Pandangan ketatanegaraan Islam dalam penetapan kepala Negara
bertujuan meliberalisasikan sistem politik. UUDS 1950 pun menggantikan UUD 1945 yang berlaku sebelumnya. Berbeda dari UUD 1945 yang
menekankan sistem presidensiil yang kuat, konstitusi baru ini menetapakan presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan. Namun, sistem baru itu kemudian dianggap gagal, karena kabinet terus menerus dalam situasi yang tidak stabil. Kabinet yang paling
kuat secara politisi hanya mampu bertahan selama dua tahun. Legitimasi sistem konstitusional juga terancam oleh sejumlah gerakan pemberontakan.
Pemilu untuk memilih para anggota majelis konstitusioanl konstituante dianggap sebagai jawaban bagi instabilitas politik. Akhirnya, UU pemilu 1953
memberi jawaban pertama ke arah penyelenggaraan pemilu legislatif yang perwakilan proporsional dalam konstituensi beranggota banyak. Meskipun
proses pemilunya berlangsung adil dan demokratis, hasilnya mengecewakan mereka yang berharap bahwa pemilu akan meningkatkan stabilitas demokrasi
parlamenter.
2
Tidak satu pun partai peserta pemilu yang mampu meraih lebih dari seperempat jumlah suara yang sah. Partai Nasional Indonesia PNI meraih
suara tertinggi dengan 22,3 persen, disusul oleh partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia MASYUMI dengan 20,9 persen, partai Nahdatul Ulama
NU dengan 18,4 persen dan Partai Komunis Indonesia PKI dengan 19 persen.
2
. Aurel Croissant dan Gabriele Bruns, Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, Jakarta: Pensil-324, hal. 102.
Meskipun pemilu 1955, yang disusul oleh pemilu sela 1957, umumnya dianggap berlangsung secara demokratis, tetapi tidak berhasil mengatasi krisis
politik yang telah kronis. Pertarungan berbagai kubu ideologi, pertentangan antara parlamen dan kabinet, serta konflik antar kelompok masyarakat, telah
menciptakan situasi politik yang sangat tidak stabil. Jadi, pemilu dianggap tidak menyelesaikan masalah instabilitas politik yang berlangsung bertahun-
tahun di bawah sistem demokrasi parlamenter liberal sebelumnya. Menjelang tahun 1967, Mayjen Soeharto telah melucuti kekuasaan
Presiden Soekarno. Sebuah rejim otoriter baru yang disbeut “Orde Baru” dibentuk. Soeharto terpilih sebagai pejabat Presiden RI oleh parlamen.
Dengan didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, yang memuji Soeharto karena keberhasilnnya dalam menumpas PKI, orde
baru mulai mempersiapkan pemilunya yang pertama, yang dijadwalkan berlangsung pada tahun 1971.
Tanpa partisipasi dua partai sebelumnya, yaitu Masyumi yang telah dilarang oleh Bung Karno dan PKI yang telah dibubarkan oleh Soeharto, maka
pemilu 1971 menjadi alat legitimasi yang efektif bagi rejim Orde Baru. Sepuluh partai politik bertarung dalam pemilu tersebut. Satu di antaranya ialah
Golongan Karya Golkar. Golkar dibentuk pada awal 1960’an sebagai front bersama untuk melawan PKI. Golkar merupakan organisasi yang terdiri dari
sekumpulan kelompok dengan latar belakang sosial yang berbeda-beda.
Meskipun secara hukum legal, Golkar bukan partai politik, ia muncul sebagai partai rejim Orde Baru-nya Soeharto.
3
Sebagaimana diperkirakan, Golkar menang mutlak dalam pemilihan umum 1971. Partai ini meraih 62,8 persen suara sah dan memenangkan 236
dari 360 kursi di parlamen, jumlah yang cukup untuk mengontrol parlamen DPR. DPR ini adalah bagian dari MPR, yang anggotanya berjumlah dua kali
lipat anggota DPR 720 dan yang setengah dari jumlah ini merupakan hasil pengangkatan.
Dalam rangka mengkonsolidasikan lebih jauh kekuasaannya, Presiden Soeharto memprakarsai sistem kepartaian pada tahun 1974, semua partai dan
kelompok politik, kecuali Golkar, dibubarkan dan digantikan oleh dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan PPP dan Partai Demokrasi
Indonesia PDI. Meskipun dari segi hukum ketiga partai ini merupakan organisasi politik yang terpisah dan bersifat independen, tetapi sistem
kepartaian sesungguhnya merupakan “sistem hegemonik” karena Golkar merupakan partai politik yang dominan, dengan kedua partai lainnya sebagai
“partai satelit” Dibawah kerangka sistem kepartaian yang difabrikasi seperti ini, rejim
Orde Baru berhasil menyelenggrakan pemilu secara teratur untuk memilih sebagai anggota DPR. Pemilu-pemilu tersebut diselenggrakan pada tahun
3
. Aurel Croissant dan Gabriele Bruns, Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur, Jakarta: Pensil-324, hal. 103.
1977, 1982, 1987, 1992 dan 1998. Namun, tidak satu pun pemilu tersebut yang berlangsung kompetitif atau bebas dan adil, karena seluruh aparatur
negara, tentara dan masyarakat dimobilisasikan untuk mendukung rejim Orde Baru dan Golkar.
Mei 1998, presiden Soeharto terpaksa mundur dari kekuasaan yang dijalankannya sendirian one man show. Ia digantikan oleh suatu
pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Wakil Presiden B.J. Habibie, seorang Insinyur yang beralih profesi menjadi politisi. Dengan pengambilan
alih kekuasaan maka dilmulailah apa yang disebut sebagai Era Reformasi. Era reformasi merupakan era kebebasan dan keterbukaan yang secara luas
diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk secara bebas menyalurkan aspirasinya, era kebebasan ini menjadi sebuah momentum bagi seluruh
masyarakat Indonesia untuk mewujudkan keinginanya dalam berbagai hal, salah satunya dalam bidang politik hal ini ditandai dengan lahirnya partai-
partai politik dalam jumlah besar, sehingga mencapi 181 partai yang resmi terdaftar pada Departemen Kehakiman setelah melalui penyeleksian yang
dilakukan “tim sebelas”
4
. Diantara 181 partai tersebut hanya 48 partai yang lolos dan layak mengikuti pemilu 1999 termasuk didalamnya terdapat sekitar
20 partai Islam
5
. Lahirnya banyak partai-partai politik tak terkecuali partai
4
. Azyumardi Azra pengantar, dalam A.M. Fatwa, Satu Islam Multipartai: Membangun Integritas di Tengah Pluralitas, Bandung: Mizan Media Utama, 2000, hal. 12.
5
. Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001, hal. Xix.
Islam pada era reformasi ini menunjuk sebuah relaksasi politik yang hadir setelah Orde Baru runtuh.
Dari sekian banyak partai politik yang ikut serta dalam percaturan perpolitikan di Indonesia bisa diklasifikasikan kedalam beberapa aliran
diantaranya: Nasionalis, Sekuler dan Islamis partai Islam. Parati politik peserta pemilu 1999 dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok
partai Islam tradisionalis yang diwakili kalangan nahdiyin yang ditambah Perti dan al-washiliyah, yang terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai
Solidaritas Uni Nasional Indonesia Partai SUNI, Partai Kebangkitan Umat PKU, Partai Nahdatul Ummah PNU. Kedua, kelompok partai Islam
Modernis, yang kemudian terbagi menjadi dua faksi terpisah: Konservatif dan Liberal. Kelompok Islam Konservatif terdiri dari Partai Persatuan
Pembangunan PPP, Partai Bulan Bintang PBB, dan Partai Keadilan PK. Kelompok Modernis liberal adalah orang-orang yang berasal dari kalangan
Muhammadiyah yang tergabung dalam partai Amanat Nasional PAN. Himpunan Mahasiswa Islam yang tergabung dalam Golkar, diluar ini adanya
juga beberapa yang dianggap sebagai partai gurem seperti Partai Abu Yatama PAY, Partai Islam Demokrat PID, Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia
KAMI, dan Partai Umat Muslimin Indonesia PUMI.
6
Sementara itu pada pemilihan umum selanjutnya yang dilaskanakan pada 5 April 2004, semakin semarak dan bahkan tanda-tanda akan lahirnya budaya
6
. Idris Thaha, Demokrasi Religius, Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005, 203-204.
kekerasan semakin kental. Salah satu isu yang ditenggarai akan menorehkan budaya kekerasan adalah adanya pembatasan secara limitatif Parpol peserta
Pemilu tahun 2004. Pola pembatasan secara ketat Parpol peserta 2004 adalah amat unik dalam
mekanisme Pemilu di Indonesia. Karena selama ini pola pembatasan Parpol peserta Pemilu tidak seketat pemilu 2004.
Dalam suasana itu, sulit membayangkan bila parpol peserta pemilu tidak dibatasi. Katakanlah Pemilu 2004 akan diikuti oleh ratusan parpol, pastilah
akan menyulitkan praktek pengaturan dan pengawasannya dilapangan baik oleh Panwaslu, KPU maupun lembaga-lembaga lainnya.
Kesulitan ini dapat dirasakan misalnya saat kampanye dan pencoblosan, bisa dibayangkan bila kampanye dan pencoblosan diikuti oleh ratusan parpol,
ditengah ratusan ribu konsistuen politik yang belum dewasa secara politik, kita dapat bersyukur dari data yang ada, parpol yang mendaftarkan diri ke
Depkeh HAM ada 237 Parpol, namun yang berhasil lolos verifikasi hanyalah 50 Parpol. Dari 50 Parpol inilah yang akan diverifikasi oleh KPU pusat.
7
Pengawasan pelaksanaan pemilu dilakukan untuk menampung dan menindaklanjuti pengaduan atas pelanggaran dan sengketa. Pengawasan ini
dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi,
7
. Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilum 2009, Yogyakarta: El-Sab, hal. 11.
Panitia pengawas Pemilu KabupatenKota dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
8
Tugas dan wewenang Panwaslu sebagaimana disebutkan dalam pasal 122 ayat 1 yaitu:
a. Mengawasi semua tahapan penyelenggara pemilu b. Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan
Pemilu c. Menyelesaiakan sengketa Pemilu yang timbul
d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.
Setelah melakukan pemungutan suara lalu KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu Presiden di Hotel Borubudur, Jakarta pada tanggal 10 bulan
April. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla resmi dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilu presiden dan wakil
presiden 2004. Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan sejak 2 Oktober malam hingga 4 Oktober siang, jumlah suara sah seluruhnya 114.257.054 dan suara
tidak sah 2.405.651 2,05
9
. Pemilihan umum 2009 diikuti oleh 38 parpol, sebanyak 18 peserta adalah
parpol baru, sementara itu, dua parpol baru Hati Nurani Rakyat HANURA
8
. Lily Zakiyah Munir dan Sudarpo Said, Perempuan, Politik dan Pemilu 2004 Buku Panduan Untuk Pendidikan Mmeilih, Jakarta: Center for Pesantren and Democracy Studies,
2004, hal. 36-37.
9
. Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Presiden 2004, hal. 159.
Yng dipimpin Oleh Wiranto dan Gerakan Indonesia Raya GERINDRA yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, lolos parlamentary threshold dan meraih
kursi DPR. Fenomena yang paling menarik dalam pemilu 2009 ini adalah
munculnmya partai Demokrat sebagai pemenang. Pada pemilu 2004, partai ini mencatat sejarah sebagai parpol baru yang langsung menggebrak peta
perpolitikan nasional dengan keberhasilannya meraup 8,46 juta suara 7,5 persen dan berhasil mendudukan kadernya di Senayan. Fenomena
kemenangan partai Demokrat dalam pemilu 2009 ini telah mendudukannya sebagai partai “papan atas” dengan menggeser kedudukan PDI-P dan Golkar,
yang telah lama mendominasi pemilu di Indonesia. Fenomena Demokrat ini sangat menarik perhatian mengingat Partai
Demokrat adalah salah satu Partai yang pola alirannya samar-samar
10
. Keberhasilan partai Demokrat dalam dua pemilu tak terpisahkan dari
popularitas tokoh Susilo Bambang Yudhoyono. Kuskridho Ambardi bahkan telah mensinyalir bahwa ideologi partai-partai
di Indonesia telah lama pudar. Dengan berkesimpulan bahwa partai-partai politik telah mengembangkan suatu pola kerja sama yang serupa sistem
kepartaian yang terkartelisasi. Faktor penyebab kartelisasi ini adalah kepentingan kolektif partai-partai dalam menjaga sumber-sumber rente di
10
. R. William Liddle, Revolusi dari Luar, Demokrasi di Indonesia, hal. 106
lembaga eksekutif dan legislatif demi kelangsungan hidup mereka sebagai suatu kelompok.
B.VISI DAN MISI KOMISI PEMILIHAN UMUM KPU VISI
Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel,
demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 dalam
wadah Negara
Kesatuan Republik
Indonesia.
MISI
1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan
Pemilihan Umum; 2. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab;
3. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien dan efektif;
4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang
demokratis.
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan
Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :
1. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum; 2. menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak
sebagai peserta Pemilihan Umum; 3. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
4. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;
5. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
6. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;
7. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf:
1. tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam
Pasal 10, selambat-lambatnya 3 tiga tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum
C.PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA OLEH KPU
Memang sama sekali tidak ada jaminan pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’ akan menghasilkan pemerintahan yang demokratis
11
. Pemerintahan hasil pemilu yang paling bermutu sekalipun bisa Saja inefisien, korup, tidak bertanggung
jawab dan tak sanggup menerima kebijakan yang dituntut kepentingan umum. Contoh paling menonjol bisa dilihat pada pemerintahan hasil pemilu 1955 di
Indonesia. Pemilu pertama tersebut dianggap berlangsung ‘luber’ dan ‘jurdil’, namun
ternyata tidak dapat menjamin kelanjutan sistem demokrasi parlamenter, sebuah sistem yang dinilai paling ideal untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Ketiadaan
konsensus politik serta makin sengitnya konflik antar partai, khususnya antara PNI dengan Masjumi, menyebabkan Kabinet Ali Sastroamindjojo Kedua tak
11
. Pax Benedanto, Ignatius Haryanto, Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan Kursi, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan, 1999, hal. 5.
dapat menjalankan tugas-tugas pokok mereka. Sebab itu, Presiden Soekarno mengajukan usul untuk mengubah sistem politik menjadi ‘demokrasi terpimpin’
Pada Oktober 1956. Tiga tahun kemudian , pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD 1945. Begitu dekrit itu
dikeluarkan, sistem demokrasi parlamenter resmi terkubur. Cengkraman penguasa pun makin kuat tertancap.
Meskipun gagal membentuk pemerintahan yang demokratis, Pemilu 1955 tetap layak dipakai sebagain tolak ukur untuk menilai pelaksanaan Pemilu 1999.
Pemilu pertama tersebut boleh jadi merupakan satu-satunya pemilu yang bermutu selama 54 tahun Indonesai merdeka. Pemilu-pemilu lainnya, yang berturut-turut
berlangsung pada 1971, 1977, 1982, 1992, dan 1997, dianggap melulu menegakkan ‘kedaulatan penguasa’, bukannya kedaulatan rakyat. Demikian buruk
enam pemilu Orde Baru tersebut sehingga sering diejek sebagai ‘pemilu semu’ karena prkatis hasilnya sudah diketahui sebelumnya.
12
Pemilu 1955 dianggap bermutu terutama karena menjunjung tinggi semangat kerakyatan. Pemerintahan Burhanuddin Harahap memberikan
kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk ikut menentukan jalannya pemilu. Partai-partai politik dan berbagai unsur masyarakat lainnya terlibat sejak
penyusunan undang-undang, pendaftaran calon pemilih, kampanye, hingga proses
12
. Pax Benedanto, Ignatius Haryanto, Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan Kursi, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pengembangan, 1999, hal. 6.
penghitungan suara
13
. Dengan demikian tidak heran bila segala bentuk penyelewangan dan kecurangan dapat ditekan. Hebatnya lagi, kendati berlangsung
dalam suasan konflik antar golongan dan partai politik yang amat tinggi serta sarana yang sangat minim pemilu dapat berjalan dengan lancar, aman, dan damai.
Pemilu 1999 bisa jadi merupakan episode puncak dari gerakan reformasi yang terjadi sejak awal 1998. gerakan ini telah berhasil mendesak Soeharto untuk
meletakkan jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Sejak itu saluran aspirasi masyarakat terbuka lebar, antara lain berupa bermunculnya partai-partai
politik baru, tumbuh pesatnya media massa, dan juga maraknya unjuk rasa. Pemilu di era reformasi ini memposisikan Komisi Pemilihan Umum
sebagai lembaga penyelenggara yang bebas dan mandiri yang keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil partai peserta pemilu dan wakil pemerintahan pasal 8 ayat
2 UU N0. 3 Taahun 1999. Ketika keanggotaan lembaga itu diresmikan oleh presiden, di dalamnya ada 48 wakil partai dan 5 wakil pemerintah. Khusus wakil
pemerintah, hanya 1 orang yang dapat dikatakan berstatus pejabat tinggi departemen, selebihnya kalangan cendikiawan dan tokoh masyarakat yang diberi
mandat oleh pemerintah.
14
Antusiasme atau euforia masyakarat memang nampak jelas dalam pelaksanaan Pemilu 1999, terlebih pada masa kampanye dan pemungutan suara.
Gelombang kerusuhan berbau SARA suku, ras, agama dan antar golongan
13
. Herbert Feith, Pemilu 1965 di Indonesia, Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 1999, hal. 15.
14
. Biro Humas Komisi Pemilihan Umum, Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999.
yang melanda beberapa daerah, termasuk yang terjadi menjelang masa kampanye, tidak menyurutkan semangat sebagian besar masyarakat untuk meriahkan pesta
demokrasi kedelapan ini. Kendati jumlah peserta membludak dan persaingan antar pendukung partai tinggi, namun kampanye dan pemungutan suara berjalan dengan
aman dan lancar. Mulusnya kampanye dan pemungutan suara ternyata tidak diikuti dengan
lancarnya proses penghitungan dan penetapan hasil perolehan sauara. Walau menggunkan berbagai perangkat canggih dan sistem yang rapi, proses
penghitungan suara berjalan amat lambat sehingga penetapan hasil pemilu 1999 harus ditunda berkali-kali. Padahal, hasil pemilu 1999 itu begitu dinanti-nanti
masyakarat karena dianggap sebagai salah satuy pintu utama untuk keluar dari kemelut krisis yang berkepanjangan.
Semula orang mengira proses penghitungan suara yang lambat tersebut disebabkan oleh sikap hati-hati para pelaksana atau paling tidak berbagai
persoalan teknis. Pengalaman buruk selama enam pemilu mendorong wakil-wakil partai dan unsur-unsur masyarakat lainnya, yang dilibatkan di setiap tingkat
proses penghitungan suara, bekerja lebih cermat dan awas terhadap berbagai kecurangan yang mungkin timbul.
Demikinlah, hasil pemilu 1999 baru diputuskan oleh KPU pada 26 Juli 1999, atau hampir sebulan lebih lambat dari jadwal. Semula ditetapkan hasil
pemilu akan diperoleh pada 8 Juli 1999. Memang terdapat banyak kelemahan dan kesalahan, tetapi karena Pemilu 1999 dipersiapkan dalam waktu terbatas dan
merupakan pengalaman pertama melaksanakan pemilu yang bersandikan pada prinsip-prinsip demokrasi, maka kelemahan tersebut dapat dipahami dan diterima
oleh masyarakat.
15
Rakyat kemudian terlibat menjadi saksi dinamika politik Pasca Pemilu 1999. Moral dan Kinerja sebagian pimpinan politik yang duduk di legislatif
maupun eksekutif, jauh dari harapan, fakta ini tak saja menimbulkan kecewa, tetapi juga memunculkan sikap skeptis terhadap pemilu berikutnya. Inilah yang
menyebabkan kenapa pemilu 2004 menjadi titik krusia dalam proses reformasi politik di Indonesia ke depan.
Lalu pada tanggal 6 Mei 2003 Komisi Pemilihan Umum KPU telah melantik para anggota Panitia Pengawas Pemilu Panwas Pemilu di tingkat pusat.
Panwas Pemilu ini kemudian telah membentuk di tingkat Pusat. Panwas Pemilu ini kemudian telah membentuk Pnawas Pemilu Provinsi pada tanggal 12 Juni
2003. Selanjutnya berturut-turut dibentuk Panwas Pemilu KabupatenKota dan Panwas Pemilu Kecamatan. Pada awalnya bahkan pada draf RUU pemilihan
umum, panitia Pengawas Pemilu ini tidak dirancang untuk ada. Pemikiran awalnya, pengawasan akan dilakukan secara terintegrasi di berbagai bidang.
Dengan demikian pengawasan akan dilakukan sesuai kewenangan dari lembaga- lembaga negara yang sudah ada termasuk oleh KPU sendiri serta juga dilakukan
oleh masyarakat melalui para pemantau pemilu.
15
. Topo Santoso dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 25.
Sepanjang pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, Panitia Pengawas Pemilihan Umum sudah mulai dikenal pada pemilu-pemilu Orde Baru khususnya
sejak pemilu tahun 1982. Panitia pengawas yang dulu dikenal dengan Panwaslak itu diketuai oleh Jaksa Agung dan beranggota banyak unsur pemerintahan serta
unsur peserta pemilu.
16
Pada pemilu 2004, ada tiga pelanggaran yang ditindak Panwaslu. Pertama, pelanggrana administratif. Kedua, pelanggaran pidana. Ketiga, penyelesaian
sengketa. Dan pada Pemilu 2009, masalah penyelesaian sengketa tidak ditangani lagi oleh panwaslu, tetapi masih tetap ada tiga pelanggaran yang harus ditangani
dengan menambahkan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. UU No.222007 tentang penyelenggara Pemilu, dan UU No 1020008 tentang Pemilu
Legislatif menetapkan: model penanganan tiga pelanggaran ini sebagai berikut: Pertama, pelanggaran administratif diserahkan ke KPU. Kedua,
pelanggaran pidana ke penyidik polisi. Ketiga, kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan anggota KPUKPU PROVINSIKABUPATENKOTA dibentuk
Dewan kehormatan bersifat ad hoc. Pada prakteknya, penyelesaian berbagai macam pelanggaran Pemilu tidak menunjukan harapan sebagaiamana yang diikat
UU.
17
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang
16
. Topo Santoso dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 64.
17
. Ramdansyah, Sisi Gelap Pemilu 2009 Potret Aksesori Demokrasi Indonesia, Jakarta:Rumah Demokrasi, 2010, hal. 8.
Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk
melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :
•
Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
•
Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;
•
Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat
sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
•
Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;
•
Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
•
Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;
•
Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf:
1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud
dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 tiga tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.
18
18
http:id.wikipedia.orgwikiKomisi_Pemilihan_Umum diakses pada tanggal 9 April 2015 pkl. 00.21.
8
BAB IV ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM DALAM PENETAPAN
KEPALA NEGARA DI INDONESIA