Manfaat Penelitian Kerangka Teoritis I. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

hukum pidana penal policy dalam penanggulangan tindak pidana korupsi ini belum pernah ada dilakukan dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama Jadi penelitian ini merupakan hal yang baru dan dapat disebut “asli”, karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi yang sifatnya konstruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

E. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya kebijakan hukum pidana penal policy dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi di Indonesia. Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan masyarakat. Dengan pemahaman yang lebih luas tentang kebijakan hukum pidana penal policy dalam pemberantasan korupsi diharapkan penyelenggaraan negara dapat bersih dan bebas dari korupsi dimasa kini dan yang akan datang. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 F. Kerangka Teoritis F.I. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah Delik pidana atau Strafbarfeit berasal dari bahasa Belanda dan bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai tindak pidana. Untuk terjemahan itu dalam bahasa Indonesia, istilah tindak pidana mempunyai ragam pengertian dan istilah, antara lain perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan pidana. Perumusan tindak pidana, ialah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman. Tindak pidana, memuat unsur-unsur: Suatu perbuatan manusia, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dan perbuatan tersebut harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan itu. Korupsi berasal dari kata Corruptio atau Corruptus yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia Corruptio berarti penyogokan. 5 Korupsi secara harafiah berarti jahat atau busuk, 6 sedangkan A.I.N. Kramer ST. menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuap. 7 Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap. 5 S. Adiwinata, Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia, Jakarta: P.T. Intermasa, Cetakan I1997, Hal 30 6 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama,1997, Hal 149 7 A.I.N. Kramer ST, Kamus Kantong Inggris-Indonesia, Jakrta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Hal 62 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Gurnar Myrdal menyebutkan “to include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one accupies in the public life but also the activity of the bribers”. Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut serta kegiatan lainnya seperti penyogokan. 8 Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dsb untuk keuntungan pribadi atau orang lain. 9 Di Malaysia juga terdapat peraturan anti korupsi. Menurut Andi Hamzah disana tidak digunakan kata korupsi tetapi memakai istilah peraturan anti kekuasaan. Selain itu sering pula dipakai istilah resuah yang artinya sama dengan korupsi. 10 Lebih lanjut menurut Andi Hamzah, arti harfiah dari kata korupsi ialah, kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. 11 Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri, atau melanggar aturan-aturan 8 Gurnar Myrdal, New York, Pantheon: Asia Drama Volume II, 1968, Hal 973 9 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Hal 527 10 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT. Gramedia, 1984, Hal 19 11 Ibid., Hal 9 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. 12 Baharuddin Lopa dan Mohamad Yamin mengatakan pengertian korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. 13 Menurut Undang-undang No.3 Tahun 1971, pengertian korupsi tercantum di dalam pasal 1 yang berbunyi: Dihukum karena tindak pidana korupsi, ialah: 1.a. barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum yang secara langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. b. barang siapa dengan bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum, menyalahgunakan wewenang, kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara c. barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP 12 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, Hal 31 13 Mohamad Yamin dan Baharuddin Lopa, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No.3 Tahun 1971, Bandung: Alumni, 1987, Hal 6 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 d. barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau suatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan itu e. barang siapa tanpa alasan yang wajar, dan dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti tersebut pada pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada pihak yang berwajib. 2. barang siapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan tindakan- tindakan pidana tersebut dalam ayat 1 a,b,c,d,e, pasal ini. 14 Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh orang perorangan dan atau korporasi yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 15 14 Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 15 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 E. Ciri-ciri Khusus Tindak Pidana Korupsi Korupsi dimanapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam. Beberapa diantaranya antara lain sebagai berikut 16 : 1 Dalam Proyek pengadaan barang dan jasa. Proyek pengadaan barang dan jasa merupakan lahan yang sangat empuk untuk melakukan korupsi, karena biasanya mark up harga sangat mudah dilakukan dan sudah menjadi kebiasaan menaikkan harga beberapa kali lipat dari harga di pasaran; 2 Pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya tingkat pendidikan nya relatif tinggi. Oleh karena itu pelaku secara dini mampu menyembunyikan atau menutupi perbuatannya, serta menghilangkan barang bukti yang berkaitan dengan perbuatannya; 3 Perbuatan tindak pidana korupsi pada umumnya dilakukan oleh beberapa orang, baik secara bersama-sama maupun melalui perantaraan staf atau bawahan; 4 Perkara tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara; 5 Perkara korupsi umumnya terungkap setelah berselang waktu yang relatif lama, akibatnya sulit untuk mendapatkan alat bukti dan barang bukti; 6 Pelaku pada umumnya adalah atasanpimpinan dari saksi sehingga terkadang dalam persidangan saksi enggan memberikan kesaksian yang sebenarnya, saksi biasanya mengatakan tidak ingat lagi kejadiannya, apakah benar-benar lupa atau 16 Muljatno Sindhudarmoko, et al, Ekonomi Korupsi, Jakarta: Penerbit Pustaka Quantum, 2001, Hal 21 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 sengaja untuk membantu pelaku sebagai atasannya, bahkan dipersidangan sering kali saksi mencabut keterangannya yang pernah diberikan pada tahap penyidikan, apakah karena sudah dipengaruhi atau mendapat sesuatu imbalan atau bahkan tekananancaman, sehingga mengaburkan alat bukti atau melemahkan pembuktian. Di samping itu, pada saat persidangan saksi berhadapan langsung dengan atasannya, sehingga menimbulkan beban psikologis bagi saksi unutk mengatakan fakta yang sebenarnya di lapangan dalam memberikan keterangan; 7 Alat atau sarana dan prasarana serta modus opernadi yang dipergunakan bersifat canggih, misalnya melalui sarana multi media seperti komputer, internet, dan lain sebagainya; 8 Berbeda dengan tindak pidana umum, yang dirugikan adalah individu, sehingga korbannya cepat melaporkan kasusnya kepada aparat yang berwenang, sedangkan korban tindak pidana korupsi atau pihak yang dirugikan bukan perseorangan, melainkan negara. F. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi Perkembangan pembangunan khususnya disektor bidang ekonomi dan keuangan telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan perubahan dan peningkatan kesejahteraan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tatanan nilai di masyarakat, perubahan tatanan nilai tersebut diantaranya banyaknya sekelompok orang atau individu-individu yang menggunakan dan melakukan tindakan-tindakan penyimpangan berupa manipulasi data dan korupsi. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan eksport, peningkatan investasi melalui penanaman modal, kemudian Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 dibidang perbankan merupakan wadah-wadah yang sangat banyak ditemukan terjadinya perbuatan korupsi. Bahwa mengingat ciri-ciri khusus tindak pidana korupsi yang multi dimensi terkait dengan kompleksitas masalah lainnya, antara lain masalah sikap mentalmoral, masalah polasikap hidup dan budaya sosial, masalah kebutuhantuntutan ekonomi, dan struktursistem ekonomi, masalah lingkungan hidupsosial dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah strukturbudaya politik, masalah peluang yang ada didalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasiprosedur administrasi termasuk sistem pengawasan dibidang keuangan dan pelayanan publik. 17 Faktor-faktor yang berasal dari masa silam dan masih melekat pada masyarakat yang bersangkutan seperti solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah dianggap sebagai sebab korupsi yang lain. 18 Jadi kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas multidimensi, yaitu baik dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, kesenjangan sosial ekonomi, kelemahan birokrasiadministrasi, dan lain sebagainya. Secara singkat korupsi dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain: 1 Korupsi dapat terjadi karena faktor kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri. Kwik Kian Gie pernah mengatakan bahwa cikal bakal korupsi adalah 17 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT.Citra Aditya Bhakti, 1998, Hal 72 18 Syeid Hussain Alatas, Korupsi Sifat Sebab dan Fungsi, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1987, Hal 126 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 memberi kekuasaan kepada seseorang, tetapi pendapatan yang diberikan padanya hanya cukup untuk hidup satu atau dua minggu, jelas kekuasaannya dijual untuk mempertahankan hidup. Pada umumnya orang menghubungkan tumbuh suburnya korupsi dengan sebab yang paling gampang dihubungkan, misalnya kurangnya gaji, buruknya perekonomian, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen yang buruk. 2 Korupsi dapat terjadi karena kultur budaya. Korupsi karena kultur contohnya adalah budaya memberi hadiah sebagai ucapan terima kasih yang akhirnya sudah membudaya pada masyarakat Indonesia, sehingga mengakibatkan semakin suburnya tindak pidana korupsi di Indonesia. 3 Korupsi dapat terjadi karena buruknya manajemen, manajemen yang kurang baik akan menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat orang akan mudah melakukan penggelapan keuangan korupsi. 4 Korupsi juga dapat terjadi karena arus modernisasi, Korupsi lebih banyak dijumpai pada masyarakatnegara yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan arus ekonomi yang cepat. Modernisasi yang dapat menyuburkan korupsi, dibagi dalam tiga kategori, yaitu: a Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar masyarakat; b Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi, karena modernisasi membuka sumber kekayaan dan kekayaan baru, hubungan sumber ini dengan kehidupan politik Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 yaitu tidak diaturnya norma-norma yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan-golongan yang berpengaruh dalam masyarakat; c Modernisasi merangsang korupsi, karena perubahan-perubahan mengakibatkan bidang kegiatan sistem politik menjadi pangkal untuk memperbesar kekuasaan pemerintah dalam melipat gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh pemerintah. 5 Korupsi dapat terjadi karena faktor ekonomi Kondisi ekonomi yang buruk dan tidak stabil menyebabkan timbulnya kejahatan- kejahatan terutama kejahatan-kejahatan terhadap harta benda. Lebih jauh bahwa kondisi ekonomi yang buruk dapat berakibat fatal yaitu sebagai faktor lahirnya kemiskinan global, kemiskinan disini dalam artian suatu faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan sering menetralisir pengaruh penting dari pendidikan, akibat yang timbul dari kemiskinan ini banyak orang-orang berpendidikan yang tidak mempunyai moral dan tanggung jawab, sehingga dengan mudahnya melakukan perbuatan- perbuatan kriminal atau delik demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Selain faktor kemiskinan, faktor kesenjangan ekonomi juga menjadi faktor dan sumber terjadinya kejahatan yang dimotivasi oleh ketamakan. Pada masa ini orang melakukan korupsi bukan karena mempertahankan kehidupannya akan tetapi untuk mencukupi kelebihan materi dan kemewahan. Sebenarnya, penyebab terjadinya korupsi tidak dapat dipungkiri bahwa “kesempatan dan jabatankekuasaan” sebagai sumber utama dari korupsi. Semua orang yang mempunyai kedua faktor tersebut cenderung menyalahgunakan jabatan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 dan menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, dengan asumsi sifat “mumpung ismeaji mumpung”, seperti dikemukakan ilmuwan Inggris, Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolut power tends to corrupt absolutely”. 19 Salah satu penyebab korupsi ialah lemahnya integritas moral yang turut melemahkan disiplin dari aparatnya. Disamping itu lemahnya sistem juga merupakan salah satu penyebab, tidak dapat disangkal lemahnya mekanisme diberbagai sektor birokrasi dewasa ini, seperti dikeluhkan pengusaha kecil maupun pengusaha asing, karena masih banyaknya mata rantai yang harus mereka lalui untuk memperoleh suatu izin atau fasilitas kredit. Keadaan yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya suap menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu bentuk perbuatan korupsi, namun kelemahan sistem tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Ia adalah produk dari integritas moral, dan untuk memperbaiki sistem tergantung pada integritas moral, karena yang dapat berfikir perlunya diperbaiki sistem ialah yang bermoral. Orang yang tidak bermoral atau bermoral rendah meskipun tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukannya untuk melakukan penyelewengan. Pola perbuatan ini sudah menjadi salah satu gejala umum yang sulit diberantas, karena korupsi ini dilakukan dengan rapi. Selain itu umumnya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan tinggi, sehingga pemberantasannya sering menghadapi hambatan. 19 Abdul Fickar Hadjar, Pengadilan Asongan:Realitas Sosial dalam Perspektif Hukum, Jakarta: CV.Mitra Karya, 2001, Hal 127 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Di samping itu pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan negara serta partisipasi masyarakat yang lemah dalam menjalankan fungsi kontrol merupakan faktor penyebab meningkatnya korupsi di Indonesia. Faktor lain yang sering dianggap sebagai penyebab merebaknya korupsi adalah korupsi dianggap sudah membudaya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari. F.2. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Secara umum, pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy” atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid”, menurut Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood, dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisiean untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif. 20 David L. Sills menyatakan bahwa pengertian kebijakan policy adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan. 21 Dalam beberapa tulisan, ada pula yang menterjemahkan “policy” dengan kebijaksanaan, seperti Muhadjir Darwin menterjemahkan “publik policy analysis” karya William N. Dunn dengan “analisa kebijaksanaan publik”. 22 Solichin Abbdul 20 Sultan Zanti Arbi, dan Wayan Ardana, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Jakarta: CV.Rajawali Jakarta, 1997, Hal.63, yang terjemahan dari `The Design Of Sosial Policy` tulisan Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood. 21 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang: Disertasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994, Hal 63. 22 William N. Dunn, Analisa Kebijaksanaan Publik, Penyadur Muhadjir Darwin Yogyakarta: PT. Hadindita Graha Widia, 2000, Cet 6, Hal 37. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Wahab juga menggunakan istilah Kebijaksanaan untuk menterjemahkan istilah “policy”. Akan tetapi di dalam bukunya yang berjudul “Analisa Kebijaksanaan”, beliau juga memakai istilah kebijakan untuk menterjemahkan istilah “policy”. 23 Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 24 Selanjutnya Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang- undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Di samping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komperatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensip dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. 25 Barda Nawawi Arief mengemukakan pola hubungan antaral Penal Policy dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau mengemukakan bahwa, pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus digunakan dengan pendekatan integral dan ada 23 Solichin Abdul Wahab, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijaksanaan, Jakarta: Edisi Kedua, PT. Bumi Aksara, 1997, Hal 24. 24 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, Hal 23 25 Ibid, Hal 24 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 keseimbangan antara “penal” dan “non penal”. Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “ penal policy” atau “Penal Law Enforcement Policy” yang fungsionalisasi dan atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu : a Formulasi kebijakan legislatiflegislasi b Aplikasi kebijakan yudikatifyudicial 26 c Eksekusi kebijakan eksekutifadministrasi 27 Masih menurut Barda Nawawi Arif, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan hukum pidana merupakan tindakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana penal. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum law enforcement policy. 28 Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan penanggulangan kejahatan 26 Tahap Aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, yang dapat disebut juga dengan tahap kebijakan yudikatif, lihat Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, Hal 13 - 14 27 Tahap Eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana yang dapat disebut juga dengan tahap kebijakan eksekutif atau administrasi, lihat Muladi, Ibid 28 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai, Op Cit, Hal 29 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 politik kriminil dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” hukum pidana, maka kebijakan hukum pidana penal policy, khususnya pada tahap formulasikebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat undang- undang aparat legislatif, harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan “social-defence”. 29 F.3.Pidana Sanksi dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana Sanksi Didalam kehidupan masyarakat, seseorang atau sekelompok orang akan berhadapan dengan anggapan-anggapan perbuatan yang sedikit banyak mengikat mereka. Anggapan-anggapan itu memberi petunjuk tentang bagaimana seseorangmasyarakat harus berbuat atau tidak berbuat. Anggapan-anggapan itu lazim disebut norma atau kaidah. 30 Tiap masyarakat atau golongan menghendaki agar normanya dipatuhi. Kenyataan yang terjadi tidak semua orang bisa dan mau mematuhi norma tersebut, agar norma tersebut dipatuhi, masyarakat atau golongan itu membuatmenerapkan sanksi. 31 Sebagian dari norma adalah norma hukum. Norma hukum menjadi aturan apabila norma tersebut berbentuk suatu rumusan tertentu. Salah satu norma hukum 29 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, Op Cit, Hal 73 dan 74 30 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1991, Hal 13 31 Ibid, Hal 29 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 adalah norma pidana. Norma hukum pidana mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana dan mengatur tentang sanksi-sanksi yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam norma pidana tersebut. Sanksi dalam hukum pidana yang berupa pidana merupakan sanksi negatif dan hal inilah yang membedakan sanksi hukum pidana dengan sanksi bidang-bidang hukum lain. Istilah pidana sama dengan hukuman dalam arti sempit, yakni penghukuman dalam perkara pidana. Para sarjana mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pidana, diantaranya sebagai berikut: 32 1.Sudarto Yang dimakksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 2.Roeslan Saleh Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. 3. Ted Honderich Pidana adalah suatu pengenaan yang dijatuhkan oleh penguasa berupa kerugian atau penderitaan kepada pelaku tindak pidana. punishment is an authorities infliction of penalty something involving deprivation or distress on an offender for on offence 32 Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press, 2002, Hal 20 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 4.H.L.A. Hart Pidana harus: a. Mengandung penderitaan atau konsekwensi-konsekwensi lainnya yang tidak menyenangkan; b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana; c. Dikenakan berhubungan suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum; d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar. 5. Alf Ross Pidana adalah reaksi sosial yang: a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap aturan hukum; b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar; c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekwensi-konsekwensi lain yang tidak menyenangkan; d. Menyatakan pencelaan terhadap pelanggar. Dari beberapa definisi diatas dapat disebutkan unsur-unsur atau ciri-ciri yang terkandung dalam pidana yaitu: Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat tidak menyenangkan; 2. Pidana itu memang diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang 3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 33 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita, masalah tindakan ini penerapannya hanya dalam batas-batas tertentu saja yang terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang terutama terhadap anak-anak seperti yang diatur dalam pasal 45 KUHP dan terhadap orang-orang yang jiwanya tumbuh dengan tidak sempurna atau karena tergangu kejiwaannya sakit jiwa. Sanksi yang berupa tindakan ini bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan kepada yang bersangkutan, tetapi apabila tindakan itu masih menimbulkan penderitaan, hal tersebut bukanlah tujuan utama dari pengenaan pidanasanksi tersebut. Menurut Rose, perbedaan antara “punishment”dengan “treatment” didasarkan pada ada atau tidak nya unsur penderitaan. Herbert L.Packerr berpendapat bahwa perbedaan antara punishment dengan treatment haruslah dilihat dari tujuannya dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan 33 Ibid, Hal 31 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 perlakuan. 34 Jadi perbedaan itu bukanlah didasarkan pada derajat ketidak kenaan atau kekejaman. Menurut Packer, dasar pembenaran dari treatment ialah pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan mungkin menjadi baik. Jadi, tujuan utama dari treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang. Jelas bahwa tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masih menurut H.L packer, pembenarannya didasarkan pada dua tujuan yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah dan untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada sipelanggar. 35 Jadi, dalam hal pidana, perbuatan mempunyai hal yang besar dan merupakan syarat yang harus ada, untuk adanya punishment tersebut. Dengan demikian, punishment memperlakukan seseorang karena orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang salah, dengan tujuan untuk mencegah terulangnya perbuatan itu dan untuk menderitakan sipelaku. Berbeda halnya dengan punishment, treatment tidak memerlukan adanya hubungan dengan perbuatan. Salah satu contoh yang dikemukakan Packer adalah memasukkan seseorang penderita sakit jiwa kerumah sakit jiwa adalah merupakan treatment tetapi bila tindakan itu atas tuntutan keluarganya dengan alasan agar tidak mengganggu tanpa suatu harapan akan menjadi 34 Ibid, Hal 5 35 Ibid, Hal 6 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 baik, tindakan demikian adalah suatu punishment. Mengenai perbedaan pidana dengan tindakan ini, Sudarto mengemukakan bahwa pidana itu adalah pembalasan atas kesalahan sipembuat, sedangkan tindakan semata-mata dilakukan untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan sipelaku pidana. 36 Secara dogmatis dapat dikatakan bahwa pidana itu ditujukan pada orang yang mampu bertanggung jawab, sebab orang yang mampu bertanggung jawablah yang mempunyai kesalahan. Bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai kesalahan, oleh karena itu ia tidak dapat dipidana. Maka alternatif yang lain adalah tindakan. Dilihat secara empiris, memang pidana itu merupakan suatu penderitaan walaupun bukan merupakan suatu keharusan, hal ini disebabkan ada pidana tanpa penderitaan. Berdasarkan uraian diatas, terlihat adanya perkembangan sanksi dalam hukum pidana, yaitu berupa tindakan, ini berarti bahwa sanksi dalam hukum pidana makin dihumanisasikan terhadap pelaku tindak pidana, sementara pidana khususnya pidana perampasan kemerdekaan menjadi semakin tidak populer dan ketinggalan zaman. Jadi, sanksi yang merupakan tindakan serta rehabilitas narapidana menjadi semakin dianggap penting karena dianggap lebih manusiawi.

2. Aliran-aliran dalam ilmu Hukum Pidana