Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh Herudin NIM 109011000109

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2016 M/1437 H


(2)

Diajuakan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.l.)

Oleh:

Herudin

NIM: 109011000109

Pembimbing

NrP. 19680313 199903 1 006

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2016 M

rl


(3)

MISKAWAIH

DALAM

PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM

PADA

ANAK.

AI\AIC', disusun oleh Herudirq NIM. 109011000109, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah

melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas.

Jakarta,2lMmet 2016

Yang mengesahkan,


(4)

(5)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama

TempaliTgl.Lahir

NIM

Jurusan i Prodi

Judul Skripsi

. Herudin

: Jakarta, 31 Oktober 2016

'109011000109

: Pendidikan Agama Islam

: Perbandingan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu

Miskawaih tentang pendidikan agamalslam pada anak-anak

: Dr. Muhammad Dahlan. M.Hum

Dosen Pembimbing

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, 21Maret20l6

Mahasiswa Ybs.

Herudin


(6)

i

dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penulis memilih judul tersebut karena masih sangat banyak orang tua zaman sekarang yang masih mengenyampingkan pendidikan agama Islam pada anak, kemudian masih banyak orang tua yang belum mengenal konsep pendidikan yang dijelaskan oleh tokoh-tokoh filsafat muslim. Pemilihan dua tokoh tersebut karena banyak melihat perbedaan pemikiran dalam bidang filsafat mereka.

Pendidikan agama Islam pada anak sangatlah penting, oleh karena itu tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui konsep pendidikan agama islam menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih, dan mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran pendidikan agama Islam pada anak serta mengetahui pentingnya pendidikan agama Islam pada anak.

Metode yang digunakan untuk Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dan dengan suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library

research). Karena permasalahan yang akan diteliti mengkaji sejarah maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan skripsi ini. Seperti

kitab Ihya Ulumuddin dan terjemahannya, serta kitab Tazibul Akhlak dan

terjemahannya.

Konsep pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut Ibnu Miskawaih maupun al-Ghazali sama-sama menitik beratkan pada pendidikan akhlak yang dibentuk melalui pembiasan, latihan, dan teladan yang baik. Pendidikan akhlak yang mereka jelaskan sama-sama memulai dari melatih dan menekan nafsu yang tumbuh pada anak-anak dengan pendidikan akhlak melalui bimbingan, teladan, dan pembiasaan. Untuk membentuk akhlak hal penting yang harus dilakukan menurut mereka adalah menghindarkan anak-anak dari pergaulan yang kurang baik, serta menghidari meraka dari syair-syair yang membuai, musik-musik yang syairnya tentang percintaan yang saat ini banyak dikonsumsi oleh anak-anak jaman sekarang, serta manjauhakn mereka dari bersifat konsutif dan matrealistis, anak-anak harus diajarkan kesederhanaan hidup.

Kata Kunci: Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih, Pendidikan Agama

Islam Pada Anak


(7)

ii

Herudin, NIM 109011000109 "Comparative Thoughts Al-Ghazali and Ibn Miskawayh On Islamic Education in children". Thesis Department of Islamic Religious Education, Faculty of Science and Teaching Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

The author chose the title because there are still very many parents today who still disregard the Islamic religious education to children, then there are still many parents who are not familiar with the concept of education described by the leaders of Muslim philosophy. Selection of these two figures because many see the difference of thought in the field of their philosophy.

Islamic religious education of children is important, therefore the purpose of this paper is to investigate the concept of Islamic religious education according to al-Ghazali and Ibn Miskawayh, and find out the similarities and differences of thought of Islamic religious education to children and to know the importance of Islamic education in children.

The method used for this study used a qualitative approach. Qualitative research is research that aims to understand the phenomenon of what yangg experienced by research subjects eg, behavior, perception, motivation, action, and others. Holistically, and by way of description in the form of words and language, and with a special natural context and by utilizing a variety of natural methods. Supported by the data obtained through library research (library research). Because of the problems to be studied examines the history of the necessary amount of literature relevant to this thesis. As Ihya Ulumuddin and translation, as well as Tazibul book Morals and translation.

The concept of Islamic education to children according to Ibn al-Ghazali Miskawayh and equally focuses on moral education formed by refraction, exercise, and a good example. Moral education that they explain both start from the train and suppress appetite that grows in children with moral education through guidance, exemplary, and habituation. To form morals important things that must be done according to them was to avoid children from the association were not good, and avoid meraka of poetry cradles, music that poem about the romance that is currently widely consumed by children today, as well as those of nature konsutif manjauhakn and materialistic, children should be taught the simplicity of life.


(8)

iii

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERBANDINGAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBNU MISKAWAIH DALAM PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM PADA ANAK-ANAK” ini merupakan salah satu syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.Pd.I.) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta,Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag,

dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Marhamah Saleh, Lc. M.A serta seluruh staf Jurusan dan Laboratorium, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi yang

senantiasa sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Aminudin Yakub, M.Ag, selaku dosen penasihat akademik.

5. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Teman-teman Prodi Pendidikan Agama Islam yang baik hati, khususnya

prodi Pendidikan Agama Islam angkatan 2009 kelas C (Agus, Iqbal, Miftah, Rasid, Sukri Gozali, Chairul, Sihab dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu). Terimakasih banyak atas tawa-duka, suka duka, kebersamaan, motivasi, dan bertukar pikiran selama ini.


(9)

iv

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Terimakasih keluarga besar Pondok Pesantren Daarussalaam Depok

khususnya kaka kelas saya (Yusuf Qomarudin) dan adik kelas saya (Sadiah Nurjanah) yang telah memberikan banyak bantuannya.

9. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan

mereka semua, amien.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb.

Jakarta, 21 Maret 2016


(10)

v

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SURAT PERYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

BAB II : KAJIAN TEORI A. Pendidikan Agama Islam ... 9

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 9

2. Ruang lingkup ... 11

3. Tujuan ... 15

B. Anak-Anak ... 17

1. Pengertian anak-anak ... 17

2. Klasifikasi pertumbuhan manusia ... 18

C. Pendidikan anak usia dini (kanak-kanak) ... 21

1. Pengertian ... 21

D. Kajian Penelitian yang Relevan ... 23

B AB III : METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

B. Metode Penelitian ... 25

C. Prosedur Pengumpulan dan pengolahan data ... 25

D. Pemeriksaan atau pengecekan keabsahan data ... 26


(11)

vi

C. Biografi Ibnu Miskawaih ... 47

D. Konsep Pendidikan Agama Islam Pada Anak-anak

Menurut Ibnu Miskawaih ... 49

E. Pembahasan Analisis Hasil Penelitian ... 57

F. Analisis Persamaan dan Perbedaan ... 64

BAB V : PENUTUP

A.Kesimpulan ... 67 B.Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA


(12)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, dengan kemampuan berpikirnya berusaha untuk hidup lebih baik dan lebih maju. Ketika manusia menghendaki kemajuan dalam hidupnya, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi

sejalan dengan tuntutan kemajuan masyarakatnya.1

Menurut ajaran Islam, manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur ardli dan

unsur samawi. Unsur ardli adalah jasmaniyah, yang meliputi seluruh jasad

manusia baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan dan semuanya terdiri

dari zat materi yang membutuhkan makanan. Sedang unsur samawi adalah

rohaniah yang juga membutuhkan makanan berupa santapan rohani seperti

pendidikan agama, bimbingan, penyuluhan, rekreasi, istirahat dan sebagainya.2

Dewasa ini makin terasa perlu manusia dibentengi dengan nilai-nilai luhur agama, mengingat pengaruhnya yang besar terhadap manusia. Keduanya (jasmani dan rohani) dapat menyeret manusia pada kelalaian, kealpaan, dan lupa yang

disebabkan oleh kesibukan-kesibukan sehingga manusia butuh pendidikan.3

Dengan Pendidikan Agama Islam akan mengarahkan manusia kepada pembentukan insan kamil, yakni khalifah Allah yang pada hakekatnya ialah

manusia shaleh, manusia yang dapat menjadi rahmat bagi semesta alam.4

Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah

1

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Pendekatan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 01

2

Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 136.

3

Ibid, h. 137

4

Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), h. 132


(13)

usaha untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai usaha sadar yang

bertujuan dan usaha mendewasakan anak.5

Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang

positif.6 Pendidikan Agama Islam, sebagai upaya pengembangan, mendorong

serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan

potensi akal, perasaan maupun perbuatanya.7

Pendidikan Agama Islam harus diajarkan sejak kanak-kanak karena masa kanak-kanak merupakan masa terpenting dalam rentang kehidupan manusia. Sebab ia menjadi pijakan fase-fase selanjutnya dalam proses pendidikan dan

pembinaan pribadi.8 Anak-anak adalah generasi penentu masa depan,

sebagaimana ia juga akan menjadi pemimpin di masa yanga akan datang.9 Jadi

perkembangan agama seseorang sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman hidup sejak kecil, baik dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan

masyarakat.10

Agama bukanlah mata-pelajaran yang dipelajari untuk menumbuhkan pengetahuan atau ketangkatasan, tetapi agama ialah roh dan pengaruh. sukses

5

Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1991), h. 2

6

Ahmad Tafsir, Ilmu dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 84

7

Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), cet. 2, h.31-32

8

Aan Wahyudin, Mendidik Anak Pertmpuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. ix

9

Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiaran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h. 82

10

Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 139


(14)

guru tidak diukur dengan banyak muridnya yang menghafal ayat-ayat Al-Qur‟an, hadis-hadis dan hukum-hukum agama, tetapi diukur dengan apa yang tercetak dalam hati murid-murid yang berkelakuan baik, berakhlak mulia, berbudi luhur,

menunaikan kewajiban terhadap Tuhan, orang tua, keluarga, dan masyarakat.11

Peserta didik adalah indikator yang sangat diperhatikan karena merekalah pelaku yang menerima pendidikan tersebut dan setiap perserta didik harus diberikan pendidikan agama. Pendidikan agama harus diajarkan sejak dini kepada peserta didik, karena agama akan membentuk akhlak peserta didik untuk menjalani hidup dengan akhlak mulia. Masa kanak-kanak sangat baik untuk menerima pendidikan, untuk menamkan dasar-dasar agama lebih baik pada masa kanak-kanak.

Anak adalah penerus cita-cita bangsa. Selain amanah dari Allah SWT. Anak juga merupakan cikal bakal yang akan memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan demi kebahagiaan dunia akhirat. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan untuk menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental, serta sosialnya secara utuh dan seimbang.12

Firman Allah SWT :

































Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S Ar-Ruum:30)

Sabda Nabi Saw :

11

Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), h. 18

12


(15)

Artinaya: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih dan suci); maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani ataupun Majusi. (HR. Muslim)

Fitrah artinya bersih tanpa dosa dan noda, baik dalam akal maupun nafsunya. Dengan demikian, manusia yang fitrah adalah manusia yang bersih dari dosa. Makna fitrah adalah suatu kemampuan dasar manusia yang berkembang secara dinamis dan dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya dengan mengandung komponen-komponen yang bersifat dinamis dan responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar. Komponen-komponen yang dimaksud yaitu bakat,

insting, dorongan nafsu, karakter atau watak, dan intuisi.13

Dari ayat dan hadis di atas jelaslah bahwa pada dasarnya anak telah membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sesuai dengan tingkat usia anak dalam

pertumbuhan.14 Pendidikan yang tepat akan mengembangkan kemampuan anak

sesuai fitrahnya, yaitu dangan pedidikan agama kemampuan anak dalam memahai fitrahnya sebagai manusia akan berkembang.

Kita sangat menyesalkan sekali bila kita terpaksa berkata bahwa pendidikan akhlak atau Pendidikan Agama Islam kurang sekali mendapat perhatian, baik di rumah-rumah atau di sekolah-sekolah dan dalam masyarakat, pada saat-saat kita meneriakkan bahwa kebahagiaan suatu bangsa tidak tergantung pada banyaknya penghasilan atau keindahan bangunan-bangunannya akan tetapi tergantung pada putra-putrinya yang terpelajar. Bila kesempurnaan akhlak dan moral ada, maka

kebahagiaan, kekuatan dan keindahan suatu bangsa itu dapat tercapai.15

13

Hasan Basri, Beni Ahamad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 128.

14Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama ISIN “

Filsafat

Pendidikan Islam” Jakarta. Hal.168-169

15Muhammad „Athiyah Al

-Abrasyi, Asas-Asas Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 116


(16)

Bila kita ingin bangun dan menegakkan kembali keagungan Islam di masa lalu, maka kewajiban kita untuk memikirkan masalah-masalah ilmu dan penyebarannya, pendidikan dan perluasannya, moral dan pembentukannya. Suatu bangsa tidak akan dapat bertambah tinggi hanya dengan uang dan benteng, tetapi suatu bangsa bertambah tinggi dengan ilmu dan akhlak. Suatu bangsa tidak akan

makmur dengan gedung-gedungnya, sedangkan akhlaknya hancur-binasa.16

Maka dengan ilmu dan akhlak kita akan sanggup mengembalikan keagungan kaum Muslimin di zaman keemasan dulu, zaman keagungan Islam, dan kita akan sanggup menuntun dunia sekarang dan dunia yang akan datang

separti kita pernah memimpin di waktu-waktu yang lampau.17

Banyak ahli (pendidikan dan filsafat) yang telah membahas pentingnya Pendidikan Agama Islam pada anak-anak. Filosof-filosof muslim tersebut antara lain Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali. Mereka adalah filosof muslim yang banyak berbicara tentang pendidikan. Sangatlah bijak kita mengkaji kembali pemikiran-pemikiran pendidikan dari kedua filosof muslim tersebut terutama pendidikan agama pada anak-anak, namun masih banyak orang tua zaman sekarang tidak mengenal pemikiran mereka berdua tentang pendidikan akhlak pada anak. Dalam sebuah tulisan di media sosial facebook saya mendapat kiriman tetang pendidikan yang diberikan orang tua zaman sekarang, “dulu saya susah maka anak saya tidak

boleh susah sekarng saya akan berikan apa saja untuk anak saya,” kata salah satu

teman di facebook. Kemudian orang tua itu pun membiasakan sang anak makan nasi impor yang mahal dari kecil, namun apa yang terjadi ketika terjadi krisis orang tuanya tidak mampu memberikan nasi impor yang mahal, anak tersebut tidak dapat makan nasi selain nasi yang impor yang mahal itu. Anak yang dimaja dan dibiasakan hidup mewah akan kesulitan hidup ketika keadaan memaksa harus hidup susah. Dalam satu kasus lagi seorang anak selalu mandi dengan kamar mandi mewah yang ada di rumahnya menggunakan air hangat, namun ketika dia berlibur kerumah neneknya dan di rumah neneknya tidak terdapat kamar mandi mewah dan tidak ada air hangat di sana sang anak mengamuk dan marah-marah

16

Ibid, h. 117

17


(17)

tidak mau mandi. Banyak konsep pendidikan orang tua saat ini sangatlah jauh berbeda dengan pendidikan-pendidikan yang dikembangkan oleh para filosof muslim. Seperti pendapat imam al-Ghazali tentang pendidikan anak di bawah ini.

Menurut imam al-Ghazali:

Ash-Shabiy atau anak merupakan amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang bersih merupakan permata yang berharga, lugu dan bebas dari segala macam ukiran dan gambar. Ukiran berupa kebiasaan berbuat baik akan dapat tumbuh subur sehingga ia akan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jika sang anak dibiasakan dengan hal-hal yang baik kepadanya, ia akan tumbuh dengan baik dan akan memperoleh kebahagiaan, kemudian pahala yang dipetiknya turut dinikmati oleh kedua orang tuanya. Dan apa bila dibiasakan pada hal-hal buruk, dan ditelantarkan begitu saja bagaikan memperlakukan hewan ternak, maka niscaya sang anak akan tumbuh menjadi anak yang celaka dan binasa. Dan dosa yang ditanggung anak itu, akan menjadi beban bagi orang yang pernah mengajarinya dan yang menjadi walinya.

Anak adalah amanah yang harus didik dengan sebaik mungkin, pendidikan yang diterima anak sejak dini akan membangun kebiasaan dan karakternya saat dewasa. Kebiasaan saat dewasa adalah gambaran pendidikan saat sang anak didik sejak kecil, jika dibiasakan baik maka baik pula hidupnya.

Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih terkenal sebagai tokoh Moralis. Tetapi antara al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih mempunyai latar belakang kehidupan dan pendidikan yang berbeda, dimana sejak dini al-Ghazali, hidup dalam kesederhanaan dan diasuh oleh seorang sufi dan beliau termasuk orang yang gemar menuntut ilmu agama, selalu tidak puas dengan hasil-hasil studi yang

18

Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, (Darul Fikri), Jilid 3, h. 66


(18)

dicapai. Sedangkan Ibnu Miskawaih adalah seorang filosof yang telah banyak

mempelajari filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plato19. Pemikiran filsafat

mereka pun berbeda, al-Ghazali menolak pemikiran filsafat Ibnu Miskawaih tentan ketuhanan. Banyak bantahan-bantahan yang dilakukan oleh al-Ghazali

dalam bukunya Tahafut al Falasifah (kekacauan para filosof). Ini menarik untuk

diperhatikan adakah perbedaan yang signifikan antara mereka tentang konsep Pendidikan Agama Islam pada anak-anak. oleh karena itu penulis merasa perlu mengkaji kembali pemikiran mereka. Demikianlah yang melatarbelakangi penulis

membuat judul “PERBANDINGAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN IBNU

MISKAWAIH DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Banyak orang tua zaman sekarang yang mengeyampingkan Pendidikan

Agama Islam pada anak-anak.

2. Banyak orang tua zaman sekarang yang tidak mengenal dan mengetahui

konsep pendidikan agama Islam menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih

3. Perbedaan al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih dalam latar belakang

pendidikan dan pemikiran filsafat.

C.

Pembatasan Masalah

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pemikiran pendidikan al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih maka perlu diadakan pembatasan masalah dalam penelitian agar persoalan penelitian dapat dikaji lebih mendalam, yaitu hanya mengkaji perbandingan pemikiran pendidikan Agama Islam pada anak-anak dalam bidang iman, dan akhlak saja menurut imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

19


(19)

D.

Perumusan Masalah

Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka di sini penulis memberikan perumusan masalah, antara lain:

1. Bagaimana konsep pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut

al-Ghazali Dan Ibnu Miskawaih?

2. Apa perbedaan dan persamaan pemikiran Pendidikan Agama Islam

antara al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih?

E.

Tujuan Penelitian

Dengan memahami latar belakang yang telah penulis sampaikan di atas, maka dalam penelitian karya ini, tardapat beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep Pendidikan Agama Islam pada anak-anak

menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

2. Untuk mengetahui lebih dalam perbedaan dan persamaan pemikiran

Pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

3. Untuk mengetahui pentingnya Pendidikan Agama Islam pada anak-anak.

F.

Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan dan pengalaman penulis khususnya tentang pengamalan

nilai-nilai Pendidikan Agama Islam menurut al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

2. Mengingat kembali potensi sejarah pemikiran pendidikan al-Ghazali dan Ibnu

Miskawaih, dan menemukan hal-hal penting, yang masih tetap relevan dengan pendidikan agama pada anak-anak saat ini.

3. Mengingat kembali peran penting pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih

tentang pendidikan.


(20)

9 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Kata “pendidikan” dalam bahasa Yunani, dikenal dengan nama paedagogos

yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi, dikenal dengan educare,

artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di dalam). Dalam bahasa Belanda

menyebut istilah pendidikan dengan nama opvoeden, yang berarti membesarkan

atau mendewasakan, atau voden memberi makan. Dalam bahasa Inggris disebut

dengan istilah education, yang berarti to give moral and intellectual training

artinya menanamkan moral dan melatih intelektual.1

Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah usaha untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai usaha sadar yang

bertujuan dan usaha mendewasakan anak.2 Pendidikan adalah usaha

meningkatkan diri dalam segala aspeknya.3

Pendidikan agama di sekolah berarti suatu usaha yang secara sadar dilakukan guru untuk mempengaruhi siswa dalam rangka pembentukan manusia

beragama.4 Pendidikan Agama Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong

serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan

1

A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 16

2

Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Al Gensindo, 1991), h. 2

3

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 6

4

Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 172


(21)

10

Islam dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan Agama Islam, Pendidikan

Agama Islam sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan “Agama Islam”

karena yang diajarkan adalah Agama Islam bukan Pendidikan Agama Islam. Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan Agama Islam disebut

Pendidikan Agama Islam. Kata “pendidikan” ini ada pada dan mengikuti setiap

mata pelajaran. Dalam hal ini PAI sejajar atau sekatagori dengan pendidikan Matematika (nama pelajarannya adalah Matematika), pendidikan Olahraga (nama mata pelajarannya adalah Olahraga), pendidikan Biologi (nama mata pelajarannya adalah Biologi) dan seterusnya. Sedang pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang memiliki komponen secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam ialah

pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.

Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam. Pendidikan Agama Islam yakni upaya mendidik agama Islam atau ajaran

Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup)

seseorang. Dalam pengertian ini dapat terwujud segenap kegiatan yang dilakukan seorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan

dikembangkan dalam keterampilan hidupnya sehari-hari.6

Dalam Al Qur’an banyak ayat-ayat yang menunjukkan adanya perintah tersebut, antara lain:

5

Al-Rasyidin, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), cet. 2, h. 31-32

6

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Rajawali Persada, 2009), h. 6-8


(22)

Dalam Surat An-Nahl ayat 125, yang berbunyi:

























....



Artinya : “Ajaklah kepada agama Tuhanmu dengan cara yang bijaksana dan

dengan nasehat yang baik...” 7

Dalam Surat Ali Imron ayat 104, yang berbunyi :

















































Artinya : “Hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang mengajak

kepada kebaikan, menyuruh perbuatan baik dan mencegah dari

perbuatan yang mungkar.” 8

Dalam Surat At- Tahrim ayat 6, yang berbunyi :























...







Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

dari siksa api neraka...”. 9

Ayat-ayat tersebut di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa dalam ajaran Islam memang ada perintah untuk mendidik agama, baik pada keluarganya maupun pada orang lain sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Jadi Pendidikan Agama Islam adalah upaya untuk menanamakan ajaran Islam dalam kehidupan peserta didik dalam setiap perbuatannya.

2. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam Pada Anak

Dilihat dari ruang lingkup pembahasannya Pendidikan Agama Islam terdiri dari sejumlah pelajaran di antaranya sebagai berikut ini:

a. Keimanan

7

Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 421.

8

Al-Qur’an surat Ali-Imron ayat 104, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 93.

9

Al-Qur’an surat An-Tahrim ayat 6, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 951.


(23)

Iman berarti percaya. Menurut rumusan ulama tauhid, iman berarti membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lidah akan wujud dan

keesaan Allah.10 Al-Ghazali mengatakan iman adalah mengucapkan dengan

lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota

tubuh.11 Sedangkan iman menurut syariat adalah membenarkan dan

mengetahui adanya Allah dan sifat-sifat-Nya disertai melaksanakan segala yang diwajibkan dan disunahkan serta manjauhi segala larangan dan

kemaksiatan.12 Al-Qur’an telah memberikan gambaran yang jelas mengenai

pendidikan akhlak pada anak-anak yang tertuang dalam surat Lukman.



































Artinya : dan (ingatlah) ketika Luqman mengatakan kepada anak-anaknya

untuk memberikan pelajaran: hai anakku! janganlah engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah itu adalah suatu kesalahan besar.

Ayat tersebut mengisyaratkan bagaimana seharusnya para orang tua mendidik anaknya untuk mengesakan penciptanya dan memegang prinsip tauhid dengan tidak menyekutukan Tuhannya.

b. Akhlak

Akhlak diartikan sebagai budi pekerti; kelakuan sebenarnya kata akhlak

berasal dari bahasa Arab, dan jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bisa

berarti perangai, tabiat. Karakter (khuluq) merupakan keadaan jiwa. Keadaan

ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam.

10

Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 63-64

11

Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 97

12


(24)

Ibnu Miskawaih memberi pengertian akhlak sebagai berikut: 13

Artinya, ”khuluq adalah keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan

perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan

sebelumnya”.

Sedangkan Al-Ghazali memberikan pengertian akhlak sebagai berikut:

14

Artinya: “Sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir

berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya

lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’,

maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.”

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut Al-Ghazali mencakup dua syarat:

a. Perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang

sama sehingga dapat menjadi kebiasaan. Misalnya seseorang yang memberikan sumbangan harta hanya sekali-sekali karena dorongan keinginan saja, maka orang itu tidak dapat dikatakan sebagai pemurah selama sifat

13

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Terj. Helmi Hidayat) Bandung: Mizan, 1997, Cet. III. hal 56

14

Abû Hâmid al-Ġazâlî, Ihyâ' ‘Ulûm ad-Dîn, Jilid III, (Dar Ihya al-Kutub al-Arab, 1987), h. 52.


(25)

demikian itu belum tetap dan meresap dalam jiwa.

b. Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud

refleksif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan-tekanan, paksaan-paksaan dari orang lain, atau pengaruh-pengaruh dan bujukan-bujukan indah dan sebagainya. Misalnya orang yang memberikan harta benda karena tekanan moral dan pertimbangan. Maka

belum juga termasuk kelompok orang yang bersifat pemurah.15

Begitu pentingnya posisi akhlak dalam Islam. Hal ini dibuktikan dengan

tujuan yang ingin dicapai oleh Rasulullah SAW, seperti dalam haditsnya :16

Menceritakan kepada aku dari Malik bahwasannya benar-benar sampai kepadanya sesungguhnya Rasulallah Saw. bersabda (aku diutus untuk memperbaiki kemuliaan akhlak).”(H.R. Malik bin Anas dari Anas bin Malik).

Sedangkan sabda Rasulullah saw, yang berbunyi : 17

Artinya : “Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda: muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah dengan budi pekerti yang baik”. (HR. Ibnu Majah).

c. Ibadat

Dalam bahasa indonesia, kata ibadat sudah biasa digunakan orang, bila disebut ibadat orang sudah mengerti berasal dari bahasa arab yang berarti

15

Zainudin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al –Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 102-103

16

Imam Malik Ibn Anas, Al-Muwatha, Darul Ifaq Al-Jadidah, 1993, hal 789

17

Al Hafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Qozwin, Sunan Ibn Majah, Jilid II, Maktabah Dahlan, Indonesia, hal. 1211


(26)

penyembahan. Dalam pengertian yang luas, ibadat itu ialah segala bentuk pengabdian yang ditujukan kepada Allah semata yang diawali oleh niat. Ada

bentuk pengabdian yang secara tegas digariskan oleh syari’at Islam, seperti

shalat, puasa, zakat, haji dan ada pula yang tidak digariskan secara pelaksanaannya dengan tegas, tetapi diserahkan saja kepada yang

melakukannya, asal saja perinsip ibadatnya tidak tertinggal.18 Kemudian

anak-anak hendaklah diajarkan untuk mengerjakan shalat. Sehingga terbentuk

manusia yang senantiasa kontak dengan penciptanya. 19

Artinya : “Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan

yang baik dan mencegah (mereka) dari perbuatan yang munkar…”.

(Q.S. Luqman: 17)



















Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi (beribadah) kepada-Ku.

3. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Tujuan Pendidikan Agama Islam menurut al-Ghazali adalah untuk

mendekatkan diri kepada Allah SWT.20 Tujuan pendidikan agama membina,

berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya, dalam rangka mencapai kebahagiaan dan kejayaan hidup dunia

akhirat.21 Tujuan pendidikan Islam mencakup tujuan sementara dan tujuan akhir

pendidikan Islam. Untuk mencapai tujuan akhir pendidikan harus dilampaui

18

Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 72

19

Ibid,., hal. 655

20

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Permata, 2005), h.212

21

Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet. 4, h. 172


(27)

terlebih dahulu beberapa tujuan sementara. Tujuan akhir pendidikan Islam

terbentuknya kepribadian muslim.22 Tujuan Pendidikan Agama adalah meliputi

seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan,

kebiasaan, dan pandangan.23 secara umum tujuan Pendidikan Agama Islam adalah

membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama, dan

negara.24 Akhlak adalah bagian dari agama yang secara khusus memberi pedoman

bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama.25

Tujuan Pendidikan Islam yang disarankan Konperensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah 8 April 1977, sebagai berikut:

Pendidikan harus diarahkan mencapai pertumbuhan keseimbangan kepribadian manusia menyeluruh, melalui latihan jiwa, intelek, rasio, perasaan, dan penghayatan. Karena itu, pendidikan harus menyiapkan pertumbuhan manusia dalam segala seginya: spiritual, intelektual, imajinatif, jasmani, ilmiah, linguistik, baik individu maupun kolektif, dan semua itu didasari motivasi ibadah karana tujuan akhir pendidikan muslim itu terletak pada (aktivitas) merealisasiakan

pengabdian dan kemanusiaan.26

Tujuan tertinggi dan terakhir adalah tujuan hidup manusia dan peranannya sebagi ciptaan Allah, yaitu:

a. Menjadi hamba Allah yang bertaqwa

b. Mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ard (wakil Tuhan di

bumi) yang mampu memakmurkannya (membudayakan alam sekitar).

c. Memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat.27

22

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 30

23

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 30

24

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), 35.

25

Sutarjo Adisusilo, J.R. Pembelajaran Nilai-Karakter, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2012), h. 50

26

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 101

27


(28)

B. Anak-Anak

1. Pengertian Anak-Anak

Thifl dan thiflah berarti anak kecil, bentuk pluralnya adalah athfal.

Seseorang disebut thifl (anak) ketika ia lahir dari perut ibunya hingga ia

mengalami mimpi basah (sebagai pertanda baligh).28 Anak adalah amanat Allah

yang harus dibina, dipelihara, dan diurus secara seksama serta sempurna agar

kelak menjadi insan kamil.29

Ada sejumlah klasifikasi fase-fase pertumbuhan manusia yang dilansir

dalam berbagai literatur30 disiplin ilmu psikologi pertumbuhan. Dari sekian

banyak itu penulis memilih beberapa di antaranya:

a. Fase Pra-Natal

Fase pranatal (sebelum lahir) mulai masa konsepsi sampai proses kelahiran yaitu sekitar 9 bulan 20 hari. Ibnu Mas`ud berkata bahwa Rasulullah bersabda yang artinya :

Sesungguhnya seorang baru kalian dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari (asal sperma), selanjutnya menjadi segumpal darah beku itupun selama 40 hari. Selanjutnya Allah Swt, mengutus malaikat, maka ia pun meniupkan ruh ke dalam tubuhnya. Malaikat ini diperintah mencatat (menetapkan) empat hal, yaitu mengenai rezekinya, amalnya, celakanya dan bahagianya” (H.R Bukhari dan Muslim).

b. Fase Lahir

Fase lahir merupakan permulaan atau periode awal keberadaan sebagai individu dan pada masa ini dimulai dari kelahiran dan berakhir pada saat bayi

28

Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. xiii

29

Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terjemahan dari Tarbiyatul Awlad Fil Islam, oleh Jamaludin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Cet. 3, Jilid I, h.7.

30

Dalam buku Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam karangan Drs Tohirin, Psikologi perkembangan individu memaparkan enam tahap perkembangan individu tahap-tahap itu adalah fase bayi, anak-anak, remaja, dewasa awal, setengah baya, dan fase tua


(29)

menjelang dua minggu dan periode ini juga bayi mulai menyesesuaikan dirinya dengan kehidupan di luar rahim.

Fase ini terbagi menjadi dua periode, yaitu : periode pertunate (mulai

kelahiran sampai antara lima belas dan tiga puluh menit sesudah kelahiran),

sedangkan periode neonate (dari pemotongan dan pengikatan tali pusar

sampai sekitar akhir minggu kedua dari kehidupan paseamatur, yaitu

lingkungan di luar tubuh ibu).

c. Fase Dua Tahun Pertama

Pada fase 2 tahun pertama ini dapat dilihat dari khasnya yaitu anak mulai memusarkan dirinya untuk mengenal lingkungannya, menguasai gerak-gerik fisik dan belajar berbicara dan pada masa ini Rasulullah bersabda, yang artinya :

Mulailah mendidik anak-anak kalian dengan kalimat pertama : Laa ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah), bimbinglah mereka ketika mereka berada dalam sekarat dengan Laa ilaha illallah,” (H.R Al-Baihaqi).

Kalau kita cermati hadits di atas adalah pendidikan pertama ditanamkan kepada anak adalah meng-Esakan Allah dengan kalimat tauhid, dengan

kalimat Laa ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah).

d. Fase Kanak-kanak

Masa kanak-kanak ini berlangsung selama enam tahun, oleh pendidik disebut pra sekolah. Awal masa kanak-kanak ini sering dianggap sebagai usia kritis dalam penggolongan peran seks. Pada masa inilah anak paling peka dan siap untuk belajar dan dapat memahami pengetahuan dan selalu ingin bertanya dan memahami.

Perkembangan kembangan kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kognitifnya. Hal ini membentuk persepsi anak mengenai dirinya sendiri, dalam kompetensi sosialnya, dalam peran jenis kelaminnya, dan dalam menegakkan pendapatnya mengenai apa yang benar dan yang salah.


(30)

e. Fase Puber

Periode ini merupakan masa pertumbuhan dan perubahan yang pesat dan masa ini terjadi pada usia yang berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Kriteria umum yang digunakan fase ini adalah bagi anak laki-laki ditandai dengan mimpi basah, sedangkan pada anak perempuan ditandai dengan masa haid pertama.

Adapun periode masa puber terbagi menjadi tiga masa, antara lain :

1) Masa pra pubertas : usia 12-14 tahun, masa ini merupakan peralihan dari

akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya yaitu :

a) Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi

b) Anak mulai bersikap kritis

2) Masa pubertas : masa remaja awal usia 14-16 tahun. Adapun cirinya,

antara lain sebagi berikut :

a) Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya

b) Memperhatikan penampilan

c) Sikapnya tidak menentu

d) Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib

3) Masa akhir pubertas : usia 17-18 tahun, masa ini meupakan peralihan

dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya, antara lain :

Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya. Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria.

f. Fase Dewasa

Masa dewasa adalah pencarian kemantapan dan masa reproduktif, yaitu suatu masa yang penuh masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesesuaian hidup yang baru.

Pada fase ini sebaiknya yang perlu ditanamkan pada diri sendiri adalah menjalankan ketaatan, karena pada fase ini individu sudah menetukan sendiri kemana mereka akan melangkah.


(31)

Pada fase ini memiliki ciri sebagai berikut : periode kemunduran, perbedaan individual pada efek menua, usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda. Masalah umum yang unik bagi orang-orang yang lanjut usia ini adalah ditandai dengan keadaan fisik yang lemah dan tak berdaya, sehingga

tergantung pada orang lain.31

Selain itu ada juga fase pertubuhan antara lain:

Pertama, fase pra-kelahiran; dimulai saat terjadinya kehamilan barakhir dengan kelahiran. Umumnya adalah sembilan bulan.

Kedua, fase menyusui (atau radha’ah menurut istilah kalangan ahli fikih);

a. Dua minggu pertama kehidupan bayi

b. Rentang masa menyusui dan berakhir pada usia dua tahun.

Ketiga, fase kanak-kanak dini (atau hadhanah menutut istilah kalangan ahli fiqih); dimulai dari usia tiga tahun sampai akhir usia lima tahun.

Keempat, fase kanak-kanak pertengahan; dari usia enam hingga delapan tahun. Itu setara dengan usia tiga kelas pertama sekolah dasar.

Kelima, fase kanak-kanak akhir; mulai usia sembilan hingga dua belas tahun. Itu sebanding dengan tiga kelas terakhir sekolah dasar. Kalangan fiqih

menyebut fase keempat dan kelima ini dengan istilah tamyiz.

Keenam, fase remaja (murahaqah); biasanya mulai usia tiga belas sampai delapan belas tahun. Rentang waktu fase ini setingkat dengan dua tinggkat sekolah menengah (SMP dan SMA).

Ketujuh, fase muda; usia delapan belas hingga dua puluh empat tahun. Itu merupakan fase yang memiliki ragam problematika yang terkait dengan orientasi kerja dan pendidikan. Fase tersebut sejajar dengan rentang waktu pendidikan tinggi.

Kedelapan, fase dewasa

31

Dra. Rohmalina Wahab, M.Pd.I., Psikologi Belajar, Grafika Telindo Press, Palembang, 2014, hal.128


(32)

Kesembilan, fase tua. Fase ini berbeda-beda antar orang, berkisar antara usia enam puluh lima hingga tujuh puluh tahun. Fase tersebut ditandai dengan ciri khas suka pikun dan kelemahan menyeluruh.

Perlu ditegaskan di sini, masalah periodisasi fase pertumbuhan dan ciri-cirinya ini sebaiknya tidak dipahami sebagai patokan akhir dan mutlak. Sebab ia hanya untuk mempermudah pembelajaran dan penelitian bagi kalangan yang berminat menekuninya, tidak lebih. Proses pertumbuhan terus berkelanjutan dan saling bereretan, dan pada hakikanya ia pun tidak menerima segala macam

pengklasifikasian ini.32

Sementara pembatasan usia anak-anak dan kanak-kanak menurut para ulama berhenti di usia dua belas tahun, sehingga yang disebut anak adalah orang

yang belum mengalami mimpi basah.33

Al-Ghazali menggunakan istilah anak dengan beberapa kata, seperti al-shobiy (kanak-kanak), al-Mutaallim (pelajar), dan thalibul ilmi (penuntut ilmu). Oleh karena itu anak didik di sini dapat diartikan anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan obyek

utama pendidikan (dalam arti yang luas).34

C. Pendidikan Anak untuk Usia Dini (Anak-Anak)

Berdasarkan UUSPN (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional) pengertian pendidikan anak usia dini adalah “suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.

Fase pendidikan agama ada tiga:

32

Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. xii

33

Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan Di Masa Kanak-Kanak, (Jakarta: Amzah, 2007), h. xiv

34

Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 172


(33)

1. Agama pada anak-anak adalah fitrah dan amalan

2. Agama pemuda/pemudi adalah rohani dan perasaan

3. Agama orang dewasa logika dan peraturan35

Sedangkan dasar al-Hadist adalah sabda Rasulullah saw, yang berbunyi: 36

Artinya : “Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah

saw bersabda: muliakanlah anak-anak kalian dan didiklah dengan budi

pekerti yang baik”. (HR. Ibnu Majah).

Pendidikan agama untuk anak-anak mempunyai pemikiran yang terbatas dan pengalaman yang sedikit dan percobaan yang kurang. Mereka hidup dalam alam pikiran yang nyata, yang dapat mereka lakukan dengan salah satu panca indra. Mereka belum memikirkan soal-soal maknawi, soal-soal abstrak dan hukum-hukum yang umum. Bahkan mereka belum dapat memikirkan dalil-dalil akal dan teori-teori yang mendalam.

Kalau dikatakan kepada anak-anak, bahwa nasi yang kita makan dan air yang kita minum adalah pemberian Allah, maka ia percaya demikian itu tanpa dalil-dalil akal yang tersebut dalam ilmu Al-Kalam. Maka keimanan anak-anak adalah keimanan yang fitrah berdiri atas dasar perhubungan dengan alam yang nyata.

Anak-anak sangat perasa, mempunyai perasaan halus, mudah terpengaruh, hal ini dapat dipergunakan untuk memimpin anak-anak supaya mereka berkelakuan baik dan berakhlak mulia dengan menggunakan perasaan halusnya. Bukan dengan dalil akalnya. Begitu juga sifat anak-anak suka mencontoh dan menurut. Ditirunya apa-apa yang dilihatnya, dicontohkannya kelakukan orang tuanya atau teman sejawatnya.

35

Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), cet. 17, h. 8

36

Al Hafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Qozwin, Sunan Ibn Majah, Jilid II, Maktabah Dahlan, Indonesia, hal. 1211


(34)

Oleh sebab itu pendidikan agama yang akan diberikan kepada anak-anak, haruslah sesuai dengan keadaan mereka itu, sesuai dengan akal pikirannya, sesuai dengan sifat-sifatnya, sebagaimana yang telah disebutkan itu. Berikanlah pendidikan agama dalam bidang yang praktis, berupa amal perbuatan dan akhlak yang mulia dan kelakuan yang baik, sekali-kali janganlah diberikan dalil-dalil

akal dan teori-teori yang mendalam yang belum dapat dipahami oleh anak-anak.37

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Dalam proses pembuatan penulisan skripsi ini penulis mendapatkan kajian yang relevan selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas tentang Imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

Adapun skripsi yang relevan dengan kajian penulis yaitu, skripsi mahasiswi UIN Jakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) jurusan Pendidikan

Agama Islam 2012 Siti Mulayanih yang berjudul Konsep Pendidikan Akhlak Pada

Anak Didik Menurut Al-Ghazali. Kesimpulan dari skripsinya adalah pembentukan akhlak pada awal pertumbuhan dapat dilakukan dengan memberikan makanan yang baik dan halal sebagai sumber darah daging, memberikan teladan yang baik agar anak meniru perilaku yang baik, menanamkan rasa malu jika berbuat kesalahan. Sedangkan untuk menanamkan, membentuk akhlak yang baik pada anak didik dapat dilakukan dengan cara berikut. Pertama, melawan dorongan hawa nafsu, kedua mujahadah dan berusaha maksimal dengan mengerjakan perbuatan tersebut. Artinya ia haus memaksakan dirinya untuk melakuan perbuatan yang baik. Kemudian ia membiasakan perbuatan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka akhlak baik akan melekat pada dirinya.

Serta skripsi mahasiswi UIN Jakarta, Fakaultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 2012 Resnamia

Novianti yang berjudul Studi Perbandingan Konsep Pendidikan Islam menurut

Ibnu Miskawaih dan Ibnu Khaldun. Yang berkesimpulan bahwa konsep pendidikan Ibnu Miskawaih bertumpu pada terbentuknya etika dan moral yang

37

Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992), cet. 17, h. 9-10


(35)

mencerminkan jiwa seorang manusia seutuhnya. Pendidikan anak-anak disesuaikan dengan jenjang dan tingkat pendidikannya, yang dalam hal tujuan pendidikan itu sendiri didesain sedemikian rupa agar batin mendapatkan kebahagiaan sejati, yang diabadikan dalam bentuk pengabdian pada Allah SWT.


(36)

25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Perbandingan Pemikiran Imam Al-Ghazali

dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak”. dilakasanakan dari bulan Desember 2014 sampai Mei 2015. digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari text book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian.

B.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yangg dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dan dengan suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah.1 Ditunjang oleh data-data yang

diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Karena permasalahan

yang akan diteliti mengkaji sejarah maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan skripsi ini.

C.

Prosedur Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam

1

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. 22, h. 6


(37)

material yang terdapat di ruangan perpustakaan,2 misalnya berupa buku-buku, naskah, catatan kisah sejarah, dan sumber lain, yang berhubungan dengan pemikiran Imam Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya.

Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research).

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer

Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu berupa karya dari Imam Al-Ghazali Ihya Ulummuddin dan Terjemahan Ihya Ulumuddin, Ibnu Miskawaih Tazibul Akhlak dan Terjemahan Tazibul Akhlak

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa data-data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas.

2. Teknik Pengelolahan Data

Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis dalam satu pembahasan yang utuh.

D.

Pemeriksaan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data pada skripsi ini dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu:

1. Kredibilitas Data

2

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: PT Alfabeta, 2008), h. 329.


(38)

Kriteria kredibilitas melibatkan penetapan hasil penelitian kualitatif adalah kredibel atau dapat dipercaya dari perspektif partisipan dalam penelitian tersebut. Strateginya meliputi perpanjangan pengamatan, ketekunan penelitian, triangulasi (mengecek keabsahan data dengan memanfaatkan berbagai sumber dari luar data sebagi bahan perbandingan), diskusi teman sejawat, analisis kasus negatif.

2. Transferabilitas.

Dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada semua orang untuk membaca laporan penelitian sementara yang telah dihasilkan oleh peneliti, kemudian pembaca diminta untuk menilai substansi penelitian tersebut dalam kaitannya dengan fokus penelitian. Peneliti dapat meningkatkan transferabilitas dengan melakukan suatu pekerjaan mendeskripsikan konteks penelitian dan asumsi yang menjadi sentral pada penelitian tersebut. Dengan kata lain apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.

3. Dependabilitas Data

Apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Artinya apakah peneliti akan memperoleh hasil yang sama jika peneliti melakukan pengamatan yang sama

untuk kedua kalinya.3

4. Konfirmabilitas

Yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya di mana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar

hasil dapat lebih objektif.4

3

Emzir, Metodologi PenelitianKualitatif: AnalisisData (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 79-80.

4

Emzir, MetodologiPenelitianKualitatif: AnalisisData (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 81.


(39)

E.

Analisis Data

Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi yang lain yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan peneliti menyajikan apa yang sudah

ditemukannya kepada orang lain.5

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content

analysis) dalam bentuk deskriptif yaitu berupa catatan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek yang diteliti. Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian

dianalisis, dipadukan, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.6

5

Emzir, MetodologiPenelitianKualitatif: AnalisisData (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 85.

6

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. 3, h. 155-159.


(40)

29 A. Biografi Imam Al-Ghazali

Nama lengkapnya abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Thusi ibn Muhammad al-Ghazali lahir di Ghazaleh, suatu desa dekat Thusi di daerah Khurasan (Persia) pada tahun 450 H (1059 M). Ia keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz. Orang tuanya sebagai pemintal

wol yang dalam bahasa Arab disebut ghazzal. Terdapat perbedaan pendapat

tentang nama sebenarnya dari al-Ghazali ini. Pada umumnya dikenal dengan nama Al-Ghazali (satu z), nama ini berasal dari nama desa tempat ia lahir. Tetapi ia dikenal pula dengan nama Al-Ghazzali (dua z), nama ini diambil dari profesi

orang tuanya sebegai ghazzal (tukang pintal benang wol).1

Ayahnya seorang sufi yang sangat war’a yang hanya makan dari usahanya sendiri. Kerjanya memintal dan menjual wol. Ia meninggal sewaktu anaknya itu

masih kecil.2 Ayahnya tergolong orang yang hidup sederhana sebagai pemintal

benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu

memberi nasehat kepada umat.3

Al-Ghazali memiliki saudara laki-laki yaitu Ahmad. Ia dan saudaranya, oleh ayahnya dititipkan kepada seorang sahabatnya (seorang ahli tasawuf) agar pendidikan dua saudara ini diteruskan setalah wafatnya nanti, sampai semua harta yang ditinggalkannya habis semua. Kemudian, kepada keduanya diwasiatkan

ayahnya agar terus belajar semampu mungkin.4

1

Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 156-157

2

Ahamd Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta:PT Bulan Bintang, 1992), h. 97

3

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999), h. 77

4

Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidiakan Menurut Al-Ghazali,( Jakarta: Dea Press, 2000), h. 24


(41)

Ketika sufi yang mengasuh Al-Ghazali dan saudaranya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, ia menganjurkan agar mereka dimasukkan ke sekolah untuk memperoleh, selain ilmu pengetahuan, santunan kehidupan sebagaimana lazimnya waktu itu, antara tahun 465-470 H, Al-Ghazali belajar fiqh dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad al-Radzkani di Thus, dan dari Abu

Nash al-Isma’ili di Jurjan. Setelah itu Al-Ghazali kembali ke Thus dan selama tiga

tahun di tempat kelahirannya ini ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil

belajar tasawuf pada Yusuf al-Nassaj (wafat tahun 487 H).5

Pendidikan selanjutnya diperoleh Ghazali di bawah pimpinan Imam al-Haramain di Madrasah al-Nizamiyah di Nasyapur. Di sinilah ia belajar teologi atau ilmu kalam dan filsafat. Mata pelajaran yang lain yang diberikan di universitas itu ialah hukum Islam, sufisme, logika dan ilmu-ilmu alam. Bahkan al-Ghazali dapat bertukar pikiran dengan segala aliran dan agama, serta menulis berbagai buku di berbagai cabang ilmu pengetahuan, sehingga keahliannya itu diakui dapat mengimbangi gurunya. Dalam usianya yang baru mencapai 28 tahun, al-Ghazali telah menggemparkan kaum sarjana dan ulama dengan kecakapannya

yang luar biasa.6 Kemudian pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi Guru

Besar di Universitas Nidhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu ia laksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pemikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat, dan lainnya.

Para mahasiswa sangat gemar dengan kuliah-kuliah yang disampaikan al-Ghazali oleh karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang ia miliki. Para mahasiswa dan sarjana yang tidak kurang jumlahnya 300 samapai 500 orang seringkali terpukau dengan kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan masyarakat mengikuti perkembangan pemikiran dan pandangannya, sehingga dia menjadi sangat masyhur dalam waktu yang relatif singkat.

Sebenarnya al-Ghazali telah menelan seluruh paham, aliran dan

ajaran-ajaran firqah, thaifah, dan filsafat. Semua itu menimbulkan pergolakan dalam

5

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 78

6

Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 158


(42)

otaknya sendiri, karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya sehingga ia ragu kepada kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi

untuk mengetahui hakikatnya.7

Pada tahun 488 H/1095 M Al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, theologi dan filsafat), kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu Al-Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus selama kira-kira dua setengah tahun Al-Ghazali di kota ini, ia melakukan uzlah, riyadhah dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke Palestina dan di sini pun ia tetap merenung, dan menulis dengan mengambil tempatdi Bait Al-Maqdis. Setelah itu tergeraklah hatinya untuk pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya, Thus, di sinipun ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis Al-Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar Ihya’ „Ulumuddin (The Revival Of The Religion Science; Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama).

Karena desakan penguasa Saljuk, al-Ghazali mengajar kembali pada Madrasah Nizhamiyah di Nasabur, tetapi hanya berlangsung selama dua tahun,

kemudian ia kembali ke Thus (untuk mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan

sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwifin). Di kota inilah ia wafat

tahun 505 H/1111 M.8

Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan puluhan buku telah ditulisnya, karangan-karangan beliau meliputi berbagai lapangan ilmu pengetahuan antara lain; filsafat, ilmu kalam, fiqih, ushul figh, tafsir, tasauf, akhlak dan otobiografinya. Karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab. Adapun hasil-hasil karya Al-Ghazali menurut kelompok ilmu sebagai berikut:

7

Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 8-9

8


(1)

l5

Muhammad'Athiyah Al-Abrasyi, Asas -As as P okak Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 116

,t"^

16 Ibid, h. 117

l7

Ibid" h. 117

18 Ramayulis, dan Samsul Nizar, ElcstHopedia Tokah

Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching,2005), h. 5

t9

Ahmad Daud-v, Kttliah [,-ilsafat lslom, (Jakarta. Bulan

Bintang.

1986),

h.50

!I

I I

BAB

II

I I

1

A.

Fatah Yasin, Dinensi-Dimensi Pendidikan Lslaru,

(Malang:

UIN

Malang Press, 2008),

h

l6

i1 1

2 Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan

Kurikulum

di Sekolah, @andung: Sinar Baru

Al

Gensindo,

l99I),

h. 2

t

-1

Alrmad Tafsir, Metod.ologi Pengajaran. Agatna Islarn, @andung: PT Remaj a Rosdakarya, 2007), h. 6 4 Zakiah Daradj at, dl<k,

M

et

o dik Khu s u s P en gaj a r an A gam a Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008),

Cet.4,h.l72

5

Al-Rasyidin, Sam sul Nizar, I;' i.l,s alat P e.ndit{ i kan I.s I am, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. 2, h. 31-32

I

6

Muhainrin, P e n g,e m b a rtgttn Ktu' iku I um P e n tl id ifut n A ga ma

Islctnt, (Jakarta: PT Ralawali Persada, 2009). h. 6-8 I

7

Al-Qur'an

surat An-Nahl ayat 125, Yayasan Penerjemah dan Penafsir aI -Qur'an, Depag RI, Al-Qu r' an dnn Terj emahannya, (Semarane: CV. Toha Putra. 1989).

h.

421.

?

8

Al-Qur'an

surat

Ali-Imron

ayat 104, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur' an, Depag RI, Al-Qur' an dan Terj emahannya, (Semarang: CV. Toha

hrtra,

1989). h. 93.

9

Al-Qur'an

surat An-Tahrim ayat 6, Yayasan Penerjemah dan Penafsir al-Qur' an, Depag F.l, Al- Qur' an dan Te rj emahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 951.

t I l

10

Zaklah Daradj

at

dlck,

M

et o d ik K hu s u s P e n gaj ar an Agam a Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2008), Cet.4,

h.6344

11 Zai:notddin, dhk, Seluk Beluk Pendidikan dori Al-Ghazali,

(Jakarta: Bumi Aksara,

l99l),h.97

I


(2)

t3

Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan

Akhlak,Terj.

Helmi

Hidayat, (Bandung: Mizan, 7997\. Cet. 3.

hal56

i,L/

t4

Abfi HArnid al-Gazali,IayL-d' 'Lilfint al-Kutub al-Arab, 1987),

h.52.

ud-I)in, Jilid

III,

(Dar Ihya

l5

Zainudin,

dkk,

Se/afr

Belttk

Pendidiktm

dari

Al-Ghazali^

(Jakarta: Burni Aksara, 1991 ),

h

102- 103

16

Imam

Malik

Ibn

Anas, Al-lv{uw,athn,

(Danrl lfaq

Al-Jadidah, 1993), h. 789

17

Al

Hafidz

Abi

Abdillah

Muhammad

Ibn

Yazid

Al-Qozwin, Srutan

lbn

A.{ajah,

Jilid II,

(Indonesia: Maktabah Dahlan), h.

12ll

l8

Zakiah D aradj at, dkk, 1v4 e t o tl ik K hu s u,s P e n ga j n r an A ga m a

Islam, (Jakarta. Bumi Aksara, 2008),

Cet.4,h.72

T9

lbid,., h, 655

20

Abudin Nata, I; i I s af at P en tl iclikan I s la m, (Jakarta: Gaya

Media Pennata, 2005 ), h.212

21

Zakiah Daradjat, dkk, A,fetoclik Khu.s'u,s' I'engalaran Agama Islatn, (Jakarla: Bumi Aksara,2008), Cet.4-

h.172

22

Nur Uhbiyati.

llnnt

Pendidikan Lslctn, (Bandturg: Pustaka Setia. 1998). h. 30

23

Zakiah Daradjat, fimtt Pendidikan Lslonr, (Jakarta: Bumi

Aksara. 1996),

h

30 I

I

24 Sekolah, (Jakafia: Ruharna, 1995).

Zakiab Daradjat, Pendidikan

lslant

35

dalam

Keluarga

dan

25

Sutarj o Adisusilo, J .R. P ern b e laj ar an N i.l a i- K a rakte r, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesad4 2012),h.5A

26 Aclunadi, I deo I o g i P en d id i.kan I s I arn, (Yo gl,akar1a: Pustaka Pelajar, 2005), h. 101

27 Aclrrn Pelajar. 2005), h. adi, I tleo I o gi I' 95 -9'rend,tdikan I s lant, (Yo gyakarta; h-rstaka

28

Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendiclik Anak Perernpuan cli

Ifiusa Kanak-Kanak, (Jakarta: Arnzah, 2007)- h.

xiii

I

29

Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam

Islan,

terjemahan darl Tarbiyatul Awlad

Fil Islam,oleh

Jamaludin

Mi{,

(Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Cet. 3,

Jilid

I, h.7.

30

Dalam buku Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam karangan Drs Tohirin, Psikologi perkembangan

individu memaparkan enarn tahap perkembanean individu

ry

\

I 1

1,

I

I


(3)

tahap-tahap itu adalah fase bayi, anak-anak, remaj4 dewasa

awal, setengah baya, dan fase tua

31 Hannan Athiyah Ath-Thuri, MendidikAnak Perempuan

di

Ma,so Ranuk- Kanak. (J akarta: Amzah. 2007). h.

xii

32

Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan

di

Mas a Kan ak- Kanak, (I akafiz: Arnzah, 2007 ), h.

xiv

I

-1-1

Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidilan Islam, (Jakarta: Pustaka

Kaiian Islam

FAI

UHAMKA

2009). h. 172

I

t

i

34 Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama,

(Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1992\. Cet. 1?, h. 8 35

Al

Hdrdz

Abi

Abdillah

Muhammad Sunan

lbn

Majah,

Jilid tr,

(Indonesia:

t2tt

Ibn

Yazid

Al-Qozwin,

Maktabah Dahlan), h.

36 Mahmud Yunus, Metodik

fltusus

Pendidikan Agama,

(Jakarta: PT Hidakarya Azung. L992).Cet. 17. h. 9-10

\

\

BAB

III

1

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006 ), Cet. 22, h. 6

2

Sngiono,

bfetode ]'enelitian

Pcnclitlikcn

Pendekatan

Kuantitatif,

Kualitatif,'

dan

R<*.D, (Bandung:

PT

Althbeta,

2008),

h.329.

J

Emnr,

Metodologi Penelitian

Kualitatif:

Analisis

Datc

(lakarta: Raia Grafindo Persada,

201l),

Cet.2,h.

79-80.

4

Emzir,

lvfetodologi

Penelitian

Kualitanf: Analisis

L)ata

(Jakarta: Raia Grafindo Persada.20l 1). Cet. 2. h. 81.

5 Emzir, M et o do logi P enelitian Kualttatif: Analis is Data

(Jakarta: Raja Grafindo Persada 2011),

Cet.2,h.

85. 6

Burhan Bungin, Penelitian

Kualitatif:

Komunikasi, Ekonomi,

Kebijakan

Publik,

dan

Ilmu

Sosial Laitrnya,

(Jakarta: Kencara, 2008). Cet. 3, h. 155-159.

BAB

I\T

1 Ridjaltrddin F.N, Filsafat Pendidikan Islarn, (Jakarta: Pustaka

Katian Islam

FAI

UIIAMKA.2009).

h.

156-157

2 Alramd Daudy, Kuliah Filsalitt Islam, (Jakafia:PT Bulan

Bintane.

1992\.h.97

a

J Hasyirnsyah Nasution, I,.il,tctfitt lslam, (Gaya Media Pratama.

Jakarta.

1999\.h.77

4 Fathiyah Hasan Sulaiman, Si,stern Pendidiakan lv.Icnurut

Al-()hazali,( Jakarta: Dea Press. 2A00),h. 24

til

^il,

5 Hasyirnsyah Nasution. l,'ilsafot

lslam,

(Jakarta: Gaya Media

Pratama, 1999), h. 78

I

I I

I

I

I

I

I

I

I


(4)

6 Ridjaluddin F.N, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka

Kaiian Islam

FAI

UIIAMKA.

2009). h. 158

tA

,|

Zainuddin, dld<, Seluk Beluk Pendidikon dari Al-Ghazali,

(Jakarta:Bumi Aksara, 1991), h. 8-9 I

8 Hasyimsyah Nasution" Fil,safat Isl.ant.^ (Jakarta: Gaya Media Pratama. I 999). h. 7 8-7 9

9 Zainuddin, dld<" Seluk Beluk Pendidikon dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),

h.19-21

l0

Imam Abu

llamid

Muhammad bin Muhamrnad al-Ghazali,

Ihya

'ulumuddin, (Darul

Filffi), Jilid

3, h. 66

1t Zairruddin, dkk, Sefuk Beluk Pendidikan dari Al-(ihazali,

(Jakarta:

Buni

Aksara,

l99l)

h. 97

T2 Zainuddin, dkJr-, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali,

(Jakarta:Bumi Aksara.

l99l).

h. 98

l3

Hasan Basri, [;il,vafat Pendidikan ]slaru, @andung: hrstaka

Setia,

2009),h.228

t4

Al-Ghazali,

Ihya Al-Ghazali,

Terj.

Ismail

Ya'kub,

(Jakarta: Cv. Faisan. 1986)^

Jilid IV. h. 193

15 rbid, h.

t93

l6

M.

Abul Quasem, Op.Cit.., h. 102-103 17 Al-Ghazali . Op.Cit, h. 797

l8

Zaenuddin,

Op.Cit,h. 166

l9

Al-Ghazali, Op.Cit, h. 197 20

Ibid,h.l95

2t

Ibid

22

Ibid,h.

r94

23

Ibid

24 Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikon Islam

Di

Zaman Java, (Jakarta:Mutiara. 1976). h. 38

25

Ibid

26

Ibid,h.196

27

Ibid,h.l95-196

28 Nashruddin Thaha, Tofuih-Tokoh Pendidikan Islam

Di

Zaman Jayo, (Iakarta: Mutiara, 1976), h. 38

I

I

29

Ibd,h.197

30 Al-Ghazali

,Op.

Cit,h.

196

31

Ibid

IZ

rbid

JJ

Ibid

34

Ibid

35

Ibid

36

Ibkt

l1

37

Ibid

\/"tx

t

I

I


(5)

38

lbid

,/\)

39

lbid

VJ

40

Ibd,h.197-198

4t

M.M

S1,arif, Pctra F'ilosof Mustrn, (Bandung: Mizan ,1994), Cet. VII, h, 84

42

M.M.

Syarif , P ara l; i lo s of' lv{uslln. ( Bandung : Mizan, 199 4\, Cet.

VII,

h. 84

43 Hasimsyah Nasution,

Op.Cit.,

h. 56 (dikutip dari Muhammad

Yusuf Musa,

Falsafah

Al-Akhlak

Fi

Al-Islam

dan

Ibrahim Zaky

Khursyd

Dairah

Al-I\fa'arif

Al-Islamiyah

44 Ahnrad Daudy, Kuliah

bilsaibt

Islcrm, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1986), h. 56

45 Alrmad Daudy, Kuliah l;ils'afut lslam, (Jakarla: Bulan

Bintang, 1986), h. 56-57

46 Sudarsono, Etiku Lslaru Tentang Kenakalan Rema.1cr, (Reneka

Citra, 1991), h. 118-119

47 Hasarr Basri, F' i l.: afitt I'j en di d ik a n I s I am, /Bandurg: Pustaka Setia, 2009

),h.228

48 Ibnu Miskawaih, Op. C it, h. 7 6 49

Ibid,h.80

50

Ihid.h.77

51 Ibid., h. 77 -78 J

I

52

Ibd,h.7g

53 1bid,h.'76

54

rbid.h.79-80

55

Ibid,h78-79

56

Ibkl,h.79

57 Ibtd.

58

Ihid.h.76-77

s9

Ibidh,7l

60

Ibid

61

Ibid,h.7g

62 Ibid.

63

tbid

64

Al-Ghazali,

Ihya

Al-Ghazali

CV.

Faizin,

1986)

Jilid

IV,

h

Terj 193

Isrnail Ya'qup,

(Jakarta:

I

65

Ibid,h197

66

Ibnu Miskawaih,

Tahzibul

Akhlak,

Terj. Hehni

Hidayat,

(Bandung: Mizan, 1998) Cet. IV., h. 76

i\,

\

67 Sudarsono, Etika Islaru Tentong Kenokalan llemala, (Jakarta:

Bina

Aksara,

1983)

h. 132

I

I I

I

\

\


(6)

68

Abdullah Nashih Ulwan,

Pemeliharoon

Ke,sehatan Jiwo

,4rak, (Bandung: Remaja Rosdakary a, 7996), Cet,

III,

h. 148

t)

69 Al-Ghazali, Op.

Cit,h

195

70 Sudarsono, Op.

()it,h

142

7t

Al-Ghazali, Op.

Cit,h

l7 9

72 Fatlriyah Hasan Sulaiman,

Alu'un-Alirun

dalotn l,endicl*an,

Studi

Tentang

Aliran

]'}enclidikan iVfenurut Al-Gha-zali

Dimas, Semarang. 1993, h 65

l3 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosja/ Anak, @andung:

Remaja Rosda Karya, 1996), Cet.

[L

h

. 101-102

\

14

Ibnu

Mjskawaih,

T'cthzibttl

Akhlak.

(1-erj Helmi

Hidayat),

Mizan, Bandung, Cet.

IV,

1998 h 77-18

75

M. Abul

Quasern,

KAMIL,

Etika lfiaiemuk rJi dcrlam

Islam-(Bandung: PustakaBandturg, 1988),

h 2l

I

'76 Hasan Ashari., Op.

Cit,hBl

vv

-y