Pembebanan Pembuktian 1. Sistem Pembebanan Pembuktian Perkara Korupsi

BAB II PEMBEBANAN PEMBUKTIAN DALAM UU NO.31 TAHUN 1999

TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pembebanan Pembuktian A.1. Sistem Pembebanan Pembuktian Perkara Korupsi Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha untuk membuktikan seseuatu objek yang dibuktikan melalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan cara- cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu benar-benar terbukti menunjukkan kesalahan atau tidak. Sistem pembuktian mengacu pada ketentuan tentang standar-standar dalam hal membuktikan sesuatu in casu kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana yang didakwakan. Seperti dalam sistem negatif menurut undang-undang yang terbatas negatief wettelijk dalam pasal 183 KUHAP, standar bukti untuk menyatakan terbuktinya kesalahan terdakwa, ialah : 1. Harus ada atau berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; 2. Dari dua alat bukti itu hakim memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan terdakwa bersalah melakukannya. Sedangkan sistem pembebenan pembuktian mengacu pada pihak mana yang dibebani kewajiban membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan, juga mengenai standar pengukur untuk menemukan terbukti tidaknya pembuktian. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 47 Berpijak dari sistem pembuktian dan sistem pembebanan pembuktian tersebut diatas, maka kekhususan dalam hukum acara pidana korupsi lebih mengacu pada sistem pembebanan pembuktian burden of proof. Pada dasarnya, sistem pembuktiannya sama dengan memberlakukan pasal 183, kususnya bagi hakim dalam menilai alat-alat bukti. Standard yang harus diturut untuk menyatakan terbuktinya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan tetap terikat pada ketentuan pasal 183 KUHAP. Ini merupakan ketentuan asas pokok atau merupakan fondasi hukum pembuktian acara pidana, yang tidak dengan mudah disimpangi oleh hukum pembuktian acara pidana khusus. Jadi, sungguh berbeda dengan apa yang sering didengar, bahwa sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi telah menganut sistem terbalik. Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem pembebanannya yang menganut sistem terbalik walaupun sesungguhnya semi terbalik Di dalam sistem pembebanan pembuktian yang khusus dan lain dari pembuktian umum, disamping memuat ketentuan pihak mana jaksa penuntut umum atau terdakwa yang dibebani untuk membuktikan, memuat pula pelbagai ketentuan, antara lain: 1. Tentang tindak pidana atau dalam hal mana berlakunya beban pembuktian pada jaksa penuntut umum atau penasihat hukum atau kedua-duanya. Misalnya, beban pembuktian pada jaksa penuntut umum atau terdakwa dalam hal korupsi suap menerima gratifikasi, jika nilainya Rp 10 juta atau lebih ada Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 pada terdakwa, dan bila kurang dari Rp 10 juta beban pembuktiannya ada pada jaksa penuntut umum pasal 12 B 2. Tentang untuk kepentingan apa beban pembuktian itu diberikan pada satu pihak. Seperti pada sistem terbalik, untuk membuktikan mengenai harta benda yang belum didakwakan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta benda tersebut bukan dari hasil korupsi, ditujukan untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana perampasan barang harta benda yang belum didakwakan pasal 38 B. Berhasil atau tidaknya bergantung kepada terdakwa dalam membuktikan tentang sumber harta benda yang belum didakwakan tersebut. 3. Walaupun hanya sedikit, hukum pembuktian khusus korupsi juga memuat tentang cara membuktikan, seperti pada sistem pembuktian semi terbalik mengenai harta benda yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara korupsi yang didakwakan. Beban pembuktian menurut pasal ini dibebankan kepada terdakwa, dilakukan terdakwa dengan cara membuktikan bahwa kekayaannya, kekayaan isteri atau suami atau anaknya dll yang sesuai dengan sumber penghasilannya atau sumber tambahan kekayaan itu pasal 37 A ayat 2, atau dalam hal terdakwa membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah bukan dari hasil korupsi, yang dilakukannya dalam pembelaannya pasal 38 B ayat 4. 4. Tentang akibat hukum dari apa yang diperoleh dari hasil pembuktian pihak- pihak yang dibebani pembuktian, seperti hakim akan menyatakan dakwaan tidak terbukti, dalam hal terdakwa dapat membuktikan tidak melakukan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 tindak pidana korupsi dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik pasal 37 ayat 2. Tentunya di ikuti dengan amar pembebasan vrijspraak terdakwa, atau dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda yang belum didakwakan bukan hasil dari korupsi, akibat hukumnya harta benda tersebut dianggap hasil korupsi dan hakim akan memutus barang tersebut dirampas untuk negara pasal 38 B ayat 2. Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam perkara korupsi terdapat dalam: 1 Pasal 12 B ayat 1 huruf a dan b; 2 Pasal 37; 3 Pasal 37 A; 4 Pasal 38 B. Apabila ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas dicermati, maka dapat disimpulkan bahwa hukum pidana korupsi tentang pembuktian membedakan antara tiga sistem. Pertama sistem terbalik, kedua sistem biasa seperti KUHAP, kewajiban pembuktian ada pada JPU dengan prinsip: negatif berdasarkan UU yang terbatas, dan ketiga semi terbalik atau biasa juga disebut sistem berimbang terbalik Sistem terbalik, maksudnya beban pembuktian sepenuhnya berada dipihak terdakwa, untuk membuktikan dirinya tidak melakukan korupsi. Dalam perkara korupsi suap menerima gratifikasi pasal 12 B yang nilainya diatas Rp 10 juta, terdakwa dianggap bersalah. Oleh karena itu, terdakwa wajib membuktikan dirinya tidak bersalah. Jadi, sistem terbalik ini adalah kebalikan dari asas presumption of innocence. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Sistem terbalik hanya berlaku pada: Pertama, tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya diatas Rp 10 juta pasal 12 B ayat 1 huruf adalah, dan kedua, terhadap harta benda yang belum didakwakan tetapi diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi pasal 38 B. Sistem semi terbalik atau berimbang terbalik, maksudnya beban pembuktian diletakkan baik pada terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara berimbang mengenai hal objek pembuktian yang berbeda secara berlawanan pasal 37 A. Sistem biasa, maksudnya beban pembuktian untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukannya, sepenuhnya ada pada jaksa penuntut umum. Sistem ini digunakan untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukannya dalam hal tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta pasal 12 B ayat 1 huruf b. Apabila beban pembuktian yang diletakkan pada syarat nilai Rp 10 juta atau lebih atau kurang dari Rp 10 juta pada korupsi menerima suap gratifikasi, maka pembebanan pembuktian mengenai tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi ini dapat disebut juga dengan sistem pembebanan pembuktian berimbang bersyarat. Disebut berimbang, karena beban pembuktian itu diberikan pada jaksa penuntut umum atau terdakwa secara berimbang. Disebut dengan bersyarat, maksudnya ialah dalam hal perimbangan beban pembuktian kepada jaksa atau terdakwa adalah diletakkan pada syarat mengenai nilai korupsi suap menerima gratifikasi yang Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 diperoleh pegawai negeri si pembuat, apakah lebih atau kurang dari nilai Rp10 juta. 65 Menurut pengamatan peneliti Pemberlakuan pembuktian terbalik dalam UU No. 20 Tahun 2001 sesungguhnya hanya ditujukan terhadap pertambahan harta benda dan kekayaan yang dimiliki oleh terdakwa. Artinya langkah awal dalam mengusut dan membuktian bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum dan atau KPK bermuara pada ada tidaknya pertambahan harta benda dan kekayaan tersangka atau terdakwa, sedangkan untuk membuktikan perkara pokoknya, beban pembuktiannya sepenuhnya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum dan atau KPK. Hal sebagaimana tersebut diatas dapat dilihat dari bunyi pasal 37 A ayat 1 sampai dengan 3, dimana pasal tersebut menyatakan bahwa terdakwa dibebankan kewajiban pembuktian hanya terhadap adanya pertambahan harta yang dimilikinya, dan untuk membuktikan perkara pokoknya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum dan atau terdakwa pasal 37 A ayat 3 . Dari rumusan pasal-pasal yang menyangkut pembebanan pembuktian tersebut timbul beberapa pertanyaan yang akhirnya menjadi masalah dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi. Salah satu permasalahan yang muncul adalah, Apakah beban pembuktian perkara pokok berkaitan erat dan tidak berdiri sendiri dengan beban pembuktian pertambahan harta benda dan kekayaan terdakwa. Maksudnya ialah jika terdakwa 65 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2006, Hal 113 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 mampu membuktikan bahwa pertambahan harta bendanya bukan bersal dari korupsi, sementara disisi lain JPU dan atau KPK mampu membuktikan bahwa telah terjadi kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh terdakwa. Selanjutnya beban pembuktian mana yang harus digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan putusannya, dalam hal ini pasal-pasal yang menyangkut beban pembuktian yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001 ini tidak mengaturnya. Pembebanan pembuktian terbalik terhadap pertambahan harta benda dan kekayaan tersangka dan atau terdakwa sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 37 A dan Pasal 38 B ayat 1 adalah sebuah hal yang tepat akan tetapi pengaturan ini harus disertai dengan pernyataan yang menyebutkan tentang kedudukan beban pembuktian mana yang lebih tinggi dan akhirnya yang dijadikan sebagai patokan dalam menjatuhkan putusan tentang bersalah tidaknya tersangka atau terdakwa. Sesungguhnya rumusan pasal-pasal yang menyangkut pembebanan pembuktian sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001 belum tepat perumusannya. Hal ini dibuktikan dengan tidak dianutnya Sistem pembebanan pembuktian terbalik secara penuh terhadap perkara pokok tindak pidana korupsi. Adapun perkara-perkara pokok yang dimaksud adalah sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 UU No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001. Disatu sisi pembuktian menyangkut perkara-perkara pokok sebagaimana yang dimaksud diatas adalah yang merupakan hal yang sangat sulit melakukannya, dan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 yang semestinya pembebanan pembuktiannya dibebankan kepada terdakwa. Hal ini tentunya diakui secara tegas oleh KPK. 66 Rumusan Pasal 38 A Menyatakan bahwa segala pembuktian yang menyangkut pembuktian terbalik dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Demikianlah juga terhadap pembebanan pembuktian terbalik terhadap perkara pokok ini, adalah sebuah keharusan untuk menerapkannya dalam persidangan pengadilan. A.2. Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik Merupakan Langkah Preventif dan Represif Salah satu masalah paling serius yang dihadapi oleh negara Republik Indonesia adalah bagaimana memberantas korupsi di Indonesia. Setiap penguasa baru pada awalnya selalu menjanjikan akan melakukan tindakan hukum yang tegas terhadap para koruptor. Umumnya janji tersebut tidak pernah dilaksanakan secara efektif. Namun janji-janji serupa yang dibuat oleh penguasa berikutnya, tetap disambut dengan suatu harapan bahwa janji tersebut dilaksanakan secara serius. Begitu pula ketika penguasa orde baru tumbang pada bulan Mei 1998, penguasa yang menggantikannya juga bertekad memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela semasa orde baru. 66 http:www.komisihukum.go.id , Komisi Hukum Nasional, Pembuktian Terbalik dalam Revisi UU Pemberantasan Korupsi, April , 2007 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang. Untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Istimewa tahun 1998, telah mengeluarkan Ketetapan Nomor XIMPR1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketetapan tersebut antara lain menyatakan upaya pemberantasan korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swastakonglomerat termasuk mantan Presiden Suharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia. Dan untuk mencegah praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, ditentukan pula bahwa seorang Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 yang menjabat suatu jabatan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara. Untuk melaksanakan kemauan politik dari MPR tersebut, Undang-Undang baru kemudian dibentuk yakni Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang disahkan tanggal 19 Mei 1999. Undang-Undang ini antara lain menentukan kewajiban setiap penyelenggara negara untuk: 1 Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya. 2 Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. 3 Melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. 4 Tidak melakukan KKN 5 Melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan. 6 Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela. Selain itu untuk memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi, maka Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi, mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan pemberantasan secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 merugikan keuangan negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Kembali mengenai langkah-langkah menghentikan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme akhir-akhir ini, khususnya korupsi dalam hal penyelesaiannya selalu terbentur pada masalah pembuktian. Permasalahan inilah yang hendak penulis kaji, kaitannya dengan efektif tidaknya sistem pembuktian terbalik yang tertuang dalam rancangan amandemen UU No. 31 Tahun 1999 dalam upaya menaggulangi masalah korupsi di Indonesia serta kendala-kendala yang ada didalam sistem pembuktian tersebut. 67 Beberapa perubahan penting yang termuat dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 antara lain : 1. Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang ini meliputi perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formal dan materiil. Dengan demikian pengertian melawan hukum dalam Undang-Undang ini mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. 2. Tindak pidana korupsi dirumuskan sebagai tindak pidana formil 3. Korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi. 4. Ditentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. 67 http:www.kimpraswil.go.id , AA Oka Mahendra, Pemberantasan Korupsi di Indonesia, 02022006 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 5. Pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. 6. Memperluas pengertian pegawai negeri termasuk orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menggunakan modal atau fasilitas dari Negara dan masyarakat. 7. Bagi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dibentuk Tim Gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung. 8. Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim, diberi kewenangan untuk meminta langsung keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada Bank dengan mengajukan permintaan kepada Gubernur Bank Indonesia. 9. Menerapkan asas pembuktian terbalik yang bersifat terbatas yakni dengan mengatur hak terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya termasuk harta benda isteri, suami, anak-anak atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara korupsi yang bersangkutan. 9. Masyarakat diberi kesempatan untuk berperan dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Salah satu hal terpenting dalam penanganan suatu perkara pidana ialah masalah pembuktian. Hal itu dikarenakan tindakan aparat penyidik maupun penuntut umum diarahkan kepada upaya pencarian alat-alat bukti yang berkaitan dengan apa yang dilakukan tersangka yang akhirnya harus dibuktikan oleh jaksa di depan sidang pengadilan. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Dalam UU No 31 Tahun 1999 dirumuskan mengenai pengertian yang menyatakan bahwasanya tindak pidana korupsi merupakan delik formil sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan pasal 16, selain itu dalam pasal 2 dan pasal 3, bukti bahwa UU ini menganut delik formil ialah dengan dicantumkannya kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur- unsur perbuatan bukan dengan timbulnya akibat kerugian negara atau perekonomian negara. Di samping itu pasal 4 UU No 31 Tahun 1999 menghapuskan keraguan selama ini dan ketidakpastian hukum serta kontroversi yang berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang selama ini menjadi alasan yang dapat menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana korupsi, dalam pasal ini ditegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, ketentuan ini sungguh-sungguh akan menjadi tonggak penting dalam upaya pemberantasan korupsi di masa depan. Tinggal sejauh mana para pelaksana UU mampu menjadi alat efektif memberantas korupsi. Dengan demikian dalam memfungsikan suatu UU, faktor yang terpenting ialah manusia pelaksananya seperti dikatakan Prof Taverne: Berilah aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik. Dengan UU yang kurang baik sekali pun, hasil yang dicapai pasti akan lebih baik. Sejarah panjang pemberantasan korupsi di Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Indonesia telah dimulai sejak awal-awal kemerdekaan, namun dalam kenyataannya korupsi itu semakin menjadi-jadi. Berbagai ungkapan dilontarkan untuk menggambarkan peningkatan korupsi itu, antara lain dikatakan “kalau dulu korupsi hanya di bawah meja, sekarang mejanya juga ikut dikorupsi”; Kalau dulu korupsi hanya dilakukan oleh jajaran eksekutif, pada masa sekarang kalangan legislatif juga ambil bagian. 68 Korupsi merupakan musuh bangsa, karena korupsi sumber kemiskinan massal dan memperlebar jurang antara kemiskinan dan kemakmuran rakyat. J.E. Sahetapy, Guru besar Hukum Pidana dari UNAIR menyatakan bahwa pengalaman selama ini memperlihatkan betapa korupsi adalah suatu binatang jalang yang sulit ditaklukkan. Mohammad Hatta beberapa dekade yang lalu benar kalau menguatirkan bila korupsi suatu waktu akan menjadi bagian dari budaya kita yang kini dipandang sebagai rancu itu. Berkorupsi seolah-olah dipandang sebagai suatu hal yang wajar. Adalah suatu realita bahwa seseorang yang berurusan dengan pelayan publik merasa tidak enak kalau tidak memberikan sesuatu. Berbagai ungkapan dijadikan alasan pembenar, seperti “ucapan terima kasih”. Akankah dalam hal ini terjadi dekriminalisasi suatu perbuatan yang dulunya dianggap kejahatan menjadi tidak jahat. 69 Proses penyempurnaan UU Pemberantasan Korupsi sungguh sangat diharapkan, khususnya yang menyangkut pembuktian dan sanksi. Alasan mengapa revisi dan penyempurnaan terhadap UU ini adalah merupakan keharusan karena hal 68 http:www.said – okezone.or.id, Mansur Kartayasa, UU Pemberantasan TP Korupsi dan Prospeknya 69 http:www.sindo.go.id, Maju Mundur Revisi UU Pemberantasan Korupsi Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 mengenai pembuktian dan sanksi yang terdapat dalam UU ini dirasakan tidak mampu mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi baik saat ini maupun pada masa- masa mendatang. Harapan masyarakat dan berbagai kalangan lainnya agar revisi itu mampu menetaskan konsep politik hukum dan politik penegakan hukum secara lebih konkrit dan tegas serta merumuskan pola pengendalian tindak pidana korupsi secara lebih komprehensif, efisien, dan efektif tidak terjadi. Hal lain yang mengharuskan revisi dan penyempurnaan harus dilakukan terhadap UU ini adalah perkembangan modus korupsi kian canggih, karena kejahatan korupsi tidak hanya suatu tindakan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara. Tetapi tindak pidana itu telah menjelajah dan merasuk makin dalam pada ruang-ruang pembuat kebijakan publik sehingga dapat terjadi immunitas, kekebalan hukum pada orang tertentu dan kecenderungan legalisasi tindak korupsi. Revisi dan Penyempurnaan UU Tindak Pidana Korupsi didefinisikan sebagai rangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi sesuai Pasal 1 angka 3 UU No 30 Tahun 2002. Di dalam revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut justru tidak dirumuskan sama sekali hal ihwal mengenai tindakan- tindakan pencegahan tindak pidana korupsi yang di dalam UNCAC 2003 justru dirumuskan secara lebih utuh. Hal penting lain yang seharusnya dikemukakan sebagai pijakan utama revisi UU tentang Pemberantasan Korupsi tidak terlihat jelas dan tegas, yaitu, menyangkut apa yang menjadi dasar dan tujuan keadilan yang hendak Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 diletakkan dan dicapai oleh revisi UU No 20 Tahun 2001 jo UU 311999 tentang Pemberantasan Korupsi. Apakah revisi UU akan tetap berpijak pada teori keadilan retributive yang berakar pada mazhab Kantianisme, seperti yang dapat dilihat pada rumusan Pasal 4 UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 311999 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan tindak pidana, sementara, politik penegakan hukum in concreto, pemerintah juga telah menerapkan kebijakan release and discharge bagi debitor yang mau mengembalikan pinjamannya pada batas waktu tertentu, khususnya pada kasus BLBI pada periode Presiden Megawati. 70 Begitu pun dengan sinyalemen diberikannya kebijakan karpet merah bagi debitor nakal yang ingin mengembalikan uang hasil curiannya juga pernah terjadi pada periode Presiden SBY. Perumusan pasal mengenai assets recovery berpijak pada teori keadilan pada mazhab utilitarian yang lebih menekankan manfaat dari suatu tujuan pemidanaan, bukan sekadar pembalasan sebagai suatu hukuman. Pendeknya dapat dikatakan, revisi UU Pemberantasan Tipikor telah gagal merumuskan pijakan dasar keadilan yang hendak digunakan sebagai politik penegakan hukum pemberantasan korupsi. Selama ini upaya untuk pemberantasan korupsi selalu mengandalkan keampuhan perundang-undangan yang dalam hal ini jelas-jelas merupakan produk politik. Betapa tidak, sejak pembahasan undang-undang Nomor 3 tahun 1971, 70 Ibid Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 keinginan untuk menggunakan sistem pembuktian terbalik omkering van bewijslast dalam Undang-undang korupsi selalu terhalang. Adakah dalam hal ini berlaku pepatah “tiba di perut dikempiskan dan tiba di mata dipincingkan”? Karena dalam pembuktian terbalik, terdakwalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, yakni dengan membuktikan bahwa apa yang diperoleh bukan dari korupsi. Sulitnya pembuktian selalu dirasakan dalam penanganan korupsi, jaksa yang tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa menyebabkan terdakwa harus dibebaskan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistematisasi pemberian dalam korupsi itu terbungkus sangat rapi sehingga sulit untuk dilacak, antara lain pemberian sejumlah uang selalu diberikan dalam bentuk fisik tunai, bukan dengan cara transfer, sebab dengan cara transfer mudah dilacak dari dan ke nomor rekening mana. Sejak kemerdekaan, Indonesia sudah memiliki sederet panjang peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang dapat digambarkan sebagai berikut: Pada awal-awal kemerdekaan, pemberantasan korupsi dilakukan dengan menggunakan pasal-pasal KUHP, kemudian dengan Peraturan Penguasa Militer No.PRTPM061957 tentang pemberantasan Korupsi, Peraturan Penguasa Militer No.PRTPM081957 tentang Penilikan Harta Benda, Peraturan Penguasa Militer No.PRTPM0111957 tentang Penyitaan dan Perampasan harta Benda yang asal mulanya diperoleh dengan perbuatan yang melawan hukum, Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.PRTPEPERPU0131958 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan perbuatan korupsi pidana dan penilikan harta benda, Undang-Undang No 24PNPS1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 tindak pidana korupsi, Undang-Undang No 3 Tahun 1971, Undang-undang No 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No 20 Tahun 2001. 71 Biasanya kelahiran undang-undang yang baru adalah sebagai koreksi terhadap undang-undang yang lama. Salah satu masalah yang mencuat ketika pembahasan Undang-Undang No 3 Tahun 1971 adalah masalah beban pembuktian yang diarahkan pada sistem pembebanan pembuktian terbalik. Pada akhirnya Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tidak mengenal sistem pembuktian terbalik itu dengan alasan pembuktian terbalik bertentangan dengan praduga tak bersalah. Masalah yang sama juga terjadi pada saat pembahasan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yang disebut sebagai undang-undang tindak pidana korupsi menganut sistem pembebanan pembuktian terbalik yang terbatas. Kemudian Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ini diperbaharui dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001. Di dalam undang-undang ini juga sistem pembebanan pembuktian terbalik terbatas hanya pada gratifikasi yang juga terdapat pembatasan jumlah yang dikorupsi baru dapat dilakukan pembuktian terbalik pembalikan beban pembuktian, yaitu kalau nilai gratifikasi Rp.10.000.000 sepuluh juta rupiah atau lebih. Gambaran di atas menunjukkan bahwa setiap pembahasan Undang-undang itu selalu dipertentangkan akan adanya keinginan dianutnya sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi. Walaupun ada kecenderungan ke arah pembuktian 71 httpwww.qanun-antikorupsi. Co.id, Moh Din SH MH, Qanun Anti Korupsi, Pengaturan Yang Bagaimana Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 terbalik, namun masih ada pembatasan, di satu sisi sistem pembuktian terbalik relatif ampuh dalam pemberantasan korupsi seperti yang dipraktikkan di Malaysia dan Cina. Problema pembuktian terbalik adalah dipertentangkannya sistem pembuktian ini dengan “asas praduga tak bersalah” presumstiont of innocent. Pengertian praduga tak bersalah adalah seorang yang disangka dan didakwa wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya yang tentunya dengan bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Jaksa Penuntut Umum lah yang harus membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan melimpahkan pembuktian kepada terdakwa dalam pembuktikan terbalik, maka sudah menganggap terdakwa bersalah. Dalam hal ini yang dianut bukan lagi asas praduga tak bersalah presumstion of innocent malainkan praduga bersalah presumstion of guilt. Dalam pembuktian terbalik terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah selayaknya jaksa harus membuktikan kesalahan terdakwa dalam sistem pembuktian biasa. Terdakwa yang didakwa karena ada persangkaan bahwa harta yang diperolehnya dari ketidakwajaran, harus membuktikan bahwa yang diperolehnya itu dengan cara yang halal. konsekwensinya adalah kalau dia tidak dapat membuktikan, maka dia dinyatakan korupsi. Kalaulah Sistem pembuktian terbalik dianggap bertentangan dengan praduga tak bersalah dijadikan suatu alasan untuk tidak sepenuhnya menganut sistem pembuktian terbalik itu, maka perlu diingat bahwa asas praduga tak bersalah bukan satu-satunya asas dalam hukum pidana. Masih banyak asas lainnya yang Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 memungkinkan asas itu dapat dikesampingkan dalam hal-hal tertentu, antara lain asas pengecualian dalam hukum dan asas lex specialis de rogat lex generalis. Adanya ketentuan perundang-undangan yang khusus tentu menggambarkan adanya penyimpangan ketentuan dari yang umum. Terlebih dalam hal korupsi yang sementara kalangan sudah menganggap sebagai extra ordinary crime. Melihat gejala korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, maka sebenarnya perlu kebijakan integral dalam penanggulangganya, dalam arti bukan hanya diarahkan kepada praktis operasionalnya saja, akan tetapi langkah awal yang harus diterapkan adalah legislasi, legislasi yang baik merupakan awal dari penerapan yang baik. karena perumusan ketentuan undang-undang yang dibentuk secara baik keadilan, kemanfaatan, dan kepastian tentu akan menjadi pijakan dasar atau landasan filosofis yang baik bagi praktis operasionalnya. Praktis operasional yang dimaksud ialah tindakan preventif dan represif harus ada didalamnya. Sebab kedua langkah dan tindakan tersebut akan menghasilkan penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari korupsi. A.3. Hal-Hal yang Mengharuskan Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik Harus Diterapkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi Banyaknya tindak korupsi yang dilakukan pejabat negara dan atau pegawai negeri pada birokrasi selama ini dan sebagian menjadi sorotan media publik dan dari sekian perkara yang dipublikasikan, ternyata hanya sedikit perkara tindak pidana Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK maupun Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu mengapa pihak berwenang sulit membuktikan tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan atau pegawai negeri. Kesulitan pembuktian tersebut juga diakui oleh pejabat KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean ketika Komisi III DPR mengkritik kinerjanya. Kinerja KPK dinilai mengendur dalam tahun 2006 karena pemberantasan korupsi tidak sehebat di tahun 2005 lalu Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersi- fat lintas batas teritorial transnasional, disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006. 72 Ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan bersi- fat transnasional karena pertama, modus operandi korupsi te1ah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-- negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi, bahkan seorang Presiden seperti di Filipina dan Nigeria dan beberapa 72 http:www.sindo.go.id, Op Cit Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 negara Afrika lainnya. Kasus terbaru menyangkut mantan Perdana Menteri Thaksin di Thailand. Alasan kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam alias merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi. Alasan ketiga pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi adalah karena didalam sistem birokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrument hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat, korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antar negara atau hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Hal ini disebabkan sangat banyak bukti bahwa aset hasil korupsi ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya seperti, Kepulauan Caymand, Swiss, Austria, dan beberapa negara di Asia dan Afrika. Kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan asset hasil korupsi didukung oleh teknlogi informasi modern telah diakui sangat menyulitkan pemberantasan korupsi hampir di semua negara terutama dalam proses pembuktiannya. 73 Perkembangan praktik tersebut di beberapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah presumption of innocence, akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses 73 http:www.portalhukum.com , Romli Atmasasmita Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 pembuktian kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian negatif” tidak mudah diterapkan. Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia logika hukum memang ti- dak terbatas, sehingga muncullah alternatif asas pembuktian baru yang justru berasal dari penelitian negara maju dan dipandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif dalam membuka secara luas akses pembuktian asal usul harta kekayaan yang diduga di- peroleh karena korupsi. Alternatif sistem pembebanan pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di negara maju adalah, teori keseimbangan kemungkinan pembuktian balanced probability of principles, yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembebanan pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar. UU Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12 B dan UU Nomor 15 Tahun 2002 Pasal 37 telah memuat ketentuan mengenai sistem pembebanan pembuktian terbalik reversal burden of proof atau onus of. Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembebanan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangkaterdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pembebanan pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik. Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan mengenai pembebanan pembuktian terbalik Pasal 31 ayat 8 dalam konteks proses pembekuan freezing, perampasan seizure, dan penyitaan confiscation. Pascara- tifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pem- buktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan pe- nuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999. Yang terpenting dalam hukum pembuktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata keru- giannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karena nya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang diru- gikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberan- tasan korupsi. Senin 24 Juli 2006 Mahkamah Konstitusi MK mengeluarkan putusan menyangkut judicial review yang diajukan oleh Ir.Dawud Djatmiko, salah satu isi Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 putusan MK yakni menyatakan bahwa pembuktian dalam tipikor harus dengan menggunakan delik formil. Konsekwensi dari keputusan MK ini bagi KPK adalah KPK akan lebih sulit dalam upaya pembuktian. Keputusan MK menyimpulkan bahwa dalam pembuktian terhadap tindak pidana korupsi KPK harus menggunakan delik formil berupa peraturan perundang-undangan, dan bukan delik materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat sebagai suatu norma keadilan. MK berpendapat bahwa penggunaan hukum materiil merupakan ukuran yang tidak pasti. Keputusan MK ini sejalan dengan asas nullum delictum sine praevia lege poenali yang artinya, Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang- undangan pidana yang telah ada sebelumnya. Korupsi yang telah disadari sebagai extra ordinary crime yang berdampak secara multiplier terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, menuntut penindakan yang extra ordinary juga. Olehnya, kehadiran Pembuktian Terbalik secara mutlak penuh dalam sistem pembebanan pembuktian menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam upaya pemberantasan korupsi. 74 Pemberantasan korupsi harus dengan legalitas, artinya hukum formil satu- satunya ukuran yang dapat dikenakan pada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, alasannya adalah suatu kebenaran bahwa asas nullum delictum sine 74 http:www.transparansi.or.id , Fauziah Rasad, Pemberantasan Korupsi Bermula dan Berakhir Berdasar Legalitas, Agustus, 2006 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 praevia lege poenali ditujukan untuk menjamin kepastian hukum, dan didalam kepastian hukum tersebut dengan sendirinya terkandung rasa keadilan masyarakat. Adapun beberapa temuan penulis dalam legal opini ini, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mencetuskan sistem pembuktian terbalik omkering van bewijslast atau shifting burden of proof dalam kasus KKN secara selektif. Bahwa dalam sistem pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap presumption of innocence dan non self incrimination dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam sistem pembuktian terbalik yang bersifat berimbang dan menyeluruh ini akan tertuang dalam Rancangan Amandemen Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan sistem pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan korupsi sebab masih ada kelemahan di dalamnya yaitu Pembuktian terbalik juga bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, walaupun peraturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara professional hal tersebut dapat timbul. Di tunjang dengan kurangnya bukti atau kurang kuatnya bukti yang ada Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 maka akan dapat memudahkan terdakwa lepas dari jerat hukum. Disamping adanya kelemahan-kelemahan tersebut kekurangan efektifan dari sistem pembuktian terbalik ini juga di karenakan adanya kendala-kendala yang ada dalam sistem pembuktian terbalik tersebut, seringkali dimanfaatkan terdakwa untuk menyatakan bahwa ia tidak bersalah melakukan korupsi, kurangnya ahli untuk mengusut kasus korupsi, masih banyaknya jumlah hakim dan jaksa yang tidak bersih, kurangnya peran serta masyarakat. Dengan demikian, masalah pembuktian memang sangat penting dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Untuk itu penulis menganggap bahwa masalah pembutian ini benar-benar harus dilakukan secara cermat selain itu yang harus juga diperhatikan adalah perlunya perbaikan-perbaikan dalam upaya penanggulangan korupsi. Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas dan dapat mengganggu pembangunan serta menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang maka untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan Undang-undang ini juga mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya sesuai dengan pasal 28 dan Pasal 37 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Presiden Abdurrahman Wahid akhir Maret lalu menunjukkan sikap yang lebih nyata untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme KKN. Di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Presiden menawarkan pemberlakuan asas pembuktian terbalik. Dengan pembuktian terbalik, seorang tersangka kasus korupsi atau peredaran narkotika harus mampu membuktikan asal kekayaannya. Kalau tidak bisa, dia langsung dinyatakan bersalah dan bisa dikenai sanksi. Praktisi hukum Frans Hendra Winarta mengakui, sistem pembuktian terbalik omkering van de bewijslast merupakan cara yang jitu untuk mematikan pelaku korupsi. Dalam pembuktian terbalik, orang yang dituduh melakukan tindak pidana itulah yang harus membuktikan di depan pengadilan, bahwa ia tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian biasa, di mana jaksa yang harus membuktikan seseorang bersalah atau tidak dalam hal terjadi tindak pidana, ungkap anggota Tim Persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Antikorupsi itu, pada lokakarya Antikorupsi di Jakarta, akhir Maret lalu. Walaupun demikian, Frans mengakui, tak sedikit ahli hukum yang menentang penerapan asas pembuktian terbalik ini karena dianggap melanggar hak asasi manusia HAM. Akan tetapi, karena korupsi sudah mengakar dalam masyarakat dan bisa merusak kehidupan berbangsa, tak ada jalan lain pembuktian terbalik harus diterapkan. Apalagi sudah banyak negara yang berhasil menekan korupsi dengan menggunakan asas pembuktian terbalik. 75 75 http:www.kompas.com , Tri Agung Kristanto, Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 311999. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Pembuktian terbalik sebenarnya bukanlah hal yang baru di negeri ini. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun UU Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, secara tegas mengatur penerapan asas pembuktian terbalik itu walaupun berbeda alasan yang mendasarinya dan penerapannya pada persidangan. Misalnya penerapan asas pembuktian terbalik dalam UU Nomor 81999, adalah sebab konsumen tidak mengetahui bahan untuk proses produksi dan ketentuan distribusi yang dilakukan produsen. Konsumen perlu dilindungi, kalau dirugikan oleh produsen. Di pengadilan produsen yang harus membuktikan bahwa bahan produksi dan proses distribusi yang dilakukannya tak akan merugikan konsumen. Kalau produsen bisa membuktikan dirinya tidak mencurangi konsumen, dia bisa terbebas dari tuntutan ganti rugi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU Antikorupsi yang kini berlaku pun memberikan tempat pada asas pembuktian terbalik itu. Namun, penerapannya masih amat terbatas. Keterbatasan itu karena jaksa juga masih berkewajiban membuktikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa, sekalipun dia terdakwa telah gagal menjelaskan asal kekayaannya. Secara jelas, ini disebut dalam Pasal 37 Ayat 1 UU Nomor 31 1999, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Kalau dia dapat membuktikan asal kekayaanya maka keterangan tersebut dapat menjadi hal yang meringankannya. Akan tetapi, Ayat 4 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 menyebutkan, dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik pun secara tak langsung dimungkinkan dalam Ketetapan Tap Nomor XIMPR1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN, dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang hal yang sama. Pada kedua perundangan itu, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya, baik sebelum, selama, dan sesudah menjabat. Laporan kekayaan pejabat ini sebenarnya bisa menjadi jendela untuk melihat, apakah seorang pejabat memiliki kekayaan melebihi penghasilannya. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 pun memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara KPKPN. Masyarakat pun bisa berperan mengawasi, sebab kekayaan pejabat akan diumumkan. Sayang, ini pun belum bisa berjalan sesuai harapan. Harus diakui, pembuktian terbalik yang terbatas itu, yang juga diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi-UU Antikorupsi lama dan digantikan UU Nomor 31 Tahun 1999, namun untuk kasus korupsi sebelum UU Antikorupsi baru berlaku tetap dipergunakan-tidak memuaskan banyak pihak. Korupsi tetap merajalela. Ini yang mendorong pemerintah berpaling Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 pada asas pembuktian terbalik. Sekalipun lontaran usul pembuktian terbalik dari Presiden ini dinilai bernuansa politis, karena disampaikan saat Dewan Perwakilan Rakyat sedang meneguhkan niat untuk mengeluarkan memorandum kedua. Seperti berteriak di dalam gua, usul penerapan asas pembuktian terbalik dari Presiden bergema di mana-mana. Seperti seragam, hampir tidak ada orang yang menyatakan keberatan dengan usulan itu. Kalangan Dewan yang biasanya berseberangan dengan Presiden pun satu suara, mendukung mewujudkan usulan tersebut. Artinya, memang banyak orang merasakan betapa korupsi atau narkotika sudah merongrong dan hampir meluluh-lantakkan negeri ini. Sebenarnya Fraksi Partai Persatuan Pembangunan F-PPP DPR pun sudah melangkah untuk mewujudkan ide penerapan asas pembuktian terbalik itu. Pada tanggal 23 Februari 2001, 40 anggota F-PPP sudah memberikan Rancangan Undang- Undang RUU tentang Pembentukan Komisi Antikorupsi kepada pimpinan DPR untuk dibahas, sehingga menjadi RUU inisiatif Dewan. Pasal 8 Ayat 1 draf RUU usul wakil rakyat itu menandaskan, dalam melakukan penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menerapkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pembuktian terbalik sepanjang terdapat petunjuk, tersangka patut diduga telah melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 28 UU Nomor 31 1999 mengemukakan, dalam penyidikan tersangka wajib menerangkan seluruh hartanya, harta istri atau suaminya, harta anak-anaknya, dan harta korporasi yang terkait dengan perkara itu. Dalam penjelasan draf RUU Komisi Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Antikorupsi usulan F-PPP DPR disebutkan, bila tersangka tak bisa menjelaskan asal kekayaannya, itu cukup untuk mendakwanya di pengadilan. 76 Perdebatan asas pembuktian terbalik memang tak lagi menyangkut perlu atau tidak perlu diterapkan di Indonesia. Hampir tak ada yang keberatan asas itu diberlakukan. Persoalannya adalah dengan bentuk perundangan yang bagaimana asas pembuktian terbalik tersebut akan diterapkan. Bahkan, masyarakat lebih berharap, asas pembuktian terbalik itu bisa diberlakukan surut, sehingga bisa menjerat pelaku korupsi di masa lalu pula. Pemberlakuan surut itu rasanya tidak akan terwujud. Sebab, akan bertentangan dengan asas hukum universal, yakni seseorang tidak bisa dipidana berdasarkan peraturan yang belum ada sebelumnya. Pasal 28i Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar UUD 1945 pun tegas menyatakan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Perdebatan mengenai pembuktian terbalik akhirnya mengarah pada sebuah persoalan, yakni bentuk aturan yang mewadahi asas itu, sehingga harapan masyarakat yang menginginkan pemberantasan KKN bisa lebih nyata dan tegas. 76 http:www.kompas.com , Tri Agung Kristanto, Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 311999. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Bulan November 2006, KPK mengusulkan perlunya ketentuan tentang pembuktian terbalik penanganan perkara korupsi dalam UU Pemberantasan Korupsi. Menurut KPK, dalam Pembuktian terbalik, yang melakukan pembuktian adalah terdakwa, Artinya, terdakwa harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Pernyataan tersebut mengingatkan kembali pada wacana pembuktian terbalik. Dimana sebelumnya pada Desember 2004, KPK meminta Pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang perpu tentang pembuktian terbalik. Menurut KPK, perpu ini dibutuhkan untuk mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi. 77 Kemudian pada bulan Desember 2005, KPK juga pernah mendesak pemerintah untuk segera membuat rancangan undang-undang pembuktian terbalik agar pemberantasan korupsi mengalami peningkatan. Pembuktian terbalik sebenarnya telah disebutkan didalam pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999. Di dalam bagian penjelasan umum, disebutkan bahwa pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. 77 http:www.komisihukum.go.id , Komisi Hukum Nasional, Pembuktian Terbalik dalam Revisi UU Pemberantasan Korupsi, April , 2007 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 Ketentuan dalam pasal 37 tersebut merupakan suatu penyimpangan dari pasal 66 KUHAP yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Juga merupakan penyimpangan dari pasal 14 ayat 3 huruf g kovenant internasional tentang hak-hak sipil dan politik, yang telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan international covenant on civil and political rights, yang menyebutkan “dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberi kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah”. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut, tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. 78 Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas sebagai mana tersebut diatas, hanya terjadi disidang pengadilan. Jika pembuktian terbalik diwajibkan pada saat berstatus sebagai tersangka, maka dikhawatirkan pembuktian terbalik itu dapat menjadi timbulnya permasalahan baru bagi penegakan hukum pemberantasan korupsi itu sendiri. Dapat saja terjadi, pembuktian terbalik tersebut disalah gunakan oleh penyidik. Penyidik dapat melakukan penyalahgunaan wewenang, dengan memeras seseorang yang telah menjadi tersangka yang diduga telah melakukan korupsi. Kekhawatiran itu selalu ada dalam wacana pembuktian terbalik sejak lama. J.E.Sahetapy mengatakan bahwa lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu, problematik beban pembuktian terbalik sudah menjadi wacana di dunia fakultas hukum: omkering van de bewijlast, begitulah problematik pembahasan pada waktu 78 Ibid Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 itu. Dirasakan dan dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang tidak jauh berbeda secara substansial dengan apa yang dirasakan dewasa ini. Masih menurut J.E.Sahetapy, pembuktian terbalik lebih layak hanya digunakan oleh hakim, dan sama sekali tidak boleh digunakan oleh penyidik. Hal itu karena pemeriksaan yang transparan hanya terdapat di persidangan pengadilan, terlepas dari praktik yang sudah tercemar dewasa ini di kepolisian dan atau kejaksaan, penerapan beban pembuktian terbalik dalam penyidikan itu dapat menjadikan pembuktian terbalik sebagai sarana pemerasan. 79 Meski demikian, yang menyetujui pembuktian terbalik terhadap tersangka perkara korupsi, beranggapan bahwa jika pembuktian terbalik dilaksanakan secara benar, maka dapat lebih mempercepat atau mengoptimalkan pemberantasan korupsi. Hal itu karena, jika tersangka perkara korupsi diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka bukti-bukti yang diajukannya dapat menjadi bahan bagi penyidik untuk menentukan apakah perkara dapat dilanjutkan pada tahap penuntutan di sidang pengadilan atau tidak. Jika dilanjutkan, bukti-bukti yang diajukan tersangka dapat menjadi bahan bagi jaksa penuntut umum untuk menguatkan dakwaan di sidang Pengadilan. Selain itu, pembuktian yang selama ini diakui, yaitu terdapat dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim, serta tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Berkaitan dengan sulitnya proses pembuktian perkara 79 Ibid Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 korupsi, oleh karena itu perlu ada langkah baru, salah satunya adalah menggunakan teori “keseimbangan kemungkinan pembuktian” balanced probability of principles, yaitu keseimbangan yang proporsional antara perlindungan individu dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Dengan demikian, atas dasar bahwa harta kekayaan diduga kuat berasal dari korupsi, maka tersangka dapat diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa Ia tidak bersalah. Pembuktian terbalik sebagai mana diuraikan diatas, masih dalam lingkup hukum acara pidana. Dalam perkara korupsi, dikenal pula pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen hukum perdata, dan hal ini telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001. Instrumen hukum perdata ini belum operasional, karena hukum acara perdata yang berlaku adalah hukum acara perdata biasa tanpa ada kekhususan. Pembuktian terbalik sebagai bagian hukum acara perdata khusus, perlu dipikirkan, agar tercapai efisiensi dan efektifitas dalam penangan perkara korupsi. Wacana mengenai pembuktian terbalik ini juga ikut disuarakan oleh komisi hukum nasional, tajuk mengenai wacana pembuktian terbalik ini dimunculkan melalui seminar yang bertajuk “Beban Pembuktian Terbalik dalam Penanganan Perkara korupsi. Permasalahan yang dibahas dalam seminar tersebut yaitu mengapa pembuktian terbalik yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 hanya diberlakukan terhadap tindak pidana korupsi suap menyuap saja, sementara kerugian keuangan negara yang paling banyak terjadi disebabkan oleh Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 tindak pidana korupsi penggelapan dan pencurian keuangan negara, sebuah hal yang memang patut untuk dijadikan pembahasan tentunya. 80 Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertema Beban Pembuktian Terbalik dalam Perkara Korupsi yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional di Jakarta. Pembicara yang hadir dalam diskusi itu adalah pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda, perwakilan dari KPK Rooseno, dan pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji.81 Indriyanto mengatakan, setelah ia mempelajari dari sejarah hukum di Indonesia dan juga negara Anglo Saxon, pembuktian terbalik tidak dikenal, kecuali delik suap. Sebab, suap merupakan kejahatan yang tersembunyi dan sulit untuk dibuktikan. Di Indonesia, pasal suap merupakan pasal impoten. Beberapa pakar hukum berusaha menghidupkan pasal suap, tetapi tidak juga bisa. Beban pembuktian terbalik bukan dilakukan terhadap semua pasal korupsi. Beban pembuktian terbalik hanya ada dalam satu delik, yaitu yang tercantum dalam Pasal 12 B UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 37 a yang terkait dengan perampasan harta benda terhadap para terdakwa yang didakwa dengan pasal-pasal korupsi, kata Indriyanto. Romli mengatakan, teori pembuktian yang selama ini diakui adalah pembuktian negatif atau Pasal 193 KUHAP yang menuntut pembuktian dan sejalan dengan prinsip praduga tak bersalah. Ini menyulitkan proses pembuktian kasus megakorupsi. Direktur Perdata Kejaksaan Agung Kejagung Yoseph Suardi 80 http:www.komisihukum.go.id , Komisi Hukum Nasional, Pembuktian Terbalik dalam Revisi UU Pemberantasan Korupsi, April, 2007 81 Ibid Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 mengusulkan, sistem pembuktian terbalik dapat dijadikan landasan hukum dan dipergunakan untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi Sistem ini tidak bertentangan dengan asas hukum umum, termasuk asas yang berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia HAM, 82 Beliau menjelaskan, telah mencatat tiga poin penting dalam menggagas landasan hukum ini. Pertama, hukum dari ketentuan tersebut harus diperluas. Artinya, jika terdakwa tidak mampu membuktikan keabsahan kepemilikan kekayaan atau tambahan kekayaan tersebut yang dimiliki oleh terdakwa isteri, suami, anak-anak atau orang lain yang mempunyai hubungan dengannya atau perusahaannya, akibat hukumnya dapat dijadikan faktor yang memperkuat alat bukti yang ada, dan menunjukkan terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi tidak hanya instrumen pidana saja, tetapi juga melibatkan pengajuan gugatan perdata. Maka, sistem pembuktian terbalik tentang keabsahan kepemilikan harta kekayaan berlaku bukan saja untuk proses peradilan pidana. Tetapi, juga untuk proses peradilan perdata. Sepanjang proses tersebut dapat dikualifikasikan sebagai korupsi, imbuhnya. Ketiga, kewajiban membuktikan harta kekayaan tidak hanya dibebankan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi, namun juga ahli waris.Jika ahli waris menggunakan haknya untuk menolak warisan dari koruptor tolak boedel. Berdasarkan ketentuan pasal 1057 dan 1058 KUH Perdata, artinya jika ahli waris 82 http:www.okezone.com , Hariyanto Kurniawan, Sistem Pembuktian Terbalik Dapat Dijadikan UU, , Senin, 09 April, 2007 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008 tidak mampu membuktikan harta kekayaan berasal dari kekayaan yang halal, maka hukum berasumsi dia menerima dari korupsi. Jadi, dia harus bertanggung jawab membayar kewajiban ganti rugi terhadap negara atas kerugian yang diakibatkannya, paparnya. 83 83 Op Cit Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001, 2007 USU Repository © 2008

BAB III PERUMUSAN SANKSI DALAM UNDANG - UNDANG NO 31 TAHUN 1999