Diagnosa HIVAIDS Karakteristik Penderita HIV AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014

Universitas Sumatera Utara d. Stadium IV Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas di tempat tidur 50, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan 1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV Kurniawati, 2011.

2.5 Diagnosa HIVAIDS

HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan ASI. Penyebaran infeksi HIV sudah bisa terjadi sejak penderita belum menampakkan gejala klinis. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia nyeri otot, demam dan berkeringat. Oleh karena itu, diperlukan sistem diagnosis yang baik bagi penderita, sehingga status HIV positif bisa diketahui dan penyebaran infeksi bisa dikendalikan Kurniawati, 2011. Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:

1. ELISA enzyme-linked immunoabsorbent assay

Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA enzyme-linked immunoabsorbent assay. Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena Universitas Sumatera Utara penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif Kurniawati, 2011. Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar 98,1 -100. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Namun ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2 Widoyono, 2008.

2. Western Blot

Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti hasil tes positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulang lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif Kurniawati, 2011. Western Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6-100. Pemerikasaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam Widoyono, 2008. Tes Western Blot merupakan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Tes ini dilakukan jika pemeriksaan penyaringan menyatakan hasil yang reaktif. Dengan kata lain, tes ini merupakan tes lanjutan dari pemeriksaan ELISA Djoerban, 2010. Universitas Sumatera Utara Dalam proses ini, protein virus dipisahkan dengan elektoforesis dan kemudian ditransfer ke nitrocellulose paper serta diinkubasikan dengan antisera. Antibodi yang terikat antigen akan dideteksi dengan enzyme- labeled anti-human globulin sera. Serum penderita yang terinfeksi mengandung antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein envelope atau protein inti, atau keduanya. Tes ini untuk medeteksi HIV-1 dapat mendeteksi infeksi HIV-2 dengan tingkat akurasi 60-90 Alam, 2012. Interpretasi hasil Western Blot; negatif bila tidak ditemukan adanya band protein, positif bila ditemukan minimal 2 band dari 3 protein p24, gp41, atau gp120, tiga tau lebih band, dan salah satunya dari gag, pol, env, serta band p24 atau p31 dan p41 atau gp120. Interminate jika ditemukan satu dari 3 band utama. Hasil interminate harus diulang dan bila tidak berubah harus dikonfirmasi dengan tes virulogi Alam, 2012.

3. PCR Polymerase chain reaction

PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas Kurniawati, 2011. PCR digunakan untuk tes HIV pada bayi. Hal ini dikarenakan zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan membuat hasil pemeriksaaan seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. Selain itu, PCR juga digunakan untuk menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi, tes pada kelompok Universitas Sumatera Utara berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, dan tes konfirmasi untuk HIV-2 Widoyono, 2008. a. PCR HIV DNA Jumlah sel yang terinfeksi dapat diukur dengan deteksi DNA HIV-1 menggunakan PCR. Pemerikasaan PCR DNA dari PBMC memiliki sentitifitas dan spesifitas yang sebading dengan kultur. Pemeriksaan ini bernilai progresif infeksi HIV. Peningkatan 1-2 kali lipat jumlah sel yang terinfeksi dalam darah perifer biasanya terjadi pada penderita yang progresif. Pemerikasaan ini tetap positif pada penderita yang mendapat terapi HAART, walaupun RNA plasma tidak terdeteksi. Spesifisitas pemeriksaan ini mencapai 100. Walaupun demikian, hasil negatif palsu maungkin terjadi bila penderita terinfeksi virus dengan strain berbeda Alam, 2012. b. PCR HIV RNA Pengukuran sel dengan mRNA HIV dalam darah perifer, walaupun sulit, dapat memprediksi progresi penyakit menjadi HIV, bahkan pada penderita dengan infeksi tahap awal dan jumlah sel CD4 yang relatif tinggi. Tes ini lebih tepat dipergunakan untuk pemantauan progresi penyakit. Penggunaan tes ini untuk penegakan diagnosis masih belum banyak diteliti. Metode pemeriksaan PCR HIV RNA yang ada saat ini antara lain: HIV-1 RNA reverse transcriptase- polymerase chain RT-PCR, pengukuran kualitatif HIV RNA dengan branched DNA, pengukuran kuantitatif HIV-RNA nucleic acid Universitas Sumatera Utara sequence-based amplification [NASBA] HIV-1 RNA QT assay Alam, 2012. WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test dipstick sehingga hasilnya bisa segera diketahui. Menurut WHO dalam mendiagnosis AIDS, minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor tanpa diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat, atau bila terdapat salah satu saja dari tanda lain Widoyono, 2008. Hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan tes terhadap antibodi HIV yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat di deteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi, jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian Djoerban, 2010. 2.6 Epidemiologi HIVAIDS 2.6.1 Distribusi dan Frekuensi HIVAIDS