Peranan Hakim Di Pengadilan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001.

(1)

PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pada fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

DISUSUN

O

L

E

H

Nama

:

CHARLES

MANURUNG

NPM

:

070200447

Program studi

: ILMU HUKUM

           

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pada fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

DISUSUN

O

L

E

H

Nama

:

CHARLES

MANURUNG

NPM

:

070200447

Program studi

: ILMU HUKUM

Ketua Departemen: Hukum Pidana (Dr. Hamdan, SH, M.Hum)

Pembimbing I Pembimbing II

(M. Nuh, SH, M.Hum) (Alwan, SH, M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Jesus Kristus yang selalu menyertai setiap jalan dan setiap langkah dalam pengerjaan skripsi ini maupun dalam setiap kehidupan. Terima kasih untuk semua yang Ia beri di hidupku, bahkan sampai detik ini akau patut bersukacita karena-Nya. Biarlah berkat yang telah diberikan dapat kupergunakan sebaik-baiknya, biarlah juga studiku ini dapat menjadi berkat bagi orang lain. Penulis juga berterima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Hamdan, SH selaku ketua jurusan Departemen Hukum Pidana, atas nasihat dan masukan yang telah diberikan dari Ibu Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

4. Kepada Bapak M. Nuh, SH, M.Hum sebagai dosen pembimbing I yang telah mengarahkan dan membimbing saya dalam pembuatan skripsi ini. 5. Kepada Bapak Alwan, SH, M.Hum sebagai dosen pembimbing II telah

memberikan arahan dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Kepada Bapak Drs. Pendastaren Tarigan sebagi pengelola Hukum serta Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Semua dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar saya dan kepada seluruh staff pegawai yang telah membantu


(4)

saya dalam mengurus administrasi yang ada pada Fakultas Hukum USU Medan.

8. Yang terutama, yang akan selalu ku ingat kedua orang tua yang telah membesarkan saya tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan demi anak yang telah dibesarkan untuk menuju ke masa depan.

9. Juga tidak lupa buat anak istri yang selalu mendampingi saya untuk menyelesaikan skripsi ini dan terus mendorong saya setiap saat tanpa mengeluh dari kekurangan-kekurangan yang ada.

10.Juga tidak lupa ucapan terima kasih saya kepada teman-teman, sahabat dan kolega yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, tidak lupa saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, agar kita semua mendapat Hidayah Dunia dan Akhirat.

Amin.

Medan, Hormat Saya,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR… ... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAK... ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang. ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Manfaat Penelitian ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Pengertian Korupsi ... 11

2. Ciri-ciri Korupsi ... 15

3. Subjek Delik Korupsi ... 16

G. Metode Penulisan ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A.Pengertian Korupsi ... 13

B.Tindak Pidana Korupsi ... 31

C.Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ... 35

D.Penanganan Tindak Pidana Korupsi ... 39


(6)

BAB III : BENTUK-BENTUK KORUPSI PADA ERA MODERNISASI

A.Korupsi dan Modernisasi ... 42 B.Praktek-Praktek Korupsi di Indonesia Korupsi Serta Latar

Belakang Masyarakat ... 46 C.Korupsi Merupakan Iklim Yang Tidak Sehat ... 49

BAB IV : PERANAN DAN KEWENANGAN HAKIM DALAM

MEMBERANTAS KORUPSI

A.Kewenangan Hakim Dalam Usahanya Memberantas Tindak Pidana Korupsi Menurut

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 ... 54 B.Peranan Hakim dalam Upayanya Memberantas

Tindak Pidana Korupsi Indonesia ... 59 C.Hambatan Bagi Hakim Dalam Memberantas Tindak Pidana

Korupsi di Indonesia ... 63

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. ...Kesimpula n ... 66 B. ...Saran

... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(7)

ABSTRAK

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan-perubahan kondisi sosial masyarakat, memiliki dampak sosial negatif terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidan yang meresahkan masyarakat. Salah satu pidana yang dapat dikatakan sangat fenomenal adalah tindak korupsi. Skripsi ini berjudul

PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001”.

Dalam skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah faktor-faktor apa penyebab timbulnya tindak pidana korupsi. Bagaimana dampak tindak pidana korupsi terhadapa perekonomian


(8)

ABSTRAK

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan-perubahan kondisi sosial masyarakat, memiliki dampak sosial negatif terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidan yang meresahkan masyarakat. Salah satu pidana yang dapat dikatakan sangat fenomenal adalah tindak korupsi. Skripsi ini berjudul

PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001”.

Dalam skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah faktor-faktor apa penyebab timbulnya tindak pidana korupsi. Bagaimana dampak tindak pidana korupsi terhadapa perekonomian


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbuatan korupsi merupakan penyakit universal dalam tatanan politik semua Negara didunia ini. Berbagai strategi dan upaya dilakukan oleh pemerintah untuk memberantasnya. Kalaupun tidak bisa memberantasnya paling tidak dapat mengurangi volumenya. Karena korupsi dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Sebagaimana yang kita ketahui sendiri, bahwa jatuhnya bangsa Indonesia ke dalam jurang multidimensional berawal dari banyaknya korupsi di setiap lembaga pemerintahan, bahkan Departemen Agama sekalipun, sebuah departemen yang membawahi pembenahan moral bagi warga Negara yang sudah ditetapkan undang-undang.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana, sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang dan sebagainya.

Indonesia termasuk dalam peringkat yang paling tinggi dalam hal urusan korupsi, sebuah prestasi yang sebenarnya sangat memalukan sebagai Negara yang mempunyai nilai-nilai religius yang tinggi.


(10)

Berbicara fenomena mengenai korupsi Jhonson BS Rajagukguk dalam Samuel P Huntigton menyatakan dalam bukunya, “Political Order In Changing Societies” bahwa korupsi adalah : “behavior of public official which deviates

from accepted norms in order to serve private ends” yang artinya adalah

perlakuan menyimpang “public official” atau para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh suatu masyarakat. Tujuan penyimpangan adalah untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi.1

Terjadinya perbuatan korupsi dalam suatu Negara adalah lemahnya sistem, merupakan salah satu tidak dapat disangkal maksudnya sistem mengenai pencegahan korupsi itu sendiri karena sudah merupakan budaya. Lemahnya mekanisme di berbagi sektor birokrasi dewasa ini, seperti dikeluhkan oleh masyarakat, juga para pengusaha nasional termasuk pengusaha kecil maupun pengusaha asing, karena banyaknya administrasi yang harus mereka lalui untuk memperoleh suatu izin atau fasilitas.

Keadaan yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya suap-menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu perbuatan korupsi, bahkan tanpa tersembunyi korupsi yang jenis ini masih saja terus berlangsung dengan berbagai sistem yang terjadi.

Makin maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi dan makin gencarnya pemberantasan korupsi dikarenakan sudah makin terpuruknya keadaan keuangan       

1

Jhonson BS Rajagukguk, Reformasi Mentalitas Budaya Politik Menuju Pemberantasan Korupsi, Sinar Indonesia baru, Jumat 15 Juli 2005, hal 13.


(11)

Negara yang disebabkan oleh kecurangan yang dilakukan oleh pejabat yang diberikan kekuasaan untuk memperkaya dirinya. Korupsi merupakn fenomena yang terjadi dalam suatu Negara yang mana merupakan kelemahan pada suatu bangsa yang merembes kesemua tingkat pelayanan umum, korupsi melemahkan garis kehidupan masyarakat dan membuat tidak adanya pemerataan kesehahteraan dalam kehidupan.

Makin maraknya tindak pidana korupsi dewasa ini, sehingga dianggap perlu adanya pengaturan terhadap tindak pidana korupsi, mengingat juga sifat dari tindak pidana korupsi yang merupakan “extraordinary crime”. Oleh karena itu pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh hakim antara lain dengan instrument hukum yang luar biasa trsebut tidak bertentangan dengan standar hukum secara universal.

Pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh hakim di pengadilan yang saat ini sangat gencar dilakukan merupakan langkah nyata menuju kehidupan bernegara yang lebih baik. Namun kesemuanya pemberantasan yang dilakukan oleh hakim memiliki kendala maupun hambatan dimana seorang hakim harus secara teliti mengkaji mengenai alat bukti yang diajukan kehadapan sidang karena merupakan tindak pidana khusus yang diatur secara tersendiri oleh Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini.

Korupsi berkembang dan tumbuh subur di Indonesia yang terdapat disegala bidang pemerintahan dan sektor kehidupan. Rakyat kecil yang tidak


(12)

memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi, pada umumnya sifat acuh tak acuh. Disatu sisi mereka merasa terhormat dan takjub akan kemewahan dan cara hidup golongan “jet set” dan para koruptor. Namun disisi lain mereka merasa jengkel terhadap tingkah laku mereka yang berlebihan. Selanjutnya sikap rakyat menjadi semakin apatis dengan semakin meluasnya praktek-praktek korupsi oleh beberapa pejabat lokal, regional, maupun nasional yang ada diberbagai instansi tesebut.

Sebaliknya mahasiswa menanggapi korupsi dengan emosi yang meluap-luap dan protes terbuka, mereka sangat sensitif terhadap perbuatan korupsi, juga menuntut perbuatan yang merugikan bangsa dan Negara. Oleh aspirasi sosialnya yang sehat dan tidak memililki vested interest, tidak henti-hentinya mereka melontarkan kritik, lalu memberikan sugesti-sugesti kepada pemerintah untuk melakukan tindakan korektif tegas terhadap perbuatan korupsi. Oleh pengaruh edukatif yang intensif, muncullah kesadaran politik pada mereka, dan timbul pula aspirasi politik. Mereka mampu melihat secara kritis dan mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulative dan koruptif dari banyak pejabat terhadap instansi yang ada.

Berdasarkan banyaknya kerugian yang dialami oleh Negara akibat pelaku korupsi inilah yang memberikan tanggapan pemerintah terhadap korupsi inilah yang memberikan tanggapan pemerintah terhadap korupsi secara serius. Sejak


(13)

tahun 60-an dilancarkan team-team pemberantasan korupsi, undang-undang korupsi, komisi empat dan OPSTIB (operasi tertib) pusat dan daerah2.

Secara marathon OPSTIB memeriksa peristiwa-peristiwa korupsi, baik yang berlangsung di daerah maupun di pusat pemerintahan. Dan hampir setiap hari Koran-koran memuat-memuat berita hasil pemberantasan korupsi seperti yang dimuat di Sinar Indonesia baru yang mana memuat berita “Presiden Telah Setujui Periksa 57 Pejabat Negara kasus Korupsi RP 1 sampai 56 Milyar, yang menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani izin pemeriksaan terhadap tujuh pejabat Negara, sehingga secara keseluruhan presiden telah menyetujui pemeriksaan 57 pejabat Negara yang disampaikan juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng”.3

Perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan yang baru memang memberikan banyak celah untuk berlangsungnya tindak korupsi, terutama korups materiil dari kelas-kelas sosial menengah dan tinggi. Namun jelas bagi kita bahwa korupsi itu menjadi tanda pengukur bagi:

1. Tidak adanya perkembangan politik yang efektif.

2. Tidak adanya partisipasi politik dari sebagian besar rakyat Indonesia khususnya rakyat miskin dan masyarakat di daerah pendesaan.

3. Tidak adanya badan hukum dan sanksi yang mempunyai kekuatan riil.4

      

2

Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid I,

3

Presiden telah setuju periksa 57 Pejabat Negara Kasus Korupsi RP1-56 4


(14)

Adanya penyelewengan-penyelewengan itu bukannya membuat kita mencapai hasil yang diharapkan, tetapi mendatangkan malapetaka karena adanya korupsi dan pembangunan pun akan dijalankan asal-asalan, sekedarnya dan tidak sesuai dengan kelayakan dan kewajaran dalam standar nilai yang dituntut.

Korupsi merupakan gambaran yang menunjukkan pada kita betapa lemahnya pengawasan sebagi faktor pengaman dari pembangunan yang dapat dimanipulasi serta direkayasa guna kepentingan pribadi untuk memperkaya diri. Korupsi telah banyak merugikan pembangunan dan terjadinya pembodohan publik guna menutupi kebobrokan dari para koruptor.

Pembangunan yang merata tidak akan tercapai dengan baik apabila pembangunan itu tidak dilengkapi dengan pengawasan pembangunan guna melindungi aset-aset Negara yang akan dirongrong oleh para koruptor. Tanpa adanya pengawasan pembangunan akan banyak terjadi kebocoran-kebocoran dan kebocoran itu pada akhirnya mampu menggagalkan pembangunan. Maka seiring dengan lajunya pembangunan, pengawasan pun harus terus berlangsung. Semakin meningkat pembangunan, pengawasan semakin tidak boleh surut dan menyesuaikan keadaan tersebut.

Pengawasan adalah sesuatu yang bersifat kodrati yang diperlukan dalam kehidupan manusia dan dalam kehidupan organisasi. Dalam kehidupan manusia


(15)

saja perlu kewaspadaan apalagi dalam kehidupan untuk sebuah Negara yang menyangkutkan hidup orang banyak di dalamnya.

Namun untuk menghindari korupsi, dalam melakukan pengawasan tidak boleh gegabah, pengawasan yang dilaksanakan tanpa pemikiran yang matang, bukanlah ikut memperlancar pembangunana, salah-salah justru malah menghambatnya terhadap pelaksanaannya.

Mestilah disadari pengawasan pembangunan bukanlah unsur yang berdiri sendiri, tetapi merupakn salah satu unsur dari berbagai pembangunan. Tujuan utama dari pengawasan adalah ikut berusaha memperlancar pembangunan serta mengamankan hasil-hasil pembangunan.

Pengawasan diperlukan bukan karena kurang kepercayaan dan bukan untuk mencari-cari kesalahan dan bukan untuk menakuti-nakuti serta membuat orang gelisah, tetapi pengawasan untuk membuat agar segala perencanaan pembangunan berjalan secara lancar dan bersih.

Pengawasan pembangunan berupaya agar tidak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan suatu rencana, dan segera mengambil jaln keluar dari kemelut yang mungkin muncul, serta lahirnya mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai dan dirasakan oleh semua lapisan.

Mengkaitkan antara pengawasan yang dilakukan oleh hakim dalam pembangunan yaitu mengadili perkara korupsi yang diajukan padanya guna


(16)

menegakkan Undang-undang No. 20 tahun 2001, seorang hakim yang dapat menjalankan tugas memberantas tindak pidana korupsi, maka hakim itu telah membangun keadilan yang diinginkan masyarakat banyak.

Judul adalah sangat penting keberadaannya dalam suatu karya ilmiah termasuk halnya dengan skripsi. Tanpa adanya judul maka syarat sebuah tulisan dan arah tulisan itu tidak tentu tidak dapat dibuat dan dimengerti. Tulisan tentang judul ini adalah sangat mutlak maka pihak yang terkait di dalam suatu karya ilmiah akan dapat dimengerti secara sepintas tentang isi pembahasan. Judul skripsi ini adalah : PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 20 TAHUN 2001.

Hakim merupakan orang yang dianggap mampu menyelesaikan perkara korupsi secara jelas, tetapi adakalanya kekuasaan hakim di pengadialn justru dirongrong oleh para pihak yang ingin menyelamatkan dirinya dari sanksi pidana dengan mengiming-imingi hakim tersebut denagn apapun yang dianggap menguntungkan hakim tersebut serta tak jarang seorang hakim diintimidasi oleh para koruptor dengan menganggu kekuasaannya dalam pengadilan dengan mengintimidasi berupa ancaman bagi para hakim yang tidak mau bekerja sama, tetapi juga gangguan tersebut dengan pemberian sejumlah uang agar perkaranya dimenangkan.


(17)

Selayaknya seorang hakim tidak perlu khawatir akan intimidasi yang datang padanya, hanya para koruptorlah yang pantas merasa terintimidasi akan kasus yang ditangani oleh para hakim tersebut karena akan terungkapanya penyimpangan dan penyelewengan yang dilakuknnya dan gelisah menghadapi pengawasan yang dilakukan oleh hakim dipersidangan,

Sehingga wajar saja seandainya jika para koruptor berupaya mengintimidasi para hakim tersebut.

Dari sinilah pentingnya keterbukaan dan kejujuran seorang hakim dalam mengadili perkara korupsi yang ada ditangannya yang diharapkan dapat membawa perubahan bagi Negara ini juga bagi perkembangan hukum di Indonesia. Keterbukaan dan kejujuran selain mempunyai arti lahiriah tetapi juga mengandung makna batiniah, dengan keterbukaan dan kejujuran seorang hakim akan tercipta penegakkan hukum yang baik seperti yang diharapakan rakyat.

B. Perumusan Masalah

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan yang akan dibahas, karena hal yang demikian akan mudah diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian serta pembahasan yang akan dilakukan.

Adapun yang merupakan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah :


(18)

1. Bagaimana kewenangan hakim dalam usahanya memberantas tindak pidana korupsi menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001.

2. Bagaimana peranan hakim dalam upayanya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.

3. Apakah yang menjadi hambatan bagi hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian di dalam pembahasan skripsi ini ditujukan kepada berbagai pihak terutama :

1. Secara teoritis sebagai perkembangan ilmu pengetahuan ilmu hukum. 2. Secara praktis hasil penelitian sebagia hasil studi yang lebih maju, juga

sebagai sumbangsih kepada pemerintah sebagai kebijaksanaan usaha dalam pemberantasan korupsi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001. 3. Melalui tulisan ini juga diharapkan dapat diambil manfaatnya oleh

masyarakat dan sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan mengenai tindak pidana korupsi.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui Apakah hakim sudah berperan secara optimal dalam usahanya memberantas tindak pidana.


(19)

2. Untuk mengetahui Bagaimana peranan hakim dalam upayanya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.

3. Untuk mengetahui Apakah yang menjadi hambatan bagi hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Dalam proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan kewenangan dalam memberantas korupsi, kemudian penulis rangkai sendiri menjadi satu karya ilmiah yang disebut dengan skripsi. Oleh karenanya penulis menyatakan bahan skripsi ini adalah hasil karya penulis dan belum pernah ada sebelumnya skripsi seperti ini.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Korupsi

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut ‘korupsi’ (dari bahasa latin :

curruptio = penyuapan; curruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya.


(20)

a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran.

b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.5

c. 1) Korup (busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.

d. 2) Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang dan sebagainya).

e. 3) Koruptor(orang yang korupsi).6

Dengan demikian, secara Harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungghnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas :

a. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orng lain.

b. Korupsi : busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaan untuk kepentingan pribadi).

Adapun menurut Surbekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum yang dimaksud curruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan Negara.7

      

5

Poerwadarminta W.J.S Kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakarta penerbit Balai Pustaka tahun 1976 hal : 12. 6


(21)

Baharuddin Lopa, mengutip pendapat dari David M. Chalmers

menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi dan kepentingan umum.8

Gurnal Myrdal menyebutkan :

To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to be public office or the special position one occupies in the public life but also the activities of the bribers.

Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut serta kegiatan lainnya seperti penyogokan.9

Edelherz lebih senang menggunakan istilah white collar crime untuk perbuatan korupsi ini. Di dalam bukunya yang berjudul The Investigation

       

7

Subekti dan Tjitrosodibio,Kamus Hukum,Jakarta Penerbit Pradnya Paraminta tahun 1973 hal 10 8

Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Pengadilan Hukum, Jakarta Penerbit Rineka Cipta,tahun 1992 hal 42.

9


(22)

of White Collar Crime A Manual for Law Enforcement Agencies

disebutkan sebagai berikut :

White collar crime an illegal act or service of illegal acts committed by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain money or property, to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal or personal advantage.

………..suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat illegal yang dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran/pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis/keuntungan pribadi.10

Sedangkan secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi

tidak memberikan defenisi yang jelas mengenai maksud dari tindak pidana korupsi. Akan tetapi di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya memberikan gambaran dari maksud tindak pidana korupsi itu, yaitu dalam pasal 2 yang menyebutkan, bahwa :11

a. Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu koperasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan       

10

Helbert Edelherz, The Investigation or white collar crime. A Manual For Law Enforcement agencies Amerika, Penerbit Office of Regional Operations, tahun 1977 hal 4.

11


(23)

paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

b. Dalam hal ini tindak pidana korupsi, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit

Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

2. Ciri-ciri Korupsi

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Syed Husein Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi, sebagai berikut:12

a. Korupsi senatiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian-penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun, disini seringkali ada pengertian

      

12


(24)

diam-diam diantara pejabat yang mempraktikan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan oleh para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat.

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidk tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi menagndung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g. Setiap bentuk korupsi adalah pengkhianatan kepercayaan.


(25)

Dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 ini, maka dikatakan, subjek delik itu adalah :

a. Manusia b. Korporasi c. Pegawai negeri

a. Subjek Manusia

Manusia berarti dia adalah orang, laki-laki atau wanita. Bukan subjek binatang, sebab antara manusia dan binatang ada perbedaan. Bedanya ialah bahwa manusia mempunyai budaya, sedangkan binatang tidak, dia memiliki insting. Subjek manusia seringkali dengan kata-kata ‘hij’ atau ‘barang siapa’.

b. Subjek Korporasi

Pertama adalah kumpulan orang yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Contoh : organisasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang politik, seperti partai politik. Partai politik adalah organisasi yang terdiri dari kumpulan orang yang memiliki cita-cita tertentu, dengan mempunyai ketua, sekretaris dan bendahara. Kedua, adalah kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Contoh :

Yayasan, adalah kumpulan dari harta benda atau kekayaan yang disisihkan untuk tujuan tertentu, misalnya tujuan sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.


(26)

c. Subjek Pegawai Negeri

Pengertian Pegawai Negeri pada umumnya, ialah orang yang bekerja pada pemerintah. Dalam Undang-undang No.31 tahun 1999, maka pengertian Pegawai Negeri menurut pasal 1 ayat (2) diperluas meliputi :

1. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang tentang kepegawaian.

2. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah. Misalnya, karyawan dari sebuah BUMN, karyawan dari BUMD atau juga karyawan perseroan terbatas X yang badan hukum itu menerima fasilitas keuangan dari pusat atau pun daerah.

G. Metode Penulisan

a . Teknik Analitis Data

Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penulisan, maka penulisan ini bersifat deskriptif analistis. Deskriptif maksudnya digambarkan atau menelah permasalahan hukum terhadap dampak-dampak tindak pidana korupsi terhadap pereknomian Negara, sedangkan Analistis maksudnya data hasil penelitian terlebih dahulu diolah dan analisa dan kemudian diuraikan secara cermat terhadap dampak tindak pidana korupsi terhadap perekonomian Negara.

b. Alat Pengumpulan Data

Selain itu juga digunakan metode library research atau penelitian kepustakaan, maksudnya adalah penelitian yang dipusatkan kepada studi


(27)

kepustakaan untuk mendapatkan data yang relevan dengan penyusunan skripsi ini, yakni melalui buku-buku, surat kabar, yang kesemuanya bertujuan untuk membantu analisa dan sebagai bahan perbandingan antara teori di satu pihak dan praktek di pihak lain.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi imi dibagi dalm beberapa tahapan yang disebut dengan BAB, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN.

Dalam bab ini akan dibahas tentang : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Manfaat Penelitian, Tujuan Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Serta Sistematika Penulisan.

BAB II SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA.

Korupsi dalam bab ini akan diuraikan tentang : Tinjauan Tentang Tindak Pidan Korupsi, Pengertian Korupsi, Kebijakan


(28)

Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Penanganan Tindak Pidana Korupsi.

BAB III` PRAKTEK KORUPSI DI ERA MODERNISASI.

Dalam bab ini akan diuraikan tentang : Korupsi dan Modernisasi, Praktek-Praktek Korupsi di Indonesia serta Latar Belakang Masyarakatnya, Korupsi Merupakan yang Tidak Sehat.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dibahas penelitian : Kewenangan Hakim dalam Usahanya Memberantas Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001, Peranan Hakim Dalam upayanya Memberantas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan dibuat kesimpulan dan saran dari pembahasan skripsi ini.


(29)

BAB II

SUATU TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

DI INDONESIA

A. Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana dan sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi. Dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang atau korupsi juga diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau uang perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Pengertian masyarakat umum terhadap kata “korupsi” adalah berkenaan dengan “keuangan Negara” yang dimiliki secara tidak sah (haram).13 Pengertian

      

13

Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta


(30)

korupsi berdasarkan UU No. 3 tahun 1971, yang lebih luas, yang jika disimpulkan terdiri dari perbuatan seseorang yang merugikan keuangan Negara dan yang membuat aparat pemerintahan tidak “efektif, efisien, bersih dan berwibawa”.14

Jika hal ini dipahami maka dapat diketahui bahwa tujuan UU Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi adalah :

1. Mencegah kerugian keuangan Negara.

2. Mencapai aparat pemerintahan yang efektif, efisien, bersih dan berwibawa.15

Hal-hal yang dimuat dalam UU No. 3 Tahun 1971 terkait dengan salah satu dari dua hal di atas saling erat hubungnnya. Keuangan Negara tidak lepas dari “aparat pemerintah”, karena yang mengelola “keuangan negara” adalah aparat pemerintah.

Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No.33 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dikatakan korupsi adalah :

      

14 Ibid 15

Ibid


(31)

 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara.

 Setiap orang lain atau dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Menyinggung masalah korupsi berarti pula masalah pelanggaran dengan kejahtan jabatan, latar belkangnya, faktor-faktor penyebabnya sampai pada penanggulangannya. Jika membicarakan korupsi maka yang pertama-tama adalah tindakan yang dilakukan oleh para pejabat atau orang yang memiliki kewenangan dan jabatan, dimana kewenangan atau jabatannya tersebut disalah gunakan dengan maksud untuk menguntungkan dan menambah kekayaan diri sendiri, orang lain maupun korporasi.

Salah satu penyebab atau faktor sampai terjadinya korupsi karena rumitnya suatu birokrasi, sehingga menumbuh suburkan korupsi, dan pada akhirnya yang dapat dilakukan untuk menanggulanginya adalah dengan mengajukan orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi tersebut ke pengadilan, dan diharapkan hakim dapat menjatuhkan tindak pidana korupsi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat memenuhi rasa keadailan dalam masyarakat.


(32)

Korupsi erat kaitannya dengan perbuatan yang ingin memperkaya diri sendiri, yang dimaksud dengan perbuatan memperkaya diri sendiri adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya dan sudah tentu perbuatan ini dapat dilakukan dengan berbagai/bermacam-macam cara, misalnya: menjual, membeli, menandatangani kontrak, memindahkan rekening dalam bank.

Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahn, dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan. Ada orang mengatakan korupsi merupakan “seni hidup”, dan menjadi salah satu aspek kebudayaan kita.

Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Sebagai akibatnya kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korupt yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati dan juga menduduki status sosial yang tinggi.

Praktek korupsi yang ada sukar sekali bahkan hampir tidak mungkin di berantas. Sebab, amat sulit memberikan pembuktian-pembuktiannya, lagi pula sulit mengejarnya dengan dasar-dasar hukum. Namun akses perbuatan korupsi sangat merugikan negara dan bangsa. Hingga saat ini korupsi merupakan bahaya talent,baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh bagian-bagian masyarakat.


(33)

Berbicara korupsi lebih dalam ada baiknya mengetahui apakah korupsi itu sebenarnya, bagaimana defenisinya dan perbuatan-perbuatan yang bagaimana yang bisa dikategorikan/dimasukan korupsi?

Menurut Kartini Kartono, beliau memberikan defenisinya tentang Korupsi:

“Bahwa yang dikatakan korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan Negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi: salah urus terhadapa sumber-sumber kekayaan Negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.16

Delict korupsi menurut undang-undang Hukum Pidana/KUHP adalah

kejahatan atau kesalahan, ataupun perbuatan-perbuatan yang bisa dikenal tindak dan sanksi hukum.17 Yang mana terdapat dalam beberapa pasal yaitu :

 KUHP 419 berbunyi :

Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun pegawai negeri :

1. Yang menerima hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk membujuknya supaya ia menjalankan atau mengalpakan sesuatu dalam jabatannya, berlawanan dengan kewajibannya.

2. Yang menerima hadiah, sedang ia tahu, bahwa hadiah itu diberikan kepadanya berhubung ia telah menjalankan atau mengalpakan suatu perbuatan dalam jabatannya berlawanan dengan kewajibannya.

 KUHP 420

      

16

Kartini Kartono 17


(34)

Ayat 1 berbunyi: Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun:

a. Hakim yang menerima hadiah atau perjanjian, sedang ia tahu bahwa hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi keputusan perkara yang harus diputuskannya.

b. Barang siapa yang menurut peraturan undang-undang ditunjuk menjadi pembicaraan atau penasehat untuk menghadiri sidang pengadilan, ataupun jaksa, yang menerima hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi pertimbangan atau pendapatnya tentang perkara yang harus diputuskan oleh pengadilan itu.

Ayat 2 berbunyi : “jika hadiah atau perjanjian itu diterima dengan diketahui bahwa hadiah atau perjanjian itu diberikannya kepadanya supaya dijatuhkan hukuman dalam perkara pidana, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

 KUHP 423 berbunyi: “Pegawai-pegawai negeri dengan maksud menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melawan hukum memaksa seseorang dengan salah memakai kekuasaannya, untuk memberikan barang sesuatu, membayar, menerima bayaran dengan dipotong sebagian, atau mengerjakan sendiri sesuatu, dihukum denagn hukuman penjara selama-lamanya enam tahun”.


(35)

Korupsi bisa dimasukan ke dalam kategori perbuatan kejahatan. Maka praktek-praktek yang dapat dimasukan dalam perbuatan korupt antara lain : Penggelapan, penyogokan, penyuapan, kecerobohan administrasi dengan intense mncuri kekayaan Negara, pemerasan, penggunaan kekuatan hukum dan/atau kekuatan bersenjata untuk imbalan dan upah materiil, barter kekuasaan politik dengan sejumlah uang, penekanan kontrak-kontrak oleh kawan “sepermainan” untuk mendapatkan komisi besar bagi diri sendiri dan kelompok dalam penjualan “pengampunan pada oknum-oknumyang melakukan tindak pidana agar tidak dituntut oleh yanmg berwajib dengan imbalan suap, eksploitasi dan pemerasan formal oleh pegawai dan pejabat resmi dan lain-lain.

Korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma sampai, abad pertengahan dan sekarang. Para pendeta di zamn, Mesir memeras rakyatnya dengan alasan keharusan menyajikan kurban kepada para dewa. Jenderal-jenderal pada zaman kerajaan Romawi memeras daerah jajahannya untuk memperkaya diri. Pada abad pertengahan bnayak bangsawan korup di istana-istana para raja di Eropa. Bahkan sekarang pun di Amerika Serikat yang begitu makmur dan modern masih banyak berjangkit praktek-praktek korupsi.

Perkembangan demokrasi dan semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan sumber-sumber alam baru, semakin berkembang ikut berkembang pula praktek-praktek korupsi dan tidak manipulasi. Dengan bertambahnya kekayaan dan keuangan Negara, semakin kuat pula dorongan individu terutama dikalangan pegawai negeri untuk melakukan korupsi dan usaha-usaha penggelapan.


(36)

Pemberian hak-hak monopoli dan macam-macam privilege oleh para pengusaha baik yang ada dipusat maupun didaerah-daerah, biasanya diperlicin dengan jalan penyuapan atau sogokan, bertambahnya proyek-proyek pembangunan Negara yang meliputi milyaran rupiah, menimbulkan relasi-relasi yang akrab antara pemerintah dan kaum business melalui kontrak-kontrak yang berakseskan tindak koruptif. Kontak-kontak ini hampir selalu diberikan kepada mereka yang sanggup memberikan komisi yang lebih tinggi, atau diberikan kepada kalangan sendiri. Hal ini menyuburkan sistem sogok dan penyuapan.

Korupsi memang berlangsung pada semua lapisan masyarakat. Namun pada masyarakat yang tengah melaksanakan modernisasi, korupsi ini paling banyak terjadi. Biasanya, korupsi itu berbareng dengan pembangunan industri, perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru dan bersamaan pula dengan tampilnya kelas-kelas baru yang banyak mengajukan tuntutan-tuntutan baru kepada pihak pemerintah. Korupsi merupakan salah satu kriterium dari tidak adanya institusional politik yang efektif, dan dari kurang berfungsinya sistem kontrol dan yudikatif.

Banyak pegawai negeri dan pejabat Negara korupsi yang mengakibatkan tidak mempunyai pertalian lagi dengan rakyat yang harus diberi pelayanan sosial. Sebab mereka justru mengaitkan peranan kelembagaan dengan tuntutan-tuntutan eksternal yaitu pihak-pihak yang bersedia menyuap dan memberikan hadiah-hadiah.


(37)

Penelitian membuktikan, bahwa fase-fase yang paling intensif dalam aktivitas modernisasi, korupsi paling subur berkembangnya. Sebabnya adalah:

1. Modernisasi menimbulkan perubahan-perubahan nilai yang paling mendasar di masyarakat, khususnya dalam hal norma-norma, harapan, prestasi dan ambisi materiil. Standard-standard kriteria baru mengenai baik-buruk, mendorong orang mengutuk dan meninggalkan beberapa pola tingakah laku tradisional dan tata susila tertentu, lalu mengoper pola-pola korupt. Konflik-konflik antara norma-norma nasional tradisional itu membuka kesempatan bagi individu-ibdividu untuk bertindak sendiri-sendiri, dengan cara masing-masing, bertindak seenak sendiri dan demi kepentingan sendiri jadi bertindak korupsi.

2. Modernisasi itu juga membuahkan korupsi, karena modernisasi selalu menghasilkan sumber-sumber kekayaan baru dan metode baru untuk memperkaya diri sendiri.

3. Modernisasi juga memungkinkan perluasan otoritas dan kekuasaan pemerintah, serta melipat gandakan aktivitas-aktivitas pembangunan dan pengaturan, yang semuanya memberikan celah-celah kemungkinan bagi tindak korupsi serta penindasan, penekenan terhadap pihak yang lemah dan bodoh.

4. Pergeseran nilai-nilai dan norma-norma etis dalam periode tradisional dan modernisasi dengan perubahan-perubahan maha cepat jelas memunculkan bentuk-bentuk mentalitas baru, yaitu mentalitas kebut-kebutan, nyerempet-nyerempet bahaya, menempuh jalan pintasan, melanggar peraturan dan


(38)

hak orang lain. Pendeknya mengkondisionir munculnya mentalitas korupsi.

5. Dinegara-negara berkembang termasuk Indonesia, modernisasi pada umunya tidak atau belum ditunjang oleh pengembangan lembaga-lembaga politik, bahkan dibarengi dengan melemahnya instistusi-institusi politik. Lemahnya lemabaga-lembaga politik ini disebabkan oleh karena mudahnya lembaga tersebut dibeli oleh kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Dengan kata lain, lembaga politik tadi di sebut korupsi.

Setiap masyarakat yang mengalami proses modernisasi dan perubahan-perubahan yang cepat, selalu muncul kelompok-kelompok sosial baru yang ingin berpartisipasi dalam bidang politik, namun mereka tidak mampu mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai dan prosedur politik yang ada. Mereka justru ingin memuaskan ambisi-ambisi dan kepentingan pribadi. Disamping itu lembaga-lembaga politik sering dijadikan alat pemuas ambisi pribadi, dan tidak jarang dimanipulir oleh tokoh-tokoh politik baru. Lembaga-lembaga tadi tidak mampu mempertahankan otonomi, kewibawaan dan identitasnya tidak mampu bertahan terhadap pengaruh oknum-oknum politik dengan ideologi serta interest pribadi yang ekstrem.

Korupsi itu merupakan produk daripada meluasnya partisipasi politik dikalangan masyarakat luas, berkat meningkatnya taraf pendidikan dan sistem informasi, namun mereka tidak terisolir dalam lembaga-lenbaga politik yang ada. Dengan kata lain apabila proses mobilitas vertikal keatas dalam mesin politik dan birokrasi tidak mungkin berlangsung, maka akan terjadi banyak korupsi, sedang


(39)

cara-cara inkonvensional serta inkonstitusional untuk usaha mobilitas vertikal, akan lebih merajalela.

Korupsi juga banyak berlangsung di dalam masyarakat yang mengutamakan egoisme atau pementingan diri sendiri yaitu kepentingan diri sendiri yaitu kepentingan individual, keluarga clan, kelompok, klik dan suku sendiri. Pada umumnya peristiwa yang demikian disebabkan oleh tidak adanya partai-partai politik yang efektif. Jika kaum intelek dilarang dan dihalang-halangi untuk berpartisipasi dalam sistem politik. Maka pengurangan jumlah korupsi dalam situasi demikian ini hanya bisa berlangsung dengan jalan reorganisasi dan restrukturlisasi kekuatan-kekuatan sosial yang baru muncul dalam sistem politik tadi.

B. Tindak Pidana Korupsi

Sejalan dengan KUHP maka subjek hukum pidana adalah orang atau

person, namun dalam perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang sedang

membangun, subjek hukum ini diperluas juga badan hukumnya.

Terutama dalam keadaan membangun, pelaku delik lebih banyak terdiri dari badan hukum dalam arti “naturlijk person”, namun diberi status dan berfungsi sebagai orang dan oleh karena itu, ia dapat juga bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan olehnya. Dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi:18

      

18


(40)

1. Korupsi adalah sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai negeri adalah meliputi :

a. Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan dalam undang-undang tentang kepegawaian.

b. Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan dalam Kitab Undang-undang hukum pidana.

c. Orang-orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah, atau

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah. e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang lain yang

mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara atau masyarakat. 3. Setiap orang atau perseorangan atau korporasi.

Tetapi berdasarkan Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah berubah yang mana telah diperjelas rumusannya tetpi subtansinya tetap.19

Untuk melihat dampak merugukan akibat dari korupsi dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikemukakan, ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perubahn korupsi telah menimbulkan kerugian Negara yang sangat besar yang       

19


(41)

pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.

Dengan penjelasan yang ada pada undang-undang tindak pidana korupsi dan dikaitkan banyaknya perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan merugikan keuangan perekonomian Negara serta pelaksanaan pembangunan nasional yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.

Tindak pidana korupsi adanya suatu kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang bersangkutan yang merugikan perekonomian Negara. Dalam kenyataan banyak perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan Negara.

Telah disinggung sistem kepegawaian yang tidak sehat, yang menyangkut fungsi para pegawai sebagai “the man behind gun” yang kurang wajar. Akibat dari pola nepotisme terjadilah banyak kepincangan dan peristiwa ‘overbelast’, kebanyakan jumlah pegawai. Adaministarsi Negara tidak efisien, dan budget untuk gaji pegawai tidak memadai lagi.20 Dengan begitu administarsi jadi

semerawut dan menjadi sumber kongkanglikong, banyak terjadi penggelapan yang merupakan tindak pidana korupsi.

Departemen-departemen berjumlah cukup besar dengan bermacam-macam jawatan, board, institute, lembaga-lembaga, komisi-komisi, team-team dan dinas-dinas dibawahnya oleh karena tidak ada koordinas-dinasi.

      

20


(42)

Sebagai suatu kejahatan, korupsi mesti diganjal dengan hukuman pidana berupa penjara, kurungan, denda, hukuman administrasi dan hukuman tambahan lainnya. Dari segi ini, hukuman kepada pelaku kejahatan tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan hukuman bagi pelaku kejahatan biasa/konvensional.

Akan tetapi, khusus untuk kejahatan bagi para pelaku tindak pidana korupsi diperlukan keberanian dalam pengungkapan kasusnya artinya, faktor penggerak terjadinya korupsi tersebut mesti dimusnahkan terlebih dahulu untuk mencegah terulangnya kejahatan yang sama, baik oleh pelaku yang sama atau pun pelaku yang lain lagi.

Ada beberapa demikian yuridis agar suatu sanksi terhadap pelaku kejahatan dapat berjalan dengan efektif dan mempunyai efek mencegah terjadi lagi kejahatan. Misalnya pendapat sebagai berikut:21

1. Pelaku kejahatan dipermukaan di depan umum

Hukuman ini sangat efektif, karena bagaimanapun, seorang koruptur tidak mau dipermalukan di depan umum, karena itu pihak eksekutif tersebut harus diusahakan untuk dibawa kedepan pengadilan, dimana sidang-sidang akan terbuka untuk umum dan disorot oleh pers.

2. Eksekutifnya dikucilkan

Pejabat yang dinyatakan bersalah sebaiknya dikucilkan dari bisnis yang bersangkutan. Jika dia merupakan eksekutif dari suatu lembaga Negara ataupun       

21

Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, bandung,2004. Hal.185.


(43)

perbankan, dia mesti dilarang jadi eksekutif dari lembaga Negara atau perbankan. Dengan perkataan lain. Dia diamsusikan dalam daftar orang tercela.

C. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah besar yang selalu menjadi keprihatinan masyarakat. Tidak hanya menjadi keprihatinan dunia internasional. Dalam Resolusi tentang “Corruption in government” yang diterima kongres PBB ke 8 mengenai “The Prevention of Crime Treatment of Offenders” di Havana (Cuba0 Tahun1990, antara lain dinyatakan, bahwa:22

a. Korupsi dikalangan pejabat public “corrupt activities of public official” :

- Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semau jenis program pemerintah “can destroy the potential effectiveness of all types of governmental programmes”.

- Dapat menganggu/menghambat pembangunan “hinder development”

dan

- Menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat

“victimize individual and groups”.

      

22

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana,


(44)

b. Ada keterkaitan erat antar korupsi dengan berbagi bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi, dan penyucian uang haram “money laundering”.

Mengingat berbagai pertimbangan lainnya, Resolusi tersebut menghimbau kepada Negara-negara anggota PBB untuk menetapkan strategi anti korupsi sebagai prioritas utama di dalam perencanaan pembangunan sosial ekonomi, dalam pertimbangan resolusi itu antara lain ditegaskan, bahwa korupsi merupakan masalah serius karena.23

- Dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat - Merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas

- Membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.

Memperhatikan pernyataan kongres PBB di atas, maka upaya atau kebijakan penanggulangan korupsi seyogianya merupakan bagian dari startegi kebijakan pembangunan sosial ekonomi dan kebijakan pembangunan nasional.24

Bertolak dari pendekatan integral yang demikian, maka masalah korupsi bukan semata-mata masalah hukum dan kebijakan penegakan hukum. Upaya penanggulangan korupsi lewat kebijakan perundang-undangan dan penegakan hukum pidana telah cukup lama dilakukan, namun tetap saja korupsi itu ada dan sulit diberantas. Hal ini disebabkan, masalah korupsi ini berakaitan erat dengan berbagai kompleksitas masalah lainnya, antara lain masalah mental/moral, masalah kebutuhan ekonomi dan struktur sistem budaya politik, masalah peluang       

23

Ibid. Hal.70 24


(45)

yamg ada di dalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan umum.

Memberantas korupsi yang sudah berurat berakar dalam sendi-sendi masyarakat kita, diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan masyarakat. Tanpa partisipasi dari rakyat dan dukungan mereka, segala usaha, undang-undang dan komisi-komisi akan terbentur pada kegagalan. Beberapa saran dikemukakan antara lain adalah :

1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tangung jawab guna melakukan partisipasi politik dan control sosial, dan tidak bersikap apatis acuh tak acuh. kontrol sosial baru bisa efektif, apabila bisa dilaksanakan oleh dewan-dewan perwakilan yang benar-benar representive dan otonomi, pada taraf desa sampai pada taraf pusat/nasional.

2. Menanamkan aspirasi nasional positif. Yaitu mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran serta pengabdian pada bangsa dan Negara, melalui sistem pendidikan formal, dan non formal dan pendidikan agama.

3. Para pemimpin dan pejabat memberikan tauladan baik, dengan mematuhi pola hidup sederhana, dan memiliki rasa tanggung jawab susila.

4. Adanya sanksi dan kekuatan menindak, memberantas dan menghukum tindak pidana korupsi. Tanpa kekauatan riil dan berani bertindak tegas semua undang-undang, team, komisi dan operasi menjadi mubazir, menjadi “penakut burung” belaka.


(46)

5. Reorganisasi dan rasionalisasi dan organisasi pemerintahan, melalui penyerdehanaan jumlah departemen beserta jawatan-jawatan sebawahannya. Adanya koordinasi antar departemen yang lebih baik, disertai sistem kontrol yang teratur terhadap administarsi pemerintah, baik dipusat maupun didaerah.

6. Adanya sistem penerimaan pegawai berdasarkan prinsip “achievenment”

atau keterampilan teknis dan bukan berdasarkan norma “ascription”,

sehingga memberikan kekuasaan bagi berkembangya neportisme. Hendaknya dilakukan pemecatan terhadap pegawai yang melakukan korupsi, dan bukan hanya melakukan pemindahan atau mempromosikan mereka ketempat lain.

7. Adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai non politik, demi kelancaran administrasi pemerintah. Ditunjang oleh gaji yang memadai bagi para pegawai dan adanya jaminan masa tua, sehingga berkuranglah kecenderungan untuk melakukan korupsi.

8. Menciptakan aparatur yang jujur. Kompleksitas hierakhi administrasi harus disertai displin kerja yang tinggi. Sedangkan jabatan dan kekuatan didistribusikan melalui norma-norma teknis.

9. Sistem budget dikelola oleh pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien. Menyelenggarakan sistem pemungutan bea cukai yang efektif dan survise yang ketat, baik dipusat maupun didaerah.


(47)

10.Heregistrasi atau pencatatan ulang kekayaan perseorangan yang menyolok, dengan pengenaan pajak yang tinggi. Kekayaan yang statusnya tidak jelas dan diduga menjadi hasil korupsi.

Ringkasnya, tindak korupsi itu merupakan tindak pidana yang sangat merugikan bangsa dan Negara, dan menjadi hambatan utama dalam pembangunan. Walupun demikian korupsi juga mempunyai fungsi yang positif yaitu :

1. Mencegah meluasnya ketidak puasan karena adanya distribusi kekuasaan dan kekayaan yang tidak merata.

2. Sekaligus juga menjadi pengaman bagi munculnya revolusi sosial, khususnya mencegah keresahan dan revolusi di daerah urban.

Salah satu tugas Negara adalah menghadapi bahaya-bahaya subversi dan ancaman dari luar dengan sarana angkatan bersenjata. Maka tugas lainnya yang teramat penting ialah mampu menyusun task force/kekuatan riil untuk menanggapi bahaya dari dalam ialah korupt.

D. Penanganan Tindak Pidana Korupsi

Pengungkapan tindak pidana korupsi harus diakui memang ruwet, maka penangananya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman yang benar-benar terhadap undang-undang No. 20 Tahun 2001. Syarat-syarat pada dakwaan tindak pidana korupsi adalah perumusan perbuatan waktu dan tempat yang dilakukan. Selain itu juga identitas terdakwa untuk dapat merumuskan surat dakwaan.


(48)

Penuntut umum harus benar-benar memahami kasus posisi agar dengan demikian, secara satu persatu dapat dipersatu dapat dirumuskan rentetan perbuatan terdakwa. Perbuatan terdakwa tersebut diformulasikan pada pasal-pasal yang didakwakan atau unsur-unsur pasal yang didakwakan. Barulah kemudian diteliti alat-alat bukti yang sah yang mendukung pembuktian unsur tindak pidana korupsi tersebut.

Menurut Laden Marpaung dalam Daniel Marshal yang menyatakan pada harian Berita Buana terbit pada hari Jumat 26 Juli 1991: “Kesulitan menjerat tersangka pelaku tindak pidana korupsi karena gagalnya Jaksa memberikan alat bukti yang bukti yang menyakinkan hakim, sering mengundang pendapat agar sitem pembuktian dalam perkara korupsi menggunakan sistem pembuktian yang terbalik.25

Seiring terjadinya, menurut opini umum, tersangka benar-benar melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan karena melihat keadaan perekonomiannya yang jauh diatas penghasilan resminya. Tapi karena tali temali korupsi sering begiru ruwet disamping pintarnya terdakwa menghilangkan jejak, jaksa tidak berhasil menyakinkan hakim akan tuduhannya.26

Pengungkapan tindak pidana korupsi harus diakui memang ruwet, maka penangananya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman yang benar-benar terhadap UU No. 20 Tahun 2001. Syarat-syarat dakwaan dalam tindak pidana korupsi adalah perumusan perbuatan, waktu dan tempat perbuatan       

25

Laden Marpaung.Op.Cit.,Hal. 162 26


(49)

dilakukan, selain itu juga identitas terdakwa. Untuk merumuskan surat dakwaan, penuntut umum harus benar-benar memahmi kasus posis dengan demikian, secara satu persatu dapat dirumuskan rentetan perbuatan terdakwa.

Perbuatan terdakwa tadi diformulasikan kepada pasal yang didakwakan atau unsur-unsur yang didakwakan. Barulah kemudian diteliti alat-alat bukti yang sah yang mendukung pembuktian unsur tindak pidana korupsi tersebut. Untuk memudahkan terlampir contoh materi ringkas (Matrik) yang kemungkinannya dapat digunakan untuk factor membantu agar jelas kelihatan unsur mana yang lemah pembuktiannya.

Penanganan tindak pidana korupsi selalu berasaskan “praduga tak bersalah” (presumption of innocence). Seiring oleh opini umum, sebagaimana yang ditulis oleh Daniel Marshall, bahwa karena keadaan Perekonomian seseorang jauh di atas penghasilan formal, masyarakat menilai yang bersangkutan koruptor. Hal yang demikian yang harus dicegah dan tidak boleh terjadi pada penanganan tindak pidana korupsi.

Penanganan tindak pidana korupsi memerlukan pemahaman tentang perbuatan-perbuatan terdakwa, pemahaman ini htidak hanya mencakup perbuatan terdakwa tetapi juga terhadap peraturan-peraturan terkait dengan perbuatn terdakwa tersebut misalnya pengelolaan keuangan dan atau proyek, harus memahami Kep. Pres No. 14 A Tahun 1980 jo Kep. Pres. No. 18 Tahun 1981 dan Kep. Pres. No. 29 Tahun 1984. Demikian juga masalah manipulasi tanah Negara, perlu memahami PERMENDAGRI No. 5 Tahun 1973.


(50)

BAB III

BENTUK-BENTUK KORUPSI PADA ERA MODERNISASI

A. Korupsi dan Modernisasi

Korupsi memang berlangsung pada semua lapisan masyarakat. Namun lapisan masyarakat yang tengah melaksanakan modernisasi, korupsi ini paling banyak terjadi. Biasanya, korupsi itu berbareng dengan pembangunan industri, perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, dan bersamaan pula dengan tampilnya klas-klas baru yang banyak mengajukan tuntutan-tuntutan baru pada pihak pemerintah. Korupsi merupakan salah satu kriterium dari tidak adanya institusionalisasi politik yang efektif, dan dari kurang berfungsinya sistem kontrol dan yudikatif. Banyak pegawai negeri dan pejabat tidak lagi mempunyai otonomi karena sudah terbelenggu oleh suapan dan sogokan, dan tidak mempunyai pertalian dengan rakyat yang harus diberi pelayanan sosial. Sebab mereka justru mengaitkan dengan sistem kelembagaannya dengan tuntutan eksternal yaitu pihak-pihak yang bersedia menyuap dan memberikan hadiah-hadiah.


(51)

Modernisasi yang didukung oleh pendidikan ikut mendorong peningkatan ambisi-ambisi sosial dan ambisi-ambisi materiil, dan memupuk nafsu-nafsu memiliki. Pemenuhan dorongan ambisi serta kebutuhan-kebutuhan baru itu dicapai orang baik dengan cara yang konvensional maupun yang tidak. Jadi yang mana menyuburkan mental-mental korupsi yaitu dengan menggunakan cara-cara pencapaian dan aturan-aturan yang dibuat sendiri. Kalau bisa menggunakan jalan-jalan meminta yang deviatif, menyimpang dari hukum dan norma umum.

Pola hidup sederhana dan jujur yang diagung-agungkan di masa lalu, pada periode modernisasi menjadi “bahan cemoohan” dan sindiran satiritis, sebaliknya cara hidup eliter, dengan konsumsi mewah dan pola “jet set”, menjadi modus tingkah laku. Apa yang dianggap sebagai asusila pada zaman “normal” dahulu, misalnya menerima sogokan, suapan, menggelapkan uang Negara, dan lain-lain pada zaman modern sekarang ini dianggap sebagai biasa, merupakan gejala sosial yang terjadi dimana-mana.

Orientasi pada uang dan harta kekayaan pada zaman modern sekarang, juga ambisi-ambisi perorangan dan interest-interest pribadi tampaknya berkembang subur dalam kondisi sosial yang “bebas” sekarang; bahkan tampaknya menjadi semakin liar tidak terkendali. Maka korupsi menjadi satu aspek dari kebudayaan masyarakat Indonesia yang tengah mengadakan usaha modernisasi.

Di lain pihak, kita memaknai gejala korupsi dari sudut pandang yang lain lagi, karena dapat atau tidaknya suatu tindakan dikatakan korupsi pada dasarnya sangat tergantung pada siapa yang mendefenisikannya dan diterapkan terhadap


(52)

siapa. Untuk kepentingan pribadi yang masuk dalam proses politik pada awalnya bukanlah masalah dalam birokrasi, karena hal semacam itu dapat diterima. Unsur tersebut dapat menjadi persoalan, ketika muncul sistem lain yang berbeda, atau ketika sistem yang baru diterapkan.

Dalam kasus birokrasi atau sistem politik di Indonesia, sistem yang lebih baru dipandang lebih baik kerena sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sebuah Negara. Oleh karena itu sistem inilah yang dijadikan acuan dan kriteria penilaian. Ketika segala sesuatu yang ada dalam sistem politik tradisional dilihat lewat kacamata yang berbeda, yang hampir sepenuhnya berlawanan, pada waktu itu pula hal-hal semula dianggap benar dan wajar lantas menjadi salah dan tidak wajar.

Salah satu basis dari perilaku korupsi adalah tidak adanya pembedaan yang tegas antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum dalam aturan nilai dan norma yang ada dalam suatu masyarakat. Berbagai sistem politik lokal tradisional di Indonesia memperlihatkan bahwa hal semacam itulah yang terdapat dalam sistem politik lokal tradisional di Indonesia. Meskipun secara formal, sistem lokal tradisional semacam itu tidak diakui, namun dibanyak tempat sistem tersebut masih banyak bertahan dan perangkat nilai yang ada di dalamnya masih tetap aktif dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam setiap masyarakat yang mengalami proses modernisasi dan perubahan-perubahan yang cepat, selalu muncul kelompok-kelompok sosial baru yang ingin berpartisipasi dalam bidang politik; namun mereka tidak mampu mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai dan prosedur politik yang ada. Mereka


(53)

justru ingin memuaskan ambisi-ambisi dan kepentingan pribadi. Disamping itu, lembaga-lembaga politik sering dijadikan ambisi pribadi, dan tidak jarang oleh tokoh-tokoh politik baru.

Dalam pemerintahan yang korupsi, mereka yang mendapatkan kekuasaan politik tertinggi memiliki kesempatan yang paling banyak untuk mendapatkan kekayaan paling banyak, maka korupsi berat berada di puncak, itu hampir selalu disebabkan oleh adanya kelembagaan politik yang sangat lemah. Kelembagaan semacam ini tidak mampu berdiri secara otonom, dan tidak mampu membebaskan diri dari macam-macam pengaruh penyogokan dan pembelian.

Sebaliknya, masyarakat-masyarakat yang sangat modern seperti yang terdapat di Amerika Serikat dan India (yang tengah memodernisir diri, dengan bantuan perlembagaan politik yang sangat kuat), pemimpin-pemimpin politik yang baru muncul bisa tersosialisasi dalam kode-kode nilai yang mengabdi pada kepentingan umum.

Dalam keadaan begini, tingkah laku korupt itu akan lebih banyak berlangsung pada tingkat hierarki birokrasi atau hierarki politik yang lebih bawahan (pada eselon-eselon lebih rendah). Pejabat-pejabat birokrasi pada tingkat rendah pada umumnya lebih cenderung untuk melakukan korupsi daripada pejabat-pejabat pada eselon atasan. Pejabat-pejabat regional dan lokal lebih korupt daripada pejabat tingkat nasional.

Kepemimpinan nasional tingkat teratas dan kabinet nasionalnya, pada umumnya bisa dinyatakan relative bebas dari praktek korupsi, ada Clean


(54)

Government. Sedangkan pejabat-pejabat kota dan lokal, pada umumnya sangat dalam bergelimang dalam tindak korupsi.

Korupsi itu merupakan produk daripada meluasnya partisipasi politik di kalangan masyarakat luas, berkat meningkatnya taraf pendidikan dan sistem informasi namun mereka tidak tersosialisir dalam lembaga-lembaga politik yang ada. Dengan kata lain apabila proses mobilitas vertikal ke atas dalam mesin politik dan birokrasi politik tidak mungkin berlangsung, maka akan terjadi banyak korupsi; sedang cara-cara inkonvensional serta inkonstitusional untuk usaha mobilitas vertikal, akan lebih merajalela.

Pengurangan jumlah korupsi dalam situasi sedemikian ini hanya bisa berlangsung dengan jalan reorganisasi, dan restrukturalisasi kekuatan-kekuatan sosial yang baru muncul dalam sistem politik tadi. Korupsi juga banyak berlangsung dalam masyarakat yang mengutamakan egoisme atau pementingan diri sendiri, yaitu kepentingan individual, keluarga, clan, kelompok, kliek, dan suku sendiri. Pada umumnya peristiwa sedemikian ini disebabkan oleh tidak adanya partai-partai politik yang efektif, contohnya di Negara Iran (zaman Syah Reza Pahlevi), Muang Thai dan Philipina dengan sistem kepartaian yang lemah maka korupsi demi kepentingan individual dan familiar berkembang dengan suburnya.

B. Praktek-Praktek Korupsi di Indonesia Korupsi Serta Latar Belakang Masyarakat


(55)

Sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga saat kemerdekaan, sebagian besar dari rakyat Indonesia adalah petani dan protelar tanpa harta benda. Maka di alam merdeka muncullah dorongan yang amat kuat di tengah masyarakat kita untuk menaikkan taraf kehidupan dan memperbaiki status sosial, khususnya terdapat di kalangan para pemimpin.

Sebagai hasil daripada proses pendidikan yang lebih baik di zaman kemerdekaan ini, muncullah aspirasi-aspirasi materiil, harapan dan ambisi-ambisi yang kuat untuk mengangkat diri. Muncullah kemudian garda pendobrak di alam Orde Baru, dengan harapan-harapan dan dorongan berprestasi yang kuat. Garda pendobrak tersebut memiliki emosi-emosi yang amat kuat untuk mengubah nasib hidup sendiri dan nasib bangsanya dengan cara-cara yang radikal.

Di tengah gejolak ambisi yang meluap-luap sedemikian itu tidak sedikit tokoh pemimpin yang dihinggapi obsesi (dorongan paksaan yang amat kuat) untuk cepat menjadi makmur dan lekas menjadi kaya. Dengan segala daya upaya orang berlomba menduduki kursi pimpinan yang “renes” atau “basah”, untuk cepat menjadi kaya dan makmur, dengan cara yang paling mudah dan bea yang paling murah. Sehingga berkembang pola konsumsi mewah dan pola hidup “jet-jet”, tingkah laku menyeleweng, korupsi dan tindak pidana. Korupsi sedemikian ini cepat berkembang, karena masa transisi itu mengandung banyak kelamahan di bidang hukum, sehingga memberikan banyak kesempatan bagi usaha-usaha penyelewengan dan perbuatan illegal. Setiap kesempatan, tiap jabatan dan fungsi formal, dipakai sebagai alat untuk memperkaya diri, maka deviasi situasional berkembang menjadi devisa endemis, ataupun deviasi sistematis.


(56)

Ditambah dengan masuknya arus kebudayaan “modern” di tanah air yang sangat menjunjung tinggi aspirasi materiil dan kebudayaan uang, kebahagiaan hidup dimulai dengan standard uang. Maka uang mendominir segala pertimbangan, uang menjadi moral kebenaran. Muncullah kemudian kelompok OKB atau orang kaya baru “nouveaux riches”. Muncullah pula satu society atau kelompok elite megah dengan kekayaan yang melimpah-limpah, sebagai hasil dari praktek-praktek koruptif.

Maka koruptor-koruptor yang kaya raya, politisi yang berani dan ceroboh pejabat-pejabat yang korupt baik yang sipil maupun yang berbaju uniform dan kaya raya, semua dipuja-puja dan dielu-elukan banyak orang. Tumpukan kekayaan dan kemewahan hidup tadi menjadi selendang penutup bagi praktek-praktek korupsinya.

Praktek-praktek korupsi dalam bentuk pemerasan dan intimidasi banyak dilakukan oleh pejabat dan penguasa setempat. Tidak jarang mereka itu menggunakan kekuatan senjata, “penodongan” tersebut terutama sekali ditujukan kepada usaha-usaha setengah legal, seperti perjudian dan pelacuran, perdagangan narkotika dan minuman keras, serta mperusahaan-perusahaan yang belum disyahkan. Baik kaum politisi, maupun polisi, para penegak hokum, pejabat sipil dan militer, tidak sedikit yang terlibat dalam praktek semacam ini. Kadang kala, mereka berfungsi sebagai dalang dibalik layar. Maka usaha-usaha tidak legal atau setengah legal dijadikan sumber untuk merauk kekayaan bagi oknum-oknum yang korupt itu.


(57)

Bank-bank gelap juga bisa menjadi sumber penghasilan bagi pejabat-pejabat lokal, dengan cara memberikan fasilitas pendiriannya. Bahkan juga memberikan pengamanan dan perlindungan fisik dengan imbalan bayaran uang, atau justru dengan jalan setengah pemerasan dan paksaan. Banyak pula bank-bank asing menjadi sumber penghasilan inkovensional, dengan dalih adanya keharusan member sumbangan kesejahteraan rakyat “fonds”, sehingga bank-bank tersebut bisa diperas pada waktu-waktu tertentu.

Penyuapan, penyogokan, pembelian dan barter, semua menjadi alat infiltrasi bagi klas-klas ekonomi baru yang tengah menanjak (kaum OKB) untuk member kekuasaan politik dan status sosial, agar mereka bisa digolongkan dalam klas elite. Maka kursi-kursi dan jabatan-jabatan dibidang legislative, eksekutif dan yudikatif ada kalanya diperjualbelikan atau dibarterkan dengan uang.

C. Korupsi Merupakan Iklim Yang Tidak Sehat

Korupsi itu berkembang parallel dengan pesatnya kemajuan-kemajuan di bidang ekonomi, usaha dan perdagangan. Kebutuhan-kebutuhan yang menanjak disektor transport, pertanian, dan irigasi, pendidikan dan kesejahteraan rakyat, pembangunan perumahan, industri-industri berat yang semuanya memerlukan budget milyaran dollar, memberikan kesempatan bagi kaum koruptor dan profiteer untuk ikut menangguk keuntungan dalam kesibukan pembangunan tersebut.

Kontrak-kontrak berhadiah dengan komisi-komisi tinggi, akan tetapi dengan prestasi kerja minim dan merupakan bentuk penipuan terselubung,


(58)

berlangsung dimana-mana. Hal ini merugikan Negara dan rakyat banyak namun menguntungkan sekali oknum-oknum dan golongan-golongan penguasa tertentu.

Izin pemberian kontrak dan lisensi-lisensi dengan bermacam-macam fasilitas dan pembebasan, banyak sekali diperdagangkan. Monopoli-monopoli dan privilege-privilege diberikan oleh pejabat-pejabat atau penguasa kepada para kontraktor, den gan imbalan bayaran uang dalam jumlah besar. Semua itu adalah penghasilan tambahan illegal yang dilegalkan.

Konsentrasi jumlah uang yang sangat besar di tangan beberapa orang atau sindikat perdagangan sering dipergunakan untuk menggoyahkan iman para pejabat/fungsionaris melalui praktek penyuapan. Bahkan tidak sedikit bisa dibeli dengan rupiah atau dolar. Sebagai contoh terdapat pengadministrasian secara hokum praktek-praktek prostitusi dan perjudian (casino, lotto, jack pot, dan black pot Tahun 1970, syatan paykiu dan koprok macao) di kota-kota besar. Juga terdapat perdagangan minuman keras dalam bentuk industri kecil setengah legal.

Semuanya menjadi sumber yang bisa dieksplotir oleh golongan tertentu, misalnya oleh okmun polisi, oknum angkatan bersenjata dan pejabat-pejabat lokal. Bahkan disamping pembayaran pajak-pajak bisaa, banyak pula merajalela pajak serta iuran-iuran liar diluar ketentuan resmi. Juga banyak intimidasi dan pemerasan dilakukan oleh “orang-orang dalam”, gerombolan-gerombolan pemuda


(59)

liar dan penjahat. Pemerasan bentuk ini dilakukan, baik terhadap rakyat biasa, maupun terhadap para pengusaha dan pedagang-pedagang.

Tindakan-tindakan penyelewengan di bidang politik dan ekonomi itu jelas menurunkan derajat moralitas politik dan moralitas business. Keduanya sama buruknya. Menurunnya kedua moralitas itu menambah berkembangnya praktek-praktek korupsi. Maka berlangsunglah rangkaian interrelasi diantara kekuatan-kekuatan politik-ekonomi-moralitas-korupsi dalam wujud lingkaran setan atau

vicios circle yang sulit dipecahkan.

Disamping itu, ada usaha-usaha untuk mengendalikan dan mengontrol perdagangan secara intensif oleh pemerintah dan pejabat-pejabat formal, sehingga ikhtiar ini menumbuhkan etatisme (ikut campurnya pihak pemerintah secara berlebih-lebihan). Peristiwa inilah justru menyuburkan praktek-praktek penyelundupan, penyuapan dan korupsi, yang didalangi oleh kaum koruptor, yaitu: pejabat-pejabat dan para penegak hukum yang korupt.

Jelaslah , bahwa relasi “akrab” antara sektor business dan pemerintah akrab namun sifatnya deviatif/menyimpang dalam periode modernisasi dan pembangunan dewasa ini, membuka banyak kesempatan bagi kaum koruptor untuk menangguk keuntungan pribadi.

Penanaman modal asing dan hadirnya pengusaha-pengusaha asing di tanah air juga ikut merangsang berkembangnya korupsi. Kekuasaan memberikan perizinan, fasilitas usaha monopoli ekonomi tertentu. Disamping itu juga membuka kesempatan bagi pejabat-pejabat eksekutif dan tokoh-tokoh politik kunci untuk berbuat korupt, dengan dalih berhak mendapatkan imbalan jasa dalam


(60)

bentuk jutaan rupih atau milyunan dollar. Maka para penanam modal dan pengusaha asing itu harus pandai-pandai mengikat pertalian/aliansi dengan para

“policy makers” dan “decision makers” baik yang lokal maupun yang ada di

Pusat. Lalu terbinalah dwi aliansi diantara bidang politik eksekutif dengan business, atas dasar kerjasama dan saling menguntungkan.

Di negara kita ini tampaknya lebih mudah bagi orang muda yang ambisius untuk menjadi tokoh politik terkemuka, atau menjadi Menteri dalam suatu Kabinet melalui jenjang-jenjang politik, daripada mendapatkan sukses di bidang usaha dan business. Sebabn ya ialah fungsi politik memberikan kesempatan luas untuk menduduki jabatan eksekutif. Dan jabatan inilah yang memberikan banyak fasilitas untuk beraliansi dengan tokoh-tokoh business, ataupun membuat macam-macam firma dan perusahaan sendiri.

Maka jalan paling singkat bagi pejabat-pejabat kunci untuk mendapatkan keuntungan pribadi ialah dengan jalan, mengadakan barter, memberikan lisensi dan fasilitas dengan keuntungan jutaan rupiah atau dollar. Jabatan-jabatan sedemikian inilah yang disebut dengan tempat-tempat basah dalam hierarki eksekutif.

Perkembangan sumber-sumber kekayaan dan keuatan yang baru itu memang memberikan banyak celah untuk berlangsungnya tindak korup, terutama korupsi materiil dari klas-klas sosial menengah dan tinggi namun jelas bagi kita, bahwa korupsi itu menjadi tanda-tanda pengukut bagi :

1. Tidak adanya perlembagaan politik yang efektif

2. Tidak adanya partisipasi politik dari sebagian besar rakyat Indonesia: khususnya rakyat miskin dan masyarakat di daerah pedesaan.


(61)

3. Tidak adanya badan hukum dan sanksi yang mempunyai kekuatan riil.27

Tampaknya tidak ada satu kekuatan atau otoritas di Negara kita ini yang mampu mengendalikan ambisi-ambisi materiil itu. Maka kekuasaan yang secara impliciat mencakup kekayaan dan kekuatan/force dapat berperan secara maksimal. Tidak jarang berlangsung peristiwa sebagai berikut : tokoh-tokoh politik itu secara informal merangkap menduduki fungsi-fungsi eksekutif dan yudikatif.

Asosiasi dengan ini, kekuasaan-kekuasaan penentuan anggaran, fungsi-fungsi ekonomis, pengadilan, administratif dan militer secara simultan dirangkap atau ada di tangan pribadi-pribadi tertentu. Jadi ada fungsi daripada fungsi-fungsi/multi-fungsi di tangan pejabat-pejabat tadi. Tokoh-tokoh penguasa sedemikian inilah yang mempunyai relasi akrab dengan modal-modal dan kekuatan-kekuatan asing. Dalam hal ini para penanam modal asing dan pengusaha-pengusaha asing itu secara “gallant” memberikan peluang bagi para pejabat untuk menjadi koruptor-koruptor potensial.

      

27


(62)

BAB IV

PERANAN DAN KEWENANGAN HAKIM DALAM MEMBERANTAS KORUPSI

A. Kewenangan Hakim Dalam Usahanya Memberantas Tindak Pidana

Korupsi Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2001

Kewenangan/kekuasaan merupakan suatu hak yang diberikan oleh undang-undang yang mana dibenarkan menurut peraturan yang ada. Semua tingkat pengadailan yang menurut wilayahnya dapat mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan kewenangan absolute yakni kekuasaan atribusi yang ada serta kekuasaan relatifnya yaitu ketentuan jenis pengadilan yang mana kesemuanya diatur dalam udang-undang.

Kewenangan pengadilan mengacu pada ketentuan peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 12 Ayat 1 yang mana terdapat dalam Undang-undang Peradilan umum. Hukum pidana merupakan ilmu yang berkembang mengikuti perkembangan zaman dan dibuat berdadarkan substabsial artinya hukum pidana adalah ilmu yang bersifat mengikuti perkembangan dengan perkataan lain sangat universal tetapi dapat juga secara


(63)

khusus. Dari sinilah muncul peran serta hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi tetapi belum begitu secara optimal dalam melakukan pemberantasan korupsi namun usaha yang dilakukan oleh para hakim dalam taraf peoptimalan usaha tersebut, dikarenakan Undang-undang yang ada mengenai tindak pidana korupsi telah ada dan memberikan kekuasaan/kewenangan bagi para hakim dalam memberantasnya.

Alat-alat bukti yang diajukan oleh para penggugat-penggugat dalam pengajuan gugatan di Pengadilan kehadapan Majelis Hakim yaitu :

1. Bukti 1 : satu unit CPU Pentium 166, 16 RAM; 2. Bukti 2 : satu buah monitor IBM 14 Inch; 3. Bukti 3 : satu pasang speaker;

4. Bukti 4 : satu buah meja computer 5. Bukti 5 : satu unit mouse computer

6. Bukti 6 : satu unit mouse digetech 3 tombol; 7. Bukti 7 : satu unit printer BJC

8. Bukti 8 : satu unit Digetezer Wacoom, Artz, A4;

9. Bukti 9 : satu buah kamera Cannon digital Powershot 350 10. Bukti 10 : satu buah VCD compo Sonny V-800

11. Bukti 11 : satu unit writer Mitshubishi Cdr-74 keyboard 104 keys; 12. Bukti 12 : satu buah lemari es Samsung SR 258, 2 pintu

Disinilah letak peranan penting alat bukti yang dibutuhkan untuk memperkuat dalil-dalil gugatan dari penggugat agar dapat dimenangkan olehnya. Dalam prakteknya sangat sulit mengakui surat gugatan sebagai suatu kebenaran


(64)

tetapi untuk mengulur dan memperlambat waktu seorang tergugat biasanya dengan cara berpura-pura ingin melakukan perdamaian dengan mengakui kebenaran permohonan gugatan atau lebih mudah lagi dengan tidak menghadiri sedang dan tidak mengirimkan kuasa khusus untuk perkara perdata tersebut.

Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam tingkat pertama telah melakukan bagian penting dalam setiap pengadilan dan proses peradilan yang mana kegunaannya sangat erat untuk terkuaknya suatu keberaran dari setiap perkara yang tengah disidangkan di pengadilan. Pemeriksaan merupakan serentetan pertanyaan yang dikemukakan oleh masing-masing kuasa hukum dari kedua pihak yang tengah menjalani proses peradilan di dalam sidang pengadilan.

Membuktikan adalah memberikan (memperlihatkan bukti), melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyatakan bahwa sesuatu benar telah terjadi mengenai perkara yang tengah disidangkan di pengadilan. Tujuan dari pembuktian ini dilakukan untuk menyelesaikan perkara tadi dengan mendengarkan keterangan dari masing-masing pihak yang bersengketa. Hal inilah yang yang dilakukan oleh hakim dalam memutuskan kasus tindak pidana korupsi yang diserahkan padanya.

Pada saat proses pemeriksaan disinilah para pihak diharuskan mengungkapkan kebenaran melalui bukti-bukti yang ada dengan dalil-dalil yang nyata. Dalam proses persidangan di pengadilan seorang hakim haruslah bahkan dituntut untuk bersifat teliti dalam mendengarkan kesaksian yang diutarakan oleh masing-masing saksi yang dihadirkan oleh kedua belah pihak yang bersengketa.


(1)

yang mengkorupsi uang Negara adalah melarat rakyat dan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah ini.

Usaha kebijakan pemberantasan korupsi untuk membuat para koruptor jera terhadap perbuatannya layaknya pemberian hukuman mati, penulis mengatakan pemberian hukuman mati karena para koruptor dengan perbuatan yang memperkaya diri sendiri telah membuat rakyat menjadi tersiksa dan sulitnya mencari pekerjaan yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran dan mematikan sumber pencarian mereka dengan peningkatan harga kebutuhan hidup, yang pada akhirnya akan membunuh generasi muda yang masih dalam pertumbuhan.

Permasalahannya sekarang sanggupkah penerapan hukum yang ada sekarang untuk memberantas korupsi guna menyelamatkan bangsa dan negara dan mengamankan uang rakyat dari para koruptor, serta mengembalikan uang rakyat yang telah dikorup oleh para pejabat negara. Inilah yang akan menjadi tugas berat dari para hakim yang ada dalam republik ini dalam menunjukkan loyalitas pengabdian kepada negara ini dan meminimkan anggapan masyarakat bahwa aparat penegak hukum adalah sebagian dari para koruptor.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Penjelasan mengenai uraian yang jadi pembahasan dan penelitian telah dipaparkan di bab terdahulu. Pada bagian akhir ini penulis mencoba menyimpulkan pembahasan dan penelitian dari bab-bab terdahulu khususnya

mengenai “PERANAN HAKIM DI PENGADILAN DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO.20 TAHUN 2001”

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dan dibahas penulis menarik kesimpulan atas Peranan Hakim dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu :

1. Bagi hakim dalam tugasnya sebagai pemegang kekuasaan kehakiman di lembaga peradilan masih bersandar kepada ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara formil dalam memutus suatu perkara, tetapi meskipun demikian pada kasus-kasus tertentu hakim harus melakukan penafsiran terhadap perbuatan-perbuatan keperdataan apabila jika ternyata


(3)

perihal keadilan yang sesungguhnya tidak ditemukan pengaturannya dalam ketentuan perundang-undangan.

2. Hukum dewasa ini sudah meninggalkan paham lama yang menempatkan hukum yang diciptakan oleh hakim di atas segala-galanya, kini melalui upaya penafsiran terhadap undang-undnag, hakim berwenang membuat hukum, sehingga tercipta keadilan yang material. Hakim tidak semata-mata menegakkan aturan formal tetapi juga menentukan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

B. S a r a n

1. Reorganisasi dan rasionalitas darin organisasi pemerintahan, melalui jumlah departemen beserta jawatan-jawatan sebawahnya. Adanya koordinasi antar departemen beserta jawatan-jawatn sebawahnya. Adanya koordinasi antar departeman yang lebih baik, disertai kontrol yang teratur terhadap administrasi pemerintah, baik dipusat maupun didaerah. Demi tercapainya tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum maka hendaknya para hakim dan pejabat di pengadilan di Indonesia hendaknya benar-benar melaksanakan azas-azas hukum acara perdata yang berlaku dan hendaknya aktif dalam hal mencari kebenaran dan keadilan itu yang selalu didambakan oleh rakyat dan masyarakat. 2. Selain bersandar kepada perundanga-undangan yang ada, hakim juga

dalam memutus perkara hendaknya dapat melihat perkembangan zaman


(4)

serta perkembangan masyarakat itu sendiri, sehingga kekakuan dalam memutus perkara tidak dialami.

Dalam kapasitas ini disarankan juga hendaknya hakim dapat menilai dan melakukan penafsiran hukum yang baik sehingga pengertian salah menerapkan hukum tidak terulang lagi dimasa-masa yang akan datang, seperti yang banyak yang ditemui dalam kasus-kasus yang dimintakan banding dan kasasi.

Menciptakan lembaga kehakiman yang jujur, kompleksitas hirarki administrasi harus disertai displin kerja yang tinggi, sedangkan jabatan dan kekuasaan seorang hakim didistribusikan melalui norma-norma teknis. Dengan adanya sistem penerimaan berdasarkan norma “achievement” atau keterampilan teknis dan bukan berdasarkan norma “ascription”, sehingga dapat menghilangkan keluasan bagi berkembangnya nepotisme. Hendaknya juga dilakukan pemecatan terhadap pegawai yang jelas melakukan korupsi, dan bukan hanya memindahkan atau mempromosikan mereka ketempat lain.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Andi Hamzah, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakkan Hukum Dan

Kebijakan Penangulangan Kejahatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

---,1998, Beberapa Aspek Kebijakan

Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Ismail Saleh, 1988, Ketertiban dan Pengawasan, Penerbit CV. Haji Masagung, Jakarta. 

Laden Marpaung,1992, tindak Pidana Korupsi Masalah dan

Pemecahannya, sinar Grafika, Jakarta.

Munir Fuady, 2004, 2004, Bisnis Kotor dan Anatomi Kejahatan

Kerah putih, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.

R. Wiyono, 1983, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, Bandung.


(6)

R. Soesilo, 1986, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta

Komentar-komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia, Bogor.

Himpunan Peraturan Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, 2005

Penerbit CV. Eko Jaya, Jakarta.

WA. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, 1981, Penerbit PT. Pembangunan Ghalia Indonesia.

Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta

Kriminologi, Penerbit PT> Aresco, Surabaya.

B. Koran

Jhonson BS Rajagukguk, “Reformasi Mentalitas Budaya Politik Menuju Pemberantasan Korupsi”, Sinar Indonesia Baru, Jumat 15 Juli 2005.

Majelis Hakim Tolak Eksepsi dan Penangguhan Penahanan Sussongko, Sinar Indonesia Baru, Rabu 12 Juli 2005.

Presiden Telah Setujui Periksa 57 Pejabat Negara Kasus Korupsi Rp 1-56 M, Sinar Indonesia Baru, Rabu 03 Agustus 2005.