Yaitu analisis perbandingan antara pelaksanaan pemilu di Indonesia dan ketatanegaraan Islam.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, maka penelitian skripsi ini ditulis dengan menggunakan
sistematika pembahasan sebagai berikut :
BAB I Berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II Konsep Islam mengenai institusi penyelenggara pemilu,
Membahas tentang, Prinsip Islam dalam Pemilihan Umum di Indonesia dan pandangan ketatanegaraan Islam dalam penetapan
kepala negara
BAB III Profile Komisi Pemilhan Umum di Indonesia yang meliputi;
sejarah pemilu di Indonesia dan ketatanegaraan Islam, Visi dan Misi KPU di Indonesia, pelaksanaan pemilu di Indonesia oleh
KPU BAB IV
Analisis ketatanegaraan Islam dalam penetapan kepala negara di Indonesia, memuat;
kesesuaian nilai ketatanegaraan Islam terhadap kinerja KPU dan perbandingan penetapan kepala negara
dalam Islam dengan penetapan kepala negara oleh KPU di Indonesia
BAB V Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
12
BAB II
KONSEP ISLAM TENTANG INSTITUSI PENYELENGGARA PEMILU A. Sejarah Kelahiran Institusi Pemilu Dalam
Ahl al Hall Wa al Aqd
Sebagaimana yang telah kita ketahui, sudah lebih dari 1400 tahun yang lalu batu sendi pembentukan masyarakat Islam telah diletakkan di kota
Makkah di bawah situasi dan kondisi yang sangat tidak bersahabat dan memusuhi. Memulai dan kemudian secara bertahap mengembangkan suatu
masyarakat Islami, di dalam sistem yang sangat bertolak belakang inilah yang merupakan tujuan seumur hidup Rasulullah saw. Ketika masyarakat Islam
mencapai kemerdekaan politiknya, juga setelah organisasi-organisasi dalam negerinya maju selangkah dalam rangka membentuk tahap suatu negara
regular, Rasulullah Muhammad saw. Menjadi dan diakui sebagai kepala negara pertamanya. Beliau sama sekali tidak dipilih oleh siapa pu. Beliau telah
dipilih untuk tugas ini oleh Allah yang maha kuasa sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun beliau mengemban tugas sebagai kepala
negara tersebut sampai wafatnya. Beliau wafat tanpa sama
sekali meninggalkan perintah-perintah yang jelas ataupun calon-calon pengganti atau
penunjukan pengganti beliau. Karena tidak adanya isyarat-isyarat yang jelas ini, dan dengan mengambil dasar pada perintah Al-Qur’an agar segala urusan
umat diputuskan secara musyawarah, para sahabat dengan tepat telah menyimpulkan bahwa sepeninggal Rasul, seleksi dan penunjukan kepala
negara Islam telah diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum Muslim yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur’an tersebut.
1
1
. Abu A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1995, hal. 255-256.