Tujuan Dialog Liberatif membumikan dialog liberatif
Membumikan Dialog Libertaif
75 respon terhadap berbagai bentuk dialog yang belum menyentuh
dimensi pembebasan. Sebaliknya di sisi lain, dialog liberatif adalah respon atas kritik yang saling dilontarkan orang terhadap agama, di
mana agama membuat orang menghindar dari realitas. Misalnya tuduhan Marx yang mengat
akan: “religion is opium, sigh of the oppressed,
heart of the heartless would and spirit of a spiritless situation
”.
92
Lebih ekstrem lagi apa yang dikemukakan oleh Sigmund Freud di mana agama adalah illusi,
93
ekspresi neorosis, ketidakmatangan universal, kegilaan obsesi universal, dan semata-
mata bertumpu pada pemenuhan harapan dan bukan pada kebenaran intrinsik.
94
Demikian pula John Dewey yang mengatakan bahwa agama tidak memberikan harapan demi
kesatuan manusia di masa depan. Bahkan agama dianggap berbahaya bagi jiwa, ilmu, seni, dan hubungan sosial.
95
Sedangkan Ali Syari‟ati berpendapat bahwa agama sebenarnya mempunyai
dua wajah. Pertama, wajah dekaden yang memperlihatkan dirinya dalam
bentuk kejahatan,
memelihara dan
membiarkan reaksioneritas, inertia, dan pembisuan. Ia membendung semangat
kemerdekaan, dengan keliru dan palsu membenarkan status quo. Kedua,
agama sebagai ideologi yang dimaksudkan sebagai suatu kepercayaan yang secara sadar dipilih untuk menjawab persoalan
kebutuhan suatu masyarakat.
96
92
Tuduhan Marx terhadap agama ini dikutip dari Asghar Ali Engineer. Islam dan Teologi Pembebasan… Ibid. Hlm. 29.
93
Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama, Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan, 2003. Cet. I. Hlm. 152.
94
Lihat: Hans Küng, Sigmund Freud Vis-a-Vis Tuhan, terjemahan Edi Mulyono. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. Cet. III. Hlm. 24, 95, dan 119.
95
Haniah. Agama Pragmatis: Telaah atas Konsepsi Agama John Dewey. Magelang: Indonesiatera, 2001. Hlm. 3 dan 116.
96
Lihat: Ali Syari’ati. Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya.
Bandung: Mizan, 1983. Hlm. 18.
Membumikan Dialog Libertaif
76 Menurut penulis, para pengkritik agama di atas, lebih melihat
pada tidak berperannya fungsi korektif dari agama dalam menghadapi realitas yang ada. Misalnya, kritik Marx terhadap
agama yang menganggap agama tidak mampu menjalankan fungsinya untuk membebaskan kaum tertindas dari penindasan
yang dilakukan oleh kaum penindas. Demikian halnya kritik Dewey terhadap agama. Menurut penulis, keluhan Dewey itu ada
benarnya, meskipun Dewey hanya berbicara secara a priori, bukan mengungkapkan
generalisasi dari
sejarah bahwa
agama mempunyai andil besar, berupa: rangsangan, inspirasi, bantuan
kepada perjuangan melawan penindasan, memajukan perubahan sosial konstruktif, pencerahan, dan pengadaban. Artinya, Dewey
menginginkan agama tidak hanya menangani masalah individu, tapi juga masalah sosial. Kalau kita mengikuti pendapat ini, maka
agama harus bebas dari supranaturalisme dan agama harus sekuler.
Mengamati kritikan dari para pengritik terhadap agama di atas, ada suatu hal yang luput dari mereka, bahwa dalam agama
ada “internal dynamic”, sehingga ada perubahan dan perkembangan, ketegangan kreatif creative tension antara yang
abadi dan yang sementara, antara yang spiritual dan yang sosial. Sehingga yang banyak mereka tangkap adalah aspek spiritual dari
agama atau aspek mistikalnya. Dari persepsi ini, yang mereka lihat dari agama adalah bentuk alienasi manusia dari realitas, dan tidak
melihat bagaimana agama mengakrabkan manusia dengan realitas.
Agama adalah instrumen yang penting dan dapat digunakan sebagai candu atau ideologi yang revolusioner. Jika agama hendak
menciptakan kesejahteraan dan kesehatan sosial, serta ingin menghindarkan diri dari kritikan yang ada, maka agama harus
mentransformasikan diri menjadi alat yang canggih untuk
Membumikan Dialog Libertaif
77 melakukan perubahan sosial dan tatanan yang telah usang yang
dengan sendirinya memiliki mekanisme sosio-legal dan politik- ekonomi yang digunakan untuk mempertahankan hak-hak khusus
dan kekuasaan „kasta yang tinggi‟ dan kelas atas.
Dialog liberatif adalah dialog yang dapat memainkan peran agama sebagai kekuatan pembebas. Penulis menyadari dialog
dalam bentuk ini walaupun belum memperoleh bentuk reflektif atau teologis penuh, namun perannya dapat dipahami serupa
dengan teologi pembebasan yang telah aktif menjalankan aksi pembebasan. Bab ini sebetulnya menjadi suatu sumber pelajaran,
tetapi lebih lagi suatu sumber pengharapan. Berbagai contoh yang telah dikemukakan dan direfleksikan dapat meyakinkan kita
bahwa terlepas dari berbagi kompleksitas, bahaya, dan terkadang pertentangan yang ada di dalam upaya melakukan dan memelihara
dialog liberatif sebagai dialog yang bertanggung jawab secara global di antara komunitas beragama.
Membumikan Dialog Libertaif
78
BAB EMPAT PEMBUMIAN DIALOG LIBERATIF
Biarlah kedua belah pihak bersatu untuk mempertimbangkan dengan penuh rasa tanggung jawab terhadap keselamatan umat
manusia, apa yang pernah diperintahkan oleh Nabi Yesaya: “menurunkan setiap beban yang berat… dan membebaskan kaum
tertindas ”.
John F. Kennedy, 1962