14
B. Teori Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan
Penerjemahan merupakan upaya mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa target dengan cara menemukan ekuivalensi yang memiliki struktur
semantik yang sepadan. Bisa dikatakan penerjemahan merupakan dwitindak komunikasi dual act of communication yang kompleks, maksudnya adalaha yang
mensyaratkan adanya dua kode yang berbeda bahasa sumber dan bahasa target. Ketika proses penerjemahan berlangsung, penerjemah harus terlebih dahulu
memahami rentetan kegiatan mulai dari memahami makna teks sumber sampai mengungkapkan kembali makna tersebut dalam bahasa target.
12
Lebih jelasnya Nida dalam M. Zaka Alfarisi, mengemukakan bahwa proses penerjemahan
biasanya melewati tiga tahapan. Yaitu:
Pertama , tahapan analisis sebagai upaya memahami teks sumber melalui
telaah linguistik dan makna, memahami materi yang diterjemahkan, serta
memahami konteks budaya. Kedua, tahapan pengalihan makna atau pesan yang termaktub dalam teks sumber. Ketiga, tahapan rekonstruksi sebagai upaya
menyusun kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil akhir terjemahan dalam bahasa target.
13
Selain itu, Moeliono dalam Syihabudin berpandangan bahwa pada hakikatnya penerjemahan itu merupakan kegiatan memproduksi amanat atau pesan bahasa
sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima, baik dari segi arti maupun gaya. Idealnya, terjemahan tidak akan dirasakan sebagai
12
M. Zaka Al farisi,PedomanPenerjemahan Arab Indonesia, Bandung: RemajaRosdakarya, 2011, h. 23
13
SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication, Jakarta: Kesaint Blanc
– Anggota IKAPI, 2008, h. 9
15
terjemahan. Namun,untuk memproduksi amanat itu, mau tidak mau diperlukan adanya penyesuaian gramatikal dan leksikal
14
. Jelas sudah peran penerjemah sangatlah sentral dalam kegiatan penerjemahan.
Sebab, ia berperan sebagai mediator yang menjadi jembatan penghubung antara penulis teks sumber dan pembaca teks target. Jembatan penghubung inilah yang
menghadirkan pemikiran penulis teks sumber ke dalam teks target dalam bingkai kesepadanan. Secara teoritis, sesungguhnya mengungkapkan pemikiran orang lain
dari bahasa sumber ke dalam bahasa target itu lebih sulit daripada mengungkapkan pemikiran sendiri. Kesulitan ini timbul karena penerjemah mengemban tanggung
jawab besar.
15
Ia harus menyampaikan amanat penulis teks sumber melalui bahasa target dengan tingkat keakuratan, kejelasan, dan kewajaran yang memadai.
Kesulitan penerjemah juga bertambah lantaran adanya perbedaan bahasa, budaya, dan konteks sosiologi yang dimiliki penulis teks sumber dan membaca terjemahan.
Di sinilah penerjemah berupaya mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dengan menggunakan metode teknik penerjemahan sesuai dengan kebutuhan saat
berlangsungnya proses penerjemahan.
16
Selain itu, Hoed dalam Zaka Al Farisi mengemukakan masalah pokok dalam penerjemahanialah sulitnya menemukan ekuivalensi atau kesepadanan. Seandainya
ekuivalensi sudah ditemukan, maka setiap unsur bahasa yang dipadankan pun masih akanterbuka untuk melahirkan aneka penafsiran. Maka dari itu pengertian
penerjemahan yang benar sangat bergantung pada faktor di luar teks itu sendiri. Faktor di luar teks itu antara lain pertama penulis teks yang dalam menghasilkan
14
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia TeoridanPraktek Bandung: Humaniora, 2005, h. 10
15
M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-IndonesiaBandung: RemajaRosdakarya. 2011, h. 25
16
M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-IndonesiaBandung: RemajaRosdakarya. 2011, h. 26
16
tulisannya tidak terlepas dari pengaruh pendidikan, lingkungan sosial, ideologi, dan hal-hal lain yang memengaruhi tulisannya.Faktor kedua ialah penerjemahan
yang terikat dengan jaringan intertekstual dalam upaya mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa target.Faktor ketiga ialah pembaca yang boleh jadi
mempunyai bermacam-macam tafsiran terhadap teks yang dibacanya.Faktor keempatialah perbedaan kaidah yang berlaku dalam bahasa sumber dan bahasa
target.Faktor kelimaialah kebudayaan yang melatari bahasa target.Kemudian terakhir ialah hal yang dibicarakan dalam suatu teks yang bisa dipahami secara
berbeda oleh penulis teks sumber, penerjemah, dan pembaca terjemahan.
2. Ideologi Penerjemahan Ormas Fundamentalis Pengertian Fundamentalisme
Secara harfiah, fundamentalis berarti orang atau sekelompok orang yang taat dan setia pada dasar-dasar ajaran agamanya. Dalam bahasa Arab, kaum
fundamentalis disebut dengan ushuli yang berpegang pada dasar-dasar agama. Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiah posistif, yaitu konsisten
dengan ajaran dasar agama, kemudian mengalami konotasi negatif. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia KBBI, fundamentalisme diartikan dengan paham atau
gerakan keagamaan yang bersifat kolot atau reaksioner, yang selalu merasa perlu kembali pada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci, yang
sebagiannya cenderung memperjuangkan keyakinannya secara radikal. Kamus webster menjelaskan kata fundamentalis dengan menunjuk pada dua arti: yaitu 1
gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang menekankan penafsiran pada Alkitab secara literal harfiah sebagai sesuatu yang mendasar bagi hidup dan pengajaran
17
kristen. 2 sesuatu gerakan atau sikap yang menekankan ketelitian dan ketaatan secara harfiah terhadap sejumlah prinsip dasar.
17
Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional „ulama dicirikan oleh kuatnya peran ulama
atau oligarki klerikal clerical oligarchy dalam membuat penafsiran terhadap Islam, terutama Shi‟ah. Islam Shî„ah memberikan otoritas sangat besar kepada
„ulama untuk menafsirkan doktrin agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut. Akibatnya, kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi
sangat sempit dan terbatas. Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mendukung berkembangnya fundamentalisme tradisional adalah kuatnya otoritas
„ulama, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini, tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu
pihak dan tradisionalisme di pihak lain.
18
Fundamentalisme tradisional menganggap „ulama dan penguasa politik merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum
klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja. Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di
Iran. Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan
oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi
ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dengan ideologi modern seperti kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai
17
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, Jakarta: PSIA UIN Jakarta,h. 164
18
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, h. 19
18
bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern tidak dipimpin oleh ulama kecuali di Iran, tetapi oleh “intelektual sekular” yang
secaraterbuka mengklaim sebagai pemikir religius.Mereka berpendapat bahwa karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan religius; maka ahli kimia, teknik,
insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama.12 Jadi, terdapat semacam anti- clericalism
di kalangan
fundamentalisme Islam
modern, meskipun
fundamentalisme dalam wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligarki klerikal seperti disebut terdahulu.
Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam
terhadap dunia sekular- modern. Islam dijadikan sebagai alternatif pengganti ideologi modern, seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena
fundamentalisme bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah gerakan politik yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan
pada Isl am shari„ah, dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin
fundamentalis adalah kaum intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi Islam. Dengan ungkapan lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan
aktifis politik.
19
Ini sangat tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme Sunni. Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan
kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas
mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program, strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini,
fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme.
19
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer,Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, h. 3-4
19
Namun, keragaman ini tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan kebijakan bersama yang didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi
fundamentalis Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi
sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus didasarkan pada hukum atau shari
„at Islam ideologi Islam. Meskipun kaum fundamentalis meyakini sifat religius mereka,
fundamentalisme sesungguhnya bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius, melainkan sebagai corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama
mainstream, anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan karakter-karakter lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik,
fundamentalisme dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan pluralisme.
20
Meski begitu, gerakan kaum fundamentalis kontemporer, termasuk di dalamnya fundamentalisme Islam, ada beberapa ciri fundamentalisme yang bisa
dijadikan ukuran, yaitu: 1 cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara kaku, literalis tekstual, absolut, dan dogmatis; 2 cenderung memonopoli
kebenaran atas tafsir agama menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir agama yang paling absah. Akibatnya, mereka menganggap dirinya sebagai orang
yang benar-benar percaya terhadap agama, sementara di luarnya tidak percaya atau percaya setengah hati; agresif dalam merekrut anggota; represif, dan berupaya
mengeliminir kelompok-kelompok non-Muslim; 3 meyakini kesatuan agama dan negara, di mana agama harus mengatur negara; 4 terutama di dunia Timur,
memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat baik sebagai ide seperti
20
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme danOrientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya h. 19
20
pluralisme maupun sosial, khususnya politik, di mana Barat dipandang sebagai monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka;
5 mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler, yang karena itu program utamanya antara lain kontrol seksual; dan terakhir 6 sebagiannya
cenderung radikal menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan
sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.
21
Diantara beragam corak gerakan keagamaan khususnya Islam yang berkembang di Indonesia. Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam
dakwahis adalah Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia HTI dan Majelis Mujahidin
Indonesia MMI, Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia adalah NII Negara Islam Indonesia.
Jamaah Tablig ini adalah merupakan organisasi dakwah Islam yang menitik beratkan kajiannya pada usaha menyebarkan benih-benih keislaman, sehingga ia
tidak memiliki sistem organisasi yang kuat dan bagus sebagaimana organisasi- organisasi masyarakat lainnya. Dengan demikian, Jamaah Tablig bisa dijadikan
sebagai salah satu model dalam berdakwah dan dapat diterapkan dalam berbagai kesempatan dan kepentingan.
22
Hizbut Tahrir sebagai ormas alternatif dari ormas mainstream yang dalam riset ini dikategorikan fundamentalissalafi politis, diantara yang membedakan HTI
dengan kelompok Islam mainstream adalah dalam menafsirkan al-Qur ‟an.HTI
mendahulukan penafsiran secara harfiah dibandingkan penafsiran secara
21
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, Jakarta: PSIA UIN Jakarta,h. 166
22
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman, Jakarta: UIN Jakarta, 2013, h. 36
21
kontekstual. Namun, ini bukan berarti HTI mengharamkan sama sekali penafsirkan secara kontekstual, karena mereka menyadari persoalan dalam
kehidupan terus berkembang. Sementara turunnya nashteks al-Quran dan sunah sudah berhenti. Untuk dapat menjawab persoalan hidup yang terus berkembang
itulah, diperlukan penafsiran secara kontekstual. NII Jihadis bagi kelompok fundamentalis seperti Darul NII, ada keyakinan
bahwa agama harus menyatu dengan Negara, dimana Negara diatur atas dasar- dasar agama. Konsep ini didasarkan pada kepentingan kehidupan manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Makna Konotasi