Konsep Pertanggungjawaban Bisnis Dalam Islam

Dari pengertian beberapa pakar tersebut, dapat dibedakan sebagai berikut : a. K. Bertens, memberikan kriteria tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Jawaban itu diberikan kepada diri sendiri, masyarakat, dan Tuhan. b. Peter pratley, memberikan kriteria tanggung jawab pribadi yaitu seseorang bertanggung jawab atas sesuatu yang direncanakan dan dilakukan. c. Drs. O.P Simorangkir, memberikan kriteria tanggung jawab yaitu kewajiban menanggung tugas dengan segala akibat yang baik maupun yang buruk. d. Syed Nawab Haider Naqvi, memberikan kriteria tanggung jawab yaitu perbuatan yang berhubungan dengan perilaku manusia. e. Rafik Issa Beekun, memberikan kriteria tanggung jawab mikro maupun makro yang harus dilaksanakan secara bersama-sama. Bila ditelusuri dalam Al- Qur‟an maupun Hadits dasar hukum mengenai tanggung jawab bisnis secara tekstual tidak ditemukan akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh dari segi kontekstual maka secara tersirat terdapat di dalamnya. Adapun dasar hukum tanggung jawab bisnis, di antaranya sebagai berikut: a. Prinsip Kesatuan Kesatuan di sini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi suatu keseluruhan yang homogen serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. 22 Produsen tidak akan berlaku serakah karena pada hakekatnya harta yang dimilikinya, merupakan amanat. Dalam bidang ekonomi dan bisnis amanat merupaka niat atau itikad yang perlu diperhatikan, baik dalam mengelola sumber-sumber alam dan manusia secara makro, maupun dalam mengemudikan suatu perusahaan. Banyak ayat atau hadits yang menunjukkan demikian antara lain firman Allah dalam Al- Qur‟an : ط ق ق ء س ش ح ك ح ع ْ س ف ح ع سح ع َ Artinya : “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingininya, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik surga. 23 Q.S. Ali Imran:14 Diperhiaskan bagi manusia kesukaan kepada barang yang diingini. Di sini telah terdapat tiga kata. Pertama, Zuyyina, artinya diperhiaskan. Maksudnya segala barang yang diingini itu ada baiknya dan ada buruknya, tetapi apabila keinginan telah timbul yang kelihatan 22 Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al- Qur’an tentang Etika dan Bisnis,h. 11 23 Depag RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al- Qur‟an, Jakarta : 1971, h. 77 hanyalah baiknya saja dan lupa akan buruknya. Kata kedua ialah Hubb, artinya kesukaan atau kecintaan. Kata ketiga ialah Syahwat, yaitu keinginan-keinginan yang menimbulkan selera yang menarik nafsu untuk memilikinya. Maka disebutkan di sini enam macam hal yang manusia sangat menyukainya, karena ingin mempunyai dan menguasainya, sehingga yang nampak oleh manusia hanyalah keuntungan saja tanpa mempedulikan kesusahannya. Manusia semuanya mempunyai keinginan terhadap harta. Keinginan terhadap harta tidaklah terbatas padahal hidup itu terbatas. Kalau manusia tidak membatasi seleranya sampai mati dia tidak akan merasa puas dengan yang ada. Sehingga manusia menumpahkan seluruh tujuan hidup untuk itu sehingga lupa akan yang lebih penting. Oleh sebab itu Allah memberi peringatan dengan lanjutan ayat yang demikian itulah perhiasan hidup di dunia. Tegasnya bahwasannya semua itu hanyalah perhiasan hidup di dunia niscaya usianya akan habis untuk itu, sedangkan perhiasan untuk di akhirat kelak dia tidak sedia. Padahal di belakang hidup yang sekarang ini ada lagi hidup yang akan dihadapi, yakni kehidupan akhirat. Allah menegaskan namun di sisi Allah ada lagi sebaik-baik tempat kembali. Di ujung ayat diterangkan bahwa ada lagi yang lebih penting sebab selama hidup di dunia kita pasti kembali kepada Allah. 24 24 Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD 1999. h. 719-725. Dalam kehidupan didunia, seseorang mempunyai tanggung jawab pada dirinya, keluarga, masyarakat dan negara. Bahkan bertanggungjawab kepada agamanya. Tanggung jawab ini digariskan oleh Allah dan dipertanggungjawabkan pula kepada-Nya. Karena itu niat bekerja atau berusaha harus didasarkan karena Allah. Bila niat ditujukan karena Allah, maka akan memiliki dimensi ibadah, yang tentunya akan mendapatkan imbalan pahala dari Allah, di samping imbalan material karena usahanya. 25 Dengan prinsip ini, maka pengusaha muslim selalu memantapkan itikad baiknya dalam melakukan usaha dagangnya. Tujuan dan cita- citanya bukanlah sekedar memperoleh laba yang menggembirakan, melainkan tertuju pula kepada suatu harapan yang lebih mulia. Usahanya itu karena Allah. apabila ia memperoleh laba, maka keuntungannya itu akan digunakan pada jalur yang diridhai Allah sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Itikad baiknya itulah yang membawa dia kepada keberkahan usahanya. 26 b. Prinsip Keseimbangan keadilan Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Sifat keseimbangan atau keadilan bukan hanya sekedar 25 Rusydi , “Etos Kerja dan Etika Usaha Perspektif Al-Qur’an “, dalam Firdaus Effendi eds. Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, Jakarta : Nuansa Madani, 1999, h. 101 26 Depag RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h. 429 karakteristik alami. Melainkan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya. 27 Perilaku keseimbangan dan keadilan dalam bisnis secara tegas dijelaskan dalam konteks bisnis klasik agar pengusaha muslim menyempurnakan takaran bila menakar dan menimbang dengan neraca yang benar, karena hal itu merupakan perilaku yang terbaik dan membawa akibat yang baik. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Al- Qur‟an : ل ت سح خ ك ق س طسق ك إ ف Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” 28 Q.S Al-Israa : 35 Ditegaskan di dalam ayat ini supaya seorang mu‟min hendaklah secara jujur menggunakan timbangan. Jangan ada tipu, jangan sampai merugikan. Itulah yang baik sebab dengan begitu ada rasa tenteram pada kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli. Keuntungan yang didapat ialah dengan kejujuran. Dan kejujuran itulah inti kekayaan yang sejati yang membawa kemakmuran. Ahli ekonomi modern pun sampai kepada kesimpulan bahwa yang baik itu ialah yang tegak di atas kejujuran. Sebaik-baik kesudahan adalah kemakmuran yang merata, 27 Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al- Qur’an tentang Etika dan Bisnis, h . 12. 28 Depag RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h. 429 itulah tujuan masyarakat yang dikehendaki Islam. Ekonomi Islam dapat tercapai dengan sebenarnya kalau didasarkan atas kejujuran. 29 Pada struktur ekonomi dan bisnis, agar kualitas keseimbangan dapat mengendalikan semua tindakan manusia maka adanya prinsip keseimbangan menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. Sebagaimana firman Allah dalam Al- Qur‟an : ق س ف ق س ع َ ء ف َ ك س ك س ء غْ ش َ إ َ قت ف ع ك ف س ك ت ء قع Artinya : “Apa saja harta rampasan fa’i yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman- Nya. 30 Q.S. Al-Hasyr : 7 Mengapa harta itu dibagi demikian rupa, supaya dia jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu. Telah menjadi kebiasaan di zaman jahiliyah jika terjadi peperangan dan musuh dapat dikalahkan maka yang pertama berhak atas harta benda itu hanyalah para pemimpin saja. Adapun para prajurit hanya diberi sekedar belas kasihan 29 Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 4056-4057 30 Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h.916 dari pemimpin yang telah kaya. Janganlah yang kaya bertambah kaya dan yang miskin hanya menyaksikan kekayaan orang yang sudah kaya. 31 c. Prinsip Kehendak BebasIkhtiyar Prinsip kehendak bebas memberikan keleluasaan untuk membuat transaksi sesuai dengan daya dan kemampuan yang dimilikinya. Namun bukan bebas dalam pengertian sebebas-bebasnya, karena hal ini berhubungan dengan pertanggungjawaban. Dengan adanya konsep kehendak bebas yang bertanggungjawab, secara logis menuntut suatu keadilan dan selalu berupaya mempertahankan kualitas keseimbangan dalam masyarakat bisnis maupun masyarakat lain. 32 Kebebasan di sini dalam pengertian bahwa secara sadar dan tanpa adanya paksaan pada pelaku bisnis mengoptimalkan upaya-upaya bisnisnya. pada konteks ini karena berada dalam kesadaran maka membuat suatu transaksi atau perjanjian bisnis yang dibuatnya, maka ia harus dapat memenuhi semua janji-janji tersebut sebagaimana firman Allah dalam al- Qur‟an : ع ف ش غ ح سح َإ قت َ إ َ س ك ع Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik bermanfaat sampai dia dewasa dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” Al-Israa : 34. 33 31 Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 7257 32 Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al- Qur’an tentang Etika dan Bisnis, h. 125 33 Depag RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, h. 429 Di ujung ayat ini diperingatkan bahwa hidup manusia didunia ini selalu terikat dengan janji-janji. Maka janganlah mudah membuat janji, kalau janji itu tidak akan terpenuhi. Di dalam janji terkandung amanat. Dan Tuhan pun memberikan didikan untuk memenuhi janji itu pada kehidupan sehari-hari. Kalau kita telah biasa memenuhi janji dengan Allah niscaya kita biasa memenuhi janji dengan sesama manusia. Di ujung ayat ditegaskan bahwa setiap perjanjian itu akan ditanya, artinya akan dipertanggungjawabkan. 34 Suatu transaksi atau perjanjian bisnis walaupun secara nyata berhubungan dengan sesama tetapi pada hakekatnya merupakan perjanjian dengan masyarakat, negara dan bahkan Allah. Inilah salah satu makna prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban. d. Prinsip Kebenaran, Kebajikan dan Kejujuran. Dari sikap kebenaran, kebajikan dan kejujuran, maka suatu bisnis secara otomatis akan melahirkan persaudaraan. Kemitraan antara pihak yang berkepentingan dalam bisnis yang saling menguntungkan, tanpa adanya kerugian dan penyesalan sedikitpun. Bukan melahirkan situasi dan kondisi permusuhan dan perselisihan yang diwarnai dengan kecurangan. Dengan demikian kebenaran, kebajikan dan kejujuran dalam semua proses bisnis akan dilakukan secara transparan dan tidak ada rekayasa. 35 34 Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 4055. 35 Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al- Qur’an tentang Etika dan Bisnis, h .21 Dengan prinsip kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerja sama, atau perjanjian dalam bisnis. Al- Qur‟an menegaskan agar dalam bisnis tidak dilakukan dengan cara-cara yang mengandung kebathilan, kerusakan, dan kedhaliman, sebaliknya harus dilakukan dengan kesadaran dan kesukarelaan. 36 Suatu kaidah yang merupakan sumber dalam pelaksanaan hukum mengenai pertanggungjawaban perdata dan penuntutan terhadap pelanggaran, merupakan suatu dasar bagi kaidah umum yang sudah tetap sebagai suatu pokok dari pokok- pokok syari‟at Islam yang telah diakui oleh semua golongan. 37 Kaidah tersebut adalah : ض َ ض َ Artinya: “Tidak dibolehkan timbulnya kerusakan kerugian dan tidak boleh pula adanya perusakan.” Artinya: “Kerugian harus ditiadakan.” ْ ق ع ف Artinya: “Kerugian harus ditolak semaksimal mungkin.” ع عف ح ض ح Artinya: “Kerugian bagi orang-orang tertentu boleh dilakukan demi untuk menghindarkan kerugian bagi umum.” 36 Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al- Qur’an tentang Etika dan Bisnis, h. 22 37 Mahmud Sjaltout, Al- Islam Aqidah wa Syari’ah, diterjemahkan oleh H. Bustami A. Gani, Djohar Bahry L.I.S, “Islam Sebagai Akidah dan Syari‟ah”, Jilid IV, Jakarta : Bulan Bintang, 1970, h. 95 Kaidah-kaidah ini mempunyai pengaruh besar dalam pelaksanaanprinsip-prinsip pertanggungjawaban mengenai sesuatu kerusakan ataukerugian, di samping besar pula pengaruhnya dalam menolakpertanggungjwaban.

2. Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan

Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme yang melekat dalam perilaku ekonomi negara-negara maju. Menurutnya, peniadaan sakralitas dalam era modern merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang diderita oleh manusia dewasa ini. 38 Secara artikulatif, Nasr membongkar akar-akar budaya modernitas yang dianggapnya sebagai penyebab tercerabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni alam sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan. 39 Berbeda dari wacana dan corak kritik terhadap modernitas yang akhir-akhir ini banyak dilontarkan oleh berbagai kelompok studi yang sering kali terlepas atau terhenti pada aspek kognitif-konseptual, kritik dan koreksi yang dilontarkan oleh kelompok agama-agama, menurut Amin Abdullah, mempunyai dimensi praktis. Konsepsi yang ditawarkan oleh agama biasanya lebih menitikberatkan kepada dimensi praktis tingkah manusia. 40 Lebih jauh, menurutnya, Al- Qur‟an lebih banyak ditujukan kepada manusia dan tingkah lakunya, dan bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi 38 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, Lahore: Suhail Academy Press. 1988, h. 6. 39 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, h. 75. 40 M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005, h.116 terhadap rasio modernitas yang dihubungkan secara langsung dengan bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif merupakan ciri kritik kelompok agama-agama terhadap teori dan budaya modernitas. Dengan kata lain, keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis, seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya untuk menyatukan pemikiran dan perbuatan merupakan problem yang begitu mendasar dalam diskursus filsafat kontemporer. 41 Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang terpisah, dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran, berdiri terisolasi dari yang lain. Namun, nilai dalam Islam adalah bagian dari cara hidup yang komprehensif dan total, yang memberikan petunjuk dan kontrol dari kegiatan manusia. Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga kehidupan, menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam yang diperintahkan oleh Allah. Ketika Aisyah, istri Nabi Muhammad ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika Nabi adalah seluruh Al- Qur‟an”. Al-Qur‟an tidak mengandung nilai-nilai etika yang terpisah-pisah; sebaliknya, ia mengandung instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh sebagai worldview. Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan ekonomi berdampingan dengan instruksi untuk perlindungan alam. Dalam Islam, hubungan antara individu dengan lingkungan dibangun oleh persepsi moral tertentu. Ini berangkat dari penciptaan manusia dan peran yang diberikan oleh Allah kepada mereka di atas bumi 41 M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami’ah, No. 46, 1991, h. 91-92. Khalifat Allah fi al- ’Ardl. Dari awal manusia memang tidak dapat dipisahkan dari al am. Bahkan ditegaskan bahwa ”…Allah telah membuat kamu tumbuh dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu kepadanya, dan dia akan membuat lagi yang baru. Dan Allah telah membuat bumi sangat luas sehingga kamu dapat berjalan di atasnya.” 71:17-20. Dengan demikian, bumi dan komponen-komponennya yang beraneka ragam diciptakan oleh Allah di mana manusia adalah bagian penting dari ciptaanNya tersebut. Peran manusia tidak hanya untuk menikmati, menggunakan dan memanfaatkan lingkungan, namun juga dituntut untuk menjaga keselarasan alam yang telah diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut terdiskripsikan dalam al- Qur‟an: ”Bukankah Dia yang telah membuat bumi tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya, dan menempatkan gunung-gunung di atasnya, dan telah menempatkan pemisah antara dua lautan? Adakah Tuhan selain Allah? Tidak, tetapi kebanyakan mereka tidak tahu” 27:61 Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan dalam Islam adalah mencari keselarasan dengan alam, sehingga manusia tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, namun menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap kerusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan terhadap diri. Sikap ini, kata Shihab, berbeda dengan sikap sebagian teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan konsumtif. 42 Secara praksis, tuntutan moral Islam untuk menjaga keselarasan alam adalah larangan berperilaku serakah dan menyia-nyiakan tabdzir. Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Al- Qur‟an menggambarkan: ”Dialah yang telah membuat bumi patuh kepadamu, maka berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” 67:15; Bumi juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak membuat bumi melainkan sebagai tempat bagi yang hidup maupun yang mati” 77:25-26. Bahkan lebih penting lagi, yakni sebagai pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat spiritual, bumi dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tempat untuk beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi dibuat untukku dan umat Islam sebagai tempat sembahyang dan untuk mensucikan.” Ini artinya bahwa bumi pada dasarnya adalah tempat yang suci, bahkan tanah debu dapat digunakan untuk bersuci ketika tidak ada air. Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi” Tuhan perkataan Arab ’alam memang bermakna asal ”manifestasi”, guna menghayati keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar peningkatan 42 Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur’an, Jakarta: Mizan, 2005, h. 296-7