Makna Yadnya Sesa Bagi Kehidupan Keseharian Umat Hindu : Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere,Depok

(1)

(Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok)

S K R I P S I

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat

Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam

Disusun Oleh:

Endah Humaidah

102032124625

Program Studi Perbandingan Agama

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah

J A K A R T A

2 0 0 8


(2)

KESEHARIAN UMAT HINDU

(Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok)

S K R I P S I

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat

Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam

Oleh:

Endah Himaidah

102032124625

Diperiksa dan Disetujui,

Di Bawah Bimbingan

Dra. Hj. Hermawati, M.A

NIP. 150 227 408

Program Studi Perbandingan Agama

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah

J A K A R T A

2 0 0 8


(3)

Skripsi yang

berjudul:

MAKNA YADNYA SESA BAGI KEHIDUPAN KESEHARIAN UMAT HINDU

(Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok)

telah diujikan dalam Sidang

Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20

Februari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar

Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Perbandingan Agama.

Jakarta, 20 Februari

2008

Sidang

Munaqasah,

(Dr. Hamid Nasuhi, M.A.)

(Maulana, M.A.)

NIP. 150 241 817

NIP. 150 293 221

A

n

g

g

ot

a,

(Drs. H. Roswen Dja’far)

(Dra. Siti Nadroh,

M.A)

NIP. 150 022 782

NIP. 150 282 310

Pemb

imbin

g,


(4)

NIP. 150

227 408

i

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu penulis baik secara moril maupun materil selama menempuh perkuliahan pada jenjang Strata Satu ( S1 ) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis yakin tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik yang bersifat pribadi maupun kolektif, tidaklah mungkin skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis bermaksud mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada:

1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dra. Ida Rosyidah, M. A dan Bapak Drs. Maulana, M. A. selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan banyak pengarahan dan motivasi hingga akhir studi penulis.


(5)

Marhamah, orang tua penulis yang sangat banyak memberikan bantuan, doa dan fasilitas, baik moril maupun materil.


(6)

6. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya pengajar Jurusan Perbandingan Agama yang dengan ikhlas mentransfer ilmu pengetahuannya yang tiada ternilai harganya.

7. Kepada Bapak Drs. Anak Agung Gede Raka Mas sebagai dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) yang telah banyak meluangkan waktunya untuk wawancara.

8. Pimpinan dan pegawai Perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Pimpinan dan pegawai Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dalam melengkapi referensi penulis.

10. Pimpinan dan pegawai Akademik Pusat dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

11. Keluarga besar, Kakak-kakak dan adik-adikku tersayang, yang telah memberikan motivasi dan kehaangatan dalam keluarga.

12. Semua teman-temanku di Jurusan Perbandingan Agama “Angkatan 2002” terutama sahabat-sahabat terdekatku, Inna Muthi’ah R, Ida Farida, M. Sahal, Helmi, Abew, Dini, dan Phei, Eha, teman berbagi suka dan duka, tempat mencurahkan isi hati dan motivator terbaik.

13. Serta segenap pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas segala bantuannya.


(7)

Mudah-mudahan semua amal baik mereka diterima oleh Allah swt. dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari-Nya. Selain itu, melalui kajian yang sederhana ini penulis tentunya juga berharap dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi umat Hindu dan para mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama yang memerlukannya. Demikian pula melalui ajaran Yadnya Sesa itu penulis juga berharap agar kekuatan moral yang ada didalamnya bisa membentuk generasi bangsa yang baik serta bertanggung jawab. Akhirul kalam, ibarat tiada gading yang tak retak, mudah-mudahan skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin.

Jakarta, 3 Desember 2007


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KORBAN SUCI A. Sekilas tentang Yadnya ... 12

1. Pengertian Yadnya ... 12

2. Bentuk Yadnya ... 15

a. Panca Yadnya ... 15

b. Sarana Yadnya ... 16

3. Pelaksanaan Yadnya ... 16

a. Nitya Karma ... 16

b. Naimitika Karma ... 16

B. Yadnya Sesa ... 17

a. Pengertian Yadnya Sesa ... 17

b. Fungsi dan Tujuan Yadnya Sesa ... 19

c. Tata Letak Pelaksanaan Yadnya Sesa ... 23


(9)

e. Doa Yadnya Sesa ... 25

C. Makanan Persembahan (Banten) ... 31

D. Filsafat Bhuta Kala ... 34

BAB III KEHIDUPAN UMAT HINDU A. Grhasta Asrama ... 37

B. Sraddha (Keimanan) ... 41

C. Bhakti Marga (Cinta Kasih) ... 43

D. Masyarakat Hindu Cinere dan Yadnya Sesa ... 45

BAB IV MAKNA YADNYA SESA A. Nilai Filosofis Yadnya Sesa ... 49

B. Makna Agamis Yadnya Sesa ... 54

C. Peranan Yadnya Sesa dalam Pertumbuhan Moral Spiritual ... 58

D. Macam-macam Yadnya Sesa Berdasarkan Makanan Persembahannya ... 61

1. Segehan Kepel ... 61

2. Segehan Sasah ... 63

3. Segehan Agung ... 64

4. Segehan Siban ... 65


(10)

E. Analisa Kritis ... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran-saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam ajaran Hindu, manusia selalu menginginkan kehidupan yang penuh dengan kedamaian. Untuk mencapai kehidupan yang penuh dengan kedamaian, antara kehidupan rohani dan jasmani harus selalu seimbang. Tetapi kenyataannya, sering dialami sekarang ini manusia selalu merasa tidak bahagia, sebagian besar hidupnya selalu digunakan untuk mengejar materi semata. Padahal ajaran Hindu sudah berulang kali menekankan bahwa untuk mencapai kebahagiaan hidup setiap perbuatan harus dilandaskan moral agama, salah satunya adalah melalui upacara Yadnya.

Alam semesta dengan segala bentuk ciptaan sebenarnya telah diciptakan melalui proses Yadnya. Karena itu semua yang ada di alam semesta ini juga ditopang oleh Yadnya. Artinya tanpa Yadnya tidak akan pernah ada kehidupan, demikian pula tanpa Yadnya alam semesta ini pasti mengalami kehancuran. Pengertian Yadnya itu sendiri adalah pengorbanan yang tulus dan suci.

Umat Hindu diajarkan percaya dengan Panca Yadnya, yaitu: Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya serta Pitra Yadnya. Melalui Panca Yadnya tersebut, umat Hindu diharuskan selalu mengingat kelima unsur yang telah menyebabkan keberadaan manusia di dunia. Hal-hal yang berkaitan dengan Panca Yadnya tersebut antara lain: melalui ajaran Dewa Yadnya, sebagai manusia mereka selalu diingatkan untuk percaya serta berkewajiban untuk


(12)

memuja Tuhan, melalui upacara serta perenungan Japa mantra sesuai dengan yang diajarkan oleh agama.

Kemudian melalui upacara Butha Yadnya mereka juga selalu diingatkan untuk senantiasa sadar terhadap alam dan lingkungan tempat manusia berpijak. Mereka juga diajarkan untuk saling menghormati umat lainnya, sebab manusia tidak hidup sendirian di tengah-tengah alam semesta ini.

Melalui ajaran Rsi Yadnya, mereka juga disadarkan serta diajarkan untuk 1

selalu ingat serta menghormati para Rsi dan para guru, karena dengan keberadaan beliau-beliau itulah mereka akhirnya bisa mendapatkan ilmu pengetahuan sehingga pikiran manusia yang biasanya selalu diliputi oleh kegelapan berubah menjadi terang.

Kemudian melalui upacara Manusa Yadnya, umat Hindu senantiasa diingatkan agar mulai sedini mungkin diajarkan patuh terhadap agamanya dengan pelaksanaan berbagai macam kegiatan upacara keagamaan. Bahkan semenjak bayi semasa dalam kandungan, kemudian lahir, dewasa, sampai meninggal dunia semuanya diwujudkan dengan upacara. Demikian pula makna yang terkandung di dalamnya, yang mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan terhadap sesamanya, hidup tolong-menolong dalam bermasyarakat.

Terakhir, melalui upacara Pitra Yadnya, manusia juga diingatkan bahwa kehidupan di dunia ini tidak ada yang kekal. Segala sesuatu yang pernah lahir semuanya akan meninggal dan kembali ke asalnya. Sebagai manusia yang sempurna, mereka diwajibkan untuk menjaga kehormatan serta melindungi orang

iii.


(13)

tuanya. Salah satu wujud bakti si anak terhadap orang tuanya adalah melaksanakan upacara Ngaben, untuk membantu mengembalikan jasad orang tuanya ke asalnya, agar jiwanya menjadi tenang.

Oleh sebab itu, salah satu kegiatan umat Hindu di dalam menghayati agamanya adalah melalui pelaksanaan Yadnya Sesa. Jika di Bali kita mengenal

istilah Yadnya Sesa, maka di India dikenal istilah Prasadam, yaitu menikmati

makanan hasil atau setelah dipersembahkan ke hadapan-Nya.2 Di beberapa tempat

di Bali, Yadnya Sesa diterjemahkan juga dengan Meseiban atau Mejotan.3

Yadnya Sesa adalah satu Yadnya dari sekian banyak Yadnya yang ada dalam agama Hindu, Yadnya Sesa merupakan Yadnya sehari-hari yang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Sehabis memasak para ibu keluarga Hindustani mempersembahkan makanan yang tersaji dalam sebuah bokor atau nampan di altarnya kemudian barulah mereka menikmati hidangan bersama keluarganya. Ada semacam keyakinan dari para keluarga Hindu di India

bahwa menikmati prasadam akan mendapat berkah dari-Nya.4 Yadnya Sesa

menjadi ritual sederhana namun sangat penting. Hal ini diterangkan di dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III. sloka 69 dan 75 yang mengatakan:

“Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa

2

Niken Tambang Raras, Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), Cet. 1, hlm. 1.

3

Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm.40.

4


(14)

dihapus dengan melakukan Yadnya Sesa.”5 Dan diterangkan pula di dalam kitab

suci Bhagavat-gita III.12-13 yang memuat sloka berikut:

Istan bhoan hi vo deva dasyante yajna-bhavitah tair dattan apradayaibhyo yo bhunkte stena eva sah Yadnya sishtasinsah santo mucnyante sarva kilbishail bhunjate te tv agham papa ye pacanty atma karamat

Artinya:

“Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa karena Yadnya-mu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi Yadnya sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa Yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya

makan dosa.” 6

Karena itu, penting sekali melakukan Yadnya Sesa meski nampaknya sederhana. Sepintas umat Hindu tampak sangat patuh untuk melaksanakan segala bentuk upacara sesuai dengan yang diajarkan agamanya. Tetapi apabila kita bercermin lebih dalam, upacara yang mereka laksanakan itu terkesan sangat semu. Contohnya: mereka pada umumnya merasa bangga karena telah dapat melaksanakan upacara yang telah dibentuk oleh tradisi melalui peninggalan para leluhurnya. Tetapi sangat disayangkan karena mereka pada umumnya tidak mengerti makna yang tersirat di dalam upacara tersebut. Sehingga timbul kesan arogan yang hanya mementingkan kulit luarnya saja. Mereka kebanyakan hanya mementingkan nilai kemegahan dari upacara tersebut, bukan dari nilai spiritualnya. Mereka lebih menekankan besarnya biaya yang harus dikeluarkan

5

G. Pudja dan Sudharta, Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III. 69, hlm. 151.

6


(15)

sehingga upacara yang di laksanakan kelihatan lebih besar dan megah, dan tidak ada orang lain yang dapat menandinginya. Padahal ajaran agama Hindu selalu menekankan untuk mencari makna yang terkandung di dalam pelaksanaan upacara itu sendiri, rasa ketulusan serta wujud bakti persembahannya, bukan kemegahannya.

Perlu juga dimaklumi bahwa Yadnya itu bukan sistem barter (pertukaran barang atau bisnis), maksudnya adalah jika seseorang beryadnya besar-besaran dengan nilai mata uang sekian, maka Tuhan memberikan imbalan materi dengan nilai mata uang dua kali lipat dari itu. Bukan itu tujuan dari Yadnya. Yadnya Sesa

yang dilakukan setiap hari secara perlahan-lahan mendidik seseorang

menumbuhkan rasa kasih terhadap alam lingkungannya, kasih terhadap penciptanya dan juga kasih terhadap sesamanya. Secara tidak disadari seseorang ,melangkah perlahan-lahan menuju landasan hidup spiritualitas. Seandainya saja langkah pertama ini diimbangi dengan ilmu pengetahuan rohani pada diri setiap

individu, tentu Yadnya sederhana yang berupa Banten Jotan tersebut tidak

membuat seseorang merasa terpaksa menghaturkannya karena tradisi turun menurun.

Di samping itu pula upacara Yadnya Sesa kelihatannya sangat rumit dan mengandung makna yang sangat mendalam serta masih banyaknya orang-orang yang belum mengetahui dan memahami tentang upacara Yadnya Sesa tersebut, maka penulis menjadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh dan membahasnya. Di samping itu, karena upacaranya mengandung makna yang sangat sakral, maka alangkah baiknya bila tata cara pelaksanaannya dipelajari secarta mendalam


(16)

sehingga dengan demikian penulis yakin ada sesuatu yang akan ditemukan sehingga sesuatu itu bisa dituangkan ke dalam nilai-nilai pendidikan Agama Hindu. Penulis juga menyadari sulitnya mempelajari moral apa yang terkandung di dalam Yadnya Sesa itu.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah tentang Makna

Yadnya Sesa Bagi Kehidupan Keseharian Umat Hindu (Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok). Penulis memilih mengadakan penelitian di wilayah Cinere, Depok, berkaitan dengan makanan persembahan (Banten) Yadnya Sesa yang dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Cinere yang digolongkan dalam jenis Segehan Saiban. Namun penulis perlu untuk merumuskan penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana umat Hindu khususnya umat Hindu Cinere, memaknai Yadnya Sesa dalam kehidupan kesehariannya?

2. Bagaimana pelaksanaan Yadnya Sesa dapat dijadikan sarana pendidikan untuk menumbuhkan moral yang baik?

3. Masih relevankah upacara Yadnya Sesa itu dilaksanakan, bila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari pada zaman millennium yang serba modern ini?


(17)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memenuhi persyaratan ujian Munaqosah dalam rangka mencapai gelar sarjana Strata 1 (S1) pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menambah wawasan pengetahuan penulis mengenai tema yang berkaitan yakni makna Yadnya Sesa, untuk mengenal serta memahami kehidupan beragama umat Hindu,

serta untuk memberikan sumbangan pengetahuan bagi yang

membutuhkan.

D. Metode Penelitian

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan

oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu: Buku “Pedoman

Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, yang diterbitkan oleh UIN Press tahun ajaran 2006/2007.

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis mengunakan metode-metode sebagai berikut:


(18)

1. Metode dan Alat dalam Pengumpulan Data

a. Studi kepustakaan (Library Research), yakni penulis berusaha membaca,

menelaah, dan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan penelitian ini dari literatur-literatur yang menunjang.

b. Penelitian lapangan (Field Research), yakni penelitian yang penulis

lakukan lebih mendalam dalam penulisan skripsi ini, tujuannya adalah mencari data-data yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi. Dengan metode ini, penulis mendapatkan informasi dan pemahaman secara langsung yang signifikan.

c. Teknik Observasi (Pengamatan)

Kelurahan Cinere terletak di Kecamatan Limo kota Depok dengan luas wilayah seluruhnya 6 ha/m2. Batas-batas kelurahan ini sebagai berikut:

Sebelah utara : Kelurahan Pangkalan Jati, Limo

Sebelah selatan : Kelurahan Limo, Limo

Sebelah timur : Kelurahan Gandul, Limo

Sebelah barat : Kelurahan Pondok Cabe Ilir, Pamulang

Populasi masyarakat Cinere berjumlah 22. 748 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 12. 231 jiwa dan perempuan sebanyak 10. 517 jiwa. Jumlah ini meliputi masyarakat yang menganut agama Islam sebanyak 16. 985 jiwa, beragama Kristen sebanyak 2. 587 jiwa, beragama Katholik sebanyak 1. 740 jiwa, beragama Hindu sebanyak 768 jiwa dan beragama Budha sebanyak 668 jiwa. Dari keseluruhan jumlah Kepala


(19)

Keluarga di Cinere yang berjumlah 9. 627 Kepala Keluarga, masyarakat

yang beragama Hindu terdiri dari 55 Kepala Keluarga.7

Bentuk topografi tanah yang berupa dataran rendah menjadikan kelurahan Cinere sesuai untuk kawasan perkantoran dan pertokoan/bisnis. Kegiatan sosial keagamaan masyarakat Hindu tidak berpaling dari kegiatan-kegiatan di Pura setempat yakni di Pura Amrta Jati yang berlokasi di Jalan Punak no. 33 Pangkalan Jati. Namun mengingat Yadnya Sesa merupakan ritual harian yang dilaksanakan di rumah masing-masing, maka observasi dilakukan penulis dengan mengunjungi rumah-rumah masyarakat Hindu di Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Depok untuk mendapatkan informasi

secara langsung yang signifikan.8

d. Teknik Wawancara

Melalui teknik ini, penulis mengunakan komunikasi langsung atau

wawancara (interview), wawancara ini dilakukan secara mendalam (in

depth interview) dengan para informan tentang data-data yang diperlukan yang sesuai dengan judul skripsi. Dalam wawancara ini, penulis telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang ada kaitannya dengan judul skripsi, dan di samping itu ada pula pertanyaan-pertanyaan yang tidak tertulis.

2. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Data yang sudah terkumpul kemudian diklasifikasikan untuk disesuaikan dengan masalah yang sedang dibahas. Adapun metode yang digunakan dalam

7

Data diambil dari salinan dokumen kantor Kelurahan Cinere, Depok, Lampiran II, hlm. 2 dan 25.


(20)

pengolahan data dan menganalisa data yaitu menggunakan pendekatan fenomenologis. Sifat pokok pendekatan fenomenologis ini adalah membiarkan realita (fakta), atau kejadian, atau keadaan, atau benda berbicara sendiri dalam

suasana intention.9 Tujuannya ialah untuk mencari pengertian-pengertian atau

untuk memahami konsepsi-konsepsi Yadnya Sesa dari sudut pandang penganut Hindu.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang apa yang akan diuraikan dalam skripsi ini, maka perlu penulis kemukakan susunan atau sistematika penyusunan sebagai berikut:

BAB I Mencakup lima pasal pembahasan yang terdiri dari Latar

Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Memuat pembahasan menyeluruh tentang Korban Suci atau

Yadnya, Yadnya Sesa meliputi: pengertian, fungsi dan tujuan, tata cara pelaksanaan dan makanan persembahannya (banten), serta membahas tentang Filsafat Bhuta Kala dalam kaitannya dengan Yadnya Sesa.

BAB III Memuat pembahasan tentang Kehidupan Umat Hindu yang

menitikberatkan pada pembahasan Grhyasta Asrama,

9

Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, terj. Djamannuri, ( Jakarta: Raja Grafindo Press, 1994 ), Cet.4, hlm. 35.


(21)

Sraddha, Bhakti Marga dan Masyarakat Hindu Cinere berkaitan dengan pelaksanaan Yadnya Sesa.

BAB IV Memuat Telaah Pengorbanan dalam Konsep Hindu dan

Perspektif Islam berikut Analisanya.

BAB V Merupakan bab terakhir dari penyusunan skripsi ini yang

memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan dan ditutup dengan saran-saran untuk berbagai pihak.


(22)

12

BAB II KORBAN SUCI

A. Sekilas tentang Yadnya

Yadnya atau upacara merupakan bagian ketiga dari kerangka agama Hindu. Dari sudut filsafatnya, yadnya ialah cara-cara melakukan hubungan antara Atman dengan Paramatman, antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta semua manifestasinya, Yadnya adalah jalan untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk upacara ini dipergunakan upacara ayat suci tentang Yadnya sebagai alat penolong yang nyata untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya dengan Sang Hyang Widhi Wesa dalam bentuk nyata.

1. Pengertian Yadnya

Yadnya dalam pengertian secara luasnya adalah suatu pengorbanan yang sangat tulus tanpa pernah mengharapkan imbalan. Kata yadnya (yajna) berasal

dari bahasa Sanskerta dengan akar kata “Yaj” yang artinya memuja, menyembah,

berdoa atau pengorbanan.1 Kemudian kata yadnya ini berkembang dan

berkembang sehingga salah satu maknanya kita kenal dengan “korban suci”, yakni

korban yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan dan tanpa pamrih.2

Adapun pengertian yadnya yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari

adalah upacara keagamaan yang sama artinya dengan Samskara atau Sanaskara.

Kata Samskara atau Sanaskara diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang

1

AA Gede Raka Mas, Tuntunan Susila untuk Meraih Hidup Bahagia, (Surabaya; Paramita, 2002), Cet. 1, hlm. 40.

2

I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 238.


(23)

berarti “Upacara”.3 Namun demikian, yadnya mengandung pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan pengertian upacara atau upakara.

Beryadnya berarti memuja Tuhan, juga bermakna menyucikan diri sendiri. Melaksanakan yadnya merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas spiritual manusia. Tujuan beryadnya adalah agar mendapatkan tuntunan sinar sucinya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga dalam mengarungi hidup yang

penuh gejolak ini mendapat ketenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan.4

Demikian pula di dalam setiap keluarga harus saling mengorbankan diri demi berhasilnya sebuah keluarga. Kemudian dari tingkat keluarga rasa pengorbanan tersebut hendaknya ditingkatkan pula ke dalam kehidupan bermasyarakat, lalu bernegara dan seterusnya. Sebab Tuhan pun di dalam menciptakan alam semesta ini juga melalui pengorbanan. Tidak ada perjuangan di dunia ini tanpa melalui pengorbanan. Terutama sekali berkorban demi kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia demi untuk keseimbangan hidup di dunia. Karena itu, pengorbanan yang tulus tanpa menuntut imbalan, itulah yang dinamakan yadnya, pengorbanan yang paling utama sesuai dengan yang

dianjurkan oleh ajaran Agama. Di dalam kitab suci Bhagavad-gita III.10,

disebutkan:

Sahayajnah prajah sristwa puro waca prajapatih anena prasawisya dhiwam esa wo’sstwista kamadhu

3

Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 4.

4

AA Gede Raka Mas, Menjadi Orang Tua Mulia dan Berguna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 17.


(24)

Artinya:

“Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan Tuhan telah menciptakan manusia melalui Yadnya dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana lembu perahan yang memerah susunya karena

keinginanmu (sendiri).”5

Demikian pula dalam kitab suci Manawa Dharma Sastra Bab. III.75,

tertulis sebagai berikut:

Swadhyaye nityayuktah syaddaiwe caiweha karmani, daiwakarmani yukto hi

bibhar timdam caracaram

Artinya:

“Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala rumah tangga setiap harinya menghaturkan mantra-mantra suci Weda dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin menjalankan yadnya pada hakekatnya membantu ciptaan Tuhan baik

yang bergerak maupun yang tak bergerak.”6

Karena itu alam semesta ini sebenarnya timbul atau diciptakan melalui proses yadnya, serta dipelihara oleh yadnya. Tanpa melalui yadnya, alam semesta ini pasti tidak akan pernah ada. Demikian pula tanpa ditunjang oleh yadnya, alam semesta ini pasti akan mengalami kehancuran. Pelaksanaan yadnya sebenarnya sangat penting untuk menyeimbangkan perputaran siklus di dalam kehidupan ini. Hanya dengan cara seperti itu suatu kehidupan baru bisa dipelihara, serta berkembang sesuai dengan yang semestinya. Selain itu Yadnya juga dipengaruhi

adanya filsafat hutang atau Rna yakni: Dewa Rna : adalah hutang

5

G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III. 10.

6

G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.75, hlm. 152-153


(25)

hidupkehadapan Ida Hyang Widhi. Pitra Rna : adalah hutang suci kepada Rsi. Rsi Rna : adala hutang jasa kepada para Leluhur.7

Karena itu setiap umat Hindu selalu melaksanakan upacara Yadnya di

dalam kehidupannya, terutama umat Hindu yang ada di Bali. Bagi mereka tidak ada hari tanpa upacara. Hal tersebut merupakan cermin kehidupan masyarakat Hindu Bali yang religius. Sebab umat Hindu lebih mengutamakan perbuatan yang baik daripada hanya sekedar teori. Penghayatan agama umat Hindu tercermin dalam setiap aktivitas kesehariannya di mana pelaksanaan Yadnya Sesa termasuk salah satu aktivitas tersebut.

2. Bentuk Yadnya a. Panca Yadnya

Ada lima perwujudan yadnya yang dikenal oleh umat Hindu dengan Panca Yadnya, sebagai berikut:

1) Dewa Yadnya; yadnya yang ditujukan ke hadapan Tuhan/Ida Hyang

Widhi beserta manifestasi-Nya;

2) Pitra Yadnya; yadnya yang ditujukan kepada para leluhur dan kepada

yang mendahuluinya;

3) Rsi Yadnya; pengorbanan yang ditujukan kepada orang-orang suci dari

pimpinan agama yang sudah mendwijati;

4) Bhuta Yadnya; pengorbanan yang ditujukan kepada para Bhuta dan

segala makhluk ciptaan Tuhan yang lebih rendah dari manusia;

7

Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 3-4.


(26)

5) Manusia Yadnya; segala pengorbanan yang ditujukan untuk pemeliharaan umat manusia mulai dari dalam kandungan sampai akhir

hidup manusia itu.8

b. Sarana Yadnya

Menurut Bhagavadgita IV.28, sarana yadnya dapat berupa:

1) Drawya Yadnya, yaitu yadnya dengan sarana benda-benda material dan kekayaannya;

2) Tapa Yadnya, yaitu yadnya dengan melaksanakan tapa atau latihan batin; 3) Yoga Yadnya, yaitu yadnya dengan melaksanakan yoga;

4) Swadhyaya Yadnya, yaitu yadnya dengan mempelajari ajaran suci;

5) Jnana Yadnya, yaitu yadnya dengan ilmu pengetahuan dan

kebijaksanaan.9

3. Pelaksanaan Yadnya

Pelaksanaan yadnya terbagi dua, yakni:

a. Nitya Karma, disebut juga Nimita Karma yakni pelaksanaan yadnya setiap

hari (rutin), termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan upacara Yadnya Sesa dan pembacaan Gayatri Mantra.

b. Naimitika Karma, pelaksanaan yadnya pada waktu-waktu tertentu

(berkala), seperti upacara Ngaben, dilaksanakan berdasarkan Desa (tempat

8

Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 3. Lihat juga G. Pudja dan Tjokorda Rai,

Manawa Dharma Sastra, ((Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III. 69-71, hlm. 151.

9

A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah Studi dan Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm. 43-44.


(27)

di mana yadnya akan dilaksanakan) dan Kala (perhitungan hari baik) dan

Patra (keadaan ekonomi).10

B. Yadnya Sesa

1. Pengertian Yadnya Sesa

Semua perbuatan kebajikan dapat diartikan ‘Yadnya’ atau kurban suci atau

upakara (banten). Sedangkan ‘Sesa’ berasal dari kata ‘Wisesa’ yang dapat berarti

religius dan mengandung sifat-sifat ‘pengeruat’ (penyupatan), maksudnya sebagai simbol dari kekuatan-kekuatan di luar diri manusia yang dilaksanakan untuk

memelihara keseimbangan Sarwa Prani (alam semesta beserta isinya).11

Upacara Yadnya Sesa, atau yang disebut juga Ngejot atau Banten Saiban,

adalah pelaksanaan Yadnya yang dilakukan setiap hari (Nimita Karma).12 Upacara

Yadnya seperti ini biasanya dilaksanakan pada saat selesai memasak di dapur. Pelaksanaan upacara seperti ini adalah salah satu bukti di dalam ajaran agama Hindu, bahwa sebelum menyantap makanan, terlebih dahulu seseorang harus mempersembahkannya untuk Tuhan yang telah menciptakan segala yang ada sebagai wujud rasa terima kasih kita kepada Tuhan. Seseorang juga harus menyisihkan sebagian makanan sebagai permohonan ijin kepada-Nya. Sebab tanpa memohon ijin terlebih dahulu, berarti sama saja dengan mencuri namanya.

Sebagaimana tertulis sloka suci Bhagavad-gita, Bab III sloka 13, sebagai berikut:

10

I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 6.

11

I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 67.

12 I. B. Putu sudarsana,

Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 69.


(28)

Yajna sistasinah santo mucyante sarva kinbisaih bunjate te twagham papa ye pacanty atma karanat

Artinya:

“Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, (tetapi) ia yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri,

sesungguhnya makan dosa.”13

Itulah sebabnya umat Hindu mempersembahkan sebagian makanannya terlebih dahulu sebelum mereka memakannya. Persembahan itu sebenarnya sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka ke hadapan Tuhan. Di samping itu persembahan itu menandakan sebagai pengakuan bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan, makanan apapun bentuknya yang mereka makan harus memohon ijin terlebih dahulu. Apalagi mengingat makanan yang dimakan sebelumnya berupa makhluk hidup, seperti hewan dan tumbuhan, sehingga jika ingin memakannya tentu harus menghilangkan nyawa dari hewan dan tumbuhan tersebut. Dan dengan menghilangkan nyawa dari sumber makanan tersebut, manusia hendaknya memohon izin terlebih dahulu kepada Sang Kuasa.

Dan itu pula sebabnya umat Hindu tidak boleh sembarangan untuk memakan ataupun membunuh makhluk lainnya. Sebagaimana tertulis dalam kitab

suci Manawa Dharma Sastra, Bab III sloka 68, sebagai berikut:

Panca suna grhasthasya culli pesanyu paskarah,

kandani codakumbhacca badha yate yastu wahayan

Artinya:

13


(29)

“Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu lesung dan alunya, tempayan tempat air dengan pemakaian mana ia diikat oleh

belenggu dosa.”14

Dengan memberikan sesuatu kapada Tuhan, mereka akan terdidik untuk mambiasakan diri berbuat bagi kepentingan umum tanpa meminta suatu imbalan dan mengakhirkan segala kepentingan pribadi. Sebab apabila seseorang berbuat baik, karma yang baik pun akan senantiasa menyertainya.

Dengan demikian, dengan melalui persembahan (banten) Yadnya Sesa

umat Hindu berusaha untuk mengikis kenikmatan duniawi agar mencapai kebebasan rohani. Karena itu secara tidak langsung umat Hindu telah menciptakan keharmonisan, hidup berdampingan antara makhluk yang satu dengan yang lain. Sebab, persembahan Yadnya Sesa itu akhirnya akan dinikmati oleh makhluk lainnya.

2. Fungsi dan Tujuan

Untuk mengetahui fungsi dan tujuan Yadnya Sesa, sebelumnya kita harus tinjau dahulu fungsi dan tujuan Yadnya secara garis besarnya yakni:

a. Sebagai sarana untuk menyeberangkan Atma (jiwa) mencapai Brahman,

yang diumpamakan sebagai sebuah kapal untuk membawa

penumpangnya menuju tempat tujuan. Dalam hal ini untuk membawa manusia mencapai tingkat moksa;

14

G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.68, hlm. 150.


(30)

b. Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan, agar semua harapannya bisa terwujud serta senantiasa dilindungi oleh-Nya; c. Sebagai sarana untuk mencapai suasana yang terang dan penuh dengan

kesucian.

d. Sebagai sarana pendidikan untuk menumbuhkan perilaku yang sopan.15

Menurut R. B. Pandey, di dalam bukunya, “Hindu Samskara:

Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya”, fungsi dan tujuan Yadnya Sesa adalah:

a. Membuat atau menjadikan sifat welas asih serta penyayang terhadap sesamanya;

b. Pelaksanaan yadnya juga bisa menyebabkan semakin berkurangnya perasaan yang negatif yang telah menguasai diri manusia;

c. Juga mampu untuk menumbuhkan sifat-sifat kerohanian, sehingga menyebabkan orang-orang menjadi sabar, wajar, serta tenang menghadapi segala macam cobaan;

d. Menumbuhkan sifat-sifat sosial, suka berdana punia16 serta tidak

mempunyai sifat egois (hanya senang mementingkan diri sendiri);

e. Mengembangkan serta membina kepribadian, sehingga dengan

melaksanakan yadnya akhirnya bisa untuk membudayakan tingkah laku yang sopan, berpikiran suci mulia;

15

G. Pudja, Acara Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 1985), hlm. 28

16

Dana punia berarti bersedekah harta sebab dalam beryadnya juga membutuhkan biaya, lihat A. A. Raka Mas, Moksa, Universalitas dan Pluralitas Bhagawadgita: Sebuah Studi dan Analisis, (Surabaya: Paramita, 2007), hlm. 46.


(31)

f. Yadnya juga sebagai sarana pendidikan, yaitu dengan menciptakan

tempat pelaksanaan yadnya dari yang tidak suci menjadi suci.17 Itu pula

sebabnya alat-alat yang dipakai untuk upacara harus disucikan terlebih

dahulu melalui upacara Prayascita.18 Dengan demikian, seseorang

termotivasi untuk berpikir suci serta berperilaku yang baik sesuai dengan ajaran agama.

Di dalam kitab suci Bhagavad-gita, Bab III sloka 15, disebutkan bahwa

alam semesta ini sebenarnya timbul atau diciptakan melalui proses yadnya dan dipelihara oleh yadnya. Karena itu, tanpa melalui yadnya, alam semesta ini pasti tidak akan pernah ada. Demikian pula tanpa ditunjang oleh yadnya, alam semesta

ini pasti akan mengalami kehancuran. Demikianlah semua berjalan

berkesinambungan guna memelihara keseimbangan siklus kehidupan di alam semesta ini. Sebagaimana tertulis dalam kitab suci Bhagavad-gita Bab III sloka 15, sebagai berikut:

Anand bhawanti bhutani prajnyad annasambhawah yadjnad bhawati parjanyo yadjnad karma samadbawah

Artinya:

“Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya, sedangkan adanya yadnya

adalah karena perbuatan (karma).”19

17

R. B. Pandey, Hindu Samskara: Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya,

(Surabaya: Mayasari, 1985), hlm. 11.

18

Upacara Prayascita adalah upacara yang bertujuan untuk membersihkan, alat-alat upacara dibersihkan melalui sesajen Prayascita, lihat Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 96.

19


(32)

Oleh karena itu, setiap hidangan harus dipersembahkan kepada Tuhan dan didoakan agar menjadi suci untuk dimakan. Tanpa melakukan Yadnya Sesa,

makanan itu hanya berupa sampah yang selalu dikotori oleh berbagai unsur klesa

(dosa) yang ada di dalam bahan makanan dan termasuk noda dari si pembuat makanan tersebut. Dengan mengucapkan doa (mantra) dan dipersembahkan kepada Tuhan, makanan yang tadinya kotor akan berubah menjadi suci (prasadham)20. Dengan demikian, makanan tersebut akan menjadi suatu kekuatan yang dahsyat sehingga layak untuk dimakan.

Tuhan menciptakan segala yang dibutuhkan agar semua makhluk dapat berkembang sebagaimana mestinya. Sebagai wujud rasa terima kasih umat Hindu

kepada Tuhan, mereka diharuskan menyisihkan sebagian makanan.

Mempersembahkan makanan ini juga dipandang sebagai permohonan izin kepada-Nya karena mereka bermaksud mengambil apa yang menjadi milik-Nya semata. Tanpa memohon ijin terlebih dahulu, seseorang sama seperti seorang pencuri yang mengambil milik Tuhan. Seperti yang tertulis dalam kitab suci

Bhagavad-gita III.13, sebagai berikut:

Yajna sistasinah santo mucyante sarva kinbisaih bunjate te twagham papa ye pacanty atma karanat

Artinya:

“Orang-orang yang baik yang senantiasa memakan apa yang tersisa dari pelaksanaan yadnya, mereka itu sebenarnya telah terlepas dari

papa (dosa). Akan tetapi, bagi mereka yang memakan makanan tanpa

20

Prasadham adalah istilah yang dipakai di India untuk menyebut makanan yang telah di- Yadnya Sesa-kan, lihat Niken T. R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 1.


(33)

melalui yadnya atau yang selalu mengutamakan makanan untuk kepuasan dirinya sendiri, mereka itu tidak ubahnya seperti seorang

pencuri yang penuh dengan papa klesa.”21

3. Tata letak Pelaksanaan

Tempat pelaksanaan upacara Yadnya Sesa adalah di tempat-tempat yang dianggap penting oleh umat Hindu, dasarnya adalah kitab Manawa Dharma Sastra

Bab III.68.22 Di tempat-tempat itu pula persembahan Yadnya Sesa diletakkan,

yakni di lima tempat berikut:

a. Di altar perapian atau di dapur. Persembahan diletakkan di dekat api atau kompor. Persembahan ditujukan kepada Dewa Brahma (Dewa yang menguasai api). Melalui persaksian api inilah persembahan Yadnya Sesa diterima, sebab api dipandang sebagai saksi dan manifestasi dari Tuhan dan api juga merupakan mulutnya para dewa di dalam fungsinya sebagai

pelebur segala yang ada (pralina);

b. Di tempat penyimpanan air. Persembahan diletakkan di dekat sumur ataupun di kamar mandi atau tempat penyimpanan (guci/jambangan) air. Persembahan ditujukan kepada Dewa Baruna (Dewa yang menguasai air), yaitu lambang sebagai penyucian segala kotoran. Di samping itu air adalah lambang dari sumber kehidupan, merupakan salah satu unsur dari Panca Maha Bhuta, salah satu sarana yang sangat penting dalam ajaran agama Hindu;

21 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III.13, hlm. 34. 22

G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, ((Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III. 69, hlm. 150.


(34)

c. Di atas genteng/atap rumah, persembahan ditujukan kepada Dewa Bayu (Dewa Udara). Dengan melakukan persembahan ini, manusia diingatkan untuk selalu menghormati udara dan tidak boleh mencemarinya, sebab tanpa udara mustahil bagi manusia untuk hidup dan bernafas;

d. Di pekarangan rumah, persembahan diletakkan di atas tanah dan ditujukan kepada Dewi Pratiwi atau Bumi sebagai simbol kebijaksanaan dan kasih sayang yang selalu memberikan makanan (hasil bumi) kepada seluruh makhluk;

e. Di tugu penunggu karang, ditujukan kepada Dewa Akasa atau Kehampaan, yang merupakan simbol Tuhan yang tiada akhirnya, asal mula dari segala yang ada. Karena itulah persembahan Yadnya Sesa diletakkan di tugu yang diyakini sebagai simbol Tuhan yang senantiasa

mengawasi perjalanan kehidupan seluruh umat manusia. 23

Upacara Yadnya Sesa seperti ini sebenarnya adalah salah satu wujud persembahan yang ditujukan kepada Tuhan yang tidak pernah bisa kita lihat

melalui mata yang serba terbatas (niskhala).

4. Tata Cara Pelaksanaan

Berdasarkan penuturan dari Bapak A. A. Gede Raka Mas, tata cara pelaksanaan Yadnya Sesa adalah sebagai berikut:

Setiap pagi sehabis memasak di dapur, dianjurkan untuk mengambil selembar daun pisang. Jika tidak tersedia diperbolehkan juga menggunakan selembar kertas yang bersih, atau piring kecil dari plastik ataupun dari bahan

23

Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. vii.


(35)

lainnya asalkan bersih. Kemudian daun pisang atau kertas tersebut dipotong- potong. Pembagiannya berdasarkan besar kecilnya luas bangunan tempat tinggal keluarga yang melakukan persembahan Yadnya Sesa. Semakin luas bangunan, maka semakin banyak potongan persembahan Yadnya Sesa tersebut. Jumlah persembahannya tergantung banyaknya tempat-tempat yang dianggap penting oleh umat Hindu. Jika rumah tangganya sangat besar dan bangunannya sangat luas, seperti yang terdapat di Bali, maka potongan persembahan Yadnya Sesa-nya dapat mencapai 150 potong persembahan. Contoh ukuran potongan daun atau kertas tersebut adalah 4x4 cm. Setelah siap, daun pisang atau kertas tersebut diisi dengan nasi, yang ukuran minimalnya 2 cm, lalu ditambahkan dengan garam dan lauk-pauk. Semua makanan hanya diisikan sedikit-sedikit karena sifatnya sebagai simbol belaka. Hal yang patut diperhatikan pada waktu membuat persembahan

adalah keikhlasan sebagai kesadaran bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Setelah diisi, persembahan Yadnya Sesa ini lalu diletakkan di tempat-tempat

seperti di dekat kompor, di dekat penyimpanan makanan, di tempat

penyimpanan air, di halaman, di tempat bersembahyang (Pura) dan lain-lain yang tujuannya dipersembahkan ke hadapan Dewa Akasa, Dewa Bayu, Dewa Agni, Dewa Air, dan Dewa Pertiwi. Oleh karena itu Yadnya yang akan dipersembahkan setiap harinya sebanyak lima tangkih (lima macam sesuai dengan urutan Panca Maha Bhuta), dan jika dipersembahkan satu- persatu maka tempat pelaksanaannya disesuaikan dengan urutan dewa-dewa

yang dituju.24

Setelah sampai di tempat yang dituju, doa (mantra) dihaturkan untuk memusatkan pikiran sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan berbagai macam kenikmatan hidup. Setelah melaksanakan Yadnya Sesa seperti itu, berarti makanan yang dihidangkan telah suci dan menjadi

prasadham.25 Dengan demikian, makanan tersebut dianggap sah dan layak untuk dimakan.

5. Doa Sebelum dan Sesudah Menghaturkan Yadnya Sesa

Berdasarkan kutipan dari Gede Pudja dalam buku Pengantar Agama

Hindu II, sebagai berikut:

24

Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.

25


(36)

“Pemujaan atau doa dapat dilakukan oleh setiap orang, di mana saja, kapan saja, sendiri atau berjemaah. Di samping itu dikemukakan pula bahwa doa dapat dilakukan tidak hanya dengan kata-kata atau dapat dilakukan dengan bahasa lain misalnya dengan menggunakan symbol atau alat-alat sebagai pengganti bahasa. Dengan demikian dapat dibedakan:

a. Doa yang dilakukan dengan cara pengucapan kata-kata, misalnya dengan pengucapan mantra-mantra menurut bahasa yang terdapat dalam Weda, maupun menurut bahasa dan kalimat yang disusun terlebih dahulu menurut tujuannya;

b. Dengan mempergunakan alat-alat yang merupakan bahasa simbol;

c. Dengan mempergunakan doa mantra dan simbol misalnya sesajen, yang

juga disebut yadnya.”26

Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk melakukan pemujaan, karena itu mantra dinamakan doa. Kata lain yang sering dipergunakan

yang sama artinya ialah stuti/stava. Jadi stuti atau stava adalah ayat-ayat Veda

yang dipergunakan untuk melakukan puji-pujian kepada Tuhan.27

Dalam kehidupan beragama, unsur kepercayaan akan doa merupakan bagian yang sangat penting sekali. Dalam setiap kejadian, doa selalu disampaikan untuk segala tujuan, ini merupakan ciri khas dari tata kehidupan beragama. Tanpa percaya akan kedudukan dan penggunaan doa itu, maka tidaklah ada artinya doa itu. Oleh karena itu telah disadari bahwa doa itu penting, karena doa merupakan

bagian dari unsur keimanan dalam beragama menurut ajaran agama Hindu.28

Ada berbagai jenis doa yang dipergunakan oleh seluruh umat Hindu di dunia dengan berbagai versi dan bahasa. Keberagaman itu tidak membatasi umat- Nya, entah cara dan sarana apapun yang mereka pakai. Istilah apapun dalam mengucapkan mantra itu tidak ada patokan yang baku. Entah mereka itu

26

Gede Pudja, Pengantar Agama Hindu II, (Surabaya: Paramita, 1976), hlm. 28.

27

I Made T., Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), hlm. 11-13.

28


(37)

mempergunakan bahasa Sansekerta, bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat dan sebagainya.

Telah dikemukakan bahwa doa adalah salah satu daripada unsur keimanan dalam agama Hindu, dengan fungsi kedudukan doa sebagai salah satu unsur Sraddha dalam agama Hindu, menyebabkan kedudukan doa dalam agama sangat penting sekali artinya. Dan telah menjadi kebiasaan bahwa dalam setiap doa selalu dikemukakan berbagai pengharapan agar Tuhan selalu memberikan rahmat kepada yang berdoa. Dengan demikian maka kedudukan doa dapat dikatakan sangat luas. Fungsi dan tujuannya tidak selalu sama, tergantung darimana orang melihatnya. Yang penting bahwa adapun fungsinya dan tujuannya, doa itu mempunyai arti dalam kehidupan mereka yang beriman. Karena itu dasarnya

adalah keimanan (sraddha) atau percaya atas kebenaran isi dari pada doa itu.

Umumnya umat Hindu di Bali dan di luar Bali mempergunakan kedua- duanya, yaitu bahasa setempat dan bahasa Indonesia serta bahasa Sanskerta.

Ketika menghaturkan Yadnya Sesa ke hadapan Sarwa Prani, yakni kepada

simbol-simbol Sang Hyang Widhi yang bersifat bhuta, yang bantennya diletakkan di tanah, mantranya adalah sebagai berikut:

Om atma tat swatma suhamam swaha, Swasti-swasti sarwa bhuta, kala, durgha, sukha pradhana

ya namah swaha

Artinya:

“Om Sang Hyang Widhi Wasa, Engkaulah Paramatma daripada Atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu


(38)

yang berwujud Bhuta, kala, dan durgha.”29

Kemudian ketika menghanturkan persembahan untuk para Dewa dan leluhur, mantranya sebagai berikut:

b. Untuk para Dewata

Om atma tat swatma suhamam swaha, Swasti-swasti sarwa dewa,

sukha pradhana ya namah swaha

Artinya:

“Om Sang Hyang Widhi Wasa, Engkaulah Paramatma daripada Atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu

yang berwujud Dewa.”30

c.Untuk Leluhur

Om buktyantu pitara dewam Bukti mukti waras wadah, Ang Ah31

Setelah selesai menghaturkan Banten Jotan, tibalah saatnya menghadapi hidangan baik di atas meja maupun di lantai beralas tikar. Di beberapa daerah pemanggilan empat orang saudara untuk diajak makan bersama sudah lumrah dilakukan.

Versi Bali jika tidak mempergunakan bahasa Sanskerta, maka doanya sebagai berikut:

a. Pada Pagi Hari

29

Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 43.

30

Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 42.

31

Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm 8.


(39)

Artinya:

Inggih Ratu Sang Hyang Sunya Amerta, sane mangkin semeng,

I Ratu meraga Sang Hyang Surya Ditya tumurun iriki ring sarwa ajengan,

raris munggah ring sariran kusan titiang, ngamertanin sane sarwa maurip,

dumadi jatma muah sesanak itiang kabeh, mepageh urip titiang,

Om sawa Amerta ya Namah.

“Oh Ratu Sang Hyang Sunya Amertha, saat ini pagi hari,

Engkau bergelar Sang Hyang Surya Ditya, Engkaulah yang memberkati semua, hidangan ini, kemudian semua makanan ini, akan pindah ke dalam tubuh saya, menghidupkan semua makhluk,

apakah itu manusia atau

makhluk jelmaan lainnya, sehingga teguh dan panjang umurlah hamba

dan makhluk ciptaan-Mu

Om Sarwa Amerta Ya Namah!”32

b. Pada Siang Hari

Inggih Ratu Sang Hyang Sunya Amerta, sane mangkin tajeg surya,

I Ratu meraga Sang Hyang Baskar Amerta,

temurun iriki ring sarwa ajengan sane nenten diriki, raris munggah ring sariran kusan titiang,

nemertanin sane sarwa maurip,

dumadi jatma muah sesanak titiang kabeh, mapageh urip titiang.

Om Sarwa Amerta ya Namah.

Doa yang dilakukan pada sore hari dan malam hari, sama dengan yang kita

lakukan saat pagi hari, hanya saja gelar beliau berganti menjadi: Sang Hyang

Panca Amerta.33

32

Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 9.

33

Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm 10.


(40)

Berikut ini, marilah kita simak bersama beberapa bait doa dalam bahasa Sansekerta dalam hal menghadapi makanan:

Artinya:

Om hirangagarbah samawartatagre bhutasya jatah patireka asit

sadadhara pritiwim dyam uteman kasmai dewaya hawisa widhema Om Purnam adah purnamidam purnat purnama daya

purnamewawasyate.

“Ya Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkau asal alam semesta dan satu-satunya kekuatan awal,

Engkau yang memelihara semua makhluk, seluruh bumi dan langit,

hamba memuja Engkau.

Ya Tuhan Yang Maha Sempurna dan yang membuat alam sempurna,

alam ini akan lenyap dalam kesempurnaan-Mu, Engkau Maha Kekal.

hamba mendapat makanan yang cukup berkat anugerah-Mu.

hamba menghaturkan terima kasih.”34

Om annapate annasya

no dehyanmiwasya susminah pra-pra dataram taris urjam nho dhehi dwipade catuspade.

Artinya:

“Ya Tuhan,

Engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini, semoga memberi kekuatan

dan menjauhkan dari penyakit.”35

c. Doa mulai mencicipi makanan

34

Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 11.

35

Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm 11.


(41)

Artinya:

Om anugraha amtadi sanjiwani ya namah swaha.

“Ya Tuhan, semoga makanan ini menjadi

penghidupan hamba lahir dan batin yang suci.”36

d. Doa Selesai Makan

Om Dhirgayur astu,

awighnamastu, subham astu

Om Sriyam bhawantu, sukham bhawantu, purnam bhawantu,

ksama sampurnaya namah swaha. Om Shanti, Shanti, Shanti Om.

Artinya:

“Ya Tuhan semoga makanan

yang telah masuk ke dalam tubuh hamba memberikan kekuatan dan kesehatan, panjang umur dan tidak mendapat sesuatu halangan apapun.

Ya Tuhan, semoga damai, damai di hati, damai di dunia,

damai selama-lamanya.”37

C. Makanan Persembahan (Banten)

Tujuan makan adalah untuk memelihara badan, kesehatan dan kehidupan. Di samping untuk memelihara badan (jasmani), makanan juga berfungsi untuk kesehatan rohani. Semua orang mendambakan dan mencari kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan kebahagiaan tersebut hanya dapat dicapai jika seseorang

36

Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 44.

37

Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 12.


(42)

dalam keadaan yang sehat jasmani dan rohaninya. Kitab suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 8-10 membedakan makanan menjadi tiga, sebagai berikut:

1. Sattvika (vegetarian), yaitu makanan dan minuman yang berasal dari

tumbuh-tumbuhan, termasuk air murni dan susu segar;

2. Rajasa, yaitu makanan dan minuman yang berasal dari hewani, yang

memabukkan (seperti minuman keras), termasuk pula makanan yang terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, terlalu pedas, terlalu berbumbu serta makanan yang membuat badan menjadi panas;

3. Tamasa, yaitu makanan basi, busuk, atau sisa orang lain serta jenis

makanan yang diawetkan atau yang sudah dimasak berulang-ulang.38

Dengan demikian, umat Hindu meyakini bahwa makanan yang dapat memberi energi hidup, energi kesehatan dan kebahagiaan digolongkan ke dalam

makanan sattvika, sedangkan rajasa adalah makan yang menyebabkan penyakit

dan kesedihan. Sementara makanan tamasa adalah makanan yang menyebabkan

kebodohan dan kegelapan.39

Makanan yang tergolong utama dan memenuhi syarat kesehatan adalah makanan vegetarian. para pakar ilmu gizi, para tokoh agama, orang-orang suci, senantiasa menganjurkan kepada umat manusia agar menjadi seorang vegetaris, karena begitu besar manfaatnya menjadi seorang vegetarian (tidak makan daging),

maka makanan jenis inilah yang tergolong sattvika. Ada suatu ungkapan yang

mengatakan “Kamu adalah seperti apa yang kamu makan”. Mengkonsumsi daging berarti memindahkan sifat-sifat hewan ke dalam tubuh manusia, maka dari itu

38

G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab XVII.8-10, hlm 99.

39

Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 24-25.


(43)

sangat dianjurkan untuk menjadi seorang vegetarian, atau mengkonsumsi makanan nabati (yang berasal dari tumbuh-tumbuhan).

Makanan sattvika inilah makan yang terbaik untuk dipersembahkan

kepada Tuhan dalam berbagai upacara termasuk dalam upacara Yadnya Sesa.

Karena persembahan dalam Yadnya Sesa bersifat Bhakti, tentulah makanan

tersebut harus berdasarkan kasih sayang. Bahkan kitab suci menganjurkan agar

seseorang hendaknya mengusahakan untuk memperoleh makanan itu

berlandaskan dharma. Hal ini tersirat dalam kitab suci Reg Veda Bab XII.1.17,

yang berbunyi “Bumi ditegakkan oleh Dharma”40, maksudnya adalah jika

adharma (kejahatan) merajalela maka peradaban di muka bumi ini akan hancur karena perbuatan demikian akan merusak keseimbangan kehidupan. Jika makanan

yang akan dipersembahkan kepada Tuhan merupakan hasil dari adharma, maka

yadnya orang yang mempersembahkannya akan menjadi sia-sia. Sebagaimana bunyi sloka Sarasamuccaya 184, yang isinya sebagai berikut:

Pranasantapanirwistahkakinyo ‘pi

Mahapalah, anyayopajita data na pararthe sahasracah, Yadyapin akedika ikang dana, ndan mangene welkang ya,

agong phalanika, yadyapin akwqha tuwi, mangke welkang tuwi, yan antukning aniaya,

nisphala ika, kalinganya, ta si kweh, ta si kedik,

amuhara kweh kedik ning danaphala keneng paramarthanya,

nyayangyay ning dana juga. Artinya:

40

I Made T., Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), hlm. 102.


(44)

“Biarpun sedikit pemberian (sedekah) itu, tetapi mengenai kehausan atau keinginan hati, besarlah manfaatnya. Meski banyak apabila menyebabkan semakin haus dan diperoleh dengan cara yang tidak layak atau tidak patut, tiada faedahnya itu. Tegasnya bukan yang banyak atau bukan yang sedikit faedah pemberian itu, melainkan pada

hakekatnya tergantung dari layak atau tidaknya pemberian itu.”41

D. Filsafat Bhuta Kala

Yadnya Sesa muncul sebagai akibat dari filsafat Samkya di mana pada masa itu terjadi perubahan pemikiran di kalangan umat Hindu. Dari sanalah bermula filsafat Bhuta Kala.

Kata Bhuta berasal dari suku kata bahasa Sanskerta “Bhu” yang artinya

menjadi, ada, gelap, berbentuk, makhluk, kemudian menjadi kata “Bhuta” yang

artinya telah diwujudkan. Sedangkan kata “Kala” berarti energi. Bhuta kala

artinya, energi yang timbul dan mengakibatkan kegelapan.42 Menurut filsafat

agama, Bhuta Kala adalah suatu kekuatan yang timbul sebagai akibat terjadinya

suatu kekuatan kerja di alam semesta beserta isinya, baik yang bersifat positif

maupun negatif, tergantung dari penyerasian Panca Maha Bhuta yang

bersemayam pada alam semesta (bhuwana agung) dengan Panca Maha Bhuta

yang bersemayam pada badan manusia (bhuwana alit). 43

hlm. 19.

41

I Nyoman Kadjeng, Sarasamuccaya, (Denpasar: Dharma Nusantara, 1998), hlm. 33.

42

Lihat juga Ida Pedanda, Lontar Tutur Andhabhuwana, (Denpasar: Puja Pepada, 1967),

43

I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 19-24. Lihat juga Ida Pedanda, Lontar Tutur Andhabhuwana, (Denpasar: Puja Pepada, 1967), hlm. 22-25.


(45)

Mengenai filsafat Bhuta Kala umat Hindu mempergunakan landasan sastra

agama “Prakerti Tattwa” antara lain:

Sang Hyang Widhi memiliki dua kekuasaan yaitu kekuatan “Purusa

(Cetana) dan kekuatan “Prakerti” (Acetana). Dari kekuatan prakerti-Nya

memiliki mutu Daiwi Sampad (sifat kebaikan) dan Asuri Sampad (sifat

keburukan), tetapi yang paling dominan adalah mutu Asuri Sampad-Nya. Dari

sinilah terjadi proses manifestasi (melalui 25 tattwa) untuk diciptakan badan materiilnya agar dapat dilihat secara nyata seperti terciptanya alam semesta beserta isinya. Sang Hyang Prakerti bermanifestasi menjadi unsur-unsur alam

pikiran yang masih bersifat murni dan suci yang disebut “Mahat”. Dari adanya

unsur alam pikiran ini, mahat bermanifestasi lagi menjadi unsur-unsur

kepribadian yang disebut “Bhudi”. Dari bhudi bermanifestasi lagi dan lahirlah

Ahamkara”, yaitu berupa unsur-unsur Triguna. Unsur-unsur Triguna tersebut

yakni: Waikerta Ahamkara (Sattvam), Taijasa Ahamkara (Rajah), dan Bhutadi

Ahamkara (Tamas).44

Dari Waikerta Ahamkara lahirlah Manah dan Dasendriya yaitu Panca

Bhudindrya dan Panca Karmendriya, sedangkan dari Bhutadi Ahamkara lahirlah

Panca Tan Matra yaitu: sabda tan matra, sparsa tan matra, rupa tan matra, rasa tan matra dan ganda tan matra. Sedangkan Waikerta dan Taijasa Ahamkara

bergabung mendukung Bhutadi Ahamkara. 45

Kemudian Panca tan matra bermanifestasi menjadi Panca Maha Bhuta

yaitu: Teja, Bayu, Akasa, Apah dan Pertiwi. Panca Maha Bhuta inilah yang

44

I. G. Agung Putra, Wraspati Tattwa, (Surabaya: Paramita, 1988), hlm. 34.

45


(46)

memiliki kekuatan kegaiban berinfiltrasi (wiapiwyapaka nirwikara) sebagai kekuatan alam semesta beserta isinya baik bersifat nyata maupun tidak nyata. Kelima unsur tadi memberikan kekuatan pada masing-masing titik hypocentrum seperti arah mata angin Timur, Selatan, Barat, dan Utara, sedangkan yang di tengah-tengah merupakan sumber pengendali memberi kekuatan pada titik epicentrum agar perputaran bumi pada sumbunya tetap harmonis, dalam keadaan

keseimbangan, demikian juga terhadap isi alam semesta. 46

Dari Panca Maha Bhuta lahirlah banyak tattwa lagi seperti bhuta tattwa,

kala tattwa, durga tattwa dan lain-lain. Semuanya itu disebut Prakerti Tattwa atau

Pertiwi Tattwa. Dari pengaruh prakerti tersebut akan ada pengaruh-pengaruh yang bersifat kebajikan atau keburukan terhadap alam semesta. Dua pengaruh ini akan selalu ada pada setiap insan sebagai alat bagi Sang Hyang Widhi untuk menguji keteguhan imannya. Manusia dipacu kemampuannya dalam menciptakan keseimbangan antara dirinya dan Sang Hyang dengan usaha menyadarkan diri

pribadi (Atman) agar senantiasa terhindar dari papa/dosa dan menetralisir

kekuatan Bhuta Kala melalui subha karma (kebajikan) seperti mengadakan

upacara Yadnya. 47

46

I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 14-16. Lihat juga I. B. Putu Sudarsana, Tutur Kandapat, (Denpasar: Kencana, 1987), hlm. 54.

47

I. B. Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Dharma Acarya, 2001), hlm. 19-20. Lihat juga I. B. Putu Sudarsana, Tutur Kandapat, (Denpasar: Kencana, 1987), hlm. 55.


(47)

BAB III

KEHIDUPAN UMAT HINDU

A. Grhasta Asrama

Umat Hindu mengenal tahapan-tahapan kehidupan yang harus dilalui

manusia untuk mencapai tujuan tertinggi dalam kehidupan beragamanya.

Tahapan atau tingkatan kehidupan ini adalah Catur Asrama. Catur berarti

“empat” dan Asrama berarti “usaha orang”. Secara seumantik, Catur Asrama

diartikan sebagai empat tingkatan hidup manusia.1 Susunan tingkatan Catur

Asrama adalah sebagai berikut:

1. Brahmacarin Asrama

Pada tingkatan hidup Brahmacarin, seorang dwija2 akan meninggalkan

rumah orang tuanya dan menetap sebagai siswa di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainnya. Pada tingkatan ini, yang mendapat prioritas utama adalah dharma. Walaupun demikian, masalah

artha (mencari kebendaan), kama (kesenangan/hawa nafsu), dan moksa tetap menjadi tujuan hidup.

2. Grhasta Asrama

Grhasta Asrama adalah masa hidup berumah tangga. Menurut persepsi Hindu, yang disebut sebagai keluarga ialah seorang pria dan seorang wanita yang

1 I Made Titib,

Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 393-394.

2

Dwija adalah umat Hindu yang telah ditahbiskan melalui upacara Upanayana, di mana seorang anak resmi sebagai anggota kasta dan untuk pertama kali diterima masuk berguru pada seorang guru spiritual/ lembaga pendidikan asrama, dilaksanakan sekitar usia 7-8 tahun. Djam’annuri, ed., “Agama Hindu” dalam Agama-agama di Dunia, ( Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 71-72. Lihat juga G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), hlm 17 dan 71.


(48)

telah melaksanakan upacara perkawinan yang selanjutnya hidup bersama dan umumnya mereka kemudian tinggal di dalam sebuah rumah. Di dalam rumah itulah mereka bersama-sama membina rumah tangga dalam rangka mencapai

tujuan hidupnya meliputi: dharmasampatti (bersama-sama mewujudkan

pelaksanaan Dharma), praja (melahirkan keturunan), dan rati (menikmati

kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya).3 Pada tingkatan ini dimulailah

pelaksanaan kewajiban seseorang terhadap keluarga, masyarakat dan kewajiban terhadap para dewa. Dalam tahapan ini, yang menjadi prioritas utama adalah Dharma namun pelaksanaan dharma tersebut disalurkan melalui artha dan kama. Menurut ajaran Hindu, kebahagiaan hidup tidak mungkin tercapai bila artha dan

kama tidak mendapat perhatian yang sebaik-baiknya.4

3. Vanaprastha

Vanaprastha adalah tingkatan hidup melepaskan diri dari kehidupan keduniawian dengan menjalani hidup di hutan. Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibannya diserahkan kepada anak laki-laki. Pada tingkatan ini yang menjadi prioritas utama adalah mengabdikan diri secara keagamaan guna mencapai moksa.

4. Sanyasa

Sanyasa adalah tingkatan tertinggi di mana seseorang telah mencapai

moksa, yakni bersatunya Atma dan Brahman.5 Moksa ini dapat dicapai pula di

3

I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 394.

4

Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.

5

Moksa disebut juga mukti, tujuan terahir umat Hindu, di mana terputusnya siklus kelahiran dan kematian, juga hilangnya ke-aku-an (ahamkara). I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 198-199.


(49)

waktu seseorang masih hidup, di mana ia telah melapaskan diri dari segala

keterikatan duniawi.6

Menurut A. A. Gede Raka Mas, Yadnya Sesa tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan Gryhasta Asrama karena di tingkatan hidup Gryhasta

Asrama-lah Yadnya Sesa mulai dilaksanakan.7 Sebagaimana tertulis dalam kitab

Manawa Dharma Sastra Bab III.67, yang berbunyi: Waiwahike gnau kurwita

grhyam karma yathawidhi panca yajna widhanam ca paktim canwahikim grhi Artinya:

“Dengan menyalakan api suci dalam upacara perkawinan seorang kepala rumah tangga akan melakukan sesuai dengan hukum-hukum yang ada upacara keluarga dan upacara Panca Yadnya dan dengan

demikian ia memasak nasinya sendiri.”8

A. A. Gede Raka Mas menafsirkan sloka di atas bahwa seseorang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Yadnya Sesa dikarenakan ia memasak nasinya sendiri. Jika tidak memasak, misalnya memakan makanan hasil masakan

orang lain, maka ia tidak bertanggung terhadap pelaksanaan Yadnya Sesa

tersebut. Adapun wewenang pelaksanaannya dilimpahkan kepada siapa saja anggota yang tinggal dalam satu atap. Baik ibu, ayah, anak, keponakan ataupun pembantu, kewajibannya adalah sama. Intinya, makanan yang di masak di suatu

6

Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.

7

Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007

8

G. Pudja dan Tjokorda Rai, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III.67, hlm.150.


(50)

rumah keluarga Hindu tidak boleh dimakan atau dihidangkan kepada siapa pun

sebelum di-Yadnya Sesa-kan.9

Dituturkan dari pengalaman pribadi A. A. Gede Raka Mas, bahwa dahulu semasa duduk di tingkat Sekolah Dasar, ia pulang ke rumah pukul 12.30 dan sebelum makan siang ia membantu ibunya mempersiapkan Yadnya Sesa. Namun berbeda dengan kejadian esok harinya, di mana ia sudah sampai di rumah pukul

10 pagi dan merasa lapar. Ibunya sudah selesai memasak tetapi karena merasa letih maka masakan yang sudah jadi belum sempat di-Yadnya Sesa-kan. Melihat anaknya lapar maka si ibu pun menyuruhnya melaksanakan Yadnya Sesa itu sendirian. Demikianlah anak-anak dalam keluarga Hindu belajar mengenai Yadnya Sesa dari pengalaman pribadinya masing-masing. Adapun saat ini, A. A. G. Raka Mas mengakui bahwa Yadnya Sesa di rumahnya justru tidak lagi menjadi tanggung jawab ia maupun istrinya karena wewenangnya telah ia limpahkan kepada pembantu yang sudah lebih dahulu diajarkan mengenai tata cara pelaksanaan Yadnya Sesa tersebut. Mengapa demikian? Karena meskipun biaya keperluan dapur dan hak tuan rumah ada padanya, baik ia maupun istrinya jarang ada di rumah. Maka mustahil anak-anaknya menunggu dengan perut lapar sampai orang tua mereka tiba di rumah dan melaksanakan ritual tersebut. Dengan demikian, masalah siapa yang akan melaksanakan Yadnya Sesa tersebut kembali kepada kesadaran nurani masing-masing anggota keluarga di rumah tersebut.

9


(51)

Yang lebih utama lagi, pelaksanan Yadnya Sesa tersebut tidak boleh dilepaskan

dari sraddha (keimanan) dan ketulusan bhakti (cinta kasih).10

B. Sraddha (Keimanan)

Kata sraddha berasal dari akar kata “srat” yang berarti keimanan atau

kebenaran (satyamani).11 Sraddha adalah keimanan atau kepercayaan yang tulus yang menegaskan kebenaran dan hukum untuk mengikat nilai-nilai spiritual pada

diri manusia. Sraddha juga merupakan suatu keyakinan tentang tujuan hidup

sebagai manusia yakni, suatu disiplin yang harus dipraktekkan untuk mencapainya, kemudian ajaran yang melandasi tujuan hidup itu sendiri serta

disiplin yang harus dilakukan.12

Di dalam ajaran kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan pokok-pokok ajaran Hindu, dikembangkan ajaran Panca Sraddha. Panca Sraddha ini mencakup

lima pokok masalah yang menjadi landasan ajaran Hindu.13 Lima kepercayaan

atau keyakinan dalam Panca Sraddha, sebagai tujuan untuk mendapatkan hidup yang sempurna (moksa) meliputi:

1. Sraddha tentang adanya Brahman atau Atman

2. Sraddha tentang adanya Avatara, kitab suci dan para Rsi 3. Sraddha tentang adanya hukum karma

4. Sraddha tentang adanya samsara (punarbhava)

10

Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.

11

I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 165.

12

I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. vii.

13


(52)

5. Sraddha tentang adanya moksa.14

Sraddha sebagai pokok ajaran bagi umat Hindu mempunyai fungsi dan kedudukan yang khas dalam ajaran keagamaan Hindu. Fungsi-fungsi sraddha sebagai berikut:

1. Sraddha sebagai kerangka dharma merupakan kerangka bentuk isi dari pada agama Hindu. Laksana sebuah rumah, kerangka dari agama Hindu adalah sraddha itu sendiri. Sraddha-lah yang mewujudkan bentuk lahir dan berfungsi sebagai penyangga yang mendasari agama Hindu.

2. Sraddha sebagai alat atau sarana dalam mengantar manusia menuju

kepada Tuhan. Pengertian ini dapat kita lihat dalam Yajur Weda XIX. 30

dan 77 yang mengatakan:

Sraddhaya satyam apyati sraddham satye prajapatih

Artinya:

“Dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan. Tuhan menetapkan,

dengan sraddha menuju kepada Satya”15

3. Sraddha sebagai syarat utama dalam persembahan (korban). Pengertian

ini dapat kita lihat dalam Reg Veda X. 151.5, sebagai berikut:

Sraddhaya agnih samidhyate sraddhaya huyate havih sraddham bhagasya murdhani vacasa vedayamasi

14

I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 54-55.

15

I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 168.


(53)

Artinya:

“Api pengorbanan (persembahan) dinyalakan dengan keyakinan yang mantap (sraddha). Persembahan (korban) dihaturkan dengan sraddha. Kami memohon sraddha, yang memiliki nilai tertinggi di

dalam kemakmuran.” 16

Dari uraian di atas jelas bahwa sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi yang mendasar yang membentuk ajaran agama Hindu yang perlu diyakini bagi para penganutnya. Sebab, setiap tindakan tanpa dilandasi keyakinan yang mantap,

akan sia-sia belaka. “Sraddha apnoti brahma apnoti,” mereka yang memiliki iman

yang mantap dapat mencapai dan bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam melaksanakan yadnya, mutlak dilandasi sraddha yang

mantap.17

C. Bhakti Marga (Cinta Kasih)

Dari beberapa jalan (marga) yang diyakini umat Hindu dapat menjadi

sarana untuk mencapai Tuhan, Bhakti marga termasuk salah satunya. Bhakti

artinya “cinta kasih”.18 Istilah bhakti ini digunakan untuk pernyataan cinta kasih

kepada sesuatu yang lebih dihormati. Bhakti dibagi atas dua tingkat yaitu

Aparabhkti dan Parabhakti. Aparabhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya masih rendah dan dipraktekkan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat

16

I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 166-167.

17

I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 243.

18

Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987), hlm. 18.


(54)

kerohanian yang tinggi. Sedangkan parabhakti adalah cinta kasih dalam

perwujudannya yang lebih tinggi dan kerohaniannya sudah meningkat.19

Ajaran tentang bhakti adalah ajaran yang mencari Tuhan dengan penyerahan diri dan pencurahan rasa, di mana cinta sebagai alat dan cinta juga

sebagai tujuan. Seorang bhakta (penganut bhakti) adalah orang yang penuh cinta

kasih, cinta kepada Tuhan, cinta kepada manusia dan cinta kepada alam semesta (sarwa prani) ciptaan Tuhan ini. Seorang bhakta mencintai Tuhan bukan karena ingin mendapat imbalan surga atau neraka ataupun moksa, karena bagi mereka kebahagiaan tertinggi itu adalah bercinta dengan Tuhan. Bhakti inilah yang menimbulkan rasa rindu untuk bertemu dan melahirkan keikhlasan untuk

berkorban. Ide tentang persembahan (bantenan) dalam upacara-upacara pun lahir

dari bhakti.20

Adapun landasan yang dipakai dalam Bhakti marga ini antara lain sloka

Bhagavad-gita XI.54, sebagai berikut:

Bhaktya tv ananyaya sakya aham evam-vidho ‘rjuna jnatum drastum ca tattwena pravestum ca pramtapa

Artinya:

“Hanya dengan sujud bhakti Arjuna, aku dapat dijumpai berwujud sebagai ini, setelah benar-benar mengenal dan melihat (wujudku)

akan kembali bersatu (dengan Aku), Parantapa.”21

19

Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987), hlm. 18.

20

Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987), hlm. 19, 21, 26.

21


(1)

bagi umat Hindu itu penting, misalnya di got. Jadi kesimpulannya bahwa banyak sedikitnya Yadnya Sesa yang dibuat itu adalah tergantung pada luas tidaknya rumah itu karena itu menyangkut tempat-tempat yang dianggap penting atau perlu dibuat Yadnya Sesa. Jadi dasar pemikiran atau alasan karena tempat-tempat itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat Hindu yang ada di rumah tangga itu. Jadi kesimpulannya adalah umat Hindu itu tidak melupakan tempat-tempat yang penting itu, itu secara filosofis. Jadi kegunaan atau manfaat praktis dengan melaksanakan Yadnya Yesa di tempat-tempat yang penting itu kita tahu bahwa pekarangan kita itu apakah sudah bersih, di tempat cucian itu apakah tidak licin, di tempat comberan itu apakah tidak terjadi kemampetan air, di tempat beras itu, apakah berasnya masih ada apa tidak, di tempat air apakah airnya masih bersih apa kotor. Jadi sebetulnya kegunaan praktis itu bermanfaat bagi kehidupan manusia yang ada didalam rumah tangga itu dengan adanya Yadnya Sesa itu ada dua tahap yang dicapai pertama tahap filosofis yaitu kepadaTuhan dan yang kedua kepada lingkungan. Lingkungan ini sangat luas sekali karena Yadnya Sesa dapat dimanfaatkan begitu ditaruh Yadnya Sesa itu maka kemungkinan burung yang akan makan atau semut atau ayam atau apa saja, dengan demikian maka sebetulnya filosofis dari Yadnya Sesa ini kaitannya juga lekat dengan namanya Tri Hitakarana ialah manusia tidak bisa


(2)

lepas mengadakan hubungan harmonis dengan tuhan, manusia dan lingkungan atau makhluk-makhluk yang menjadi ciptaan Tuhan.

P. : Apa yang dimaksud dengan Catur Asrama?

J. : Catur Asrama adalah salah satu konsep hidup umat Hindu. Catur berarti empat dan Asrama artinya usaha orang. Jadi secara sistematik kalau kita cari artinya atau maknanya Catur Asrama artinya 4 tahapan hidup manusia yaitu Brahmacaria Asrama, Grhasta Asrama, Wanaprasta asrama,dan Snyasa Asrama. Pengertiannya adalah sebagai berikut Brahmacaria Asrama pada tingkat ini yang menjadi prioritas utama adalah dharma walaupun demikian masalah artha, kama dan moksa tetap menjadi tujuan hidup. Dharma sebagai prioritas utama karena adanya keterbatasan manusia itu. Yang dimaksud Grhasta Asrama adalah masa hidup berumah tangga. Dalam tahapan hidup ini yang menjadi prioritas utama adalah artha dan kama. Karena tanpa artha dan kama maka rumah tangga akan tidak mungkin tercapai jika prioritas artha dan kama tidak mendapat perhatian yang sebaik- baiknya. jadi pada kesempatan inilah yang namanya anggota rumah tangga yang sudah berkeluarga itu hrs melengkapi dirinya dengan artha dan kama. Artha artinya mencari kekayaan atau kebendaan dan kama artinya memenuhi segala kesenangan, kebahagiaan atau yang namanya hawa nafsu dan sebagainya, sedangkan yang ketiga disebut Wanaprasta adalah tingkatan hidup melepaskan diri dari kehidupan


(3)

keduniawian. Orang yang sudah siap melepaskan kehidupan keduniawian maka dia pergi ke hutan maka itu disebut Wanaprasta. Dalam kehidupan sekarang pengertiannya tidak harus pergi ke hutan tetapi dia berdikit-dikit melepaskan keduniawiannya. Di dalam kedua tingkatan hidup ini terutama yang Snyasa yang sudah merupakan tingkatan yang terakhir prioritas utama adalah mencapai moksa yaitu bersatunya atma dengan Brahman artinya manusia mempunyai tujuan yang tertinggi didalam kehidupan yaitu adalah untuk mencapai kehidupan yang kekal abadi di akhirat.

P. : Kenapa Yadnya Sesa berhubungan dengan Catur Asrama?

J. : Jelas sekali Yadnya Sesa ada hubungannya dengan Catur Asrama karena salah satu Catur Asrama itu yang pertama Brahmacaria Asrama di sana mementingkan Dharma jadi kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan oleh adanya kehidupan Dharma jadi kerohanian . Yang kedua adalah Gryhasta asrama adalah hidup berkeluarga jadi didalam berkeluarga walaupun manusia itu diperkenankan untuk menjadi kaya, untuk menjadi senang dan sebagainya tetapi tidak boleh melepaskan diri dari dasar Dharma, jadi dasar kerohanian yang sangat tinggi nilainya yaitu secara filosofis tidak melupakan ajaran-ajaran tinggi dari pada tuhan itu. Karena manusia di dunia ini tidak semata-mata memenuhi hawa nafsu, mencari kekayaan, pangkat dan sebagainya tetapi tujuan akhirnya adalah moksa. Dengan demikian maka Yadnya


(4)

Sesa yang mempunyai nilai filosofis dan mempunyai nilai praktis maka jelas sekali bahwa Yadnya Sesa itu merupakan bagian kecil dari pada Catur Asrama itu, namun demikian Yadnya Sesa itu tidak bisa dilepaskan dari Catur Asrama, karena dengan mengadakan Yadnya Sesa manusia menjadi puas mengadakan hubungan harmonis dengan tuhan, manusia dan lingkungan dan sebagainya. Jadi secara singkat jelas sekali Yadnya Sesa, bahwa Yadnya Sesa yang merupakan suatu yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu adalah berkaitan erat dengan Catur Asrama, yang merupakan tahap kehidupan manusia.

P : Apa makna dari Yadnya Sesa ?

J. : Maknanya pertama adalah mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, bahwa Tuhan telah memberikan kita makan dan sebagainya, didalam hal ini maka siapapun dia terutama umat Hindu harus mengucapkan terima kasih terhadap apa yang dia makan, karena kalau kita tidak mengadakan Yadnya Sesa dikatakan didalam Bhagawad Gita itu adalah manusia yang dosa atau sebagai pencuri karena secara logika ini adalah filosofis, tetapi secara logika dan praktis itu benar sekali, karena kalau kita kaji baik secara ilmiah atau spiritual bahwa tidak ada satu manusia yang lahir ke dunia ini membawa air, api, beras dan sebagainya. Semua adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dan bahkan dalam Weda jelas sekali siapapun dia terutama umat Hindu harus


(5)

mengucapkan terima kasih kepada kebaikan kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa.


(6)