Analisis Kasus Lumpur Lapindo Menurut Hukum Islam

Israa‟ ayat 15, Surat Al-Baqarah ayat 286, dan dalam konteks pencurian pada Surat Al-Maidah ayat 38. Surat Al- Israa‟ ayat 15 ع ك َ س ع ح Artinya: ”Dan kami tidak menghukum manusia sebelum kami mengutus seorang rasul ”. QS. Al-Israa‟ : 15 ت ء ع َ س ف ع ح ق ك ك ك Artinya: ”Dan tidaklah tuhanmu menghancurkan kota-kota sebelum diamengutus di ibukotanya, seorang rasul yang membacakan ayat- ayat kami”. QS. Al-Qashash: 59 Dari ayat tersebut Ibnu Katsir, Thabari, al-Qurthubi, al-Maraghi, dan Ali As-Shabuni menyimpulkan bahwa hukuman Allah hanya berlaku manakala sudah didahului argumentasi yang telah ditetapkan dan disampaikan oleh para rasul-Nya. Ini sebagai landasan normative bahwa hukum Allah semata-mata keadilan bagi manusia sendiri. Dan setiap orang akan menerima sanksi hukum akibat perbuatannya sendiri. 49 Berdasarkan pesan inti ayat ini, para pakar hukum Islam fuqaha, menetapkan asas hukum pidana Islam yang berbunyi: la jarimata wala uqubata qabla wurudi an- nash tidak ada suatu tindak pidana dan tidak ada sanksi hukum selama belum ada ketentuan teks hukumnya. Konsekuensi asas legalitas ini adalah bahwa tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah 49 Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwah At-Tafasir Beirut: Dar al-Fikr, t.t., jld. 2, h. 440-441 dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Dengan demikian, pada dasarnya asas legalitas hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Asas legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan jenishudud dengan sanksi hukum yang pasti. Asas ini juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Karena itu, asas ini diyakini penuh berlaku untuk kedua kategori kejahatan tersebut. Dalam pandangan Nagaty Sanad, profesor hukum pidana dari Mesir, asas legalitas dalam hukum Islam yang berlaku bagi kejahatan tazir merupakan asas yang paling fleksibel, dibandingkan dengan asas lainnya.Hukum Islam di samping menerapkan asas legalitas ini, juga melindungi kepentingan dua kategori sebelumnya: ia menyeimbangan antara hak-hak individu, keluarga dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan sanksinya. 50 Sejak semula syariat Islam sudah mengenal badan hukum. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal perbendaharaan negara sebagai “badan” jihat yakni badan hukum syaksunma’nawi, Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal perbendaharaan negara demikian juga dengan sekolahan-sekolahan dan rumah sakit-rumah sakit. Badan-badan ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan mengadakan tindakan-tindakan tertentu terhadapnya. Akan tetapi badan-badan tersebut tidak dapat di bebani 50 Nagaty Sanad, The Theory of Crime and Criminal Responsibility in Islamic Law Saria Chicago: Office of International Criminal Justice, 1991, h. 41 pertanggungjawaban pidana, karena pertanggungjawaban ini didasarkan atas adanya pengetahuan terhadap pilihan, sedangkan kedua perkara ini tidak terdapat pada badan-badan hukum. Akan tetapi kalau terjadi perbuatan- perbuatan yang dilarang dan yang keluar dari orang-orang yang betindak atas nama badan hukum tersebut, maka orang-orang itulah yang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. 51 Hukum Islam dalam teori serta penerapannya cukup sederhana.Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum Islam dekat sekali dengan doktrin strictliabilityatau liabilitywithoutfaultpertanggungan tanpa kesalahan. Dengan kata lain hukum Islam tidak mementingkan faktor kesalahan Guiltymind baik berupa kesengajaan dolus maupun kelalaian culpa dalam menjatuhi hukuman pidana. Istilah dalam bahasa Indonesia yang digunakan adalah pertanggungjawaban mutlak. 52 Pertanggungjawaban pidana berdasarkan teori strict liability melihat bahwa dalam membebani pertanggungjawaban bagi pelaku tidak perlu adanya unsur kesalahan. Dalam hal ini, unsur kesalahan dapat dilihat dari ada ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian didalamnya. Unsur kesalahan dalam Islam dilihat dari ada tidaknya niatan dari pelaku tindak pidana tersebut, seperti dalam hadis Nabi s.a.w: 51 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, bulan bintang, 2006 cet ke-2, h. 119-120. 52 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006, h, h.27 ء إ عْ إ 53 Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai kesengajaan dan kekeliruan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut : a. Teori Imam Malik Teori ini memisahkan antara jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja. Pada kedua keadaan ini pembuat bertanggungjawab atas akibat yang terjadi. Pemisahan terhadap jarimah ini tidak terletak pada perbuatan materiil itu sendiri yang dikerjakan pembuatnya, melainkan terletak pada niatan pembuat saat melakukan perbuatannya. 54 Jika si pembuat mempunyai niatan hendak melawan hukum menyalahi syari‟at maka perbuatannya dianggap sengaja dan apabila tidak mempunyai niatan maka tidak dianggap sengaja. Apabila perbuatan si pembuat mengakibatkan kematian, maka ia bertanggungjawab atas kematiannya dan jika berakibat hilangnya anggota badan atau kegunaannya maka bertanggungjawab pula atas demikian. Menurut Imam Malik, pembuat jarimah harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang disengaja, baik itu sendiri dikehendaki dicari atau tidak, diniatkan sebelumnya atau tidak, baik akibat-akibat tersebut sangat mungkin terjadinya atau jarang-jarang terjadi. 55 53 Imam Al-Bukhary, hadis no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim no. 3530 54 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm 168 55 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 169 b. Teori Hanafi Dasar pemisahan jarimah menurut mazhab Hanafi antara jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja terletak pada niatan si pembuat. Apabila pada perbuatanya mengandung unsur sengaja melawan hukum maka perbuatan tersebut disebut jarimah sengaja. Jika unsur sengaja melawan hukum tidak ada maka bukan jarimah tidak sengaja. Pada jarimah selain pembunuhan, para fuqaha hanya mensyaratkan kasad umum, yaitu di mana pembuat dengan sengaja melakukan suatu perbuatan di mana ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang. Apabila kasad tersebut ada maka pembuat bertaanggungjawab atas akibat dari perbuatannya, baik dikehendaki atau tidak, baik sangat besar kemungkinannya terjadi atau jauh kemungkinannya terjadi. 56 c. Teori Imam Syafi ‟i Pendapat ini memisahkan antara jarimah sengaja dengan jarimah semi sengaja. Pembuat dianggap melakukan jarimah sengaja, selama ia dengan sengaja mengadakan perbuatannya dan menghendaki pula hilangnya nyawa korban. Akan tetapi, jika dengan sengaja melakukan perbuatannya dengan tidak menghendaki hilangnya nyawa si korban, tetapi terjadi hilangnya nyawa korban meskipun perbuatnnya tidak 56 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 170 membawa kematian, maka perbuatan tersebut termasuk jarimah semi sengaja. 57 Pada dasarnya unsur semi sengaja terdiri dari unsur, kesengajaan dan kelalaian al-kh ata’, karena pembuat dengan sengaja melakukan perbuatan tetapi tidak menghendaki akibat-akibatnya dan karena akibat pada perbuatan semi sengaja tidak ditimbulkan dari perbuatan itu. Dapat diartikan juga bahwa si pembuat melakukan perbuatan tersebut, tetapi dia lalai dalam memperhitungkan akibat dari perbuatnya. Pertanggungjawaban dari perbuatan semi sengaja ini adalah si pembuat bertanggungjawab atas akibat-akibat yang dikehendaki dengan perbuatanya. Disamping itu,juga bertanggungjawab atas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya meskipun tidak dikehendaki. Dalam hukum pidana Islam pertanggungjawaban terhadap korporasi dibebankan kepada orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum. Pertanggungjawaban dilihat dari tiga unsur yaitu, kemampuan bertanggungjawab, kesalahan, dan unsur pemaaf. Untuk menentukan adanya kesalahan dilihat dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian. Unsur- unsur tersebut dapat dikaitkan dengan asas strict liability. Selain itu, tindak pidana korporasi hanya dapat dilakukan dengan penyertaan. Artinya bahwa korporasi tidak dapat melakukan tindakan dengan sendiri tetapi ada seseorang yang turut berbuat jarimah al-istirak fi al-jarimah. Sehingga dalam penentuan pertanggungjawabannya didasari pada adnya perbuatan 57 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 171 yang dapat menghapuskan pidana. Dalam hal ini adalah karena perintah jabatan, daya paksa dan ancaman. Islam telah mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana jarimah. Perlindungan tersebut berdasarkan prinsip al- maqasid as- syari ‟ahyang mengutamakan kemaslahatan yang terdiri dari lima hal, yaitu hifz al-Din, hifz al-Nafs, hifz al-Mal, hifz al- „Aql, hifz al-Nasl. Kasus semburuan lumpur Lapindo erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan hiudp. Persoalan lingkungan hidup dalam khazanah ilmu fiqh tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri sebagaimana masalah puasa, zakat, sholat, haji, pernikahan, warisan, jual beli, hutang pihutang, karena ketika fiqh dirumuskan pada abad dua hijirah, lingkungan hidup belum menjadi masalah yang menarik perhatian para ahli hukum Islam dan tidak ada pengrusakan lingkungan yang mengancam kehidupan manusia. Kerusakan lingkungan hidup terjadi setelah alam dieksploitasi terutama untuk kepentingan industrialisasi. Setelah lingkungan hidup telah menjadi masalah yang serius hingga mengancam kelangsungan kehidupan manusia, maka perlu dikaji ulang prinsip, norma , nilai dan ketentuan hukum dari khazanah fiqh yang ada relevansinya dengan persoalan lingkungan hidup. Fiqh adalah penjabaran nilai-nilai ajaran Islam yang berlandaskan al- Qur‟an dan al-Hadits yang merupakan hasil ijtihad para ahli hukum Islam dengan menyesuaikan perkembangan, kebutuhan,kemaslahatan umat dan lingkungannya dalam ruang dan waktu yang melingkupinya.Dengan kata lain, fiqh sebagai hukum Islam yang ijtihadi. Oleh sebab itu, fiqh bersifat tatawur berkembang sesuai dengan kapasitas daya nalar manusia dan perkembangan zaman. Tujuan hukum Islam ditetapkan hidup manusia agar dapat mencapai kemaslahatan atau kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrowi. Berdasar tujuan ini, ilmu fiqh hukum Islam secara garis besar memuat ketentuan hukum menjadi empat bidang Pertama. Bidang ibadah yaitu bagian yang mengatur hubungan antara manusia selaku makhluk dengan Allah Swt sebagai khaliknya hubungan transedensi-hukum ibadah. Kedua, bidang Mu’amalat, bagian yang mengatur hubungan manusia sesamanya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari hukum Muamalat. Ketiga, bidang Munakahat, bagian yang mengatur hubungan manusia sesama lawan jenis dalam lingkungan keluarga hukum Pernikahan. Keempat, bidang Jinayat, bagian yang mengatur keamanan manusia dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam kehidupan hukum pidana. Empat bidang hukum tersebut merupakan bidang-bidang pokok kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan suatu lingkungan kehidupan yang bersih, sehat, sejahtera, aman, damai, bahagia lahir batin, dunia dan akhirat. Inilah ruh dari ajaran Islam yang merupakan rahmat dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya dan tujuan risalah yang dibawa oleh Nabi Saw. Persoalan lingkungan hidup bukan sekedar masalah sampah, pencemaran, pengrusakan hutan, atau pelestarian alam dan sejenisnya, melainkan bagian dari pandangan hidup itu sendiri. Sebab dalam kenyataannya, berbicara mengenai persoalan lingkungan hidup merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pendewaan terhadap teknologi yang berlebihan dalam waktu lama telah mengakibatkan kemiskinan dan keterbelakangan yang disebabkan oleh struktur yang tidak adil sebagai akibat kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Dengan kata lain, masalah lingkungan hidup bersumber dari pandangan hidup dan sikap manusia yang egosentris dalam melihat dirinya dan alam sekitarnya dengan seluruh aspek kehidupannya. Norma-norma fiqh yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai Al- Qur‟an dan Al-Hadits sebagaimana yang telah diutarakan dimuka, sudah seharusnya dapat memberikan dorongan atau motivasi terhadap upaya pengembangan wawasan lingkungan hidup atau lebih tepatnya pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab manusia dan merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dianugrahkan oleh Sang Pencipta sebagai tempat tinggal manusia dalam menjalani hidup di bumi ini. Manusia beriman dituntut untuk mengfungsikan imannya dengan meyakini bahwa pemeliharaan penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup adalah juga bagian dari iman itu sendiri. Dalam kaitan ini, manusia dengan segenap kelebihan dan kelengkapan yang dianugrahkan Allah Swt kepadanya telah ditunjuk sebagai Khalifah di muka bumi ini. Khalifah mengandung arti sebagai pemelihara atau tegasnya telah ditunjuk dan diberi mandat sebagai pemegang amanah Allah Swt untuk menjaga, memelihara dan memperdayakan alam semesta, bukan menaklukkan dan mengeksploitasi. Sebaliknya, jika hubungan antara unsur-unsur tersebut renggang dan rapuh, maka kondisi kehidupan akan memburuk yang berakibat terjadi penderitaan dan penindasan manusia sesama manusia atau dengan eksploitasi alam yang tidak terkendalikan, yang semua ini akan membawa kehancuran alam dan pada akhirnya kehancuran kehidupan manusia sendiri. Good Corporate Governance GCGsecara singkat dapat diartikansebagai seperangkat sistem yang mengatur danmengendalikan perusahaan untuk menciptakannilai tambah value added bagi para pemangkukepentingan. Adapun prinsip-prinsip dari GCG adalah : a. Transparancy Keterbukaan Adalah keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Dalam kasus kejadian Lumpur lapindo tidak ada keterbukaan yang dilakukan oleh pihak PT. Lapindo Brantas dimana mereka melakukan pengeboran dengan sesuka hati tanpa pernah memperhatikan apa dampak yang terjadi dan timbul bila pengeboran terus dilakukan karena korporasi hanya mengejar keuntungan semata tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat. b. Accountability Akuntabilitas Dalam hal ini kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. terjadi pada kasus luapan lumpur lapindo adalah hingga saat ini belum ada realisasi secara menyeluruh tentang tanggung jawab yang harus diberikan PT. Lapindo Berantas kepada masyarakat. Karena, hinga saat ini belum ada bantuan yang berarti yang diberikan PT. Lapindo Brantas baik bantuan pendidikan, kesehatan, fasilitas sarana dan prasarana yang baik bagi masyarakat sekitar tetapi bahkan saat ini justru masyarakat yang dirugikan karena kasus luapan lumpur tersebut. c. Responsibility Pertanggungjawaban Yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi. Dalam kasus luapan lumpur Lapindo yang terjadi adalah PT. Lapindo Brantas melakukan pengelolaan perusahaan tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam undang-undang karena, korporasi telah mengambil hak-hak dari masyarakat porong Sidoarjo serta tidak dilakukannya upaya pencegahan bencana sehingga terjadi human eror dari korporasi yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut. d. Fairness Kewajaran atau Keadilan Maksudnya keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus Lapindo tidak ada kejujuran serta keadilan kepada masyarakat karena, PT.Lapindo Brantas rela menggunakan segala macam cara untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan hal apa atau damapak yang mungkin timbul karena hal tersebut. Konsep tentang Good Corporate Governance secara universal sangat erat kaitannya dengan ajaran agama-agama yang ada. Prinsip Good Corporate Governance ternyata selaras dengan ajaran agama Islam. Meskipun Islam selalu memperkenalkan etika yang baik, moral yang kuat, integritas, serta kejujuran, tidaklah mudah untuk menggabungkan nilai-nilai etika seperti itu menjadi Good Corporate Governance yang islami. Akibatn ya, dalam prakteknya, sebagian besar dari perusahaan „Islam‟ menggunakan standar tata kelola perusahaan konvensional yang mungkin tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam. Adapun prinsip-prinsip GCG dalam kasus PT. Lapindo Brantas adalah : a. Shiddiq Benar Artinya bahwa seharusnya PT, Lapindo Brantas harus melakukan kegiatan unsahanya dengan baik dan benar serta menjunjung hak-hak dari masyarakat. Tetapi yang terjadi adalah kasus eksploitasi sebesar- besarnya tanpa memperhatikan dampak terhadap. b. Amanah Dapat Dipercaya Sesuai Kejadian yang terjadi ternyata PT lapindo berantas tidak amanah karena kegiatan pengeboran yang dilakukan tidak sesuai dengan amdal yang telah disepakati oleh pemerintah dan perusahaan dimana seharusnya perusahaan melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan sehingga kegiatan eksploitasi yang dilakukan itu tidak berdampak buruk terhadap lingkungan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya karena tidak dikelolana lingkungan yang baik maka terjadi bencana kepada masyarakat. c. Tablig Menyampaikan Dalam kasus ini Pihak PT. Lapindo Brantas tidak terbuka untuk menyampaikan kegiatan yang akan mereka kerjakan, yaitu melakukan pengeboran lebih dalam lagi, karena seharusnya pengeboran itu tidak boleh terus dilakukan karena akan menyebabkan masalah terhadap lingkungan tetapi karena keserakahan oleh pihak korporasi maka kegiatan itu tetap dilakukan dan menyembunyikan kegitan pengeboran itu. d. Fathonah Cerdas Kegiatan pengeboran yang dilakukan PT lapindo Brantas tidaklah cerdas, karena mereka melakukan pengeboran tanpa memasang pipa selubung bor sehingga menyebabkan terjadi luapan lumpur, serta korporasi juga tidak cerdas dalam mengambil keputusan untuk tetap melakukan pengeboran tanpa menyadari bahawa kegiatan yang terus dilakuakan akan menyebabkan bencana bagi masyarakat porong sidoarjo. Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. 95

BAB V P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan uaraian pada bab-bab sebelumnya, dapatlah dismpulkan hal- hal sebagai berikut: 1. Bahwa kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Merupakan tindak pidana kejahatan korporasi, disebabkan hal-hal sebagai berikut : a. Penyebab luapan lumpur diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian Lapindo Brantas Inc. Dalam melakukan pengeboran. Dan juga karena telah melanggar peraturan mengenai tata ruang dan peraturan lingkungan hidup, dan b. Dampak yang diakibatkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas yang dilakukan di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc. telah mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di sekitar wilayah Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur. Dampak kerusakan tersebut telah mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik, lumpuhnya sektor ekonomi pertanian dan industri, kerugian social dan budaya masyarakat, serta penurunan kualitas kehidupan masyarakat terdampak. Oleh karenanya, apabila dalam kasus ini terdapat unsur kelalaian atau culpa, hal tersebut dapat dijadikan pemberatan pidana, ditambah pula telah terjadinya ribuan korban diakibatkan kelalaian ini, maka Lapindo Brantas dapat dikenakan juga sanksi yang terdapat dalam Pasal 42 Bab IX UUPLH. c. Berdasarkan Undang-undang Lingkungan Hidup, dalam Asas strick liability company bahwa perusahaan yang telah melakukan pencemaran atau telah terindikasi melakukan pencemaran baik disengaja maupun tidak yang merugikan ataupun tidak merugikan berkewajiban untuk memulihkan kondisi akibat pencemaran tersebut tanpa harus menunggu gugatan dari masyarakat ataupun sanksi dari pemerintah. 2. Dalam hukum pidana Islam pertanggungjawaban terhadap korporasi dibebankan kepada orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum. Pertanggungjawaban dilihat dari tiga unsur yaitu, kemampuan bertanggungjawab, kesalahan, dan unsur pemaaf. Untuk menentukan adanya kesalahan dilihat dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian. Unsur- unsur tersebut dapat dikaitkan dengan asas strict liability. Selain itu, tindak pidana korporasi hanya dapat dilakukan dengan penyertaan. Artinya bahwa korporasi tidak dapat melakukan tindakan dengan sendiri tetapi ada seseorang yang turut berbuat jarimah al-istirak fi al-jarimah. Sehingga dalam penentuan pertanggungjawabannya didasari pada adnya perbuatan yang dapat menghapuskan pidana. Dalam hal ini adalah karena perintah jabatan, daya paksa dan ancaman. Islam telah mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana jarimah. Perlindungan tersebut berdasarkan prinsip al- maqasid as- syari‟ah yang mengutamakan kemaslahatan yang terdiri dari lima hal, yaitu hifz al-Din, hifz al-Nafs, hifz al-Mal, hifz al- „Aql, hifz al-Nasl. Sedangkan bentuk perlindungan bagi korban jarimah, Islam menentukannya dengan melihat jenis jarimah yang dilakukan. Dalam hal ini, TPLH merupakan jarimah ta‟zir, sehingga hukuman yang diberikan adalah dengan hukuman ta‟zir. Pertanggungjawaban bagi pelaku terhadap korban dalam jarimah ta‟zir adalah dengan memberikan denda dan tindakan pemulihan. Pertanggungjawaban korporasi terhadap korban dalam hukum Pidana Islam sejalan dengan konsep pertanggungjawaban dalam UUPPLH tahun 2009. Sehingga Dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana sebagai bentuk perlindungan dalam UUPPLH juga sejalan dengan tujuan hukum Islam, yaitu menjaga kemaslahatan manusia.

B. Saran-saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkunganyang terjadi dan juga mengembalikan harkat dan martabat masyarakat korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. sehingga kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegarauntuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, sosial danlingkungan hidupnya. 2. Kasus lumpur panas di Kec. Porong Sidoarjo Jawa Timur ini harus diselesaikan secara tuntas, dengan melakukan analisis kajian secara detail serta melibatkan seluruh komponen atau pihak-pihak terkait yang memiliki hubungan baik langsung atau tidak langsung dengan terjadinya kerusakan lingkungan. 98 DAFTAR PUSTAKA Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung. Penerbit Alumni. 1996 Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti.Bandung.Inc. New York, 2002. Hadad, Ismid, Pembaharuan Proses Lahirnya Kebijakan Publik dalam Hamdan, M., Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2000. Hamzah Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi DalamHukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. “Kejahatan korporasi”: http:www.tanyahukum. comperusahaan114kejahatan- korporasi Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan Masyarakat dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2005 Kompas, 19 Juni 2006 Kosparmono Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2001 Nasution, Bismar. Kejahatan Korproasi dan Pertanggungjawabannya, http:bismarnasty.files. wordpress.com200706kejahatan-korporasi- dan-pertanggungjawabannya.pdf Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes. Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi, http:maswigrs. wordpress.com20070411kecelakaan-atau- kejahatan-korporasi, Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang : Averroes Press, 2002 Sutrisno Hadi, Metode Research I Yogyakarta: Andi Offset, 2007 Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006