Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab Dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia
i
MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB
DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
oleh:
IMAM ARIFIN
NIM: 1110024000006
Jurusan Tarjamah
Fakultas Adab Dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1435H / 2014M
(2)
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2 Oktober 2014
Imam Arifin NIM: 1110024000006
(3)
iii
MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB
DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh:
Imam Arifin
NIM: 1110024000006
Pembimbing I
Pembimbing II
(4)
(5)
v
TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah Swt yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Karena-Nya jugalah, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik meski agak sedikit terlambat waktunya karena kemalasan penulis.
Salawat dan salam penulis curahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad Saw, keluarga, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di hari akhir. Amin ya rabb.
Selesainya skripsi bukanlah semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri. Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada dukungan dari almamater sebagai tempat penulis menimba ilmu. Tanpa terkecuali, penulis berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Oman Faturahman, M. Hum. sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, dan Bapak Dr.Ahmad Syaekhudin M.Ag, selaku ketua Jurusan Tarjamah pada periode 2010-2014, dan Dr. TB Ade Asnawi, M.Ag ketua Jurusan Tarjamah periode 2014-2017. Tidak hanya itu, penulis tentunya sangat berterima kasih kepada dosen pembimbing skripsi, Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, dan Bunda Karlina Helmanita, M.Ag. yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya, untuk membimbing penulis demi selesainya skripsi ini. Selain itu, penulis berterima kasih kepada dua penguji skripsi ini: Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag dan Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M. Hum.
(6)
vi
Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Tatam Wijaya sebagai alumnus Tarjamah yang senantiasa memberikan motivasi yang sungguh berarti untuk penulis. Beliau juga ikut serta membantu memberikan arahan pada penulis sehingga proses penulisan skripsi ini terselesaikan.
Tak lupa, penulis berterima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu berbagai ilmu pengetahuan bahasa, budaya, dan terjemahan, khususnya Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M. Hum, yang mengajarkan seluk beluk dunia terjemah, terima kasih. Semoga amal mereka diterima di sisi Allah Swt. Amin!
Secara khusus, penulis berterima kasih kepada orang tua tercinta, Abah Ratmodan Mama Khopilah yang selalu mendoakan penulis. Penulis yakin mereka-lah yang membuat pengerjaan skripsi ini menjadi lebih ringan. Terima kasih penulis juga untuk Lek Juminah dan Lek Kusnanto, adik Aditia Soeman Prakoso dan adik kecil Naila Salsabila, yang sudah menjadi bagian dari hidup penulis, dan selalu memberi semangat hidup dalam sehari-hari.
Terima kasih yang amat sangat kepada keluarga Alm Raidah Binti Maud dan Keluarga Alm H. Rifai Bin, yang selalu memberi semangat tiada henti. Aku cinta padamu.
Serta penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kawan-kawan Jurusan Tarjamah 2010 atas kerjasama, kekompakan, dan kebersamaannya selama 4 tahun kita berada dalam satu tempat menimba ilmu.
Semoga skripsi yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi semua yang membacanya, terutama bagi yang berminat dibidang penerjemahan, dan
(7)
vii
khususnya bagi penerjemahan buku-buku dan teks-teks islam yang fundamentalis. Kritik dan saran, akan penulis terima dengan lapang dada.
Jakarta, 24 September 2014
(8)
viii
DAFTAR ISI
HALAMANJUDUL...i
SURAT PERNYATAAN………...ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii
TERIMA KASIH………...iv
DAFTAR ISI...vii
PEDOMAN TRANSLITERASI………ix
ABSTRAK………..xii
BAB I: PENDAHULUAN
A.LatarBelakangMasalah……….....1B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………...5
1. PembatasanMasalah...………...5
2. PerumusanMasalah………...………......5
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………...…………...6
D.MetodologiPenelitian……….....6
1. SumberData………....………...6
2. Teknik Pengumpulan Data……...………......7
3. Teknik Analisis Data……….....7
(9)
ix
BAB II: KERANGKA TEORI
A. Teori Kata Ambilan………...10
1. Definisi Kata Ambilan……….....10
2. Perbedaan: Kata Ambilandan Kata Serapan………...…...11
B. TeoriPenerjemahan………....14
1. DefinisiPenerjemahan………...14
2. IdeologiPenerjemahanHizbut Tahrir ...17
C. Makna Konotatif………....22
1. DefinisiKonotatif………...22
2. PerbedaanDenotatifdanKonotatif………...23
3. Sinonimi (Mutaradifat)………...33
BAB III: Profil dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir
A. Profil Singkat………...351. Perkembangan dan Sejarah Munculnya Hizbut Tahrir di Indonesia………....35
2. Tujuan Hizbut Tahrir………...42
3. Kegiatan Hizbut Tahrir………...43
4. StrategiDakwahisPolistis HT………...44
5. Metode Dakwah Hizbut Tahrir………...46
(10)
x
BAB IV: Analisis Semantik Kata Ambilan Arab dalam Buku
Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia
A. Pengantar...……….52
B. Analisis Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku Mafahim………...53
1. Kalimat 1...54
2. Kalimat 2...55
3. Kalimat 3...56
4. Kalimat 4...59
BAB V :Kesimpulan………...63
(11)
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
HurufArab Nama HurufLatin
Alif Tidakdilambangkan
Ba B
T Ta
Tsa Ts
Jim J
Ha H
Kha Kh
Dal D
Dzal Dz
Ra R
Zai Z
Sin S
Syin Sy
Shad Sh
Dhad Dh
Tha Tha
Zha Zh
„ain ....„....
(12)
xii
Fa F
Kaf K
Lam 1
Mim M
Nun N
Wau W
Ha H
Hamzah ...`...
Ya Y
â=aPanjang î=ipanjang û=upanjang
(13)
xiii |
ABSTRAK
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kata ambilan Arab berpengaruh dan digunakan dalam bahasa indonesia di kelompok islam fundamentalis. Khususnya dalam teks-teks dan buku keagamaan seperti di dalam buku mafahi hizbut tahrir ini.
kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku, tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.
Kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku keislaman dan tindak tutur pemakainya menunjukkan pola keagamaan, baik pola kegaman fundamentalis dakwahis, politis, jihadis,maupun pola/tipologi mainstream/moderat. Selain itu, jika kata ambilan Arab yang dipakai dalam teks dianalisis lewat teori analisis semantik sintaktikal dan konotasi teks serta sosial budaya, pola keagamaan ormas/kelompok sosial keagamaan menjadi lebih tampak lagi. Bahkan, lewat cara ini juga ditemukan sejumlah akar problem yang melahirkan pola keagamaan.[]
(14)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa asli/sumbernya. Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.1 Berbeda dengan kata serapan, kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam bahasa Indonesia yang dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus besarbahasa Indonesia (KBBI).2
Kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku. Tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.3
Kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku keislaman dan tindak tutur pemakainya menunjukkan pola keagamaan, baik pola keagamaan fundamentalis, dakwahis, politis, jihadis, maupun pola/tipologi mainstream/moderat. Selain itu, jika kata ambilan Arab yang dipakai dalam teks dianalisis melalui teorianalisis
1
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab Dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013), h. 6
2
Lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
3Sukron Kamil, dkk,Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013),h. 26
(15)
2
semantik sintaktikal, konotasi teks, sosial budaya, pola keagamaan ormas/kelompok sosial keagamaan menjadi lebih tampak lagi. Bahkan, melalui cara ini juga ditemukan sejumlah akar problem yang melahirkan pola keagamaan mereka.4
Lahirnya penggunaan kata ambilan Arab yang belum menjadi bahasa Indonesia lebih menunjukkan pola keagamaan. Salah satunya di kalangan Hizbut Tahrir Indonesia yang umumnya berasal dari kelompok dakwahis dan politis banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata Daulah Islâmiyah dan
Khilâfah Islâmiyah yang merupakan dua istilah/ambilan Arab yang menjadi gagasan sentral HTI. Karenanya, dua istilah ini yang paling banyak digunakan oleh HTI. Daulah Islâmiyah yang berarti negara Islam dan Khilâfah Islâmiyah yang berarti kepemimpinan Islam merupakan dua istilah yang sangat melekat dengan HTI. Cita-cita dari perjuangan HTI adalah menjadikan NKRI sebagai Daulah Khilâfah Islâmiyah. Pemakaian kedua istilah tersebut tidak menggunakan padanannya dalam bahasa Indonesia, karena konsep yang terdapat dalam kedua istilah tersebut tidak akan sama ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.5
Selain kata Daulat Islamiyah yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, Kata mabda yang secara etimologis adalah ism makan dari kata
„bada’a-yabda’u-mabdaan’ yang berartipermulaan. Secara terminologis mabda berartipemikiranmendasar yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang).6 Dalam padanan bahasa Indonesia, mabda memiliki padanan dengan kata ideologi.
4
SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab dalamTeks-TeksKeislaman,(Jakarta: UIN, 2013), h. 6
5Sukron Kamil, h. 6
(16)
3
Walaupun mempunyai padanannya dalam bahasa Indonesia, HTI tetap menggunakan kata mabda ketika menjelaskan tentang ideologi.
Pemerkayaan kosakata melalui pengambilan kata Arab atau istilah dari bahasa lain adalah suatu keniscayaan. Tidak ada bahasa modern yang steril dari kata ambilan. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka meminjam lebih dari sepertiga dari bahasa lain. Hal demikian juga terjadi dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mengambil banyak sekali bahasa asing, seperti Sansakerta, Arab, Belanda, Cina dan Inggris. Pengambilan kata ini karena kebutuhan pretise.
Perkembangan dan perubahan kebahasaan dapat terjadi baik dalam ranah makna, tata bahasa, maupun kosakata. Kosakata merupakan bidang yang cepat berkembang dan banyak mengalami perubahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah pengambilan kata baru dalam pola keagamaan di Indonesia, misalnyadalam bahasa Indonesia pada beberapa dekade terakhir, dalam kelompok salafi dakwahis dan politis HTI. kata mabda (ideologiI), akhi (saudara), thâghût
(syetan), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dan daulat (perjalanan untuk dakwah) (harta rampasan perang).7 Kalangan yang hampir sama seperti salafi dakwahis semisal Jama‟ah Tabligh, PKS, MMI, juga melakukan hal yang sama.
Dalam hal ini bahasa merupakan cerminan pola pikir dan pola rasa yang bisa diteliti lewat teori kontekstual yang tercakup di dalamnya kajian atas fenomena bahasa sintaktikal serta wacana dan juga konteks sosial budaya yang melingkupinya, maka kajian atas pola keagamaan lewat teks-teks kebahasaan
7
Taqiyuddin An-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2001),h.10
(17)
4
dalam literatur keislaman kontemporer di Indonesia bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pola keagamaan fundamentalisme (salafi dakwahis dan politis), bahkan radikalisme (salafi jihadis) bisa diteliti lewat kajian atas fenomena kebahasaan dalam buku pedomannya atau teks-teks keislaman yang dilahirkan oleh kelompok-kelompok Islam tersebut.
Dengan pemaparan di atas agar fokus dalam penelitian, maka penelitian ini akan mengkaji kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku pedoman keislaman kontemporer Mafahim Hizbut Tahrir. hal Ini terkait dengan keunggulan bahasa Arab dalam menampung konsep-konsep keagamaan yang dalam bahasa Indonesia sering kali tidak ditemukan padananya. Berdasarkan pemikiran di atas penulis membahas skripsi ini dengan judul: Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah.
Untuk dapat menemukan sebuah pembahasan secara lebih mendalam, penulis membatasi objek penelitiannya dengan menggunakan 16 kosakata kata ambilan Bahasa Arab dari 78 kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia. Kosakata tersebut seperti pada kata mabda (ideologi), Qabih (tercela)
Hasan (Terpuji), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dandaulat
(perjalananuntukdakwah).8 Kafir Harbi, Daulat Islamiyah, Khilafah Islamiyah, Kharaj, Daarul Kufur, Daarul Islam, kafir Mua’ahad, Inqilabi,hirjuaz-zawiyah, hizb
8
An-Nabhani, Taqiyuddin Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2001),h.10
(18)
5
.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diurai adalah:
Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sebagaimana rumusan yang sudah diidentifikasikan oleh penulis. Maka, penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain:
Untuk megetahui makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia
D. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan jalan mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti berbentuk kata-kata, bukan angka-angka9 data yang penulis dapatkan dalam hal ini merujuk sumber primer dan bahan sekunder.
Data yang diperoleh yaitu melalui, teori makna konotatif, teori konotatif Roland Barthes, hermeneutik, dan juga akan diperkaya teori mutaradifat. teori tersebut akan dibahas lebih dalam di (bab 2) kemudian wawancara langsung kepada salah satu tokoh Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) guna mempertajam analisa yang penulis paparkan.
(19)
6
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diambil dari buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia. Sesuai judulnya, kitab Mafahim Hizbut Tahrir Di dalam buku Mafâhim Hizbut Tahrir’terdapat 78 kosakata yangditulis dalam bahasa Arab. Kosakata tersebut ditulis miring sebagai tanda bahwa kosakata tersebut adalah kosakata asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, walaupun belum menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, penulisan kosakata tersebut mengikuti bentuk kosakata bahasa Indonesia dan tidak menggunakan bentuk ejaan dalam bahasa asalnya
Namun, di dalam buku ini tidak semua kosakata dan istilah Arab dipakai karena alasan kebutuhan, yang jika tidak digunakan akan merusak cita rasa makna yang dimaksud. Misalnya kata qabîh yang berarti buruk/jelek. Kata tersebut apabila dituliskan terjemahannya dalam bahasa Indonesia tidak akan mengurangi atau menghilangkan makna yang terkandung dalam bahasa asalnya. Demikian pula dengan katahasan (terpuji) „syarah’ yang berarti penjelasan. Jika tiga kata ditampilkan dalam bentuk terjemahannya dalam bahasa Indonesia sesunguhnya lebih baik.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data berupa kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim HTI berupa kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab dicatat pada kartu. Kemudian catatan itu dianalisis untuk menemukan bentuk-bentuk pengambilannya yang tidak sesuai padananya dengan bahasa Arab.
(20)
7
3. Teknik Analisis Data
Data yang berupa kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab dianalisis dengan mengacu pada perubahan konotasi yang terjadi pada proses pengambilan. Analisis dilanjutkan dengan melihat perbedaan register dan makna yang terjadi yaitu makna konotasi yang merupakan makna yang bukan sebenarnya dan merujuk pada hal lain.Makna Konotasi tidak diketahui oleh semua orang, dalam artian hanya digunakan oleh suatu komunitas tertentu, konotatif merupakan makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut10
E. SistematikaPenulisan
Dalam hal ini penulis akan memberikan penjelasan secara sistematika dengan cara pandang masalah secara objektif, agar dapat dipahami secara baik. Penulisan ini dibagi menjadi VI BAB.
BAB I, Pendahuluan: terdiri dari enam subbab yaitu; Pertama, Latar belakang masalah; kedua pembatasan dan perumusan masalah; ketiga, tujuan dan kegunaan penelitian; keempat metode pembahasan; kelima manfaat penelitian dan; keenam, sistematika penulisan.
10SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,(Jakarta: Kesaint Blanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 163
(21)
8
Pada bab selanjutnya (bab 2), peneliti menjelaskan teori kata ambilan Arab, Distingsi: kata ambilan dan serapan, teori penerjemahan, ideology penerjemahan ormas fundamentalis, teori makna konotasi, denotasi, dan teori mutaradifat.
Kemudian pada bab berikutnya (bab 3) penulis akan menggambarkan profil dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir.
Selanjutnya, pada bab inti (bab 4), peneliti akan membahas analisis Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam buku
Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa.
Pada akhirnya peneliti mengakhiri di (bab 5) penelitian ini dengan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian mengenai kata ambilan Arab di dalam buku
(22)
9
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kata Ambilan
1. Definisi Kata Ambilan
Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.Istilah kata ambilan, ia diambil dari bahasa asing, hanya saja tidak ada padanannya di dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya terlalu panjang.1 Kosakata bahasa asing yang dapat diambil menjadi istilah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Lebih cocok karena konotasinya; misalnya oksigen lebih cocok daripada gas asam,
b. Lebih singkat daripada terjemahan Indonesianya,
c. Memudahkan pengalihan antar bahasa karena corak keinternasionalannya d. Dapat mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu
banyak sinonimnya.
Secara garis besar, istilah dapat dibentuk dengan cara (1) mengambil kata/gabungan kata umum dan memberinya makna atau definisi yang tetap, (2)
1
Zuchridin Surya winata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori& Penuntun Prakti sMenerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134
(23)
10 mengambil istilah asing dengan cara (a) mengadopsi, (b) mengadaptasi, dan (c) menerjemahkan.2
2. Perbedaan:Kata Serapan dan Kata Ambilan
Kata serapan merupakan sebuah fenomena linguistik yang dalam kajiannya sejajar dengan sejarah pembentukan sebuah bahasa, tidak seperti proses pembentukan kata lainnya (derivation, composition, abreviation, dan siglaison).
Kontak antarbahasa dapat terjadi apabila antarbahasa serumpun, sehingga kontak tersebut menimbulkan kata serapan yang bermakna.
Salah satu ciri serapan ialah serapan kata yang bermakna sama dengan kata bahasa penyerap. Bahasa Indonesia mengalami proses penyerapan dengan ciri sinonimi.3 Misalnya kata serapan temperaturbersinonim suhu.Seperti halnya kata-kata dalam bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui berbagai macam bahasa daerah di kepulauan Indonesia, pun bahasa Jawa dan Sunda, serta dialek Melayu. Bahasa Betawi juga mengalami perubahan menjadi suatu wujud baru dalam bahasa Arab klasik yang kemudian mengalami proses re-arabisasi atau telah hilang sama sekali. Jika kata-kata tersebut dituturkan oleh pedagang Arab, maka masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena pedagang (seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab klasik jika berkomunikasi dengan orang lain.4Bahkan mereka biasanya tidak menguasai bahasa Arab klasik dengan baik.
2
Zuchridin Suryawinata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori & Penuntun Praktis Menerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134
3
J.D Parera, Teori Semantik, (Jakarta:Erlangga, 2004), h. 65
(24)
11 Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apapun yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang klasik. Namun Kees Versteegh yang dikutip oleh Nikolaos Van Dam (Arabic Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik
adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di mana j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta„ (Arab = jamal, Mesir = gamal) dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti dalam gamis `kemeja’ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba).”5
Namun tidak seluruhnya dari Arab, hal ini juga dapat karena pengaruh Inggris
Sehubungan dengan penjelasan di atas, kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia dapat dibagi kedalam empat bagian yaitu: Pertama, lafal dan artinya yang masih sesuai dengan aslinya dalam bahasa Arab.Walaupun sebagian dalam penulisannya mengalami perubahan. Misalnya kata abad, adil, bakhil, bathil,
barakah, musyawarah, dan munkar. Kedua, lafalnya berubah namun artinya tetapsama dengan bahasa Arab. Misalnya kataberkah, atau berkatyang merupakan asal kata barakah; lalim dari kata zhalim; makalah dari kata maqalah; dan kata
resmi dari kata rasmiy. Ketiga, lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula dalam bahasa Arab. Misalnya, keparat-- dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah kata makian (sepadan dengan kata sialan)—. Kemudian logat dalam bahasa Indonesia bermakna dialek atau aksen berasal dari kata lughahyang dalam bahasa Arab bermakna bahasa. Keempat, lafalnya sama tetapi artidalam bahasa Indonesia berubah. Misalnya kata ahli dan kalimat. Dalam bahasa
(25)
12 Indonesiakalimat bermakna rangkaian kata-kata, kemudian dalam bahasa Arab bermakna kata.6
Berbeda dengan kata ambilan Arab. merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.
Untuk membedakan kata serapan dan kata ambilan, kita dapat menggunakan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) produk Pusat bahasa Nasional. Kata serapan merupakan kata asing yang sudah masuk kedalam entri kamus tersebut. Kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam bahasaIndonesia yang dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus. Berbeda dengan kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku, tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.7
Umumnya, kata ambilan Arabyang belum menjadi bahasa Indonesialebih menunjukkan pola keagamaannya yang lebih kuat. Seperti kelompok dakwahis atau ormas Islam. Menurut para penganut tersebut, upaya mempertahankan sesuatu yang asing dan tidak lazim, unik, serta kekhasan dari budaya bahasa sumber yang tetap mempertahankan gaya, cita rasa, dan cita rasa kultural bahasa sumber
6
Sukron Kamil, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN, 2013), h. 6 dan Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab 7
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013), h. 26
(26)
13 merupakan suatu keutamaan8. Contohnya di kalangan dakwahis Hizbut Tahrir Indonesia yang pada umumnya berasal dari kelompok tarbiyyah (salafi ormas fundamentalis Islam yang banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata
akhi (saudara), Fikrah(konsep), Ghanimah (Harta rampasan perang), qadla
(peradilan), kharaj (Pendapatan negara dari tanah/lahan di daerah taklukan),
Inqilâbi (revolusioner), kulliyat (umum), harakah Ishlahiyah (gerakan reformasi).9 Kemudian kalangan yang hampir sama seperti Salafi Dakwahis adalah Jama‟ah Tabligh yang juga melakukan hal serupa. Selain itu kalangan dakwahis politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS)juga menggunakan Kata ambilan Arab seperti thaghut (syetan), daulah(Negara), shibghah (bentuk/ajaran), qiyâdah
(kepemimpinan). Hal ini jika dianalisis melalui analisis kontekstualakan menjadi lebih ilmiah lagi.10
Disamping itu, kata-kata serapan atau ambilan Arab dalam pesantren juga mempunyai peran penting, karena pesantren mengajarkan bahasa Arab dan berperan sebagai bahasa utama. Maka dari itu banyak kata-kata yang mengalami perubahan. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek Melayu seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke dalam bahasa resmi Indonesia.11
8U iKulsu ,
Doubletdala kata serapa Arab: Kajia Perbedaa Mak ada Register Makalah “e i ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPera Pe erje aha di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 278
9
Taqiyudin an-Nabhani, MafahimHizbutTahrir,(Jakarta, HizbuTahriri Indonesia, 2004), h. 10
10
SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab dalamTeks-TeksKeislaman (Jakarta: UIN Jakarta 2014), h. 7.
11
(27)
14 B. Teori Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan
Penerjemahan merupakan upaya mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa target dengan cara menemukan ekuivalensi yang memiliki struktur semantik yang sepadan. Bisa dikatakan penerjemahan merupakan dwitindak komunikasi (dual act of communication) yang kompleks, maksudnya adalaha yang mensyaratkan adanya dua kode yang berbeda (bahasa sumber dan bahasa target). Ketika proses penerjemahan berlangsung, penerjemah harus terlebih dahulu memahami rentetan kegiatan mulai dari memahami makna teks sumber sampai mengungkapkan kembali makna tersebut dalam bahasa target.12 Lebih jelasnya Nida dalam M. Zaka Alfarisi, mengemukakan bahwa proses penerjemahan biasanya melewati tiga tahapan. Yaitu:
Pertama, tahapan analisis sebagai upaya memahami teks sumber melalui telaah linguistik dan makna, memahami materi yang diterjemahkan, serta memahami konteks budaya. Kedua, tahapan pengalihan makna atau pesan yang termaktub dalam teks sumber. Ketiga, tahapan rekonstruksi sebagai upaya menyusun kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil akhir terjemahan dalam bahasa target.13
Selain itu, Moeliono dalam Syihabudin berpandangan bahwa pada hakikatnya penerjemahan itu merupakan kegiatan memproduksi amanat atau pesan bahasa sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima, baik dari segi arti maupun gaya. Idealnya, terjemahan tidak akan dirasakan sebagai
12
M. Zaka Al farisi,PedomanPenerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: RemajaRosdakarya, 2011), h. 23
13
SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; BahasadanTerjemahan; Language and
(28)
15 terjemahan. Namun,untuk memproduksi amanat itu, mau tidak mau diperlukan adanya penyesuaian gramatikal dan leksikal14.
Jelas sudah peran penerjemah sangatlah sentral dalam kegiatan penerjemahan. Sebab, ia berperan sebagai mediator yang menjadi jembatan penghubung antara penulis teks sumber dan pembaca teks target. Jembatan penghubung inilah yang menghadirkan pemikiran penulis teks sumber ke dalam teks target dalam bingkai kesepadanan. Secara teoritis, sesungguhnya mengungkapkan pemikiran orang lain dari bahasa sumber ke dalam bahasa target itu lebih sulit daripada mengungkapkan pemikiran sendiri. Kesulitan ini timbul karena penerjemah mengemban tanggung jawab besar.15Ia harus menyampaikan amanat penulis teks sumber melalui bahasa target dengan tingkat keakuratan, kejelasan, dan kewajaran yang memadai. Kesulitan penerjemah juga bertambah lantaran adanya perbedaan bahasa, budaya, dan konteks sosiologi yang dimiliki penulis teks sumber dan membaca terjemahan. Di sinilah penerjemah berupaya mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dengan menggunakan metode teknik penerjemahan sesuai dengan kebutuhan saat berlangsungnya proses penerjemahan.16
Selain itu, Hoed dalam Zaka Al Farisi mengemukakan masalah pokok dalam penerjemahanialah sulitnya menemukan ekuivalensi atau kesepadanan. Seandainya ekuivalensi sudah ditemukan, maka setiap unsur bahasa yang dipadankan pun masih akanterbuka untuk melahirkan aneka penafsiran. Maka dari itu pengertian penerjemahan yang benar sangat bergantung pada faktor di luar teks itu sendiri. Faktor di luar teks itu antara lain pertama penulis teks yang dalam menghasilkan
14Syihabuddin,
Penerjemahan Arab-Indonesia (TeoridanPraktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h. 10
15
M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya. 2011), h. 25
16
M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya. 2011), h. 26
(29)
16 tulisannya tidak terlepas dari pengaruh pendidikan, lingkungan sosial, ideologi, dan hal-hal lain yang memengaruhi tulisannya.Faktor kedua ialah penerjemahan yang terikat dengan jaringan intertekstual dalam upaya mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa target.Faktor ketiga ialah pembaca yang boleh jadi mempunyai bermacam-macam tafsiran terhadap teks yang dibacanya.Faktor keempatialah perbedaan kaidah yang berlaku dalam bahasa sumber dan bahasa target.Faktor kelimaialah kebudayaan yang melatari bahasa target.Kemudian terakhir ialah hal yang dibicarakan dalam suatu teks yang bisa dipahami secara berbeda oleh penulis teks sumber, penerjemah, dan pembaca terjemahan.
2. Ideologi Penerjemahan Ormas Fundamentalis Pengertian Fundamentalisme
Secara harfiah, fundamentalis berarti orang atau sekelompok orang yang taat dan setia pada dasar-dasar ajaran agamanya. Dalam bahasa Arab, kaum fundamentalis disebut dengan ushuli (yang berpegang pada dasar-dasar agama). Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiah posistif, yaitu konsisten dengan ajaran dasar agama, kemudian mengalami konotasi negatif. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), fundamentalisme diartikan dengan paham atau gerakan keagamaan yang bersifat kolot atau reaksioner, yang selalu merasa perlu kembali pada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci, yang sebagiannya cenderung memperjuangkan keyakinannya secara radikal. Kamus webster menjelaskan kata fundamentalis dengan menunjuk pada dua arti: yaitu (1) gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang menekankan penafsiran pada Alkitab secara literal (harfiah) sebagai sesuatu yang mendasar bagi hidup dan pengajaran
(30)
17 kristen. (2) sesuatu gerakan atau sikap yang menekankan ketelitian dan ketaatan secara harfiah terhadap sejumlah prinsip dasar.17
Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan modern. Fundamentalisme tradisional („ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama atau oligarki klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap Islam, terutama Shi‟ah. Islam Shî„ah memberikan otoritas sangat besar kepada „ulama untuk menafsirkan doktrin agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut. Akibatnya, kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi sangat sempit dan terbatas. Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mendukung berkembangnya fundamentalisme (tradisional) adalah kuatnya otoritas „ulama, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan politik. Dalam hal ini, tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu pihak dan tradisionalisme di pihak lain.18
Fundamentalisme tradisional menganggap „ulama dan penguasa politik merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja. Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di Iran.
Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dengan ideologi modern seperti kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai
17
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 164
18
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya), h. 19
(31)
18 bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh “intelektual sekular” yang secaraterbuka mengklaim sebagai pemikir religius.Mereka berpendapat bahwa karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan religius; maka ahli kimia, teknik, insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama.12 Jadi, terdapat semacam anti-clericalism di kalangan fundamentalisme Islam modern, meskipun fundamentalisme dalam wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligarki klerikal seperti disebut terdahulu.
Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam terhadap dunia sekular- modern. Islam dijadikan sebagai alternatif pengganti ideologi modern, seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena fundamentalisme bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah gerakan politik yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan pada Islam (shari„>ah), dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin fundamentalis adalah kaum intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi Islam. Dengan ungkapan lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan aktifis politik.19 Ini sangat tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme Sunni. Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program, strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini, fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme.
19
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer,(Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya), h. 3-4
(32)
19 Namun, keragaman ini tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan kebijakan bersama yang didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi fundamentalis Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus didasarkan pada hukum atau shari„at Islam (ideologi Islam).
Meskipun kaum fundamentalis meyakini sifat religius mereka, fundamentalisme sesungguhnya bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius, melainkan sebagai corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama (mainstream), anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan karakter-karakter lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik, fundamentalisme dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan pluralisme.20
Meski begitu, gerakan kaum fundamentalis kontemporer, termasuk di dalamnya fundamentalisme Islam, ada beberapa ciri fundamentalisme yang bisa dijadikan ukuran, yaitu: (1) cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara kaku, literalis (tekstual), absolut, dan dogmatis; (2) cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir agama yang paling absah). Akibatnya, mereka menganggap dirinya sebagai orang yang benar-benar percaya terhadap agama, sementara di luarnya tidak percaya atau percaya setengah hati; agresif dalam merekrut anggota; represif, dan berupaya mengeliminir kelompok-kelompok non-Muslim; (3) meyakini kesatuan agama dan negara, di mana agama harus mengatur negara; (4) terutama di dunia Timur, memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti
20
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme danOrientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya) h. 19
(33)
20 pluralisme maupun sosial, khususnya politik), di mana Barat dipandang sebagai monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka; (5) mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler, yang karena itu program utamanya antara lain kontrol seksual; dan terakhir (6) sebagiannya cenderung radikal (menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.21
Diantara beragam corak gerakan keagamaan (khususnya Islam) yang berkembang di Indonesia. Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam dakwahis adalah Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia adalah NII (Negara Islam Indonesia).
Jamaah Tablig ini adalah merupakan organisasi dakwah Islam yang menitik beratkan kajiannya pada usaha menyebarkan benih-benih keislaman, sehingga ia tidak memiliki sistem organisasi yang kuat dan bagus sebagaimana organisasi-organisasi masyarakat lainnya. Dengan demikian, Jamaah Tablig bisa dijadikan sebagai salah satu model dalam berdakwah dan dapat diterapkan dalam berbagai kesempatan dan kepentingan.22
Hizbut Tahrir sebagai ormas alternatif dari ormas mainstream yang dalam riset ini dikategorikan fundamentalis/salafi politis, diantara yang membedakan HTI dengan kelompok Islam mainstream adalah dalam menafsirkan al-Qur‟an.HTI mendahulukan penafsiran secara harfiah dibandingkan penafsiran secara
21
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 166
22
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman, (Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 36
(34)
21
kontekstual. Namun, ini bukan berarti HTI mengharamkan sama sekali penafsirkan secara kontekstual, karena mereka menyadari persoalan dalam kehidupan terus berkembang. Sementara turunnya nash/teks al-Quran dan sunah sudah berhenti. Untuk dapat menjawab persoalan hidup yang terus berkembang itulah, diperlukan penafsiran secara kontekstual.
NII Jihadis bagi kelompok fundamentalis seperti Darul NII, ada keyakinan bahwa agama harus menyatu dengan Negara, dimana Negara diatur atas dasar-dasar agama. Konsep ini didasar-dasarkan pada kepentingan kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Makna Konotasi 1. Definisi Konotatif
Makna konotasi (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi, tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Positif dan negatifnya nilai rasa sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif maka akan bernilai rasa yang positif; dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif maka akan bernilai rasa negatif.
Misalnya, burung garuda karena dijadikan lambang negara republik Indonesia maka menjadi bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa negatif seperti buaya yang dijadikan lambang kejahatan. Padahal binatang buaya
(35)
22 itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka lambang yang tidak baik.23
Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Misalnya kata babi, di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama islam, memiliki konotasi negatif karena binatang tersebut menurut hukum islam adalah haram dan najis. Sedangkan di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan islam seperti di pulau Bali atau pedalama Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif.
Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang berkonotasi netral, tetapi kini berkonotasi negatif.
Contoh kata bermakna konotasi:
A. Pandangan mataku melayang kearahnya, kutatap dia setajam silet
B. Desir angin yang menyapa wajahku, tak dapat menyembunyikan kegelisahanku.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi negatif. Konotasi positif mengandung nilai rasa lebih tinggi, baik, halus, sopan, dan menenangkan. Konotasi negatif mengandung nilai rasa rendah, jelek, kasar, kotor, dan tidak sopan
23
(36)
23 Contoh:Konotasi positif Konotasi negatif, suami istri laki bini, tunanetra buta, pria laki-laki. kata-kata yang bermakna konotatif biasanya digunakan dalam karya sastra.24
2. Perbedaan Konotatif dan Denotatif
Menurut Barthes, jika bahasa lebih banyak di produksi dan dipahami dalam taraf denotasi maka karya sastra terutama puisi lebih banyak taraf konotasinya. System tanda primer atau denotasi digunakan untuk berkomunikasi, berfikir, dan menginterpretasikan segala sesuatu termasuk bahasa itu sendiri. Sedangkan system tanda sekunder atau konotasi merupakan pemanfaatan bahasa oleh sastrawan untuk merumuskan piikirannya dalam bentuk tanda bahasa secara artistic. Jika arti bahasa ditentukan oleh konvensi masyarakat, maka arti karya sastra selain ditentukan oleh konvensi masyarakat juga konvensi arti sastra itu sendiri. Dalam penciptaan sastra, sastrawan pertama kali diikat oleh arti bahasa, kemudian diolahnya menjadi sastra, sehingga acapkali tidak sama lagi dengan arti di luar karya sastra. Dalam bahasa Inggris arti bahasa disebut dengan meaning, sedang arti karya sastra disebut significance (meaning of meaning), dalam bahasa lain, makna sastra ditentukan oleh konvensi tambahan (konotasi) atau semiotika tingkat kedua, meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya atau semiotic tingkat pertama. Dalam bahasa Winfried North, semiotika tingkat pertama disebut cortex
(tingkat struktur makna permukaan) dan semiotic tingkat kedua disebut dengan
nucleus (struktur makna dalam).
24
Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta, GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 123
(37)
24 Sebagaimana bahasa, karya sastra juga merupakan tindak komunikasi yang melibatkan berbagai komponen. Hanya saja, jika dalam tindak komunikasi bahasa, yang dominan terlibat hanya tiga: yaitu komunikator, komuniken, dan komunike, maka dalam tindak komunikasi sastra, menurut pendekatan semiotic, yang terlibat di dalamnya banyak. Paling tidak ada delapan komponen: pencipta, karya sastra, pembaca, kenyataan atau semesta, system bahasa, konvensi sastra, variasi bentuk karya sastra dan nilai keindahan25
Selain itu, Piliang,26 menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto sesungguhnya.Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.Sedangkan konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi sebuah makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda “bunga” mengkonotasikan “kasih sayang”.Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative meaning).
Selanjutnya, Chris Barker menjelaskan bahwa denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara tampak dimiliki oleh semua anggota kebudayaan.
25Sukron Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam dan Politik,(Jakarta: Dian Rakyat, 2013), h. 108-109
(38)
25 Pada level kedua, yaitu konotasi, makna terbentuk dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas; keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial.Makna sebuah tanda dapat dikatakan berlipat ganda jika makna tunggal tersebut disarati dengan makna yang berlapis-lapis. Ketika konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya diterima sebagai sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai mitos, yaitu konstruksi kultural dan tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan melekat pada nalar awam.27
Konotasi yang mantap dapat berkembang menjadi mitos, yaitu makna tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh komunitas.Mitos yang mantap dapat berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh ideologi tersebut.28 Menurut Barthes, pada tingkat denotasi bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi.Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.29Bagi Barthes, mitos merupakan sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama (penanda dan petanda) yang membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua pada makna mitologis konotatif.
27Chris Barker, Cultural Studies TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 74. 28Chris Barker, h.109
(39)
26 Kemudian Barker mengungkapkan, mitos menjadikan pandangan dunia tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan.Mitos bertugas memberikan justifikasi ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi.30Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat.
Menurut Newmark dalam Suryawinata, menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu unit linguistic dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Yang perlu dicermati adalah di dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu macam makna.Suryawinata mengemukakan ada lima macam makna yaitu, makna leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual, atau situasional, dan makna sosiokultural. Leksikal adalah butir linguistik yang terdapat di dalam kamus. Contoh kata handyang terdapat di dalam kamus longman berikut: the moveable parts at the of the arms, including the fingers.31Makna gramatikal adalah makna yang diperoleh dari bentukan, susunan atau urutan kata dalam frase atau kalimat.Lebih jelasnya makna tersebut dihasilkan oleh imbuhan atau makna yang ditimbulkan oleh susunan antara satu kata dengan kata yang lainnya yang menyusun kalimat.Perhatikan perbedaan makna dari beberapa pasang kata atau kalimat ini, menidurkan, meniduri, dan tertidur.32Sedangkan makna tekstual adalah makna suatu kata yang ditentukan oleh hubungannya dengan kata-kata lain di dalam suatu kalimat, makna kontekstual atau makna situasional adalah makna yang timbul dari situasi atau konteks di mana frasa, kalimat, atau ungkapan tersebut dipakai.33Sebuah ungkapan good morning bisa mempunyai makna yang
30 Chris Barker,Culturalh. 75
31ZuchridinSuryawinata, Translation, BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan,
(Yogyakarta, Kanisius, 2003), h. 118
32Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta, GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 124
(40)
27 berbeda meskipun sama-sama diucapkan oleh seseorang atasan kepada pegawainya kalau waktunya berbeda good morning berarti sapaan yang ramah jika diucapkan oleh seorang atasan kepada seorang pegawainya yang datang lebih dahulu, mungkin sebelum pegawai-pegawai yang lain datang.Good Morning berarti sebuah teguran yang sinis bila diucapkan oleh atasan yang sama beberapa menit kemudian kepada seorang pegawai lain yang datang terlambat, dan yang terakhir adalah makna sosiokulural makna kata yang sesuai dengan faktor-faktor budaya masyarakat pemakai bahasa itu.34
Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses pengambilan kata (kata ambilan) dalam menentukan bahasa sasaran. Pembahasan tentang kata ambilan harus dihubungkan dengan makna konotasi dan denotasi, konotasi mempunyai hak hidup yang sama dengan denotasi. Bahasa sebagai sarana komunikasi bermakna tidak dapat melaksanakan fungsinya secara lengkap tanpa adanya makna konotasi.Suatu studi yang lengkap tentang makna kata bukan hanya berurusan dengan makna denotasi, tetapi juga harus berurusan pula dengan makna konotasi.Bahasa yang hidup dan berkembang adalah bahasa yang memiliki makna denotasi dan makna konotasi. Komunikasi antarsesama manusia akan lebih hidup dan bermakna apabila dengan kehidupan dan penghidupan makna konotasi. Berbahasa tanpa memanfaatkan konotasi seperti berbahasa tanpa garam, kecuali berbahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.35
Hubungan antara denotasi dan konotasi terletak pada notasi atau rujukannya. Keduanya mempunyai notasi yang sama, tetapi yang satu menggunakan imbuhan
de-, dan yang satu menggunakan imbuhanko-. Imbuhan de berarti tetap dan wajar
34SugengHariyanto, Translation,
BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan,(Yogyakarta:Kanisius, 2004), h. 98 35J. D. Parera,TeoriSemantik,(Jakarta, Erlangga, 2004), h. 97
(41)
28 sebagai mana adanya dan imbuhan ko- berarti “bersama dengan yang lain, ada
tambahan yang lain” terhadap notasi yang bersangkutan. Jadi denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata
babi bermakna denotatif yaitu sejenis binatang yang biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya.Kata kurus bermakna denotatif yaitu keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal.
Jika makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif merupakan makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata
babi. Pada contoh diatas, orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat Islam mempunyai konotasi negatif, ada rasa perasaan tidak enak bila mendengar kata itu.36
Berdasarkan uraian singkat di atas, kiranya makna denotasi lebih mudah dicatat dan direkam oleh para semantikus, khususnya para penyusun kamus leksikograf.Makna denotasi pula yang pertama kali dimasukkan dalam kamus bahasa.Oleh karena itu makna denotasi dapat dikatakan sebagai makna kamus atau makna yang sesuai dengan definisi dalam kamus.
Harimurti dalam buku Mansoer Pateda berpendapat “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal, yakni makna yang ditentukan
36ZaenalArifin,
(42)
29 oleh stilistis fungsional dan nuansa ekspresi pengungkapan bahasa.37 Misalnya, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat menyimpansurat yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, instansi, jabatan lain. Dalam hal ini kata amplop ini merupakan makna denotasi. Tetapi pada kalimat “Berilah ia
amplop agar urusanmu segera selesai,” maka kata amplop tersebut bermakna konotatif, yakni berilah ia uang.38Sehubungan dengan contoh di atas konotasi terdapat diantara makna kata-kata yang bersinonim dan konotasi pun dapat muncul pada sebuah kata.
Terdapat makna kata-kata tertentu yang berbeda konotasi antara pribadi, antarkelompok masyarakat, antaretnis, antargenerasi.Oleh karena itu, telaah tentang konotasi terdapat pada sebuah makna harus dilakukan secara historis dan deskriptif.Menelaah secara historis dan deskriptif bukanlah dua telaah yang berdiri sendiri, satu mata rantai yang bergerak dari satu ujung ke ujung lain, kadang-kadang masih berdekatan dan kadang-kadang-kadang-kadang perkembangan makna itu sudah menjalani satu masa yang panjang sepanjang masa makna itu dipergunakan oleh masyarakat pemakainya.39
Dalam masa yang singkat makna kata akan tetap atau tidak berubah, akan tetapi dalam kurun waktu yang lama ada kemungkinan makna kata tersebut mengalami perubahan ataupun pergeseran maknanya. Perubahan makna adalah gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Dalam perubahan makna terjadi perubahan pada rujukan yang berbeda dengan rujukan awal.Sebagai contoh
37
SalihenMoentaha, BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,(Jakarta: KesaintBlanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 163
38R MansoerPateda,Semantikleksikal, (Jakarta, RinekaCipta), h. 112
(43)
30 adalah kata dalam bahasa Arab khayat (kehidupan).40Kata tersebut jika dalam bahasa Indonesia menjadi hayati yang berarti hidup; kehidupan; nyawa.
Secara sinkronis, makna sebuah kata atau leksem mungkin tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan berubah. Apalagi jika kata atau leksem tersebut merupakan kata serapan, yakni kata yang diserap dari bahasa lain. Perubahan itu sendiri muncul karena proses integrasi yang meliputi; (1) Percampuradukan penggunaan kata-kata asing dengan kata baru; (2) Kata lama terhapus oleh kata pinjaman; (3) Isi yang terkandung tercampur aduk antara kata lama dengan kata pinjaman untuk tujuan khusus.41
Suatu bahasa menyerap kata dari bahasa lain karena didorong kebutuhan untuk mengungkapkan suatu konsep, barang, atau tempat.
Di samping itu, menggunakan atau meminjam kata-kata yang sudah jadi lebih mudah daripada membuat atau menciptakan kata-kata baru.Faktor penyebab perbedaan atau perubahan makna meliputi hal-hal selain faktor kebahasaan, yakni faktor kesejarahan, faktor sosial, faktor psikologis, dan faktor ormas tertentu yang meliputi emotif, leksem tabu, dan faktor pengaruh bahasa asing, serta kebutuhan kata.42
Fenomena linguistik yang benar-benar tidak teratur dan tidak sistematis.Perubahan makna tidak terjadi pada semua kosakata, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja. Perubahan atau pergeseran makna terjadi karena berbagai sebab, antara lain karena perkembangan ilmu dan teknologi, perkembangan sosial budaya, perkembangan bidang pemakaian, dan asosiasi.43
40J.D.Parera, TeoriSemantik, (Jakarta: Erlangga. 2004), h. 145
41TadkiroatunMusfiroh, PerbedaanMakna Kata-Kata bahasa Indonesia SerapanBahasa Arab Dari MaknaSumbernya,(FBS UniversitasNegeri Yogyakarta 2004), h. 45
42Kushartati, dkk, PesonaBahasa; langkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta: PenerbitGarmediaPustakaUtama, 2005) h. 67
(44)
31 Missal keberadaan dua bentuk yang memiliki makna sama tetapi bentuk berbeda disebabkan adanya perbedaan pemakaian. Salah satu bentuk merupakan ragam resmi atau baku, sedangkan bentuk lain adalah ragam tidak resmi/baku atau cakupan.44
Contohnya kata jemaat dan jamaah yang berasal dari bentuk yang sama dalam bahasa Arab jama’ah(ةعامج).Dalam bahasa Indonesia kedua kata tersebut bermakna umat suatu agama. Kata jemaat digunakan oleh umat kristiani, sedangkan kata jamaah digunakan oleh umat Islam. Contoh kata tersebut tercantum dalam KBBI edisi keempat: Jamaah dan Jemaat.
Kata jamaah dan jemaat berasal dari satu kosakata bahasa Arab yaitu
jama’ah. Kata tersebut diserap menjadi dua kosakata yang berbeda. Dalam KBBI, kata jamaah berarti sekolompok/sehimpunan orang. Tidak ada perbedaan antara arti jamaah dan jemaat.Dalam kata tersebut yang membedakan adalah penggunaan kedua kata.Kata jamaah digunakan dalam agama Islam, sedangkan jemaat digunakan oleh umat kristiani.
Selain itu, pada pasangan kata lain yang berbeda ranah, yaitu kata Allah dan
Allah.Kata pertama berada di ranah agama Islam dan kata kedua dalam agama Kristiani.Dalam ranah pertama kata Allah dilafalkan dengan konsonan /I/ rangkap yang dibaca tebal hampir berbunyi /alloh/. Dalam ranah Kristiani kata
Allahdilafalkan /alah/ kedua kata tersebut berbeda dalam pelafalan, tetapi sama etimonya dan maknanya.
Setiap kata asing yang masuk ke dalam bahasa asing lain selalu mengalami salah satu dari dua hal. Pertama, kata tersebut tetap dalam satu bentuk asalnya atau
44U iKulsu , Doubletdala kata serapa Arab: Kajia Perbedaa Mak ada Register
Makalah Semi ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPera Pe erje aha di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 304, 305
(45)
32 tidak mengalami adaptasi yang signifikan.Kedua, kata asing tersebut mengalami adaptasi atau penyesuaian bentuk sesuai dengan bahasa sasarannya. Adaptasi bentuk atau tidaknya sangat berkaitan dengan waktu pungutnya kata tertentu kedalam bahasa Indonesia pada waktu yang berbeda.45
Misalnya seperti kata fatwa dan petuah yang berasal dari bentuk yang sama, kedua kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu yang berbeda. Kata fatwa lebih awal di serap daripada petuah.Hal tersebut diketahui dari bentuk makna yang tetap namun tidak berubah.Kata yang mengungkapkan konsep agamis seperti fatwa, umumnya sangat dipelihara sehingga makna dan bentuk tidak berubah.46
Berbeda dengan petuah yang artinya adalah „nasihat‟, „wejangan‟, meskipun dapat juga berarti fatwa, tetapi kata petuah bentuknya berubah sesuai dengan sistem fonetik bahasa Indonesia.
3. Sinonimi (Mutaradifat)
Secara etimologi sinonim berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu syn yang berarti „dengan‟ dan onoma yang berarti „nama‟, maka secara harfiah kata sinonim
berarti berarti „nama‟ lain untuk benda atau hal yang sama‟47
dengan kata lain sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan dengan ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya.48 Misalnya, antara kata saya dengan kata aku, kata hamil dengan frase duduk perut.
45U iKulsu ,
Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register Makalah “e i ar Nasio alPe erje aha RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global ya g diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 306
46
Ibid, h. 307
47
J.D Parera Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.36
48
Abdul Chaer Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rinerka Cipta, 1995). Cet, ke-5 h. 82
(46)
33 Dalam bahasa Arab sinonim disebut Al-taraduf. Kata sinonim dalam bahasa Indonesia adalah kata yang yang bentuknya berbeda, tetapi megandung satu makna atau hampir sama. Oleh sebab itu, setiap pemakai bahasa harus tahu bagaimana menggunakan kata-kata sinonim itu karena ada kata sinonim yang dapat saja saling menggantikan (bersubstitusi), tetapi ada juga yang tidak. Ada yang dapat bersubstitusi dalam kalimat tertentu, namun dalam kalimat lain tidak dapat bersubstitusi. Karena ketidaktahuan pemakaian kata secara tepat.49 Kata-kata tersebut mempunyai kesamaan yang makna, namun tetap memperlihatkan perbedaan dalam hal pemakaian. Contoh kata orang dengan kata manusia
i. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang ii. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia
Kalimat pertama dan kedua sinonim, karena orang dapat mengganti manusia. Namun kata orang dalam kalimat berikut tidak dapat digantikan dengan kata manusia, seperti pada;
iii. Tuan Imam orang asing iv. Tuan Imam manusia asing
Kalimat pertama tidak sama dengan kalimat kedua. Kalimat tersebut menunjukan perbedaan semestaan sehingga jelas bahwa orang asing bukan sinonim dari manusia asing.50
Dalam hal ini, untuk mendefisinikan sinonim, ada tiga batasan yang dapat dikemukakan, pertama; kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama, misalnya kata mati dan mampus, kedua; kata-kata yang mengandung makna sama, misalnya kata, memberitahukan dan kata menyampaikan, ketiga; kata-kata yang
49
J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1994), cet. Ke-5, h. 72
50
Fatimah Djajasudarma, Semantik, Pengantar Arah Ilmu Makna 1, (Bandung: Refika Aditama, 1999), cet. Ke-2, h. 38-39
(47)
34 dapat disubtitusikan dalam konteks yang sama, misalnya “kami berusaha agar pembangunan masjid berjalan terus”51
Dalam pola keagamaan, perbedaan sudut pandang kebahasaan ini memicu perbedaan pandangan dalam memahami agama. Perbedaan yang paling menonjol adalah pola pemahaman yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis dan kelompok politis dakwahis. (kelompok yang di anggap mewakili pihak memahami Islam dari teks-teks keagamaan secara harfiah).52 Begitupun sebaliknya kelompok Islam Liberal mencoba memahami ajaran agama dari sisi lain teks untuk dapat mencapai makna kontekstual teks-teks keagamaan. Meskipun begitu kedua pemikiran tersebut memiliki keyakinan yang sama dalam kebenaran teks ayat-ayat suci Alquran.53Dalam hal ini posisi kebahasaan menunjukan pola keagamaan yang fundamentalisme atau setia dengan keagamaanya.
51
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta; Rinerka Cipta, 2001), cet. Ke-2, h. 222-223
52
Mujibarahman, Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi no. 13,tahun 2003, (Jakarta; Lak Pes dam, 2003), h. 39
53
Moch Mansyur Kurniawan, Pedoman Bagi Penerjemah: Arab Indonesia-Indonesia Arab,
(48)
35
BAB III
PROFIL HIZBUT TAHRIR DAN GAMBARAN UMUM HIZBUT TAHRIR
A. Profil Singkat
1. Perkembangan dan Sejarah Munculnya Hizbut Tahrir di Indonesia
Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina. Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia.1
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan organisasi Islam yang menjadi bagian dari Hizbut Tahrir yang berkembang di sejumlah Negara Arab dan merupakan gerakan Islam yang bercorak transnasional yang berpusat di Yerussalem dan Yordania.TransmisiHizbut Tahrir sebagai gerakan ke
1Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat (Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia),
(49)
36
Indonesia terjadi pertama kali pada tahun 1982-1983 melalui M.Mustofa dan Abdurrahman al Baghdadi.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan.2 Namun karena kurikulum yang diberlakukan di sekolah-sekolah dimana ia mengajar dipengaruhi oleh pendidikan Barat, maka selanjutnya ia memutuskan untuk menjadi seorang hakim. Menurut pandangannya, bahwa sistem pengadilan Palestina masih berakar dari tradisi hukum Islam. Oleh sebab itulah, ia segera memutuskan untuk beralih profesi dari seorang guru menjadi seorang hakim. Ia diangkat menjadi seorang hakim pertama di Bissan, Taberrias dan Haifa, tempat kelahirannya. Jabatan sebagai hakim terus ia pegang sampai terjadinya pendudukan Israel atas Palestina pada 1948. Dan saat itulah ia akhirnya berpindah ke Yordania. Kemudian tahun 1951, ia mengundurkandiri dari semua jabatan
(50)
37
formal yang dipegang. Dengan perjuangannya, akhirnya tahun 1952 Hizbut Tahrir didirikan secara resmi di al Quds Palestina3
Gerakan Hizbut Tahrir di Indonesia pada tahun 2000-an secara terbuka mengumumkan keberadaannya di tengah publikSecara terbuka, munculnya organisasi ini dalam konteks Indonesia kemudian dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).4 Namun keberadaannya hanya bisa diketahui melalui juru bicaranya, terbitan-terbitan resminya5 dan lain sebagainya. Pada tanggal 5 Maret 2004, HTI meluncurkan buku Partai Politik Islam yang disusun oleh HTI serta situs(www.hizbut-tahrir.or.id) bersamaan dengan Seminar Khilafah yang diselenggarakan HTI dan Majelis Taklim Dharmala.6Dan pada tahun 2007 HT mengadakan konferensi besar tentang penegakan Khilafah di Indonesia, sekitar 100.000 orang hadir.7Para tokoh HTI mayoritas berlatarbelakang aktifis gerakan keagamaan di kampus-kampus. Terbukti, salah satu pimpinan pusat HTI. Muhammad al Khattat adalah alumni sivitas akademika IPB Bandung. Saat ini, HTI dipimpin oleh Rokhmat Es. Labib.8
Dalam lingkup nasional, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesiatetap dipegang oleh Ismail Yusanto sedangkan untuk wilayah Jateng dipimpin oleh Abdullah HT. Hizbut Tahrir Indonesia sejak awal memang didesain sebagai organisasi politik.
3Jamhari, Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Gerakan di Indonesia, (Jakarta:Grafindo Persada,2004,CetI,h.165.
4Umi Sumbulah,Konfigurasi Fundamentalisme Islam,(Malang:UIN Malang Press) h. 96 5Salah satu media resminya adalah jurnal Khilafah, majalah al-Wa’ie baik yangditulis oleh ideologimaupun para aktifis Hizbut Tahrir Indonesia maupun aktifis HTInternasional 6Dalam majalah Al Waie,Kaleidoskop Aktivitas Politik dan Dakwah Hizbut TahrirIndonesia (HTI),oleh redaksi AlWaie
7HizbutTahrirIndonesia,Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia Islam),(Jakarta:HTI Press,2009), h. 72
(51)
38
Tetapi,berbeda dengan organisasi politik yang dikenal selama ini, HTI tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol yang ikut dalam pemilihan umum (pemilu). Dengan kata lain, HTI merupakanpartai politik yang bergerak di luar parlemen.9HTI merupakan partai politik meskipun tidak secara resmi mendaftarkan ke Departemen Kehakiman. HTI sebagai partai politik, memiliki tiga karakteristik10yaitu pertama; secara ideologis partai ini berdasarkan Islam yang digunakan sebagai cara pandang dalam melakukan penilaian terhadap berbagai hal. Kedua; ruang geraknya bersifat transnasional karena HTI adalah bagian dari Hizbut Tahrir Internasional yang mempunyai perwakilan di berbagai Negara, dan ketiga; aktifitas HTIbersifat ekstra parlementer.Prinsip dakwah HTI didasarkan padapandangan-pandangan idelogis sebagai berikut11:Pertama, HTI mengemban dakwah dalam rangka memenuhi seruan Allah. Salah satu hal penting yang merupakan seruan Allah adalah terwujudnya sistem khilafah dan diterapkannya hukum-hukum Allah di muka bumi.
Kedua, HTI dalam dakwahnya selalu berpedoman pada basis hukum- hukum syara‟ sebagai asas bagi keseluruhan tindakan dan aktifitasnya. Karenanya, HTI bertekad kuat untuk bersikap terus terang, berani, tegas, serta menentang setiap hal yang bertentangan dengan Islam. Lebih lanjut HTI tidak mau berkompromi dengan para penguasa yang tidak menerapkan hukum Islam.
9
Jamhari, Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Gerakan di Indonesia, (Jakarta:Grafindo Persada,2004),CetI,h. 180
10
EndangTurmudidanRizaSihbudi, Islam danRadikalisme di Indonesia, (Jakarta:LIPI Press, 2005), h. 265-267
11
(52)
39
Ketiga, HTI berjuang untuk menerapkan Islam secara sempurna yang meliputi seluruh hukum syara‟.Bagi Hizbut Tahrir, pelembagaan syariat Islam dalam kehidupan Negara bahkan melekat dengan tujuannya yaitu “untuk membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan pemerintahan dapat dijalankan sesuai dengan apa yang diturunkan Allah.”
Hizbut Tahrir merupakan organisasi kemasyarakatan, bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya.12
Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt :“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru
kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)13
Ayat al Quran tersebut bukan sekedar seruan dari Allah tetapi merupakan qarinah (indikasi)14 yang bersifat kewajiban untuk amar ma‟ruf nahi munkar melalui suatu jama‟ah/kelompok yang dibentuk.Dan jamaah yang dimaksud menurut paham Hizbut Tahrir harus berbentuk partai politik dankegiatan amar
12
Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat (Reproduksi Salafiyah Ideologisdi Indonesia),(Jakarta:PSAP {Pusat Studi Agama dan Peradaban} Muhammadiyah,2007),Cet I, h 389
13
DepartemenAgamaRI,Alqur’andanTerjemahannya,(Bandung:Syaamil CiptaMedia,2005),h.63
14
Haedar Nashir, Gerakan IslamSyariat (Reproduksi Salafiyah Ideologis
diIndonesia),(Jakarta:PSAP {Pusat Studi Agama dan Peradaban} Muhammadiyah), 2007,Cet I, h. 406– 407
(53)
40
ma‟ruf nahi munkar itu dalam bentuk aktifitas politik daripartai yang telah dibentuk.
Hizbut Tahrir selanjutnya disebut HT, secara etimologisHizbut Tahrir berarti Partai Pembebasan. Hizbut Tahrir15 didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin al Nabhani (1909- 1979)pada tahun 1952 di Quds, Palestina.
Setelah an-Nabhani meninggal pada 20 Desember 1977 di Beirut, kepemimpinan Hizbut Tahrir digantikan oleh Syaikh Abdul Qadir Zallum. Pada saat kepemimpinannya, Hizbut Tahrir berkembang semakin pesat. Ia menyerukan kepada para anggotanya untuk menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Sepeninggal pemimpin keduanya pada tahun 2003 M/1424 H, kepemimpinanHizbut Tahrir digantikan oleh Syaikh Atha Abu Rusythah secara internasional.16 Abu Rusythah merupakan seorang insinyur, ahli elektro. Ia merupakan salah satu aktivis Hizbut Tahrir sejak masih muda. Ia pernah menjadi juru bicara Hizbut Tahrir di Yordania. Sekarang ialah sebagai top leader dalam struktur kepemimpinan organisasi transnasional tersebut.
Organisasi ini diakui oleh pendirinya dan sekaligus para aktivisnya bukan sebagai organisasi sosial keagamaan tetapi sebagai partai politik. Hizbut Tahrir dinyatakan sebagai partai politik yang berideologi Islam. Ia mengusung ide yang bertujuan mengembalikan supremasi Islam pada abadpertengahan dalam bentuk
15Umi Sumbulah. Konfigurasi Fundamentalisme Islam.(Malang:UIN Malang Press), 2009, Cet I, h. 96.
16Hizbut Tahrir Indonesia, Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia(Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia Islam),(Jakarta:HTI Press,2009), h.72.
(1)
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ambilan Bahasa Arab yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku-buku Hizbut Tahrir, jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/bukuyang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.
Selain itu, Makna konotasi penggunaan kata ambilan bahasa Arab di dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir ini menjadikan identitas mereka, selain itu kata ambilan Bahasa Arab juga memperlihatkan pola pikir/keagamaan kelompok sosial keagamaan Hizbut Tahrir, dan juga ideologi mereka.
Dari analisis di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan kata ambilan Arab dalam tindak tutur dan wacana di kalangan anggota HTI bukan saja menjadi identitas mereka, melainkan juga, karena jika digunakan penerjemahannya tidak mewakili makna yang dikehendaki. Penggunaan istilah-istilah tersebut dimaksudkan supaya pesan yang terdapat di dalamnya tidak keluar dari maksud yang dikehendaki oleh HTI sebagai sebuah gerakan yang bertujuan pada tegaknya Daulah Khilâfah Islâmiyyah.
(2)
78 Yang lebih penting lagi, sebagaimana analisis di dalam teks, HTI jauh lebih banyak menggunakan kata ambilan Arab yang tidak dikenal/popular di kalangan Islam mainstream. Semua kata ambilan Arab menunjukkan bahwa kata atau bahasa menunjukan pola pikir, termasuk pola keagamaan.
(3)
79
DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi, M. Zaka.Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia; Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011
Aminuddin.Semantik, Pengantar Studi tentang makna, Sinar Baru Algensindo Arifin,Zaenal Cermat Berbahas Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004 an-Nabhani,Taqiyudin.Mafahim Hizbut Tahrir, Jakarta, Hizbut Tahriri Indonesia,
2001
an-Nabhani,Taqiyuddin.Peraturan Hidup dalam Islam terjemahan Nizham al-Islam, Jakarta:HTI Press, 2007
Badudu, J.S. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar IIJakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994
Binder, Leonard. Islamic Liberalism Chicago: The University of Chicago Press, 1988 Barker,Chris.Cultural Studies,Teori dan Praktik, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2009 Barthes,Roland Mitologi, Jogjakarta: Kreasi wacana, 2009
Chaer, Abdul.Linguistik UmumJakarta: Rineka Cipta, 2008
Departemen Agama RI.Alqur’an dan Terjemahannya Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005
Fuad, Ahmad Nur.Interrelasi Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam KontemporerSurabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya Fatimah Djajasudarma.Semantik: Pengantar Arah Ilmu Makna 1, Bandung: Refika
Aditama, 1999
Hariyanto,Sugeng.Translation, Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan, Yogyakarta, Kanisius, 2008
(4)
80 Hizbut Tahrir Indonesia.Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia, Khilafah, dan
Penyatuan Kembali Dunia IslamJakarta:HTI Press
Ismail, Ahmad Satori, Sebab-Sebab Pengkhianatan Dalam Menerjemah, Makalah
Seminar Nasional Penerjemahan “Revitalisasi Peran Penerjemahan di Era
Global”yang diselenggarakan oleh Program Studi Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jahroni, JamhariJajang. Gerakan Salafi Gerakan di IndonesiaJakarta:Grafindo, 2010
Kushartanti.Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami LinguistikJakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011
Kushartati, dkk. Pesona Bahasa; langkah Awal Memahami LinguistikJakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011
Kurniawan,Moch Mansyur.Pedoman Bagi Penerjemah: Arab Indonesia-Indonesia Arab, Jakarta: Moyo Segoro Agung 2002
Kamil,Sukron dkk.Pola Keagamaan Dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab Dalam Teks-Teks Keislaman,Jakarta: UIN Jakarta, 2013
Kulsum,Umi.Doubletdalam kata serapan Arab: Kajian Perbedaan Makna dan Register” Makalah Seminar Nasional Penerjemahan “Revitalisasi Peran Penerjemahan di Era Global” yang diselenggarakan oleh Program Studi
Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013
(5)
81 Moleong, Ley. Metodologi Penelitian KualitatifBandung: Remaja Rosda Karya, 2009 Mahsun, Metodologi Penelitian BahasaJakarta: Grafindo, 2008
Mujibarahman.Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi no. 13, tahun 2003, Jakarta; Lak Pes dam, 2003
Musfiroh, Tadkiroatun. “Perbedaan Makna Kata-Kata bahasa Indonesia Serapan Bahasa Arab Dari Makna Sumbernya” FBS Universitas Negeri Yogyakarta 2004.
Moentaha, Salihen.Bahasa dan Terjemahan; Bahasa dan Terjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,Jakarta: Kesaint Blanc – Anggota IKAPI, 2008
Nashir, Haedar. GerakanIslam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta:PSAPMuhammadiyah
Parera, J.D. Teori Semantik, Jakarta:Erlangga, 2004
Pateda,R Mansoer.Semantik leksikal, Jakarta, Rineka Cipta 2004
Rahman, Fazlur.IslamSecond EditionChicago: The University of Chicago Press,1979 Rahmat, M Imdadun.Arus Baru Islam Radikal (Transmisi Revivalisme Islam Timur
TengahkeIndonesia),Jakarta:Erlangga, 2001
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek); Bandung: Humaniora, 2005
Suryawinata,Zuchridin Translation, Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan, Yogyakarta: Kanisius, 2001
(6)
82 2001
Turmudi, Endang, danRiza Sihbudi.Islam dan Radikalisme di Indonesia Jakarta:LIPI Press
Website
http://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab
http://www.al-khilafah.org//category//seputar-khliafah.org
http://hizbut-tahrir.org//category//seputar-khilafah.org http://hizbut-tahrir.or.id/category/islamideologis,com
Media Cetak
Majalah Al Waie, Kaleidoskop Aktivitas Politik dan Dakwah Hizbut TahrirIndonesia (HTI),oleh redaksi AlWaie.