Kesesuaian Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Pemilihan Umum di Indonesia
mana kezhaliman? Mana orang-orang yang membantu kezhaliman ? meraka semua akan berkumpul sampai ada yang mencacat dosa-dosa
mereka lalu meraka semua masuk neraka” Secara umum, keadilan sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama
fiqih dan para muffasir adalah melaksanakan hukum Tuhan, manusia menghukum sesuai dengan syariat agama sebagaimana telah diwahyukan
Allah kepada
nabi-nabiNya dan
rasul. Syariat
Islam adalah
penyempurnaan syariat-syariat yang telah ada sebelumnya. Allah berfirman di dalam surat An-Nisa ayat 58
Artinya : sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah
sebaik-baik yang member pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat. QS An-Nissa ayat 58.
2. Nilai musyawarah Konklusi bai’ah mengandung suatu proses seleksi. Di situlah
syura,sebagaimana diketahui, memainkan peranana penting untuk menentukan pilihan ummah tentang orang yang dipandang paling tepat
menduduki jabatan sebagai pemimpin. Jika pemilihan itu ditentukan melalui bai’ah, maka focus musyawarah bergeser kepada kawasan lain,
yakni kepentingan masyarakat. Jadi, andaikata bai’ah berarti akhir sebua transaksi atau keputusan dalam kaitannya dengan masalah kepemimpinan,
maka. Musyawarah merupakan penjajagan penelitian dan perkiraan dengan tujuan meraih cita-cita atau keputusan paling baik yang berkaitan
dengan semua persoalan, termasuk masalah kepemimpinan.
3
Al-Qur’an banyak menjelaskan sisi penting musyawarah atau konsultasi. Ayat-ayat tersebut membuktikan bahwa Islam tidak hanya memandang
konsultasi sebagai suatu prosedur yang direkomendasikan, tetapi
merupakan sebuah tugas keagamaan. Al-Qur’an 42-38 .
Artinya : dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhan
dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan menginfakan sebagian dari rezeki yang
kami berikan kepada mereka. QS Asy-syura ayat 38.
Konsep Ibnu Taimiyah tentang musyawarah atau konsultasi sama luasnya dengan konsep yang ia kemukakan tentang
bai’ah. Ia mengehendaki adanya musyawarah yang lebih efektif dan umum. Seorang pemimpin
seharusnya tidak hanya menimba meminta pertimbangan dari ulama, tetapi semua kelas dalam masyarakat dan siapa saja yang mampu
memberikan suatu pendapat yang dinamis. Hanya saja, ada batasan yang melingkari berlakunya konsultasi secara wajar.
Dalam prinsip syariat Islam tidak meemberikan konsepsi yang tetap atau ketetapan yang mengikat. Inilah salah satu rahasia kekenyalan syariat
3
. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hal. 82.
Islam yang tetap up to date kini dan esok maka sehubungan dengan situasi dan kondisi yang berubah dan berbeda-beda, Islam menawarkan metode
paling baik, yaitu menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan otak manusia untuk mengelolanya, mengatur dan memikirkannya sesuai dengan
situasi dan kondisi yang berkaitan dengan topik masalah yang akan di musyawarahkan.
Sementara itu dalam negara Indonesia Mohammad Yamin melihat tiga dampak positif suatu musyawarah. Pertama, dengan musyawarah manusia
memperluas perjuangannya, kedua, dengan musyawarah suatu masalah tidak hanya dipikirkan oleh perorangan,
ketiga, permusyawaratan menghilangkan misunderstanding atau salah pengertian
4
. Di samping itu, musyawarah itu sendiri adalah suatu kewajiban dapat ditingkatkan. Dalam
struktur masyarakat
Indonesia yang
asli, kepala
desa selalu
bermusyawarah langsung dengan warga, apabila ada suatu hal yang akan diputuskan yang menyangkut kepentingan seluruh warga desa. Akan
tetapi, apabila jumlah warga desa sudah sedemikian besarnya, maka musyawarah langsung seperti itu tidak dapat dilaksanakan lagi. Dalam hal
yang demikian, permusyawaratan dilakukan melalui perwakilan. Ini sesuai dengan pengertian MPR dalam perubahan UUD 1945 yang berbunyi MPR
adalah lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara, adapun tugas dan wewenang MPR sesudah amandemen
atau perubahan UUD 1945 ialah, pertama, mengubah dan menetapkan
4
. S. Silalahi, Dasar-dasar Indonesia Merdeka Persi Para Pendiri negara,Jakarta:PT Gramedia Utama, 2001, hal. 270.
UUD, kedua,
melantik presiden
dan wakil
presiden, ketiga,
memberhentikan Presiden dan wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD, keempat, melantik Wapres menjadi Presiden apabila
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya, kelima, memilih dan melantik Presiden dan Wapres apabila
keduanya berhenti secara bersamaan.
5
3. Nilai Persamaan Persamaan dalam Islam adalah prinsip dasar dan agung nilainya bagi
kehidupan manusia. Ia merupakan salah satu mutiara Qur’ani yang diturunkan bagi seluruh lapisan masyarakat sebagai landasan berpijak di
dalam mengerjakan amal kebaiakan
6
Allah berfirman :
Artinya: wahai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu
sekalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian bersuku- suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling kenal-mengenal antara
satu dengan lainnya. Sesungguhnya orang yang paling mulia di anatara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. QS al-Hujarat:13.
Walhasil manusia itu sama. Allah menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan tolong menolong.
Bukan malah sebaliknya, untuk saling menyombongkan diri menurut ras dan diskriminasi bangsa. Hal antar sesama. Dan tidak pula untuk
berbangga diri atas dasar perbedaan warna, pangkat dan juga golongan.
5
. Bahan Tayangan Materi Sosialisasi Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ketetapan MPR RI, Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2011, hal. 47-48.
6
. Hamidullah dkk, Politik Islam Konsepsi dan Dokumentasi, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987, hal. 171-172.
Untuk itulah Islam menganjurkan untuk mengikis habis akar-akar fanatisme dan golongan, serta membuang jauh-jauh kebanggan atas
keturunan dan warna kulit. Kemudian Islam menyatakan standar kemuliaan seorang adalah kebaiakan perilaku dan budi perkerti serta kadar
takwanya kepada Allah Yang Mahakuasa.
B. Perbandingan Penetapan Kepala Negara dalam Islam Dengan Penetapan Kepala Negara oleh KPU di Indonesia
Dasar yang disepakati, ialah: tidak boleh ada dua orang kepala negara dalam suatu benua, atau daerah, karena membawa kepada perceraian dan
permusuhan. Tetapi, jika benua-benua itu berlain-lainan dan jauh pula jarak antara satu daerah dengan yang lain, maka ada ulama yang tidak
membolehkan dan ada yang membolehkan.
7
Al-Baghdadi berkata: “tidak boleh ada dalam suatu waktumasa, dua kepala negara yang kedua-duanya wajib ditaati, terkecuali kalau diantara dua
negeri ada laut yang luas yang menghalangi sampainya pertolongan atau bantuan dari suatu negeri ke negeri yang lain. Kalau demikian keadaanya,
maka boleh masing-masing negeri mengangkat kepala Negaranya sendiri. Baik al-Qur’an maupun sunnah tidak pernah menetapkan suatu cara atau
mekanisme tertentu dalam memilih seorang kepala Negarapresiden. Karena itu, dalam pentas sejarah ketatanegaraan Islam muncul berbagai model atau
cara pengangkatan kepala negara Islam, mulai dari yang dianggap demokratis dan damai sampai kepada cara yang dianggap tidak demokratis dan didahului
7
. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991, cet. Kedua, hal, 71.
sebuah peperangan atau revolusi berdarah.
8
Model yang pertama, yaitu pemilihan langsung oleh Allah, di negara baru Madinah bagi umat Islam Nabi Muhammad adalah segala-galanya. Beliau
adalah Rasul Allah dengan otoritas yang berlandaskan kenabian sekaligus pemimpin masyarakat dan kepala negara. Dalam kehidupan sehari-hari sukar
dibedakan antara petunjuk-petunjuk mana yang belaiu sampaikan sebagai utusan Tuhan dan mana yang beliau berikan sebagai pemimpin masyarakat
atau kepala negara. Demikian pula dalam hal perilaku beliau. Hubungan antara umat Islam dengan beliau adalah hubungan antara pemeluk agama yang
beriman dengan ketaatan serta loyalitas yang utuh dan seorang pemimpin pembawa kebenaran yang mutlak dengan wahyu Illahi sebagai sumber dan
rujukan, dan yang bertanggung jawab hanya kepada Tuhan. Oleh karenanya selain ungkapan-ungkapan dan perilaku Nabi yang merupakan penjabaran atau
peragaan dari ajaran-ajaran yang telah digariskan oleh Al-Qur’an, tidak banyak yang dapat digali dari periode itu untuk menemukan unsure-unsur bagi
pola kehidupan bernegara.
9
Sementara itu menurut Al-Maududi, sewaktu Nabi Muhammad saw berada di Makkah, Nabi Muhammad hanya berkedudukan sebagai kepala
agama saja. Setelah hijrah ke Madinah beliau tidak hanya di akui sebagai pemimpin agama, melainkan juga menjadi dan diauki sebagai kepala negara
Madinah, menurut al-Maududi, Nabi sama sekali tidak dipilih oleh siapa pun,
8
. Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Erlangga,2008, hal. 124.
9
. Munawir Sjadzali, Islam dan Tatanegara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI PRESS, 2003, hal. 16.
tetapi ia dipilih langsung oleh Allah Yang Maha Kuasa. Metode yang kedua, adalah melalui lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd,
setelah wafat nyah Nabi maka tampuk kepemimpin pun akan terus berputar dan melalui lembaga inilah masyarakat diwakili dalam urusan menetapkan
kepala negara, pengertian dari ahl al-Hall wa al-Aqd adalah sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas
nama umat warga negara. Dengan kata lain lembaga ini lah yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota ahl al-
Hall wa al-Aqd ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Merekalah yang antara lain bertugas menetapkan dan
mengangkat kepala negara sebagai pemimpin pemerintahan sebagaimana yang diutarakan diatas.
Adapun syarat yang harus dimiliki oleh seorang anggota ahl al-Hall wa al- Aqd adalah adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara yang akan
dipilih dan mempunyai kebijakan serta wawasan yang luas sehingga tidak salah dalam memilih kepala negara, sayangnya, al-Mawardi tidak menjelaskan
secara memadai mengenai prosedur pemilihan anggota ahl al-Hall wa al-Aqd dan hubungan lebih jauh antara lembaga tersebut dengan khalifah. Dalam hal
ini, al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kepala negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kandidat yang dianggap
paling memenuhi kualifikasi untuk menjadi kepala negara
diminta kesediannya tanpa terpaksa. Bila ia bersedia menjadi kepala negara, maka
dimulailah kontrak social antara kepala negara dan rakyat yang diwakili oleh
lembaga ahl al-Hall wa al-Aqd. Selanjutnya barulah rakyat secara umum menyatakan kesetian mereka kepada kepala negara.
10
Tidak ada dalam syarat-syarat yang dikemukakan itu, satupun syarat yang mengharsukan ahl al-Hall wa al-Aqd itu, orang yang kaya, mempunyai jumlah
tertentu dari harta-harta kekayaannya, dan Al-Mawardi tidak mengharuskan orang yang diangkat menjadi ahl al-Hall wa al-Aqd, seorang dari penduduk
kota. Metode yang ketiga, adalah melalui cara musyawarah, meskipun
kepada Nabi Muhammad saw diberi kewenangan untuk membuat undang- undang, mengesahkan peraturan maupun undang-undang dasar bagi negara
Islam yang mencakup bagian dari risalah belaiu, walaupun demikian istimewa wewenang yang telah diberikan kepada Rasulullah saw, tetapi beliau tidak
menggunakannya dalam dunia politik dan kepemimpinannya atas manusia. Beliau dikelilingi oleh para nasihat, selalu bermusyawarah dan mengambil
pendapat mereka di dalam menghadapi masalah-masalah yang pelik, terutama mengenai bermacam masalah yang tidak tercantum nasnya atau isyarat.
11
Dalam pemilihan
kepala Negarakhalifah
haruslah dengan
musyawarah, seperti firman Allah yang artiNya, : “ Urusan negara haruslah dimusyawarahkan sesama mereka” As-Shura:38. Syariat Islam tidak
menetapkan organisasi dan cara pemilihan kepala negara, karena hal itu adalah suatu cara yang bisa berubah-ubah dengan perubahan zaman dan tempat untuk
10
. Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontektualisasi Doktrin Politik Islam,Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hal. 139-140.
11
. Abdul Ghafar Aziz, Islam Politik Pro dan Kontra, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989, hal. 168.
mengatur organisasi dan cara pemilihan yang sesuai dengan zaman dan tempat mereka.
Metode yang ke empat, adalah melalui keturunan atau waliyatul ahdi, sistem wilayatul ahdi adalah penunjukan pasti yang tidak boleh ditolak, rakyat
atau wakil-wakilnya tidak diberi hak memilih hanya mereka harus menerima, kalau perlu dengan paksaan. Jadi, sistem ini telah memperkosa hak asasi
rakyat yang diakui Islam yaitu shura.
12
Ibnu Khaldun sebagai seorang sarjana sosiologi, yang pembahasannya dalam berbagai masalah lebih ditekankan kepada perkembangan masyrakat,
dalam soal wilayatul ahdi ini ditulis satu pasal khusus dalam kitabnya “Muqadimmah Ibnu Khaldun”.
Selanjutnya Ibnu Khaldun mengemukakan beberapa alas an berdasarkan ilmu sosilogi untuk membela politik khalifah Mu’awiyah yang menyerahkan
“wilayatul ahdi” itu kepada puteranya Yazid, yang terkenal dengan bejat moralnya. Nampaknya Ibnu Khaldun menganggap bahwa Mu’awiyah benar
dalam tindakannya itu, tetapi dinyatakan bahwa Yazid yang bejat moralnya itu adalah di luar tanggung jawab Mu’awiyah.
Dengan adanya “wilayatul ahdi” untuk mempusakai terus-menerus khilafah kepada putera-putera dan keturunannya, itu bukanlah ajaran agama,
karena negara adalah haknya Allah yang akan diberikan kepada hamba yang disukaiNya, dalam hal ini tersebut haruslah berniat baik, supaya terhindar dari
mempermainkan jabatan-jabatan agama. Kerajaan adalah kepunyaan Allah, yang akan diserahkan kepada yang disukai-Nya.
12
A Hasjmy, Dimana Letaknya negara Islam,Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984, hal. 191.
Kalau sekiranya “putera makhota” itu adalah hak anak atau bapaknya, maka terhadap boleh atau tidaknya Imam melakaukan ba’aiat sendirian,
pendapat ahli hukum terpecah menjadi tiga : 1. Imam tidak boleh sendirian melakukan akad ba’iat untuk anak dan
bapaknya, sebelum mengadakan musyawarah dengan para pemilih, sehingga mereka menyatakan bahwa “putera mahkota” itu patut menjabat
jabatan Imamahkepala negara. Maka sah lah ketika itu akada ba’iat. 2. Imam boleh sendirian melakukan akad ba’iat terhadap anak dan bapaknya,
karena imam adalah amirnya umat, yang perintahnya berlaku untuk dan atas mereka. Maka hukum jabatan mengalahkan hukum turunan, dan tidak
ada jalan untuk menentang kebijaksanaannya. Penyerahan wilayatul ahdi kepada anak atau bapaknya, sama seperti penyerahan kepada orang lain.
3. Imam boleh sendirian melakukan akad ba’ait kepada bapaknya dan tidak boleh kepada anaknya, karena tabiat yang mendorong cinta anak lebih dari
tabiat yang mendorong cinta ayah. Sistem putera mahkota merupakan sistem yang munkar dalam pandangan
sistem Islam, serta amat bertentangan dengan sistem Islam. Karena kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khalifah. kalau Khaifah hanya merupakan
wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya
kepada orang lain.
13
13
. Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik, Bangil: Al Izzah, hal. 110.
Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar bukan merupakan wilayatul ahdi pewaris kepada putra mahkota, karena ia
melakukan pemilihan berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar di bai’at setelah beliau wafat.
Setelah cukup segala syarat yang difardukan, pada yang mengangkat, maupun pada wilayatul ahdi, namun haruslah penyerahan itu menggambarkan
kemauan umat dan diterima baik oleh kebanyakan mereka, baik kemauan itu diketahui olehnya dengan jalan musyawarah, ataupun dengan jalan yang lain.
Pokok pangkalnya, dalam hal ini ialaha benar-benar adanya kerelaan umat.
14
Dalil yang menunjukan kepada hal yang demikian ini, ialah: sahnya khalifah atau kepala negara yang dibaiatkan oleh orang seorang, adalah
disyaratkan bahwa yang demikian itu dapat menggambarkan keinginan masyarakat. Umar bin Khatab pernah berkata:
“barang siapa membaiatkan seseorang tanpa musyawarah, maka baiatnya dipandang tidak ada dan tidak puka dipandang sah”.
Umar yang ditunjuk oleh Abu Bakar menjadi khalifah, sah menjadi khalifah lantaran para sahabat membaiatnya dan mentaatinya, andaikata para
sahabat tidak menerima penunjukan Abbu Bakar tentulah Umar tidak menjadi kepala negara.
Apabila sayarat-syarat dan sifat-sifat ini terdapat pada seorang yang ditunjuk menjadi wilayatul ahdi, maka penunjukan itu merupakan kebaikan bagi umat
dan keberkatan yang dengan demikian terhindarlah umat dari perpecahan.
14
. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991, cet. Kedua, hal, 69.
Berbeda dengan sistem putra mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan sistem Islam.
Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas munkar tersebut yaitu melakukan wilayatul ahdi adalah :
1. Mu’awiyah memaham, bahwa sistem kepemimpinan daulah Islam adalah sistem kerajaan, bukan sistem khilafah. Hal ini senada dengan khutbah
yang disampaikannya di hadapan para penduduk kufah setelah terjadinya perdamaian pasca perang shiffin.
2. Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara lalu mena’wilkannya memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri. Islam telah
memberikan hak pemilihan Khalifah kepada umat, dan hal itu pun dilakukan oleh Rasulullah saw. Bahkan beliau memberikan kebebasan
kepada kaum musllimin memilih orang yang lebih layak untuk memimpin urusan mereka. Namun, Mu’awiyah justru terpengaruh untuk memahami
Islam dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua Negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua negara
tersebut pemerintahannya mempergunakan sistem waris. Karena itu, Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu di siasati
dengan mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidupnya. 3. Metode ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas
manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti problem yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk
memecahkan masalah-masalah yang ada.
Sesungguhnya para fukaha ketika menetapkan bahwasanya khalifah atau kepala negara sah dengan wilayatul ahdi, hanya mengehendaki bahwa kepala
negara yang menjadi dasar pembicaraan hukum dan yang diberikan hak melakukan ahdi, ialah kepala negara yang dipilih dan dibaiatkan oleh umat
dengan baiat yang benar yang harus memenuhi syarat, harus orang yang dipercaya, yang warai, yang iklhas, yang jujur kepada rakyatnya. Kepala
negara seperti ini, apabial diserahkan hak menunjuk ganti, tentulah dia selalu mewujudkan maslahat umum. Dia mengetahui bahwa ia akan bertanggung
jawab di hadapan Allah tentang pemilihannya dan tentulah memilih yang paling tepat dan yang paling mashlahat.
Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu, pemilu merupakan sarana pelaksanaan atas kedaulatan rakyat dalam negara Republik
Indonesia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15
Dalam standar demokrasi universal, pemilu pastilah secara efektif dan konsisten dimanfaatkan sebagai wahana sirkulasi atau pergantian elit
penguasa. Pemilihan sebagai konsep politik sudah memastikan adanya keharusan untuk menseleksi elit secara terbuka dalam membentuk golongan
penguasa. Dan konsep umum dari pemilu memastikan bahwa setiap orang
15
. Mekka Mukarromah, “Sistem Pemilu di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 suatu kajian fiqh siyasah”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta, 2010, hal. 1.
yang berpotensi dan berkeinginan diberi kesempatan untuk menapaki pertarungan menjadi elit penguasa melalui penggunaan hak untuk dipilih.
Sesungguhnya perkembangan hubungan pemilu dengan sirkualasi elit penguasa di Indonesia mengalami kemerosotan secara linear, sekalipun
hubungan itu sudah mempunyai akar sejarah yang panjang sejak masa colonial. Di masa itu, proses hubungan itu sederhana dan terbatas. Tapi telah
berlangsung. Dimana demokrasi konstitusionallah hubungan itu paling intensif dan sekaligus ekstensif. Sejak demokarasi terpimpin, hubungan itu mulai
mandul untuk berubah menjadi simbolik dewasa ini. Bertumpuk bukti dari pemilu-pemilu Orba yang menunjukan bahwa
pemilu bukan merupakan fungsi sirkulasi elit secara keseluruhan. Proses pemilu seperti pencalonan, kampanye dan kegiatan lanjutan pemilu yaitu
pengangkatan, recall, penyusunan cabinet dan pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dimanfaatkan sebagai alas an sirkulasi elit, apalagi
menjadikannya sebagai mekanismenya. Memang didalam aktivitas pemilu dan pasca pemilu itu berlangsung pergantian orang, akan tetapi tidak dibolehkan
membawa implikasi kepada tatanan kekuasaan dan kebijaksanaan politik secara mendasar. Pergantian personal tanpa perubahan sistem.
Penggunaan pemilu sebagai formalitas politik agaknya amat disayangkan. Sebab di samping biaya dan pengorbanan semua pihak yang sia-sia, kehidupan
politik yang terpecah belah diantara ide cita-cita dengan kenyataan, amatlah ganjil dan membuka peluang bagi berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan
sebab tidak ada standar politik yang jelas. Karena itu sudah saatnya Orde Baru
mengurangi skala formalism politik dengan menerapkan konstitusi dan hukum secara konsekuen. Langkah itu adalah salah satu janji Orde Baru yang harus
ditepati.
16
Sejak 2004 bangsa Indonesia memasuki era baru dalam penentuan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yakni dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui pemilihan umum. Sesuai amanat konstitusi hasil perubahan ketiga atas UUD 1945, presiden dan wapres dipilih secara langsung oleh rakyat untuk
masa jabatan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lima tahun kedua. Selama tiga decade sistem politik Orde Baru,
Presiden dan Wapres dipilih oleh siding Umum MPR lembaga tertinggi terbanyak. Pasal 7 konstitusi sebelum diubah menyatakan “Presiden dan
Wapres memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Namun, amanat konstitusi yang berbunyi “dan sesudahnya
dapat dipilih kembali” tersebut tak pernah ditafsirkan tunggal. Akibatnya, Soeharto tak hanya berkesempatan turut merekayasa keterpilihan dirinya
secara terus-menerus selama tujuh periode, melainkan juga menjadi satu- satunya Presiden Indonesia sepanjang sejarah lebih dari tiga decade Orde
Baru.
17
Karena itu, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat di satu pihak dan pembatasan masa jabatan presiden di pihak lain merupakan dua perubahan
penting di antara sejumlah perubahan lain atas UUD 1945 setelah
16
. Mochtar Pabotingi, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indoensia, 1998, hal. 150.
17
. Syamsuddin Haris, Partai Pemilu dan Parlamen Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014, hal. 147.
diamandemen oleh MPR hasil pemilu 1999. Dua perubahan itu bahkan sangat mendasar jika dihubungkan dengan salah satu kesepakatan politik MPR untuk
memperkuat sistem demokrasi presidensial melalui amandemen konstitusi yang dilakukannya. Menurut Arend Lijpart, sebenarnya hanya tiga cirri yang
menjadi elemen esensial dari sistem presidensial, yakni 1 presiden atau kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan yang bersifat tetap, 2
presiden dipilih secara langsung oleh rakyat ataupun melalui dewan pemilih seperti di Amerika Serikat, 3 presiden merupakan kepala eksekutif yang
bersifat tunggal. Dengan demikian, pemilihan langsung presiden oleh rakyat melalui pemilu, dan pembatasan masa jabatan presiden hanya untuk dua
periode, tidak hanya membuka peluang melembaganya sistem demokrasi presidensial, melainkan juga menjadi salah satu momentum penting
berakhirnya rezim otoriter. Realitas regulasi UU Pilpres yang tidak mewajibkan parpol melembagakan
proses seleksi yang transparan, partisipatif, demokratis, dan terbuka ini berdampak pada tidak tumbuhnya kompetisi internal parpol dalam
memperebutkan jabatan presiden. Jajaran pengurus parpol dari tingkat pusat hingga kabupatenkota seolah-olah “mengamini” kesepakatan tidak tertulis
bahwa tiket sebagai capres adalah hak istimewa sang ketua umum atau sebutan lain bagi para pemimpin parpol.
Konsekuensi logis dari proses seleksi capres secara internal parpol yang cenderung tertutup dan oligarkis ini adalah kurang munculnya aspek
kompetensi dan kapabilitas kandidat dalam persaingan para capres. Pada
akhirnya yang lebih menonjol adalah faktor popularitas public tokoh atau figure yang memanfaatkan berbagai media yang tersedia dalam “pasar”
demokrasi. Masing-masing parpol berusaha meningkatkan popularitas public pemimpin mereka dan pada saat yang sama tawaran gagasan tentang
Indonesia yang lebih baik kurang mengemuka. Sementara itu mekanisme pemberentihan seorang Presiden dan Wakil
Presiden sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Keputusan MPR Nomor 1 Tahun 2010 pasal 102 sampai 103 yang berbunyi.
a MPR menyelenggarakan siding untuk mengambil putusan tentang usul pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden pada masa jabatannya yang
diajukan DPR setelah adanya putusan MK paling lambat 30 hari setelah MPR menerima usul tersebut.
b Pimpinan MPR mengundang Anggota MPR untuk mengadakan Rapat Paripurna
c Pimpinan MPR mengundang Presiden dan atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usul pemberhentiannya
kepada Rapat Paripurna MPR. d Presiden dan atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan
penjelasan atas usul pemberhentiannya tersebut. e Apabila Presiden dan atau Wakil Presiden tidak hadir untuk
menyampaikan penjelasan, maka MPR tetap mengambil keputusan. Dari penjelasan keputusan MPR tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa
Indonesia selalu mengedapankan nilai-nilai musyawarah melalui para wakil rakyat, entah itu terkait kebijakan ekonomi, politik dan hukum.
58
BAB V KESIMPULAN