Konsep Makar Menurut Hizbut Tahrir Indonesia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy)

Oleh : LIA HERAWATI

1111043200016

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015 H /1436 M


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. xvi + 60 halaman.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik menurut hukum pidana positif dan hukum pidana islam kejahatan/tindak pidana makar adalah merupakan bentuk kejahatan yang sangat berbahaya dan juga dikategorikan sebagai kejahatan politik yang memiliki ciri motif dan tujuan yang berbeda dari kejahatan biasa serta diancam dengan sanksi pidana yang berat.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan teknik analisis data kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis hukum Islam dan Positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan adalah sumber bahan primer, sekunder, dan tersier dengan menggunakan metode pengumpulan data penelitian kepustakaan.

Kata kunci : makar, bughat, Hizbut Tahrir Indonesia. Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, MA,

Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Daftar pustaka : Tahun 1986 s.d Tahun 2014


(6)

vi

rahmat, taufik, hidayah dan inayahnya tiada henti. Sesungguhnya hanya dengan pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan seluruh umat Muslim di dunia, Nabi Muhammad SAW, pembawa berita kebenaran agama Islam dan penyebar rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta. Bagaimanapun penulis merasa berat untuk menyelesaikan skripsi ini. Hal tersebut tentu tidak setara dengan pengorbanan Beliau dalam menyebarkan agama Islam dan kesabaran Beliau dalam menghadapi musuh-musuh yang selalu memandang dengan sebelah mata dan rasa benci.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis sadari masih banyak kendala yang menghambat langkah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun, berkat bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai kalangan pihak, dan Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si beserta Ibu Hj. Siti Hanna, Lc, M.Ag selaku ketua dan Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

5. Bapak A.Muhaimin Zen selaku dosen penasehat akademik, terimakasih telah menjadi penasehat selama perkuliahan.

6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis selama masa perkuliahan.

7. Seluruh staf dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan administrasi dengan baik.

8. Seluruh staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah melayani dan memberikan fasilitas dengan baik.

9. Kedua orang tua yang sangat penulis sayangi dan hormati, Bapak M. Namat dan Ibu Nur Hamah, terimakasih atas dukungan moril, materil, kesabaran, perhatian, keikhlasan dan doa-doa kalian yang tidak pernah putus untuk adinda. Tiada hal yang lebih berarti di kehidupan adinda selain kebahagiaan kalian. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada adinda agar bisa membalas semua hal yang kalian berikan tanpa pamrih.

10.Kakak dan Adik-adik tercinta Riyan Hidayatullah, Saskia Khoerunnisa, Usi Sulistiawati yang telah memberika dukungan semangat sekaligus menjadi motivator agar penulis bisa menjadi contoh yang baik bagi mereka.


(8)

viii

12.Teman-teman terdekatku”The Four Success Women”, Hikmiyyah, Ratu Solihat, Titi Nur Indah Sari. Terimakasih atas kasih sayang , kepedulian, semangat dan segalanya yang telah mereka berikan kepada penulis di masa-masa persahabatan yang telah lalu. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah berakhir meskipun terpaut jarak dan waktu di antara kita.

13.Teman-teman seperjuangan di kelas PH/PMF/PMFK 2011 yang telah banyak membagi ilmu dan pengalaman selama masa perkuliahan.

14.Sahabat-sahabat dan teman-teman di Pondokan Assalam Yulis Julehayanti, Zakiyah Tul Fahiroh, Indah Nurkholidah, Eva Khofifah, Umi Kulsum yang telah memberikan dukungan semangat dan motivasi yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis pribadi dan khalayak umum. Penulis juga mengharapkan berbagai masukan, baik berupa kritik atau saran yang bersifat membangun dalam menyempurnakan skripsi ini. Penulis juga mohon maaf apabila skripsi ini penuh dengan kekuarangan dan jauh dari kata sempurna. Karena kemampuan yang dimiliki oleh penulis sangatlah terbatatas.

Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT membalas segala bantuan yang telah mereka berikan dengan balasan yang lebih dan berlipat ganda.


(9)

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Review Studi Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II MAKAR DAN PEMBERONTAKAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Al-Baghyu ... 13

B. Unsur-unsur Jarimah Al-Baghyu ... 16

C. Hukuman Terhadap Pelaku Jarimah Al-Baghyu ... 20

D. Pertanggungjawaban Pidana dan Perdata Jarimah Al-Baghyu ... 21

BAB III KONSEP MAKAR MENURUT HIZBUT TAHRIR INDONESIA A. Latar Belakang Terbentuknya Hizbut Tahrir Indonesia ... 26

B. Tujuan Hizbut Tahrir Indonesia ... 34

C. Sumber-sumber Bacaan Konsep Makar Hizbut Tahrir Indonesia ... 32

D. Logika Makar Hizbut Tahrir Indonesia ... 38

BAB IV ANALISIS TEMUAN TENTANG KONSEP MAKAR HIZBUT TAHRIR INDONESIA DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Konsep dan Sanksi Pidana Makar dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif ... 42


(10)

x

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 53 B. Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA


(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan tujuan dari negara yaitu sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang mendiaminya, negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan dan Penjelasan UUD 1945. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat adil dan makmur.1

Namun pada kenyataannya, tujuan tersebut tidak mudah untuk dicapai, karena untuk mencapai tujuan tersebut semua elemen dalam negara harus bersatu dan saling membantu. Di Indonesia, terkadang apa yang diinginkan oleh pemerintah tidak didukung oleh sebagian rakyatnya, dan sebaliknya, apa yang rakyat impikan tidak terdukung dengan kinerja pemerintah yang ada, maka hal ini akan menyulitkan pencapaian tujuan dari pada negara itu sendiri. Terkadang

1

Komaruddin Hidayat, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,


(12)

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak memihak pada rakyat, sehingga menimbulkan pro-kontra dari berbagai pihak dengan segala argumennya masing-masing. Bahkan bisa timbul suatu golongan yang ingin menjatuhkan pemerintah, karena kebijakan pemerintah yang dianggap kerap kali jauh berbeda dengan paham yang dianut oleh golongan tersebut. Sehingga memungkinkan golongan tersebut melakukan tindakan yang mengarah kepada pemberontakan atau yang disebut dengan makar.

Taat kepada pemimpin merupakan perintah mutlak dari Allah SWT, sebab karenanya dilarang perbuatan makar/berontak kepada pemimpin dengan cara melakukan perlawanan maupun keluar dari ketaatan kepadanya, sebagaimana yang tersebut dalam Firman Allah SWT:





























Artinya:“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil

amri di antara kalian.” (QS. Al-Nisaa: 59)

Fenomena yang terjadi saat ini yaitu munculnya kelompok separatis ISIS (Islamic State Iraq and Syria) dimana mereka melakukan segenap usaha dengan berbagai cara untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, dalam konteks ini pemerintahan di Iraq dan Syria. Mereka ingin merebut kekuasaan pemerintah lalu mendirikan negara sendiri yang mereka sebut dengan Daulah Islam State Iraq dan Syria. Ini bisa disebut sebagai contoh konkret dari tindak pidana makar yang terjadi diluar negeri Indonesia.


(13)

Dalam Islam, makar atau dikenal dengan al-baghyu, termasuk dalam tindak pidana atau jarimah pada bagian jinayah. Secara umum, Islam mengartikan makar adalah tindakan sekelompok orang yang memiliki kekuatan untuk menentang pemerintah, dikarenakan terdapat perbedaan paham mengenai masalah kenegaraan.2 Sementara di dalam Islam sendiri makar atau memberontak kepada pemerintahan yang sah tidak diperbolehkan.

Hizbut tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan aktivitasnya, dan Islam adalah mabda-nya. Hizbut Tahrir bergerak ditengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai perkara utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem khilafah dan menegakkan hukum berdasarkan apa yang ditururnkan Allah di dalam realita kehidupan ini.3

Segala bentuk pertentangan, perlawanan dengan persenjataan (perang) terhadap pemerintahan yang absah. Konsep makar menurut Hizbut Tahrir adalah orang bughat yaitu orang-orang yang melawan Daulah Islamiyyah, dan mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan, yakni mereka yang memberontak kepada Daulah, menampakkan perlawanannya dengan persenjataan, dengan mengumumkan perang terhadap Daulah Islamiyyah. Tidak ada perbedaan dalam hal ini, bagi orang yang melawan khalifah yang adil atau yang dzalim. Begitu pula tidak ada perbedaan bagi mereka yang menyimpang dalam menakwilkan agama

2

Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Pustaka

Firdaus, 2001), h. 60.

3

Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir Indonesia, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,


(14)

atau menghendaki harta. Sesungguhnya mereka semua adalah bughat selama menampakkan permusuhan di hadapan penguasa Islam.

Hukum Pidana Islam yang diikuti oleh Hizbut Tahrir Indonesia sebagai salah satu ormas Islam di Indonesia telah mengatur konsep makar secara rinci dan sumber hukum yang pasti. Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis melakukan suatu penelitian dengan judul KONSEP MAKAR MENURUT HIZBUT TAHRIR INDONESIA DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan masalah dan fokus kajian skripsi ini, penulis membatasi dan merumuskan permasalahan. Pembatasan permasalahan merupakan hal yang penting untuk menghindar dari melebar dan meluasnya objek kajian, sedang perumusan masalah ditujukan untuk mengarahkan alur bahasan dan menjawab berbagai permasalahan sebagai suatu substansi dari skripsi ini.

Berdasarkan atas pemaparan latar belakang skripsi ini, penulis memfokuskan penelitian terhadap orang-orang yang memberontak, dan kemudian ditelaah secara komparatif menurut hukum Islam. Dari pembatasan masalah di atas, secara lebih rinci perumusan masalah dalam skripsi ini lebih mengkhususkan pada beberapa pembahasan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep dan sanksi pidana makar dalam hukum pidana Islam dan pidana positif?

2. Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir Indonesia tentang pemberontakan/makar di Indonesia?


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui konsep dan sanksi pidana makar dalam hukum pidana Islam dan positif.

b. Untuk mengetahui pandangan Hizbut Tahrir Indonesia tentang pemberontakan/makar.

2. Manfaat Penelitian

Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendalam agar dapat diperoleh manfaat dari penelitian tersebut. Maka dari itu manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara Akademik

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat menambah memperkaya khazanah kita semua tentang hukum Islam khususnya terkait dalam bidang ilmu fiqih jinayah.

Secara teoritis penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya umum, yang secara langsung dapat merespon kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.


(16)

Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan hasil pemikiran tentang perkembangan hukum Islam dalam hal yang berkaitan dengan pelembagaannya dalam sistem hukum Indonesia

D. Review Studi Terdahulu

Tinjauan pustaka dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kajian dan pembahasan yang secara umum dan khusus membahas mengenai judul penelitian yang dilakukan penulis. Dibawah ini beberapa pembahasan yang ada kaitannya dengan judul penelitian penulis. Penulisan skripsi ini didukung oleh skripsi yang ditulis oleh Alvin Muslim Sdr Saimima Fakultas Hukum Universitas Hasanudin

Makassar “Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Makar di Wilayah

Polda Maluku”, tahun 2014. Berdasarkan hasil penelitian di temukan bahwa faktor-faktor perbuatan penyebab terjadinya makar itu karena adanya kesenjangan ekonomi dan tidak adanya pemerataan pembangunan.

Skripsi yang ditulis oleh Anwar Nasir Fakultas Hukum Jember “Analisis

Yuridis Tentang Tindak Pidana Makar dan Terorisme oleh Terdakwa Selaku Juru

Runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) (Putusan Nomor 406 K/Pid/2004)”,

tahun 2008. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa Kualifikasi tindak pidana yang didakwakan kepada Nashiruddin Bin Ahmad selaku Juru Runding GAM adalah sebagai tindak pidana makar sudah tepat, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 106 KUHP dan 108 KUHP.

Skripsi yang ditulis oleh Firmansyah Fakultas Syariah dan Hukum


(17)

Sah dan Aspek Pidananya Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

(Studi Kasus Gam)”, tahun 2011 Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa separatisme atau bughat adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi, dan pikiran.

Dari beberapa kajian (review) terdahulu di atas, penulis belum menemukan tulisan yang membahas atau mengkaji tentang konsep makar menurut Hizbut Tahrir Indonesia dalam tinjauan hukum pidana Islam. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah hanya seputar gerakan separatisme terhadap negara yang sah. Dengan demikian penelitian yang penulis lakukan dalam skripsi ini berbeda.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan melakukan analisa isi dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari data-data yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan. Menurut Jane Richie, penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti.4 Sehingga

4Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007),


(18)

ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.

Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma, atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan kualitatif mengenai bagaimana konsep makar dalam pandangan Hizbut Tahrir Indonesia serta bagaimana korelasi dengan hukum pidana Islam.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah termasuk penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan system norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undang, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).5 Penelitian hukum normatif disini menggunakan penelitian terhadap sistematika hukum karena dalam penelitian ini akan diketahui pengertian pokok dalam hukum seperti subyek hukum, hak dan kewajiban , peristiwa hukum dalam peraturan perundangan.

3. Data Penelitian

Penelitian ini adalah menggunakan metode yang terinci sebagai berikut:

5

Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga


(19)

Penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu :

a. Data Primer

Data ini berupa buku-buku, terbitan, dan hasil wawancara diperoleh melalui wawancara dengan informan yang sedang dijadikan sample dalam penelitiannya. Data dapat direkam atau dicatat oleh peneliti. Data diperoleh langsung dari narasumber wawancara dengan pihak HTI, yaitu hasil pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti

b. Data Sekunder

Yaitu sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti, seperti melalui dokumen maupun dengan memanfaatkan orang lain. Data diperoleh dari literatur kepustakaan seperti buku-buku serta referensi lain yang berkaitan dengan materi penulisan skripsi ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai oleh penulis dalam skripsi ini adalah:

a. Teknik wawancara/interview

Teknik wawancara merupakan teknik pengumpulan data kualitatif dengan menggunakan instrumen yaitu pedoman wawancara. Wawancara dilakukan oleh peneliti dengan subjek penelitian yang terbatas. Untuk memperoleh data yang


(20)

memadai sebagai cross ceks6. Penulis melakukan Tanya jawab langsung dengan Hizbut Tahrir Indonesia bila ditinjau dari hukum pidana Islam. Adapun teknik interview ini, penulis mengajukan beberapa pertanyaan berdasarkan pedoman wawancara.

b. Studi Dokumenter

Yaitu mengumpulkan data berdasarkan laporan yang didapat dari lembaga yang diteliti dan laporan lainnya yang berkaitan dengan masalah ini. Setelah data terkumpul, selanjutnya penulis mengolah data dengan menggunakan analisis kualitatif dari data-data yang dikumpulkan dan selanjutnya diambil kesimpulan.

c. Telaah Kepustakaan

Untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini, selain yang telah disebutkan diatas (wawancara dan studi dokumenter), telaah kepustakaan juga dimaksudkan untuk menjelaskan teori yang digunakan. Telaah kepustakaan didapat dari sumber informasi seperti buku-buku, jurnal, surat kabar dan majalah yang kiranya dapat mendukung penelitian ini dari segi pustaka.

5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif kualitatif. Teknik analisis data deskriptif kualitatif merupakan metode untuk memaparkan, menafsirkan serta menguraikan data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara dan dokumenter. Analisis data merupakan


(21)

proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis non statistik, yaitu mengambil keputusan atau kesimpulan-kesimpulan yang benar melalui proses pengumpulan, dan penganalisaan data hasil penelitian, kemudian menyajikannya dalam karya ilmiah7

6. Teknik Penulisan Laporan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam laporan penelitian ini berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi, yang di terbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada tahun 2012.

7. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisam skripsi ini penulis membagi kedalam beberapa Bab dan Sub-Bab yang terdiri dari :

Bab Pertama : Meliputi, Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, Teknik Penulisan dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua : Memberikan Gambaran Mengenai Makar dan Pemberontakan dalam Hukum Pidana Islam yang terdiri dari a. Pengertian Al-Baghyu b. Unsur-unsur Jarimah Al-Baghyu c. Hukuman Terhadap Pelaku Jarimah Al-Baghyu d. Pertanggungjawaban Pidana dan Perdata Jarimah Al-Baghyu

7


(22)

Bab Ketiga : Membahas Konsep Makar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Yang terdiri dari a. Sumber-sumber Bacaan Konsep Makar Hizbut Tahrir Indonesia b. Logika Makar Hizbut Tahrir Indonesia

Bab Keempat : Menganalisis Temuan Tentang Konsep Makar Hizbut Tahrir Indonesia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam yang terdiri dari a. Bagaimana konsep dan sanksi pidana makar dalam hukum pidana Islam dan positif b. Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir Indonesia tentang pemberontakan/makar.

Bab Kelima : Berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran sebagai penutup dari penelitian ini.


(23)

13 BAB II

MAKAR DAN PEMBERONTAKAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A.Pengertian Al-Baghyu 1. Definisi Al-Baghyu

Secara etimologis, al-baghyu berasal dari kata ا غ ي ب– ى غ ي– ى ب غ yang berarti menuntut sesuatu.1 Kalau ada kalimat ا غ ي ب سا نلا ى ل ع ىغب artinya ل م ظ

و عا ت د

ى berbuat zalim dan menganiaya. Pelakunya disebut غا ب yang bentuk jamaknya adalah ا ب غ 2. Kata ى ب غ juga berarti ر ت ك sombong, takabbur.

Dikatakan demikian karena pelaku jarimah bersikap takabbur dengan melampaui batas dalam menuntut sesuatu yang bukan haknya.3 Hal ini disinggung dalam Firman Allah SWT sebagai berikut.































































Artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau ia telah surut, damaikanlah antara keduanya

1

Muhammad Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h.59 2

Muhammad Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 59

3 Al-Raghib Al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz Al


(24)

menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al- Hujurat : 9)

Al-baghyu memiliki beberapa pengertian, antara lain:

(zhalim/aniaya) (perbuatan jahat) (durhaka) (menyimpang dari kebenaran) dan (melanggar, menentang).4Bughat secara harfiah berarti menanggalkan atau melanggar.5

Adapun secara terminologis, al-baghyu dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dengan mengutip pendapat para ulama mazhab.

1. Menurut ulama kalangan Malikiyah

Pemberontakan ialah sikap menolak untuk taat terhadap seseorang yang dianggap sah kepemimpinannya bukan lantaran kemaksiatan dengan cara melakukan perlawanan, walaupun dengan argumentasi kuat (takwil). Ulama kalangan Hanafiyah memberikan definisi al-bughah yang artinya segerombolan muslimin yang menentang kepala negara atau wakilnya. Sikap menentang ini dilakukan karena menolak kebenaran yang wajib atas sekelompok orang muslim atau karena bertujuan untuk mengganti kepemimpinannya.

2. Menurut ulama kalangan Hanafiyah

Pemberontakan ialah keluar dari kedudukan terhadap penguasa yang benar. Sementara itu, pemberontak ialah orang yang keluar

4

Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pena Ilahi, 2007), h.218 5


(25)

dari ketaatan terhadap penguasa yang sah dengan jalan tidak benar.

3. Menurut ulama kalangan Syafi’iyah

Para pemberontak ialah orang-orang Islam yang membangkang terhadap penguasa dengan cara keluar dan meninggalkan ketundukan atau menolak kebenaran yang ditunjukkan kepada mereka, dengan syarat adanya kekuatan serta adanya tokoh yang diikuti di kalangan mereka.

4. Menurut ulama kalangan Hanabilah

Pemberontak ialah kelompok orang yang keluar dari ketundukan terhadap penguasa, walaupun penguasa itu tidak adil dengan adanya alasan yang kuat. Kelompok ini memiliki kekuatan, walaupun di dalamnya tidak terdapat tokoh yang ditaati. 6

Dari berbagai definisi secara bahasa maupun istilah di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-baghyu adalah: Tindakan sekelompok orang yang memiliki kekuatan untuk menentang pemerintah, dikarenakan terdapat perbedaan paham mengenai masalah kenegaraan.7 2. Definisi makar

Makar dapat didefinisikan dengan "makar" adalah upaya/muslihat (tipu daya) tersembunyi (rahasia) seseorang atau sekelompok orang untuk menghancurkan musuhnya yang dirancang secara sistematik dan sistemik. Sedangkan "kaid" merupakan bagian dari " makar" yakni makar dalam

6

Muhammad Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 61. 7

Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus,


(26)

bentuk yang terlihat. Dari arti dan definisi tersebut, maka makar senantiasa berkonotasi jahat, serta dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan kepada lawannya atau musuhnya.

Jenis makar terbagi dua:

1. Makar "mahmudah" (tipu daya yang baik) yakni tipu daya tersembunyi untuk melawan atau menolak kejahatan,diantara ayat yang menyatakannya antara lain;















Artinya: “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. ( QS. Ali Imran : 54)

2. Makar "Madmumah" (tipu daya jahat) yakni tipu daya tersembunyi untuk menghancurkan atau menolak kebenaran (al-Haq) atau memalingkan dari jalan yang lurus

Diantara ayat yang menyatakannya antara lain;































Artinya: “Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur. ( QS.Al-Fathir :10)


(27)

Dari rangkuman definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah pemberontakan itu ada tiga, yaitu

1. Pembangkangan terhadap kepala negara (Imam)

2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan 3. Adanya niat yang melawan hukum (Al-Qasd Al-Jinaiy).

1. Pembangkangan terhadap Kepala Negara (Imam)

Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan disyaratkan harus ada upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang adalah menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu). Contohnya, seperti penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk melaksanakan putusan hakim, seperti hukuman had zina atau hukuman qishash. Akan tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali di dalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemaksiatan. Oleh karena itu apabila seorang imam (kepala negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk


(28)

menaati apa yang diperintahkannya. Pembangkangan kadang-kadang ditujukan kepada imam atau kepala negara, dan kadang-kadang kepada pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya. Pejabat-pejabat tersebut antara lain menteri, hakim atau pejabat-pejabat dibawahnya. Dalam sistem imamah, penguasa tertinggi oleh para fuqaha disebut dengan istilah imam yang diatasnya tidak ada lagi imam, sedangkan penguasa dibawahnya apabila pemerintahannya berdiri sendiri disebut dengan imam secara mutlak, atau dengan wakil imam apabila ia mewakili Al-Imam Al-A’zham.

2. Pembangkangan Dilakukan dengan Kekuatan

Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai pemberontakan, disyaratkan harus disertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberontakan. Contohnya seperti keengganan untuk membaiat (mendukung) seorang imam, setelah ia didukung oleh suara mayoritas (orang banyak) walaupun ia mengajak orang lain untuk memecat imam tersebut, dan ia tidak tunduk kepadanya atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru ajakan semata.

Pemberontakan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad di mulai sejak digunakannya kekuatan secara nyata maka pembangkangan itu belum dianggap sebagai pemberontakan, dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil (tidak bersalah). Apabila baru dalam tahap penghimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka belum dianggap sebagai pemberontakan, melainkan hanya dikategorikan sebagai ta’zir. Akan tetapi


(29)

menurut Imam Abu Hanifah, mereka itu sudah dianggap sebagai pemberontak. Hal ini karena menurut Imam Abu Hanifah, pemberontakan itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Kalau situasinya sudah demikian, justru malah lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya.8 3. Adanya Niat yang Melawan Hukum

Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan adanya niat yang melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam, atau tidak ada maksud untuk menggunakan kekuatan maka perbuatan pembangkang itu belum dikategorikan sebagai pemberontakan. Untuk bisa dianggap keluar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak menaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembangkangnya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai pemberontak. Apabila seorang pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaan kekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka di sini tidak diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.

8 Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyri Al-Jinai’I Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanun Al-Wad’I .


(30)

C. Hukuman Terhadap Pelaku Jarimah Al-Baghyu

Apabila dalam suatu negara terdapat bughat (pemberontak, pelaku makar), maka wajib bagi pemerintah memerangi mereka, dengan ketentuan sebagai berikut. 9

1. Tindakan mereka bersifat melawan pemerintah yang adil di mana rakyat wajib taat kepadanya.

2. Tindakan mereka dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kekuatan. 3. Tindakan mereka melawan pemerintah dikarenakan mereka berbeda paham

menyangkut kebijakan politik penguasa, sehingga menyatakan diri keluar (memisahkan diri dari pemerintah).

4. Mereka melakukan tindakan makar dibawah satu komando/pemimpin yang menjadi sumber kekuatan moral bagi mereka dalam melakukan kegiatannya.

Adapun memerangi kaum bughat (pelaku makar, pemberontak) oleh pemerintah harus dimulai dengan tindakan mengingatkan mereka, agar mereka kembali sadar serta taat kepada pemerintah dan bersedia menghentikan kegiatan mereka.

Hal ini sebagaimana pernah dilakukan Khalifah Ali bin Abi Thalib terhadap kaum Khawarij dengan pernyataannya:

ك و

ن و

ح ا

ي

ث

ش ئ

ت م

و ب

ي ن ن

و ا

ب ي ن

ك

م أ

ن

ل

ت س

ف

ك

و

د ا

م

ح ا

ر ما

و ا

ل

ت ق

ط ع

و

س ا

ب ي

ل

و

ل

ت

ظ ل

م و

ا ا

ح

د

ف ,ا

إ ن

ف ع ل

ت م

ا

ل

ك

م ب

ا

ل

ر

ب

Artinya: Berbuatlah sesuka hati kalian, asalkan jangan menumpahkan darah orang yang tidak berdosa serta membuat kekacauan. Apabila kalian lakukan itu (pembunuhan dan kezaliman), maka kami menyatakan perang terhadap kalian.

9


(31)

Apabila tindakan peringatan dari pemerintah tidak menghentikan kegiatan mereka, pemerintah memiliki wewenang untuk memerangi mereka. Namun demikian, pemerintah tidak boleh mendahului memerangi mereka, sampai mereka terlebih dahulu memerangi pemerintah. Hal ini dikarenakan tujuan pemerintah memerangi mereka adalah untuk menghentikan kejahatan yang mereka lakukan. D. Pertanggungjawaban Pidana dan Perdata Jarimah Al-Baghyu

Pertanggungjawaban tindak pidana pemberontakan, baik pidana maupun perdata, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi tindak pidananya. Pertanggungjawaban sebelum mughalabah dan sesudahnya berbeda dengan pertanggungjawaban atas tindakan pada saat terjadinya mughalabah (penggunaan kekuatan).

1. Pertanggungjawaban Sebelum Mughalabah dan Sesudahnya

Orang yang melakukan pemberontakan dibebani pertanggungjawaban atas semua tindak pidana yang dilakukannya sebelum mughalabah (pertempuran), baik perdata maupun pidana, sebagai pelaku jarimah biasa. Demikian pula halnya jarimah yang terjadi setelah selesainya mughalabah (pertempuran). Apabila sebelum terjadinya pemberontakan itu ia membunuh orang, ia dikenakan hukuman qishash. Jika ia melakukan pencurian maka ia dihukum sebagai pencuri, yaitu potong tangan apabila syarat-syaratnya terpenuhi. Apabila ia merampas harta milik orang lain maka ia diwajibkan mengganti kerugian. Jadi, dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai pemberontak, meskipun tujuan akhirnya pemberontakan.


(32)

Tindak pidana yang terjadi pada saat-saat terjadinya pemberontakan dan pertempuran ada dua macam, yaitu :

a. Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan b. Tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan a. Yang Berkaitan Langsung dengan Pemberontakan

Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan, seperti merusak jembatan, membom gudang amunisi, gedung-gedung pemerintahan, membunuh para pejabat atau menawannya, semuanya itu tidak dihukum dengan hukuman untuk jarimah biasa, melainkan dengan hukuman untuk jarimah pemberontakan, yaitu hukuman mati apabila tidak ada pengampunan (amnesti). Caranya dengan melakukan penumpasan yang bertujuan untuk menghentikan pemberontakannya dan melumpuhkannya. Apabila mereka telah menyerah dan meletakkan senjatanya, penumpasan harus dihentikan dan mereka dijamin keselamatan jiwa dan hartanya. Tindakan selanjutnya, pemerintah (ulil amri) boleh mengampuni mereka atau menghukum mereka dengan hukuman ta’zir atas tindakan pemberontakan mereka, bukan karena jarimah atau perbuatan yang mereka lakukan pada saat terjadinya pemberontakan. Dengan demikian, hukuman yang dijatuhkan atas para pemberontak setelah mereka dilumpuhkan dan ditangkap adalah

hukuman ta’zir.10

Hukuman untuk tindak pidana pemberontakan dalam situasi perang adalah diperangi atau ditumpas, dengan segala akibat yang

10


(33)

timbul, seperti pembunuhan, pelukaan, dan pemotongan anggota badan. Hanya saja dalam kenyataannya, perang atau penumpasan tidak bisa dianggap sebagai hukuman, melainkan suatu upaya represif guna mencegah dan menindas pemberontak., serta mengembalikannya kepada sikap taat dan patuh kepada pemerintahan yang sah. Andaikata memerangi itu merupakan hukuman maka tentunya dibolehkan membunuh pemberontak setelah mereka dikalahkan dalam pertempuran, karena hukuman merupakan balasan atas apa yang dilakukan oleh mereka. Akan tetapi, ulama telah sepakat bahwa apabila situasi perang telah selesai maka pertempuran dan pembunuhan harus dihentikan dan pemberontak harus dijamin keselamatannya, karena pemberontakan itulah yang menyebabkan ia kehilangan jaminan keselamatannya.

b. Yang Tidak Berkaitan dengan Pemberontakan

Adapun tindak pidana yang terjadi pada saat berkecamuknya pertempuran tetapi tidak berkaitan dengan pemberontakan, seperti minum minuman keras, zina atau perkosaan, dianggap sebagai jarimah biasa, dan pelaku perbuatan tersebut dihukum dengan hukuman hudud sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Dengan demikian, apabila pada saat berkecamuknya pertempuran seorang anggota pemberontak memperkosa seorang gadis dan ia ghair muhshan maka ia dikenakan hukuman jilid (dera) seratus kali ditambah dengan pengasingan. Adapun pertanggungjawaban perdata bagi para pemberontak tidak ada jika mereka merusak dan menghancurkan aset-aset negara yang dianggap


(34)

oleh mereka perlu dihancurkan, demi kelancaran serangan dan upaya pemberontakan. Adapun perusakan harta yang tidak berkaitan dengan pemberontakan, misalnya harta kekayaan individu maka mereka tetap dibebani pertanggungjawaban perdata. Dengan demikian, barang yang diambil harus dikembalikan dan yang dihancurkan harus diganti. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, dan pendapat yang

shahih dikalangan mazhab Syafi’i. Namun, dikalangan mazhab Syafi’i

ada yang berpendapat bahwa pemberontak harus bertanggungjawab atas semua barang yang dihancurkannya, baik ada kaitannya dengan pemberontak atau tidak, karena hal itu mereka lakukan dengan melawan hukum.11 Apabila para pemberontak itu meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi maka orang kafir dzimmi itu dikategorikan sebagai pemberontak dan hukumannya pun sama. Hanya saja menurut Imam Abu Hanifah, kafir dzimmi yang turut serta di dalam pemberontakan perjanjian (akad) dzimmahnya tidak rusak (batal). Akan tetapi,

dikalangan mazhab Syafi’i dan Hanbali berkembang dua pendapat.

Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah, sedangkan menurut pandapat yang kedua, keikutsertaan mereka dalam pemberontakan menyebabkan rusaknya (batalnya) akad dzimmah mereka.12 Apabila para pemberontak itu meminta bantuan kepada kafir harbi maka jika ia musta’man, batallah perjanjian keamanannya dan statusnya kembali seperti semula sebagai kafir harbi, kecuali

11

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II, h.699 12


(35)

keikutsertaannya itu dipaksa. Apabila kafir harbi tersebut murni, bukan

musta’man maka status hukumnya sesuai dengan status hukum asalnya

sebagai kafir harbi yang setiap saat boleh dialirkan darahnya atau dirampas hartanya, karena mereka itu tidak memiliki perjanjian keamanan.

Adapun pertanggungjawaban perdata bagi para pemberontak tidak ada, bila mereka menghancurkan beberapa kekayaan negara yang dianggap perlu dihancurkan demi kelancaran serangan. Adapun pengrusakan harta yang tidak berkaitan dengan pemberontakan, maka mereka tetap bertanggungjawab secara perdata, sehingga barang yang diambil harus mereka kembalikan dan barang yang dihancurkan harus mereka ganti. Apabila para pemberontak itu minta bantuan kepada kafir dzimmi, maka dzimmi itu dikategorikan sebagai pemberontak, dan hukumannya pun sama. Hanya ada tambahan, yakni menurut Imam Abu Hanifah, kafir dzimmi yang turut serta dalam pemberontakan tidaklah rusak akad dzimminya. Menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Ahmad, terdapat dua pendapat: pendapat pertama sama dengan pendapat Abu Hanifah, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa keikutsertaan mereka merusak akad dzimmah mereka. 13

13

H.A.Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta:


(36)

26 BAB III

KONSEP MAKAR MENURUT HIZBUT TAHRIR INDONESIA

A. Latar Belakang Terbentuknya Hizbut Tahrir Indonesia

Alasan berdirinya Hizbut Tahrir bisa dikembalikan kepada tiga perkara, Pertama, memenuhi seruan Allah SWT, kedua, realitas umat Islam dan ketiga, aktivitas mendirikan negara khilafah.

1. Memenuhi Seruan Allah SWT.

Memenuhi seruan Allah SWT. Ini merupakan alasan utama yang melatarbelakangi berdirinya Hizbut Tahrir. Sebab, Allah SWT. Dalam firman-Nya menyatakan:















































Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)

Ayat ini memerintahkan kaum Muslim agar di antara mereka terdapat jama’ah (kelompok) yang melakukan dua perkara:

a. Menyeru kepada kebajikan, yakni menyeru kepada Islam. b. Menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.

Perintah mendirikan jama’ah (kelompok) yang akan menjalankan dua perkara ini masih sekedar thalab (tuntutan). Namun ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan, bahwa tuntutan ini bukan sekedar tuntutan biasa, tetapi tuntutan


(37)

keharusan (thalab jazim). Dimana aktivitas yang telah ditetapkan ayat di atas, dan harus dijalankan oleh jama’ah ini menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang makruf serta mencegah dari yang munkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslim. Ini dikuatkan oleh banyak ayat dan hadits yang menunjukkan wajibnya perkara ini. Rasulullah SAW. bersabda:

َو ِّا

ِذ

َ ن ي

ْف

ِس

ِي ي

َن ِى

ِ

َّ َت ْص

ُم ُى

ِن

ِي ْا َّ

َا ْع

ُى ْو

ِف

َو َّ

َ ت ْ ن

َم ُْ

ِن

َل ِن

ّْا

ُا ْن

َك

ِى

ْوَأ

َّ ُ ن ْْ

ِش

َك

ِن

ُها

َا

ْن

َ ي ْ ب

َع

َث

َل َو

ْن ُك

ْم

ِل َى

يا ا

ِم

ْن

ِل ْن

ِى ِ

ُِث

َّ َت

ْى ُل

ِن ُه

ََ َل

َي

ْس َت

ِج

ْن

ُب

َّ

ُك

ْم

Artinya:Demi dzat yang jiwaku ada dalam kekuasaan-Nya, hendaklah kamu benar-benar menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Atau jika tidak kamu lakukan Allah pasti akan segera mengirim kepada kalian adzab dari sisi-Nya. Kemudian, kamu sungguh-sungguh berdo’a kepada-Nya, namun

Allah tidak menerima lagi do’a kalian.”(HR.Ahmad) 1

Hadits ini menjadi salah satu qarinah (indikasi), bahwa thalab (tuntutan) di atas merupakan keharusan (thalab jazim), dimana perintah yang ada status hukumnya wajib. 2

2. Realitas Umat Islam

Adapun alasan kedua yang melatarbelakangi berdirinya Hizbut Tahrir adalah kemerosotan dan kemunduran yang begitu parah, yang menimpa kaum Muslim. Adanya dominasi pemikiran, sistem dan hukum kufur, serta cengkraman dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir melihat, bahwa sejak pertengahan abad ke-12 Hijriyah umat Islam mengalami kemunduran yang mengerikan dan menyedihkan, yang tidak pantas dialami oleh umat,

1

Imam Ahmad Bin Hambal as-Syaibaniy, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, editor Syu’aib al-Arnouth, (Kairo: Muassasah Qordobah, t.t), juz V, hal. 388.

2

Hizbut Tahrir, hal.2-4 Pamflet dengan judul Ahkamul Ammah, dikeluarkan Hizbut Tahrir, 19/12/1966 M.


(38)

yang oleh Allah sendiri dititahkan sebagai umat terbaik. Sebagaimana firman-Nya:







Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”

(QS.Ali’Imran:110)

Hizbut Tahrir yakin, bahwa sebab terjadinya semua itu bisa dikembalikan pada lemahnya kaum Muslim dalam memahami dan menyampaikan Islam. Kondisi ini terjadi dan menimpa kaum Muslim akibat mereka telah memisahkan kekuatan bahasa Arab dari kekuatan Islam. Ketika peran bahasa Arab mulai diremehkan sejak awal abad ke-7 Hijriyah. Serta adanya unsur-unsur terselubung mulai masuk sejak abad ke-2 Hijriyah hingga sekarang. Yang paling menonjol dan terasa adalah:

a. Terjadinya transfer filsafat India, Persia dan Yunani, serta usaha sebagai kaum Muslim untuk mengkompromikan filsafat tersebut dengan Islam. Padahal di antara keduanya ada perbedaan yang mustahil bisa dikompromikan.

b. Terjadinya infiltrasi pemikiran dan hukum yang tidak bersumber dari Islam terhadap ajaran Islam oleh orang-orang yang membenci Islam, dengan tujuan merusak citra Islam dan menjauhkan kaum Muslim dari Islam.

c. Diabaikannya bahasa Arab dalam memahami dalam menyampaikan Islam. Di susul kemudian dengan dipisahkannya bahasa Arab dari Islam pada abad ke-7 Hijriyah. Padahal agama Islam tidak mungkin dipahami


(39)

tanpa bahasa Arab. Misalnya dalam pengambilan hukum-hukum baru pada berbagai peristiwa yang berkembang, yang dilakukan melalui metode ijtihad, sementara ijtihad mustahil dilakukan tanpa menggunakan bahasa Arab.

d. Pada akhir abad ke-11 Hijriyah (abad ke -17 Masehi) kaum Muslim dihadapkan pada serangan misionaris, budaya dan politik oleh negara- negara Kafir Barat, dengan tujuan menjauhkan kaum Muslim dari Islam.3 Setelah itu, pada awal abad ke-10, kaum Muslim dihadapkan pada goncangan keras, yang berdampak pada goncangnya institusi mereka, hancurnya negeri-negeri mereka, tercerai berainya persatuan mereka, lenyapnya negara mereka yaitu negara khilafah, terkuburnya semangat mereka, dan puncaknya adalah dijauhkannya Islam dari penerapan dalam kehidupan, negara dan masyarakat. Dampak buruk yang pertama akibat hancurnya negara (khilafah) menjadi beberapa negeri dan institusi itu adalah ketundukan umat secara langsung pada kekuasaan negara kafir, kemudian tunduk pada kekuasaan antek-antek mereka dari kalangan kaum Muslim sendiri, serta menerapkan dan melaksanakan sistem-sistem kufur dan hukum-hukum kufur di seluruh negeri-negeri kaum Muslim. Goncangan itu kemudian diikuti oleh goncangan yang lain, yaitu konspirasi antara negara-negara kafir dengan antek-antek mereka, yaitu

3

Mafahim Hizb at-Tahrir, hal.3-5 Naskah Pembelaan (pledoi) yang disampaikan oleh salah satu anggota Hizbut Tahrir pada Pengadilan tingkat Pertama Keamanan Negara di Damaskus tertanggal 6 Desember 1960 Penjelasan Hizbut Tahrir yang ditujukan kepada Pemerintahan Yordania setelah adanya pelarangan terhadap Hizbut Tahrir Pamflet Hizbut Tahrir tanggal 19 Ramadhan 1372 H./1 Juni 1953 M.;Hizbut Tahrir, hal 2.6.7.


(40)

para penguasa negeri Arab untuk merampas wilayah Palestina, dan selanjutnya di atas wilayah itu mereka mendirikan negara Israel.

Untuk itu, harus didirikan suatu jama’ah (kelompok) dengan tujuan membangkitkan kembali umat Islam dari kemunduran yang luar biasa ini, yang sedang menimpa mereka, serta membebaskan mereka dari berbagai pemikiran, sistem, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskannya dari cengkeraman dan pengaruh negara-negara kafir.4 3. Aktivitas Mendirikan Negara Khilafah

Adapun sebab ketiga yang melatarbelakangi berdirinya Hizbut Tahrir adalah dihapuskannya khilafah secara resmi pada 28 Rajab1342 H/3 Maret 1924 M. Untuk itu, harus ada aktivitas (amal nyata) yang bertujuan mengembalikan negara khilafah, serta menegakkan kembali hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah dalam realitas kehidupan ini. Allah SWT. Telah mewajibkan kaum Muslim agar terikat dengan seluruh hukum syara’, menegakkan hukum-hukum yang telah diturunkan-Nya, serta menerapkan Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, UUD dan undang-undang yang lain harus berupa hukum syara’ yang diambil dari

al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:































4

Mafahim Hizb at-Tahrir, hal.12; Penjelasasan Hizbut Tahrir yang ditujukan kepada pemerintahan yordania setelah adanya pelarangan terhadap Hizbut Tahrir; Pamflet Hizbut Tahrir tanggal 19 Ramadhan 1372 H./1 Juni 1953 Hizbut Tahrir, hal 2 Manhaj Hizbut Tahrir fi


(41)

Artinya: “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan

dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan

kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Maidah: 48)



























Artinya:“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut

apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Q S.Al-Maidah: 49)

Bahkan Allah SWT menganggap kufur ketika tidak berhukum dengan hukum Islam. Allah SWT berfirman:





















Artinya: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan

Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”(QS.Al-Maidah: 44) Sedangkan hukum-hukum Islam mustahil bisa diterapkan dengan sempurna, kecuali dengan adanya negara khilafah (negara Islam), dan seorang khalifah yang akan menerapkan Islam kepada umat manusia. Sementara sejak dihapuskannya negara khilafah pada Perang Dunia I, kaum Muslim hidup tanpa negara Islam, dan tanpa hukum Islam. Karena itu, aktivitas mengembalikan khilafah, dan menegakkan kembali hukum-hukum yang telah diturunkan Allah dalam realitas kehidupan merupakan suatu keharusan, tidak ada pilihan, apalagi keringanan. Sehingga mengabaikan kewajiban ini termasuk kemaksiatan terbesar, dan


(42)

pelakunya akan disiksa oleh Allah dengan siksaan yang paling keras. Rasulullah SAW bersabda :

َو َم

ْن

َم

َتا

َو َّ

ْن

َس

ِْف

ُل ُن

ِى ِه

َ ي ْ ن

َع ة

َم

َتا

َم ْن

َت ة

َج

ِها

ِو ِن ة

Artinya: “Barangsiapa yang meninggal sementara di pundaknya belum ada

bai’at, maka ia mati seperti matinya orang jahiliyah.”5

Berdiam diri dari kewajiban ini berarti berdiam diri dari kewajiban yang paling penting. Sebab penerapan hukum-hukum Islam yang lain bergantung kepada ada dan tidaknya kewajiban tersebut, bahkan terwujudnya Islam dalam realitas kehidupan juga bergantung pada ada dan tidaknya. Suatu kewajiban yang tidak dapat terlaksana dengan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.6

Ketiga sebab di atas telah mendorong individu kaum Muslim untuk memperhatikan kondisi yang sedang menimpa umat Islam. Lalu mereka menganalisa realitas umat Islam dulu dan sekarang, realitas masyarakat di negeri-negeri Islam, hubungan umat dengan penguasa, serta hubungan para penguasa dengan umat, sistem dan undang-undang yang diterapkan kepada mereka. Mereka menganalisa berbagai pemikiran dan perasaan yang mendominasi umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian membandingkan semuanya itu dengan hukum-hukum Islam. Tidak ketinggalan, mereka juga menganalisa gerakan-gerakan yang didirikan untuk menyelamatkan umat Islam, baik yang didirikan atas dasar Islam atau tidak. Setelah melakukan analisa yang mendalam

5

Muslim ibn al-Hajjaj an-Naisabury, Shahih Muslim, Ed: Muhammad Fuad Abdi al-Baqiy, (Beirut: Dar al-Ihya’I at-Turats al-Arabiy, t.t.) ,juz III, hal.1478.

6

Taqiyuddin an-Nabhaniy, Ad-Daulah al-Islamiyah, (Beirut, Dar al-Ummah, 1423 H/2002

M), cet. VII, hal.222; Taqiyuddin an-Nabhaniy, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah al-juz at-Tsaniy,


(43)

ini, barulah mereka sampai pada problematika umat Islam yang paling utama dan mendasar, yaitu mengembalikan penerapan Islam dalam kehidupan, negara dan masyarakat, serta mengemban Islam sebagai risalah ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Atas dasar semuanya itu, mereka membatasi tujuannya, yaitu isti’naf al

-hayah al-islamiyah (mengembalikan kehidupan Islam), dan mengembang dakwah

Islam. Menurut keyakinan mereka, tidak mungkin semuanya itu dapat di realisasikan kecuali dengan mendirikan kembali khilafah, dan mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslim, yang di bai’at untuk didengar dan ditaati perintahnya atas dasar al-Qur’an dan as-Sunnah. Atas dasar ini pula mereka mendirikan Hizbut Tahrir.

Menurut Muhammad Muhsin Rodhi, ia mengatakan bahwa alasan penamaan Hizbut Tahrir dengan nama (Hizbut Tahrir) ini, diambil dari alasan berdirinya. Mengingat, sebelumnya telah disebutkan bahwa Hizbut Tahrir berdiri dengan tujuan untuk membangkitkan umat Islam dari kemerosotan yang sedang menimpanya, membebaskan umat Islam dari berbagai pemikiran, sistem dan hukum kufur, serta dari dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Jadi nama Hizbut Tahrir (partai pembebasan) sangat pas sekali, sebab Hizbut Tahrir sendiri menyerukan pembebasan umat Islam dari setiap jenis penjajahan, baik penjajahan pemikiran, ekonomi, politik maupun militer.7

Penamaan Hizbut Tahrir dengan nama ini bagus dan simpatik (sangat menarik). Sebab Allah SWT mengutus Rasul-Nya, Muhammad SAW. dengan

7

Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan metode Hizbut Tahrir Dalam Mendirikan


(44)

tujuan mengeluarkan (membebaskan) manusia dari menyembah manusia kepada menyembah Tuhannya manusia (min ibadatil „ibad ila ibadati rabbil ibad), dan dari zalimnya agama-agama menuju adilnya Islam. Sehingga, sangat pas partai ini dengan nama, Hizbut Tahrir. Mengingat Hizbut Tahrir didirikan dengan tujuan membebaskan umat Islam dari segala bentuk penjajahan, yang kini kaum Muslim tunduk dan bertekuk lutut di bawahnya.

B. Tujuan Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kembali kehidupan Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Ini berarti, mengajak kaum Muslim untuk kembali hidup secara Islami di darul Islam dan di dalam masyarakat Islam. Seluruh aktivitas kehidupan di dalamnya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara’. Pandangan hidup yang akan menjadi pusat perhatiannya adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islamiyah, yaitu Daulah Khilafah, yang di pimpin oleh seorang khalifah yang diangkat dan dibai’at oleh kaum Muslim untuk didengar dan ditaati, dan agar menjalankan pemerintahannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Juga untuk mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Disamping itu, Hizbut Tahrir bertujuan untuk membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang cemerlang. Hizb berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa kejayaan dan kemuliaannya, mengambilalih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia, dan agar kembali menjadi negara super power di dunia, seperti yang telah terjadi di masa silam, dan memimpinnya sesuai dengan hukum-hukum Islam.


(45)

Tujuan Hizbut Tahrir lainnya adalah menyampaikan hidayah (petunjuk

syari’at) bagi umat manusia, memimpin umat Islam untuk menentang ide-ide dan

sistem perundang-undangan kufur maupun kekufuran itu sendiri secara menyeluruh, sehingga Islam dapat menyelimuti seluruh dunia.8

C. Sumber-sumber Bacaan Konsep Makar Hizbut Tahrir Indonesia

Hizbut Tahrir telah melakukan kajian, penelitian dan studi, terhadap kondisi umat, sejauh mana kemerosotan yang dialaminya. Kemudian membandingkannya dengan kondisi di masa Rasulullah saw, masa Khulafaur Rasyidin, dan masa generasi tabi’in. Di samping itu, dengan merujuk kembali sirah Rasulullah saw dan tata cara mengemban dakwah beliau, sejak permulaan dakwahnya hingga keberhasilannya mendirikan Daulah Islamiyah di kota Madinah. Juga dengan mempelajari bagaimana perjalanan hidup beliau di Madinah. Dan tentu saja telah merujuk kepada Kitabullah, Sunah Rasul-Nya, serta apa yang ditunjukkan oleh dua sumber ini, yakni Ijma Sahabat dan Qiyas, selain berpedoman pada ungkapan-ungkapan/ pendapat para sahabat, tabi’in, imam-imam dari kalangan mujtahidin. Setelah melakukan aktivitas kajian tersebut secara menyeluruh, Hizb memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum, yang berkaitan dengan fikrah (ide) dan thariqah (metode). Semua ide, pendapat dan hukumnya, hanya berasal dari Islam. Tidak ada satupun yang bukan dari Islam. Tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam. Secara utuh dan murni diambil dari Islam. Tidak disandarkan pada sesuatu selain dari pokok-pokok

8

Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan


(46)

(ajaran) Islam dan nash-nashnya. Hizbut Tahrir juga menyandarkan pada pemikiran (akal sehat) dalam penetapannya.

Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum tersebut sesuai dengan ketentuan yang diperlukan dalam perjuangannya untuk melangsungkan kehidupan Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, dengan mendirikan Daulah Khilafah dan mengangkat seorang khalifah.

Ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum yang telah dipilih dan ditetapkannya, telah dihimpun dalam berbagai buku dan selebaran. Semua itu telah diterbitkan dan disebarluaskan kepada umat. Berikut nama-nama buku yang telah diterbitkan oleh Hizb:

1. Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam).

2. Nizhamul Hukmi Fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam). 3. Nizhamul Iqtishadi Fil Islam (Sistem Ekonomi Islam). 4. Nizhamul Ijtima’I Fil Islam (Sistem Pergaulan di dalam) 5. At-Takattul al-Hizbi (Pembentukan Partai Politik).

6. Mafahim Hizbut Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir). 7. Daulah al-Islamiyah (Negara Islam).

8. Syakhshiyah al-Islamiyah (Kepribadian Islam, tiga jilid).

9. Mafahim Siyasiyah Li Hizbit Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir)

10. Nadlarat Siyasiyah Li Hizbit Tahrir (Pandangan Politik Hizbut Tahrir)


(47)

12. Al-Khilafah (Sistem Khilafah).

13. Kaifa Hudimat al-Khilafah (Persekongkolan Meruntuhkan Negara Khilafah), 14. Nizham al-„Uqubat (Sistem Sanksi).

15. Ahkam al-Bayyinat (Hukum Pembuktian).

16. Naqdlu al-Isytirakiyah al-Marksiyah (Kritik terhadap Sosialis Marxis). 17. At-Tafkiir (Membangun Pemikiran).

18. Sur’atu al-Badihah (Kecepatan Berpikir). 19. Fikru al-Islami (Pemikiran Islam).

20. Naqdlu an-Nadlariyatu al-iltizami fi al-Qawanini al-Gharbiyyah (Kritik terhadap Teori Stipulasi Undang-undang Barat).

21. Nida Haar (Seruan Hizbut Tahrir Untuk Umat Islam).

22. Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla (Politik Ekonomi yang Agung). 23. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan di Negara Khilafah).

Disamping itu, terdapat ribuan selebaran, buklet dan diktat yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, baik menyangkut ide maupun politik. Cara yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum yang telah dipilih dan ditetapkannya adalah dengan cara politik. Yaitu, dengan menyampaikan semua ide dan hukum kepada masyarakat, hingga mereka mau menerima, mengamalkan, dan turut mengembannya, agar bisa terwujud dalam aspek pemerintahan dan realitas kehidupan. Hal itu merupakan kewajiban yang harus mereka pikul sebagai bagian dari kaum muslim. Itu juga diwajibkan atas Hizbut Tahrir sebagai partai politik Islam, yang anggota-anggotanya terdiri dari kaum Muslim.


(48)

Dalam mengambil dan menetapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam, Hizbut Tahrir hanya bersandar kepada wahyu, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, serta yang ditunjukkan oleh keduanya, berupa ijma’ Sahabat dan Qiyas. Karena, hanya keempat rujukan itu saja yang hujjahnya ditetapkan dengan dalil yang qath’i (pasti).9

D. Logika Makar Hizbut Tahrir Indonesia

Orang bughat adalah orang-orang yang melawan Daulah Islamiyyah, dan mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan, yakni mereka yang memberontak kepada Daulah, menampakkan perlawanannya dengan persenjataan, dan mengumumkan perang terhadap Daulah Islamiyyah. Tidak ada perbedaan dalam hal ini, bagi orang yang melawan khalifah yang adil atau khalifah yang dzalim. Begitu pula tidak ada perbedaan bagi mereka yang menyimpang dalam menakwilkan agama atau menghendaki harta. Sesungguhnya mereka semua adalah bughat selama menampakkan permusuhan di hadapan penguasa Islam. Mereka, bagi khalifah atau wakil khalifah di wilayah tersebut, harus mengirim utusan kepada mereka, dan menanyakan kepada mereka apa yang mereka tidak setujui dari penguasa, jika mereka menyebutkan kedzaliman (dari penguasa), penguasa harus segera menghentikan kedzaliman itu. Jika mereka menjawab tidak jelas alasannya, maka utusan tadi harus menjelaskan bukti-buktinya dengan gamblang, dan jika mereka mengalami kesimpangsiuran pemahaman, maka mereka harus diyakinkan bahwa tindakan mereka bertentangan dengan kebenaran, dan seharusnya tidak demikian. Demikian pula, utusan tersebut harus menjelaskan

9

Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir Indonesia, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2014), h.4.


(49)

bukti-buktinya, dan mengarahkan mereka kearah kebenaran. Ini disebabkan, bahwa Islam memerintahkan kaum muslimin untuk memerangi penguasa, jika terlihat kekufuran yang nyata dan ada bukti dari Allah, atau jika penguasa tidak menerapkan hukum-hukum Islam. Mereka boleh memerangi penguasa untuk memenuhi kewajiban dan syara’. Dengan demikian utusan tersebut harus menjelaskan kepada mereka hal-hal yang masih samar bagi mereka. Jika mereka kembali dari bughat, diterima, dan mereka tidak boleh ditangkap karena perlawanan mereka, jika mereka tidak mau kembali, mereka wajib diperangi, namun bukan penyerangan militer, namun penyerangan yang mendidik. Oleh karena itu, haram menyerang mereka dengan sesuatu yang dapat menyebabkan kematian massal, kecuali dalam kondisi mendesak. Mereka tidak boleh diserang dengan serbuan kapal terbang, bom, meriam, kecuali jika dalam kondisi darurat. Yakni setelah dengan alat-alat yang mendidik tidak berhasil, namun tidak dengan menggunakan alat-alat militer. Tidak boleh membunuh keluarga mereka, satu orang yang melarikan diri. Barangsiapa melarikan diri dari peperangan, maka mereka dibiarkan, dan jika mereka membunuh seseorang, mereka tidak boleh dibunuh semuanya, jika salah seorang diantara mereka menyerah, maka ia ditahan dan diperlakukan sebagaimana perbuatan orang yang melakukan dosa, bukan diperlakukan sebagaimana tawanan, sebab ia bukanlah tahanan. Tidak boleh satupun harta mereka diambil, sebab mereka adalah rakyat yang mendapatkan perlakuan edukatif dengan cara memerangi mereka. Oleh karena itu penyerangan terhadap mereka tidak diasumsikan sebagai agresi militer ataupun jihad.


(50)

Asal had bughat adalah firman Allah SWT. Ayat ini menyebut orang-orang bughat sebagai orang-orang yang beriman (mukmin). Bughat tidak mengeluarkan mereka dari keimanan. Ayat tersebut juga menunjukkan dengan jelas wajibnya memerangi mereka (bughat), dan menghentikan penyerangan terhadap mereka jika mereka kembali kepada perintah Allah. Mereka tergugurkan dari kewajiban-kewajiban pada apa yang mereka rusak ketika memerangi mereka, baik jiwa maupun harta. Dan firman Allah swt, menunjukkan wajibnya mengirim utusan kepada mereka sebelum mereka diperangi. Ayat ini telah menetapkan had bughat

serta menjelaskan apa had bughat itu, yakni memeranginya sampai mereka kembali, akan tetapi setelah mengirim utusan kepada mereka dan setelah berusaha menghilangkan hal-hal yang mendorong mereka untuk melakukan perlawanan. Baik kedzaliman, ketidakjelasan, kesalahpahaman, atau yang lain-lain.

Jika ahli bughat telah menguasai sebagian dari negeri Islam, kemudian mengangkat qadli untuk mengadili rakyat, menerapkan hukum-hukum untuk mengatur masyarakat, dan menegakkan hukum-hukum Islam, maka hukum ketetapan mereka harus dilaksanakan sebagaimana hukum orang yang adil, pengaturan penguasa mereka sebagaimana pengaturan orang yang adil selama mereka berjalan sesuai dengan hukum syara’. Jika khalifah berhasil mengalahkan mereka, atau mereka kembali ke pangkuan daulah, maka ketetapan-ketetapan mereka harus dilaksanakan, sebab ketetapan-ketetapan itu adalah hukum Islam dari penguasa yang diangkat berdasar kesimpangsiuran peperangan. Dan selama al-Quran masih menganggap mereka sebagai orang-orang mukmin, dan selama tidak boleh menghancurkan mereka, kecuali dengan penyerangan untuk mendidik


(51)

mereka saja, maka perlakuan terhadap mereka seperti perlakuan terhadap seorang muslim yang taat kepada khalifah dan di bawah kekuasaan suatu negara. Oleh karena itu memerangi mereka merupakan had dari hudud Allah seperti had pencurian, yang tidak dipengaruhi oleh predikat-predikat atas mereka ataupun hukum-hukum bagi mereka, selama mereka tetap sebagai kaum muslimin dan menegakkan hukum.


(52)

42 BAB IV

ANALISIS TEMUAN TENTANG KONSEP MAKAR HIZBUT TAHRIR INDONESIA DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Konsep dan Sanksi Pidana Makar dalam Hukum Pidana Islam dan Positif Makar dalam hukum Islam telah diatur. Dalam Islam makar merupakan suatu perbuatan atau usaha untuk menentang, membunuh seseorang yang tidak disenangi atau dianggap musuh/saingan, baik dalam hal agama maupun duniawi dengan cara tipu daya, tipu muslihat, atau perbuatan lainnya yang bertentangan dengan agama Islam.1 Ditinjau dalam hukum Islam makar sama dengan Al-Baghyu2 Makar/al-baghyu merupakan tindakan sekelompok orang yang memiliki kekuatan untuk menentang pemerintah, disebabkan terdapat perbedaan paham mengenai masalah kenegaraan3. Al-baghyu yang pelakunya disebut al-baghy yang jamaknya al-bughat dikalangan ulama Syafiiyah diartikan dengan: “Sekelompok orang Islam yang menggunakan ideologi tertentu, terorganisir di bawah pimpinan yang dipatuhi, dengan menggunakan kekuatan melawan imam (penguasa yang sah) dengan cara keluar dari kekuasaannya dan meninggalkan kepatuhan kepadanya atau menolak memberikan hak-haknya.

Unsur-unsur Jarimah Pemberontakan ada tiga yaitu: Pembangkangan terhadap kepala negara (imam), pembangkangan dilakukan dengan kekuatan,

1

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Islam “Menjawab Tantangan Zaman yang terus

Berkembang”, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 268. 2

Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006), h. 122. 3


(53)

dan adanya niat yang melawan hukum4. Imam Syafi’i, dalam kitabnya Al-Umm, menyinggung tentang ketegasan Sayyidina Abu Bakar r.a yang memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, Imam Syafi’i berpendapat mengenai pemberontakan yang menolak menunaikan apa yang telah diwajibkan oleh Allah SWT, maka pemimpin (imam) harus membunuhnya atau memeranginya.5

Firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 9

َْيِنِمْؤُما َنِم ِناَتَفىآَط ْنِإَو

ِيِّا ْاُْوِتَِىَ َ فَىْرُُا اَوَل اَاُمىَىْدِإ ْ َتَ ي ْنِنََ اَاُمَ نْ نَ ي ْاُْْوِوْلَصَ ْاُْوَ تَتْ تا

ُِي َها ِنا ْاُْطِسْتَأَو ِل ْىَعّْاِي اَاُمَ نْ نَ ي ْاُْوِوْلَصََ ْتَءاََ ْنِنََ ِهاِىْمَأ ََِإ َءاِفَت ََِد اِتْبَ ت

ُب

َْيِطِسْىُاّْا

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang

yang berlaku adil”. (Q.S. Al-hujjarat ayat: 9).

Dari penjelasan ayat di atas dapat dipahami bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pemberontakan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan ishlah atau perdamaain dengan pihak pelaku makar, yang dalam Ishlah tersebut Imam menuntut para pelaku makar untuk menghentikan perlawanannya dan kembali taat kepada Imam telah berlaku zhalim dan menyimpang dari ketentuan agama, maka Imam memberikan penjelasan atau memperbaiki kesalahannya. Kedua, bila cara pertama tidak berhasil dalam arti

4

Ahmad Wardi Muclish, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 162. 5 ]Imam Syafi’i, Abu Abdullah Muhammad Bin Idris,

Ringkasan Kitab Al-umm, Terj. Imron Rosadi dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), Buku II, h. 285.


(54)

perlawanan masih tetap berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan tidak ada perlawanan.6

Berdasarkan pendapat ulama Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dapat disimpulkan Al-baghyu merupakan pembangkang terhadap kepala negara dengan menggunakan kekuatan berdasar argumentasi atau alasan ta’wil lebih mendekatkan sebagai “pemberontakan”. Berbeda dengan KUHP delik pemberontakan diatur sendiri dalam pasal 108.7 Di dalam KUHP tindak pidana Makar dalam pasal-pasal yang disebutkan penulis di atas, jika pelaku tidak selesai melakukan tindak pidana makar maka dapat diberikan sanksi dan di pidana dengan syarat adanya niat untuk melakukan makar. Dan di dalam Ketentuan Hukum Islam sendiri telah dijelaskan dalam surat Al-Hujjarat ayat 9 di atas tindak pidana makar tersebut pelaku tersebut dapat diberikan nasehat untuk memperbaiki kesalahannya dan apabila masih melakukan pemberontakan maka pelaku tersebut akan diperangi agar kembali ke jalan yang benar.8

Sebagaimana yang telah tercantum di dalam KUHP terkait permasalahan kejahatan terhadap keamanan Negara yang menjelaskan bahwa makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

6 M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:

Lentera Hati, 2002), h. 243. 7

Tongat, Hukum Pidana Materiil: Tinjauan atas Tindak Pidana terhadap Subyek Hukum

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 197. 8


(1)

Indonesia diatur dalam KUHP. Maka dengan itu, makar yang telah dimaksud oleh para kelompok itu pun bukan termasuk makar dalam pandangan hukum Positif.

B. Saran

Berdasarkan pemaparan skripsi ini maka penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak diantaranya sebagai berikut:

1. Masyarakat

Hendaklah masyarakat lebih teliti dalam melihat sebuah organisasi yang berkembang di lingkungannya, sehingga tidak menimbulkan kesan panatisme terhadap Ormas yang dianutnya sehingga memberikan kesan sesat terhadap Ormas lain. Yang pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan dan pertentangan antar umat Islam. 2. Akademisi

Penulis menyarankan kepada para akademisi bahwa untuk mengetahui lebih lengkap dan terperinci tentang aturan hukum makar baik secara hukum Islam maupun hukum positif, perlu diadakan kajian secara khusus tentang akulturasi hukum Islam ke dalam hukum positif terkait dengan makar sehingga akan memberikan suatu wacana baru dalam penyelesaian hukum terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan makar.


(2)

55

Pemerintah hendaklah bijaksana dalam menyelesaikan kasus-kasus yang berhubungan dengan makar atau rasisme yang merusak kesatuan NKRI dan juga pemerintah harus lebih berhati-hati terhadap statement opini publik terkait dengan Hizbut Tahrir. Pemerintah sebaiknya mengkaji dan meneliti konsep makar Hizbut Tahrir agar tidak menyudutkan kelompok tersebut sehingga tetap terjaga persatuan dan kesatuan umat Islam.


(3)

56 Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2014.

Ahmad Bin Hambal as-Syaibaniy. Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Kairo: Muassasah Qordobah, t.t.

Aji, Ahmad Mukri. Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd. Bogor: Pena Ilahi. 2007. Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika. 2007.

---. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Audah, Abdul Qadir. Al-Tasyri Al-Jinai’I Al-Islami Muqaranan bi Qanun Al-Wad’i . Beirut: Mu’assasah AL-Risalah. 1992.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Lembaga Penelitian. UIN Syarif Hidayatullah 2010.

Barkatullah, Halim Abdul. Hukum Islam “Menjawab Tantangan Zaman yang terus Berkembang”. Jakarta: Pustaka Pelajar. 2006.

Chazawi, Adami. Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.

Djazuli, Ahmad. Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1997.

Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. 2009.

Hamzah, Andi. KUHP&KUHAP . Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2011.

Hidayat, Komaruddin, dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat


(4)

57

Hizbut Tahrir. Mengenal Hizbut Tahrir Indonesia dan Strategi Dakwah Hizbut

Tahrir. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah. 2014.

Irfan, Muhammad Nurul, dkk. Fiqih Jinayah. Jakarta : Amzah. 2013. Iskandar. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Gaung Persada. 2009.

Lamintang. Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan

Hukum Negara. Bandung : Sinar Baru. 1987.

Muslim ibn al-Hajjaj an-Naisabury, Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Ihya’I at -Turats al-Arabiy, t.t.

Moleong, J. Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2007.

Nabhaniy, Taqiyudin. Ad-Daulah al-Islamiyah. Beirut: Dar al-Ummah, 2003. Prakoso, Djoko. Tindak Pidana Makar Menurut KUHP Jakarta : Ghalia

Indonesia. 1986.

Rakhmandi, Jalaludin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Rineke Cipta. 1987.

Rodhi, Muhammad Muhsin. Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam

Mendirikan Negara Khilafah. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing.

2012.

Sabiq, Sayyid Sabiq. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr, 1983.

Suma, Muhammad Amin. Pidana Islam di Indonesia. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2001.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana, 2003.

Abdurrahman, Yahya. “Bughat”. Artikel diakses pada 18 Desember 2015 dari http://www.hizbut-tahrir.or.id/2015/06/09/bughat-2.


(5)

(6)