Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih

(1)

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Robiatul Adawiyah

NIM: 1112011000064

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

i

Akhlak merupakan suatu keadaan di dalam jiwa seseorang, yang menjadi

sumber perbuatannya, yang bersifat alternatif (baik atau buruk) sesuai dengan pengaruh pendidikan yang diberikan kepadanya. Apabila jiwa ini dididik untuk mengutamakan kemuliaan dan kebenaran, maka dengan mudah akan lahir darinya perbuatan-perbuatan yang baik dan tidak sulit baginya untuk melakukan akhlak

baik (akhlakul karimah). Sebaliknya, apabila jiwa itu ditelantarkan, tidak dididik

dengan semestinya sehingga ia mencintai keburukan dan membenci kebaikan, maka akan muncul darinya perkataan-perkataan yang hina dan cacat, yang disebut

dengan akhlak buruk (akhlakul madzmumah). Oleh karena itu, Islam menekankan

akhlak baik dan mengajarkan orang muslim untuk senantiasa membina akhlak serta menanamkannya di dalam jiwa mereka.

Penilitian dalam skripsi ini, mengacu pada konsep yang dipaparkan oleh

Ibnu Miskawaih dalam kitab “Tahdzibul Akhlak”. Dengan mengambil judul

Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih. Adapun tujuan dilakukannya

penelitian ini adalah: Untuk mengetahui konsep pendidikan Akhlak Ibnu

Miskawaih dalam rangka mempertahankan martabat manusia serta dalam rangka menanamkan akhlak baik bagi peserta didik di sekolah. Jenis penelitian skripsi ini yaitu Penelitian Pustaka (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Yaitu penelitian yang menggambarkan sifat-sifat atau karakteristik individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Dengan metode deskriptif kontent analysis yaitu metode dengan menganalisis isi dan mendeskripsikannya dari objek yang diteliti melalui sumber-sumber yang terkait dalam penelitian ini.

Hasil dari penelitian ini adalah: Ibnu Miskawaih memberi “pengertian

pertengahan/jalan tengah” yang harus ditempuh oleh setiap individu demi

mempertahankan martabat dan mencapai kesempurnaan akhlak. Beliau menegaskan bahwa setiap keutamaan memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem bersifat tercela. Seperti tidak boleh berpikir salah dan tidak boleh berlebihan tetapi harus bijaksana. Tidak boleh jadi pengecut, dan tidak boleh pula sembrono, jalan tengahnya adalah berani. Tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros. Jalan tengahnya adalah sederhana. Tidak boleh dzalim dan didzalimi, jalan tengahnya adalah adil. Dan Ibnu Miskawaih memberikan kedudukan yang istimewa kepada guru, guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Ibnu Miskawaih mempunyai maksud agar setiap guru/pendidik, apapun materi bidang ilmu yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya akhlak yang mulia bagi diri sendiri dan murid-muridnya. Tidak hanya mengajarkan atau menyampaikan materi mata pelajaran yang diampunya saja akan tetapi juga harus mensisipi nilai etika dalam pelajaran yang diajarkan.


(7)

ii

(FITK), State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, December 2016.

Virtue is a state of one's soul, which is the source of his actions, alternative character (good or bad) in accordance with the influence of education given to him. If the soul is trained to give priority to the glory and truth, it is easy to be born to her good deeds and not difficult for him to do good morals (akhlakul karimah). Conversely, if the soul is neglected, not educated properly so he loves to hate evil and goodness, it will emerge from it are the words which vile and deformed, the so-called bad morals (akhlakul madzmumah). Therefore, Islam emphasizes good character and teaches Muslims to always build character and incorporate them in their souls.

The studies in this paper, refers to the concept presented by Ibn Miskawayh in the book "Tahdzibul Morals". By taking the title Moral Education Concept Ibn Miskawayh. The purpose of this study is: To know the concept of Ibn Miskawayh Moral education in order to maintain human dignity and in order to instill good character for students in the school. This type of research this thesis is Research Library (library research) using descriptive qualitative approach. Research that describe the properties or characteristics of the individual, the state, symptom, or a particular group. With contains descriptive analysis method is a method to analyze and describe the contents of the object under study through sources involved in this study.

The results of this study are: Ibn Miskawayh give a "sense of middle / middle way" that must be taken by each individual in order to maintain the dignity and achieve moral perfection. He asserted that every virtue has two extreme sides. Its center is commendable and the extreme nature reprehensible. As should not be thought wrong and should not be excessive but need to be wise. There should not be a coward, and should not be too reckless, the middle road is bold. There should not be a miser, but also not to be wasteful. Middle road is simple. Not to be dzalim and didzalimi, the middle road is fair. And Ibn Miskawayh give a special position to the teacher, the teacher is considered more psychological role in educating his students in order to achieve true happiness. Ibn Miskawayh have the intention that every teacher / educator, in any material science fosterage should be directed to the creation of a noble character for himself and his students. Not only teach or deliver material diampunya subjects alone but also must mensisipi ethical value in the lessons taught.


(8)

iii

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh

Alhamdulillahirobbil „alamiin, segala puji dan syukur kita panjatkan atas

kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat serta nikmat-Nya kepada seluruh hamba-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, junjungan dan sang pemberi tauladan yang telah membawa cahaya bagi kehidupan bagi ummatnya beserta kepada keluarganya,

para sahabat dan para tabi‟ tabi‟in.

Skripsi ini bertemakan “KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna, baik dalam isi penyusunan, maupun penulisannya. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta kemampuan penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik untuk menuju perbaikan sangat penulis harapkan. Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan dan kesulitan tentu penulis hadapi, namun berkat rahmat, taufik serta hiadayah Allah. Serta berbagai dorongan, saran dan bimbingan dari semua pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, diantaranya:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Marhamah saleh, Lc, MA Selaku Wakil Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Ghufron Ihsan, MA selaku Dosen penasehat akademik, atas masukan dan motivasinya yang telah diberikan kepada penulis.


(9)

iv

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing dan membekali ilmu pengetahuan selama 4 tahun ini.

6. Seluruh Staf Perpustakaan Umum (PU) dan Perpustakaan Tarbiyah (PT) serta Perpustakaan-perpustakaan lainnya yang didalam maupun luar UIN atas semua bantuan untuk penulis dalam melengkapi referensi.

7. Kedua orang tua tercinta, bapak Ahmad Ghozali Hakim, S.Pd.I dan ibu Siti Ulya yang telah tulus memberikan segalanya kepada penulis, baik moril maupun materil, semoga Allah selalu limpahkan kasih sayang serta rahmat-Nya kepada mereka berdua, agar senantiasa mereka hidup dalam kebahagiaan. 8. Kepada keluarga, adik kaka tercinta, Nahari Mubarok, S.Pd.I, Luthfi Baihaqi, Lia Farhah Rizkiyah, dan Nailah Hana Nabilah, yang selalu menjadi penyemangat dikala gundah.

9. Teman-teman tercinta, Anida Nurhanifah, Mufidatul Ummah, Liesda Aviva Shine, Nurul Azmi, Annisa Nuraeni, Mei Annisa, ciwi-ciwi kosan sholehah juga (Nur Aliyah, Mawaddah Ummah, Futuha Aripin) serta Cagur Sholehah yang sedikit banyak sudah membantu, menyemangati, dan menjadi tempat sharing dikala penulis berada dalam kebingungan maupun kesusahan.

10.Rekan-rekan seperjuangan di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2012 khususnya rekan PAI B yang tidak dapat disebutkan nama nya satu persatu, terimakasih atas 4 tahun berlalu dengan kalian, sungguh luar biasa. Semoga kekeluargaan serta persaudaraan kita semua tetap erat terjalin hingga nanti.

11.Buat Iteung, dan Lepi yang senantiasa setia menemani dimanapun, kapanpun dan kemanapun. Semoga kalian sehat-sehat selalu dan selalu bisa nemenin. 12.Yang terakhir, ucapan terimakasih untuk kamu, iya kamu! Seseorang yang

senantiasa dihati, gak perlu ditulis nama kamu di halaman ini, bairin nama kamu dihati aku aja. Terimakasih karena senantiasa ada.


(10)

v

Allah Ta‟ala membalas kebaikan kalian semua dengan kebaikan yang

lebih baik di dunia ini dan kelak di akhirat nanti. Aamiin ya Rabbal

„Alamiin.

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh.

Jakarta, 5 Desember 2016 Penulis


(11)

vi

Sabar atas sesuatu yang tidak kau ingin, Dan sabar menahan diri dari sesuatu yang kau ingini


(12)

vii

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERNYATAAN JURUSAN

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

ABSTRAK ... i

ABTRACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

MOTTO ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORETIK ... 9

A. Acuan Teori ... 9

1. Pengertian Pendidikan Akhlak ... 9

2. Dasar Pendidikan Akhlak ... 15

3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ... 16


(13)

viii

A. Objek dan Waktu Penelitian ... 27

B. Metode Penelitian ... 27

C. Fokus Penelitian ... 27

D. Prosedur Penelitian ... 28

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 30

A. Deskripsi Data ... 30

1. Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih ... 30

2. Riwayat Pendidikan ... 33

3. Karya-karyanya ... 35

B. Pembahasan ... 36

1. Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Akhlak ... 36

2. Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak ... 46

a. Pengertian Pendidikan Akhlak ... 46

b. Dasar Pendidikan Akhlak ... 49

c. Tujuan Pendidikan Akhlak ... 51

d. Materi Pendidikan Akhlak ... 52

3. Komponen-Komponen Pendidikan Akhlak ... 58

1. Metode Pendidikan Akhlak ... 58

2. Asas-Asas Pendidikan Akhlak ... 64

3. Pendidik dan Peserta Didik ... 65

4. Lingkungan Pendidikan ... 69


(14)

(15)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Al-Ghazali merumuskan bahwa pendidikan adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Dari pengertian pendidikan diatas maka jelas bahwa pendidikan dijadikan sarana untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progresif pada akhlak manusia.

Tanpa pendidikan, maka diyakini manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan bahwa maju mundunya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.

Tetapi realitas di masyarakat membuktikan pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan. Kenyataan ini dapat dicermati dengan banyaknya perilaku tidak terpuji terjadi di masyarakat, sebagai contoh merebaknya penggunaan narkoba, penyalahgunaan wewenang, korupsi, pelecehan seksual dan sebagainya. Semua itu terjadi karena krisisnya pendidikan akhlak yang terjadi di Negara ini.

Akhlak sendiri adalah merupakan suatu keadaan di dalam jiwa

seseorang, yang menjadi sumber perbuatannya, yang bersifat alternatif (baik atau buruk) sesuai dengan pengaruh pendidikan yang diberikan kepadanya. Apabila jiwa ini dididik untuk mengutamakan kemuliaan


(16)

dan kebenaran, dilatih untuk mencintai kebajikan dan menyukai kebaikan maka dengan mudah akan lahir darinya perbuatan-perbuatan yang baik dan tidak sulit baginya untuk melakukan akhlak baik (akhlakul karimah).

Sebaliknya, apabila jiwa itu ditelantarkan, tidak dididik dengan semestinya sehingga ia mencintai keburukan dan membenci kebaikan, maka akan muncul darinya perkataan-perkataan yang hina dan cacat,

yang disebut dengan akhlak buruk (akhlakul madzmumah). Oleh

karena itu, Islam menekankan akhlak baik dan mengajarkan orang muslim untuk senantiasa membina akhlak serta menanamkannya di dalam jiwa mereka.

Akhlak yang baik merupakan sifat Nabi Muhammad SAW dan merupakan amal para siddiqin yang paling utama, ia merupakan separuh dari agama dan merupakan buah dari kesungguhan orang yang bertaqwa dan latihan dari orang yang ahli ibadah.1

Namun problematika saat ini banyak terjadi tindakan-tindakan asusila yang dilakukan oleh manusia. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya teknologi dan berubahnya gaya hidup. Contohnya saja internet sebagai jaringan yang bergerak di dunia maya yang sudah menjalar dan menjamur dikalangan orang dewasa, anak remaja bahkan anak kecilpun saat ini sudah banyak yang menggunkan internet. Banyak terdapat di dalamnya hal-hal yang tidak sesuai dengan etika, banyak beredar gambar-gambar atau tulisan yang berbau pornografi di jejaring sosial. Tak hanya sebatas untaian kata, media tersebut seringkali dihiasi dengan gambar-gambar wanita jalang, tanpa busana, menonjolkan aurat, yang sering membangkitkan gairah bagi siapa saja yang melihat dan membacanya.2 Pergaulan yang tiada batas bahkan

1 Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern,

(Malang: UIN Malang Press, 2008) cet. I, h. 55

2 Abu Maryam bin Zakaria, 40 Kebiasaan Buruk Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003) cet. I, h. 103


(17)

dengan orang yang tidak dikenal sekalipun yang sangat beresiko sekali untuk terjadinya tindak kejahatan.

Tidak hanya soal rusak nya moral anak-anak di bawah umur. Dunia pendidikan pun rasanya sudah memasuki zona minimnya akhlak. Belakangan ini terdapat berita tentang seorang guru yang terancam dihukum penjara karena mencubit anak didik nya yang kebetulan anak dari seorang polisi.3 Padahal sang guru mencubit murid pun pasti karena anak tersebut melakukan kesalahan. Jika zaman dulu seorang murid dihukum oleh guru maka orang tua akan mendukungnya, karena orang tua tau anaknyalah yang bersalah. Namun pada saat ini rasa nya dunia sudah semakin minim akan pendidikan agama dan pendidikan akhlak, anak bersalah dibela bahkan dengan teganya sampai memenjarai guru yang sudah mendidiknya. Kekuasaan diletakkan tidak pada tempat nya.

Saat ini juga banyak terjadi tindakan-tindakan asusila yang dilakukan anak-anak muda misalnya seperti: berbicara kasar terhadap orang yang lebih tua, membantah perintah orang tua serta berbuat durhaka terhadap orang tua. Padahal dalam Al-Qur‟an sendiri telah jelas tertera bahwa dilarang untuk membantah dan membentak orang tua. Seperti firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 23, yaitu:

ُهُدَحَأ َرَ بِكْلا َكَدِْع انَغُلْ بَ ي اامِإ اًناَسْحِإ ِنْيَدِلاَوْلاِبَو ُاايِإ اِّإ اوُدُبْعَ ت اَّأ َكّبَر ىَضَقَو

اََ

اًَيِرَك ًّْوَ ق اََُهَل ْلُقَو اََُهْرَهْ َ ت ََّو ّفُأ اََُهَل ْلُقَ ت َََف اََُه ََِك ْوَأ

Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada

3AhmadFaizal,guru.yang.cubit.murid.dituntut.hukuman.6.bulan.penjara,2016 (http://regional. kompas.com)


(18)

kepada keduanya perkataan „ah‟ dan janganlah kamu membentak

mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.4

Selain itu muda mudi zaman sekarang lebih senang datang ke acara-acara hiburan dibandingkan datang ke acara-acara agama. Para wanita lebih senang bepergian demi mendapatkan pemandangan yang bagus dibandingkan dengan menjaga diri dirumah. Fenomena pantai misal nya, tak lepas dari wanita-wanita yang tidak berbusana, yang bercampur baur dengan kaum lelaki dan anak muda yang sama-sama tidak mengenakan busana, sedang yang lainnya dengan bebasnya mempertontonkan diri mereka dalam jemuran pantai, mereka sangat bangga bila ada desah kagum dan ungkapan-ungkapan ketertarikan terhadap tontonan yang mereka jajakan. Para wanita seakan menganggap, bahwa perintah untuk menundukkan pandangan hanya diperuntukkan untuk kaum laki-laki saja, dan bukan untuk kaum wanita.5 Belum lagi tawuran antar pelajar, tawuran antar supporter olahraga, dan masih banyak lagi hal-hal yang jauh dan di luar dari akhlak terpuji.

Pergaulan adalah salah satu faktor yang mendukung hal tersebut bisa terjadi, dan juga minimnya pengetahuan akan ilmu agama yang selalu mengajarkan hal-hal yang terpuji, serta kurangnya kesadaran diri untuk berbuat yang lebih bermanfaat sebagai faktor keduanya.

Hal-hal semacam inilah yang menjadi problematika penting saat ini yang perlu dicari solusinya. Pendidikan akhlak sejak dini menjadi salah satu solusi awal dari problem tersebut dan tentunya diperlukan kesadaran dari pihak-pihak yang berinteraksi langsung seperti orang tua, guru, dan masyarakat sekitar untuk membantu

4 Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006) h.284

5 Abu Maryam bin Zakaria, 40 Kebiasaan Buruk Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003) cet. I, h. 96


(19)

menciptakan generasi yang berakhlak mulia dan menciptakan kedamaian hidup bersama.

Pendidikan akhlak seharusnya menjadi yang paling ditekankan oleh para pendidik saat ini, bukan hanya oleh guru agama saja melainkan seluruh instrumen guru juga harus mendukung, dan hal tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan di dalam dan di luar sekolah.

Dalam dunia pendidikan saat ini akhlak adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dan harus diterapkan. Akhlak harus dimiliki sekaligus diamalkan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi ini pada satu sisi dan manusia sebagai hamba Allah pada sisi lain. Sebagai khalifah, manusia bukan saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara, dan memakmurkan alam ini, tetapi juga dituntut untuk berlaku adil dalam segala urusannya sebagai hamba Allah, manusia selayaknya berusaha mencapai kedudukan sebagai hamba yang tunduk dan patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah. Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan saat ini manusia dituntut menjalankan akhlak vertikal dengan baik, sekaligus tidak mengabaikan akhlak horizontalnya, baik menyangkut pergaulannya dengan sesama manusia, hewan maupun tumbuhan.

Namun masalah pembinaan dan rusaknya akhlak pada masa sekarang dirasa bukanlah masalah baru lagi, tetapi sudah menjadi pembahasan para filosof tempo dulu, seperti kajian plato tentang Negara dan warga Negara yang baik dalam bukunya Republika. Dalam sejarah pemikiran Islam, ditemukan beberapa tokoh yang menyibukkan diri dalam masalah akhlak, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih dan lain sebagainya.

Dari sekian tokoh tersebut, Ibnu Miskawaih adalah tokoh yang berjasa dalam pengembangan wacana akhlak Islami. Sebagai bukti atas


(20)

kebesarannya, ia telah menulis banyak karya yang mebahas masalah akhlak, diantaranya: Tahdzib al-Akhlak (tentang moralitas), Thaharah al-Hubs (penyucian jiwa), al-fauz al-akbar (kiat memperoleh kebahagiaan dalam hidup), kitab al-Sa’adah (buku tentang kebahagiaan), dan lain sebagainya.6

Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang akhlak dirasa relevan dan dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki etika pada zaman yang serba modern ini, karena pemikiran Ibnu Miskawaih tentang doktrin jalan tengah yang tidak hanya memiliki nuansa dinamis akan tetapi juga fleksibel. Maka dari itu doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pendidikan akhlak itu sendiri.

Maka dari itu, di sini penulis akan membahas tentang pendidikan akhlak menurut tokoh yang sangat terkemuka pada zamannya itu. Selain sebagai pemikir yang produktif, ia juga merupakan ahli bahasa dan sejarawan yang sedikit banyak berpengaruh pada masa itu. Seorang tokoh filosof pertama yang menulis tentang teori etika sekaligus menulis buku tentang etika. Ia

juga mendapat julukan sebagai “Bapak Etika” karena pemikirannya

yang cemerlang tentang akhlak. Ia yakni Ibnu Miskwaih. Berdasarkan inilah penulis tertarik untuk membuat suatu karya ilmiah yang berjudul : “Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih”.

B. Identifkasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan. Baik dalam aspek bathin, maupun rohani.

6 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2000), h.6


(21)

2. Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pendidikan akhlak di dalam sekolah

3. Berubahnya gaya hidup dan berkembangnya teknologi, mengakibatkan pula merosotnya akhlak manusia

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka penulis

membatasi masalah yang akan diteliti yaitu hanya pada “Konsep

Pendidikan Akhlak Ibnu Miskwaih” yang berkaitan dengan doktrin jalan tengah dan konsep pendidikan di sekolah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis kemukakan di atas, maka perlu kiranya diberikan rumusan masalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasannya kelak. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dalam mempertahankan martabat manusia ?

2. Bagaimana konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dalam menanamkan akhlak baik bagi peserta didik di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Dikemukakan tujuan utama penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan konsep pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dalam rangka mempertahankan martabat manusia

2. Serta dalam rangka menanamkan akhlak baik bagi peserta didik di sekolah.


(22)

F. Manfaat Penelitian

Dengan terselesaikannya penulisan ini diharapkan dapat menberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara Teoritis

Setelah menyelesaikan penelitian ini, diharapkan penulis, serta setiap orang yang membacanya. Akan mendapatkan ilmu yang berguna agar menjadi bekal untuk kehidupan di masa depan. 2. Secara Praktis

Pembahasan ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah secara teoritis, serta menambah wawasan pendidikan bagi para pembaca khususnya Mahasiswa, Pendidik maupun instansi pendidikan lainnya. Untuk dapat lebih memahami sejarah pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam, sehubungan dengan pendidikan akhlak, yakni dengan cara saling menjaga martabat kemanusiaan antara satu dengan lainnya.


(23)

9

BAB II KAJIAN TEORI

A. Acuan Teori

1. Pengertian Konsep Pendidikan Akhlak

Kata Konsep berasal dari bahasa latin conceptum, yang artinya sesuatu yang dipahami. Secara garis besar definisi konsep adalah suatu hal umum yang menjelaskan atau menyusun suatu peristiwa, objek, situasi, ide, atau akal pikiran yang sistematis dengan tujuan untuk memudahkan komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir lebih baik. Pengertian lainnya mengenai konsep ialah sekumpulan gagasan atau ide yang sempurna dan bermakna berupa abstrak, entitas mental dan universal dimana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya sehingga konsep membawa suatu arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama dan membentuk suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan.1

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu proses untuk mengubah sikap dan tingkah laku seseorang maupun sekelompok orang dengan tujuan untuk mendewasakan seseorang melalui usaha pengajaran dan pelatihan.2 Pendidikan dilihat dari istilah bahasa Arab mencakup berbagai pengertian, antara lain tarbiyah, tahzib,

ta‟lim, ta‟dib, mawa‟izh dan tadrib. Untuk isitilah tarbiyah, tahzib dan ta‟dib sering dikonotasikan sebagai pendidikan. Ta‟lim diartikan

pengajaran, mawa‟izh diartikan pengajaran atau peringatan dan tadrib

diartikan pelatihan.

1Laode Syamri, Definisi Konsep Menurut Para Ahli, 2015 (http://laodesyamri.net)


(24)

Istilah di atas sering digunakan oleh beberapa ilmuwan sebagaimana Ibn Miskawaih dalam bukunya yang berjudul Tahzibul Akhlak, dan Burhan al-Islam al-Zarnuji memberikan judul salah satu karyanya Ta’lim Muta’alim Tarikh at-Ta’alum. Perbedaan itu tidak menjadikan penghalang dan para ahli sendiri tidak mempersoalkan penggunaan istilah di atas. Karena, pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu

bertemu dalam suatu kesimpulan awal, bahwa “pendidikan akhlak dalam

pembentukan kepribadian muslim berfungsi sebagai pengisi nilai-nilai keislaman.3

Secara istilah, tarbiyah, ta‟dib dan ta‟lim memiliki perbedaan satu

sama lain dari segi penekanan, namun apabila diteliti dari segi unsur kandungannya, terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain

yakni dalam hal memelihara dan mendidik anak. Kata ta‟dib, lebih

menekankan pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Sedang pada tarbiyah, difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna.

Sedangkan kata ta‟lim, titik tekannya pada penyampaian ilmu

pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan pemahaman amanah kepada anak. Dari pemaparan ketiga istilah tersebut,

maka terlihat bahwa proses ta‟lim mempunyai cakupan yang lebih luas dan sifatnya lebih umum disbanding dengan proses tarbiyah dan ta‟dib.

Definisi pendidikan dikemukakan para ahli dalam rumusan yang beraneka ragam, antara lain sebagai berikut:

1. Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.


(25)

2. Ahmad D Rimba mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.4

3. Pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk menyebar luaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan. Sehingga dapat dikatakan, kemakmuran dan kejayaan masyarakat atau bangsa sangat bergantung pada sejauh mana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.5

Sedangkan definisi pendidikan menurut para ilmuwan Barat sebagai berikut: Pendidikan menurut Plato ialah mengasuh jasmani dan rohani, agar sampai kepada keindahan dan kesempurnaan yang mungkin dicapai. Menurut Jules Simon pendidikan ialah jalan untuk merobah akal menjadi akal yang lain dan merobah hati menjadi hati yang lain. Menurut James Mill pendidikan ialah menyiapkan seseorang, supaya dapat membahagiakan dirinya khususnya dan orang lain umumnya. Sedangkan menurut Rousseau, Pendidikan ialah memberikan kepada kita perbekalan yang tak ada pada masa kanak-kanak, tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.6

Apabila isitlah pendidikan ini dikaitkan dengan Islam maka para ulama Islam memiliki pandangan yang lebih lengkap sebagaimana pandangan M. Yusuf Qardhawi memberikan pengertian bahwa:

“Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal

dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi

4 Heri Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999) h. 2-3

5 Abidin Ibn Rusn, Pendidikan Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998) h. 55

6 Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) cet. III , h. 6


(26)

masyarakat dengan segala kebaikan, dan kejahatannya, manis dan pahitnya.7

Pendek kata pendidikan telah didefinisikan oleh banyak kalangan sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari, namun pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam suatu kesimpulan awal,

bahwa “pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi secara

lebih efektif dan efisien.

Kata akhlak berasal dari bahasa arab, masdar dari kata khulq, atas timbangan (wazan) tsulasti mazid, af’ala – yuf’ilu – if’alan yang berarti al-sajiyah, al-tabi’ah (kelakuan, watak dasar), al’adat (kebiasaan), al-maru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama). Kata akhlak merupakan isim jamid (isim ghair mustaq), tidak memiliki akar kata, jamak dari kata khaliqun atau khuluqun, artinya sama dengan akhlak.

Kedua kata ini terdapat dalam Alqur‟an dan sunnah. Dalam bahasa

Indonesia berarti budi pekerti dan sopan santun.8

Ada beberapa definisi yang dikemukakan ahli tentang akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M).

سْفَ لل اح

د

ةي َ ْ ف ْيغ ْ م ا لاعْفا ىلا ا ل ةيعا

9

akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. Senada dengan definisi akhlak menurut Ibnu Miskawaih,

Akhmad Sodiq mengatakan bahwa akhlak merupakan “kondisi jiwa yang

mendorong terwujudnya perilaku tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan.10

7 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002) Cet. IV, h. 5

8 Damanhuri, Akhlak Perspektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili, (Jakarta: Lectura Press, 2013) cet. I, h. 28

9 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) h. 3

10 Akhmad Sodiq, Problematika Pengembangan Pembelajaran PAI”, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 3, 2009, h. 38


(27)

Sedangan menurut Al-Ghazali (1059-1111 M), dalam kitab Ihya Ulum al-din, akhlak sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat memunculkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran. Akhlak disini adalah sifat yang sudah tertanam dalam diri dan menjadi adat kebiasaan seseorang, sehingga secara otomatis terekspresi dalam amal perbuatan dan tindakannya. Dalam pengertian hakikinya akhlak itu bukan perbuatan yang lahir atas pertimbangan karena mengingat sesuatu faktor yang timbul dari luar diri, tetapi sebagai refleksi jiwa.11

Sejalan dengan pendapat diatas, Ibrahim Anas mengatakan, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang melahirkan bermacam-macam perbuatan baik atau buruk, tanpa membutuhkan pertimbangan.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa akhlak merupakan kehendak dan kebiasaan manusia yang menimbulkan kekuatan-kekuatan besar untuk melakukan sesuatu. Kehendak merupakan keinginan yang ada pada diri manusia setelah dibimbing. Sedangkan pembiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Perbuatan dilakukan atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari luar. Jadi, orang yang baik akhlaknya adalah orang yang tetap kecenderungannya kepada yang baik, dan orang yang buruk akhlaknya adalah orang yang tetap kecenderungannya kepada yang buruk.

Dengan demikian, akhlak adalah perbuatan yang disadari oleh si pelaku. Jika seseorang melakukan sesuatu tanpa sadar, dipaksa, atau lupa, maka dia terlepas dari dosa dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Namun demikian, dia tetap diperintahkan untuk meminta ampun kepada

Allah SWT atas apa yang dilakukannya sebagaimana anjuran Alqur‟an.

Akhlak dimaksudkan adalah perbuatan yang memiliki ciri-ciri : (1)

11 Damanhuri, Akhlak Perspektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili, (Jakarta: Lectura Press, 2013) cet. I, h. 29


(28)

Sebagai ekspresi sifat dasar seseorang yang konstan dan tetap. (2) sebagai perbuatan yang selalu dibiasakan sehingga ekspresi akhlak dilakukan berulang-ulang, karena dalam pelaksanaannya tanpa disertai pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. (3) apa yang diekspresikan dari akhlak merupakan keyakinan seseorang dalam menempuh suatu keinginan, sehingga dalam perwujudannya tanpa ada keraguan di dalamnya

Mencermati pengertian yang ada, bahwa hakikat akhlak memiliki lima ciri, yaitu: (1) perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa yang menjadi bagian kepribadian. (2) perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. (3) perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan. (4) perbuatan dilakukan secara sungguh-sungguh, bukan bersandiwara. (5) perbuatan yang dilakukan secara ikhlas semata-mata karena Allah.

Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan Pendidikan Akhlak adalah bimbingan, asuhan dan pertolongan dari orang dewasa, lembaga pendidikan, dan orang tua untuk membawa anak didik ke tingkat kedewasaan yang mampu membiasakan diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan menghindari sifat-sifat yang tercela. Dan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Di samping terbiasa melakukan akhlak mulia.12

12 Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,


(29)

Dari definisi pendidikan dan akhlak di atas. Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Akhlak adalah suatu upaya atau proses untuk membentuk suatu keadaan jiwa yang terarah pada keadaan yang baik, yakni sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Sehingga yang diharapkan adalah baiknya akhlak para generasi muslim untuk membangun kehidupan bangsa kedepan. Dengan akhlak yang baik, maka akan tercipta interkasi sosial yang baik.

Atau dengan kata lain Pendidikan akhlak adalah usaha sadar dan tidak sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada seorang anak didik, sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah. Pembentukan tabiat ini dilakukan oleh pendidikan secara terus menerus dengan tidak ada paksaan dari pihak manapun.

2. Dasar Pendidikan Akhlak

Dasar secara bahasa berarti “fundamen, pokok atau pangkal suatu

pendapat (ajaran, aturan), atau asas.13 Lebih lanjut dikatakan bahwa dasar adalah landasan berdirinya sesuatu yang berfungsi memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai.14 Adapun yang menjadi dasar akhlak dalam Islam adalah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Dalam tuntunan Islam telah ditetapkan bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber moral atau dasar dalam Islam yang menjelaskan criteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Kedua dasar inilah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan untuk mengatur pola hidup dan menetapkan perbuatan yang baik dan buruk. Akar dari akhlak Islam adalah taqwa. Orang yang taqwa mengetahui sunggguh-sungguh bahwa Islam itu sumber dari pada akhlak dan taqwa adalah pusatnya.

Al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan

kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Qur‟an sebagai dasar akhlak

13 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 318 14 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994) cet. I, h. 12


(30)

menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. 33/Al-Ahzab : 21 :

َها َرَكَذَو َرِخ اْا َمْوَ يْلاَو َها اْوُجْرَ ي َناَك ْنَمِل ٌةَنَسَح ٌةَوْسُا ِها ِلْوُسَر ِى ْمُكَل َناَك ْدَقَل

.اًرْ يِثَك

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab : 21)15

Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali akhlak yang mulia dan budi luhur.

3. Ruang lingkup Pendidikan Akhlak

Ruang lingkup akhlak adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa). Berbagai bentuk dan ruang akhlak Islami yang demikian itu dapat dipaparkan sebagai berikut.

a. Akhlak terhadap Allah

Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai kholik.

Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah. Pertama, karena Allahlah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari tanah yang kemudian diproses

15 Departemen Agama Republiik Indonerasia, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007) h. 420


(31)

menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim), setelah ia menjadi segumpal darah, segumpal daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya diberi roh. Dengan demikian, sebagai yang diciptakan sudah sepantasnya berterima kasih kepada yang telah menciptakan.

Kedua, karena Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan pancaindera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.

Ketiga, karena Allah-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak, dan sebagainya.

Keempat, Allah-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan.

Namun demikian, sungguhpun Allah telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia sebagaimana disebutkan di atas, bukanlah menjadi alas an Allah perlu dihormati. Bagi Allah dihormati atau tidak, tidak akan mengurangi kemuliaan-Nya. Akan tetapi, sebagaimana manusia sudah sewajarnya menunjukkan sikap akhlak yang pas kepada Allah.

Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah. Di antaranya dengan tidak menyekutukan-Nya, taqwa kepada-Nya, mencintai-Nya, ridha dan ikhlas kepada semua keputusan-Nya dan bertaubat, mensyukuri nikmat-Nya, selalu berdoa kepada-Nya, beribadah, meniru sifat-Nya, dan selalu berusaha mencari keridhaan-Nya.

Sementara itu, Quraish Shihab mengatakan bahwa titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkaunya.16

16 Abudin Nata, Akhlak Tsawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014) cet. XIV, h. 128


(32)

Akhlak terhadap Allah ini bertujuan untuk membina hubungan yang lebih dekat kepada Allah SWT, sehingga Allah dirasakan selalu hadir dan mengawasi segala bentuk dan tingkah laku perbuatan manusia.17

b. Akhlak terhadap diri sendiri

Akhlak terhadap diri sendiri, antara lain adalah dengan cara memenuhi segala kebutuhan dirinya sendiri,menjaga kesucian diri dari segala kemaksiatan, menutup aurat, jujur dalam perkataan, berbuat ikhlas serta rendah hati, malu melakukan perbuatan jahat, menjauhi dengki dan dendam, menjauhi segala perkataan dan perbuatan yang sia-sia, menghormati, menyayangi dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain. Meyadari bahwa diri kita adalah ciptaan Allah, maka sebagai hambanya kita harus mengabdi kepada Allah. Dengan mengetahui siapa diri kita, maka kita akan mengetahui Tuhan kita. Di antara cara untuk berakhlak kepada diri sendiri yaitu:

1). Memelihara kesucian diri baik jasmanai maupun rohani 2). Memelihara kepribadian diri

3). Berlaku tenang (tidak terburu-buru) ketenangan dalam sikap termasuk dalam rangkaian akhlaku karimah

4). Menambah pengetahuan yang merupakan kewajiban sebagai manusia. Menuntut ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk memperbaiki kehidupam di dunia ini dan untuk bermoral sebagai persiapan kea lam baqa’

5). Membina disiplin pribadi. Dalam hal ini akhlak terhadap diri sendiri adalah memelihara jasmani dengan memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan, memelihara rohani dengan memenuhi keperluan berupa pengetahuan, kebebasan dan sebagainya sesuai dengan tuntunan fitrahnya hingga menjadi manusia yang sesungguhnya.18

17 Sururin, Asep Usmar Ismail,Wiwi Sajarah, Tasawuf, (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005) h. 26


(33)

c. Akhlak terhadap manusia

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur‟an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia, meliputi:

1). Akhlak terhadap Rasulullah, antara lain dengan mencintai Rasulullah secara tulus dan mengikuti sunnahnya, menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan dalam hidup dan kehidupan, menjalankan perintahnya dan menjauhkan larangannya. Termasuk diantaranya adalah berbuat baik terhadap perempuan, sebagaimana sabda Nabi : “sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” 2). Akhlak terhadap orang tua, antara lain: mencintai mereka melebihi

cinta kepada kerabat lainnya, merendahkan diri kepada keduanya diiringi dengan perasaan kasih saying, mempergunakan kata-kata yang lemah lembut ketika berbicara dengan keduanya, tidak menyinggung perasaan dan menyakiti hatinya, membuat ibu bapak ridho terhadap kita, mendoakan keselamatan dan ampunan bagi mereka kendatipun seorang atau keduanya telah meninggal dunia. 3). Akhlak terhadap tetangga, antara lain: saling menghormati,

mengunjungi, saling membantu disaat senang maupun sedih, saling memberi, saling menjaga dan saling menghindari pertengkaran dan permusuhan.

4). Akhlak terhadap masyarakat, antara lain: memuliakan tamu, menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa, menganjurkan masyarakat dan diri sendiri untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat (mungkar), serta memberi makan fakir miskin, dan berusaha melapangkan kehidupannya.19


(34)

d. Akhlak terhadap lingkungan

Yang dimaksud ligkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda tak bernyawa.

Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak member kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.

Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT, dan menjadi milik-Nya, serta semuanya memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan seorang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah

“umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan juga baik. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak

Para ahli akhlak mengatakan bahwa pembentukan mental, bukan saja dimulai sejak kecil melainkan sejak terbentuknya sebagai manusia, di dalam kandungan ibunya. Maka, unsur-unsur terpenting yang akan menentukan akhlaknya adalah nilai-nilai yang diambil dari lingkungan keluarga.

Para ahli etika menyebutkan, bahwa ada dua sumber akhlak yang dapat mempengaruhi pembentukan mental seseorang:

a. Faktor Internal yakni dari dalam diri sendiri, kesadaran yang dimiliki oleh seseorang tersebut turut membentuk mentalnya. Meliputi unsur-unsur yakni:

1). Insting dan akalnya 2). Adat


(35)

3). Kepercayaan

4). Keinginan-keinginan 5). Hawa Nafsu

6). Hati Nurani

Kemudian yang mempengaruhi perkembangan dari tabi‟at yang dibawa

dari dalam dirinya adalah dengan adanya faktor yang kedua. b. Faktor eksternal yakni faktor yang berasal dari luar diri, meliputi:

1). Keturunan 2). Lingkungan 3). Rumah Tangga 4). Sekolah

5). Pergaulan kawan 6). Penguasa

Jika semua aspek luar itu mendukung dalam pembentukan akhlak yang baik, maka pastilah akan terbentuk akhlak itu. Namun, jika tidak maka tabiat yang mestinya menjadi baik bisa saja berubah menjadi jahat, terlebih lagi adalah didikan dari keluarga, yang meliputi orang tua.20

Semua faktor tersebut turut mempengaruhi perkembangan akhlak seorang anak. Tergantung mana yang memberi corak lebih kuat, umpamanya antara faktor keturunan yang mewarnai mentalnya sebagai pembawaan sejak lahir, dengan faktor pendidikan dan pergaulan yang apabila terjadi perbedaan pada coraknya, maka akan menghasilkam perbedaan pula, meskipun sedikit. Maka, untuk membentuk akhlak seseorang, hendaknya kedua faktor tersebut dan macam-macamnya mampu berjalan searah. Sehingga yang dihasilkan adalah pribadi yang mantap dan akhlaknya tidak akan mudah terpengaruh oleh hal-hal buruk lainnya.


(36)

5. Tujuan Pendidikan Akhlak

Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang berproses dan terencana sudah tentu mempunyai tujuan. Tujuan tersebut berfungsi sebagai titik pusat perhatian dalam melaksanakan kegiatan serta sebagai pedoman guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan.

Tujuan pokok dari pendidikan akhlak adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.

Pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak adalah agar setiap muslim berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai, atau beradat istiadat yang baik sesuai dengan ajaran Islam. Islam memiliki tujuan pendidikan akhlak seperti: Shalat, bertujuan untuk mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan tercela, zakat untuk menyucikan harta dan membantu sesama, puasa untuk mendidik diri untuk menahan diri dari berbagai syahwat, haji untuk memunculkan tenggang rasa dan kebersamaan dengan sesama.21

Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendoronng secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik. Sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati sempurna dan menyeluruh, mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.22

Adapun menurut Muhammad „Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan tujuan

dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan

21 Rosihin Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2010) h. 25

22 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) cet. II, h. 11


(37)

beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.23

Pendidikan Islam itu berlangsung seumur hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir. Pendidikan itu berlaku seumur hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai. Tujuan pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam firman Allah :

ْ لْس م ْمتْ ا ََا َ ت ت َ هتاقت َقح ل ا قَتا اْ ماء ْي َلا ا يااي

: ا ع ا)

٢٠١

(

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar

takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.24 (QS. Ali Imran (3) : 102)

Terlepas dari pandangan di atas, maka tujuan sebenarnya dari pendidikan akhlak adalah agar manusia menjadi baik dan terbiasa kepada yang baik tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dan latihan yang dapat melahirkan tingkah laku sebagai suatu tabiat ialah agar perbuatan yang timbul dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kenikmatan bagi yang melakukannya.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Fajar Datik Wahyuni, dengan judul

“Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih dan Kontribusinya

dalam Pendidikan Islam”. Hasil penelitian yang diperoleh 1). Ibnu Miskawaih

menguraikan pendapatnya tentang akhlak, menurutnya akhlak pada diri seseorang itu dapat diubah melalui pendidikan dan pembiasaan. Akhlak pada diri seseorang itu tergantung pada lingkungan ia tinggal. Menurutnya pangkal

23 Ibnu Khamdun. Pendidikan Akhlak. 2011 (http://makalah ibnu.blogspot. co.id/2011/02/ pendidikan-akhlak.html). . di akses pada 8 januari 2016. 20.33


(38)

akaran Islam itu berpangkal pada teori jalan tengah. Yang dimaksud teori jalan tengah di sini adalah kebajikan. Kebajikan ini merupakan keseimbangan antara dua sisi yang merupakan keburukan. 2). Ibnu Miskawaih juga menguraikan bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan pendidikan akhlak kepada anak melalui materi dan metode yang tepat. Rumusan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih ini sudah relevan ketika diterapkan pada pendidikan Islam yang berguna untuk upaya pencapaian tujuan Pendidikan Islam. Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih tersebut dapat digunakan untuk menghindarkan anak dari perbuatan yang tercela dan tabiat yang buruk.

Penelitian yang dilakukan Eko Hadi Santoso dengan judul “Konsep Jati

Diri Manusia Menurut Ibnu Miskawaih dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam. Dengan hasil penelitian bahwa manusia menurut Ibnu Miskawaih harus mengoptimalkan pada jiwanya. Jiwa adalah initi dari kenyataan sejati manusia. Jiwa manusia memliki peran penting dalam membimbing kegiatan sehari-hari manusia. Konsep jati diri manusia Ibnu Miskawaih dijelaskan dalam suatu kesatuan yang utuh dan seimbang dari seorang manusia yang meliputi tiga aspek penting: kepribadian, identitas diri, dan keunikan manusia. Sumbangsih konsep jati diri manusia Ibnu Miskawaih dalam pendidikan agama Islam, bahwa cita-cita yang meliputi pendidikan akhlak mulia dan menjaga output pendidikan dari kenakalan remaja yang semakin merajalela, budaya tawuran antar sekolah, seks bebas, dan lain sebagainya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur dapat terlaksana jika didasari pendidikan jiwa yang ditawarkan Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib al-Akhlaq.

Penelitian yang dilakukan oleh Moh Sullah dengan judul “Studi

Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ibnu Miskawaih. Dengan hasil penelitian bahwa banyak persamaan antara dua tokoh tersebut dbandingkan dengan perbedaannya. Persamaan tersebut terletak pada landasan dasar akhlak yaitu berlandaskan pada ontology (tauhid),


(39)

epistimologi (ilmu) dan aksiologi (akhlak/moral) yang mengacu pada

Al-Qur‟an dan Hadits, materi pendidikan, serta tujuan pendidikan akhlak itu

sendiri. Sedangkan bentuk perbedaannya terletak pada hakikat dari pendidikan akhlak itu sendiri. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas bahwa akhlak mengalami perubahan dikarenakan faktor lingkungan yang dikenal dengan teori empirisme. Sedangkan Ibnu Miskawaih bahwa akhlak itu diperoleh dari pembawaan dan lingkungan di sekitarnya yang dikenal dengan teori konvergensi.

Penelitian yang dilakukan oleh Andika Ukik Krisnando dengan judul

“Pendidikan Akhlak (Komparasi Pemikiran Ibnu Miskawaih dan Al-Ghazali)”

dengan hasil penelitian : Pemikiran Pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih yaitu hakkat manusia terletak pada fakultas fikir ( melalui otak), dan konsep akhlaknya yaitu doktrin jalan tengah sebagai dasar keutamaan akhlak, dimana yang menjadi ukuran akal dan syariat. Tujuan pendidikan akhlaknya bersifat sosial. Materi pendidikan akhlaknya meliputi; ilmu syariat, dan ilmu akhlak. Metode pendidikan akhlaknya yaitu alami, pembiasaan, riyadah, dan mujahadah. Kewajiban mendidik anak pertama kali adalah orang tuanya. Sedangkan pemikiran pendidikan akhlak oleh Al-Ghazali adalah hakikat manusia terletak pada kekuatan pengetahuan (melalui hati), dan konsep akhlaknya yaitu doktrin jalan tengah sebagai dasar keutamaan akhlak, dimana yang menjadi ukuran akal dan syariat. Tujuan pendidikan akhlaknya bersifat individu. Materi pendidikan akhlaknya semua akhlak terpuji menurut syariat. Metode pendidikan akhlaknya yaitu melalui anugerah ilahi dan kesempurnaan fitri, pembiasaan, riyadah dan mujahadah. Menurutnya, orang tua adalah pendidik pertama kali bagi seorang anak. Kemudian, lingkungan dan unsur makanan maupun minuman akan mempengaruhi pembentukan akhlak seseorang. Secara keseluruhan pemikiran pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dengan Al-Ghazali memiliki banyak kesamaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Akhmad Basuni dengan skripsi yang

berjudul “Peran Orang Tua dalam Pendidikan Akhlak Anak (study Pemikiran


(40)

Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak anak yang mengatakan bahwa waktak itu bisa berubah, dan perubahan itu bisa melalui pendidikan dan pengajaran. Juga memaparkan tentang kebaikan dan kebahagiaan, karena Ibnu Miskawaih di dalam meninjau akhlak berdasarkan nilai-nilai kebajikan (khairu) untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka orang harus mencapai al-khairu terlebih dahulu, kebaikan atau kebajikan merupakan kunci kesempurnaan manusia. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa orang tua sangat berperan dalam pendidikan akhlak anak. Menurutnya pendidikan akhlak merupakan konsepsi baku pembentukan pribadi anak, kedua orang tua yang mula-mula tampil untuk melakukan tugas tersebut. Pencapaian kepribadian akhlak yang luhur dan berbudi pekerti, orang tua selaku pendidik mempunyai peran: member contoh atau teladan yang baik, member nasehat, dan memberikan perhatian.


(41)

27

Objek dalam penelitian ini adalah pendidikan akhlak yang dikonsepkan oleh Ibnu Miskawaih dalam kitab nya Tahdzibul Akhlak. Adapun waktu penelitian, dimulai bulan Januari sampai Agustus 2016.

B.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analysis yaitu metode dengan menganalisis isi dari objek yang diteliti melalui sumber-sumber yang terkait dalam penelitian ini.

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer

Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu berupa karya dari Ibnu Miskawaih yang berjudul kitab Tahdzibul Akhlak.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder berupa data-data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang mengulas tentang karya Ibnu Miskawaih yang mengulas tentang pendidikan akhlak.

Adapun jenis penelitian ini adalah Penelitian Pustaka (library research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Yaitu penelitian yang menggambarkan sifat-sifat atau karakteristik individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Jadi penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau suatu keadaan.

C.Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih yang terdapat dalam kitab Tahdzibul Akhlak. Menurutnya Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.


(42)

beberapa prosedur diantaranya yaitu: 1. Prosedur Pengumpula Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri literatur, baik primer maupun sekunder yang membahas tentang pendidikan akhlak. Data-data dikumpulkan kemudian membuat ringkasan untuk menentukan batasan yang lebih khusus tentang objek kajian dari buku-buku, terutama yang berhubungan dengan tema pokok yang dibahas.

2. Pengolahan Data

Untuk mendapat data penelitian yang valid. Maka data dari literatur-literatur baik primer maupun sekunder dikekolah secara sistematis dalam bentuk dokumentasi yang setidaknya dapat memberikan informasi penting tentang pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih. Setelah data-data itu diperoleh, peneliti mengolah data-data tersebut dengan cara dibaca dan dianalisis kemudian disimpulkan.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu hipotesa. Analisis data merupakan cara bagi peneliti untuk menyimpulkan data-data yang diperoleh setelah penelitian terhadap beberapa sumber.

Karena penulis menggunakan penelitian kepustakaan, maka teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif.

Analisa data dipergunakan untuk menarik kesimpulan yang salah satunya adalah dari sebuah kitab Tahdzibul Akhlak yang sudah di terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Adapun langkah-langkahnya adalah dengan menyeleksi teks yang akan diteliti, menyusun item yang spesifik, melakukan penelitian dan yang terakhir dengan menarik kesimpulan.

4. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah dari sudut pandang (perspektif) pendidikan akhlak oleh Ibnu Miskawaih. Maksud dari pendekatan pendidikan akhlak adalah bahwa konsep-konsep dan strategi-strategi pendidikan akhlak yang bersumber dari ajaran Islam dan pendapat para


(43)

5. Bentuk Pelaporan Data

Bentuk laporan penelitian yang disampaikan ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yakni mendeskripsikan semua data-data yang sudah diperoleh dan dianalisis, sehingga menjadi satu bentuk kesatuan yang utuh dan menyeluruh serta sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya.

Analisis data pada penelitian kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan berbagi data, mengorganisasikan data, memilah-milah data menjadi satu kesatuan data yang diperoleh, mensintesiskannya, mencari dan menentukan pola, menentukan apa yang diceritakan kepada orang lain.1 Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber yang diperoleh. Kemudian data yang telah terkumpul, dianalisis, ditafsirkan dan disimpulkan kedalam bahasa yang mudah difahami dan logis sesuai dengan penelitian yang dibahas.

1 Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) Cet. XVIII, h. 13-14.


(44)

30

A. Deksripsi Data

1. Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih

Abu Ali al-Khazim Ahmad ibnu Muhammad ibn Ya‟kub ibnu Miskawaih, atau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Miskawaih. Ibnu Miskawaih adalah filosof muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Walaupun sebenarnya ia juga seorang sejarawan, tabib, ilmuwan, dan sastrawan. Setelah menjelajah berbagai ilmu pengetahuan, akhirnya ia memusatkan perhatiannya pada kajian sejarah dan etika. Adapun gurunya dalam bidang sejarah adalah Abu Bakar Ahmad ibnu Kamil al-Qadhi, dalam bidang filsafat adalah Ibnu al-Khammar.

Nama Miskawaih diambil dari kakeknya. Kakeknya semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali

yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi‟ah

dipandang sebagai seorang yang berhak menggantikan Nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam setelahnya. Dengan adanya gelar ini, maka kebanyakan orang mengatakan bahwa ia adalah

penganut Syi‟ah. Sedangkan gelar al-Khazim yang berarti

bendaharawan diberikan kepadanya karena ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan di masa kepemimpinan Adid al-Daulah dari bani Buwaih.1

Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn

Ya‟qub Ibnu Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy

(Iran) dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar pada tahun 412 H/16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa


(45)

pemerintahan Dinasti Buwaihi di Baghdad (320-450 H/ 932-1062 M)

yang sebagian besar pemukanya bermadzhab Syi‟ah.2

Sejarah hidup tokoh ini tidak banyak diketahui orang. Para penulis dalam berbagai literatur tidak mengungkapkan biografinya secara rinci. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan bahwa Ibnu Miskawaih belajar sejarah terutama Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar ibnu Kamil Qadhi dan belajar filsafat pada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles.

Perihal kemajusiaannya, sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang, Jurzi Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam. Sedangkan Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma’rifah al-Islamiyyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam. Artinya Ibnu Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya, Muhammad.

Ia diduga beraliran syiah karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk mengabdi pada pemerintahan Dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi kepada Al-Muhallabi, wazir nya pangeran Buwailhi yang

bernama Mu‟iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya Al-Muhallabi

pada 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn

Al-Amid, wazirnya saudara Mu‟iz Al-Daulah yang bernama Rukn

Al-Daulah yang berkedudukan di Rayy.3

Puncak prestasi kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa „Adhud

Al-Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H. Perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat besar. Sehingga pada masa ini Ibnu Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan Adhud Al-Daulah. Dan pada masa ini

2 Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009) hlm 127

3 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013) hlm 56


(46)

jugalah Miskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak dibarengi dengan ketinggian akhlak. Bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara umum. Baik dikalangan elit, menengah dan bawah. Tampaknya hal inilah yang meotivasi Miskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.

Ia hijrah ke Baghdad dan belajar sastra Arab dan Persi kepada menteri al-Mahlabi pada tahun 348 M. dan menetap di sana bersama ahli sastra lainnya sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 352 H.

Setelah itu dia kembali ke Rayy dan mengaji kepada ibn al-'Amid, seorang intelektual profesional di bidang arsitek bangunan, ahli filsafat, logika dan ahli bahasa dan sastra Arab, serta penyair dan penulis terkenal. Kurang lebih tujuh tahun ia belajar sampai ibn al-'Amid meninggal dunia pada tahun 359 H.

Di beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa Ibnu Miskawaihjuga mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadli, belajar filsafat ke ibn al-Akhman, dan mempelajari kimia dari Abu Tahyyib al-Razy. Ia juga pernah bekerja sebagai bendahara, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi.Ayahnya seorang pegawai pemerintahan, dengan demikian ia memiliki kesempatan untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan parabirokrat.4

Ibnu Miskawaih sangat tertarik kepada masalah sejarah, filsafat dan etika. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles. Pemikiran filsafatnya dapat dijumpai dalam bukunya Fauz al-Asghar. Dalam buku tersebut, ia membahas ide-ide filosofisnya ke dalam tiga bagian, yaitu : pembuktian tentang eksistensi Tuhan,

4 Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan (Bandung: Angkasa, 2003), hlm. 42.


(47)

tentang jiwa, dan tentang kenabian. Ia mencoba melakukan rekonsiliasiantara pemikiran Yunani dengan ajaran Islam.

2. Riwayat Pendidikan

Riwayat pendidikan Miskawaih tidak diketahui dengan jelas. Miskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberi informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya, namun demikian, dapat diduga bahwa Miskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad

Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman „Abbasiyah

bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur‟an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa

Arab (nahwu) dan „arudh (ilmu membaca dan membuat syair).

Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diberikan di surau-suaru; di kalangan keluarga yang berada dimana guru didatangkan ke rumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudia anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqh, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).

Diduga miskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Miskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Miskawaih terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku, terutama di saat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan

Ibnu Al „Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh


(48)

Pengetahuan Miskawaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca buku itu ialah tentang sejarah, filsafat dan sastra. Hingga saat ini nama Miskawaih dikenal terutama sekali dalam keahliannya sebagai sejahrawan dan filosuf. Sebagai filosuf, Miskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Miskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.5

Pada tahun 384 H, Ibnu Miskawaih hijrah ke Baghdad dan mengabdi kepada al-Mahalbi al-Hasan bin Muhammad al-Azdi untuk menjadi seorang sekretaris pribadinya. Setelah al-Mahalbi meninggal dunia, Ibnu Miskawaih kembali ke kota Ray (sekarang Teheran) kemudian mengabdi kepada Ibnu al-„Amid, sebagai kepala perpustakaan sekaligus sekretaris pribadinya sampai menteri Ibnu

al-„Amid pada tahun 360 H.

Ibnu Miskawaih belajar sejarah, terutama Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadli (350H/960 M), dan memperdalami filsafat pada Ibn al-Khammar, merupakan tokoh yang dianggap mampu menguasai karya-karya aristoteles. Sedangkan ilmu kimia, Ibnu Miskawaih belajar kepada Abu al-Thayyib al-Razi.6

3. Karya-karyanya

Kendatipun disiplin ilmunya meliputi bahasa, sejarah dan filsafat, namun ia lebih populer sebagai filosof akhlak (al-Falsafah al 'Amaliyah), ketimbang sebagai filosof ketuhanan (Falsafah al-Nadzariyyah al-'Amaliyah).7 Agaknya hal itu dimotivasi oleh situasi masyarakat yang kacau pada saat itu. Hal itu terbukti banyaknya karya-karya yang berbicara masalah pendidikan, pengajaran, etika

5 Ahmad Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka, 2007) h. 168 6 Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004) h. 88

7 Imam Tholhah, Membuka Jendela Pendidikan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) hlm 240-241


(49)

yang utama dan metode-metode yang baik bagi semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanyaadalah:

a. Al-Fauz Al-Akbar

b. Al-Fauz Al-Ashgar

c. Tajarib Al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya tahun 369 H/979 M)

d. Uns Al-Farid (koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)

e. Tartib Al-Sa’adah

f. Al-Mustaufa (syair-syair pilihan)

g. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak) h. Al-Jami’

i. Al-Siyar

j. On The Simple Drugs (tentang kedokteran)

k. On The Composition of the Bajats (Seni Memasak) l. Kitab Al-Asyribah (tentang minuman)

m. Tahdzib Al-Akhlak (tentang akhlak)

n. Risalah fi Al-Lazzah wa Al-Alam fi Jauhar Al-Nafs o. Ajwibah wa As’ilah fi Al-Nafs wa Al-Aql

p. Al-Jawwab fi Al-Masa’il Al-Tsalats

q. Risalah fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan Al-Shufi fi Haqiqah Al-Aql

r. Thaharah Al-Nafs

B. Pembahasan

1. Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Akhlak

Ibnu Miskawaih seorang moralis yang terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya ini selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaannya yang menarik dalam tulisannya


(50)

Hadits) dan dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, seperti filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. Dimaksud dengan pelengkap ialah sumber lain baru diambilnya apabila sejalan dengan ajaran Islam dan sebaliknya ia tolak, jika tidak demikian.8

Masalah pembinaan akhlak bukanlah masalah baru, tetapi sudah menjadi pembahasan para filosof tempo dulu, seperti kajian Aristoteles tentang moral dalam bukunya Nichomachean Ethisc. Dalam sejarah pemikiran Islam, ditemukan beberapa tokoh yang menyibukkan diri dalam masalah akhlak ini, seperti Kindi, Al-Farabi, kelompok Ikhwan al-Safa, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih dan lain sebagainya.

Namun, dari sekian tokoh tersebut, Ibnu Miskawaih adalah tokoh yang berjasa dalam pengembangan wacana akhlak dengan pendekatan ilmu kejiwaan. Mengenai hal tersebut, M. Natsir dalam bukunya Capita Selecta mengatakan bahwa Ibnu Miskawaih adalah cendikiawan muslim pertama yang membahas wacana akhlak dan pendidikan akhlak dengan pendekatan ilmu jiwa. Pemikiran Ibnu Miskawaih katanya tidak jauh berbeda dengan ahli psikolog modern seperti Sigmund Freud.9 Sebagai bukti atas kebesarannya, ia telah menulis banyak karya yang membahas masalah akhlak, diantaranya : Tahdzib al-Akhlaq (tentang moralitas), Thaharah al-khubusi (penyucian jiwa), al-fauz al-akbar (kiat memperoleh kebahagiaan hidup), kitab al-Sa’adah (tentang kebahagiaan), dan lain sebagainya.10

Di samping itu, pemikiran Ibnu Miskawaih banyak juga dipengaruhi oleh filosof muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi, dan lainnya. Oleh karenanya banyak para ahli menggolongkan corak pemikiran Ibnu Miskawaih ke dalam tipologi etika filosofi (etika

8 Sirajuddin Zar, Op. Cit., hlm 135

9 M. Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1954) h. 23

10 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pemikir Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) h. 6


(51)

rasional), yaitu pemikiran etika yang banyak dipengaruhi oleh para filosof, terutama para filosof Yunani.

Ibnu Miskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.

ل ةيعاد سْفَ لِل اح قْل ْلا

ةي َ ْ ف ْيغ ْ م ا لاعْفا ىلا ا

11

“akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seorang untuk

melakukan perbuatan-perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Ibnu Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan.

Ibnu Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh Ibnu Miskawaih ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai di tengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat dengan malaikat dan ada pula yang lebih dekat pada hewan.12

Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam. Al-Qur‟an dan Hadits sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentukan watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan akhlak sering dijadikan

11Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak (Beirut Libanon : Daarul Kutub Al-Ilmiah, 1985) h. 25


(52)

ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengajarkan ajaran Islam yang dianutnya.

Pengertian akhlak menurut Ibnu Miskawaih di atas sejalan dengan pengertian akhlak yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali, di mana ia mengatakan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa pemikiran dan pertimbangan.

ف

ْاا

ل

ل

ق

ع

ا

ع

ْ

ْي

ة

ف

َلا ى

ْف

س

ا

ة

،

ع

ْ

ت ا

ْص

َْا

ْف

ع

ا

ب

س

ْ ل

ة

ي

ْس

م

ْ

غ

ْي

ح

جا

ة

ا ل

ف ى

ْ

ي

ة

.

khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa pemikiran dan pertimbangan.13

Point penting dari definisi akhlak Ibnu Miskawaih dan

al-Ghazali tersebut adalah kata “tanpa pemikiran dan pertimbangan”

yang ini berarti bahwa akhlak itu berhubungan dengan perilaku dan

sudah menjadi kebiasaan.”

Kebiasaan lahir dari suatu tindakan yang berulangkali dilakukan dan sudah mendarah daging. Pada mulanya kebiasaan adalah suatu yang diusahakan dan dipaksakan untuk dilakukan. Contohnya, orang yang sudah terbiasa bangun jam 3 malam setiap harinya, akan mengatakan itu sebagai rutinitas dan mudah dilakukan, tubuhnya tanpa perlu dipaksakan akan member respon untuk bangun pada jam tersebut. Sedangkan bagi orang yang belum terbiasa, bangun pada jam tersebut akan sangat sulit dilakukan, dan perlu usaha keras untuk melakukannya.

Kebiasaan berawal dari pengetahuan akan sesuatu. Pengetahuan didapatkan dari dua sumber yaitu dari pengalaman dan pendidikan. Pengalaman didapatkan dari suatu perbuatan yang telah


(53)

dilakukan, sehingga yang bersangkutan sudah mengetahui seluk beluk perbuatan tersebut. Dalam kebudayaan bangsa Indonesia, orang yang jatuh kedalam kesalahan dan kegagalan yang sama akan dicap sebagai orang yang hina dan bodoh. Karena dirinya tidak mampu belajar dari pengalaman yang sudah dialaminya sendiri.

Menurutnya, akhlak dalam Islam dibangun atas pondasi kebaikan dan keburukan. Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya, karena hal tersebut akan mengarahkan manusia kepada tujuan dirinya diciptakan. Keburukan adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat manusia mencapai kebaikan, entah hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganannya mencari kebaikan.14

Sepertinya Ibnu Miskawaih percaya bahwa akhlak itu pada keseluruhannya diperoleh dari pengalaman dan pendidikan. Ia terpengaruh oleh faktor-faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi masyarakat, adat, tradisi, sistemnya, dan harapan-harapannya. Ia tidak terpelihara (ma’sum). Dalam Tahdzib Ibnu Miskawaih mengatakan: “Setiap karakter dapat berubah. Sedangkan apapun yang berubah maka sifatnya tidak alami. Karena tidak ada yang bisa merubah sesuatu yang alami. Tidak ada seorangpun yang bisa membuat batu yang dilempar agar jatuh ke atas, tidak ke bawah.15

Ada 4 hal pokok dalam upaya pemeliharaan kesehatan jiwa (akhlak yang baik). Pertama, bergaul dengan orang yang sejenis, yakni yang sama-sama pecinta keutamaan, ilmu yang hakiki dan

ma‟rifat yang shahih, menjauhi pencinta kenikmatan yang buruk.

Kedua, bila sudah mencapai tingkat keilmuan tertentu, jangan membanggakan diri (ujub) dengan ilmunya, melainkan harus belajar terus sebab ilmu tidak terbatas dan di atas setiap yang berilmu ada

14 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak. h. 25 15 Ibnu Miskawaih , h. 28


(54)

Yang Maha Berilmu, dan jangan malas mengamalkan ilmu yang ada serta mengajarkannya kepada orang lain. Ketiga, hendaklah senantiasa sadar bahwa kesehatan jiwa itu merupakan nikmat Allah yang sangat berharga yang tak layak ditukarkan dengan yang lain. Keempat, terus-terusan mencari aib diri sendiri dengan intropeksi yang serius, seperti melalui teman pengoreksi atau musuh, bahkan musuh lebih efektif dalam membongkar aib ini.16

Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak Ibnu Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan atau jalan yang harus ditempuh oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan

akhlak Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan

keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi beliau lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia, yang mana jiwa ini berasal dari pancaran Tuhan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih bagi pribadi masing-masing manusia.

Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia ini ada tiga, jiwa al-Nafs al-Natiqah (berfikir/rasional), disebut jiwa raja, organ tubuh yang digunakan adalah otak. al-Nafs al-Bahimiyyah (nafsu), jiwa ini disebut jiwa binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Dan jiwa al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani), disebut jiwa binatang buas, dan organ tubuh yang digunakan adalah jantung. dan.17 Posisi tengah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan . jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesucian diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina, dan yang terakhir posisi tengah

16 Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak , Terj. Tahdzib al-Akhlak Ibn Miskawaih, (Bandung: Mizan, 1994), h. 74-75

17 Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak , Terj. Tahdzib al-Akhlak Ibn Miskawaih, (Bandung: Mizan, 1994), h. 44


(55)

jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah keberanian. Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan/keseimbangan. Dan alat yang dijadikan ukuran untuk

memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan syari‟at.18

Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih:

a. Kebijaksanaan (al-hikmah)

Kebijaksanaan merupakan sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Dalam semua keadaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan pengetahuan rasional yang memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan.19

Ibnu Miskawaih juga memberi pengertian bahwa, kebijakan adalah pertengahan antara kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud dengan kedunguan ialah membekukan dan mengesampingkan daya pikir tersebut walau sebetulnya mempunyai kemampuan untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas daya pikir.20

Secara sederhana dapat kita cermati maksud dari kebijaksanaan disini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya sebagai secara benar untuk memperoleh pengetahuan, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Yang kemudian pengetahuan ini

18 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) h. 83. 19 Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak (Beirut Libanon : Daarul Kutub Al-Ilmiah, 1985) h. 25. 20Ibid, hal. 46.


(1)

77

Sururin dan Asep Usmar Ismail dan Wiwi Sajarah. Tasawuf, Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005.

Suwito. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih. Yogyakarta, Belukar, 2004.

Syamri, Laode. Definisi Konsep Menurut Para Ahli, 2015 (http://laodesyamri.net)

Syarif, M.M. Para Filosof Muslim. Bandung: Penerbit Mizan, 1994.

Tholhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2004.

Toriquddin, Moh. Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. Malang: UIN Malang Press, 2008.

Yunus, Mahmud. Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990

Zar, Sirajudin . Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)