20
mengeksploitasi rasa ketergantungan pengikut-pengikutnya dan berusaha untuk membina kendali penuh. Dalam proses membuat keputusan, pemimpin secara
individual mengarahkan dan mendominasi anggota kelompok dan ia langsung mengambil keputusan.
24
Seorang pemimpin
yang otokratis
memiliki ciri-ciri
dalam kepemimpinannya sebagai berikut :
25
a. Menganggap organisasi milik pribadi
b. Mengidentikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi
c. Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata
d. Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat
e. Terlalu tergantung kepada kekuasaan formilnya
f. Dalam tindakan penggerakkannya sering mempergunakan pendekatan yang
mengandung unsur pemaksaan dan punitif bersifat menghukum. Seorang pemimpin yang otokratik menurut Sondang P. Siagian
“cenderung menganut nilai organisasi yang berkisar pada pembenaran segala cara yang ditempuh untuk pencapaian tujuannya”.
26
Kepala sekolah yang otoriter berkeyakinan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab atas segala sesuatu, menganggap dirinya sebagai orang paling
kuasa, dan paling mengetahui berbagai hal. Kepala sekolah yang otoriter biasanya tidak terbuka tidak mau menerima kritik, dan tidak mau membuka jalan untuk
berinteraksi dengan tenaga kependidikan. Ia hanya memberikan instruksi tentang apa yang harus dikerjakan serta dalam menanamkan disiplin cenderung
menggunakan paksaan dan hukuman.
27
24
Herabudin, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia, 2009, h. 221-222
25
Syamsul Arifin, Leadership Ilmu dan Seni Kepemimpinan, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012, h. 89
26
Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003, cet.5, h. 31-33
27
Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. Ke-8, 2006, h. 269-271
21
Jadi, gaya kepemimpinan otoriter menganggap bahwa dirinyalah yang paling berkuasa, segala keputusan berada ditangannya, dan tidak membuka diri
untuk berinteraksi dengan guru. Ia hanya menginformasikan tentang tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh guru. Dalam menerapkan
kedisiplinan pun ia menggunakan paksaan dan hukuman.
e. Tipe Lissez Faire
Pada tipe kepemimpinan laissez faire ini sang pemimpin praktis tidak memimpin dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semau sendiri.
Pemimpin tidak berpartisipasi sedikitpun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahan sendiri. Dia
merupakan pemimpin simbol, dan biasanya tidak memiliki keterampilan teknis, sebab duduknya sebagai direktur atau pemimpin, ketua dewan, komandan atau
kepala biasanya diperoleh melalui penyogokan, suapan atau nepotisme.
28
Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan kepemimpinannya. Dia membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya.
Pemimpin sama sekali tidak memberikan kontrol dam koreksi terhadap pekerjaan bawahannya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan sepenuhnya kepada
bawahannya tanpa petunjuk atau saran-saran dari pemimpin.
29
Hal-hal berikut dapat dikemukakan sebagai karakteristik utama pemimpin yang laissez faire. Seorang yang laissez faire berpandangan, bahwa pada
umumnya organisasi akan berjalan dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang
menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang baru ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pimpinan tidak terlalu
sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional.
28
Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, Yogyakarta: Kaukaba, 2012, h. 84
29
Tim Dosen Administrasi UPI, Manajemen Pendidikan, Bandung, Alfabeta, 2013, h. 126
22
Seorang pemimpin yang laissez faire melihat peranannya sebagai “polisi lalu lintas”. Dengan anggapan bahwa para anggota organisasi sudah mengetahui
dan cukup dewasa untuk taat kepada peraturan permainan yang berlaku, dan ia cenderung memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan
menurut temponya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakkan.
30
Kepemimpinan laissez faire, juga disebut sebagai kepemimpinan liberal, merupakan suatu pola pengabaian abrogation sehingga pemimpin berusaha
menghindari tanggung jawab terhadap pengikutnya. Dalam proses pengambilan keputusan pemimpin tidak mengarahkan dan memberikan perintah kepada para
pengikutnya menentukan sendiri. Ia bisa jadi hanya mengamati dan memerhatikan tanpa berpartisipasi langsung. Seorang pemimpin yang liberal menyebabkan para
pengikutnya menjadi manusia yang penuh kreatif, dan dapat menentukan pilihannya masing-masing dalam mencapai tujuannya. Interaksi dalam kelompok
yang dipimpin oleh pemimpin tipe ini tidak ada sama sekali karena ia menganut sikap yang tak acuh terhadap pengikutnya dan menghindari tanggung jawab
terhadap mereka.
31
Kepala sekolah yang memiliki sifat laissez faire merupakan kebalikan dari yang otoriter, dan sering disebut liberal, karena ia memberikan banyak kebebasan
kepada tenaga kependidikan untuk mengambil langkah-langkah sendiri dalam menghadapi sesuatu. Kepala sekolah ini keliru dalam menafsirkan demokrasi, ia
menafsirkan demokrasi sebagai kebebasan untuk mengemukakan, dan mempertahankan pendapat, serta kebijaksanaan masing-masing. Padahal
demokrasi bukan kebebasan mutlak, tetapi dibatasi oleh peraturan. Dalam rapat sekolah, kepala sekolah menyerahkan segala sesuatu kepada para tenaga
30
Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, Cet. Ke-3, h. 38
31
Herabudin, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia, 2009, h. 222
23
kependidikan, baik penentuan tujuan, prosedur pelaksanaan, kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, serta sarana dan prasarana yang akan digunakan.
Kepala sekolah bersifat pasif, kegiatan yang akan dilakukan, tidak ikut terlibat langsung dengan tenaga kependidikan, dan tidak mengambil inisiatif
apapun. Kepala sekolah yang memiliki sifat laissez faire biasanya memposisikan diri sebagai penonton, meskipun ia berada ditengah-tengah para tenaga
kependidikan dalam rapat sekolah, karena ia menganggap bahwa pemimpin jangan terlalu banyak mengemukakakan pendapat agar tidak mengurangi hak dan
kebebasan anggota.
32
Ciri-ciri kepemimpinan Laissez faire :
33
a Tidak yakin pada kemampuan sendiri
b Tidak berani menetapkan tujuan
c Tidak berani menanggung resiko
d Membatasi komunikasi dan hubungan kelompok.
f. Tipe Populistis
Profesor Peter Worsley dalam bukunya The Third World mendefinisikan kepemimpinan populistis sebagai kepemimpinan yang dapat membangunkan
solidaritas rakyat. Kepemimpinan populistis ini berpegang teguh kepada nilai-nilai
masyarakat yang tradisional. Juga kurang mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang-hutang luar negeri asing kepemimpinan jenis ini mengutamakan
penghidupan kembali nasionalisme.
34
g. Tipe Administratif atau Eksekutif
Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Sedang para pemimpin
terdiri dari teknorat dan administrator yang mampu menggerakkan dinamika
32
Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. Ke-8, 2006, h. 269-271
33
Veithzal Rivai, Kiat Memimpin Dalam Abad Ke-21, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, cet. Pertama, h. 79
34
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h 85
24
modernisasi dan pembangunan. Dengan demikian dapat dibangun system administrasi dan birokrasi yang efisien untuk memerintah yaitu untuk
memantapkan integritas bangsa pada khususnya dan usaha pembangunan pada umumnya. Dengan kepemimpinan administratif ini diharapkan adanya
perkembangan teknis yaitu teknologi, industry, manajemen modern dan perkembangan social di tengah masyarakat.
35
h. Tipe Demokratis
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu
mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis, pemimpin memberikan banyak informasi tentang
tugas serta tanggung jawab para bawahannya. Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan
sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin ditengah-tengah anggota kelompoknya. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-
anggotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya ia selalu berpangkal pada kepentingan dan
kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
36
Kepemimpinan demokratis merupakan suatu pola yang memandang manusia mampu mengarahkan dirinya sendiri dan berusaha untuk memberikan
kesempatan kepada anggota untuk tumbuh dan berkembang serta bertindak sendiri melalui partisipasinya dalam mengendalikan diri mereka sendiri dalam membuat
keputusan. Pemimpin membimbing dan memberi kesempatan kepada kelompok untuk ikut serta mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan.
Pandangan seorang pemimpin yang demokratis terhadap orang lain lebih optimis dan positif dan tidak otoriter. Ia mendukung interaksi di antara para
35
Ibid., h 85
36
M. Ngalim Purwanto, Administasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, h. 50
25
anggota kelompok dengan cara memotivasi mereka untuk menentukan sendiri kebijaksanaan dan kegiatan kelompok.
37
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu
mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam kepemimpinan demokratis, pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas dan tanggung
jawab para bawahannya. Dalam melaksanakan tugasnya, ia mau menerima, bahkan mengharapkan
pendapat dan saran-saran dari kelompoknya. Ia mempunyai kepercayaan pula pada anggota-anggotanya bahwa mereka mempunyai kesanggupan bekerja dengan
baik dan bertanggung jawab. Ia selalu berusaha membangun semangat anggota kelompok dalam menjalankan dan mengembangkan daya kerjanya dengan cara
memupuk rasa kekeluargaan dan persatuan.
38
Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan
pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal pada diri sendiri dan kerja sama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis ini
bukan terletak pada person “person atau individu pemimpin”, akan tetapi kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari setiap kelompok.
Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu maupun mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan. Juga tersedia mengakui keahlian
para spesialis dengan bidangnya masing-masing mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.
Kepemimpinan demokratis sering disebut sebagai kepemimpinan group developer.
39
37
Herabudin, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia, 2009, h. 221
38
Endin Nasrudin, Psikologi Manajemen, Bandung: Pustaka Setia, 2010, h. 63
39
Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, Yogyakarta: Kaukaba, 2012, h. 85
26
Seorang pemimpin
yang demokratis
memiliki ciri-ciri
dalam kepemimpinannya sebagai berikut:
40
a Dalam proses penggerakkan bawahan melalui kritik tolak dari pendapat bahwa
manusia adalah makhluk termulia. b
Selalu berusaha menyelaraskan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari para bawahannya.
c Senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya.
d Selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan kerja tim dalam usaha
mencapai tujuan. e
Dengan ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian dibandingkan diperbaiki
agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi tetap berani untuk berbuat kesalahan yang lain.
f Selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripada dia
sendiri. g
Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai seorang pemimpin.
Pemimpin ini memiliki sifat yang selalu bersedia menolong bawahannya, dengan memberikan arahan, nasihat, serta petunjuk. Gaya kepemimpinan ini
ditandai dengan adanya pengambilan keputusan yang kooperatif. Karena kepemimpinan ini selalu megutamakan kerjasama dan kemampuan mengarahkan
diri sendiri dan para bawahannya.
i. Pseudo Demokratis
Tipe ini disebut juga semi demokratis atau manipulasi diplomatik. Pemimpin yang bertipe pseudo demokratis hanya tampaknya demokratis, padahal
senbenarnya dia bersifat otokratis. Pemimpin ini menganut demokrasi semu dan lebih mengarah pada kegiatan pemimpin yang otoriter dalam bentuk yang halus,
40
Syamsul Arifin, LeadershipIlmu dan Seni Kepemimpinan, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012, h. 92-93
27
samar-samar, dan yang mungkin dilaksanakan tanpa disadari bahwa tindakan itu bukan tindakan pimpinan yang demokratis.
Tipe kepemimpinan pseudo demokratis disebut pula dengan tipe kepemimpinan manipulasi demokratis kalau menurut bahasa arab disebut
munafik, karena menampakkan dua wajah yaitu lain di mulut lain dihati.
41
Kepala sekolah yang memiliki sifat pseudo demokratis sebenarnya bersifat otoriter, hanya pandai memberikan kesan seolah-olah demokratis. Dalam rapat
sekolah, ia berbuat seakan-akan semua rencana, program, dan kebijakan merupakan keputusan kelompok, padahal atas kehendaknya sendiri. Dalam gaya
kepemimpinan ini juga kepala sekolah seakan-akan memperhatikan saran dan pendapat tenaga kependidikan. Walaupun akhirnya hal tersebut tidak digunakan.
Mengingat sifat permukaannya yang ramah, para tenaga kependidikan cenderung segan dan enggan untuk menentang keputusannya. Kepala sekolah yang memiliki
sifat pseudo demokratis sering disebut sebagai kepala sekolah yang memanipulasi demokrasi atau demokrasi semu.
42
Pada tipe kepemimpinan seperti ini, pemimpin memberikan kesan yang seolah-olah
demokratis, padahal
maksudnya adalah
otokratis, yang
mengutamakan keinginannya dengan penyampaian secara halus. Jadi sebenarnya pemimpin yang pseudo demokratis merupakan pemimpin yang otokratis, yang
sifatnya di tutupi oleh penampilan yang seolah-olah dia demokratis. Menurut Mulyasa sebagaimana dikutip oleh Khozin 2006: 49-50
beberapa gaya yang dapat diuraikan antara lain:
43
a. Gaya mendikte telling, gaya ini diterapkan jika anak buah dalam
tingkat kematangan daya abstrak, kemauan dan kepercaaan diri komitmen rendah, sehingga memerlukan petunjuk dan pengawasan
yang jelas. Gaya ini lebih cocok diterapkan pada guru dan staf ang
41
Tim Dosen Administrasi UPI, Manajemen Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010, h. 127
42
Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. Ke-8, 2006, h. 269-271
43
Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan, Yogyakarta: Kaukaba, 2012, h. 86-87
28
acuh dan tak acuh, karena itu kepala sekolahmadrasah dituntut untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan, dan dimana tugas dilakukan.
Dengan demikian, gaya ini menekankan pada tugas, sedangkan hubungan hanya sekedar saja.
b. Gaya menjual selling, gaya ini diterapkan apabila tingkat kematangan
daya abstraknya taraf rendah, tetapi kemauan kerja dan kepercaaan diri komitmen sangat memadai tinggi. Gaya ini lebih cocok diterapkan
pada guru maupun staf yang sangat sibuk, karena itu kepala sekolahmadrasah selalu memberikan petunjuk atau pengarahan atau
porsinya agak banyak. Dengan demikian gaya ini menekankan pada tugas serta hubungan yang tinggi, agar dapat memelihara dan
meningkatkan kemauan yang telah dimiliki. c.
Gaya melibatkan diri Participating, gaya ini diterapkan jika tingkat kematangan daya abstraknya tinggi, tetapi kurang memiliki kemauan
kerja dan kepercayaan diri komitmen. Gaya ini lebih cocok diterapkan pada guru maupun staf yang suka kritik, karena itukepala
sekolahmadrasah berperan bersama-sama dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, gaya ini tidak menekankan pada tugas,
namun upaya hubungan perlu ditingkatkan dengan membuka komunikasi dua arah.
d. Gaya mendelegasikan delegating, gaya ini diterapkan bila
kemampuan, kematangan daya abstrak, kemauan kerja dan pada guru maupun staf yang professional, karena itu kepala sekolahmadrasah
membiarkan mereka melaksanakan kegiatan sendiri, tetapi tetap melakukan pengawasan. Dengan demikian, gaya ini terkait dengan
upaya tugas maupun hubungan hanya diperlukan sekedarnya saja.
6. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Menurut Wahyosumidjo bahwa kepala sekolah yang berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan
29
unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
44
Kepala sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan sekolah, yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan
pada umumnya direalisasikan. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa meningkatkan efektivitas kinerja untuk mewujudkan pedidikan secara efektif dan
efisien. Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut:
45
a. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses
pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif. b.
Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
c. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga
dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
d. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat
kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah. e.
Bekerja dengan rim manajemen, serta f.
Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Kepala sekolah yang efektif secara umum dapat diamati dari tiga hal pokok, yaitu pertama, komitmetn terhadap visi sekolah dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, kedua; menjadikan visi sekolah sebagai pedoman dalam mengelola dan memimpin sekolah, dan ketiga; senantiasa memfokuskan kegiatannya
terhadap pembelajaran dan kinerja guru.
46
44
Wahyosumidjo, Kepemimpinan KepalaSekolah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011, cet. 11, h. 81
45
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi, dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, cet. Ketiga, h. 126
46
Mulyasa, Manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet. Kedua, h. 19.
30
7. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Atmini jurusan KI-MP UIN Syarif Hidayatullah dengan judul “Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah
dengan Disiplin Kerja Guru di SMK Sasmita Jaya 1 Pamulang” yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap disiplin kerja sudah baik. Karena gaya kepemimpinan kepala sekolah dapat memberikan
kontribusi terhadap disiplin kerja guru. Hal ini bisa di lihat dari keseluruhan pertanyaan yang diajukan kepada responden melalui kisi-kisi instrumen sebagai
berikut: Kepemimpinan kepala sekolah di SMK Sasmita Jaya I Pamulang sudah
baik. Hal ini sesuai hasil perolehan nilai rata-rata 59,43 dengan standar deviasi 7,03 dari 40 sampel, dengan skor tertinggi menyatakan kepala sekolah
bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya, memberikan teladan yang baik dan membina hubungan baik dengan guru.
Disiplin kerja guru di SMK Sasmita Jaya 1 Pamulang sudah baik. Hal ini sesuai hasil perolehan nilai rata-rata 61,53 dengan standar deviasi 7,12 dari 40
sampel, dengan skor tertinggi yang menyatakan guru masuk kelas tepat waktu, menciptakan ketertiban pada saat proses pembelajaran dan memberika teladan
kepada seluruh siswa. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Yayah Najihiyah KI-MP UIN Syarif
Hidayatullah dengan judul Efektivitas Kepemimpinan Kepala Sekolah di SMA Gemilang I Pakuhaji-Tangerang, berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahawa kepemimpinan Kepala Sekolah SMA Gemilang I Pakuhaji-Tangerang cukup efektif, hal ini di lihat dari bagaimana Kepala Sekolah merumuskan visi
dan misi seperti: konsep visi dan misi yang telah dirumuskan didiskusikan kembali dnegan seluruh amggota prganisasiinstitusi untuk memperoleh masukan,
klarifikasi dan saran-saran, sertamenyelenggarakan pelatihan, mengadakan rapat
31
rutin satu bulan sekali seperti ,omitoring dan evaluasi kegiatan belajar mengajar KBM, serta memotivasi anggotanya dengan cara memberikan reward.
Jenis metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif. Instrumen
pengumpulan data penelitian dengan menggunakan isntrumen observasi dengan mengamati aktivitas kepala sekolah, dokumentasi serta wawancara dengan kepala
sekolah, guru-guru, dan karyawan SMA Gemilang I Pakuhaji-Tangerang. Setelah data didapat, data dideskripsikan lalu dianalisis.
32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Dalam metodologi penelitian ini menjelaskan tujuan penelitian, tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa
data.
A. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai penulis adalah untuk mengetahui dan menguraikan secara faktual dan akurat tentang Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah
di SMA N 8 Kabupaten Tangerang.
B. Tempat dan waktu penelitian
1. Tempat Penelitian
Lokasi yang dijadikan penelitian adalah SMA N 8 Kabupaten Tangerang, proses penelitian ini dilaksanakan secara bertahap di mulai dari perencanaan,
persiapan dan penentuan alat pengumpulan data penelitian, yang dilanjutkan dengan pengumpulan data lapangan sebagai kegiatan inti penelitian.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan, mulai dari bulan September sampai dengan Oktober 2014.
33
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah melalui metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif yang mencakup masalah deskripsi
murni tentang program danatau pengalaman orang di lingkungan penelitian. Tujuan deskripsi ini adalah untuk membantu pembaca mengetahui apa yang terjadi di
lingkungan di bawah pengamatan, seperti apa pandangan partisipan yang berada di latar penelitian, dan seperti apa peristiwa atau aktivitas yang terjadi di latar penelitian
serta untuk mengetahui fakta dan informasi di lapangan.
D. Data dan Sumber Data
Sumber data penelitian ini tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah adalah dokumen-dokumen yang ada di SMAN 8 Kabupaten Tangerang, yang berupa print
out atau soft copy sebagai format, dokumentasi foto. Sumber data juga didukung dengan informasi yang didapat dari responden penelitian, yaitu kepala sekolah, wakil
kepala sekolah, serta guru. Data dalam penelitian ini digunakan dua macam data yaitu data primer dan
data sekunder. Berikut ini akan dijelaskan kedua macam data tersebut: 1.
Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber data pertama yaitu kepala sekolah dan elemen yang terkait. Dalam hal ini
sumber pertama atau data primer dari penelitian ini adalah Kepala Sekolah, wakil Kepala Sekolah, dan guru SMAN 8 Kabupaten Tangerang.
2. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti-peneliti dari bahan
kepustakaan sebagai penunjang dari data pertama. Data ini berupa dokumen sekolah, atau referensi yang terkait dengan penulisan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila
34
dibandingkan dengan teknik yang lain. Sutrisno Hadi 1986 mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari
berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses- proses pengamatan dan ingatan.
1
Teknik ini menuntut adanya pengamatan dari si peneliti baik secara langsung atau tidak langsung terhadap objek penelitiannya. Instrumen yang dipakai dapat
berupa lembar pengamatan, panduan pengamatan, dan lainnya.
2
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa observasi merupakan pengamatan dan pencatatan masalah-masalah yang diteliti secara langsung dan
dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan hasil penelitian yang diinginkan. Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi di SMAN 8 Kabupaten Tangerang.
2. Wawancara Interview
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan kepada responden dan mencatat atau merekam jawaban-jawaban responden.
Wawancara dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dengan sumber data.
3
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila penulis ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang diteliti, dan juga
apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikitkecil.
4
Jadi, wawancara adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperoleh dari jawaban responden dengan menggali informasi kepada nara
1
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan RD, Bandung: Alfabeta, 2013, Cet. Ke-16, h. 203
2
Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi Dan Tesis Bisnis, Jakarta: RajaGrafindo, 2011, cet. 11, h. 51
3
Mahmud, Metode PenelitianPendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011, h. 173
4
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan RD, Bandung: Alfabeta, 2013, Cet. Ke-16, h. 194