Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Akhlak

dilakukan, sehingga yang bersangkutan sudah mengetahui seluk beluk perbuatan tersebut. Dalam kebudayaan bangsa Indonesia, orang yang jatuh kedalam kesalahan dan kegagalan yang sama akan dicap sebagai orang yang hina dan bodoh. Karena dirinya tidak mampu belajar dari pengalaman yang sudah dialaminya sendiri. Menurutnya, akhlak dalam Islam dibangun atas pondasi kebaikan dan keburukan. Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya, karena hal tersebut akan mengarahkan manusia kepada tujuan dirinya diciptakan. Keburukan adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat manusia mencapai kebaikan, entah hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganannya mencari kebaikan. 14 Sepertinya Ibnu Miskawaih percaya bahwa akhlak itu pada keseluruhannya diperoleh dari pengalaman dan pendidikan. Ia terpengaruh oleh faktor-faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi masyarakat, adat, tradisi, sistemnya, dan harapan-harapannya. Ia tidak terpelihara ma’sum. Dalam Tahdzib Ibnu Miskawaih mengatakan: “Setiap karakter dapat berubah. Sedangkan apapun yang berubah maka sifatnya tidak alami. Karena tidak ada yang bisa merubah sesuatu yang alami. Tidak ada seorangpun yang bisa membuat batu yang dilempar agar jatuh ke atas, tidak ke bawah. 15 Ada 4 hal pokok dalam upaya pemeliharaan kesehatan jiwa akhlak yang baik. Pertama, bergaul dengan orang yang sejenis, yakni yang sama-sama pecinta keutamaan, ilmu yang hakiki dan ma‟rifat yang shahih, menjauhi pencinta kenikmatan yang buruk. Kedua, bila sudah mencapai tingkat keilmuan tertentu, jangan membanggakan diri ujub dengan ilmunya, melainkan harus belajar terus sebab ilmu tidak terbatas dan di atas setiap yang berilmu ada 14 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak. h. 25 15 Ibnu Miskawaih , h. 28 Yang Maha Berilmu, dan jangan malas mengamalkan ilmu yang ada serta mengajarkannya kepada orang lain. Ketiga, hendaklah senantiasa sadar bahwa kesehatan jiwa itu merupakan nikmat Allah yang sangat berharga yang tak layak ditukarkan dengan yang lain. Keempat, terus-terusan mencari aib diri sendiri dengan intropeksi yang serius, seperti melalui teman pengoreksi atau musuh, bahkan musuh lebih efektif dalam membongkar aib ini. 16 Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak Ibnu Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan atau jalan yang harus ditempuh oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahanjalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi beliau lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing- masing jiwa manusia, yang mana jiwa ini berasal dari pancaran Tuhan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih bagi pribadi masing-masing manusia. Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia ini ada tiga, jiwa al- Nafs al-Natiqah berfikirrasional, disebut jiwa raja, organ tubuh yang digunakan adalah otak. al-Nafs al-Bahimiyyah nafsu, jiwa ini disebut jiwa binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Dan jiwa al-Nafs as- Sabu’iyyahal-Ghadabiyyah berani, disebut jiwa binatang buas, dan organ tubuh yang digunakan adalah jantung. dan. 17 Posisi tengah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan . jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesucian diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina, dan yang terakhir posisi tengah 16 Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak , Terj. Tahdzib al-Akhlak Ibn Miskawaih, Bandung: Mizan, 1994, h. 74-75 17 Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak , Terj. Tahdzib al-Akhlak Ibn Miskawaih, Bandung: Mizan, 1994, h. 44 jiwa as- Sabu’iyyahal-Ghadabiyyah adalah keberanian. Adapun gabungan dari posisi tengahkeutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilankeseimbangan. Dan alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan syari‟at. 18 Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih: a. Kebijaksanaan al-hikmah Kebijaksanaan merupakan sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Dalam semua keadaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan pengetahuan rasional yang memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan. 19 Ibnu Miskawaih juga memberi pengertian bahwa, kebijakan adalah pertengahan antara kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud dengan kedunguan ialah membekukan dan mengesampingkan daya pikir tersebut walau sebetulnya mempunyai kemampuan untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas daya pikir. 20 Secara sederhana dapat kita cermati maksud dari kebijaksanaan disini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya sebagai secara benar untuk memperoleh pengetahuan, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Yang kemudian pengetahuan ini 18 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, Yogyakarta, Belukar, 2004 h. 83. 19 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak Beirut Libanon : Daarul Kutub Al-Ilmiah, 1985 h. 25. 20 Ibid, hal. 46. diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa keputusan tersebut. 21 b. Menjaga Kesucian Diri al-iffah Menjaga kesucian diri merupakan keutamaan jiwa yang akan muncul pada diri manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Sehingga mampu menyesuaikan pilihannya dengan tepat dan tidak dikuasai serta diperbudak oleh nafsunya. 22 Kesucian diri yang terdapat pada setiap orang akan berbeda-beda tergantung bagaimana seseorang bisa mengatur hati dan tingkah lakunya dalam aplikasi kesehariannya. c. Keberanian as-saja’ah Keberanian merupakan keutamaan dari jiwa yang muncul pada diri manusia pada saat nafsu terbimbing oleh jiwa. Artinya tidak takut terhadap hal-hal yang besar. Sifat seperti ini kedudukannya pertengahan antara pengecut dan nekat. Pengecut adalah takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditakuti. Adapun nekat adalah berani terhadap sesuatu dan menafikan sebuah konsekuensi. Gejala terbesar dari keberanian ini berupa tetapnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi seperti ini akan hadir karena faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam menghadapi segala hal. Sehingga jikaditinjau dari sifat dasar jiwa, pada dasarnya jiwalah yang mampu membedakan antara manusia dan binatang. Jiwa dalam hal ini memanfaatkan badan untuk menjalin hubungan dengan alam wujud yang lebih spiritual dan tinggi. 21 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, Yogyakarta, Belukar, 2004 h. 99. 22 Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, hal. 40. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang mampu menempatkan keberanian pada posisinya adalah manusia yang bisa memanfaatkan jiwa menurut esensinya. d. Keadilan al-a’dalah Keadilan adalah bagaimana sikap seseorang bisa menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya masing- masing. Keadilan yang dimaksud Ibnu Miskawaih dalam hal ini berarti kesempurnaan dari keutamaan akhlak yaitu perpaduan antara kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri, sehingga menghasilkan keseimbangan berupa keadilan. Adapun keadilan yang diupayakan manusia dalam hal ini adalah menjaga keselarasan atau keseimbangan agar tidak saling berselisih dan menindas antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh, hal ini bisa tercapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam temperamen yang moderat. Keempat keutamaan akhlak tersebut al-hikmah, al-iffah, as- saja’ah dan al-a’adalah merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan cabang dari keempat pokok keutamaan itu, amat banyak jumlahnya, bahkan tidak terhitung. Dari uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa, keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada dirinya dan orang lain. Sehingga pokok keutamaan akhlak yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya. Dapat kita pahami bahwa akhlak merupakan jalan tengah untuk mengajarkan seseorang untuk mencari jalan keselamatan. Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak manusia. Sehingga untuk membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan fitrahnya manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak yang dimulai dari masa kanak-kanak. Beliau menyebutkan masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak secara perlahan berakhir dan jiwa manusiwi dengan sendirinya akan muncul sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia. Selanjutnya Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan tersebut memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem bersifat tercela. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari Al- Qur‟an, dan tidak pula membawa dalil Hadits. Namun demikian menurut penilaian Abd al-Hamid Mahmud dan al-Ghazali, bahwa spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat Al- Qur‟an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros. Hal ini sejalan dengan ayat yang berbunyi: ْسبْلا َل ا ْطسْبت ا نع ىلا ًةلْ لْغم ي ْلعْجت ا ف ط عْ ت اً ْ س ْحم اًمْ لم “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, karena kalau demikian kamu menjadi tercela dan menyesal.” QS. Al-Isra: 29 اًما ق ل نْيب نا اْ تْ ي ْمل اْ ف ْسي ْمل اْ فن ا ا نْي َلا “Dan orang-orang yang apabila memebelanjakan hartanya mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan menjaga di tengah-tengah antara yang kedua itu.” QS. Al-Furqan: 67 Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, sungguhpun Ibnu Miskawaih tidak menggunakan dalil-dalil ayat Al- Qur‟an dan Hadits untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya, paling kurang antara pada tarik menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berada dalam gerak dinamis, mengikuti gerak zaman. Pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstim kekurangan maupun ekstrim kelebihan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat kalangan mahsiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan dengan ukuran kesederhanaan pada msyarakat dosen. Demikian pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat Negara maju akan berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat berkembang. Hal tersebut akan berbeda lagi dengan tingkat kesederhanaan pada masyakaratak Negara miskin. Disadari bahwa tidak mudah memperoleh istilah untuk ekstrem kelebihan atau kekurangan dalam setiap yang bernilai utama. Sebagai akibatnya bisa saja ada penilaian, bahwa cara yang diajukan para filosof untuk memahami jalan tengah terlalu spekulatif. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan menggunakan doktrin jalan tengah, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun juga. 23

2. Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak

a. Pengertian Pendidikan Akhlak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu proses untuk mengubah sikap dan tingkah laku seseorang maupun sekelompok orang dengan tujuan untuk mendewasakan seseorang melalui usaha pengajaran dan pelatihan. 24 Sedangkan pendidikan menurut Hasan Langgulung adalah suatu proses yang bertujuan untuk menciptakan pola tingkah laku tertentu pada anak-anak atau orang yang sedang dididik. 25 John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir intelektual maupun daya perasaan emosional menuju ke arah tabiat manusia biasa. 26 Abudin Nata berpendapat pendidikan adalah suatu usaha yang di dalamnya ada proses belajar untuk menumbuhkan atau menggali segenap potensi fisik, psikis, bakat, minat, dan sebagainya yang dimiliki 23 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001 cet. II, h. 9-11 24 Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, Departemen Pendidikan Nasional, cet. 3, h. 263 25 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Akhlak Jakarta: PT Pustaka al-Husna Baru, 2003 h. 1 26 M. Arifin, Filafat Pendidikan Islam Jakarta: Bumi Aksara, 1991 h. 1 oleh para manusia. 27 Intinya, dalam pendidikan itu ada proses dan tahapan, dimana membutuhkan waktu dan sistem. Sebenarnya pendapat dalam masalah pendidikan dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu golongan yang menggunakan sudut internal, dan golongan yang menggunakan sudut eksternal. Bagi golongan pertama, menganggap bahwa pengembangan potensi manusia ditentukan oleh faktor hereditas, yaitu faktor pembawaan yang bersifat kodrat dari kelahiran, yang tidak dapat dirubah oleh lingkungan atau pengajaran dari luar. Gagasan ini diperkenalkan oleh Sokrates. Misalnya, ia b erkata, bahwa: ”saya ini bukanlah seorang guru, m elaikan seorang bidan”. Tugas bidan hanya mengeluarkan janin yang sebenarnya sudah ada dan terbentuk, bukan merubah dan menciptakan janin. Selanjutnya gagasan sudut internal ini dikembangkan oleh Arthur Schopenhauer 1788-1860 dengan aliran nativismenya. 28 Sedangkan golongan sudut eksternal adalah kebalikan dari golongan sudut internal dimana mereka menganggap bahwa pengembangan potensi manusia harus dipelajari dan tidak bersifat kodrati, bawaan sejak lahir. Diasumsikan proses pendidikan, bahwa peserta didik adalah gelas kosong, atau kertas putih, atau dapay dibentuk sesuai dengan keinginan orang yang akan membentuknya. Golongan ini diikuti oleh Aristoteles dan mayoritas ahli pendidikan modern. 29 Terkait dua golongan ini, nampaknya Ibnu Miskawaih berada pada posisi tengah antara golongan sudut internal dan eksternal, dimana dalam salah satu penjelasannya ia membagi manusia menjadi tiga golongan, yaitu: Pertama, golongan yang baik menurut tabiatnya. Jika orang baik menurut tabiatnya, maka ia tidak bisa berubah menjadi orang jahat. Kedua, manusia yang 27 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat Jakarta: Rajawali Pers, 2012 h. 19 28 Ibid, h. 30 29 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat Jakarta: Rajawali Pers, 2012 h. 32 jahat menurut tabiatnya. Mereka akan sulit merubahnya, karena merupakaan bawaan. Kedua golongan ini merupakan hal yang jarang terjadi. Terjadi tapi mungkin hanya kepada orang-orang tertentu. Yang ketiga adalah golongan yang dapat menjadi baik dan mejadi jahat, hal itu terjadi karena faktor lingkungan atau faktor pendidikan yang ia terima. Ini adalah mayoritas dari manusia dan fungsi pendidikan akhlak adalah untuk membimbing golongan ini. 30 Point penting dari definisi pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah mengarahkan tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia menurutnya ada 2 yaitu baik dan buruk. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang sesuai dengan esensi manusia diciptakan, karena menurutnya manusia mempunyai kecenderungan untuk menyukai kebaikan dari pada keburukan. Naluri manusia untuk melakukan kebaikan dapat dilihat ketika orang melihat suatu musibah baik musibah besar maupun kecil yang menimpa suatu tempat. Maka terlihat semua orang, baik orang yang terkenal kebaikannya maupun orang yang terkenal keburukannya. Mereka manaruh belas kasihan, ikut berduka, dan bahkan mencoba mengulurkan tangan membantu dengan berbagai upaya. Tetapi diantara semua orang yang ikut merasa iba, ada sebagian yang hanya cukup sebatas iba saja, bahkan acuh terhadap musibah tersebut. dan sebagian lagi dengan kesadaran tergugah hatinya untuk ikut menolong.

b. Dasar Pendidikan Akhlak

Ibnu Miskawaih tidak pernah menyebutkan dasar pendidikan akhlak secara langsung dalam bukunya. Hanya saja dalam pembahasan Tahdzib, masalah jiwa psikologi dan syariat agama merupakan pembahasan utama yang dikaitkan dengan akhlak. Oleh 30 Ibid, h. 19 karenanya dapat disimpulkan bahwa agama dan jiwa psikologi adalah dua faktor yang menjadi dasar pendidikan akhlak bagi Ibnu Miskawaih. 1. Agama Syari‟at agama Islam berpegang pada dua sumber pokok, yakni al- Qur‟an dan hadits. Ketika seseorang berlaku seperti apa yang diajarkan di dalam keduanya, maka itulah manusia yang berakhlak baik. Sementara orang yang berlaku meyimpang atau tidak sesuai dengan keduanya, maka itulah orang yang berakhlak buruk. Salah satu misi utama Islam adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dengan misi itu manusia diharapkan menjadi makhluk yang bermoral, yakni makhluk yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala perbuatan yang dipilihnya dengan sadar, yang baik maupun yang jahat. 31 Oleh karenanya Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa syari‟at agama sangat berperan penting dalam pembentukan akhlak. Dengan ajarannya, agama membiasakan manusia untuk melakukan perbuatan yang baik, sekaligus juga mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan, dan mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Terkait hal tersebut dalam kitab Tahdzib al-Akhlak Ibnu Miskawaih mengatakan: “Kalau orang dididik untuk mengikuti syari‟at agama, untuk mengajarkan kewajiban- kewajiban syari‟at, sampai dia terbiasa, kemudian membaca buku-buku tentang akhlak, sehingga akhlak dan kualitas terpuji masuk dalam dirinya melalui dalil-dalil rasional; setelah itu ia mengkaji aritmatik dan geometri. Ia juga terbiasa dengan perkataan yang benar dan argumentasi yang tepat, dan yang dipercayainya hanya 31 Nurkhalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2008 h. 6 ini; kemudian meningkat setahap demi setahap seperti yang pernah kami gambarkan dalam buku Tartib al- Sa’adah dan Manazil al-Ulum, sampai ia mencapai tingkatan manusia yang paling tinggi. Yaitu orang yang berbahagia dan sempurna. Kalau sudah begitu, perbanyaklah puji syukur ke hadiratNya, Allah yang Mahatinggi, atas anugerah agung itu. 32 2. Psikologi Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadi karakter yang baik, harus melalui perekayasaan shina’ah yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui kecenderungan jiwa terlebih dahulu. Jika jiwa diarahkan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia. Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi.

c. Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu medorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga ia berperilaku terpuji, mencapai kesempurnaan 32 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, h. 42