Membumikan Dialog Libertaif
95 yang menentukan dalam keseluruhan proses sosial yang
mengambil keuntungan dan siapa yang dirugikan. Dengan demikian tujuan analisis sosial merupakan usaha untuk
mempelajari struktur sosial yang ada, mendalami institusi politik, ekonomi, budaya agama, dan keluarga. Hal ini dimaksudkan agar
kita dapat mengetahui sejauh mana dan bagaimana institusi- institusi
itu menyebabkan
ketidakadilan sosial.
Dengan mempelajari institusi-institusi yang ada, maka kita akan mampu
melihat satu masalah sosial yang ada dalam konteksnya yang lebih luas. Demikian menjadi jelas, analisis sosial adalah suatu usaha
nyata yang merupakan bagian penting usaha untuk menegakkan keadilan sosial.
D. Agama Sebagai Kekuatan Pembebas
Problem kemanusian yang terus merongrong umat manusia dari tepi ke tepi, sering terabaikan oleh kaum agamawan dengan
tidak memberikan tawaran-tawaran penyelesaian yang dapat membebaskan umat manusia dari problem kemanusiaan. Problem-
problem kemanusiaan yang bersifat lintas batas itu sering absence dari cita-cita kehidupan keberagamaan kita baik secara individual
maupun
kolektif. Sementara
diskursus dan
orientasi keberagamaan yang berlangsung masih bertendensi pada model
keberagamaan yang melangit. Agama telah dimaknakan secara berlebihan sebagai institusi pelayanan terhadap Tuhan teosentris
yang dijauhkan dari orientasi pelayanan terhadap manusia antropo-sentris. Agenda utama dari pemaknaan dan pigment
keberagamaan seperti itu adalah memperbanyak jumlah rumah ibadah sembari merayakan ritualisme sebagai persembahan buat
Tuhan semata. Akibatnya sebagian kelompok masyarakat yang cenderung berpaham dan berpikiran model keberagamaan yang
Membumikan Dialog Libertaif
96 melangit dengan meninggalkan tanggung jawab sosialnya dan
lebih mengambil sikap untuk melayani Tuhan. Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang agama sebagai
kekuatan pembebas, penulis ingin memberikan beberapa definisi tentang apa itu agama. Misalnya dalam kamus sosiologi,
pengertian agama ada tiga macam: 1 kepercayaan pada hal-hal yang spiritual; 2 perangkat kepercayaan dan praktik-praktik
spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; 3 ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.
108
Sementara D. Hendropuspito memberikan definisi tentang agama, di mana dia
mengatakan bahwa agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan
non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas
umumnya.
109
Dan juga ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ilmuan Barat di
antaranya Thomas F. O‟Dea mengatakan agama adalah pendayagunaan sarana-sarana supra empiris untuk
maksud-maksud non-empiris atau supra empiris.
110
E. S. P. Haynes yang berpendapat bahwa agama merupakan
“suatu teori tentang hubungan manusia dengan alam raya”. Sementara John Morley
yang mengartikan agama sebagai “perasaan-perasaan kita tentang kekuatan-
kekuatan tertingi yang menguasai nasib umat manusia”. Sedangkan James Martineau yang mendefinisikan agama sebagai
“kepercayaan tentang Tuhan yang abadi, yaitu tentang jiwa dan kemauan Ilahi yang mengatur alam raya dan berpegang pada
108
Sorjono Soekanto. Kamus Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1993. Hlm. 430.
109
D. Hendropuspito O.C. Sosiologi Agama. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 1998. Hlm. 34.
110
Thomas F. O’Dea. The Sociology of Religon. Terjemahan Tim Penerjamah Yasogama. CV Rajawali, Jakarta. Hlm. 13.
Membumikan Dialog Libertaif
97 hubungan
–hubungan moral dengan umat manusia”. Yang menarik adalah definisi agama yang dikemukakan oleh Talcot Parson:
“A religion we will define as a set of beliefs, practices, and institutions which men have evolved in various societies, as far
as they can be understood, as responses to those aspects of their life and situation which are believed not in the empirical
instrumental sense to be rationality understandable and or controllable, and to which they attach a significance which
includes some kind of reference to the relevant actions and
events to man‟s conception of the existence of the “supernatural” order which is conceived and felt to have a
fundamental bearing on men‟s position in the universe and the values which give meaning to his fate as an individual and his
relations to his fellows. ”
111
Definisi yang dikemukakan oleh Parson di atas, sangat dipengaruhi oleh teori fungsionalisme struktural. Karena bagi teori
ini, gagasan mengenai “fungsi” berguna agar kita terus mengamati apa yang disumbangkan oleh suatu bagian dari struktur terhadap
apa sistem yang dianalisis, atau tepatnya, apa fungsi yang dijalankannya dalam sistem itu. Bagi Parson agama tidak hanya
sebagai sistem kepercayaan, tapi juga berfungsi sebagai kekuatan praksis yang dapat mengontrol dan merespon situasi yang
dihadapi oleh pemeluknya.
Dengan begitu peran agama seperti yang dikemukakan oleh Dewey harus dapat memberdayakan manusia untuk bekerja sendiri
dengan objek
yang ada,
yaitu alam
dengan semua
kenikmatannya.
112
Ini berarti, ketuhanan di dalam kita, tidak di dalam kosmik yang netral ini. Inteligensi turun dari isolasinya,
111
Talcot Parsons. The Social System. New York: Free Press, 1951. Hlm. 2.
112
Haniah. Agama Pragmatis: Telaah atas Konsepsi Agama John Dewey. Magelang: Indonesiatera, 2001. Hlm. 68.