sifat laissez faire merupakan kebalikan dari yang otoriter, dan sering disebut liberal, karena ia memberikan banyak kebebasan
kepada tenaga kependidikan untuk mengambil langkah-langkah sendiri dalam menghadapi sesuatu. Kepala sekolah ini keliru dalam menafsirkan demokrasi, ia
menafsirkan demokrasi sebagai kebebasan untuk mengemukakan, dan mempertahankan pendapat, serta kebijaksanaan masing-masing. Padahal
demokrasi bukan kebebasan mutlak, tetapi dibatasi oleh peraturan. Dalam rapat sekolah, kepala sekolah menyerahkan segala sesuatu kepada para tenaga
30
Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, Cet. Ke-3, h. 38
31
Herabudin, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia, 2009, h. 222