Universitas Sumatera Utara
d. Stadium IV Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas di tempat tidur
50, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak,
Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan 1 bulan,
Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru,
Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV Kurniawati, 2011.
2.5 Diagnosa HIVAIDS
HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan ASI. Penyebaran infeksi HIV sudah bisa terjadi sejak penderita
belum menampakkan gejala klinis. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit
tenggorokan, mialgia nyeri otot, demam dan berkeringat. Oleh karena itu, diperlukan sistem diagnosis yang baik bagi penderita, sehingga status HIV positif
bisa diketahui dan penyebaran infeksi bisa dikendalikan Kurniawati, 2011. Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:
1. ELISA enzyme-linked immunoabsorbent assay
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA enzyme-linked immunoabsorbent assay. Untuk mengidentifikasi antibodi
terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena
Universitas Sumatera Utara
penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi
virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif Kurniawati, 2011.
Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar 98,1 -100. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan
setelah infeksi. Namun ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2 Widoyono, 2008.
2. Western Blot
Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika
tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti hasil tes positif. Tes
Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulang lagi setelah dua minggu
dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap
negatif maka pasien dianggap HIV negatif Kurniawati, 2011. Western Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6-100. Pemerikasaannya cukup
sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam Widoyono, 2008. Tes Western Blot merupakan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV. Tes ini dilakukan jika pemeriksaan penyaringan menyatakan hasil yang reaktif. Dengan kata lain, tes ini
merupakan tes lanjutan dari pemeriksaan ELISA Djoerban, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Dalam proses ini, protein virus dipisahkan dengan elektoforesis dan kemudian ditransfer ke nitrocellulose paper serta diinkubasikan dengan
antisera. Antibodi yang terikat antigen akan dideteksi dengan enzyme- labeled anti-human globulin sera. Serum penderita yang terinfeksi
mengandung antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein envelope atau protein inti, atau keduanya. Tes ini untuk medeteksi HIV-1 dapat
mendeteksi infeksi HIV-2 dengan tingkat akurasi 60-90 Alam, 2012. Interpretasi hasil Western Blot; negatif bila tidak ditemukan adanya
band protein, positif bila ditemukan minimal 2 band dari 3 protein p24, gp41, atau gp120, tiga tau lebih band, dan salah satunya dari gag, pol,
env, serta band p24 atau p31 dan p41 atau gp120. Interminate jika ditemukan satu dari 3 band utama. Hasil interminate harus diulang dan bila
tidak berubah harus dikonfirmasi dengan tes virulogi Alam, 2012.
3. PCR Polymerase chain reaction
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak
jelas Kurniawati, 2011. PCR digunakan untuk tes HIV pada bayi. Hal ini dikarenakan zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat
pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan
itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan membuat hasil pemeriksaaan seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut.
Selain itu, PCR juga digunakan untuk menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi, tes pada kelompok
Universitas Sumatera Utara
berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, dan tes konfirmasi untuk HIV-2 Widoyono, 2008.
a. PCR HIV DNA
Jumlah sel yang terinfeksi dapat diukur dengan deteksi DNA HIV-1 menggunakan PCR. Pemerikasaan PCR DNA dari PBMC
memiliki sentitifitas dan spesifitas yang sebading dengan kultur. Pemeriksaan ini bernilai progresif infeksi HIV. Peningkatan 1-2 kali
lipat jumlah sel yang terinfeksi dalam darah perifer biasanya terjadi pada penderita yang progresif. Pemerikasaan ini tetap positif pada
penderita yang mendapat terapi HAART, walaupun RNA plasma tidak terdeteksi. Spesifisitas pemeriksaan ini mencapai 100. Walaupun
demikian, hasil negatif palsu maungkin terjadi bila penderita terinfeksi virus dengan strain berbeda Alam, 2012.
b. PCR HIV RNA
Pengukuran sel dengan mRNA HIV dalam darah perifer, walaupun sulit, dapat memprediksi progresi penyakit menjadi HIV,
bahkan pada penderita dengan infeksi tahap awal dan jumlah sel CD4 yang relatif tinggi. Tes ini lebih tepat dipergunakan untuk pemantauan
progresi penyakit. Penggunaan tes ini untuk penegakan diagnosis masih belum banyak diteliti. Metode pemeriksaan PCR HIV RNA
yang ada saat ini antara lain: HIV-1 RNA reverse transcriptase- polymerase chain RT-PCR, pengukuran kualitatif HIV RNA dengan
branched DNA, pengukuran kuantitatif HIV-RNA nucleic acid
Universitas Sumatera Utara
sequence-based amplification [NASBA] HIV-1 RNA QT assay Alam, 2012.
WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test dipstick sehingga hasilnya bisa segera diketahui. Menurut WHO dalam mendiagnosis
AIDS, minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor tanpa diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat, atau bila
terdapat salah satu saja dari tanda lain Widoyono, 2008. Hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan tes terhadap antibodi
HIV yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat di deteksi dengan pemeriksaan.
Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi, jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat
memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian
Djoerban, 2010.
2.6 Epidemiologi HIVAIDS 2.6.1 Distribusi dan Frekuensi HIVAIDS