ketika berbicara, untuk tidak membuang sampah sembarangan, dan untuk disiplin dalam urusan waktu, serta pelbagai aturan
lainnya. Bagi yang tidak mematuhi akan dikenakan sanksi yang bisa berupa pukulan ringan, diarak keliling pesantren, mendapat
tugas, dan lain sebagainya. Pertama aturan tersebut ditaati dengan berat hati, tetapi seiring berjalannya waktu akan
menjadi sebuah kebiasaan, dan dianggap sebagai hal yang seharusnya. Bahkan kadang setelah lulus para santri ini
merindukan kondisi tersebut. Kelemahan metode ini yaitu dapat menimbulkan depresi
pada orang-orang tertentu. Karena pembiasaan pada dasarnya berawal dari pemaksaan. Membiasakan diri sendiri adalah
mudah, karena timbul dari kesadaran jiwa pribadi. Tetapi membiasakan orang lain untuk seperti ini dan itu dimana
peserta didik belum tentu punya kesadaran untuk patuh maka akan mengalami kegagalan. Jika dilakukan dalam waktu yang
lama bisa menyebabkan depresi psikis yang parah.
50
Akhirnya pelampiasannya dalah dengan melakukan prilaku-prilaku yang
menyimpang. Oleh karenanya pendekatan ilmu kejiwaan sangat lah krusial dalam hal ini.
4. Metode Hukuman, Hardikan, dan Pukulan yang Ringan Ibnu Miskawaih mengatakan dalam proses pembinaan
akhlak, adakalanya boleh dicoba jalan dengan menghardik, hukuman, dan pukulan ringan. Tetapi metode ini adalah jalan
terakhir sebagai obat ultimatum remedium jika jalan-jalan lainnya tidak berhasil. Ibnu Miskawaih percaya metode ini akan
membuat peserta didik untuk tidak berani melakukan
50
Dalyono, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 20100, h. 263
keburukan dan dengan sendirinya mereka akan menjadi manusia yang baik.
51
Terkait hal ini ada hadits nabi yang masyhur diketahui dikalangan umat Islam yaitu hadits tentang pendidikan anak
terkait pelaksanaan shalat:
ىَلَص ِهَللا ُلوُسَر َلاَق َلاَقِهِدَج ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍبْيَعُش ِنْب وِرْمَع ْنَع ِهْيَلَع هَللا
ُءاَنْ بَأ ْمُهَو اَهْ يَلَع ْمُهوُبِرْضاَو َنِنِس ِعْبَس ُءاَنْ بَأ ْمُهَو ِةاَصلاِب ْمُكَداْوَأ اوُرُم َمَلَسَو ةاصلا باتك ِ دوادوبا هجرخأ ِع ِجاَضَمْلا ِِ ْمُهَ نْ يَ ب اوُقِرَ فَو ٍرْشَع
“Dari „Amar bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “perintahlah anak-
anakmu mengerjakan salat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan salat bila berumur
sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur mereka laki-laki
dan perempuan”. HR.Abu Daud dalam kitab sholat”
Inti pokok dalam hadits tersebut Nabi mengatakan anak- anak harus diajarkan untuk melakukan shalat sejak usia dini,
pada usia mendekati baligh bahkan dibolehkan bagi orang tua maupun pendidik untuk memukul dengan pukulan yang ringan.
Hadits ini banyak digunakan sebagai dasar pembolehan „kekerasan‟ dalam pendidikan. Kadang yang membuat banyak
orang lupa bahwa walaupun Nabi memerintahkan untuk memukul dengan pukulan ringan, tetapi disana pendidik tidak
boleh melakukannya dengan kebencian dan amarah. Apapun ceritanya metode ini adalah jalan terakhir jika jalan lain tidak
efektif. Namun, fenomena pendidikan saat ini nampaknya jauh
dari apa yang diharapkan oleh para pelaku pendidik.
Maksud
51
Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h. 60
hati ketika guru memarahi atau memukul ringan, agar anak didik sadar dan takut atas kesalahan yang telah dia lakukan,
tapi kenyataannya tidak. Guru malah dilaporkan kepada polisi dan dipenjarakan atas perbuatannya itu.
52
Padahal di dalam kitab Tahdzib al-Akhlak ini Ibnu Miskawaih membolehkan pukulan ringan, dan semacamnya
dimaksudkan agar peserta didik menyadari atas kesalahannya dan diharapkan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
b. Asas-asas Pendidikan
Yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan
pendidikan seperti: 1. Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang
dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna.
2. Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang
lain. 3. Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum,
baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal.
4. Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
5. Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat
malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
52
Ahmad Faizal , guru.yang.cubit.murid.dituntut.hukuman.6.bulan.penjara, 2016 http:regional
. kompas.com
6. Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya,
karena kebiasaan hidup susah untuk diubah.
53
c. Pendidik dan Peserta Didik
Pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz ataupun dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan
pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan peserta didik yang selanjutnya disebut murid, siswa,
anak didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan
perhatian seksama. Perbedaan peserta didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.
54
Secara garis besar yang dapat terbaca dalam kitab Tahdzib al- Akhlak, bahwa Ibnu Miskawaih mengkategorikan pendidik
menjadi dua, yaitu orang tua dan guru. Pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab meluruskan peserta didik melalui ilmu
rasional agar mereka dapat mencapai kebagahiaan intelektual dan untuk mengarahkan peserta didik pada disiplin-disiplin praktis dan
aktifitas intelektual agar mencapai kebahagiaan praktis. Posisi guru sama dengan posisi kedua orang tua yang melahirkan dan
mendidik sejak kecil. Bahkan Ibnu Miskawaih meletakkan cinta murid terhadap gurunya berada di antara kecintaan terhadap orang
tua dan kecintaan terhadap Tuhan. Dengan begitu diharapkan kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara
guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
55
53
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, hlm. 15.
54
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001 cet. II, h. 17
55
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidik Islam, h. 17
Apa yang menyebabkan Ibnu Miskawaih memberikan kedudukan yang istimewa kepada guru. Memang benar dan tidak
dapat dipungkiri bahwa guru adalah penyebab eksistensi intelektual manusia, guru dianggap lebih berperan dalam mendidik
kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati, di samping itu ia ingin meninggikan penghormatan kepada guru
dibandingkan jabatan yang lain dalam masyarakat.
56
Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi.
Selain itu karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan, mengisi jiwa anak didik dengan kebijaksanaan yang
tinggi dan menunjukan kepada mereka kehidupan abadi dalam kenikmatan yang abadi pula.
Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang
manusia yang ideal. Hal yang demikian terlihat jelas karena ia mensejajarkan posisi mereka sama dengan posisi Nabi, terutama
dalam hal cinta kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati urutan kedua setelah cinta kasih kepada Allah.
Guru, pendidik secara sederhana dapat dipahami adalah siapapun yang mengajarkan apa yang sebelumnya tidak diketahui
menjadi tahu, atau apa yang sebelumnya terlupakan menjadi ingat kembali. Guru, pendidik juga adalah seorang pelajar, mereka
belajar dari pengalaman dan pendidikan. Dalam Al- Qur‟an
disebutkan tentang keutamaan seorang guru dan pelajar yang terdapat dalam Q.S al-Mujadalah: 11, yang artinya yaitu;
“Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah
niscaya Allah akan member kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah
56
Ahmad Syar‟i, Filsafat Pendidikan Islam, h. 95
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Q.S al-Mujadalah: 11
Dalam ayat ini Allah mensejajarkan antara orang yang beriman dengan orang yang berilmu. Padahal keimanan adalah puncak dari
segala sesuatu. Tetapi orang yang berilmu bisa sejajar dengan orang yang beriman. Tentunya orang yang beriman yang berilmu
lebih utama dari pada beriman saja dan berilmu saja. Secara tekstual yang terlihat bahwa ilmu yang dimaksud adalah
ilmu apapun yang bisa membawa kemanfaatan bagi manusia, termasuk misalnya ilmu kesehatan, astronomifalak, matematika,
dan lain sebagainya.
57
Pemaparan Ibnu Miskawaih tentang bagian ilmu senada dengan yang disampaikan oleh Ibnu Sina dimana ia mengatakan ilmu
terbagi menjadi dua, yaitu ilmu yang kekal hikmah dan ilmu yang tidak kekal. Sedangkan berdasarkan tujuan, ilmu itu dibagi menjadi
ilmu praktis dan ilmu teoritis. Ilmu teoritis seperti ilmu alam, falak, matematika, ilmu ketuhanan, dan sejenisnya. Sedangkan ilmu
praktis diantaranya seperti ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah management, ilmu syariah dan sebagainya.
58
Tujuan penjelasan ini adalah agar jelas bagi orang Islam bahwa menuntut ilmu apapun
itu adalah bagian dari pengabdian kepada Allah. Tentang guru atau pendidik yang ideal, ini yang dijelaskan oleh
al- Ghazali yang dirangkum oleh Ahmad Syar‟i, yaitu:
1 Guru harus mencintai peserta didik seperti mencintai anak
kandungnya sendiri
57
Said Agil Husain al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qurani, Jakarta : Ciputat Press h.26
58
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pendidikan Islam Klasik Hingga Kontemporer Malang: UIN-Malang Press, 2009 h. 146
2 Guru tidak mengharapkan upah sebagai tujuan utama, sebab
mendidik adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi, sedangkan gaji atau upah terletak pada terbentuknya peserta didik yang
mengamalkan ilmunya. 3
Guru harus selalu mengingatkan muridnya agar tujuan menuntut ilmu bukan utnuk kebanggan diri atau mencapai
keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4 Guru harus mendorong muridnya mencari ilmu yang
bermanfaat dan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. 5
Guru harus memberikan contoh teladan seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada dan berakhlak mulia.
6 Guru harus mengajarkan pelajaran sesuai dengan tingkat
keilmuan dan kecenderungan peserta didik. 7
Guru harus mengamalkan apa yang diajarkan, karena ia adalah idola bagi peserta didik.
8 Guru harus memahami minat, bakat, dan jiwa peserta
didiknya.
59
Jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih bahwa tujuan
pendidikan akhlak adalah untuk terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong manusia secara spontan untuk melakukan
tingkah laku yang baik, sehingga ia berprilaku terpuji, mencapai kesempurnaan sesuai dengan substansinya sebagai
manusia, dan memperoleh kebahagiaan yang sejati dan sempurna.
60
Maka guru ideal yang dicirikan oleh Imam al- Ghazali adalah sangat beralasan dan tepat.
Adapun yang dimaksud dengan guru oleh Ibnu Miskawaih bukan dalam arti sekedar guru formal karena
59
Ahmad Syar ‟i, Filsafat Pendidikan Islam, h. 99
60
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 31