37
BAB III KEHIDUPAN UMAT HINDU
A. Grhasta Asrama
Umat Hindu mengenal tahapan-tahapan kehidupan yang harus dilalui manusia untuk mencapai tujuan tertinggi dalam kehidupan
beragamanya. Tahapan atau tingkatan kehidupan ini adalah Catur Asrama. Catur berarti
“empat” dan Asrama berarti “usaha orang”. Secara seumantik, Catur Asrama diartikan sebagai empat tingkatan hidup manusia.
1
Susunan tingkatan Catur Asrama
adalah sebagai berikut: 1. Brahmacarin Asrama
Pada tingkatan hidup Brahmacarin, seorang dwija
2
akan meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap sebagai siswa di kediaman seorang guru untuk
mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainnya. Pada tingkatan ini, yang mendapat prioritas utama adalah dharma. Walaupun demikian, masalah
artha mencari kebendaan, kama kesenanganhawa nafsu, dan moksa tetap
menjadi tujuan hidup. 2. Grhasta Asrama
Grhasta Asrama adalah masa hidup berumah tangga. Menurut persepsi
Hindu, yang disebut sebagai keluarga ialah seorang pria dan seorang wanita yang
1
I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, Surabaya: Paramita, 2006, Cet. 5, hlm. 393-394.
2
Dwija adalah umat Hindu yang telah ditahbiskan melalui upacara Upanayana, di mana seorang anak resmi sebagai anggota kasta dan untuk pertama kali diterima masuk berguru pada
seorang guru spiritual lembaga pendidikan asrama, dilaksanakan sekitar usia 7-8 tahun. Djam’annuri, ed., “Agama Hindu” dalam Agama-agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988, hlm. 71-72. Lihat juga G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra,
Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003, hlm 17 dan 71.
38
telah melaksanakan upacara perkawinan yang selanjutnya hidup bersama dan umumnya mereka kemudian tinggal di dalam sebuah rumah. Di dalam rumah
itulah mereka bersama-sama membina rumah tangga dalam rangka mencapai tujuan hidupnya meliputi: dharmasampatti
bersama-sama mewujudkan
pelaksanaan Dharma, praja melahirkan keturunan, dan rati menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya.
3
Pada tingkatan ini dimulailah pelaksanaan kewajiban seseorang terhadap keluarga, masyarakat dan kewajiban
terhadap para dewa. Dalam tahapan ini, yang menjadi prioritas utama adalah Dharma namun pelaksanaan dharma tersebut disalurkan melalui artha dan kama.
Menurut ajaran Hindu, kebahagiaan hidup tidak mungkin tercapai bila artha dan kama tidak mendapat perhatian yang sebaik-baiknya.
4
3. Vanaprastha Vanaprastha
adalah tingkatan hidup melepaskan diri dari kehidupan keduniawian dengan menjalani hidup di hutan. Tingkatan ini adalah tingkatan
yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibannya diserahkan kepada anak laki-laki. Pada tingkatan ini yang menjadi
prioritas utama adalah mengabdikan diri secara keagamaan guna mencapai moksa. 4. Sanyasa
Sanyasa adalah tingkatan tertinggi di mana seseorang telah mencapai moksa, yakni bersatunya Atma dan Brahman.
5
Moksa ini dapat dicapai pula di
3
I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, Surabaya: Paramita, 2006, Cet. 5, hlm. 394.
4
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
5
Moksa disebut juga mukti, tujuan terahir umat Hindu, di mana terputusnya siklus kelahiran dan kematian, juga hilangnya ke-aku-an ahamkara. I Wayan Maswinara, Konsep
Panca Sraddha , Surabaya: Paramita, 1996, hlm. 198-199.
39
waktu seseorang masih hidup, di mana ia telah melapaskan diri dari segala keterikatan duniawi.
6
Menurut A. A. Gede Raka Mas, Yadnya Sesa tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan Gryhasta Asrama karena di tingkatan hidup Gryhasta
Asrama-lah Yadnya Sesa mulai dilaksanakan.
7
Sebagaimana tertulis dalam kitab Manawa Dharma Sastra
Bab III.67, yang berbunyi: Waiwahike gnau kurwita
grhyam karma yathawidhi panca yajna widhanam ca
paktim canwahikim grhi
Artinya: “Dengan menyalakan api suci dalam upacara perkawinan seorang
kepala rumah tangga akan melakukan sesuai dengan hukum-hukum yang ada upacara keluarga dan upacara Panca Yadnya dan dengan
demikian ia memasak nasinya sendiri.”
8
A. A. Gede Raka Mas menafsirkan sloka di atas bahwa seseorang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Yadnya Sesa dikarenakan ia memasak
nasinya sendiri. Jika tidak memasak, misalnya memakan makanan hasil masakan orang lain, maka ia tidak bertanggung
terhadap pelaksanaan Yadnya Sesa tersebut. Adapun wewenang pelaksanaannya dilimpahkan kepada siapa saja
anggota yang tinggal dalam satu atap. Baik ibu, ayah, anak, keponakan ataupun pembantu, kewajibannya adalah sama. Intinya, makanan yang di masak di suatu
6
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
7
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007
8
G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003, Bab III.67, hlm.150.
40
rumah keluarga Hindu tidak boleh dimakan atau dihidangkan kepada siapa pun sebelum di-Yadnya Sesa-kan.
9
Dituturkan dari pengalaman pribadi A. A. Gede Raka Mas, bahwa dahulu semasa duduk di tingkat Sekolah Dasar, ia pulang ke rumah pukul 12.30 dan
sebelum makan siang ia membantu ibunya mempersiapkan Yadnya Sesa. Namun berbeda dengan kejadian esok harinya, di mana ia sudah sampai di rumah pukul
10 pagi dan merasa lapar. Ibunya sudah selesai memasak tetapi karena merasa letih maka masakan yang sudah jadi belum sempat di-Yadnya Sesa-kan. Melihat
anaknya lapar maka si ibu pun menyuruhnya melaksanakan Yadnya Sesa itu sendirian. Demikianlah anak-anak dalam keluarga Hindu belajar mengenai
Yadnya Sesa dari pengalaman pribadinya masing-masing. Adapun saat ini, A. A. G. Raka Mas mengakui bahwa Yadnya Sesa di rumahnya justru tidak lagi menjadi
tanggung jawab ia maupun istrinya karena wewenangnya telah ia limpahkan kepada pembantu yang sudah lebih dahulu diajarkan mengenai tata cara
pelaksanaan Yadnya Sesa tersebut. Mengapa demikian? Karena meskipun biaya keperluan dapur dan hak tuan rumah ada padanya, baik ia maupun istrinya jarang
ada di rumah. Maka mustahil anak-anaknya menunggu dengan perut lapar sampai orang tua mereka tiba di rumah dan melaksanakan ritual tersebut. Dengan
demikian, masalah siapa yang akan melaksanakan Yadnya Sesa tersebut kembali kepada kesadaran nurani masing-masing anggota keluarga di rumah tersebut.
9
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
41
Yang lebih utama lagi, pelaksanan Yadnya Sesa tersebut tidak boleh dilepaskan dari sraddha keimanan dan ketulusan bhakti cinta kasih.
10
B. Sraddha Keimanan